Perbandingan bentuk penyajian Reog Glodogan Dusun Glodogan, Desa Sidomulyo, Kecamatan Bambanglipuro dan Reog Kridha Beksa Lumaksana Dusun Mangiran Desa Trimurti, Kecamatan Srandakan, Kabupaten Bantul.
ABSTRAK
Cahyadi, Andri. 2013. Perbandingan Bentuk Penyajian Reog Glodogan Dusun Glodogan, Desa Sidomulyo, Kecamatan Bambanglipuro dan Reog Kridha Beksa Lumaksana Dusun Mangiran, Desa Trimurti, Kecamatan Srandakan, Kabupaten Bantul, DIY. Skripsi Strata 1 (S-1). Program Studi Sastra Indonesia. Fakultas Sastra. Universitas Sanata Dharma.
Umumnya, reog yang diketahui adalah Reog Ponorogo, padahal terdapat berbagai macam jenis reog selain Reog Ponorogo, salah satunya adalah Reog Wayang di Kab Bantul, DIY. Banyak kelompok reog yang tergolong dalam jenis Reog Wayang. Dari sekian banyak kelompok reog, peneliti memilih dua kelompok, yakni Reog Glodogan dan Reog Kridha Beksa Lumaksana sebagai sampel perbandingan.
Rumusan masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Bagaimana deskripsi bentuk penyajian Reog Glodogan dan Reog Kridha Beksa Lumaksana? Bagaimana persamaan dan perbedaan bentuk penyajian Reog Glodogan dan Reog Kridha Beksa Lumaksana? Dengan demikian, tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: Pertama, mendeskripsikan bentuk penyajian Reog Glodogan dan Reog Kridha Beksa Lumaksana. Kedua, membandingkan persamaan dan perbedaan bentuk penyajian Reog Glodogan dan Reog Kridha Beksa Lumaksana.
Dalam mengumpulkan data metode yang digunakan adalah metode wawancara dan observasi. Metode yang digunakan dalam analisis data adalah metode kualitatif. Analisis data melalui tiga tahap: open coding, axial coding dan selective coding.. Setelah itu, data-data tersebut dianalisis menggunakan teori komparatif.
Kesimpulan dalam penelitian ini adalah bentuk penyajian kelompok Reog Glodogan dan Reog Kridha Beksa Lumaksana memiliki persamaan dan perbedaan dalam setiap unsur bentuk penyajian. Perbedaan Reog Glodogan dan Reog Kridha Beksa Lumaksana terjadi karena perubahan dan pakem tata busana dan tata rias. Oleh karena itu, berdasarkan bentuk penyajian kedua kelompok reog tersebut, Reog Wayang dapat diklasifikasikan menjadi dua versi. Kelompok Reog Glodogan: bentuk penyajiannya bercerita tentang pertarungan-pertarungan dari berbagai cerita yang dikemas menjadi satu cerita, dengan adegan kesurupan sebagai klimaksnya. Dari segi tata busana dan rias sekedar meniru dari kesenian wayang orang gaya Surakarta dan Yogyakarta. Alat musik yang dipakai masih alat musik tradisional Jawa: kempul, dhogdog, dan kecrek. Desain lantai menggunakan desain dasar yaitu lurus, dua lingkaran kecil dan lingkaran besar. Properti yang dipakai berupa pedang, bendera identitas dan bendera merah putih
(2)
Kelompok Reog Kridha Beksa Lumaksana: bentuk penyajiannya bercerita tentang Hanoman Obong (Ramayana) dan Burisrawa Rante (Mahabarata). Tidak terdapat adegan kesurupan dalam penyajiannya. Dari segi tata busana dan rias meniru sesuai kesenian wayang orang gaya Surakarta. Desain lantai bervariasi dengan bermacam-macam jenis: lurus, dua lingkaran kecil, lingkaran besar, miring, berbentuk panah, berbentuk huruf A, berbentuk huruf X, variasi lurus satu, dan variasi lurus dua. Alat musik beraneka ragam dari tradisional dan modern. Alat musik tradisional, Terdiri dari yaitu kendang, kempul, kecrek, dhogdog, japan dan angklung. Serta alat musik modern, yaitu drum. Properti yang dipakai berupa pedang, keris, panah, kawat api, api unggun, selendang panjang, dan bendera identitas Saran untuk peneliti selanjutnya diharapkan dapat menganalisis dari segi gerak. Dengan begitu dapat menguatkan penelitian Reog Wayang. Selain itu, penelitian selanjutnya diharapkan membahas perbandingan jenis Reog Wayang dengan Reog Prajurit.
(3)
ABSTRACT
Cahyadi, Andri. 2013. The Comparison of Performance Form of Reog Glogogan in Glodogan Hamlet, Sidomulyo Village, Bambanglipuro District and Reog Kridha Beksa Lumaksana in Mangiran Hamlet, Trimurti Village, Srandakan District, Bantul, DIY. Thesis Strata 1 (S-1). Indonesian Literature Study Program. Faculty of Literature. Sanata Dharma University.
Generally, reog that known is Reog Ponorogo, but actually there are many different types of Reog besides Reog Ponorogo. One of which is Puppet Reog in Bantul district, Yogyakarta. Many Reog groups belong to Puppet Reog type. Of the many groups of Reog, researcher selected two groups, namely Reog Glodogan and Reog Kridha Beksa Lumaksana as the comparison sample.
The formulations of the issues raised in this research are as follows: How is the form description of Reog Glodogan and Reog Kridha Beksa Lumaksana performance? How is the similarities and differences in performance form of Reog Glodogan and Reog Kridha Beksa Lumaksana? Thus, the objectives of this research are as follows: First, is to describe the form of Reog Glodogan dan Reog Kridha Beksa Lumaksana performance. Second, is to compare the similarities and differences of Reog Glodogan and Reog Kridha Beksa Lumaksana performance form.
In collecting data, the methods used are interview and observation. The method used for data analysis is qualitative. Data analysis is through three stages: open coding, axial coding, and selective coding. Afterwards, the data are analyzed using the comparative theory.
The conclusion of this research is that the form of Reog Glodogan and Reog Kridha Beksa Lumaksana performance has similarities and differences in each element. The differences between Reog Glodogan and Reog Kridha Beksa Lumaksana occur due to changes, wardrobe and makeup. Based on the performance form of both groups, Puppet reog can be classified into two versions. Group of Glodogan Reog: performance form tells the story of the struggles of many stories packed into one story, with the possession scene as the climax. In terms of wardrobe and makeup, merely imitate the style of Surakarta and Yogyakarta puppet arts. Musical instrument used is yet traditional Javanese musical instruments: kempul,
(4)
dhogdog, and kecrek. Floor design used is the basic design that is straight, two small circles and big circles. Properties used are swords, identity flags and red-white flag.
Group of Reog Kridha Beksa Lumaksana: performance form tells the story of Hanuman Obong (Ramayana) and Buriswara Rante (Mahabharata). There is no possession scene in the performance. The wardrobe and makeup imitate the style of Surakarta puppet arts. Floor design varies with different types, straight, two small circles, big circle, tilt, arrow-shaped, A-shaped, X-shaped, straight one variation, and two straight variations. Musical instruments are diverse from traditional to modern. Traditional musical instrument consists of namely kendang, kempul, kecrek, dhogdog, japan dan angklung. As well as modern instrument, namely drums. Properties used are sword, dagger, crossbow, fire wire, bonfires, long scarf and identity flag.
Suggestion for the next researcher is expected able to analyze in terms of the dance motions. Thus it may strengthen research of Reog Puppet. In addition, the next research is expected to review the comparison between Reog Puppet and Reog Soldier.
(5)
PERBANDINGAN BENTUK PENYAJIAN REOG GLODOGAN
DUSUN GLODOGAN, DESA SIDOMULYO, KECAMATAN BAMBANGLIPURO DAN REOG KRIDHA BEKSA LUMAKSANA DUSUN MANGIRAN
DESA TRIMURTI, KECAMATAN SRANDAKAN, KABUPATEN BANTUL
Tugas Akhir
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia
Program Studi Sastra Indonesia
Oleh Andri Cahyadi NIM: 074114022
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA
JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA Februari 2013
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
Kata Pengantar
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Berkat rahmat dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Perbandingan Bentuk Penyajian Reog Glodogan dengan Reog Kridha Beksa Lumaksana. Skripsi ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sastra di Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Dalam penulisan skripsi ini, tentunya banyak pihak yang telah memberikan bantuan baik moril maupun materil. Oleh karena itu penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih kepada :
1. Ibu Tjandrasih, M. Hum selaku pembimbing satu yang dengan tulus dan sabar memberikan bimbingan, dorongan dan dukungan sejak perencanaan penelitian sampai dengan skripsi ini selesai.
2. Bapak Herry Antono M. Hum selaku pembimbing dua yang dengan tulus dan memberikan bimbingan, dorongan dan dukungan sejak perencanaan penelitian sampai dengan skripsi ini selesai.
(11)
5. Perpustakaan Universitas Sanata Dharma yang telah meminjamkan buku-buku untuk kemudahan menyelesaikan skripsi ini
6. Bapak Warsito selaku Pemimpin dan Pembina Reog Kridha Beksa Lumaksana yang membantu memberikan informasi
7. Mas Purwanto, Mas Tri Widodo dan Bapak Jadi selaku pengurus Reog Glodogan yang membantu memberikan informasi
8. Bapak dan mamah yang mendoakan serta memberikan dorongan dalam menyelesaikan skripsi ini
9. Kartika yang telah meminjamkan buku-buku tari, serta memberikan semangat
10. Mas Otok Fitrianto dan Mbak Anik yang telah memberikan dokumentasi reog
11. Kepada semua teman-teman yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah banyak memberikan bantuan, dorongan serta motivasi sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari semua pihak demi penyempurnaan selanjutnya.
