Rivalitas PTN-PTS.

Pikiran
o Selasa
4

20

o Mar

5

21

0
6

OApr

Rabu
7
22


Rakyat
0
8
23

OMei

OJun

Rivalitas

--- -- - -

---

IBUKANYA keran
otonomi sejak beberapa
tahun
lalu,
membuat perguruan tinggi negeri (PTN) lebih leluasa dalam

membenahi diri untuk terus
meningkatkan
pelayanan.
Langkah pragmatis yang dilakukan adalah penerimaan mahasiswa baru lewat saringan
mandiri. Meski rasionya relatiflebih kecil darijumlah mahasiswa baru yang diterima lewat saringan nasional, langkah
ini cukup membantu keuangan
PTN yang dulu hanya mengandalkan dana dari pemerintah.
Imbasnya, masyarakat merasakan lonjakan biaya pendidikan yang signifikan di PTN,
terutama mereka yang masuk
lewat saringan mandiri. Biaya
yang harus dikeluarkan ketika
pertama kali masuk, tidakjauh
berbeda dengan biaya pendidikan di perguruan tinggi
swasta (PTS), bahkan ada yang
melampauinya. PTN yang dulu menjadi harapan bagi calon
mahasiswa berprestasi dari
kalangan menengah ke bawah,
kini menuntut orang tua mereka merogoh kocek lebih dalam.
Kondisi itu, logikanya bisa
menjadi peluang baru bagi

PTS untuk menampung calon
mahasiswa yang tidak diterima di PTN. Terlebih dengan
biaya pendidikan yang tidak
jauh berbeda seperti dulu, PTS
tidak lagi dip an dang sebagai
institusi yang hanya mencari
uang semata, karena notabene
PTS memang menampung
hingga 70 persen mahasiswa
di negara ini. Kenyataan di lapangan, masyarakat tetap saja
menganggap PTN lebih baik
dibandingkan dengan PTS. Didukung dengan pendanaan
yang dibantu pemerintah, kualitas rTN !~~tu!!ya d~nilai le-

---

-

9


24

10

25

OJul

Jumat

o Sabtu 0 Mlnggu

@ 26

12

0

OSepOOkt 0 Nav. Des


Ags'

-

'<

(20), mahasiswa salah satu
PTN di Bandung. "Sebenarnya,
orang tua saya bilang siap
membiayai kuliah saya di mana saja. Namun, saya memilih
PTN, karena dari dulu prestisenya lebih tinggi di mata masyarakat dan pasar keIja," ujarnya.
Pemikiran seperti itu membuat setiap tahun, peminat
PTN dari saringan nasional
maupun saringan mandiri tetap membludak. Akibatnya,
beberapa PTN terpaksa menerima mahasiswa baru sedikit
melebihi kuota yang mereka
tetapkan di awal. Meski begitu,
tetap saja ribuan pendaftar tetap tidak diterima, karena keterbatasan kapasitas yang dimiliki PTN.
Hal itu kemudian dilansir
beberapa pihak sebagai penyebab menurunnya minat calon

mahasiswa ke PTS dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir. Data di Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta (Kopertis) Wilayah IV Jabar dan Banten berbicara jelas mengenai
hal ini. Menurut Koordinator
Kopertis Wilayah IV Jabar dan
Banten, Abdul Hakim Halim,
dalam satu tahun terakhir,
jumlah pendaftar pada 20-30
persen PTS di Jabar dan Banten, mengalami penurunan signifikan.
Wakil Ketua Asosiasi Peguruan Tinggi Swasta Indonesia
(Aptisi) Pusat dan Ketua Bidang Organisasi Aptisi Wilayah
IV Jabar-Banten,
M. Budi
Djatmiko mengungkapkan, salah satu penyebab penurunan
pendaftar PTS beberapa tahun
terakhir adalah adanya P~
yang menerima mahasiswa
melebihi kapasitas. Budi menyarankan,
dalam kondisi .~
eko-~

Humas


14
28

15
29

16
30

31

PTN -PTS
"---

nyaituyangdiungkap~ Heri .

