Studi Deskriptif Mengenai Derajat Resiliency pada Ibu yang Memiliki Anak Tunagrahita di SLB "X" Kota Bandung.

(1)

i

Universitas Kristen Maranatha

Abstrak

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui gambaran derajat resiliency pada ibu yang memiliki anak tunagrahita di SLB “X” kota Bandung. Resiliency merupakan kemampuan individu untuk beradaptasi dengan baik dan mampu berfungsi secara baik walaupun ditengah situasi yang menekan atau banyak halangan dan rintangan. Terdapat empat aspek yang memanifestasi resiliency, yaitu social competence, problem solving skill, autonomy, dan sense of purpose.

Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuisioner yang dibuat berdasarkan teori resiliency Bonnie Benard (2004). Berdasarkan uji validitas, diperoleh 96 item dengan nilai validitas berkisar dari 0.318 – 0.743. Alat ukur ini memiliki reliabilitas yang sangat tinggi dengan nilai 0.978.

Responden yang dijaring datanya adalah ibu yang memiliki anak tunagrahita sedang di SLB “X” kota Bandung sejumlah 35 orang. Rancangan yang digunakan adalah penelitian deskriptif dengan teknik survey. Hasil pengolahan data menunjukkan bahwa di SLB “X” kota Bandung terdapat 54,3% ibu yang memiliki anak tunagrahita dengan resiliency tinggi, dan 45,7% ibu yang memiliki anak tunagrahita dengan resiliency rendah.

Peneliti menyarankan agar penelitian selanjutnya dapat meneliti mengenai kontribusi atau pengaruh environmental protective factors terhadap resiliency serta mempertimbangkan penggunaan norma mutlak dalam menentukan derajat resiliency ibu yang memiliki anak tunagrahita. Bagi pihak SLB “X” Bandung untuk terus memberikan dukungan kepada ibu yang memiliki anak tunagrahita agar dapat meningkatkan resiliency dan mempertahankan resiliency yang sudah tinggi.


(2)

Abstract

This research was conducted in order to know the resiliency level within mothers at SLB “X” Bandung city who have mentally retarded children. Resilience refers to an individual’s ability to adapt succesfully and function competently despite experiencing stress or adversity. There is four aspects who manifest a resiliency, that is social competence, problem solving skill, autonomy, and sense of puspose.

Instrument used to measure the resiliency within the respondents are a questionnaire created by researcher based on Bonnie Benard’s theory of resiliency (2004). The validation showed 96 items with validation ranging from 0.318 to 0.743. Based on reliability testing, the instrument was found very reliable with the coefficient 0.978.

The respondents who participated in this research are 35 mothers. This is a descriptive research with survey technique. The result showed there are 54,3% mothers who have mentally retarded children with high resiliency and 45,7% mothers who have mentally retarded children with low resiliency.

Researcher suggested further research can review about environmental protective factors effect or contribution to resiliency and also consider to use absolute norm in determining the resiliency level of mother who have mentally retarded children. Also for the SLB “X” Bandung to provide support mothers who have mentally retarded children in order to improve and maintain their already high resiliency.


(3)

iii

Universitas Kristen Maranatha DAFTAR ISI

LEMBAR JUDUL

LEMBAR PENGESAHAN

PERNYATAAN ORISINALITAS LAPORAN PENELITIAN PERNYATAAN PUBLIKASI LAPORAN PENELITIAN KATA PENGANTAR

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR BAGAN ... vii

DAFTAR LAMPIRAN... ... viii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Identifikasi Masalah ... 8

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian... 8

1.3.1 Maksud Penelitian ... 8

1.3.2 Tujuan Penelitian ... 8

1.4 Kegunaan Penelitian ... 8

1.4.1 Kegunaan Teoritis... 8

1.4.2 Kegunaan Praktis ... 8

1.5 Kerangka Pikir ... 9


(4)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Resiliency ... 19

2.1.1 Aspek-aspek Resiliency (personal strength) ... 19

2.1.1.1 Social Competence ... 19

2.1.1.2 Problem Solving Skills ... 21

2.1.1.3 Autonomy... 23

2.1.1.4 Sense of Purpose ... 25

2.1.2 Faktor-faktor yang Berperan Dalam Perkembangan Resiliency ... 26

2.1.2.1 Protective Factor ... 26

2.1.2.2 Risk Factor ... 27

2.2 Tunagrahita ... 28

2.2.1 Pengertian Anak Tunagrahita ... 28

2.2.2 Klasifikasi Anak Tunagrahita ... 28

2.2.3 Perkembangan Fisik, Kognitif, Bahasa Anak Tunagrahita ... 30

2.3 Dampak Ketunagrahitaan... 30

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian dan Prosedur Penelitian ... 34