Yogyakarta, 31 Januari 2013
(12)
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ………. i
HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING ……… ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ………. iii
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA……… iv
PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS………. v
KATA PENGANTAR ……….. vi
DAFTAR ISI……….. viii
DAFTAR GAMBAR ……… xii
DAFTAR TABEL ………. xvii
DAFTAR ISTILAH……… xviii
ABSTRAK………. xxiii
ABSTRACT……… .xxv
BAB 1 PENDAHULUAN……… 1
1.1. Latar Belakang Masalah………. 1
(13)
1.7. Metode Penelitian………... 9
1.8. Sitematika Penyajian……….……. 13
BAB II DESKRIPSI REOG GLODOGAN DENGAN REOG KRIDHA BEKSA LUMAKSANA ………... 14
2.1 Cerita………. 14
2.1.1 Reog Glodogan……….. 14
2.1.2 Reog Kridha Beksa Lumaksana ………... 18
2.2 Susunan Baris ….. ………..……….. 26
2.2.1 Reog Glodogan……….. 27
2.2.2 Reog Kridha Beksa Lumaksana………. 29
2.3 Tata Busana……… 32
2.3.1 Reog Glodogan……… 33
2.3.1.1 Pembatak……… 34
2.3.1.2 Prengutil………. 36
2.3.1.3 Bambangan atau Arjuna………...…….. 36
2.3.1.4 Dewasrani ……….. 36
2.3.1.5 Sentyaki………... 37
2.3.1.6 Burisrawa………. 37
2.3.1.7 Gatotkaca……… 38
2.3.1.8 Suteja……….. 39
(14)
2.3.1.10Antareja………...39
2.3.1.11 Kera Merah……….40
2.3.1.12 Kera Hitam……….40
2.3.1.13 Kera Hijau………..40
2.3.1.14 Kera Kuning………...40
2.3.1.15 Hanoman……… ..41
2.3.1.16 Buto………41
2.3.1.17 Buto Kumbakarna………42
2.3.1.18 Pentul………....42
2.3.1.19 Bejer………...……….…..43
2.3.1.20 Genderuwo………....43
2.3.2 Reog Kridha Beksa Lumaksana………..….44
2.3.2.1 Lembatak……….. 45
2.3.2.2 Penurung……… 45
2.3.2.3 Umbul-umbul………. 46
2.3.2.4 Arjuna, Rama, dan Lesmana………. 47
2.3.2.5 Cakil……….. 47
(15)
2.3.2.11 Antareja……….. 50
2.3.2.12 Buto……… 51
2.3.2.13 Buto Rucah………. 52
2.3.2.14 Kera Hijau ……….. 52
2.3.2.15 Kera Biru ……….... 53
2.3.2.16 Kera Merah ……….... 53
2.3.2.17 Kera Rucah ……….………...…. 54
2.3.2.18 Hanoman………. 54
2.3.2.19 Buto Kumbakarna……….. 55
2.3.2.20 Sembadra……… 56
2.3.2.21 Sinta……… 56
2.3.2.22 Jatayu……….. 56
2.3.2.23 Kijang Kencana……….. 56
2.3.2.24 Sugriwa………... 56
2.3.2.25 Rahwana………. 57
2.3.2.26 Indrajit……… 57
2.3.2.27 Pentul……….. 57
2.3.2.28 Bejer……… 57
2.4 Tata Rias……….. 58
2.4.1 Tata Rias Realistis……….... 59
2.4.2 Tata Rias non Realistis ………... 62
(16)
2.3.1 Reog Glodogan………..64
2.3.2 Reog Kridha Beksa Lumaksana……….…65
2.6 Alat Musik………69
2.7 Properti……….72
BAB III PERSAMAAN DAN PERBEDAAN REOG GLODOGAN DENGAN REOG KRIDHA BEKSA LUMAKSANA………...74
3.1 Cerita ……….74
3.2 Susunan Baris …………..………...………..75
3.3 Tata Busana………..77
3.4 Tata Rias………82
3.5 Desain Lantai……….………83
3.6 Alat Musik………..84
3.7 Properti………...….85
3.8 Tabel Persamaan dan Perbedaan Reog Glodogan dengan Reog Kridha Beksa Lumaksana……….86
BAB IV PENUTUP 4.1 Kesimpulan………...92
(17)
DAFTAR GAMBAR
Gambar Hal
Gambar 1: Pertarungan Pembatak melawan Pembatak………...17
Gambar 2: Pemeran Buto yang sedang disadarkan……… .17
Gambar 3: Sembadra mencari kutu Burisrawa………... .26
Gambar 4: Pembatak berada di depan yang memakai kacamata hitam………….… 35
Gambar 5: Pembatak tidak memakai kaca mata hitam...35
Gambar 6: Bambangan………....36
Gambar 7: Arjuna……….. .36
Gambar 8: Sentyaki………...37
Gambar 9: Burisrawa……….…..38
Gambar 10: Gatotkaca………... .37
Gambar 11: Baladewa……….... .39
Gambar 12: Kera merah, hijau, hitam dan kuning………. .41
Gambar 13: Hanoman dan Buto Kumbakarna………..…. .42
Gambar 14: Bejer………43
Gambar 15: Genderuwo………..44
Gambar 16: Genderuwo………..44
Gambar 17: Lembatak………... 45
(18)
Gambar 19: Pembawa Umbul-umbul……….…... 46
Gambar 20: Arjuna ….………….………..47
Gambar 21: Cakil………48
Gambar 22: Burisrawa………49
Gambar 23: Gatotkaca………49
Gambar 24: Baladewa………51
Gambar 25: Buto………..51
Gambar 26: Buto Rucah……….52
Gambar 27: Kera Merah……….53
Gambar 28: Kera Rucah dan Buto………54
Gambar 29: Hanoman………55
Gambar 30: Kumbakarna………...55
Gambar 31: Rias Arjuna Reog Glodogan………..59
Gambar 32: Rias Arjuna Reog Kridha Beksa Lumaksana……….60
Gambar 33: Rias Pembatak Reog Glodogan……….60
Gambar 34: Rias Lembatak ReogWayang Kridha Beksa Lumaksana………...60
Gambar 35: Rias Gatotkaca Reog Glodogan ………60
(19)
Gambar 41: Rias Sentyaki Reog Kridha Beksa Lumaksana………..61
Gambar 42: Rias Burisrawa Reog Glodogan……….62
Gambar 43: Rias Burisrawa Reyog Kridha Beksa Lumakasana………62
Gambar 44: Rias Hanoman Reog Glodogan………..62
Gambar 45: Rias Hanoman Reog Kridha Beksa Lumaksana……….62
Gambar 46: Buto Kumbakarna Reog Glodogan……….63
Gambar 47: Buto Kumbakarna Reog Kridha Beksa Lumaksana………63
Gambar 48: Buto Reog Glodogan………...63
Gambar 49: Tata rias Buto Reog Kridha Beksa Lumaksana………...63
Gambar 50: Desain T terbalik atau lurus ………...65
Gambar 51: Desain lingkaran kecil……….65
Gambar 52: Desain lingkaran besar………65
Gambar 53: Desain lurus……….67
Gambar 54: Desain lingkaran besar……….67
Gambar 55: Desain lingkaran kecil……….67
Gambar 56: Desain angka delapan………..67
Gambar 57: Desain miring………..67
Gambar 58: Desain berhuruf A………...67
Gambar 59: Desain lengkung………..68
Gambar 60: Desain berbentuk panah………..68
Gambar 61: Desain variasi lurus satu….……….68
(20)
Gambar 63: Desain variasi lurus dua ………...68
Gambar 64: Desain berhuruf V……….68
Gambar 65: Desain berbentuk segitiga………69
Gambar 66: Pemusik Reog Glodogan……….…………71
Gambar 67: Sebagian Alat Musik Reog Kridha Beksa Lumakasna………..…...…..71
Gambar 68: Japan………....72
(21)
DAFTAR TABEL
Hlm Tabel 1: Alat musik Reog Glodogan dan Reog Kridha Beksa Lumaksana……. 70 Tabel 2: Persamaan Reog Glodogan dan Reog Kridha Beksa Lumaksana……. 86 Tabel 3: Perbedaan Reog Glodogan dan Reog Kridha Beksa Lumaksana…….. 88
(22)
DAFTAR ISTILAH
Angklung : Alat musik yang terbuat dari bambu. Cara memainkannya yaitu angklung digoyangkan
Bende atau kempul : Alat musik yang berbentuk bundar dengan warna keemasan. Bende mirip gong, tetapi ukurannya lebih kecil.
Cara memainkannya dipukul dengan kayu yang telah dikasih karet.
Binggel : Aksesoris gelang berwarna keemasan yang digunakan di kaki
oleh tokoh putra
Boro :Aksesoris dari kain saten yang berbentuk kotak panjang. Di-pakai di bawah perut sebelah kanan dan kiri yang diselipkan
dari pinggang
Bracotan : Berbentuk mulut kera, Buto, Jathayu dan lain sebagainya
Brengos : Kumis palsu
(23)
Dadan hitam : Tiruan dari jambang yang digunakan di dada
Dadan kera : Akseseoris yang digunakan di dada khusus tokoh kera karena
menyerupai bulu kera
Deker kaki : Aksesoris seperti gelang yang berbentuk segitiga, dipakai di pergelangan kaki
Deker tangan : Aksesoris yang berbentuk segitiga digunakan di pergelangan tangan yang terbuat dari bahan bludru
Dhogdog : Alat musik yang seperti bedug, tetapi ukurannya lebih kecil. Cara memainkannya dipukul dengan kayu yang telah dilapisi karet di bagian ujungnya
Draperi : Aksesoris yang digunakan di bawah jarik sebelah kiri
Drum :Alat musik dari Eropa. Cara memainkannya dipukul dengan stik yang terbuat dari kayu
Endong panah : Tempat menyimpan anak panah
Gimbal : Rambut gimbal yang dikenakan tokoh-tokoh Buto
Iket lembaran : Hiasan di kepala yang terbuat dari kain cinde yang berbentuk persegi panjang
(24)
Irah-irahan gelung keling: Mahkota yang dipakai di kepala khusus tokoh putri
Irah-irahan tropong : Mahkota khusus raja
Jamang : Hiasan kepala yang berbentuk pipih memanjang.
Janaka : salah satu nama Arjuna
Kace : Berbentuk setengah lingkaran dipakai di leher yang terbuat
dari bahan bludru
Kalung susun : Aksesoris yang dipakai di bagian leher, berbentuk bulan sabit,
dipakai oleh Sembadra
Kamus timang : Ikat pinggang khusus putra
Kaweng :Aksesoris yang digunakan menyilang di badan, terbuat dari
bahan kain cinde
Kenyungan :Mahkota yang digunakan khusus tokoh Kera Rucah
Kendang :.Alat musik tabuh meyerupai bedug, tetapi ukurannya lebih kecil dan kedua sisinya dapat dimainkannya
(25)
Kecrek : Alat musik tradisional bagian dari Gamelan yang
menghasilkan bunyi “crek-crek”. Terbuat dari lempengan besi yang berbentuk segi empat
Klat bahu : Aksesoris yang digunakan di lengan
Klinting :Berbentuk bulat yang terbuat dari tembaga yang berbunyi “klinting”. Dipakai di kaki kiri dan kanan. Klinting hampir mirip dengan lonceng yang berbentuk bulat.
Kotang Antrakusuma: Rompi khusus yang dipakai oleh Antareja dan Gatotkaca
Mekak : Perlengkapan busana khusus putri yang menutupi bagian
dada
Oren : Rambut panjang
Probo : Aksesoris yang dipakai di punggung khusus raja. Bentuk probo menyerupai sayap yang sedang menutup
Rampek : Terbuat dari bahan kain yang khusus dipakai di bagian celana
oleh tokoh Buto
(26)
Segitiga hitam : Berbentuk segitiga yang berbentuk hitam, dipakai menutupi badan khusus tokoh Buto dan kera rucah Reog Kridha Beksa
Lumaksana
Serbe :Aksesoris yang dipakai menyilang pada bagian badan. Digunakan oleh tokoh putri seperti Sembadra dan Sinta
Slepe :Ikat pinggang khusus putri
Stagen cinde : Kain bermotif cinde yang digunakan mengencangkan perut sebelum memakai kamus timang
Sumping : Aksesoris yang dikenakan di bagian telinga
Songkok :Mahkota yang dipakai di bagian kepala oleh Pembatak atau Lembatak dan Penurung atau Prenggutil
Uncal :Aksesoris khusus putra yang letaknya menutup bagian
kemaluan. Pada zaman dahulu uncal adalah sebagai senjata yang berfungsi sebagai perisai.
(27)
ABSTRAK
Cahyadi, Andri. 2013. Perbandingan Bentuk Penyajian Reog Glodogan Dusun Glodogan, Desa Sidomulyo, Kecamatan Bambanglipuro dan Reog Kridha Beksa Lumaksana Dusun Mangiran, Desa Trimurti, Kecamatan Srandakan, Kabupaten Bantul, DIY. Skripsi Strata 1 (S-1). Program Studi Sastra Indonesia. Fakultas Sastra. Universitas Sanata Dharma.
Umumnya, reog yang diketahui adalah Reog Ponorogo, padahal terdapat berbagai macam jenis reog selain Reog Ponorogo, salah satunya adalah Reog Wayang di Kab Bantul, DIY. Banyak kelompok reog yang tergolong dalam jenis Reog Wayang. Dari sekian banyak kelompok reog, peneliti memilih dua kelompok, yakni Reog Glodogan dan Reog Kridha Beksa Lumaksana sebagai sampel perbandingan.
Rumusan masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Bagaimana deskripsi bentuk penyajian Reog Glodogan dan Reog Kridha Beksa Lumaksana? Bagaimana persamaan dan perbedaan bentuk penyajian Reog Glodogan dan Reog Kridha Beksa Lumaksana? Dengan demikian, tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: Pertama, mendeskripsikan bentuk penyajian Reog Glodogan dan Reog Kridha Beksa Lumaksana. Kedua, membandingkan persamaan dan perbedaan bentuk penyajian Reog Glodogan dan Reog Kridha Beksa Lumaksana.
Dalam mengumpulkan data metode yang digunakan adalah metode wawancara dan observasi. Metode yang digunakan dalam analisis data adalah metode kualitatif. Analisis data melalui tiga tahap: open coding, axial coding dan selective coding.. Setelah itu, data-data tersebut dianalisis menggunakan teori komparatif.
