BAB 1 PENDAHULUAN Resiliensi Pada Penderita Kanker Serviks Stadium Lanjut.

(1)

1

A. Latar Belakang Masalah

Penyakit kanker adalah penyakit yang sangat berbahaya bahkan dapat mengakibatkan kematian. Sampai saat ini kanker masih menjadi momok bagi semua orang, hal ini disebabkan oleh tingginya angka kematian yang disebabkan oleh penyakit tersebut. Cara, sikap ataupun reaksi orang dalam menghadapi penyakit kanker pada dirinya, berbeda satu sama lain dan individual sifatnya. Hal ini tergantung kepada seberapa jauh kemampuan individu yang bersangkutan menyesuaikan diri terhadap situasi yang mengancam kehidupannya. Kanker dikarakteristikkan sebagai suatu proses pertumbuhan dan penyebaran yang tidak terkontrol dari sel abnormal, yang mempunyai kecenderungan menyebar pada bagian tubuh lainnya. Oleh karena itu tidak mengherankan bila kanker dianggap penyakit mematikan (Lubis, 2009)b.

Kanker adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh pertumbuhan sel-sel jaringan tubuh yang tidak normal. Sel-sel kanker akan berkembang dengan cepat, tidak terkendali, dan akan terus membelah diri, selanjutnya menyusup kejaringan disekitarnya (invasive) dan terus menyebar melalui jaringan ikat, darah, dan menyerang organ-organ penting serta saraf tulang belakang (Mangan, 2003).

Data World Health Organization (WHO) menunjukkan setiap tahun jumlah penderita kanker di dunia bertambah 6,25 juta orang. Ironisnya, dua pertiga dari penderita kanker di dunia berada di Negara-negara yang sedang


(2)

berkembang termasuk Indonesia. Setiap tahunnya, tercatat 100 penderita kanker dari setiap 100.000 penduduk. Data Depkes menunjukkan jumlah penderita kanker di Indonesia mencapai 6% dari populasi dan menempatkan penyakit tersebut secara keseluruhan sebagai pembunuh nomor enam dibanding penyakit lainnya. Berdasarkan pendataan yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Yayasan Kanker Indonesia, dan Ikatan Ahli Patologi Indonesia, 64,4% penyakit kanker diderita oleh kaum perempuan, sementara sisanya 35,6% diderita oleh kaum laki-laki (Lubis, 2009)b.

Terdapat berbagai jenis kanker yang menyerang kaum perempuan, salah satu yang paling mematikan adalah kanker serviks atau kanker leher rahim. Kanker serviks adalah kanker yang terjadi pada serviks atau leher rahim, suatu daerah pada organ reproduksi wanita yang merupakan pintu masuk kearah rahim, letaknya antara rahim (uterus) dan liang senggama atau vagina (Notodiharjo, 2002). Berawal dari leher rahim, apabila telah memasuki tahap lanjut, kanker ini bisa menyebar ke organ-organ lain di seluruh tubuh.

World Health Organization (WHO) mencatat penyakit kanker serviks menempati peringkat teratas di antara berbagai jenis kanker penyebab kematian pada perempuan di dunia (http://health.okezone.com). Setiap tahun diperkirakan terdapat 500.000 kasus kanker serviks baru di seluruh dunia, 80% diantaranya terjadi pada perempuan yang hidup di Negara sedang berkembang. Di Indonesia diperkirakan setiap tahun terdeteksi lebih dari 15.000 kasus kanker serviks. Sekitar 8.000 kasus di antaranya berakhir dengan kematian. Di Negara-negara barat puncak usia pada kanker serviks adalah 50-60 tahun, sedangkan di


(3)

