PENGGUNAAN MEDIA AUDIO “KOTAK ORIENTASI” SEBAGAI ALAT BANTU LATIHAN ORIENTASI PADA TUNANETRA.

(1)

Ahmad Nawawi, 2012

Penggunaan Media Audio “Kotak Orientasi” Sebagai Alat Bantu Latihan Orientasi Pada Tunanetra

DAFTAR ISI

Halaman

PERSEMBAHAN ... i

PERNYATAAN ... ii

ABSTRAK ... iii

KATA PENGANTAR ... v

UCAPAN TERIMA KASIH ... vi

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GRAFIK ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 11

C. Pembatasan Masalah ... 12

D. Rumusan Masalah ... 13

E. Definisi Operasional Variabel ... 13

1. Variabel Bebas ... 13

2. Variabel Terikat ... 14

F. Tujuan Penelitian ... 17

G. Manfaat Penelitian ... 17

1. Manfaat Praktis ... 17

2. Manfaat Teoretis ... 19

H. Metode Penelitian ... 19

I. Subyek Penelitian ... 20

BAB II PENGGUNAAN MEDIA AUDIO DALAM LATIHAN ORIENTASI OBYEK BAGI TUNANETRA ... 22

A. KETUNANETRAAN ... 22

1. Terminologi ... 22

2. Pengertian Tunanetra ... 26

3. Klasifikasi Tunanetra ... 30

4. Karakteristik Tunanetra ... 35

B. ORIENTASI OBYEK ATAU BENDA ... 41

1. Orientasi ... 41

2. Obyek atau Benda ... 53

C. MEDIA AUDIO ... 55

1. Pengertian ... 55

2. Jenis-jenis Media Audio ... 56


(2)

Ahmad Nawawi, 2012

Penggunaan Media Audio “Kotak Orientasi” Sebagai Alat Bantu Latihan Orientasi Pada Tunanetra

BAB III METODE PENELTIAN ... 63

A. Desain Penelitian ... 64

B. Subyek dan Lokasi Penelitian ... 68

C. Prosedur Penelitian ... 69

D. Teknik Pengumpulan Data ... 80

E. Pengolahan dan Analisis Data ... 81

F. Persiapan dan Prosedur Penelitian ... 82

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 87

A. Hasil Penelitian ... 88

B. Pembahasan Hasil Penelitian ... 97

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ... 104

A. Kesimpulan ... 104

B. Rekomendasi ... 104

DAFTAR PUSTAKA ... 107


(3)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pendidikan memiliki fungsi yang sangat strategis dalam upaya pengembangan sumber daya manusia, termasuk tunanetra. Pendidikan merupakan proses perubahan yang sistematik dalam berbagai aspek kehidupan bangsa, oleh karena itu harus ditingkatkan kualitasnya. Berbagai upaya telah, sedang, dan akan dikembangkan dalam berbagai komponen pendidikan, baik melalui dimensi vertikal maupun horizontal, dalam aspek mikro maupun makro, dalam hal ini peningkatan kualitas pendidikan khususnya guru, sarana-prasarana termasuk media pembelajaran dan alat bantu pembelajaran, serta layanan siswa dalam proses pembelajarannya mendapat perhatian yang utama dalam peningkatan kualitas pendidikan.

Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) berkewajiban memberikan layanan pendidikan yang berkualitas dan efektif (unggul) bagi setiap peserta didik, termasuk anak berkebutuhan khusus (ABK). Hal ini sesuai dengan undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas)

pasal 11 ayat (1) berbunyi: “Pemerintah dan pemerintah daerah wajib

memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terlaksananya

pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi”.


(4)

memperoleh layanan pendidikan yang bermutu. Dalam undang-undang

Sisdiknas pasal lima ayat (1) menyatakan bahwa: “Setiap warganegara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu”.

Kemudian secara spesifik pasal lima ayat (2) mengemukakan: “warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual,

dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus”.

Berdasarkan undang-undang tersebut mengandung makna bahwa ABK berhak memperoleh pendidikan khusus yaitu layanan pendidikan secara terpisah (segregasi), seperti di sekolah luar biasa (SLB). Selain itu mereka juga berhak memperoleh layanan pendidikan di sekolah reguler yaitu pendidikan secara inklusif. Hal ini berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) nomor 70 tahun 2009 pasal tiga ayat (1) berbunyi:

Setiap peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, dan sosial atau memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa berhak mengikuti pendidikan secara inklusif pada satuan pendidikan tertentu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya”. Sedangkan yang dimaksud pendidikan inklusif adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam satu lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya (Permendiknas nomor 70 tahun 2009 pasal 1).

Tunanetra adalah salah satu peserta didik yang memiliki kelainan fisik yang selanjutnya disebut ABK atau anak yang mengalami hambatan penglihatan secara permanen. Menurut Permendiknas nomor 70 tahun 2009 pasal tiga ayat (2) yang termasuk peserta didik yang memiliki kelainan adalah: (a) tunanetra; (b) tunarungu; (c) tunawicara; (d)


(5)

tunagrahita; (e) tunadaksa; (f) tunalaras; (g) berkesulitan belajar; (h) lamban belajar; (i) autis; (j) memiliki gangguan motorik; (k) menjadi korban penyalahgunaan narkoba, obat terlarang, dan zat adiktif lainnya; (l) memiliki kelainan lainnya; dan (m) tunaganda.

Secara umum ketunanetraan atau hambatan penglihatan (visual

impairment) dapat diklasifikasikan menjadi dua kategori besar, yaitu buta

total (totally blind) dan kurang lihat (Low Vision) (Friend, 2005: 412).

Seseorang dikatakan low vision jika mengalami kesulitan dalam menyelesaikan tugas-tugas visual, namun dapat meningkatkan kemampuan dalam menyelesaikan tugas-tugas tersebut dengan menggunakan strategi visual pengganti, alat-alat bantu low vision, dan modifikasi lingkungan (Corn dan Koenig dalam Friend, 2005: 412).

Orang yang termasuk low vision adalah mereka yang mengalami hambatan visual ringan sampai berat. Sedangkan Blindness (kebutaan) menunjuk pada seseorang yang tidak mampu melihat atau hanya memiliki persepsi cahaya” (Huebner dalam Friend, 2005: 412). Seseorang dikatakan buta (blind) jika mengalami hambatan visual yang sangat berat atau bahkan tidak dapat melihat sama sekali.

Lowenfeld (dalam Kingsley, 1999) menyatakan bahwa ketunanetraan mengakibatkan tiga keterbatasan yang serius pada perkembangan fungsi kognitif: (1) dalam sebaran dan jenis pengalaman; (2) dalam kemampuannya untuk bergerak di dalam lingkungannya; (3) dalam interaksi dengan lingkungannya. Selanjutnya Jan et al. (Kingsley, 1999) berpendapat bahwa permasalahan dalam perkembangan kognitif tersebut mungkin disebabkan oleh kurang kayanya informasi, didasarkan


(6)

pada fakta bahwa indera-indera lain tidak dapat memproses informasi seefisien indera penglihatan.

Saat terjadinya ketunanetraan juga akan berdampak terhadap perolehan pengetahuan dan konsep-konsep. Ketunanetraan yang terjadi sebelum kelahiran, atau saat kelahiran akan berdampak miskinnya informasi yang diperoleh dan hal ini akan berakibat pada kemiskinan konsep dan pengalaman. Adapun ketunanetraan yang terjadi setelah anak mampu memahami informasi tidak berdampak pada perolehan pengalaman dan konsep. Oleh karena itu ketunanetraan yang terjadi kemudian akan memiliki kekayaan konsep dan pengalaman.

Tiga keterbatasan tunanetra tersebut hendaknya menjadi rujukan dan bahan pertimbangan guru dalam menyiapkan bahan pembelajaran, menentukan pendekatan, metode, dan media atau alat bantu pembelajaran atau pelatihan serta teknik penilaian. Media pembelajaran hendaklah yang mudah diakses oleh tunanetra sehingga dapat membentuk konsep dan pemahaman yang utuh tentang sesuatu atau obyek material yang dipelajari. Selain itu tunanetra dalam proses pembelajarannya juga perlu mengacu pada tiga prinsip, yaitu: (1) Need for Concrete Experiences (kebutuhan akan pengalaman konkrit); (2) Need for Unifying Experiences (kebutuhan akan penyatuan antar pengalaman/konsep); dan (3) Need for Learning by

Doing (kebutuhan akan belajar melalui melakukan dan bekerja).

(Lowenfeld, 1973 dalam Friend 2005: 436)

Orientasi dan mobilitas (O&M) merupakan salah satu mata pelajaran kekhususan bagi tunanetra. Lembaga pendidikan dan rehabilitasi


(7)

yang melayani tunanetra harus menyediakan program pembelajaran atau pelatihan O&M. Melalui O&M berbagai aspek perkembangan anak tunanetra dapat dibina dan dikembangkan agar mencapai perkembangan optimal sebagaimana yang dialami oleh anak-anak pada umumnya.

Anak awas (non-tunanetra) mengamati dan mempelajari sesuatu obyek/benda dari kesuluruhan ke bagian-bagian kemudian dapat menyimpulkan dan mengerti apa yang dilihat dan dipahami secara utuh, sedangkan anak tunanetra mempelajari sesuatu obyek/benda dari bagian-bagian kepada keseluruhan kemudian mengintegrasikan bagian-bagian-bagian-bagian itu sehingga memperoleh pemahaman secara utuh. Hal ini memerlukan waktu yang lebih lama apabila dibandingkan dengan anak awas (Lowenfeld dalam Hallahan & Kauffman, 1991).

Kondisi ini dapat dipahami karena obyek yang ditangkap melalui mata lebih luas dan menyeluruh, sedangkan obyek yang ditangkap melalui perabaan lebih sempit dan lokal. Untuk memperkaya pengetahuan dan konsep, anak awas lebih banyak mengeksplor lingkungannya daripada tunanetra. Hal ini sesuai yang dikemukakan oleh Jones, (1975 dalam

Rosen, 1992: 219) bahwa ...”sighted children may tend to explore their surrounding earlier, more successfully, and more safely than blind persons”.

Menurut Sunanto: Karena tunanetra mengalami kesulitan menerima informasi sensori dari penglihatan, banyak konsep tentang obyek-obyek tidak dapat dipahami secara sempurna, khususnya obyek-obyek-obyek-obyek yang jauh dari jangkauan tangan, terlalu kecil, atau terlalu besar. Oleh karena itu, agar tunanetra tidak mengalami hambatan pemahaman konsep yang lebih serius, diperlukan pengajaran konsep yang sistematis dan terencana. Jika pengajaran pemahaman konsep kepada


(8)

mereka tidak diberikan secara benar dapat berakibat miskinnya konsep.(Sunanto, 2008: 99)

Tunanetra memerlukan titik awal orientasi (focal point) dan petunjuk (clue) dalam mengenali dan mengorientasi suatu obyek atau benda, begitu juga dalam memahami dan mengenali arah mata angin (campass directions). Sedangkan anak awas dapat dengan mudah mengetahui obyek atau benda melalui penglihatan. Karena proses mengamati dan mengorientasi melalui penglihatan dapat terjadi secara menyeluruh dan luas serta memerlukan waktu yang relatif pendek. Sedangkan mengamati dan mengorientasi obyek atau benda tanpa penglihatan akan mengalami kesulitan. Hal ini terjadi karena indera-indera selain penglihatan tidak bisa menggantikan sepenuhnya fungsi indera penglihatan secara efektif dalam memproses informasi.” “... based on the fact that other senses cannot process information as efficiently as vision can.(Jan et al. 1977 dalam Mason and McCall, 1997: 27).