-

13

27

bih baik oleh masyarakat. Terlebih masyarakat kita memang
masih dinilai "negeri minded",
yaitu orang tua merasa bangga
dan percaya bahwajika anaknya masuk sekolah atau universitas negeri, masa depannya akan cerah.
Suatu pemikiran konvensional yang tidak bisa dimungkiri
menjadikan PTS sebagai pilihan kedua setelah PTN. Setidak-

D

Kliping

.

Kamis

Unpad

~


-'--'-"

-

nomi yang sulit, seharusnya
ada pembagian titik berat pada
pengembangan prodi di PTS
dan PTN. Dalam hal ini, PTN
lebih baik fokus pada prodi
teknik. Untuk ilmu sosial yang
tidak perlu dana besar, biarkan
dikelola PTS.
Dengan demikian, Budi menambahkan, PTN dan PTS dapat maju bersama dan tidak
ada saling tarik-menarik calon
mahasiswa. Apalagi dengan
langkah sebagian PTN yang
menerima mahasiswa melebihi
kapasitas, hal itu jelas mengurangi mahasiswa PTS.
Sementara itu, Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi) WIlayah IV Jabar dan Banten, Didi Turmudzi berpendapat, adanya rencana pembentukan PTN baru

dan perubahan status PTS jadi
PTN, tentunya akan semakin
memberatkan langkah PTSPTS di JawaBara.!:, TaI},Pake-

2009
--

---

hadiran PTNbaru saja, kondisi PTS di Jabar dan Banten
goncang. Oleh karena itu, ia
memperkirakan, sekitar 40-50
persen PTS saat ini terancam
kolaps.
Di sisi lain, Rektor Universitas Padjadjaran Ganjar Kurnia
menuturkan, tidak logis jika
banyak pihak beranggapan,
minimnyapeminatdi perguruan tinggi swasta disebabkan
oleh perguruan tinggi negeri
yang terlalu banyak menampung mahasiswa. Itu karena,

menurut Ganjar, PTN khususnya Unpad hanya menerima
sekitar 8.000 mahasiswa per
tahun dari 51.000 pendaftar
yang masuk. "Saya sudah berkali-kali bilang kalau kita tidak
menerima mahasiswa secara
jorjoran. Masih ada 43.000
pendaftar yang tidak kita terima, silakan itu diserap oleh
PTS," katanya.
Menurut dia, yang seharusnya dipertanyakan, mengapa
yang 43.000 itu tidak mau
mendaftar ke perguruan tinggi
swasta. Seharusnya itu yang
diperhitungkan oleh pemerintah dalam hal ini Direktorat
Pendidikan Tinggi.
Sementara itu, Ketua Majelis
Rektor Indonesia Djoko Santoso menilai, rivalitas PTN dan
PTS sejatinya adalah hukum
alam, bukan merupakan dampak peraturan, termasuk nantinya pascapemberlakuan
Undang-Undang Badan Hukum
Pendidikan (00 BHP). Karena
pada kenyataannya selama ini,
menurut dia, PTS yang berkualitas tetap inampu bertahan.
**
BELAKANGAN, UndangUndang No. 9 Tahun 2009