Negara-negara sedang berkembang puncak usia berada pada usia 35-55 tahun. Menurut kepala bagian/ KSM Obstetri dan Ginekologi FKUI/RSCM lebih dari 60% kasus kanker serviks sudah berada pada stadium lanjut dengan angka ketahanan hidup yang sangat rendah. Diketahui bahwa pengobatan pada tahap prakanker (displasia dan karsinoma in situ) memberi kesembuhan 100%, sedangkan pada kanker serviks stadium I, II dan III angka ketahanan hidup 5 tahun masing-masing adalah 70-80%, 50-60% dan 30-40%. Kanker serviks atau kanker leher rahim disinyalir menjadi pembunuh utama wanita Indonesia. Setiap hari diperkirakan 10 wanita di Indonesia meninggal karena kanker serviks (http://www.Kompas.com). Tingginya angka kematian karena sebagian besar dari penderita kanker serviks mengetahui penyakitnya setelah berada di stadium lanjut karena pada stadium awal penderita tidak merasakan adanya keluhan ataupun gejala-gejala. Jika sudah pada stadium lanjut, maka penyakit kanker serviks akan lebih banyak menimbulkan komplikasi fisik dan kematian (Affandi, 2008).

Kanker serviks pada stadium lanjut merupakan penyakit yang seringkali tidak bisa disembuhkan dan mempunyai perjalanan penyakit yang kronik yang akhirnya mematikan sehingga dianggap penyakit yang mengerikan. Ada tiga fase reaksi emosional penderita ketika diberitahu bahwa penyakit yang dideritanya adalah kanker yang sudah lanjut. Fase pertama, penderita akan merasakan shock mental, kemudian diliputi oleh rasa takut, dan depresi. Fase kedua, muncul reaksi penolakan dan kemurungan, terkadang penderita menjadi panik, melakukan hal-hal yang tidak berarti dan sia-sia. Fase ketiga, penderita akan sadar dan menerima kenyataan bahwa jalan hidupnya telah berubah (Hawari, 2004).


(4)

Pengobatan kanker serviks stadium lanjut tidak cukup hanya dengan pengobatan secara lokal. Pengobatan untuk stadium lanjut dan sangat lanjut dapat dilakukan dengan pengangkatan seluruh rahim dan jaringan yang terkena serta dilakukan terapi paliatif dengan radioterapi atau kombinasi dengan kemoterapi (Gandasentana, dalam Yani 2007). Jika dilihat dari gejala klinik kanker serviks pada stadium lanjut seperti keputihan yang gatal dan berbau busuk, pendarahan kontak, pendarahan spontan dan nyeri yang hebat, maka penyakit ini sudah sejak lama dikaitkan dengan gangguan fungsi seksual yang merupakan ciri khas dari penyakit kanker ginekologis ini. Oleh karena itu, penyakit ini sangat ditakuti oleh kaum wanita karena perubahan fungsi seksual merupakan perubahan yang sangat berarti bagi seorang wanita dikaitkan dengan fungsi dan perannya dalam keluarga yaitu sebagai seorang istri dan ibu. Hal tersebut seperti yang dikemukakan oleh Spinetta (dalam Yani, 2007) bahwa kehilangan salah satu anggota badan karena proses penyembuhan kanker merupakan pengalaman yang traumatik dan memalukan bagi sebagian besar wanita. Sebagian dari penderita kanker memilih untuk tidak melakukan perawatan daripada menerima salah satu anggota tubuhnya diambil seperti dalam perawatan kanker serviks.

Umumnya penderita kanker akan terlihat adanya simtom-simtom depresi di setiap tahap perkembangan penyakitnya, dimulai dari saat menemukan gejala pertama sewaktu didiagnosis kanker, selama proses treatment, dan bahkan setelah menjalani pengobatan. Dari banyak studi yang dilakukan terhadap penderita kanker, ditemukan bahwa prevalensi penderita kanker yang mengalami depresi bervariasi dari 1% hingga 50%. Kesedihan dan kekhawatiran akan masa depan


(5)

merupakan respon yang kerap timbul, karena adanya suatu arti tertentu yang melekat pada penyakit kanker, yakni ketakutan akan ketidakmampuan atau kematian (Holland and Evcimen, 2009).