Hilangnya penglihatan membatasi kemampuan tunanetra untuk: (1) Mengetahui di mana dia berada dan bagaimana cara berpindah dari satu tempat ke tempat lain; (2) Meniru dan berinteraksi sosial; (3) Memahami apa yang menyebabkan sesuatu terjadi. Anak yang mengalami hambatan penglihatan sejak lahir memiliki masalah dalam pembentukan konsep tentang tubuh mereka sendiri. Mereka juga memiliki keterbatasan dalam peta mental tentang lingkungannya maupun posisi diri mereka (Jan et al. dalam Kingsley, 1999).

Tunanetra yang tidak memiliki peta mental tentang obyek atau benda yang berada di lingkungan sekitarnya, dia tidak akan tahu posisi diri dalam suatu tempat atau lingkungan di mana dia berada. Kondisi ini akan menimbulkan perasaan tidak nyaman dalam lingkungan atau tempat


(9)

tertentu. Ketika rasa nyaman mereka terganggu maka tidak akan bisa menerima dengan baik informasi atau pelatihan yang diberikan. Oleh karena itu pembelajaran atau pelatihan tentang orientasi obyek atau benda di lingkungan sekitar perlu dilatihkan secara benar dan tepat. Benar artinya orientasi terhadap obyek atau benda dilatihkan sesuai dengan prosedur pelatihan dan konsep orientasi, sedangkan tepat artinya proses pelatihan yang berlangsung dapat memberikan kebutuhan akan pengalaman konkrit, terjadi pemenuhan kebutuhan akan adanya penyatuan antar konsep, dan terjadi pembelajaran atau pelatihan melalui melakukan dan pengalaman nyata, sebagaimana prinsip pembelajaran atau pelatihan tunanetra yang dikemukakan oleh Lowenfeld. (Lowenfeld 1973, dalam Friend 2005: 436)

Berdasarkan karakteristik tunanetra tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa pembelajaran atau pelatihan tentang orientasi obyek atau benda di lingkungan akan mudah dipahami dan dimengerti serta lebih bermakna bagi tunanetra apabila menggunakan media atau alat bantu pembelajaran atau pelatihan yang dapat menjelaskan kondisi abstrak menjadi lebih konkrit, obyek material yang tidak bisa dijangkau oleh tangan menjadi bisa dijangkau (yaitu oleh telinga), oleh karena itu, dalam hal ini salah satu alternatifnya adalah alat bantu yang bisa di dengar.

Sangat dimungkinkan alat bantu ini dapat membantu tunanetra dengan mudah menentukan focal point sebagai titik awal orientasi dan

clue atau petunjuk melalui indera-indera yang masih berfungsi untuk


(10)

menunjuk, menuju, dan mendiskripsikan letak-letak dan posisi obyek atau benda tersebut dihubungkan dengan posisi dirinya. Di mana pada akhirnya dapat melakukan mobilitas dalam suatu lingkungan obyek atau benda-benda tersebut dengan mudah, tepat, cepat, dan selamat serta seminimal mungkin meminta bantuan orang lain.

Mengapa menggunakan alat bantu yang bisa didengar (media

audio)? Karena indera pendengaran merupakan indera ke dua setelah

penglihatan untuk menerima informasi dan atau materi pembelajaran/pelatihan. Indera pendengaran merupakan indera yang paling dominan dan penting dalam menerima informasi setelah penglihatan. Sebagaimana dikemukakan oleh Kim at al., (2002: 21): “The general opinion of blind people is that their hearing is their most importent sense. They often use their sense of hearing to recognize their surroundings”.

Oleh karena itu, pembelajaran atau pelatihan orientasi obyek atau benda menggunakan media audio diduga akan lebih mudah dipahami dan bermakna bagi tunanetra, sehingga pengenalan orientasi obyek atau benda di lingkungan akan lebih berhasil, artinya kemampuan mengorientasi obyek atau benda bagi tunanetra menjadi meningkat. Karena dengan menggunakan media audio materi pembelajaran yang abstrak akan menjadi lebih konkrit. Melalui media audio tunanetra juga dapat menentukan focal point dan clue dalam mengorientasi obyek atau benda.


(11)

Dengan demikian tunanetra dapat mengorientasi obyek atau benda dengan mudah walaupun tidak semudah dan secepat anak-anak non-tunanetra.

Media audio adalah jenis media yang berhubungan dengan indera

pendengaran. Pesan yang akan disampaikan dituangkan ke dalam lambang-lambang auditif”. (Supriatna, 2009: 9). Sedangkan yang dimaksud media audio dalam penelitian ini adalah “kotak orientasi”.

Media audio “kotak orientasi” terdiri dari empat kotak suara yang masing-masing dapat mengeluarkan suara yang mewakili empat arah mata angin yaitu utara, selatan, timur, dan barat. Suara empat arah mata angin ini dapat dipakai sebagai focal point dan clue (petunjuk) bagi tunanetra dalam mengorientasi suatu obyek atau benda.

Pembelajaran atau pelatihan orientasi obyek atau benda di lingkungan sekitar selama ini telah diberikan kepada tunanetra sesuai dengan kurikulum atau program pelatihan orientasi. Namun instruktur O&M dan para guru serta individu yang memberikan perhatian terhadap pendidikan bagi tunanetra mengalami kesulitan dalam menyampaikan materi tersebut. Di lain pihak, tunanetra pun juga mengalami kesulitan dalam menerima dan memahami materi pembelajaran atau pelatihan ini. Kondisi ini secara otomatis akan berdampak terhadap ketidak pahaman tunanetra tentang obyek atau benda di lingkungan sekitar.

Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti terhadap tiga klien tunanetra dapat ditemukan bahwa tunanetra mengalami kesulitan dalam mengorientasi obyek atau benda yang ada di


(12)

lingkungan sekitar sebagai obyek orientasi. Hal ini dapat dibuktikan ketika mereka dibawa ke suatu lingkungan sekitar di mana terdapat letak dan posisi obyek atau benda yang belum pernah dikenal, kemudian diminta mengorientasi obyek atau benda tersebut, maka ketika ditanya tentang letak-letak dan posisi obyek atau benda-benda tersebut mereka tidak bisa menunjukkan letak obyek tersebut, jika diminta menuju ke arah obyek tersebut, dia tidak bisa menemukan dengan tepat, dan jika diminta mendeskripsikan dengan jelas tentang letak dan posisi obyek atau benda tersebut, dia tidak bisa mendeskripsikannya dengan tepat.

Sedangkan yang dimaksud obyek atau benda dalam penelitian ini adalah obyek atau benda di lingkungan sekitar yang menyangkut letak dan posisi obyek dan benda tersebut bila dihubungkan dengan posisi tunanetra di mana ia berada. Pembelajaran atau pelatihan orientasi obyek atau benda perlu dilakukan oleh seorang tunanetra. Agar tunanetra dapat mengorientasi obyek atau benda dengan mudah maka diperlukan focal

point dan clue. Sesuai dengan arah utama mata angin ada empat yaitu

utara, selatan, timur, dan barat, maka diperlukan media audio yang terdiri dari empat kotak yang dapat mengeluarkan suara empat arah mata angin.

Media audio ini dikembangkan oleh peneliti dan diberi nama “kotak orientasi” karena berupa kotak yang berjumlah empat kotak yang

masing-masing dapat mengeluarkan empat suara yang berbeda yaitu suara yang mewakili empat arah mata angin tersebut. Selanjutnya empat macam suara ini diharapkan dapat digunakan sebagai focal point dan clue dalam


(13)

proses pembelajaran atau pelatihan orientasi terhadap obyek atau benda di lingkungan sekitar.

Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, maka penggunaan

media audio “Kotak Orientasi” atau alat bantu pembelajaran atau pelatihan yang bisa didengar atau alat bantu yang mengeluarkan suara yang digunakan dalam proses pembelajaran atau pelatihan orientasi obyek atau benda penggunaannya perlu diujicobakan terhadap tunanetra. Hal ini untuk mengukur dan mengetahui seberapa besar alat bantu tersebut dapat membantu memudahkan tunanetra dalam mengorientasi obyek atau benda sehingga tunanetra dapat mengorientasi dan memahami letak-letak dan posisi obyek atau benda yang ada di lingkungan sekitarnya dengan mudah, cepat, dan tepat.

Berdasarkan studi literatur peneliti belum menemukan bahwa masalah ini pernah diteliti. Mengingat pentingnya masalah ini, maka peneliti sangat tertarik untuk melakukan penelitian tentang

“PENGGUNAAN MEDIA AUDIO “KOTAK ORIENTASI” SEBAGAI

ALAT BANTU LATIHAN ORIENTASI PADA TUNANETRA”.

B. Identifikasi Masalah

Penelitian ini bermaksud memecahkan masalah dalam pendidikan dan layanan bagi tunanetra, khususnya dalam mata pelajaran kekhususan O&M dan lebih khusus lagi dalam pembelajaran atau pelatihan orientasi obyek atau benda yang berada di lingkungan sekitar. Berdasarkan studi


(14)

literatur dan kondisi aktual di lapangan dapat terditeksi berbagai masalah yang muncul dalam pembelajaran atau pelatihan O&M bagi tunanetra.

Adapun masalah yang berkaitan dengan tema utama dalam penelitian ini, antara lain:

1. Adanya keterbatasan tunanetra untuk (a) Mengetahui di mana dia berada (posisi awal) dan bagaimana cara berpindah dari satu tempat ke tempat lain, dan dari satu obyek atau benda ke obyek atau benda lain; (b) Meniru dan berinteraksi sosial; (c) Memahami apa yang menyebabkan sesuatu terjadi.

2. Kesulitan tunanetra dalam pembelajaran atau pelatihan yang berkaitan dengan obyek material yang bersifat abstrak, terlalu kecil atau terlalu besar, dan obyek-obyek yang jauh dari jangkauan tangan. 3. Mengamati dan mengorientasi obyek atau benda di lingkungan sekitar

tanpa penglihatan akan mengalami kesulitan. Hal ini terjadi karena indera-indera selain penglihatan tidak bisa menggantikan sepenuhnya fungsi indera penglihatan.

4. Dampak ketunanetraan yang berupa kurangnya informasi dan berakibat kepada kemiskinan konsep, baik konsep diri maupun konsep lingkungan sekitar termasuk letak dan posisi obyek atau benda.