Kesimpulan dalam penelitian ini adalah bentuk penyajian kelompok Reog Glodogan dan Reog Kridha Beksa Lumaksana memiliki persamaan dan perbedaan dalam setiap unsur bentuk penyajian. Perbedaan Reog Glodogan dan Reog Kridha Beksa Lumaksana terjadi karena perubahan dan pakem tata busana dan tata rias. Oleh karena itu, berdasarkan bentuk penyajian kedua kelompok reog tersebut, Reog Wayang dapat diklasifikasikan menjadi dua versi. Kelompok Reog Glodogan: bentuk penyajiannya bercerita tentang pertarungan-pertarungan dari berbagai cerita yang dikemas menjadi satu cerita, dengan adegan kesurupan sebagai klimaksnya. Dari segi tata busana dan rias sekedar meniru dari kesenian wayang orang gaya Surakarta dan Yogyakarta. Alat musik yang dipakai masih alat musik tradisional Jawa: kempul, dhogdog, dan kecrek. Desain lantai menggunakan desain dasar yaitu lurus, dua lingkaran kecil dan lingkaran besar. Properti yang dipakai berupa pedang, bendera identitas dan bendera merah putih
(28)
Kelompok Reog Kridha Beksa Lumaksana: bentuk penyajiannya bercerita tentang Hanoman Obong (Ramayana) dan Burisrawa Rante (Mahabarata). Tidak terdapat adegan kesurupan dalam penyajiannya. Dari segi tata busana dan rias meniru sesuai kesenian wayang orang gaya Surakarta. Desain lantai bervariasi dengan bermacam-macam jenis: lurus, dua lingkaran kecil, lingkaran besar, miring, berbentuk panah, berbentuk huruf A, berbentuk huruf X, variasi lurus satu, dan variasi lurus dua. Alat musik beraneka ragam dari tradisional dan modern. Alat musik tradisional, Terdiri dari yaitu kendang, kempul, kecrek, dhogdog, japan dan angklung. Serta alat musik modern, yaitu drum. Properti yang dipakai berupa pedang, keris, panah, kawat api, api unggun, selendang panjang, dan bendera identitas Saran untuk peneliti selanjutnya diharapkan dapat menganalisis dari segi gerak. Dengan begitu dapat menguatkan penelitian Reog Wayang. Selain itu, penelitian selanjutnya diharapkan membahas perbandingan jenis Reog Wayang dengan Reog Prajurit.
(29)
ABSTRACT
Cahyadi, Andri. 2013. The Comparison of Performance Form of Reog Glogogan in Glodogan Hamlet, Sidomulyo Village, Bambanglipuro District and Reog Kridha Beksa Lumaksana in Mangiran Hamlet, Trimurti Village, Srandakan District, Bantul, DIY. Thesis Strata 1 (S-1). Indonesian Literature Study Program. Faculty of Literature. Sanata Dharma University.
Generally, reog that known is Reog Ponorogo, but actually there are many different types of Reog besides Reog Ponorogo. One of which is Puppet Reog in Bantul district, Yogyakarta. Many Reog groups belong to Puppet Reog type. Of the many groups of Reog, researcher selected two groups, namely Reog Glodogan and Reog Kridha Beksa Lumaksana as the comparison sample.
The formulations of the issues raised in this research are as follows: How is the form description of Reog Glodogan and Reog Kridha Beksa Lumaksana performance? How is the similarities and differences in performance form of Reog Glodogan and Reog Kridha Beksa Lumaksana? Thus, the objectives of this research are as follows: First, is to describe the form of Reog Glodogan dan Reog Kridha Beksa Lumaksana performance. Second, is to compare the similarities and differences of Reog Glodogan and Reog Kridha Beksa Lumaksana performance form.
In collecting data, the methods used are interview and observation. The method used for data analysis is qualitative. Data analysis is through three stages: open coding, axial coding, and selective coding. Afterwards, the data are analyzed using the comparative theory.
The conclusion of this research is that the form of Reog Glodogan and Reog Kridha Beksa Lumaksana performance has similarities and differences in each element. The differences between Reog Glodogan and Reog Kridha Beksa Lumaksana occur due to changes, wardrobe and makeup. Based on the performance form of both groups, Puppet reog can be classified into two versions. Group of Glodogan Reog: performance form tells the story of the struggles of many stories packed into one story, with the possession scene as the climax. In terms of wardrobe and makeup, merely imitate the style of Surakarta and Yogyakarta puppet arts. Musical instrument used is yet traditional Javanese musical instruments: kempul,
(30)
dhogdog, and kecrek. Floor design used is the basic design that is straight, two small circles and big circles. Properties used are swords, identity flags and red-white flag.
Group of Reog Kridha Beksa Lumaksana: performance form tells the story of Hanuman Obong (Ramayana) and Buriswara Rante (Mahabharata). There is no possession scene in the performance. The wardrobe and makeup imitate the style of Surakarta puppet arts. Floor design varies with different types, straight, two small circles, big circle, tilt, arrow-shaped, A-shaped, X-shaped, straight one variation, and two straight variations. Musical instruments are diverse from traditional to modern. Traditional musical instrument consists of namely kendang, kempul, kecrek, dhogdog, japan dan angklung. As well as modern instrument, namely drums. Properties used are sword, dagger, crossbow, fire wire, bonfires, long scarf and identity flag.
Suggestion for the next researcher is expected able to analyze in terms of the dance motions. Thus it may strengthen research of Reog Puppet. In addition, the next research is expected to review the comparison between Reog Puppet and Reog Soldier.
(31)
BAB I
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Seni tari merupakan ekspresi jiwa manusia yang diungkapkan dengan gerak-gerak ritmis yang indah (Soedarsono, 1987:3). Seni tari mempunyai peran penting dalam kehidupan masyarakat. Melalui tari masyarakat dapat mengeksperikan jiwanya. Selain itu, tari dapat berkomunikasi dengan penghayat dan penikmatnya melalui media gerak.
Tari-tarian di Indonesia dapat dibagi menjadi tiga jenis, yaitu tari rakyat, tari klasik dan tari kreasi baru.
Tari rakyat adalah tari yang lahir serta berkembang di kalangan rakyat. Bentuk peyajiannya sederhana dan terkadang meniru dari tari lainnya Tari klasik adalah tari yang berasal dan berkembang di dalam istana. Bentuk penyajiannya mencapai kristalisasi keindahan yang tinggi. Selain itu, tari klasik mempunyai ciri-ciri yaitu terdapat standarisasi dalam penyajiannya. Tari kreasi adalah bentuk garapan baru dari bentuk-bentuk tari tradisi yang berkembang di masyarakat. Bentuk tarian ini bermunculan sebagai ungkapan rasa kebebasan setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945 (Soedarsono, 1972:78).
Dalam penelitian ini, penulis memfokuskan pada salah satu tari rakyat yang berasal dari DIY (Daerah Istimewa Yogyakarta). DIY mempunyai empat jenis tari rakyat, yaitu jathilan dan reog, tayuban, slawatan, dan drama tari rakyat (Soedarsono, 1976:10). Dari empat jenis tari-tarian rakyat yang ada di Yogyakarta, penulis akan membahas reog atau jathilan dan reog.
(32)
Jathilan dan reog digolongkan menjadi satu jenis tari karena reog bermula dari jathilan. Kemunculan reog di DIY berkaitan dengan perkembangan jathilan. Dalam perkembangannya jathilan, menambahkan karakter tokoh Barongan atau Genderuwo, Pentul, Tembem (Bejer) dan Dhadak Merak.
jathilan dalam perkembangan yang lebih lanjut lagi ialah hadirnya tokoh tokoh yang unik sekali yang berwujud binatang mitologi yang disebut reog. Reog ini ditarikan oleh seorang laki-laki yang menggunakan selubung berbentuk kepala singa yang bermakhkota yang berbentuk gunungan yang di daerah Ponorogo disebut dhadhak merak (Soedarsono, 1976:12).
Selanjutnya, reog mulai dikenal sebagai bentuk tari tersendiri. Merujuk dari pendapat masyarakat Bantul yang pada umumnya membedakan antara reog dengan jathilan, maka penulis memisahkan antara jathilan dengan reog. “Pertunjukan jathilan bertema peperangan yang biasanya berdasarkan cerita Panji, dan dengan penampilan tokoh reog ini lazim disebut dengan istilah reog saja” (Soedarsono, 1976:12). Selain itu, kuda kepang yang menjadi ciri khas jathilan, serta Dhadak Merak tidak lagi dipakai dalam pertunjukan reog (1976:12).
Definisi reog, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia IV (Dendy, 2008:1116) memiliki dua makna. Makna pertama mengacu kepada ciri-ciri Reog
(33)
Makna kedua, definisi reog mengacu kepada ciri-ciri reog yang berada di Jawa Barat: "Reog berarti juga seni tradisional sebagai hiburan rakyat (masyarakat) dengan lagu-lagu segar yang diiringi calung, diselingi sindiran atau pujian dalam bentuk humor”.
Definisi reog dalam KBBI IV tidak mencakup seluruh reog yang berada di Indonesia karena hanya mengacu kepada Reog Ponorogo dan Reog Jawa Barat. Sementara masih banyak reog yang belum tercatat dalam KBBI IV, salah satunya adalah reog khas Bantul, DIY.
Di Bantul terdapat dua jenis reog, yaitu Reog Wayang dan Reog Prajurit (Warsito, wawancara pribadi, November 2011). Dari dua jenis reog tersebut, penulis akan membahas Reog Wayang. Reog Wayang dipilih sebagai bahan penelitian; pertama, saat ini Reog Wayang berkembang pesat di Bantul dibandingkan Reog Prajurit. Kedua, Reog Wayang dapat sebagai ekonomi kreatif masyarakat Bantul.
Pentingnya Reog Wayang sebagai bahan penelitian karena Reog Wayang merupakan Hak Kekayaaan Intelektual (HaKI) kesenian masyarakat Bantul, DIY. Hak Kekayaan Intelektual (HaKI) merupakan kekayaan tidak berwujud (intangible) hasil olah pikir atau kreativitas manusia yang menghasilkan suatu ciptaan atau invensi di bidang seni, sastra, ilmu pengetahuan dan teknologi yang mempunyai manfaat ekonomi (Eddy Damian,2004:2). Oleh karena itu, penelitian ini untuk mengenalkan sekaligus menyatakan bahwa reog tidak hanya Reog Ponorogo.
(34)
Reog Wayang merupakan tari rakyat yang bentuk penyajiannya hasil tiruan dari beberapa tari yang telah ada sebelumnya, yaitu jathilan, wireng pethilan, dan wayang orang. Tokoh Pembatak, Genderuwo, alat musik serta kesurupan merupakan unsur jathilan yang dipakai jathilan pada saat itu. Tata busana, tata rias, dan gerak meniru wayang orang. Susunan baris yang menggolongkan barisan hitam dan putih meniru dari wireng pethilan.
Reog Wayang adalah tari berkelompok atau berpasangan yang bercerita tentang pertarungan tokoh-tokoh ksatria dari cerita Ramayana dan Mahabarata. Bentuk penyajian Reog Wayang tergolong sederhana dan fleksibel. Kesederhanaan itu tampak pada tata busana, tata rias, dan gerak tari, alat musik dan cerita. Unsur tata busana, tata rias, dan gerak tari meniru wayang orang gaya Surakarta atau pun Yogyakarta, tetapi dalam kenyataannya unsur tersebut tidak persis sama dengan wayang orang gaya Surakarta atau pun Yogyakarta. Cerita yang digunakan adalah sekumpulan fragmen pertarungan yang diambil dari berbagai episode Ramayana dan Mahabarata. Alat musik yang digunakan Reog Wayang hanya sebagian dari alat musik gamelan yakni kendang, japan, kempul, dan kecrek. Dalam perkembangannya, Reog Wayang saat ini menambahkan alat musik modern, yaitu drum. Sementara itu, Kefleksibelan yang dimaksud adalah
(35)
Menurut fungsinya, Reog Wayang termasuk tari rakyat yang berfungsi sebagai hiburan. Reog Wayang digelar apabila ada yang memesan atau nanggap. Umumnya, digelar dalam acara bersih desa, sunatan, hari kemerdekaan, syukuran, lebaran, dan ulang tahun.