Menurut hasil penelitian Lubis, (2009) penderitaan mental yang dialami oleh penderita kanker serviks diantaranya adalah ketakutan, trauma, shock, stres, tertekan, kesepian, kesedihan, dan kecemasan kematian. Penyakit kanker serviks yang mengakibatkan penderita tidak bisa melakukan aktivitas sehari-hari secara normal juga menimbulkan perasaan menjadi beban bagi orang lain (becoming burden on others) dan menilai diri sendiri negatif (discrediting definition of self). Rasa cemas akibat penyakit kanker juga membuat penderita menarik diri dari pergaulan (social isolation). Ketidakmampuan yang dialami oleh penderita kanker juga akan menimbulkan perasaan bersalah (guilt) pada penderitanya.

Terdapat kasus penderita kanker serviks yang mengalami depresi, tidak bisa menyesuaikan diri, baik secara individual maupun sosial, tidak bisa menerima diri sendiri, dan bergantung pada orang lain dalam berbagai pemenuhan kebutuhan fisiologis dan psikologis. Namun, tidak semua penderita kanker merasa hopeless dan depresi. Ada juga penderita kanker yang dapat bangkit dan menerima keadaan dirinya dan dapat menjalankan kehidupannya dengan baik. Bahkan penderita kanker tidak merasa putus asa, dan optimis serta memiliki keyakinan bahwa penyakitnya hanya bersifat sementara dan dapat disembuhkan. Kondisi dan perilaku resilien pada individu ditunjukkan dengan sikap individu yang mampu untuk menyelesaikan masalahnya dengan mandiri, dan individu memiliki keyakinan akan kekuatan yang dimiliki, serta sikap optimis untuk


(6)

mencapai tujuan yang ingin dicapai. Bobey (1999) mengatakan bahwa orang-orang seperti inilah yang disebut sebagai individu yang resilien, yaitu individu yang dapat bangkit, berdiri di atas penderitaan, dan memperbaiki kekecewaan yang dihadapinya.

Suatu keadaan ketika individu dapat bertahan dan pulih dari situasi negatif secara efektif sedangkan kebanyakan individu lainnya gagal disebut dengan resiliensi. Grotberg, (dalam Rini 2007) menyatakan bahwa resiliensi adalah kapasitas individu untuk menghadapi, mengatasi, memperkuat diri, dan tetap melakukan perubahan sehubungan dengan ujian yang dialami. Setiap individu memiliki kapasitas untuk menjadi resilien. Konsep resiliensi menitikberatkan pada pembentukan kekuatan individu sehingga kesulitan dapat dihadapi dan diatasi. Ada individu yang mampu bertahan dan pulih sedangkan individu lain gagal karena tidak berhasil keluar dari situasi yang tidak menguntungkan.

Hasil diagnosa dan pengobatan dari penyakit kanker juga akan menimbulkan penderitaan lain berkaitan dengan dampak fisik, psikis, sosial, dan ekonomi penderitanya. Dalam keadaan tersebut sangat sulit bagi pasien kanker untuk dapat menerima dirinya karena keadaan dan penanganan penyakit kanker ini dapat menimbulkan stres yang terus menerus, sehingga tidak hanya mempengaruhi penyesuaian fisik tetapi juga penyesuaian psikologi individu (Lehmann, dkk dalam Lubis, 2009)b. Penelitian yang dilakukan oleh Hadjam (2000) terhadap pasien kanker menemukan bahwa pasien yang menderita kanker memperlihatkan adanya stres yang ditunjukkan dengan perasaan sedih, putus asa, pesimis, merasa diri gagal, tidak puas dalam hidup, merasa lebih buruk


(7)

dibandingkan dengan orang lain, penilaian rendah terhadap tubuhnya, dan merasa tidak berdaya.