5. Kesulitan tunanetra dalam mengorientasi letak dan posisi obyek atau benda di lingkungan yang baru.

6. Kemampuan mengorientasi letak dan posisi obyek atau benda di lingkungan sekitar pada tunanetra.


(15)

7. Alat bantu pembelajaran atau pelatihan yang mudah diakses oleh tunanetra, sehingga materi pembelajaran atau pelatihan lebih mudah dipahami dan diserap.

C. Pembatasan Masalah

Berdasarkan uraian dalam latar belakang dan indentifikasi masalah di atas, dapat dikemukakan permasalahan pokok yang menjadi dasar pertanyaan penelitian yaitu:

1. Penggunaan media audio “kotak orientasi” dalam mengorientasi letak dan posisi obyek atau benda di lingkungan sekitar bagi tunanetra. 2. Kemampuan mengorientasi letak dan posisi obyek atau benda di

lingkungan sekitar pada tunanetra yang meliputi menunjuk, menuju, dan mendeskripsikan.

D. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan pembatasan masalah yang telah ditentukan maka dapat diturunkan pertanyaan penelitian. Adapun pertanyaan penelitian dalam penelitian ini adalah: “Apakah Penggunaan Media Audio „kotak

orientasi‟ dapat Meningkatkan Kemampuan Mengorientasi obyek atau benda pada tunanetra?”

E. Definisi Operasional Variabel 1. Variabel Bebas

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah media audio “kotak orientasi”.


(16)

Media audio merupakan alat bantu pembelajaran atau pelatihan yang

dapat mengeluarkan suara (bunyi). “Media audio adalah jenis media yang berhubungan dengan indera pendengaran. Pesan yang akan disampaikan dituangkan ke dalam lambang-lambang auditif”. (Supriatna, 2009: 9).

Dalam penelitian ini, media audio yang digunakan adalah

“kotak orientasi”. Media audio ini dikembangkan oleh peneliti. Yang dimaksud media audio “kotak orientasi” adalah empat kotak yang masing-masing dapat mengeluarkan empat macam suara yang menyebutkan empat arah mata angin utama yaitu utara, selatan, timur, dan barat. Kotak orientasi digunakan sebagai alat bantu orientasi.

“Kotak orientasi” ini digunakan sebagai focal point dan clue bagi

tunanetra dalam proses pembelajaran atau pelatihan orientasi letak dan posisi obyek atau benda di lingkungan sekitar. Tempat kotak orientasi berada adalah sebagai focal point, sedangkan bunyi atau suara yang keluar dari kotak tersebut sebagai clue. Dalam penggunaannya kotak orientasi ini dihidupkan secara bersama, tetapi suara berbunyi secara bergantian.

Kotak orientasi ini dapat digunakan oleh instruktur O&M untuk keperluan pembelajaran atau pelatihan orientasi. Dan juga bisa digunakan oleh tunanetra ketika memasuki tempat atau lingkungan yang baru.


(17)

Variabel terikat dalam penelitian ini adalah ”kemampuan mengorientasi obyek atau benda pada tunanetra”. Obyek atau benda di sini mencakup letak dan posisi.

Menurut Hill dan Ponder (1976:3) “Orientation is the process of using the senses to establish one‟s position and relationship to all other significant objects in one‟s environment.” Bahwa Orientasi adalah proses penggunaan indera-indera yang masih berfungsi untuk menetapkan posisi diri dan hubungannya dengan obyek-obyek atau benda signifikan yang ada dalam lingkungannya. Hal ini juga dikemukakan oleh Tooze (1981) bahwa Orientasi adalah kemampuan untuk mengetahui hubungan satu obyek dengan obyek lainnya, sehingga tunanetra mengetahui posisi diri hubungannya dengan lingkungan. “Orientation is the ability to understand the relationship

that objects have to one another... “. (Tooze, 1981 dalam Mason and McCall, 1997: 28).

Menurut Hosni (1994:8) bahwa proses penggunaan indera yang masih berfungsi diartikan, bagaimana indera itu bisa difungsikan sesuai dengan kemampuannya memperoleh informasi sehingga dapat diolah oleh mental dan otak kita menjadi sesuatu yang berfungsi dan dapat menjelaskan kepada seseorang untuk menentukan posisi diri. Sedangkan posisi diri dapat diketahui apabila dihubungkan dengan obyek lain yang ada di sekitarnya. Dengan kata lain, bahwa tanpa dihubungkan dengan obyek lain dalam lingkungannya maka posisi itu akan kabur dan tidak konkrit.


(18)

Orientasi obyek atau benda di lingkungan sekitar merupakan kegiatan mengenali dan memahami letak dan posisi suatu obyek atau benda serta posisi diri kaitannya dengan obyek atau benda melalui proses pembelajaran atau latihan pengenalan obyek atau benda menggunakan media audio “kotak orientasi”.

Penelitian ini menentukan “obyek atau benda” dalam arti letak dan posisi obyek atau benda kaitannya dengan posisi diri sebagai indikator variabel terikat. Oleh karena itu dalam penelitian ini indikator orientasi obyek atau benda meliputi: (1) Menunjuk ke arah obyek atau benda sebagai target orientasi; (2) Berjalan/menuju ke arah obyek atau benda sebagai target orientasi; (3) Menuju (kembali) ke arah semula sebagai titik awal orientasi (focal point); dan (4) mendeskripsikan obyek atau benda sebagai target orientasi.

Target behavior dalam penelitian ini adalah kemampuan mengorientasi obyek atau benda yang ada di lingkungan sekitar. Kemampuan mengorientasi obyek atau benda berupa perilaku menunjuk, menuju, dan mendeskripsikan. Menunjuk artinya tunanetra dapat menunjuk ke arah letak dan posisi obyek atau benda dari posisi dirinya dengan tepat. Menuju artinya tunanetra dapat berjalan menuju letak dan posisi obyek atau benda dengan tepat dan tunanetra dapat berjalan menuju ke posisi semula dengan tepat. Mendeskripsikan artinya tunanetra dapat menjelaskan letak dan posisi obyek atau benda


(19)

dan hubungan antara letak dan posisi obyek satu dengan lainnya dihubungkan dengan posisi dirinya dengan tepat.

Tunanetra adalah seseorang yang mengalami hambatan dalam penglihatan yang disebabkan tidak berfungsinya indera penglihatan. Adapun yang dimaksud tunanetra dalam penelitian ini adalah tunanetra yang dikategorikan blindness, yaitu mereka yang tergolong tunanetra total (total blindness) adalah seseorang yang tidak memiliki penglihatan fungsional. “... persons with no visual function” (McBrayer dan Lian, 2002: 175) dan yang hanya memiliki persepsi cahaya. “Blindness refers to a person with „no vision or only light

perception...” (Huebner, 2000, p.58 dalam Friend, 2005: 412) serta tidak menyandang kecacatan lain. (Tarsidi, 2002: 13).

F. Tujuan Penelitian

Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penggunaan media audio “kotak orientasi” terhadap kemampuan orientasi obyek atau benda pada tunanetra. Secara lebih detail penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peningkatan kemampuan orientasi obyek atau benda pada tunanetra.

G. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini secara praktis bermanfaat bagi instruktur O&M dan para guru serta lembaga atau perorangan yang menaruh


(20)

perhatian terhadap pendidikan tunanetra dalam melakukan intervensi dan atau pembelajaran atau pelatihan O&M khususnya tentang orientasi obyek atau benda dengan menggunakan media pembelajaran yang diadaptasikan dengan karakteristik tunanetra.

Pendengaran merupakan indera yang paling dominan (the

king of senses) atau rajanya indera bagi tunanetra, maka

pembelajaran atau latihan disajikan menggunakan media audio

“kotak orientasi” yang dapat digunakan sebagai focal point (titik

awal orientasi) dan clue (petunjuk) dalam mengorientasi suatu obyek atau benda. Hal ini dimaksudkan agar pembelajaran atau pelatihan orientasi obyek atau benda menjadi lebih konkrit, mudah diserap, dan dipahami serta lebih bermakna bagi tunanetra. Pembelajaran di sini berupa pelatihan orientasi obyek atau benda.

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan umpan balik bagi Instruktur O&M dan guru SLB serta lembaga atau perorangan dalam menyiapkan pembelajaran atau pelatihan yang disesuaikan dengan karakteristik tunanetra dalam melakukan pelatihan orientasi obyek atau benda. Juga sebagai masukan bagi orang-orang yang berkecimpung dalam dunia kaum tunanetra untuk dapat melakukan pelatihan orientasi obyek atau benda secara lebih mudah, cepat, dan tepat.

Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat memberi bantuan kemudahan bagi siswa tunanetra maupun mahasiswa khususnya dan


(21)

tunanetra pada umumnya dalam mengenali dan mengorientasi obyek atau benda.

Akhirnya diharapkan hasil dari penelitian ini dapat melahirkan penelitian yang berkelanjutan yang tidak hanya terbatas pada materi orientasi letak dan posisi obyek atau benda saja, tetapi juga pada materi lainnya yang berkaitan dengan pembuatan kotak orientasi dan penggunaannya. Misalnya: (1) pembuatannya mencakup: standarisasi pembuatan, kelayakan, dan keterpakaian kotak orientasi; (1) penggunaannya mencakup: untuk mengorientasi ruang dan tempat atau lingkungan yang baru.

2. Manfaat Teoretis

a. Secara teoretis, hasil penelitian ini dapat memberikan pengetahuan dan gambaran tentang seberapa besar pembelajaran atau latihan menggunakan media audio “kotak orientasi” memberikan kontribusi terhadap pemahaman dan penguasaan konsep obyek atau benda bagi tunanetra. Sehingga secara teoretis diharapkan dapat dipakai rujukan bagi instruktur O&M dalam merancang pembelajaran dan atau latihan O&M serta sebagai bahan pertimbangan bagi para stakeholder dalam menentukan kebijakan di bidang pendidikan khusus.

b. Sebagai pengembangan ilmu di bidang pendidikan kebutuhan khusus, terutama yang berkaitan dengan pendidikan dan layanan


(22)

bagi anak berkebutuhan khusus baik yang temporer maupun permanen, khususnya bagi tunanetra dan lebih spesifik lagi dalam program kekhususan Orientasi dan Mobilitas (O&M) bagi tunanetra.

H. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode eksperimen. “... metode penelitian eksperimen dapat diartikan sebagai metode penelitian yang digunakan untuk mencari pengaruh perlakuan tertentu terhadap yang lain

dalam kondisi yang terkendalikan.” (Sugiyono, 2010: 107). Penelitian ini

bertujuan memperoleh data yang diperlukan dengan melihat hasil ada tidaknya pengaruh penggunaan media audio “kotak orientasi” terhadap

pembelajaran atau pelatihan orientasi obyek atau benda bagi tunanetra. Penelitian ini menggunakan desain Single Subject Research (SSR), menurut Sunanto, et al, (2006: 11) adalah “suatu desain eksperimen dengan setiap individu menjadi kontrol atas dirinya sendiri”. Adapun desain yang digunakan adalah A-B-A yaitu memberikan suatu hubungan sebab akibat yang lebih kuat diantara variabel terikat dengan bebas. Dalam desain A-B-A terdapat tiga tahapan yaitu: A1: (baseline kesatu); B: intervensi/pelatihan orientasi obyek; dan A2: (baseline kedua).