Pesatnya perkembangan Reog Wayang di Bantul, memunculkan banyak kelompok reog. Berdasarkan penelitian penulis terdapat lebih dari delapan kelompok reog yang tergolong dalam jenis Reog Wayang. Di antaranya adalah kelompok Reog Glodogan, Reog Mudo Prakoso, Reog Kridha Beksa Lumaksana, Reog Gagak Rimang, Reog Bhineka Muda, Reog Sanden, Reog Kridha Bhakti Lumampah, dan Reog Sekar Budaya.Tiap-tiap kelompok reog tersebut memiliki bentuk penyajian yang berbeda.
Untuk dapat mengetahui persamaan dan perbedaan bentuk penyajian Reog Wayang berdasarkan kelompok reog, maka penulis akan menggunakan penelitian komparatif. Penulis memilih dua kelompok reog yang telah dipaparkan di paragraf sebelumnya, yaitu Reog Glodogan dan Reog Kridha Beksa Lumaksana sebagai bahan penelitian perbandingan atau komparatif.
Terdapat tiga alasan, penulis memilih kedua kelompok reog tersebut. Pertama, memiliki karakterisitik yang berbeda dalam bentuk penyajian. Kedua, dari segi jarak wilayah tidak berdekatan, sekitar 20 KM. Reog Glodogan berada di Dusun Glodogan, sedangkan Reog Kridha Beksa Lumaksana yang berada di Dusun Mangiran. Ketiga, Reog Kridha Beksa Lumaksana adalah salah satu reog yang terkenal di Bantul, sedangkan Reog Glodogan tidak begitu terkenal.
(36)
Penelitian ini akan membahas cerita, susunan baris, tata busana, tata rias, desain lantai, alat musik dan properti pada Reog Glodogan dan Reog Kridha Beksa Lumaksana. Sementara itu, gerakan tari tidak dibicarakan di sini karena gerakan tari dapat dibicarakan secara sendiri.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Bagaimana deskripsi bentuk penyajian Reog Glodogan dan Reog Kridha Beksa Lumaksana?
1.2.2 Bagaimana persamaan dan perbedaan bentuk penyajian Reog Glodogan dan Reog Kridha Beksa Lumaksana?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Mendeskripsikan Reog Glodogan dan Reog Kridha Beksa Lumaksana 1.3.2 Menjelaskan persamaan dan perbedaan bentuk penyajian Reog
Glodogan dan Reog Kridha Beksa Lumaksana
1.4 Manfaat Peneliltian
(37)
masyarakat Bantul yakni Reog Wayang. Selain itu, penelitian ini mendukung promosi dalam peningkatan pariwisata di Kabupaten Bantul, DIY.
1.5 Tinjauan Pustaka
Sejauh penelusuran peneliti dari pustaka cetak sampai dengan pustaka digital belum ada yang membahas perbandingan bentuk penyajian dari satu jenis Reog Wayang, yakni kelompok Reog Glodogan dengan Reog Kridha Beksa Lumaksana. Karya tulis atau skripsi memang ada yang membahas Reog Kridha Beksa Lumaksana, yaitu Fitrianto Otok dari Prodi Pendidikan Seni Tari UNY. Skripsi tersebut berjudul Perkembangan Bentuk Penyajian Reyog Wayang Kridha Beksa Lumaksana di Dusun Mangiran, Desa Trimurti, Kecamatan Srandakan, Kabupaten Bantul.
Dalam skripsi Fitrianto Otok membahas perkembangan bentuk penyajian Reog Kridha Beksa Lumaksana. Perkembangan cerita, susunan baris, ragam gerak, tata busana, desain lantai, tata rias dan properti. Pembahasan perkembangan tersebut masih terdapat kekurangan. Misalnya, tidak dijelaskan cerita yang digunakan oleh Reog Kridha Beksa Lumaksana adalah Burisrawa Rante, Hanoman obong.
Fokus penelitian skripsi Fitrianto Otok berbeda dengan penelitian ini. Dalam penelitian ini lebih memfokuskan perbandingan bentuk penyajian kelompok Reog Glodogan dan Reog Kridha Beksa Lumaksana, sedangkan
(38)
Skripsi Fitrianto membahas perkembangan bentuk penyajian Reog Kridha Beksa Lumaksana.
1.6 Kerangka Teori
Komparatif adalah membandingkan dua kebudayaan atau lebih dengan diidentifikasi persamaan dan perbedaannya secara mendalam. Menurut Gopala (via Koentjaraningrat, 1990:3), dalam ilmu antropologi sedikitnya ada empat macam penelitian komparatif, yaitu:
(1) Penelitian komparatif dengan tujuan menyusun sejarah kebudayaan manusia secara inferensial, (2) penelitian komparatif untuk menggambarkan suatu proses perubahan kebudayaan, (3) penelitian komparatif untuk taxonomi kebudayaan, dan (4) penelitian komparatif untuk menguji korelasi-korelasi antar unsur, antar pranata, dan antar gejala kebudayaan, guna membuat generalisasi-generalisasi mengenai tingkah-laku manusia pada umumnya.
Penelitian komparatif menyusun sejarah secara inferensial yaitu membahas evolusi kebudayaan manusia atau mengenai sejarah difusi unsur-unsur kebudayaan di berbagai daerah di muka bumi (Koentjaranirat, 1990:3). Penelitian komparatif untuk menggambarkan suatu proses perubahan kebudayaan melalui metode
(39)
etnik yang sama, tetapi komuniti yang satu tertutup dan satunya terbuka bumi (Koentjaranirat, 1990:4).
Komparatif taksonomi atau klasifikasi kebudayaan adalah penelitian yang mengklasifikasikan aneka ragam kebudayaan berdasarkan penggolongan dari jenis kebudayaan tertentu (Koentjaranirat, 1990:13). Komparatif taksonomi menurut F. Eggan yaitu tentang taksonomi kebudayaan di daerah yang persebarannya terbatas (via Koentjaraningrat, 1990:11). Konsep itu disebut dengan istilah daerah kebudayaan atau culture area. Berbeda dengan penelitian komparatif Tylor yaitu penelitian untuk menguji korelasi dengan tujuan menguji korelasi-korelasi dan memantapkan generalisasi mengenai kaitan unsur-unsur tersebut.
1.7Metode Penelitian
1.7.1 Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan metode observasi dan metode wawancara. Metode observasi atau pengamatan adalah suatu penelitian secara sistematis yang menggunakan indera manusia (Endraswara, 2006:133). Observasi dapat digolongkan menjadi pengamatan berperan serta dan pengamatan tidak berperan serta (2006:136). Pengamatan berperan serta, berarti pengamat (pengamat) budaya ikut terlibat baik pasif maupun aktif ke dalam tindakan budaya, sedangkan pengamatan tidak berperan serta peneliti berada di luar aktifitas budaya.
(40)
Dalam hal ini, peneliti menggunakan pengamatan berperan serta ikut membaur ke dalam masyarakat kebudayaan. Menonton pada saat diselenggarakan Reog Glodogan maupun Reog Kridha Beksa Lumaksana, tetapi peneliti tidak ikut menjadi penari Reog karena membutuhkan latihan yang tidak sebentar. Selain itu, penari dikhususkan masyarakat pedukuhan Glodogan atau Mangiran.
Metode wawancara adalah metode yang dipakai dalam suatu penelitian yang bertujuan menggali keterangan atau data yang dibutuhkan dari informan (Endraswara, 2006:155). Metode ini merupakan suatu pembantu utama dari metode observasi. Dalam mengumpulkan data dari informan, peneliti akan membentuk dua macam pertanyaan, yaitu subtansif dan teoritik (2006:152). Pertanyaan subtansif merupakan pertanyaan yang berupa persoalan khas yang terkait dengan aktifitas budaya Reog Glodogan dan Reog Kridha Beksa Lumaksana, sedangkan pertanyaan teoritis berkaitan dengan makna dan fungsi kedua reog tersebut.
Untuk mendapatkan hasil data maksimal memerlukan teknik yang mendukung kedua metode tersebut. Teknik yang digunakan adalah teknik pencatatan yang berupa pencatatan berdasarkan ingatan peneliti, pencatatan secara tertulis, alat perekam audio, alat perekam visual (foto), alat perekam audio
(41)
1.7.2 Metode dan Teknik Analisis Data
Analisis data penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Metode penelitian kualitatif adalah penelitian yang berupa deskripsi mendalam mengenai Reog Glodogan dan Reog Kridha Beksa Lumaksana. Analisis bersifat terbuka, open endeed, dan induktif yang artinya analisis bersifat longgar, tidak kaku, dan tidak statis (Endraswara, 2010:174). Analisis data induktif bertujuan untuk memperjelas informasi yang masuk mengenai Reog Glodogan dan Reog Kridha Beksa Lumaksana melalui proses unitisasi dan katagorisasi. Unitisasi adalah data mentah diolah secara sistematis menjadi unit-unit, sedangkan katagorisasi adalah upaya untuk membuat identifikasi atau memilah-milih sejumlah unit supaya akurat dan jelas.
Dalam menganalisis data-data tersebut melalui tiga tahap. Tahap pertama adalah tahap open coding yaitu peneliti berusaha memperoleh data sebanyak-banyaknya variasi data yang terkait dengan topik peneltian (Endraswara, 2010:175). Peneliti memperoleh data-data yang terkait dengan Reog Glodogan dan Reog Kridha Beksa Lumaksan. Setelah itu, dilakukan proses memerinci data yang masuk dari observasi dan wawancara di Pedukuhan Glodogan, memeriksa data-data tersebut, membandingkan antara data yang satu dengan data yang lain, mengkonseptualisasikan data, dan mengkatagorikan sesuai isi data.
Tahap kedua adalah tahap axial coding yaitu hasil yang diperoleh dari open coding diorganisir kembali berdasarkan katagori, serta dikembangkan ke arah proposisi (Endraswara, 2010:175). Pada tahap ini dilakukan analisis hubungan
(42)
antar katagori atau unsur bentuk penyajian dari kedua reog. Data mengenai Reog Glodogan dan Reog Kridha Beksa Lumaksana diorganisir berdasarkan katagori, kemudian dianalisis hubungan antar katagori tersebut.
Tahap ketiga adalah tahap selective coding penulis tinggal mengklasifikasikan katagori inti beserta kaitannya dengan katagori lainnya (Endraswara, 2010:176). Katagori inti ditemukan melalui perbandingan hubungan katagori dengan menggunakan model paradigma. Tahapan ini akan memudahkan peneliti untuk memberi makna pada setiap katagori. Pada tahap ini peneliti mengklasifikasikan unsur bentuk penyajian Reog Glodogan dengan Reog Kridha Beksa Lumaksana. Selanjutnya dibandingkan tiap katagori, supaya mendapat persamaan dan perbedaan yang dimiliki kedua reog.
1.7.3 Metode Penyajian Hasil Analisis Data
Penyajian data hasil analisis data menggunakan metode deskripsi. Deskripsi adalah tulisan yang tujuannya memberikan perincian atau detail tentang objek yang diteliti (Semi, 2003:41) dan pemaparan dengan kata-kata secara jelas (Sugono, 2008:347). Hasil penelitian ini akan dipaparkan dengan
(43)
1.8 Sistematika Penyajian
Skripsi ini dibagi menjadi empat bab. Bab pertama berisi pendahuluan yang berfungsi sebagai pengantar. Bab satu akan dibagi menjadi delapan subbab yang berisi: latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian dan sistematika penyajian.
Bab dua membahas deskripsi bentuk penyajian Reog Glodogan dan Reog Kridha Beksa Lumaksana. Bab ini dibagi menjadi tujuh subbab yang berisi: cerita, susunan baris, tata busana, tata rias, desain lantai, alat musik, dan properti.
Bab tiga membahas persamaan dan perbedaan bentuk penyajian Reog Glodogan dengan Reog Kridha Beksa Lumaksana. Bab ini dibagi menjadi delapan subbab yang berisi: cerita, susunan baris, tata busana, tata rias, desain lantai, alat musik, properti, dan tabel persamaan dan perbedaan bentuk penyajian Reog Glodogan dengan Reog Kridha Beksa Lumaksana.