Stres yang dialami oleh pasien kanker cenderung membuat cara berpikir menjadi tidak akurat. Hal itu membawa individu menjadi tidak resilien dalam menghadapi masalah. Individu dengan resiliensi yang baik mampu menghadapi masalah dengan baik, mampu mengontrol diri, mampu mengelola stres dengan baik dengan mengubah cara berpikir ketika berhadapan dengan stres. Resiliensi memungkinkan individu untuk tetap fokus pada persoalan yang sesungguhnya, dan tidak menyimpang ke dalam perasaan dan pikiran yang negatif. Individu dengan resiliensi yang baik adalah individu yang optimis, yang percaya bahwa segala sesuatu dapat berubah menjadi lebih baik. Individu mempunyai harapan terhadap masa depan dan percaya bahwa individu dapat mengontrol arah kehidupannya. Optimis membuat fisik menjadi lebih sehat dan mengurangi kemungkinan menderita depresi (Reivich dan Shatte, dalam Rini 2007).

Resiliensi pada penderita kanker menunjukkan bahwa individu tersebut tetap dapat memiliki kompetensi sosial dengan baik, mengembangkan kemampuan intelektualnya, memiliki harapan untuk masa depan, serta memiliki kemandirian dalam hidupnya meskipun sedang menjalani tahap pengobatan yang dapat mengganggu kehidupan (Kartikasari, 2010)

Resiliensi pada penderita kanker juga dapat dikatakan sebagai salah satu faktor penting dalam proses pemulihan secara psikologis. Kemampuan resiliensi yang dimiliki penderita kanker diharapkan akan memunculkan keinginan untuk bangkit dari kondisi negatif psikologis dan mengatasi perasaan-perasaan yang


(8)

menghambat proses penyembuhan. Hal ini akan sangat membantu bagi proses penyembuhan penderita kanker, apalagi bila disertai dengan semangat hidup yang tinggi dan optimistis dalam menjalani hidup.

Berdasarkan uraian di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana gambaran resiliensi pada penderita kanker serviks stadium lanjut?. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul ”Resiliensi Pada Penderita Kanker Serviks Stadium

Lanjut”.

B. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk memahami, mendalami dan

mendeskripsikan dinamika resiliensi pada penderita kanker serviks stadium lanjut.

C. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat baik secara teoritis maupun praktis.

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi pengembangan ilmu psikologi, terutama psikologi klinis tentang resiliensi pada penderita kanker serviks stadium lanjut.


(9)

2. Manfaat Praktis a. Bagi informan

Hasil penelitian ini diharapkan sebagai masukan bagi informan agar dapat menjalani kehidupan dengan lebih baik dan lebih optimis menatap masa depan.

b. Bagi keluarga informan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat membuat keluarga memahami sisi-sisi atau aspek-aspek psikologis dari informan sehingga keluarga dapat memberikan dukungan yang positif serta membantu informan untuk dapat lebih optimis dalam menjalani hidupnya.

c. Bagi masyarakat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan pemahaman tentang bahaya kanker serviks stadium lanjut serta bagaimana gambaran resiliensi pada penderita kanker serviks stadium lanjut.

d. Bagi peneliti lain.

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan referensi bagi peneliti selanjutnya yang tertarik dengan tema penelitian ini.


(1)

Pengobatan kanker serviks stadium lanjut tidak cukup hanya dengan pengobatan secara lokal. Pengobatan untuk stadium lanjut dan sangat lanjut dapat dilakukan dengan pengangkatan seluruh rahim dan jaringan yang terkena serta dilakukan terapi paliatif dengan radioterapi atau kombinasi dengan kemoterapi (Gandasentana, dalam Yani 2007). Jika dilihat dari gejala klinik kanker serviks pada stadium lanjut seperti keputihan yang gatal dan berbau busuk, pendarahan kontak, pendarahan spontan dan nyeri yang hebat, maka penyakit ini sudah sejak lama dikaitkan dengan gangguan fungsi seksual yang merupakan ciri khas dari penyakit kanker ginekologis ini. Oleh karena itu, penyakit ini sangat ditakuti oleh kaum wanita karena perubahan fungsi seksual merupakan perubahan yang sangat berarti bagi seorang wanita dikaitkan dengan fungsi dan perannya dalam keluarga yaitu sebagai seorang istri dan ibu. Hal tersebut seperti yang dikemukakan oleh Spinetta (dalam Yani, 2007) bahwa kehilangan salah satu anggota badan karena proses penyembuhan kanker merupakan pengalaman yang traumatik dan memalukan bagi sebagian besar wanita. Sebagian dari penderita kanker memilih untuk tidak melakukan perawatan daripada menerima salah satu anggota tubuhnya diambil seperti dalam perawatan kanker serviks.