(23)

0 20 40 60 80 100

sesi 1 sesi 2 sesi 3 sesi 4 sesi 5 sesi 6 sesi 7 sesi 8 sesi 9

Ta

rge

t

B

e

ha

v

ior A1 B A2

(Sunanto, 2005: 61)

I. Subyek Penelitian

Subyek penelitian dalam penelitian ini adalah dua orang mahasiswa tunanetra UPI. Yaitu mahasiswa tunanetra yang termasuk kategori buta total (total blindness) dan tidak memiliki kecacatan lain yang sudah memahami dan menguasai konsep empat arah pokok mata angin, ukuran, dan posisi.

Selain itu, subyek juga sudah memahami dan menguasai mengambil arah, garis lurus, tegak lurus, miring, belok, di tengah-tengah, dan di pinggir. Pemahaman tentang focal point dan clue. Pemahaman tentang terminologi posisi dasar, seperti: kiri-kanan, depan-belakang, atas-bawah; mengambil arah; konsep garis lurus; memahami ukuran meter, memahami ukuran derajat, pemahaman dan kemampuan melakukan putaran 90ᵒ dan 180ᵒ; pemahaman sejajar, tegak lurus, dan sudut; pemahaman posisi relatif dan menetap serta bagaimana benda-benda berhubungan letak dan posisinya antara yang satu dengan lainnya; konsep benda-benda yang dapat bergerak dan bagaimana benda-benda tersebut


(24)

dapat menyebabkan perubahan dalam posisi hubungannya dengan benda-benda dan dirinya dengan benda-benda-benda-benda; pemahaman tentang bagaimana gerakan akan mengubah posisi hubungannya dengan benda dan tempat atau obyek atau benda; konsep berlawanan; pengetahuan tentang empat arah mata angin utama; kesadaran tubuh yang baik, pemahaman tentang akibat dari putaran dalam hubungannya dengan arah.


(25)

BAB III

METODE PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan memecahkan masalah yang muncul dalam dunia pendidikan bagi tunanetra. Penelitian biasanya berangkat dari adanya kesenjangan yang terjadi antara kondisi ideal dengan kenyataan yang ada di lapangan. Kondisi idealnya yaitu seharusnya tunanetra mendapatkan kemudahan dalam mengorientasi suatu obyek atau benda yang ada di lingkungan sekitar, namun kenyataannya tunanetra mengalami kesulitan yang berarti dalam mengorientasi obyek atau benda tersebut. Kesulitan ini terjadi sebagai salah satu dampak dari ketunanetraan itu sendiri, yaitu dengan tidak berfungsinya penglihatan tunanetra mengalami kesulitan dalam mengorientasi obyek atau benda, hal ini disebabkan oleh karena “indera-indera selain penglihatan tidak bisa menggantikan sepenuhnya fungsi indera penglihatan secara efektif dalam memproses informasi.” (Jan et al. 1977 dalam Mason and McCall, 1997: 27).

Penelitian ini menggunakan metode eksperimen. Menurut Sugiyono (2010: 107) “... metode penelitian eksperimen dapat diartikan sebagai metode penelitian yang digunakan untuk mencari pengaruh perlakuan tertentu terhadap yang lain dalam kondisi yang terkendalikan”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penggunaan media audio “kotak orientasi” terhadap kemampuan tunanetra dalam mengorientasi obyek atau benda di lingkungan. Penelitian ini memberikan perlakuan kepada subyek berupa latihan orientasi terhadap obyek atau benda yang masih merupakan kesulitan bagi tunanetra.

Metode eksperimen yang digunakan dalam penelitian ini adalah Single


(26)

Yang dimaksud subyek tunggal dalam penelitian adalah perilaku yang akan diubah, yaitu kemampuan mengorientasi obyek atau benda di lingkungan pada tunanetra. Menurut Sunanto, dkk., (2005: 12) bahwa SSR adalah penelitian yang dilakukan terhadap subyek tunggal untuk mengetahui seberapa besar pengaruh suatu perlakuan atau pelatihan yang diberikan kepada subyek. Oleh karena itu SSR merupakan “suatu desain eksperimen dengan setiap individu menjadi kontrol atas dirinya sendiri” (Sunanto, et al., 2006: 11). Perlakuan yang diberikan kepada

subyek berupa latihan mengorientasi obyek atau benda dengan menggunakan

media audio “kotak orientasi”.

A. Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain A-B-A. Menurut Sunanto, dkk., (2005: 61) bahwa desain A-B-A menunjukkan adanya hubungan sebab akibat yang lebih kuat antara variabel bebas dengan variabel terikat. Desain A-B-A merupakan salah satu bentuk desain subyek tunggal. “Pada desain subyek tunggal pengukuran variabel terikat atau target behavior dilakukan berulang-ulang dengan periode waktu tertentu misalnya perminggu, perhari, atau perjam. ” (Sunanto, dkk., 2005: 56). Dalam penelitian ini menggunakan periode waktu perjam dan perhari. Adapun yang menjadi target behavior adalah kemampuan mengorientasi obyek atau benda berupa menunjuk, menuju, dan mendeskripsikan letak obyek atau benda dari posisi diri. “Menunjuk” maksudnya menunjuk ke arah obyek atau benda sebagai target orientasi; “Menuju” maksudnya berjalan menuju ke arah obyek atau benda sebagai target orientasi, dan berjalan menuju (kembali) maksudnya kembali ke arah semula sebagai titik awal orientasi; sedangkan “mendeskripsikan”


(27)

maksudnya adalah menjelaskan letak dan posisi obyek atau benda yang satu dengan obyek yang lainnya dan hubungan antara obyek-obyek itu serta kaitannya dengan posisi dirinya. Desain A-B-A terdapat tiga tahapan, yaitu A1: (baseline kesatu); B: intervensi/latihan; dan A2: (baseline kedua). Yang dimaksud baseline kesatu “adalah kondisi di mana pengukuran target behavior dalam hal ini adalah kemampuan tunanetra dalam mengorientasi obyek atau benda di lingkungan sekitar yang dilakukan pada keadaan natural sebelum dilakukan intervensi atau latihan apapun.” Sedangkan yang dimaksud kondisi di sini adalah kondisi baseline dan kondisi eksperimen (intervensi).” “Kondisi eksperimen adalah kondisi di mana suatu intervensi telah diberikan dan target behavior diukur di bawah kondisi tersebut.” (Sunanto, dkk., 2005: 56). Dalam penelitian ini kondisi eskperimen adalah kemampuan mengorientasi obyek atau benda pada tunanetra yang berupa perilaku menunjuk, menuju, dan mendeskripsikan.

Prosedur dasar desain A-B-A adalah: “Mula-mula target behavior diukur secara kontinyu pada kondisi baseline (A1) dengan periode waktu tertentu kemudian pada kondisi intervensi (B).” (Sunanto, dkk., 2005:61). Dan setelah itu dilakukan pengukuran pada kondisi baseline kedua (A2). ”Penambahan kondisi baseline yang kedua (A2) ini dimaksudkan sebagai

kontrol untuk fase intervensi sehigga memungkinkan untuk menarik kesimpulan adanya hubungan fungsional antara variabel bebas dan variabel terikat.” (Sunanto, dkk., 2005:61). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat grafik di bawah ini:


(28)

(Sunanto, 2005:61)

Grafik 3.1 Prosedur Dasar Desain A-B-A Baseline kesatu (A1):

Baseline kesatu (A1) merupakan kondisi kemampuan tunanetra dalam

mengorientasi obyek atau benda sebelum diberi perlakuan atau intervensi berupa latihan orientasi obyek atau benda menggunakan media audio “kotak orientasi”. Pada fase ini, pengukuran kemampuan mengorientasi obyek atau benda dilakukan secara berulang-ulang. Pengukuran ini dilakukan beberapa kali, yaitu sebanyak lima sesi, setiap sesi 20 menit, atau sampai mencapai kondisi stabil. Untuk mencapai kondisi stabil dapat diambil dari rata-rata beberapa sesi atau dari yang terbaik diatara kondisi yang ada. Hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan dasar pembanding pengaruh latihan orientasi obyek atau benda menggunakan media

audio “kotak orientasi”. Intervensi (B):

Merupakan kondisi kemampuan tunanetra mengorientasi obyek atau benda selama perlakuan atau intervensi berupa latihan mengorientasi obyek atau benda menggunakan media audio “kotak orientasi”. Latihan mengorientasi obyek atau benda di sini meliputi mengenal dan memahami letak dan posisi obyek atau benda

Sesi (waktu)

Ta

rge

t B

eha

viou

r

Baseline

kesatu (A1)

Intervensi (B)

Baseline

kedua (A2)


(29)

di lingkungan sekitar yang dapat diukur melalui menunjuk letak obyek atau benda dari posisi dirinya secara tepat, berjalan menuju ke arah obyek atau benda dari posisi dirinya dan berjalan menuju (kembali) ke tempat asal atau arah semula dengan tepat, dan mendeskripsikan letak dan posisi obyek atau benda dari posisi dirinya dan hubungannya dengan obyek-obyek lain yang ada di lingkungan sekitar secara tepat.

Pada fase ini, intervensi dilakukan secara berulang-ulang sebanyak lima sesi, setiap sesi 20 menit. Hal ini untuk mengetahui peningkatan kemampuan tunanetra dalam mengorientasi obyek atau benda menggunakan media audio “kotak orientasi”.

Baseline kedua (A2):

Fase baseline kedua (A2) merupakan post intervensi yaitu kondisi kemampuan tunanetra dalam mengorientasi obyek atau benda setelah dilakukan intervensi atau latihan mengorientasi obyek atau benda menggunakan media

audio “kotak orientasi”. Hal ini untuk mengetahui seberapa besar peningkatan kemampuan mengorientasi obyek atau benda menggunakan media audio “kotak orientasi” yang dilihat dari peningkatan baseline kesatu (A1) ke baseline kedua

(A2). Pada fase ini, pengukuran kemampuan mengorientasi obyek atau benda dilakukan secara berulang-ulang sebanyak lima sesi setiap sesi 20 menit. Hal ini dimaksudkan sebagai kontrol untuk fase intervensi sehingga dapat menarik kesimpulan adanya hubungan fungsional antara variabel bebas dengan variabel terikat.


(30)

B. Subyek dan Lokasi Penelitian

Subyek penelitian dalam penelitian ini adalah dua orang mahasiswa tunanetra jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Fakultas Pendidikan Bahasa dan Sastra (FPBS) Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) sebagai klien. Keduanya adalah mahasiswa tunanetra yang termasuk kategori buta total (totally blind) yang memiliki pendengaran baik dan tidak mengalami kecacatan lain. Subyek juga sudah memahami konsep arah, jarak, ukuran, dan posisi. Penelitian dilakukan di ruang kuliah FIP sebagai tempat latihan orientasi. Peneliti mengambil sebanyak 17 ruangan yang dijadikan tempat latihan orientasi.