Bab empat berfungsi sebagai penutup skripsi. Bab ini terdiri dua subbab yang berisi kesimpulan dan saran dari peneliti.
(44)
BAB II
DESKRIPSI BENTUK PENYAJIAN REOG GLODOGAN
DAN REOG KRIDHA BEKSA LUMAKSANA
2.1 Cerita
Penyajian atau pertunjukan Reog Glodogan maupun Reog Kridha Beksa Lumaksana berdasarkan dari cerita Ramayana dan Mahabarata. Cerita yang diangkat oleh Reog Glodogan adalah pethilan atau fragmen sekumpulan pertarungan antar tokoh ksatria yang diambil dari berbagai cerita. Cerita yang diangkat oleh Reog Kridha Beksa Lumaksana adalah Hanoman Obong (Ramayana) dan Burisrawa Rante (Mahabarata).
2.1.1 Reog Glodogan
Dalam cerita Reog Glodogan terdapat pertarungan yang tidak sesuai dengan versi asli cerita. Pertarungan tersebut adalah pertarungan Burisrawa melawan para kera. Apabila merujuk pada cerita asli, Burisrawa tidak ikut andil dalam pertarungan tersebut karena berbeda cerita. Burisrawa adalah karakter tokoh dari cerita
(45)
2.1.1.1 Sinopsis Reog Glodogan
Secara perlahan Pentul dan Bejer memasuki arena panggung sambil menari, diikuti penari lainnya di belakang. Mereka membentuk dua baris. Satu baris beranggotakan ksatria-ksatria jahat dan satu baris lagi beranggotakan ksatria baik. Para ksatria menari bersama-sama sebagai tari pembuka.
Selesai dengan tarian pembuka, tokoh ksatria mulai bertarung satu persatu. Pertarungan pertama dimulai dari masing-masing pemimpin barisan ksatria, yaitu Pembatak melawan Pembatak. Sementara para ksatria bertarung, Pentul dan Bejer menyemangati ksatria yang dipilihnya. Pertarungan mereka berakhir dengan seimbang.
Pertarungan kedua, Arjuna melawan Dewasrani. Pertarungan tersebut diambil dari cerita Mahabarata. Pertarungan yang bermula karena Dewasrani merebut istri Arjuna, yakni Dresenala. Tidak terima Arjuna pun datang ke istana Dewasrani untuk mengambil kembali Dresenala, maka terjadilah pertarungan yang berakhir pada kekalahan Arjuna.
Pertarungan ketiga, Gatotkaca melawan Suteja. Pertarungan tersebut adalah pertarungan yang memperebutkan wilayah kekuasaan, diambil dari cerita Mahabarata. Suteja tidak terima sebagian wilayah kekuasaannya diambil oleh Gatotkaca yang sebenarnya menjadi hak Gatotkaca. Dibutakan kekuasaan, Suteja pun mengajak Gatotkaca bertarung. Akhirnya pertarungan dimenangkan oleh Gatotkaca.
(46)
Pertarungan keempat, Antareja melawan Baladewa. Pertarungan tersebut adalah pertarungan yang sebenarnya belum terjadi, yang diambil dari cerita Mahabarata. Pertarungan tersebut tertulis di kitab Jitabsara yang berisi tentang skenario Perang Bharatayuda. Dalam kitab tersebut Antareja berada di pihak Pandawa bertarung melawan Baladewa yang dipihak Kurawa. Pertarungan tersebut mengakibatkan kematian Baladewa, tetapi tidak terjadi karena Antareja telah mati menjelang perang. Kematian Antereja dijebak oleh Sri Krisna yang tidak ingin Antareja membunuh kakaknya yaitu Baladewa.
Pertarungan kelima, Sentyaki melawan Burisrawa. Pertarungan tersebut diambil dari cerita Mahabarata. Sentyaki bersekutu dengan Pandawa, sedangkan Burisrawa bersekutu dengan Kurawa dalam Perang Bharatayudha. Hasil pertarungan Dimenangkan oleh Sentyaki.
Pertarungan terakhir adalah Buto melawan kethe atau kera. Pertarungan tersebut diambil dari cerita Ramayana yang berkisah tentang peperangan Rama dan kera melawan Buto. Dalam pertarungan Buto dan kera, dapat secara bersamaan dan satu persatu. Selain pertarungan Buto, terkadang Burisrawa ikut bertarung melawan kera. Hasil pertarungan tersebut tidak begitu jelas yang menjadi pemenangnya karena biasanya para pemeran Buto dan kera kesurupan, sehingga sulit untuk dikendalikan.
(47)
Gambar 1: Pertarungan Pembatak melawan Pembatak
(48)
2.1.2 Reog Kridha Beksa Lumaksana
Reog Kridha Beksa Lumaksana tidak menyajikan cerita Hanoman Obong atau Ramayana secara lengkap. Hanoman Obong adalah nama judul salah satu fragmen dalam cerita Ramayana. Judul itu dipakai karena cerita tersebut memfokuskan terhadap tokoh Hanoman, meskipun begitu dalam cerita versi Reog Kridha Beksa Lumaksana menampilkan sebagian besar cerita Ramayana. Bagian cerita yang dihilangkan adalah sayembara Sinta, Sarkapanaka menggoda Lesmana, pertarungan Subali melawan Sugriwa dan Rama, serta berbagai pertarungan antara kera dengan para petinggi Buto (raksasa) (baca Ramayana).
Penghilangan bagian cerita tersebut dilakukan karena hanya mengambil intisari cerita. Selain itu, apabila disajikan secara lengkap waktu yang dibutuhkan tidak cukup dalam satu malam (Warsito, wawancara pribadi, Februari 2012). Misalnya, sendaratari Ramayana yang dibawakan di Candi Prambanan membutuhkan waktu empat hari, bahkan pernah dalam enam hari (Soedarsono dan Tati Narawati, 2011:262).
2.1.2.1 Sinopsis Hanoman Obong
(49)
membawa obor untuk menyalakan api di sekitar panggung yang menandakan cerita akan dimulai. Selesai menyalakan Buto dan kera kembali ke belakang panggung diikuti Lembatak.
Cerita diawali ketika Rama, Lesmana, dan Sinta sedang berada di hutan. Sinta melihat kijang kencana yang sangat menarik. Berulang kali Sinta mencoba menangkapnya, tetapi selalu gagal. Dia pun meminta bantuan Rama untuk menangkapnya. Sebelum pergi mengejar kijang kencana, Rama memerintahkan Lesmana untuk menjaga Sinta.
Kijang kencana begitu lincah, sehingga Rama kesulitan untuk menangkapnya. Kelincahan kijang kencana, membuat Rama curiga, maka dia memanahnya. Seketika kijang kencana berubah ke wujud aslinya yang ternyata adalah jelmaan Cakil atau Kala Marica. Cakil menyamar diperintah oleh Rahwana untuk menjauhkan Rama dari Sinta.
Sementara di sisi lain, Sinta mengkhawatirkan keadaan Rama. Lesmana diperintahnya untuk melihat keadaan Rama. Dengan berat hati Lesmana pergi. Sebelum pergi, Lesmana membuat lingkaran dengan krisnya, supaya Sinta aman dari marabahaya. Rahwana yang sejak tadi melihat gerak-gerak Sinta dan Lesmana, merubah wujudnya menjadi seorang kakek. Rahwana berpura-pura meminta pertolongan Sinta. Ketika Sinta keluar dari lingkaran, Rahwana langsung membawanya pergi.
Rama masih bertarung melawan Cakil. Beberapa kali serangan Cakil dapat ditahannya. Pukulannya membuat Cakil tersungkur. Cakil mengeluarkan keris
(50)
andalannya. Dia mampu menghindar serangan keris, lalu membalikan keris Cakil hingga Cakil tertusuk kerisnya sendiri. Dengan sempoyangan Cakil pergi. Lesmana datang menghampiri Rama, tetapi Rama langsung marah karena Sinta ditinggal sendiri. Mereka pun langsung mencari pergi mencari Sinta
Jatayu yang sedang terbang mendengar teriakan minta tolong Sinta. Dia pun mencoba menolong Sinta. Pertarungan sengit antara Rahwana dan Jatayu tidak terelakan. Jatayu mampu mengalahkan Rahwana, tetapi berkat ajian Pancasona yaitu ketika mati jika tubuhnya menyentuh tanah, maka akan hidup kembali. Pertarungan tersebut menguras energi Jatayu. Akhirnya Jatayu dikalahkan oleh Rahwana.
Rama dan Lesmana masih mencari Sinta ke segala penjuru hutan. Di dalam perjalanan mereka menemukan seekor burung garuda sedang terluka yaitu Jatayu. Jatayu menceritakan kejadian tersebut kepada mereka, bahwa Rahwana menculik Sinta. Belum selesai bercerita Jatayu keburu menemui ajalnya. Mereka menggelar doa untuk Jatayu supaya diterima sang pencipta.
Sugriwa yang telah ditolong Rama mengalahkan kakaknya Subali bersedia membantu menyerang Rahwana. Sebelum memulai peperangan Rama mencari seorang duta. Hanoman dipilih menjadi duta ke kerajaan Alengka yang dipimpin Rahwana. Rama memberikan cincin kepada Hanoman, supaya Sinta mengerti bahwa
(51)
pasukan kera datang. Rama memisahkan pertarungan mereka, kemudian mereka pun berdamai.
Hanoman berangkat ke Istana Alengka. Di dalam perjalanan Hanoman bertemu Buto Milkataksini sang penguasa samudra. Milkataksini menghalangi perjalanan Hanoman, maka terjadilah pertarungan antara Milkataksini dengan Hanoman. Diawal pertarungan Hanoman kalah, tetapi Hanoman dapat membalikan keadaan, sehingga Milkataksini dapat dikalahkannya. Kemudian Hanoman melanjutkan perjalanannya.
Sesampainya di Alengka Hanoman mencari-cari Sinta. Setelah menemukan, dia memberikan cincin Rama kepada Sinta. Cincin itu masih muat di jari Sinta yang tandanya Sinta masih suci. Sebelum pulang Hanoman ingin memberikan pelajaran kepada para raksasa, maka dia pun mulai merusak istana Alengka. Setelah puas mengacaukan Alengka, Hanoman berpura-pura mengalah dari Indrajid, anak Rahwana.
Dalam kondisi dirantai, Hanoman dibawa oleh Indrajit ke hadapan Rahwana. Tiba-tiba Hanoman melepas rantai yang melilitnya, lalu menyerang Rahwana. Rahwana dengan cepat membalas serangan hingga Hanoman terpental. Kumbakarna langsung mencegah Rahwana yang ingin membunuh Hanoman. Sekalipun Kumbakarna mencegah, Rahwana tetap ingin membunuh Hanoman, maka Kumbakarana pun diusir oleh Rahwana dari istananya.
Selepas kepergian Kumbakarna, Rahwana memerintahkan Indrajit supaya membakar Hanoman. Sebelum api membakar tubuhnya, ia dapat melepaskan diri.
(52)
Api yang tadinya digunakan untuk membakarnya justru membakar sebagian Istana Alengka.
Peperangan antara kerajaan Alengka dengan pasukan Rama telah dimulai. Rahwana geram karena banyak pasukan yang mati serta sanak keluarganya. Dia memerintahkan Indrajit untuk membangunkan Kumbakarna untuk berperang. Indrajit berangkat menuju peristarahatan Kumbakarna. Sesampainya di sana, Indrajit mencoba membangunkannya dengan susah payah. Setelah Kumbakarna bangun, Indrajit mengajak Kumbakarna untuk menghadap Rahwana.
Rahwana menyuruh Kumbakarna bergabung dalam perang, Kumbakarna menolak karena tindakan kakaknya, yaitu Rahwana telah salah dengan bertindak menculik Sinta. Pada akhirnya, Kumbakarna terjun ke medan perang, tetapi bukan karena membela Rahwana yang telah menculik Sinta. Dia berperang untuk membela bangsa Buto atau raksasa yang dibantai di medan pertempuran.