Umumnya penderita kanker akan terlihat adanya simtom-simtom depresi di setiap tahap perkembangan penyakitnya, dimulai dari saat menemukan gejala pertama sewaktu didiagnosis kanker, selama proses treatment, dan bahkan setelah menjalani pengobatan. Dari banyak studi yang dilakukan terhadap penderita kanker, ditemukan bahwa prevalensi penderita kanker yang mengalami depresi bervariasi dari 1% hingga 50%. Kesedihan dan kekhawatiran akan masa depan


(2)

merupakan respon yang kerap timbul, karena adanya suatu arti tertentu yang melekat pada penyakit kanker, yakni ketakutan akan ketidakmampuan atau kematian (Holland and Evcimen, 2009).

Menurut hasil penelitian Lubis, (2009) penderitaan mental yang dialami oleh penderita kanker serviks diantaranya adalah ketakutan, trauma, shock, stres, tertekan, kesepian, kesedihan, dan kecemasan kematian. Penyakit kanker serviks yang mengakibatkan penderita tidak bisa melakukan aktivitas sehari-hari secara normal juga menimbulkan perasaan menjadi beban bagi orang lain (becoming burden on others) dan menilai diri sendiri negatif (discrediting definition of self). Rasa cemas akibat penyakit kanker juga membuat penderita menarik diri dari pergaulan (social isolation). Ketidakmampuan yang dialami oleh penderita kanker juga akan menimbulkan perasaan bersalah (guilt) pada penderitanya.

Terdapat kasus penderita kanker serviks yang mengalami depresi, tidak bisa menyesuaikan diri, baik secara individual maupun sosial, tidak bisa menerima diri sendiri, dan bergantung pada orang lain dalam berbagai pemenuhan kebutuhan fisiologis dan psikologis. Namun, tidak semua penderita kanker merasa hopeless dan depresi. Ada juga penderita kanker yang dapat bangkit dan menerima keadaan dirinya dan dapat menjalankan kehidupannya dengan baik. Bahkan penderita kanker tidak merasa putus asa, dan optimis serta memiliki keyakinan bahwa penyakitnya hanya bersifat sementara dan dapat disembuhkan. Kondisi dan perilaku resilien pada individu ditunjukkan dengan sikap individu yang mampu untuk menyelesaikan masalahnya dengan mandiri, dan individu memiliki keyakinan akan kekuatan yang dimiliki, serta sikap optimis untuk


(3)

mencapai tujuan yang ingin dicapai. Bobey (1999) mengatakan bahwa orang-orang seperti inilah yang disebut sebagai individu yang resilien, yaitu individu yang dapat bangkit, berdiri di atas penderitaan, dan memperbaiki kekecewaan yang dihadapinya.

Suatu keadaan ketika individu dapat bertahan dan pulih dari situasi negatif secara efektif sedangkan kebanyakan individu lainnya gagal disebut dengan resiliensi. Grotberg, (dalam Rini 2007) menyatakan bahwa resiliensi adalah kapasitas individu untuk menghadapi, mengatasi, memperkuat diri, dan tetap melakukan perubahan sehubungan dengan ujian yang dialami. Setiap individu memiliki kapasitas untuk menjadi resilien. Konsep resiliensi menitikberatkan pada pembentukan kekuatan individu sehingga kesulitan dapat dihadapi dan diatasi. Ada individu yang mampu bertahan dan pulih sedangkan individu lain gagal karena tidak berhasil keluar dari situasi yang tidak menguntungkan.