Subyek yang diteliti adalah:

Subyek I:

Nama : IVN

Jenis kelamin : Laki-laki

Umur : 25 tahun (Jakarta)

Usia Ketunanetraan : 2 tahun Penyebab Ketunanetraan : Astigmatism

Kondisi Visual : Total blindness (tidak memiliki persepsi cahaya)

Kondisi Pendengaran : Bagus, telinga kiri dan kanan dapat mendengar dengan jelas

Keterangan : Mahasiswa jurusan Sastra Inggris FPBS UPI


(31)

Subyek II:

Nama : (DNT)

Jenis kelamin : laki-laki

Umur : 26 tahun (Flores NTT)

Usia Ketunanetraan : 2 tahun Penyebab Ketunanetraan : Rubella

Kondisi Visual : Total blindness (tidak bisa melihat sama sekali)

Kondisi Pendengaran : Bagus, ada kecenderungan memiringkan kepala ke kiri.

Keterangan : Mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FPBS UPI

C. Prosedur Penelitian

Pengumpulan data dilakukan menggunakan teknik observasi. Menurut Alwasilah (2008) teknik observasi ini digunakan untuk mengumpulkan informasi dari sudut pandang responden, kejadian, peristiwa, atau proses yang dapat diamati. Penelitian ini menggunakan teknik observasi karena meneliti perilaku manusia, yaitu perilaku yang akan diubah berupa kemampuan mahasiswa tunanetra dalam mengorientasi obyek atau benda yang berupa menunjuk, menuju, dan mendeskripsikan letak obyek atau benda dari posisi diri. Subyek penelitian adalah dua orang mahasiswa tunanetra. Hal ini sesuai yang diungkapkan oleh Sugiyono (2010:203): “Teknik pengumpulan data dengan observasi digunakan bila, penelitian berkenaan dengan perilaku


(32)

manusia, proses kerja, gejala-gejala alam dan bila responden yang diamati tidak terlalu besar.”

Penekanan observasi adalah mengamati subjek penelitian sejauh dapat diindra oleh peneliti. Fungsinya untuk memperoleh data secara apa adanya langsung dari perilaku subjek penelitian ini. Pengumpulan data melalui teknik observasi dilakukan dengan cara pengamatan kejadian, mengukurnya, dan mencatatnya.

Prosedur penelitian yang akan dilakukan adalah:

1. Kondisi baseline kesatu (A1):

Peneliti menyiapkan tempat latihan orientasi yang belum diketahui oleh subyek sebelum kegiatan dimulai. Dalam fase ini subyek diminta berada di pintu atau tengah-tengah tempat latihan orientasi sebagai titik awal orientasi (focal point) untuk mengorientasi obyek atau benda. Peneliti menginstruksikan kepada subyek untuk melakukan orientasi obyek atau benda dengan teknik dan cara yang dimilikinya. Mungkin menggunakan

grid system atau perimeter methode atau menggunakan caranya sendiri

secara alami. Pada saat subyek melakukan orientasi obyek atau benda, peneliti mengamati secara cermat dan dibantu dengan alat perekam kamera digital agar kegiatan subyek dapat diamati secara lengkap dan detail, serta apa adanya. Kegiatan ini berlangsung sekitar 20 menit dan dilakukan secara berulang.

Setelah kegiatan orientasi obyek atau benda dilakukan, subyek diminta memposisikan diri di pintu atau di tengah-tengah tempat latihan orientasi, kemudian diminta menunjukkan letak obyek atau benda dari


(33)

posisi dirinya, menuju ke obyek atau benda sebagai target orientasi dan kemudian kembali ke tempat semula, dan mendeskripsikan satu persatu tentang letak obyek atau benda yang satu dengan yang lainnya dari posisi diri.

2. Kondisi Intervensi (B):

Peneliti menyiapkan tempat latihan orientasi yang belum diketahui atau dikenal oleh subyek sebelum kegiatan dimulai. Peneliti terlebih dahulu melakukan latihan intervensi sebelum intervensi yang sebenarnya dilakukan. Latihan ini dilakukan agar peneliti tidak canggung dan ragu dalam melakukan intervensi yang sebenarnya. Selain itu kemungkinan munculnya kendala dan kesulitan pada saat intervensi akan dapat diminimalisir. Sehingga proses intervensi akan dapat berjalan dengan lancar. Dalam latihan ini menggunakan mahasiswa tunanetra lain selain subyek penelitian.

Pelaksanaan intervensi berupa latihan orientasi menggunakan

media audio “kotak orientasi”, melalui prosedur sebagai berikut: a. Mengenal Arah Mata angin di Tempat Latihan Orientasi

Kegiatan yang dilakukan adalah: (1) Memasang empat kotak orientasi di empat dinding ruang sebagai tempat latihan orientasi, dengan posisi “kotak orientasi” yang bersuara “utara” di letakkan di dinding ruang sebelah “utara”, kotak orientasi yang bersuara “selatan” di letakkan di dinding ruang sebelah “selatan”, kotak orientasi yang bersuara “timur” di letakkan di dinding ruang sebelah “timur”, dan kotak orientasi yang bersuara “barat” di letakkan di dinding ruang sebelah “barat”.; (2) Menempatkan


(34)

subyek di satu titik posisi tertentu di ruang (tempat latihan orientasi) sebagai titik awal orientrasi; (3) Kotak orientasi dibunyikan/dihidupkan satu-persatu secara bergantian, dimulai menghidupkan suara utara beberapa detik kemudian dimatikan, selanjutnya menghidupkan suara selatan beberapa detik kemudian dimatikan, dilanjutkan menghidupkan suara timur beberapa detik kemudian dimatikan, dan terakhir menghidupkan suara barat beberapa detik kemudian dimatikan. Pada saat kotak orientasi dibunyikan secara bergantian subyek diminta memperhatikan keempat suara tersebut dengan cermat agar mengetahui dengan pasti letak empat arah mata angin di tempat latihan orientasi yang akan digunakan sebagai focal point dan clue. Pada fase ini kegiatan diulangi sampai subyek paham. Subyek diminta memperhatikan dengan cermat dan mengingatnya; (4) Subyek tetap berada di satu titik posisi tertentu di ruang sebagai tempat latihan orientasi. Suara utara dibunyikan beberapa detik kemudian dimatikan. Selanjutnya subyek diminta menghadap ke arah utara dan kemudian menunjuk ke arah utara. Kegiatan diulang sampai subyek paham, yaitu menunjuk tepat pada titik nol target orientasi; (5) Subyek tetap berada di satu titik posisi tertentu ruang sebagai tempat latihan orientasi. Suara selatan dibunyikan beberapa detik kemudian dimatikan. Subyek diminta menghadap ke arah selatan dan kemudian diminta menunjuk ke arah selatan. Kegiatan ini diulang sampai subyek paham yaitu menunjuk tepat pada titik nol target orientasi; (6) Subyek tetap berada di satu titik posisi tertentu ruang sebagai tempat latihan orientasi. Suara timur dibunyikan beberapa detik kemudian


(35)

dimatikan. Subyek diminta menghadap ke arah timur dan kemudian menunjuk ke arah timur. Kegiatan ini diulang sampai subyek paham yaitu menunjuk tepat pada titik nol target orientasi; (7) Subyek tetap berada di satu titik posisi tertentu ruang sebagai tempat latihan orientasi. Suara barat dibunyikan beberapa detik kemudian dimatikan. Subyek diminta menghadap ke arah barat dan kemudian menunjuk ke arah barat. Kegiatan ini diulang sampai subyek paham yaitu menunjuk tepat pada titik nol target orientasi.

b. Menunjuk ke arah Obyek atau Benda sebagai Target Orientasi

Kegiatan yang dilakukan adalah: (1) subyek ditempatkan di satu titik posisi tertentu tempat latihan orientasi (ruangan) sebagai titik awal orientasi dengan posisi menghadap ke arah utara; subyek diinformasikan bahwa tempat diletakkannya kotak orientasi utara, selatan, timur, dan barat digunakan sebagai focal point dan suara empat arah mata angin yaitu utara, selatan, timur, dan barat digunakan sebagai clue. Selanjutnya subyek diorientasikan (misalnya) bahwa “pintu” berada tepat pada arah utara sebagai titik nol target orientasi, “meja dosen” berada tepat pada arah barat sebagai titik nol target orientasi, “tempat duduk teman” berada tepat pada arah selatan sebagai titik nol target orientasi, “almari” berada tepat pada arah timur sebagai titik nol target orientasi, dan seterusnya; selanjutnya (2) suara utara dibunyikan beberapa detik kemudian dimatikan, (3) subyek diminta menunjuk ke arah “pintu” dari posisi dirinya, tepat pada titik nol target orientasi; kemudian (4) suara selatan dibunyikan beberapa detik kemudian dimatikan; kemudian subyek diminta menunjuk ke arah “tempat


(36)

duduk temannya” dari posisi dirinya, tepat pada titik nol target orientasi; kemudian (5) suara timur dibunyikan beberapa detik kemudian dimatikan, kemudian subyek diminta menunjuk ke arah “almari” dari posisi dirinya, tepat pada titik nol target orientasi; (6) suara barat dibunyikan beberapa detik kemudian dimatikan; kemudian subyek diminta menunjuk ke arah “meja dosen” dari posisi dirinya, tepat pada titik nol target orientasi. Dan seterusnya melalui kotak orientasi sebagai focal point dan clue, subyek diorientasikan obyek atau benda yang ada di sekitar tempat latihan orientasi. Kegiatan ini diulang sampai subyek paham, yaitu dapat menunjuk ke arah titik nol target orientasi secara tepat. Apabila belum dapat menunjuk dengan tepat ke arah titik nol target orientasi maka diulang sampai tepat.

c. Menuju ke Obyek atau Benda dan Kembali ke Tempat Semula

Kegiatan yang dilakukan adalah: (1) subyek ditempatkan di satu titik posisi tertentu ruang sebagai titik awal orientasi dengan posisi menghadap ke arah utara; subyek diinformasikan bahwa tempat diletakkannya kotak orientasi yang bersuara utara, selatan, timur, dan barat digunakan sebagai

focal point dan suara utara, selatan, timur, dan barat digunakan sebagai clue. (2) suara utara dibunyikan beberapa detik, subyek diminta

memperhatikan secara cermat, kemudian dimatikan; setelah itu subyek diminta berjalan menuju ke “pintu” sebagai target orientasi, kemudian kembali berjalan menuju ke tempat asal atau arah semula yaitu ke arah satu titik posisi tertentu ruang sebagai tempat latihan orientasi; selanjutnya (3) suara selatan dibunyikan beberapa detik, kemudian dimatikan;