Para kera termasuk Hanoman dan Sugriwa menyerang Kumbakarna secara bersamaan, tetapi mereka bukan tandingannya. Kemudian Kumbakarna dikeroyok para kera rucah, sedikitpun dia tidak terluka. Lesmana turun ke medan pertempuran untuk melawan Kumbakarna. Panah Lesmana dilesatkan ke arah tangan kanan, lalu tangan kiri Kumbukarna hingga, tetapi Kumbakarna masih melawan para kera. Panah
(53)
kepayahan karena tenaga mulai habis, Indrajit yang melihat Rama langsung menyerang dengan panah Kalabardani, tetapi tidak mempan. Lesmana melepaskan panahnya ke arah Indrajit, hingga tewas seketika.
Rahwana akhirnya turun ke medan pertempuran. Dia menghabisi banyak kera. Para kera tidak sanggup melawanannya, termasuk Hanoman dan Sugriwa. Lesmana pun ikut bertarung, tetapi tidak sanggup melawan Rahwana. Rama turun tangan menghadapi Rahwana. Berkali-kali Rahwana mati, tetapi seketika itu juga dia bangkit lagi karena ajian Pancasona dan Rawaranteknya. Rama pun sempat dikalahkan. Akhirnya Rama mengeluarkan panah sakti yang bernama Kiyai Dangu. Panah itu dilesatkan, tetapi tidak membunuh Rahwana, hanya melukai terus menerus, hingga Rahwana mengalami kesakitan terus menerus.
Kekalahan Rahwana disambut gembira oleh para kera termasuk Sinta. Sinta yang telah menderita berada di tangan Rahwana ingin segera kembali ke pelukan Rama, tetapi Rama meragukan bahwa Sinta masih suci. Untuk membuktikan bahwa Sinta masih suci dibuat upacara pembuktian kesucian, yaitu dengan Sinta terjun ke dalam api yang membara. Apabila Sinta terbakar berarti sudah tidak suci. Sinta pun menceburkan dirinya ke dalam api. Kobaran api tidak mampu membakar Sinta yang menandakan bahwa masih Suci. Rama pun datang menjemput Sinta dari api penyucian.
(54)
2.1.2.2 Sinopsis Burisrawa Rante
Adegan dibuka dengan Burisrawa mengejar Sembadra. Burisrawa jatuh cinta kepada Sembadra yang tak lain adalah istri Arjuna. Sembadra berkali-kali menghindar darinya lalu keluar dari panggung diikuti Burisrawa di belakangnya. Setelah Burisrawa dan Sembadra keluar, para ksatria yang lain masuk panggung membentuk dua baris untuk menari bersama-sama.
Para penari ke pinggir panggung, kecuali Lembatak, Penthul dan Bejer. Pertarungan diawali dengan pertarungan antar Lembatak masing-masing barisan. Pentul dan Bejer mendukung dan menyemangati ksatria yang dipilihnya. Pentul berpihak pada barisan kumpulan ksatria yang berwatak kurang baik, sedangkan Bejer berpihak pada barisan kumpulan ksatria yang berwatak baik. Setelah pertarungan Lembatak, giliran pethilan Janaka melawan Cakil sebagai penutup yang menandakan akan memasuki cerita Burisrawa Rante.
Cerita diawali ketika Sembadra sedang sendirian, kemudian Burisrawa mendatangi Sembadra. Burisrawa menggoda Sembadra melalui dialog yang diucapkan Pentul. Berkali-kali Sembadra menghindar, tetapi Burisrawa terus mendekatinya. Sembadra yang terus menghindar membuat Burisrawa kesal. Tanpa sengaja Burisrawa pun membunuh Sembadara.
(55)
Sembadra hidup kembali berkat air Prawitasari atau air kehidupan dari Antareja, lalu dia memisahkan pertarungan mereka. Dia menjelaskan bahwa yang membunuh adalah Burisrawa. Gatotkaca bekerja sama dengan Antareja pergi menemui Burisrawa. Antareja merubah wujudnya menjadi Sembadra. Burisrawa senang melihat Sembadra datang ke tempatnya. Sembadra mengajukan diri mencarikan kutu di rambut gimbal Burisrawa. Ketika mencari kutu, Gatotkaca memukul kepala Burisrawa hingga kesakitan. Burisrawa kaget karena pukulannya seperti lelaki, tetapi ketika dilihat ke belakang yang mencari kutu masih Sembadra. Berkali-kali kepalan tangan Gatotkaca dan Antareja dilontarkan ke kepala Burisrawa. Burisrawa menyadari bahwa sedang dikerjai. Burisrawa pun bertarung dengan Antareja dan Gatotkaca. Kera rucah dan Buto rucah masuk panggung sebagai ilustrasi yang menggambarkan rantai yang diterbangkan oleh Antareja dan Gatotkaca. Akhirnya Burisrawa pun kalah dan dirantai oleh mereka.
(56)
Gambar 3: Sembadra mencari kutu Burisrawa
2.2 Susunan Baris
Susunan baris digunakan sebagai pembuka pementasan reog, berisikan semua penari atau sebagian besar penari yang akan tampil. Susunan baris terbagi menjadi dua kelompok barisan. Barisan ksatria yang melambangkan hitam atau berwatak kurang baik dan putih atau berwatak baik. Tokoh ksatria yang melambangkan putih adalah Arjuna, Gatotkaca, Jatayu, Antareja, Hanoman, Kera Merah, Kerah Kuning,
(57)
tokoh ksatria tersebut dipasangkan sesuai lawan bertarung atau yang bertentangan dalam cerita. Contoh: Arjuna – Cakil dan Kera – Buto.
Susunan urutan baris berdasarkan kedudukan atau jabatan tokoh dalam cerita (Warsito, September 2012). Pentul dan Bejer sebagai penasihat dan pamong yang di bagian depan, tetapi dalam barisan ksatria posisi terdepan terhitung mulai dari Lembatak atau Pembatak. Lembatak di bagian depan adalah pemimpin barisan. Khusus susunan bagian paling belakang yakni Hanoman dan Kumbakarna bukan berdasarkan kedudukan, melainkan ksatria andalan dari masing-masing barisan.
2.2.1 Reog Glodogan
Reog Glodogan mempunyai dua susunan barisan. Susunan pertama adalah susunan yang terdapat tokoh Dewasrani, sedangkan susunan baris kedua tidak terdapat Dewasrani, digantikan dengan tokoh Bambangan. Bambangan merupakan simbolisasi dari tokoh ksatria berwajah tampan yang serba halus dalam segala hal, meliputi: perilaku, cara berbicara, isi ucapan, dan budi pekertinya. Tokoh-tokoh ksatria yang termasuk Bambangan di antaranya adalah Sumantri, Rama, Lesmana, Janaka (Arjuna), dan Abimanyu. Kedua susunan tersebut setiap pertunjukannya hanya digunakan salah satu dari kedua susunan baris.
Dalam susunan baris masing-masing tokoh mempunyai fungsi dalam pertunjukan. Pentul dan Bejer berfungsi sebagai pamong dan pencerita dengan cara menembang. Pembatak berfungsi sebagai pemimpin barisan yang mengatur perpindahan desain lantai dan juga ksatria yang pertama kali bertarung dalam
(58)
pertunjukan. Prenggutil berfungsi sebagai pembawa bendera merah putih dan bendera identitas Reog Glodogan. Fungsi Bambangan untuk memperindah atau sebagai penghias Reog. Arjuna sampai dengan Buto Kumbakarna berfungsi sebagai ksatria yang bertarung.
Selain tokoh-tokoh yang termuat dalam susunan baris, ada tokoh yang tidak termasuk dalam susunan barisan, yaitu Genderuwo atau Barongan. Tidak dimasukan dalam susunan baris karena Genderowo berfungsi sebagai penjaga jalannya pertunjukan dari penonton yang memasuki panggung pertunjukan.
2.2.1.1 Susunan Pertama
Barisan Putih Barisan Hitam
Pentul Bejer Pamong dan pencerita
Pembatak Pembatak Pemimpin barisan Prenggutil Prenggutil Pembawa bendera
Janaka Dewasrani
Gathotkaca Suteja
Antareja Baladewa
Sentyaki Burisrawa Berperang antar ksatria
(59)
2.2.1.2 Susunan Kedua
Barisan Putih Barisan Hitam
Pentul Bejer Pamong dan pencerita
Pembatak Pembatak Pemimpin barisan
Prenggutil Prenggutil Pembawa bendera
Bambangan Bambangan
Bambangan Bambangan Penghias
Bambangan Bambangan
Gathotkaca Suteja
Antareja Baladewa
Sentyaki Burisrawa
Kera Hitam Buto Berperang antar Ksatria
Kera Kuning Buto
Kera Hijau Buto
Kera Merah Buto
Kera putih atau Hanoman Buto Kumbakarna
2.2.2 Reog Kridha Beksa Lumaksana
Reog Kridha Beksa Lumaksana mempunyai dua susunan baris, yaitu susunan baris Hanoman Obong dan Burisrawa Rante. Dalam susunan baris Hanoman Obong karakter tokoh-tokohnya sesuai dengan cerita tersebut. Berbeda dalam susunan baris Burisrawa Rante tidak semua karakter tokoh-tokohnya terdapat di dalam cerita
(60)
Burisrawa Rante. Misalnya Buto dan kera yang merupakan bagian dari cerita Ramayana.
Tokoh ksatria yang terdapat di kedua susunan baris tidak semuanya termasuk dalam susunan baris. Dalam cerita Burisrawa Rante, tokoh Sembadra dan Sinta dalam cerita Hanoman Obong tidak termasuk menjadi bagian susunan baris-berbaris. Kedua, tokoh putri tidak termasuk karena tidak cocok dari segi gerak. Selain itu, masih ada yang belum termasuk susunan baris dalam cerita Hanoman Obong, yakni Indrajit, Kera Rucah dan Buto Rucah. Tokoh-tokoh tersebut tidak diikutsertakan karena panggung yang disediakan tidak mencukupi.
Masing-masing tokoh mempunyai fungsi dalam pertunjukan. Pentul dan Bejer berfungsi sebagai pencerita dan pengisi suara tokoh. Dalam cerita Burisrawa Rante, Lembatak berfungsi sebagai pemimpin barisan yang mengatur perpindahan desain lantai pada bagian tari pembuka. Selain itu, Lembatak adalah ksatria yang bertarung pertama. Arjuna dan Cakil sebagai ksatria yang bertarung setelah Lembatak. Penurung berfungsi sebagai pembawa bendera identitas Reog Kridha Beksa Lumaksana. Umbul-umbul sebagai pembawa bendera panjang yang berfungsi untuk menghalangi Burisrawa mengejar Sembadra. Kera Rucah dan Buto Rucah berfungsi untuk membantu merantai Burisrawa. Burisrawa berfungsi menggoda, membunuh
(61)
Susunan baris dalam cerita Hanoman obong fungsi tokoh Pentul, Bejer, Lembatak dan Penurung sama dengan cerita Burisrawa Rante. Tokoh Rama sampai dengan Buto Kumbakarna berfungsi sebagai ksatria yang bertarung sesuai dalam cerita yang telah dipaparkan di bagian sinopsis.
2.2.2.1 Cerita Hanoman Obong
Barisan Putih Barisan Hitam
Pentul Bejer Pamong dan pencerita
Lembatak Lembatak Pemimpin barisan
Penurung Penurung Pembawa bendera
Rama Cakil atau Kalamarica
Lesmana Rahwana
Jatayu Kijang Kencana
Kera merah Buto Milkataksini
Sugriwa Buto Berperang antar ksatria
Kera Biru Buto
Kera Hitam Buto
Kera Kuning Buto
(62)
2.2.2.2 Cerita Burisrawa Rante
Barisan Putih Barisan Hitam
Pentul Bejer Pamong dan pencerita
Lembatak Lembatak Pemimpin barisan
Penurung Penurung Pembawa bendera panji Umbul-umbul Umbul-umbul
Umbul-umbul Umbul-umbul Pembawa bendera Umbul-umbul Umbul-umbul
Arjuna Cakil
Sentyaki Burisrawa
Gatotkaca Suteja
Antareja Baladewa Berperang antar ksatria
Kera Hijau Buto
Kera Biru Buto
Kera Merah Buto
Kera Rucah (kecil) Buto Rucah (kecil) Kera Putih atau Hanoman Buto Kumbakarna
(63)
sebagai penutup atau pelindung tubuh. Secara estetik tata busana merupakan unsur keindahan dan keserasian bagi tubuh penari dalam menambah daya tarik.