Hasil diagnosa dan pengobatan dari penyakit kanker juga akan menimbulkan penderitaan lain berkaitan dengan dampak fisik, psikis, sosial, dan ekonomi penderitanya. Dalam keadaan tersebut sangat sulit bagi pasien kanker untuk dapat menerima dirinya karena keadaan dan penanganan penyakit kanker ini dapat menimbulkan stres yang terus menerus, sehingga tidak hanya mempengaruhi penyesuaian fisik tetapi juga penyesuaian psikologi individu (Lehmann, dkk dalam Lubis, 2009)b. Penelitian yang dilakukan oleh Hadjam (2000) terhadap pasien kanker menemukan bahwa pasien yang menderita kanker memperlihatkan adanya stres yang ditunjukkan dengan perasaan sedih, putus asa, pesimis, merasa diri gagal, tidak puas dalam hidup, merasa lebih buruk


(4)

dibandingkan dengan orang lain, penilaian rendah terhadap tubuhnya, dan merasa tidak berdaya.

Stres yang dialami oleh pasien kanker cenderung membuat cara berpikir menjadi tidak akurat. Hal itu membawa individu menjadi tidak resilien dalam menghadapi masalah. Individu dengan resiliensi yang baik mampu menghadapi masalah dengan baik, mampu mengontrol diri, mampu mengelola stres dengan baik dengan mengubah cara berpikir ketika berhadapan dengan stres. Resiliensi memungkinkan individu untuk tetap fokus pada persoalan yang sesungguhnya, dan tidak menyimpang ke dalam perasaan dan pikiran yang negatif. Individu dengan resiliensi yang baik adalah individu yang optimis, yang percaya bahwa segala sesuatu dapat berubah menjadi lebih baik. Individu mempunyai harapan terhadap masa depan dan percaya bahwa individu dapat mengontrol arah kehidupannya. Optimis membuat fisik menjadi lebih sehat dan mengurangi kemungkinan menderita depresi (Reivich dan Shatte, dalam Rini 2007).

Resiliensi pada penderita kanker menunjukkan bahwa individu tersebut tetap dapat memiliki kompetensi sosial dengan baik, mengembangkan kemampuan intelektualnya, memiliki harapan untuk masa depan, serta memiliki kemandirian dalam hidupnya meskipun sedang menjalani tahap pengobatan yang dapat mengganggu kehidupan (Kartikasari, 2010)

Resiliensi pada penderita kanker juga dapat dikatakan sebagai salah satu faktor penting dalam proses pemulihan secara psikologis. Kemampuan resiliensi yang dimiliki penderita kanker diharapkan akan memunculkan keinginan untuk bangkit dari kondisi negatif psikologis dan mengatasi perasaan-perasaan yang


(5)

menghambat proses penyembuhan. Hal ini akan sangat membantu bagi proses penyembuhan penderita kanker, apalagi bila disertai dengan semangat hidup yang tinggi dan optimistis dalam menjalani hidup.

Berdasarkan uraian di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana gambaran resiliensi pada penderita kanker serviks stadium lanjut?. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul ”Resiliensi Pada Penderita Kanker Serviks Stadium Lanjut”.

B. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk memahami, mendalami dan mendeskripsikan dinamika resiliensi pada penderita kanker serviks stadium lanjut.

C. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat baik secara teoritis maupun praktis.

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi pengembangan ilmu psikologi, terutama psikologi klinis tentang resiliensi pada penderita kanker serviks stadium lanjut.


(6)

2. Manfaat Praktis a. Bagi informan

Hasil penelitian ini diharapkan sebagai masukan bagi informan agar dapat menjalani kehidupan dengan lebih baik dan lebih optimis menatap masa depan.

b. Bagi keluarga informan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat membuat keluarga memahami sisi-sisi atau aspek-aspek psikologis dari informan sehingga keluarga dapat memberikan dukungan yang positif serta membantu informan untuk dapat lebih optimis dalam menjalani hidupnya.

c. Bagi masyarakat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan pemahaman tentang bahaya kanker serviks stadium lanjut serta bagaimana gambaran resiliensi pada penderita kanker serviks stadium lanjut.

d. Bagi peneliti lain.

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan referensi bagi peneliti selanjutnya yang tertarik dengan tema penelitian ini.