(37)

kemudian subyek diminta berjalan menuju ke “tempat duduk teman” dan kemudian kembali berjalan menuju ke tempat asal atau ke arah semula yaitu ke satu titik posisi tertentu ruang tempat latihan orientasi; selanjutnya (4) suara timur dibunyikan beberapa detik, kemudian dimatikan. Subyek diminta berjalan menuju ke “almari”, kemudian kembali berjalan menuju ke tempat semula atau ke arah semula yaitu ke satu titik posisi tertentu ruang tempat latihan orientasi; (5) suara barat dibunyikan beberapa detik, kemudian dimatikan. Subyek diminta berjalan menuju ke “meja dosen”, kemudian kembali berjalan menuju ke tempat semula atau ke arah asal yaitu ke satu titik posisi tertentu ruang sebagai tempat latihan orientasi. Dan seterusnya melalui kotak orientasi sebagai

focal point dan clue, subyek diorientasikan obyek atau benda yang ada di

sekitar tempat latihan orientasi. Kegiatan ini diulang sampai subyek paham, yaitu jika subyek dapat berjalan menuju ke tepat pada titik nol target orientasi berarti tepat sekali.

d. Mendeskripsikan Letak Obyek atau Benda dari Posisi Diri

Kegiatan yang dilakukan adalah: (1) subyek ditempatkan di satu titik posisi tertentu di tempat latihan orientasi (ruang) sebagai titik awal orientasi dengan posisi menghadap ke arah utara; subyek diinformasikan bahwa tempat diletakkannya kotak orientasi yang bersuara utara, selatan, timur, dan barat digunakan sebagai focal point dan suara utara, selatan, timur, dan barat digunakan sebagai clue. (2) suara utara dibunyikan beberapa detik, kemudian dimatikan; kemudian subyek diminta mendeskripsikan di mana letak obyek atau benda dengan menggunakan


(38)

focal point dan clue arah utara; misalnya: pintu letaknya tepat di arah

utara, meja dosen letaknya 200 cm ke arah kiri dari titik utara, dan seterusnya; kemudian (3) suara selatan dibunyikan beberapa detik, kemudian dimatikan; kemudian subyek diminta mendeskripsikan di mana letak obyek atau benda dengan menggunakan focal point dan clue arah selatan; misalnya: tempat duduk teman letaknya tepat di arah selatan, meja dosen letaknya di 50 cm ke arah kanan dari titik selatan, dan seterusnya; selanjutnya (4) suara timur dibunyikan beberapa detik, kemudian dimatikan; kemudian subyek diminta mendeskripsikan di mana letak obyek atau benda dengan menggunakan focal point dan clue arah timur; misalnya: almari letaknya tepat pada arah timur, tempat duduk teman letaknya 150 cm ke arah kiri dari titik timur; (5) suara barat dibunyikan beberapa detik, kemudian dimatikan; kemudian subyek diminta mendeskripsikan di mana letak obyek atau benda dengan menggunakan

focal point dan clue arah barat. Misalnya: meja dosen letaknya tepat di

arah barat, pintu letaknya 200 cm ke arah kanan dari titik barat. Dan seterusnya melalui kotak orientasi sebagai focal point dan clue, subyek mendeskripsikan obyek atau benda yang ada di lingkungan sekitar tempat latihan orientasi. Kegiatan ini diulang sampai paham, yaitu subyek dapat mendeskripsikan letak-letak dan posisi obyek atau benda dari posisi dirinya. Apabila tepat pada titik nol target orientasi maka tepat sekali.


(39)

3. Pencatatan data

Perkembangan kognitif berupa kemampuan mahasiswa tunanetra dalam mengorientasi obyek atau benda terus dicatat pada fase A1 (baseline kesatu) dan B (fase intervensi). Peneliti selalu mengamati dan memberikan instruksi kepada subyek ketika proses latihan mengorientasi obyek atau benda menggunakan kotak orientasi berlangsung pada setiap sesi. Latihan orientasi obyek atau benda yang ada di lingkungan sekitar. Pada akhir setiap sesi peneliti melakukan tes kemudian mencatat dan menghitung ketepatan atau penyimpangan subyek dari target orientasi dalam mengorientasi obyek atau benda.

Adapun prosedur pencatatan dan penghitungannya adalah sebagai berikut:

Arah (arah mata angin) dalam ruangan sebagai tempat latihan

orientasi akan diukur dengan cara: (1) setelah dilakukan intervensi, subyek ditempatkan di satu titik posisi tertentu di ruangan sebagai titik awal orientasi; kemudian (2) subyek diminta menunjuk ke empat arah mata angin di tempat latihan orientasi satu persatu dengan tepat. Ketepatan dapat diukur dengan menghitung berapa cm/m penyimpangan dari titik nol target orientasi ke arah yang ditunjuk oleh subyek. Semakin dekat, maka semakin tepat. Apabila tepat pada titik nol target orientasi berarti tepat sekali.

Menunjuk akan diukur dengan cara: setelah intervensi dilakukan, (1)

subyek berada di satu titik posisi tertentu di ruangan tempat latihan orientasi sebagai titik awal orientasi; (2) subyek diminta menghadap ke empat arah mata angin satu persatu, kemudian (3) subyek diminta menunjuk ke arah


(40)

obyek atau benda sebagai titik nol target orientasi. Misalnya: subyek menunjuk tepat ke arah pintu sebagai titik nol target orientasi; subyek menunjuk tepat ke arah meja dosen sebagai titik nol target orientasi; subyek menunjuk tepat ke arah tempat duduk teman sebagai titik nol target orientasi; subyek menunjuk tepat ke arah almari sebagai titik nol target orientasi. Dan seterusnya, subyek dapat menunjuk dengan tepat pada obyek atau benda sebagai target orientasi yang ada di tempat latihan orientasi yang telah diorientasikan menggunakan kotak orientasi sebagai focal point dan clue.

Ketepatan menunjuk obyek atau benda sebagai target orientasi dapat diukur dengan mengukur berapa cm penyimpangan antara tempat atau lokasi yang ditunjuk oleh subyek dengan lokasi target orientasi sebagai titik nol target orientasi. Apabila tepat pada titik nol target orientasi maka tepat sekali.

Menuju akan diukur dengan cara, setelah dilakukan intervensi, (1)

subyek berada di satu titik posisi tertentu di ruangan atau tempat latihan orientasi sebagai titik awal orientasi, setelah subyek diorientasikan terhadap obyek atau benda yang ada di tempat latihan orientasi menggunakan kotak orientasi sebagai focal point dan clue, kemudian (2) subyek diminta berjalan menuju ke letak obyek atau benda yang telah diorientasikan tersebut satu persatu. Misalnya: (a) subyek berjalan menuju ke pintu secara tepat, kemudian kembali berjalan menuju ke tempat asal atau arah semula secara tepat pula; (b) subyek berjalan menuju ke meja dosen secara tepat, kemudian kembali berjalan menuju ke tempat asal atau arah semula secara tepat pula; (c) subyek berjalan menuju ke tempat duduk teman secara tepat, kemudian kembali berjalan menuju ke tempat asal atau arah semula secara tepat pula;


(41)

(d) subyek berjalan menuju ke almari secara tepat, kemudian kembali berjalan menuju ke tempat asal atau arah semula secara tepat pula. Selanjutnya subyek diminta berjalan menuju ke obyek atau benda lainnya yang telah diorientasikan menggunakan kotak orientasi sebagai focal point dan clue.

Ketepatan berjalan menuju ke obyek atau benda sebagai target orientasi dapat diukur dengan mengukur berapa cm penyimpangan dari tempat atau lokasi yang dituju oleh subyek dengan lokasi target orientasi sebagai titik nol target orientasi. Apabila tepat pada titik nol target orientasi maka tepat sekali.

Mendeskripsikan akan diukur dengan cara, setelah intervensi

dilakukan, (1) subyek berada di satu titik posisi tertentu di ruangan atau tempat latihan orientasi sebagai titik awal orientasi, setelah subyek diorientasikan terhadap obyek atau benda yang ada di tempat latihan orientasi menggunakan kotak orientasi sebagai focal point dan clue, (2) subyek diminta mendeskripsikan letak dan posisi obyek satu dengan yang lainnya dan hubungan obyek satu dengan lainnya serta hubungannya dengan posisi diri. Misalnya: subyek mendeskripsikan bahwa letak pintu tepat di titik utara, letak almari di 200 cm sebelah kanan dari titik utara, letak tempat duduk teman di 150 cm sebelah kiri dari titik utara, dan seterusnya.

Ketepatan mendeskripsikan letak obyek atau benda sebagai target orientasi dapat diukur dengan mengukur berapa cm penyimpangan dari tempat atau lokasi yang dideskripsikan oleh subyek dengan lokasi target orientasi sebagai titik nol target orientasi. Apabila tepat pada titik nol target orientasi maka tepat sekali.


(42)

Hasil pencatatan dan penghitungan tersebut diharapkan dapat

menggambarkan bahwa subyek mengalami peningkatan kemampuan dalam mengorientasi obyek atau benda di lingkungan sekitar menggunakan kotak orientasi. Hasil pencatatan dan penghitungan dari fase A1 (baseline kesatu), B (intervensi), dan A2 (baseline kedua) yang berupa data dimasukkan ke dalam grafik dan atau tabel, sehingga dapat diamati dengan mudah dan jelas perubahan kondisi pada setiap fase.

D. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui observasi. Penekanan observasi adalah mengamati subjek penelitian sejauh dapat diindra oleh peneliti. Fungsinya untuk memperoleh data secara apa adanya langsung dari kemampuan mengorientasi obyek atau benda sebagai target orientasi yang meliputi menunjuk, menuju, dan mendeskripsikan yang dilakukan subjek penelitian sebagai target behavior. Pengumpulan data melalui teknik observasi dilakukan dengan cara pengamatan kejadian, mengukurnya, dan mencatatnya. Data yang dikumpulkan berupa kemampuan mengorientasi obyek atau benda pada mahasiswa tunanetra untuk mengetahui adanya pengaruh penggunaan media

oudio “kotak orientasi” terhadap kemampuan mengorientasi obyek atau benda pada mahasiswa tunanetra.


(43)

E. Pengolahan dan Analisis Data

Data yang telah dicatat dari hasil observasi kemudian dianalisis dengan membandingkan hasil penelitian pada fase A1 (baseline kesatu), dan A2 (baseline kedua) setelah subyek mendapatkan perlakuan berupa pelatihan orientasi obyek atau benda selama fase intervensi berupa menunjuk, menuju, dan mendeskripsikan letak dan posisi obyek atau benda yang ada di tempat latihan orientasi. Data yang dicatat dan terkumpul kemudian diolah dan dianalisis menggunakan statistik deskriptif yaitu dengan menggunakan grafik. Hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran secara rinci dan jelas mengenai hasil intervensi atau pelatihan orientasi obyek atau benda dalam jangka waktu yang telah ditentukan dalam penelitian ini. Sehingga data yang diperoleh dari hasil pengamatan pada fase baseline dan intervensi atau pelatihan orientasi obyek atau benda akan tergambar dalam grafik agar mudah dibaca dan dilihat ada tidaknya pengaruh penggunaan media audio “kotak orientasi” terhadap kemampuan orientasi obyek atau benda pada mahasiswa tunanetra.