2.3.1 Reog Glodogan
Tata busana Reog Glodogan adalah campuran antara busana wayang orang gaya Surakarta dan Yogyakarta. Campuran tata busana tersebut karena tidak berani menyamai kraton Yogyakarta. Selain itu, tergantung biaya, penari serta tempat penyewaan busana (Purwanto, wawancara pribadi, 18 Juli 2012).
Reog Glodogan belum mempunyai busana sendiri, sehingga tergantung biaya operasional dan tempat penyewaan. Biaya sangat mempengaruhi dalam berbusana, karena busana yang dikenakan terkadang menjadi sederhana. Maksud dari sederhana adalah busana tidak sesuai dengan busana reog atau tidak lengkap. Ketidaklengkapan dalam tata busana karena dua hal; biaya tidak mencukupi, dan busana yang dibutuhkan tidak tersedia di tempat penyewaan.
Tergantung penari karena penari kurang percaya diri ketika pentas. Terdapat dua faktor yang membuat penari kurang percaya diri. Pertama, peran yang dimainkan. Peran yang dimainkan berkaitan dengan fungsi dan susunan baris suatu tokoh. Tokoh Pembatak berfungsi sebagai pemimpin barisan yang berada di depan. Kendala yang dialami Reog Glodogan terletak pada pemeran tokoh Pembatak. Untuk menutupi rasa kurang percaya diri, pemeran biasanya menggunakan kaca mata hitam yang sebenarnya bukan bagian dari tata busana Pembatak (lihat gambar 4 dan 5).
(64)
Kedua, fisik penari yang berkaitan dengan tata busana. Tata busana dalam beberapa tokoh Reog seperti Arjuna, Baladewa, Sentyaki di bagian badan tidak memakai busana atau bertelanjang dada. Untuk menutupi bagian badannya, biasanya penari memakai kaos polos atau singlet (lihat gambar 3 dan 4) (Purwanto, wawancara pribadi, 18 Juli 2012).
Penggunaan kaca mata hitam, kaos atau kaos singlet pada dasarnya bukan bagian dari tata busana reog yang tidak boleh dipakai dalam pentas. Pengecualian ini dibuat sebab kondisi SDM Reog Glodogan tidak memungkinkan. Tri Widodo, penari senior reog, menjelaskan bahwa busana yang bukan bagian reog sebenarnya tidak diperbolehkan, tetapi yang diutamakan terlebih dahulu adalah warga mempunyai keinginan untuk belajar Reog (wawancara pribadi, 29 Juni 2012).
3.3.1.1 Tokoh Pembatak
Tata busana Pembatak: songkok, sumping, kace hitam, rompi hitam, kaca mata hitam (terkadang), klat bahu, sarung tangan putih, stagen, kamus timang, boro, sampur berwarna kuning atau merah (tergantung tempat penyewaan) celana cinde hitam, jarik, dan kaos kaki putih.
(65)
Gambar 4: Pembatak memakai kacamata hitam (depan)
(66)
3.3.1.2 Tokoh Prenggutil
Tata busana Prenggutil: songkok, sumping, kalung, rompi hitam, klat bahu, sarung tangan putih, stagen cinde, kamus timang, boro, sampur kuning atau merah (tergantung tempat penyewaan) celana hitam, jarik, dan kaos kaki putih.
3.3.1.3 Tokoh Bambangan atau Arjuna
Tata busana Bambangan: irah-irahan gelung, sumping, mekak (perempuan), kace hitam, kaos, endong panah (Arjuna), deker tangan, stagen, kamus timang, boro, jarik, klat bahu, sampur kuning, celana cinde, dan kaos kaki putih.
(67)
3.3.1.5 Tokoh Sentyaki
Tata busana Sentyaki: irah-irahan gelung, sumping, klat bahu, kace hitam ,kaos singlet, deker tangan, stagen, kamus timang, boro, jarik, sampur, celana cinde merah, sampur, dan kaos kaki putih.
Gambar 8: Sentyaki
2.3.1.6 Tokoh Burisrawa
Tata busana Burisrawa: irah-irahan Burisrawa, rambut gimbal, bracokan Burisrawa, baju merah, celana merah, probo terbalik, kamus timang, stagen, boro, sampur merah, kaos kaki putih, dan klinting.
(68)
Gambar 9: Burisrawa
2.3.1.7 Tokoh Gatot Kaca
Tata busana Gatotkaca: irah-irahan gelung, sumping, klat bahu, deker tangan probo,kotang antrakusuma, deker tangan, stagen, kamus timang, boro, jarik, sampur, dan kaos kaki putih.
(69)
Tata busana Suteja: irah-irahan tropong, sumping, klat bahu, kace, deker tangan, probo, stagen, kamus timang, boro, jarik, sampur, celana cinde hijau, dan kaos kaki putih.
2.3.1.9 Tokoh Baladewa
Tata busana Baladewa: irah-irahan tropong, sumping ,klat bahu, kace hitam, simbar dada, kaos singlet, deker tangan, stagen, kamus timang, boro, jarik, sampur merah, celana cinde merah, dan kaos kaki putih.
Gambar 11: Baladewa
3.3.1.10 Tokoh Antereja
Tata busana Anterja: irah-irahan gelung, sumping, klat bahu, kace hitam, deker tangan, rompi biru atau hijau, probo, kamus timang, boro, jarik, celana panjang hijau, dan kaos kaki putih.
(70)
Tata busana Kera Merah: irah-irahan Kera Merah, topeng kera merah, dadan kera, sarung tangan putih, kaos lengan panjang merah, stagen, kamus timang, boro, jarik, celana panjang merah, kaos kaki putih, dan kliting.
2.3.1.12 Tokoh Kera Hitam
Tata busana Kera Hitam: irah-irahan Kera Hitam, topeng kera hijau, dadan kera, kaos lengan panjang hitam, sarung tangan hitam, stagen, kamus, boro, jarik, celana panjang hitam, kaos kaki putih, dan kliting.
2.3.1.13 Tokoh Kera Hijau
Tata busana Kera Hijau: irah-irahan Kera Hijau, topeng kera hijau, dadan kera, deker tangan, kaos lengan panjang hijau, sarung tangan putih, stagen, kamus timang, boro, jarik, celana panjang hijau, kaos kaki putih, dan kliting.
2.3.1.14 Tokoh Kera Kuning
Tata busana Kera Kuning: irah-irahan Kera kuning, topeng kera kuning, dadan kera, deker tangan, sarung tangan putih, kaos lengan panjang kuning, stagen, kamus timang, boro, jarik, celana panjang kuning, kaos kaki putih, dan kliting.
(71)
Gambar 12: kera merah, hijau, hitam dan kuning
2.3.1.15 Tokoh Kera Putih atau Hanoman
Tata busana Hanoman: irah-irahan Hanoman, topeng Hanoman, dadan kera, deker tangan, kaos lengan panjang putih, sarung tangan putih, celana panjang putih, stagen, kamus timang, boro, jarik, kaos kaki putih, dan klinting.
2.3.1.16 Tokoh Buto
Tata busana Buto: irah-irahan kethon biasa, topeng Buto, baju merah, sarung tangan putih, celana merah, stagen cinde merah, kamus timang, boro, jarik,sampur cinde merah, kaos kaki putih, dan klinting.
(72)
Gambar 13: Hanoman dan Buto Kumbakarna
2.3.1.17 Tokoh Buto Kumbakarna
Tata busana Kumbukarna: irah-irahan tropong, topeng Buto Kumbakrna, sumping, baju merah, sarung tangan putih, probo, celana merah, stagen, kamus timang, boro, jarik, sampur, kaos kaki putih, dan klinting.
(73)
Gambar 14: Bejer
2.3.1.19 Tokoh Bejer
Tata busana Bejer: blangkon, topeng Bejer berwarna putih, baju batik atau koko putih , jarik, stagen, sampur, kamus timang, dan celana cinde.
2.3.1.20 Tokoh Genderuwo
Tata busana Genderuwo: Topeng Genderuwo, rompi karung, sarung tangan, baju dan celana bebas, dan klinting.
(74)
Gambar 15: Genderuwo 1 Gambar 16: Genderuwo 2
2.3.2 Reog Kridha Beksa Lumakasana
Tata busana yang dikenakan oleh Reog Kridha Beksa Lumaksana meniru dari wayang orang bergaya Surakarta. Terdapat tiga alasan memilih busana gaya Surakarta: pertama, kondisi saat itu, tidak berani menyamai dengan busana gaya Yogyakarta yang dipakai oleh kraton Yogyakarta. Kedua, harga busana gaya Yogyakarta lebih mahal daripada Surakarata. Ketiga, busana gaya Surakarta lebih mudah didapat dibanding gaya Yogyakarta (Warsito, Wawancara Pribadi, 1 Januari 2013).
(75)
2.3.2.1 Tokoh Lembatak
Tata busana Lembatak: songkok (kuluk), sumping, oren, baju putih, rompi bludru hitam, segitiga hitam, klat bahu, deker tangan, celana bludru hitam, kain jarik parang, boro hitam, stagen cinde,kamus timang, buntal, sampur cinde, binggel, dan keris
Gambar 17: Lembatak
2.3.3.2 Tokoh Penurung
Tata busana Penurung: songkok (kuluk), sumping, oren, baju putih, rompi saten merah, kace merah, klat bahu, deker tangan, celana merah, kain jarik parang, boro samir merah, stagen cinde, kamus timang, sampur cinde, dan binggel.
(76)
Gambar 18: Penurung
2.3.2.3 Tokoh Umbul- Umbul
Tata Busana Umbul-umbul: jamang, iket lembaran, sumping, baju merah, segitiga hitam, klat bahu, deker tangan celana hitam kain jarik parang, boro hitam, stagen cinde, kamus timang, sampur cinde, dan binggel.
(77)
2.3.2.4 Tokoh Janaka, Rama dan Lesmana
Tata busana yang dikenakan oleh Janaka, Rama dan Lesmana yaitu sama: irah-irahan gelung, irah-irahan tropong (Rama), sumping, klat bahu, endong panah, kalung, deker tangan, celana bludru hijau, jarik parang kecil, draperi kuning, boro, stagen cinde hijau, kamus timang, uncal, sampur cinde hijau, bingel, keris.
Gambar 20: Arjuna
2.3.2.5 Tokoh Cakil
Tata busana Cakil: irah-irahan Cakil, bracotan Cakil, sumping, oren, klat bahu, kace merah, deker tangan, celana cinde merah, kamus timang, uncal, sampur cinde merah, sampur cinde putih, binggel, dan keris.
(78)
Gambar 21: Cakil
2.3.2.6 Tokoh Sentyaki
Tata busana Sentyaki: irah-irahan gelung, sumping, klat bahu, dadan hitam, kace hitam, deker tangan, celana cinde merah, jarik poleng hitam, boro merah, stagen cinde merah, kamus timang, buntal, sampur cinde merah, binggel, dan keris.
2.3.2.7 Tokoh Burisrawa
Tata busana Burisrawa: irah-irahan Burisrawa, brengos, kace, kalung flasmen, klat bahu, dadan hitam, serbe, deker tangan, celana panjang cinde merah,
(79)
Gambar 22: Burisrawa
2.3.2.8 Tokoh Gatotkaca
Tata busana Gatotkaca: irah-irahan gelung, brengos, sumping, klat bahu, deker tangan, rompi/kotang antrakusuma, kalung, celana bludru hitam, jarik parang besar, boro hitam, stagen cinde merah, kamus timang, buntal, sampur cinde merah, binggel, probo,dan keris.
(80)
2.3.2.9 Tokoh Suteja
Tata busana Suteja: irah-irahan tropong, oren, sumping, klat bahu, deker tangan, dadan hitam, kaweng, kace hijau, celana cinde hijau, jarik parang gurdho, boro hijau, stagen cinde hijau, kamus timang, buntal, sampur cinde hijau, binggel, probo, dan keris
2.3.2.10 Tokoh Antareja
Tata busana Antareja: irah-irahan gelung, brengos, sumping, klat bahu, deker tangan, rompi atau kotang bludru hijau, kalung, celana bludru hijau, jarik parang besar, boro hijau, stagen cinde merah, kamus timang, buntal, sampur cinde merah, binggel, probo,dan keris.