Sumber: Kopertis Wi/ayah IV

tentang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) dirasa melengkapi penderitaan PTS. Keberatan terhadap UU BHP
bahkan sempat diajukan Asosiasi Badan Penyelenggara Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (ABPPTSI) ke Mahkamah
Konstitusi (MK).
Didi Turmudzi mengatakan,
UU BHP sedianya bertujuan
menghapus dikotomi antara
perguruan tinggi negeri dan
perguruan tinggi swasta. Namun, pada kenyataannya justru menimbulkan diskriminasi
terhadap PTS.
Menurut dia, UU BHP menuntut standar kompetensi
yang sarna antara PTN dan
PTS, tetapi hanya PTN yang didanai pemerintah. Perguruan
tinggi swasta (PTS) harus bisa
kompetitif dan menyejajatkan
kualitas dengan PTN, tetapi tidak ada satu pun pasal yang
menyebutkan pemerintah akan
membantu
pembiayaan
di
PTS.
Kendati demikian, Didi masih melihat sisi positif. Kebijakan yang ada bisa membuat
PTS berkurang secara kuantitas, tetapi meningkat dari segi
kualitas. Jika PTS tidak bisa
berdiri sendiri, harns ada ketelaan untuk merger dan menghasilkan kekuatan baru yang
siap bersaing. PTS tidak boleh
mati, karena hingga tahun ini,
sekitar 70 persen mahasiswa
Indonesia ada di PTS.
Hal senada diungkapkan
Abdul Hakim Halim. Meskipun 30 persen, PTS di Jabar
terancam kolaps dalam setahun terakhir, tetapi masih ada
yang justru mengalami peningkatan pendaftar.
Rektor Universitas Islam
Nusantara H. Didin Wahidin
yang juga Wakil KetuaAsosiasi Perguruan Tinggi Nahdlatul
Ulama (Aptinu) Indonesia mengatakan, selama ini perguruan tinggi swasta hanya mengandalkan keuangan dari mahasiswa. Biaya pendidikan
murah berakibat pada kualitas pendidikan yang seadanya.
Hal itu seharusnya diperhatikan pemerintah. Akses pendidikan itu harus dibuka selebar-Iebarnya, dan seharusnya
PTN-PTN ini diabdikan untuk
masyarakat melalui biaya pendidikan yang murah. "Yang kita lihat sekarang biaya PTN
justru jauh lebih mahal dari
biaya di PTS," katanya.
Terlepas dasar kebijakan
yang dibuat pemerintah dan
keberatan yang diajukan oleh
pihak-pihak yang merasa kurang diuntungkan. Setidaknya
dua hal harus menjadi sorotan. Bagaimanapun PTN tetap
harus memiliki kemudahan
akses guna meningkatkan angka partisipasi kasar (APK)
pendidikan tinggi Indonesia
yang barn mencapai 17 persen.
Di lain pihak, PTS sedianya
menjadikan masalah yang ada
sebagai tantangan untuk terus
Qleningkatkan Ia.l~t~_d~I.!..E.e~
J

--

--

Sumber: Kopert;s.

-layanan, karena diakui atau tidak, PTS tetap menampung
hampir,tiga perempatjumlah
mahasiswa negeri ini. Djoko
yang juga Rektor Institut Teknologi Bandung itu menyebutkan Universitas Parahyangan,
Universita~ Maranatha, dan
Universitas Pasundan sebagai
bukti PTS yang sampai sekarang masih berdiri. Intinya
adalah, jika perguruan tinggi
itu dinilai buruk oleh masyarakat, pasti tidak akan ada yang
mau menempuh pendidikan di
sana.
Untuk tetap hidup, kata Djoko, mau tidak mau perguruan
tinggi memang harns bersaing.
Namun dalam konsep globalisasi, dia menilai yang terpenting adalah tetap menjaga kerja sarna walaupun berada dalam arena persaingan. Persaingan dan ketahanan sebuah
perguruan tinggi sebenarnya
bukanlah terhadap
sesama
PTN atau PTS, atau antara keduanya, melainkan terhadap
kemajuan zaman.
Sementara itu, Didi menilai,
kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah terkait dengan perguruan tinggi saat ini
bagaikan dua sisi mata uang.
Di satu sisi, sepertinya pemerintah ingin mengurangi jumlah PTS yang ada sehingga eksistensi mereka tak henti diberi batu sandungan. Hal ini seharusnya diperhatikan pemerintah karena akses pendidikan
itu harns dibuka selebar-Iebarnya, dan seharusnya PTN-PTN
ini diabdikan untuk masyarakat melalui biaya pendidikan
yang murah. "Yang kita lihat
sekarang-biaya PTN justru jauh
lebih mahal dari biaya di PTS,"
tuturnya. (HandrijNuryanij AmaIiyaj"PR)*** -