Adapun langkah-langkah analisis data adalah sebagai berikut:

1. Mencatat data dari hasil pengukuran pada fase baseline kesatu pada setiap sesi;

2. Mencatat data dari hasil pengukuran pada fase intervensi atau pelatihan orientasi obyek atau benda pada setiap sesi;

3. Mencatat data dari hasil pengukuran pada fase baseline kedua pada setiap sesi;


(44)

4. Membuat tabel perhitungan dari data pada fase baseline kesatu, intervensi atau pelatihan, dan fase baseline kedua pada setiap sesi;

5. Menghitung atau mengukur selisih antara titik nol target orientasi atau ukuran yang sebenarnya terhadap titik yang ditunjuk, dituju, dan dideskripsikan oleh subyek. Atau menghitung berapa besar perbedaan antara titik ukuran yang sebenarnya yaitu titik nol target orientasi dengan titik yang ditunjuk, dituju, dan dideskripsikan oleh subyek.

6. Menjumlahkan hasil penghitungan pada poin tersebut di atas (no.5) pada fase baseline kesatu, intervensi atau pelatihan, dan fase baseline kedua setiap sesi;

7. Menghitung rata-rata skor yang diperoleh pada setiap sesi dan setiap fase; 8. Membandingkan rata-rata penyimpangan dari titik nol target orientasi pada

fase baseline kesatu, intervensi atau pelatihan, dan rata-rata pada fase

baseline kedua;

9. Membuat analisis dalam bentuk grafik garis dan atau batang, agar dapat dilihat dengan jelas dan rinci perubahan yang terjadi dari ketiga fase tersebut;

F. Persiapan dan Prosedur Penelitian 1. Persiapan

Langkah-langkah yang dilakukan sebelum penelitian dilaksanakan adalah sebagai berikut:

a. Melakukan studi pendahuluan mengenai masalah yang akan diteliti, yaitu kondisi subjek di lapangan.


(45)

b. Mengajukan permohonan pengangkatan dosen pembimbing.

c. Menetapkan subjek penelitian yaitu dua orang mahasiswa tunanetra UPI.

d. Melakukan perijinan dengan mengurus surat penelitian dari Sekolah Pascasarjana UPI.

e. Permohonan perijinan penelitian ke FIP UPI. f. Menyusun kisi-kisi instrumen penelitian. g. Membuat instrumen penelitian.

h. Melakukan uji coba instrumen penelitian kepada subyek lain, selain subyek penelitian.

i. Menyiapkan dan memilih tempat latihan orientasi, media audio “kotak orientasi, alat, dan kamera digital.

j. Memilih dan menghubungi subyek penelitian.

k. Mencari dan menghubungi tiga orang mahasiswa untuk membantu proses pengambilan data, yaitu proses observasi menggunakan kamera digital.

2. Prosedur Penelitian

Prosedur penelitian dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:

a. A1 (baseline kesatu):

Pengukuran kemampuan orientasi obyek atau benda pada mahasiswa tunanetra dilakukan secara natural apa adanya pada fase ini. Pengukuran dilakukan secara berulang sebanyak lima sesi dalam


(46)

periode waktu selama 20 menit. Masing-masing sesi dilakukan pada jam atau hari yang berbeda namun dengan cara yang sama, tanpa menggunakan media audio “kotak orientasi”, dan tanpa intervensi. Hasil dari fase ini adalah data yang merupakan gambaran kemampuan mengorientasi obyek atau benda berupa menunjuk, menuju, dan mendeskripsikan yang akan ditetapkan sebagai baseline kesatu.

Pada fase ini, pengukuran kemampuan orientasi obyek atau benda pada mahasiswa tunanetra dilakukan dengan cara: (1) mempersiapkan tempat latihan orientasi yang didesain untuk keperluan penelitian. Tempat latihan orientasi ini belum di kenal oleh subyek; (2) mempersiapkan instrumen observasi; (3) mempersiapkan tiga orang mahasiswa untuk membantu mengobservasi menggunakan kamera digital; (4) meminta subyek untuk menempatkan diri di pintu ruang tempat latihan orientasi atau di satu titik posisi tertentu di ruang tersebut sebagai titik awal untuk orientasi; (5) meminta subyek untuk melakukan orientasi obyek atau benda dengan caranya sendiri dan dilakukan secara apa adanya (natural); (6) peneliti dibantu oleh tiga orang perekam kegiatan ini mengobservasi secara cermat apa yang dilakukan subyek; kegiatan mengorientasi obyek atau benda ini dilakukan secara berulang; (7) subyek diminta berada di pintu atau di satu titik posisi tertentu di ruang sebagai tempat latihan orientasi, selanjutnya satu persatu subyek diminta menunjuk arah mata angin dalam ruang dari posisi dirinya, menunjuk obyek atau benda yang ada di tempat latihan orientasi, berjalan menuju ke obyek atau benda yang


(47)

telah diorientasi dan berjalan menuju ke tempat semula, dan mendeskripsikan letak dan posisi obyek atau benda serta hubungan antar obyek tersebut kaitannya dengan posisi diri; (8) peneliti mengukur ketepatan subyek dalam mengorientasi obyek atau benda; dan (9) peneliti mencatat hasil pengukuran dan menghitung rata-rata setiap sesi.

b. B (Intervensi atau Latihan Mengorientasi Obyek):

Fase intervensi berupa pelatihan mengorientasi obyek atau benda di lingkungan sekitar menggunakan media audio “kotak orientasi” dilakukan setelah fase baseline kesatu. Intervensi dilakukan

sebanyak lima sesi, setiap sesi memerlukan waktu 20 menit. Berikut ini adalah perlakuan yang diberikan kepada subyek berupa latihan orientasi obyek atau benda menggunakan media audio “kotak orientasi”. Latihan orientasi obyek atau benda ini mencakup perilaku menunjuk, menuju, dan mendeskripsikan. Langkah-langkahnya adalah: 1) Menyiapkan alat, yaitu berupa media audio “kotak orientasi”.

Pastikan bahwa kotak orientasi siap dipakai.

2) Memasang kotak orientasi di empat dinding ruang sebagai tempat latihan orientasi yang telah disiapkan tersebut.

3) Intervensi/latihan diberikan kepada subyek penelitian. Sebelumnya peneliti melakukan latihan mengorientasi latihan orientasi obyek atau benda menggunakan kotak orientasi sebagai uji coba kepada mahasiswa lain selain subyek. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya kendala dan masalah.


(48)

Selain itu juga untuk meminimalisir kendala yang tidak diinginkan dan untuk memperlancar kegiatan intervensi/latihan serta untuk mengetahui berapa menit waktu yang dibutuhkan dalam satu sesi. 4) Mengkondisikan ruang sebagai tempat latihan orientasi, yaitu

ruang ditata sedemikian rupa sehingga siap digunakan untuk intervensi/latihan. Dalam ruang sebagai tempat latihan orientasi tidak ada orang lain selain subyek, peneliti, dan tiga orang perekam yang telah siap merekam kegiatan intervensi/latihan mengorientasi obyek atau benda.

5) Peneliti memberikan pengarahan kepada subyek ketika kegiatan intervensi/pelatihan akan dimulai. Hal ini dimaksudkan agar subyek memahami apa yang harus dilakukan dalam intervensi/latihan.

6) Subyek diminta melakukan isi instruksi yang diberikan oleh peneliti.

7) Subyek diminta melakukan kegiatan langkah demi langkah dalam melakukan latihan mengorientasi obyek atau benda di tempat latihan orientasi. Latihan diulang-ulang sampai subyek paham dan dapat melakukan latihan orientasi obyek atau benda dengan mudah dan tepat. Orientasi yang dilakukan meliputi menunjuk, menuju, dan mendeskripsikan letak latihan orientasi obyek atau benda dan hubungan antara letak dan posisi obyek atau benda tersebut kaitannya dengan posisi diri.


(49)

8) Peneliti mencatat perlakuan berupa menunjuk, menuju, dan mendeskripsikan pada setiap sesi dan kemudian menuangkan ke dalam tabel.

c. A2 (Baseline kedua):

Pada fase ini, pengukuran kemampuan mengorientasi obyek atau benda di lingkungan sekitar menggunakan media audio “kotak orientasi” dilakukan secara berulang, yaitu sebanyak lima sesi setiap sesi selama 20 menit. Kegiatan ini dilakukan untuk mendapatkan

baseline kedua yang digunakan sebagai landasan pembanding

kemampuan mengorientasi obyek atau benda pada mahasiswa tunanetra. Dalam fase ini, masing-masing sesi dilakukan dengan cara yang berbeda dengan baseline kesatu, yaitu pada baseline kesatu kegiatan mengorientasi obyek atau benda dilakukan tanpa alat bantu

media audio, sedangkan pada baseline kedua menggunakan alat bantu media audio “kotak orientasi”. Waktu yang diperlukan adalah 20 menit dalam setiap sesi, setiap sesi dilakukan pada jam dan hari yang berbeda.


(50)

(51)

BAB V

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

A. Kesimpulan

Berdasarkan data skor hasil penelitian dan penghitungannya yang dipaparkan di bab IV dan bagian lampiran, dapat dikatakan bahwa penggunaan media audio “kotak orientasi” memiliki pengaruh yang kuat terhadap kemampuan mengorientasi obyek atau benda di lingkungan sekitar pada tunanetra. Kemampuan mengorientasi obyek sebagai target behavior dalam penelitian ini berupa perilaku menunjuk ke target orientasi, berjalan menuju ke target orientasi dan kembali ke posisi semula, serta mendeskripsikan letak dan posisi obyek sebagai target orientasi. Dengan demikian, pertanyaan penelitian dalam penelitian ini sudah menemukan jawaban, yaitu setelah diketahui adanya pengaruh yang kuat kemampuan mengorientasi obyek atau benda di lingkungan sekitar pada tunanetra. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penggunaan media audio “kotak orientasi” dapat meningkatkan kemampuan mengorientasi obyek di lingkungan sekitar pada tunanetra.

B. Rekomendasi

Berdasarkan kesimpulan dari hasil penelitian yang menyatakan bahwa penggunaan media audio “kotak orientasi” memiliki pengaruh yang kuat terhadap kemampuan mengorientasi obyek atau benda di lingkungan sekitar pada tunanetra, maka peneliti mengajukan beberapa rekomendasi


(52)

kepada pihak-pihak yang berkecimpung dan berkompeten dalam dunia pendidikan dan rehabilitasi tunanetra untuk dipakai bahan pertimbangan dalam menentukan kebijakan dan proses pembelajaran dan atau pelatihan O&M bagi tunanetra, agar layanan terhadap peserta didik ABK khususnya tunanetra lebih tepat guna dan berkualitas. Adapun rekomendasi yang diajukan adalah sebagai berikut:

1. Khususnya kepada para instruktur O&M, para guru SLB, dan guru sekolah reguler yang melayani ABK umumnya dan khususnya peserta didik tunanetra dan klien tunanetra, agar hasil penelitian ini dapat dipakai bahan pertimbangan untuk dapat digunakan dalam proses pembelajaran dan atau latihan O&M khususnya dan mata pelajaran pada umumnya yang relevan, meskipun mungkin terjadi modifikasi baik dalam alatnya maupun cara penggunaannya.