2.3.2.11 Tokoh Baladewa
Tata busana Baladewa: irah-irahan tropong, oren, sumping, klat bahu, deker tangan, dadan hitam, kaweng, kace merah, celana cinde merah, jarik parang gurdho, boro merah, stagen cinde merah, kamus timang, buntal, sampur cinde merah, binggel, probo, dan keris
(81)
Gambar 24: Baladewa
2.3.3.12 Tokoh Buto
Tata busana Buto: irah-irahan gimbal, bracotan Buto, rambut gimbal, klat bahu, deker tangan, segitiga hitam,celana hitam saten, rampekan, boro hitam, stagen cinde merah, kamus timang, sampurcinde merah, deker kaki, dan klinting,.
(82)
2.3.2.13 Tokoh Buto Rucah
Tata busana Buto Rucah: irah-irahan Buto, bracotan Buto, klat bahu, deker tangan, baju merah, celana hitam, rampekan, boro orange, stagen orange, kamus timang, sampur cinde merah, deker kaki, klinting, dan rambut gimbal.
Gambar 26: Buto Rucah
2.3.2.14 Tokoh Kera Hijau
Tata busana Kera Hijau: irah-irahan Kera Hijau, bracotan Kera Hijau, sumping, klat bahu, deker tangan, kaos lengan panjang hijau, dadan kera, celana
(83)
2.3.2.15 Tokoh Kera Biru
Tata busana Kera Biru: irah-irahan Kera Biru, bracotan Kera Biru, sumping, klat bahu, deker tangan, kaos lengan panjang biru, dadan kera, celana biru, jarik poleng biru, boro biru, stagen cinde biru, kamus timang, uncal, sampur cinde biru, kaos kaki biru, dan klinting.
2.3.2.16 Tokoh Kera Merah
Tata busana Kera Merah: irah-irahan Kera Merah, bracotan Kera Merah, sumping, klat bahu, deker tangan, kaos lengan panjang merah, dadan kera, celana merah, jarik poleng merah, boro merah, stagen cinde merah, kamus timang, uncal, sampur cinde merah, kaos kaki merah, dan klinting.
(84)
2.3.2.17 Tokoh Kera Rucah
Tata busana Kera Rucah: irah-irahan kenyungan, bracotan Kera Rucah, sumping, klat bahu, deker tangan, kaos lengan panjang hitam, dadan kera, serbe kace, celana hitam, jarik poleng hitam, boro hitam, stagen cinde merah, kamus timang, buntal, sampur cinde merah, kaos kaki hitam, dan klinting.
Gambar 28: Kera Rucah dan Buto
2.3.2.18 Tokoh Hanoman
Tata busana Hanoman: irah-irahan Hanoman, bracotan Hanoman, sumping, klat bahu, deker tangan, kaos lengan panjang putih, dadan kera, kaweng, kace. celana cinde hitam, jarik poleng hitam, boro hitam, stagen, bulu tangan, cinde hitam, kamus
(85)
Gambar 29: Hanoman
2.3.2.19 Tokoh Kumbakarna
Tata busana Kumbakarna: irah-irahan tropong, bracotan Buto, sumping, klat bahu, deker tangan, baju merah, celana merah, rampekan, boro hitam, stagen cinde merah, kamus timang, sampur cinde merah, deker kaki, rambut gimbal, kaos kaki putih,sarung tangan putih, dan klinting.
(86)
2.3.2.20 Tokoh Sembadra
Tata busana Sembadra: irah-irahan gelung keling, sumping, klat bahu, kalung susun, rompi putri, serbe merah, jarik cokelat, sampur,dan kamus timang putri.
2.3.2.21 Tokoh Sinta
Tata busana Sinta: irah-irahan gelung keling, sumping klat bahu, kalung susun, rompi putri, serbe kuning, jarik cokelat, sampur,dan kamus timang putri.
2.3.2.22 Tokoh Jatayu
Tata busana Jatayu: irah-irahan Jatayu, bracotan Jatayu, sayap berwarna merah dan kuning, kace, uncal, kamus timang, boro samir, stagen cinde, celana hitam, kaos kaki putih, dan klinting.
2.3.1.23 Kijang Kencana
Tata busana Kijang Kencana: irah-irahan Kijang Kencana, sumping, kace keemasan, kalung, klat bahu, kalung, baju dan celana berwarna keemasan, gelang tangan, binggel, boro, kamus timang dan jarik.
2.3.2.24 Tokoh Sugriwa
(87)
2.3.2.25 Tokoh Rahwana
Tata busana Rahwana: irah-irahan tropong, rambut gimbal, sumping, brengos, klat bahu, kace merah, probo, deker tangan, kaweng, sampur cinde merah, uncal, boro merah, stagen cinde merah, jarik,buntal, kamus timang, rampek, celana cinde merah, dan keris.
2.3.2.26 Tokoh Indrajit
Tata busana Indrajit: irah-irahan gelung, sumping, brengos klat bahu, kace merah, deker tangan, sampur cinde merah, uncal, boro merah, stagen cinde merah, jarik, kamus timang, rampek, celana cinde merah, binggel dan panah.
2.3.2.28 Tokoh Pentul
Tata busana Pentul: blangkon, topeng Pentul berwarna hitam, baju koko hitam, sampur cinde merah, celana bludru hitam, jarik poleng cokelat, stagen, dan kamus timang.
2.3.2.29 Tokoh Bejer
Tata busana Bejer: blangkon, topeng Bejer berwarna putih, baju koko putih, celana bludru hitam, jarik poleng cokelat, sampur cinde merah stagen, dan kamus timang.
(1)
Reog Glodogan lebih bebas, sedangkan Reog Kridha Beksa Lumaksana sesuai
pakem.
Berdasarkan dua kelompok reog tersebut, maka Reog Wayang dapat
diklasifikasikan menjadi dua versi. Reog Wayang versi kelompok Reog Glodogan:
bentuk penyajian atau pertunjukannya adalah sekumpulan pertarungan antar ksatria
dari berbagai cerita yang dikemas menjadi satu cerita. Adegan kesurupan adalah
bagian penting sebagai puncak pertunjukan atau klimaks. Tata busana dan rias meniru
dari wayang orang, gaya Yogyakarta dan Surakarta. Memiliki tiga desain lantai yaitu
lurus, dua lingkaran kecil, dan lingkaran besar. Alat musik yang dimainkan masih
tradisional, yakni kempul, kecrek dan dhogdog. Properti yang digunakan pun masih
sebatas pedang, bendera merah putih, dan bendera identitas Reog Glodogan.
Reog Wayang versi kelompok Reog Kridha Beksa Lumaksana: bentuk
penyajian bercerita tentang Hanoman Obong (Ramayana) dan Burisrawa Rante
(Mahabarata). Tidak terdapat kesurupan pada penari Reog Kridha Beksa Lumaksana.
Tata busana dan rias meniru sesuai dengan wayang orang gaya Surakarta. Memiliki
desain lantai bervariasi dengan bermacam-macam jenis: lurus, dua lingkaran kecil,
(2)
Selain itu, properti yang dipakai beraneka ragam, yaitu keris, pedang, bendera
identitas, selendang panjang, kawat api dan api unggun.
Perbandingan ini mewakili beragam bentuk penyajian Reog Wayang di Kab
Bantul. Masih banyak beragam bentuk penyajian lainnya yang diolah oleh kelompok
reog. Dengan kata lain, tidak hanya dua versi tersebut karena masih ada kelompok
reog yang belum dibahas. Masing-masing kelompok mengkreasikan bentuk penyajian
sesuai dengan kemampuan dan keinginan mereka
4.2 Saran
Penelitian ini masih belum sempurna. Ada satu unsur bentuk penyajian yang
penulis tidak mampu menganalisis yaitu dari segi gerak. Pada dasarnya gerak yang
digunakan oleh kedua Reog merujuk pada tari klasik Yogyakarta dan Surakarta yang
digunakan oleh wayang orang (Warsito, wawancara pribadi, Oktober 2011). Untuk
peneliti selanjutnya diharapkan dapat menganalisis dari segi gerak. Dengan begitu
dapat menguatkan penelitian ini. Selain itu, penelitian selanjutnya diharapkan
membahas perbandingan jenis Reog Wayang dengan Reog Prajurit.
(3)
DAFTAR PUSTAKA
Astiyanto, Heniy. 2006. Filsafat Jawa. Yogyakarta:Warta Pustaka
Brakel-Papenhuyzen, Clara. 1991. Seni Tari Jawa. Jakarta: ILDEP-RUL
Endraswara, Suwardi. 2006. Penelitian kebudayaan; Ideologi, Epistomologi, dan
Aplilkasi. Yogyajarta: Pustaka Widyatama
Fitrianto, Otok. 2011. Perkembangan Bentuk Penyajian Reyog Wayang Kridha
Beksa Lumaksana di Dusun Mangiran, Desa Trimurti, Kecamatan
Srandakan, Kabupaten Bantul. Yogyakarta: Universitas Negeri
Yogyakarta.
Harymawan. 1988. Dramaturgi. Bandung: CV Rosda
Kaplan, David dan Manners, Robert A. 2002. Teori Budaya. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar
Koentjaraningrat. 1990. Sejarah Teori Antropologi II. Jakarta:Universitas Indonesia
Nuraini, Indah. 2011. Diktat Tata Rias dan Busana Wayang Wong Gaya Surakarta.
Yogyakarta : Institut Seni Indonesia
(4)
Soedarsono. 1976. Mengenal Tari-tarian Rakyat di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Yogyakarta: Akademi Seni Tari Indonesia.
Soedarsono dan Narawati, Tati. 2011. Drama Tari. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press
Sri Prihatini, Nanik . 2007. Joged Tari Gaya Kasunanan Surakarta. Surakarta: ISI
Press Solo.
Sudarsono. 1972. Djawa dan Bali. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Sudarsono. 1978. Diktat Pengantar Pengetahuan dan Komposisi Tari. Yogyakarta:
ASTI
Sugono, Dendy. 2009. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Keempat. Jakarta:
Gramedia Pustaka Umum
Sunny. 2010. “Antareja Takon Bapak” Stable URL:http://wayangantarejatakonbapa.
blogspot.com/. Diunduh: 05/06/2012, 20:00.
“Wisanggeni Lahir”. 2012. Stable URL: http://caritawayang.blogspot.com/2012/08/ wisanggeni-lahir.html. Diunduh: 25/08/2012, 20:00
(5)
LAMPIRAN 1
Daftar Narasumber:
1. Nama :Joko Dwiyono
Pekerjaan :Kepala Dukuh Glodogan
2. Nama : Jadi
Pekerjaan : Ketua Reog Glodogan Jabatan : Petani
3. Nama : Purwanto Pekerjaan : EO
Jabatan : Wakil Ketua Reog Glodogan 4. Nama : Agus
Pekerjaan : Guru Musik
Jabatan : Sekeretaris Reog Glodogan
5. Nama : Tri Widodo Pekerjaan : Petani
Jabatan : Penari senior Reog Glodogan
6. Nama : Juarno
Pekerjaan : Kepala Dukuh Mangiran dan
Jabatan : Penari senior Reog Kridha Beksa Lumaksana
(6)
LAMPIRAN 2
Biodata Penulis
Andri Cahyadi ,lahir di Serang, 31 Januari 1990. Lulusan
SDN 1 Anyer, Mtsn Anyer, SMA Informatika Serang dan Prodi
Sastra Indonesia Universitas Sanata Dharma.
Selama kuliah aktif berkegiatan di organisasi Mediasastra USD,
Mediasastra.com, Bengkel Sastra, BEM USD, Kepanitian Insadha 2009, dan
lain-lain. Saat ini aktif di mediasastra.com dan Perpustakaan Semesta Anyer.
Puisi-puisinya dipublikasikan dalam antologi bersama Bengkel Sastra USD yang
diterbitkan tahun 2009 dan 2011, antologi KMSI UNY yang diterbitkan tahun 2013,
antologi Flows Into the sink Into The Gutter yang diterbitkan tahun 2012, dan
mediasastra.com.