2. Para pemimpin lembaga pendidikan dan rehabilitasi yang melayani ABK umumnya dan khususnya tunanetra, serta khususnya SLB/A kiranya hasil penelitian ini, khususnya alatnya (media audio “kotak

orientasi”) dapat diupayakan pengadaannya dan digunakan sebagai

suplemen dalam media pembelajaran dan atau latihan mengorientasi obyek atau benda di lingkungan sekitar.

3. Para peneliti:

a. Hendaklah dapat diteliti lebih lanjut mengenai media audio “kotak


(53)

pembuatannya, kelayakannya, keterpakaiannya, dan kepraktisan dalam pembuatan serta kemudahan dalam pemakaiannya.

b. Perlu diadakan penelitian orientasi ruang menggunakan alat ini yang mencakup arah dalam ruang, jarak, panjang, lebar, tinggi, luas, isi, dan bentuk ruang.

c. Kiranya dapat dilakukan penelitian kolaboratif yang melibatkan berbagai disiplin ilmu, misalnya: peneliti dari kalangan PLB dan non-PLB yang ahli dalam bidang media audio.


(54)

(1)

107

Ahmad Nawawi, 2012

Penggunaan Media Audio “Kotak Orientasi” Sebagai Alat Bantu Latihan Orientasi Pada Tunanetra


(2)

Ahmad Nawawi, 2012

Penggunaan Media Audio “Kotak Orientasi” Sebagai Alat Bantu Latihan Orientasi Pada Tunanetra

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu 107

DAFTAR PUSTAKA

Ali, M. dkk. (2007). Ilmu dan Aplikasi Pendidikan. Bab II Pendidikan Praktis. Bandung: Pedagogiana Press.

Alwasilah, C. (2008). Pokoknya Kualitatif. Bandung: Pustaka Jaya Arikunto, S. (1987). Media Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.

Arsyad, A. (2010). Media Pembelajaran. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Bennett, D. (1999). “Low Vision Devices for Children and Young People with a Visual Impairment” dalam Mason, H. & McCall, S. (Eds.). (1999, pp.64-76). Visual Impairment: Access to Education for Children and Young People. London: David Fulton Publishers. (diterjemahkan oleh: Didi Tarsidi).

Budiningsih, A. (2008). Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta. Butler, S. R. (1990). The Exceptional Child. London: Harcourt Brace Jovanich. Depdiknas. (2007). Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar. Program Khusus

Orientasi dan Mobilitas. Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB), Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa (SMPLB). Tunanetra (A). Jakarta: Badan Standar Nasional Pendidikan (BNSP) dan Depdiknas Ditjen Mandikdasmen, Direktorat Pembinaan SLB.

Depdiknas, Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar Dan Menengah, Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa. (2006). Standar Kompetensi Dan Kompetensi Dasar, SDLB-A. Jakarta: BNSP.

Depdiknas. (2001). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Pusat Bahasa Depdiknas. Jakarta: Balai Pustaka.

Departemen Pendidikan Nasional. (1994). Kurikulum Pendidikan Luar Biasa. Jakarta: Depdiknas.

Departemen Pendidikan Nasional RI,. (2007). Model Pembelajaran Pendidikan Khusus. Tunanetra (A), Tunarungu (B), Tunalaras (E). Jakarta: Direktorat


(3)

Ahmad Nawawi, 2012

Penggunaan Media Audio “Kotak Orientasi” Sebagai Alat Bantu Latihan Orientasi Pada Tunanetra

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu 108

Pembinaan Sekolah Luar Biasa, Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah.

Direktoret Jendral Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Depdiknas. (2007), Buku 6 : Menciptakan Lingkungan Inklusif Ramah Terhadap Pembelajaran Yang Aman dan Sehat.

Departemen Sosial RI,. (2002). Panduan Orientasi dan Mobilitas Panti Sosial Penyandang Cacat Netra. Direktorat Bina Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Penyandang Cacat, Direktorat Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial.

Dimyati dan Mudjiono. (2009). Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Departemen Pendidikan & Kebudayaan dan Rineka Cipta.

Friend, M. (2005). Special Education. Contemporary Perspective for School Professionals. Boston, New York: Pearson.

Furqon. (2004). Statistika Terapan Untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta. Hadi, P. (2005). Kemandirian Tunanetra. Jakarta: Depdiknas Dirjen Dikti.

Hill, E. and Ponder, P. (1976). Orientation and Mobility Techniques. New York: American Foundation for the Blind.

Hosni, I. (1994). Orientasi dan Mobilitas Kaitannya dengan Pengajaran Ilmu Pengetahuan Alam. Pusat Pengembangan Penataran Guru IPA, Ditjen Dikdasmen Depdikbud. Bandung. Tidak diterbitkan.

Hosni, I. (tanpa tahun). Buku Ajar Orientasi dan Mobilitas, Depdiknas, Ditjen Dikti, Proyek Pendidikan Tenaga Guru

Johnsen, B.H. & Skjørten, M.D. (2001). Education – Special Needs Education. Oslo: Unifub forlag

Kingsley, M. (1999). The Effect of Visual Loss, dalam Visual Impairment (editor: Mason & McCall). GBR: David Fulton, Publisher.

Kingsley, M. (1999). “The Effects of a Visual Loss” dalam Mason, H. & McCall,

S. (Eds.). (1999, pp.23-30). Visual Impairment: Access to Education for Children and Young People. London: David Fulton Publishers. Terjemahan oleh Didi Tarsidi, Bandung.


(4)

Ahmad Nawawi, 2012

Penggunaan Media Audio “Kotak Orientasi” Sebagai Alat Bantu Latihan Orientasi Pada Tunanetra

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu 109

Mason, H. dan McCall, S. (1997). Visual Impairment Access to Education for Children and Young People. London: David Fulton Publishers.

Mason, H. (1999). “Common Eye Defects and their Educational Implications”. In: Mason, H. & McCall, S. (Eds.). (1999, pp.38-51). Visual Impairment: Access to Education for Children and Young People. London: David Fulton Publishers. (diterjemahkan oleh: Didi Tarsidi). Tersedia: http://d-tarsidi.blogspot.com/2008/06/kelainan-mata-yang-umum-dan.html

Massof, R.W. (2003). Auditory Assistive Devices for The Blind. Procedings of the 2003 International Conference on Auditory Display.

McBrayer dan Lian, J. (2002). Special Needs Education Children with Exceptionalities. Hongkong: The Chinese University Press.

Muhammad, J. K. A. (2008). Special Education for Special Children. Jakarta: Penerbit Hikmah (PT Mizan Publika).

Munandar, D. R., dkk. (2009). Bahan Ajar Orientasi dan Mobilitas (Pedoman Guru). Bandung: Pemerintah Provinsi Jawa Barat, Dinas Pendidikan, Bidang Pendidikan Luar Biasa.

Murakami, T., Theibaud M., Helen. (1990). Assisting The Blind Traveler.

Saitama, Japan: Japan Association for Behcet’s Disease.

Natawidjaya, R. dan Alimin, Z. (1996). Penelitian Bagi Guru Pendidikan Luar Biasa. Jakarta: Depdikbud, Dirjen Pendidikan Tinggi, Proyek Pendidikan Tenaga Guru.

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2009. Tentang Pendidikan Inklusif Bagi Peserta Didik Yang Memiliki Kelainan Dan Memiliki Potensi Kecerdasan Dan/Atau Bakat Istimewa Poerwadarminta, W.J.S. (1990). Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta:

Depdikbud.

Rianto, Y. (1996). Metodologi Penelitian Pendidikan. Suatu Tinjauan Dasar. Surabaya: SIC.


(5)

Ahmad Nawawi, 2012

Penggunaan Media Audio “Kotak Orientasi” Sebagai Alat Bantu Latihan Orientasi Pada Tunanetra

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu 110

Rogow, S. (1988). Helping the Visually Impaired Child with Developmental Problems. New York and London: Teachers College, Columbia University Scholl, G.T. ed. (1986). Foundations of Education for Blind and Visually Handicapped Children and Youth, Theory and Practice. New York: American Foundation for the Blind.

Sudjaja, N. Dan Rivai, A. (2007). Media Pembelajaran. Bandung: Sinar Baru Algensindo.

Sugiyono. (2010). Metode Penelitian Pendidikan. Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Sugiarti. (2008). Vision 2020 The Right to Sight. Disampaikan dalam seminar sehari. Bandung: Syamsi Dhuha.

Sunanto, J. (2008). Pengembangan Konsep pada Tunanetra. Jassi-Anakku: Volume 7 nomor 1: 88-100.

Sunanto, J. (2005). Mengembangkan Potensi Anak Berkelainan Penglihatan. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Direktorat Pembinaan Pendidikan Tenaga Kependidikan dan Ketenagaan Perguruan Tinggi.

Sunanto, J., et al. (2005). Pengantar Penelitian Dengan Subyek Tunggal. Tsukuba, Jepang: CRICED University of Tsukuba.

Sunanto, J. (2006). Penelitian Dengan Subyek Tunggal. Bandung: UPI Press. Sunanto, J. (2010). Prinsip Pengajaran Anak Tunanetra. [Online]. Tersedia:

http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PEND._LUAR_BIASA/196105151 987031.

Suparno, A. S. (2001). Membangun Kompetensi Belajar. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Depdiknas.

Supriatna, D. (2009). Pengenalan Media Pembelajaran. Bahan ajar untuk Diklat E-Training PPPPTK TIK dan PLB. Pusat Pengembangan dan

Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Taman Kanak-kanak dan Pendidikan Luar Biasa.


(6)

Ahmad Nawawi, 2012

Penggunaan Media Audio “Kotak Orientasi” Sebagai Alat Bantu Latihan Orientasi Pada Tunanetra

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu 111

Swobodzinski, M. Dan Raubal, M. (2008). An Indoor routing algorithm for the Blind: development and comparison to a routing algorithm for the sighted. International Journal of Geographical Information Science. 00, (00), 1-28. Tarsidi, D. (2002). Kompetensi Sosial Anak Tunanetra (Studi Kasus tentang

Hubungan Sosial Anak Tunanetra dengan Sebayanya yang Awas di Lingkungan Sekitar Rumahnya). Tesis Magister pada Program Studi Bimbingan dan Penyuluhan Konsentrasi Bimbingan Anak Khusus Sekolah Pascasarjana UPI Bandung: Tidak diterbitkan.

Tn,. (2009). Arah Mata Angin. (online tersedia:

http://siswandikinsa.blogspot.com/2009/02/arah-mata-angin.html, diakses: 1 April 2010).

Walker, B.N. dan Lindsay, J. Navigation Perfomance With a Virtual Auditory Display: Effects of Beacon Sound, Capture Radius, and Practice. 48, (2), 265-278.

Welsh, R.L., and Blasch, B.B. (1980). Foundation of Orientation and Mobility. New York: American Foundation for the Blind.

Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas. (tanpa tahun). Mata Angin.

(online, tersedia: http://id.wikipedia.org/wiki/Mata_angin, diakses 1 April 2010).