3.2 Bagan Rancangan Penelitian... 34

3.3 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 34

3.3.1 Variabel Penelitian ... 34

3.3.2 Definisi Konseptual ... 35

3.3.3 Definisi Operasional ... 35

3.4 Alat Ukur ... 38


(5)

v

Universitas Kristen Maranatha

3.4.2 Data Penunjang ... 41

3.4.3 Validitas dan Reliabilitas ... 41

3.4.3.1 Validitas Alat Ukur ... 41

3.4.4.2 Reliabilitas Alat Ukur ... 42

3.5 Populasi dan Teknik Penarikan Sampel ... 43

3.5.1 Populasi Sasaran... 43

3.5.2 Karakteristik Sampel ... 43

3.5.3 Teknik Penarikan Sampel ... 43

3.6 Teknik Analisis Data... 43

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Sampel Penelitian ... 44

4.2 Hasil Penelitian ... 46

4.3 Pembahasan ... 50

BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan ... 58

5.2 Saran ... 59

DAFTAR PUSTAKA ... 61

DAFTAR RUJUKAN ... 62


(6)

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Aspek-Aspek Alat Ukur... 38

Tabel 3.2 Tabel Skoring... 40

Tabel 3.3 Skala Reliabilitas menurut Kriteria Guilford……….. 42

Tabel 4.1 Kriteria Jumlah Anak……….. 44

Tabel 4.2 Pekerjaan………. 44

Tabel 4.3 Penghasilan per Bulan……… 45

Tabel 4.4 Suku Bangsa………... 45

Tabel 4.5 Derajat Resiliency ………... 46

Tabel 4.6 Tabulasi Silang Social Competence dengan Resiliency……….. 46

Tabel 4.7 Tabulasi Silang Problem Solving dengan Resiliency………. 46

Tabel 4.8 Tabulasi Silang Autonomy dengan Resiliency……… 47

Tabel 4.9 Tabulasi Silang Sense of Purpose dengan Resiliency……… 47

Tabel 4.10 Tabulasi Silang Family Environmental Protective Factor (Caring Relationship) dengan Resiliency……… 48

Tabel 4.11 Tabulasi Silang Family Environmental Protective Factor (High Expectation) dengan Resiliency………. 48

Tabel 4.12 Tabulasi Silang Family Environmental Protective Factor (Opportunities) dengan Resiliency………... 48

Tabel 4.13 Tabulasi Silang Community Environmental Protective Factor (Caring Relationship) dengan Resiliency……….. 49

Tabel 4.14 Tabulasi Silang Community Environmental Protective Factor (High Expectation) dengan Resiliency………. 49

Tabel 4.15 Tabulasi Silang Community Environmental Protective Factor (Opportunities) dengan Resiliency... 50


(7)

vii

Universitas Kristen Maranatha DAFTAR BAGAN

Bagan 1.1 Skema Kerangka Pikir... 17 Bagan 3.1 Bagan Rancangan Penelitian... 34


(8)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Kisi-kisi Alat Ukur Resiliency ... 64

Lampiran 2 Kisi-kisi Kuisioner Data Penunjang ... 80

Lampiran 3 Kuisioner ... ………….. 82

Lampiran 4 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas ... ……… ... 92

Lampiran 5 Hasil Perhitungan Derajat Resiliency ... 97

Lampiran 6 Tabulasi Silang Aspek-Aspek dengan Resiliency ... 98

Lampiran 7 Tabulasi Silang Jumlah Anak dengan Resiliency, Pekerjaan Ibu dengan Resiliency ... 99

Lampiran 8 Tabulasi Silang Penghasilan per Bulan dengan Resiliency, Suku Bangsa Ibu dengan Resiliency ... 100

Lampiran 9 Letter of Consent ... 101

Lampiran 10 Biodata Peneliti ... 102

Lampiran 11 Biodata Sekolah ... 103


(9)

1

Universitas Kristen Maranatha BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang Masalah

Bagi setiap pasangan yang telah menikah, memiliki anak tentu merupakan suatu anugerah yang dinantikan. Setiap pasangan pastinya mengharapkan anak yang sehat secara fisik juga psikis dan berkembang secara optimal seperti anak-anak pada umumnya. Sayangnya, tidak sedikit orangtua yang merasa sedih dan kecewa karena dikaruniai anak dengan kekurangan tertentu dan mengalami gangguan pada proses tumbuh kembangnya, dimana anak-anak ini sering disebut sebagai anak berkebutuhan khusus. Anak berkebutuhan khusus adalah anak dengan karakteristik khusus yang berbeda dengan anak pada umumnya yang merujuk pada ketidakmampuan mental, emosi ataupun fisik. Adapun yang termasuk dalam kebutuhan khusus adalah tunanetra, tunarungu, tunadaksa, tunagrahita, tunalaras, learning disabilities, gangguan perilaku, anak berbakat, juga anak dengan gangguan kesehatan.

Menurut AAMD (American Association of Mental Deficiency), tunagrahita menunjukkan fungsi intelektual di bawah rata-rata secara jelas dengan disertai ketidakmampuan dalam penyesuaian perilaku dan terjadi pada masa perkembangan (Kauffman dan Hallahan, 1986). Dengan kata lain, tunagrahita merupakan kondisi dimana perkembangan kecerdasannya mengalami hambatan sehingga tidak mencapai tahap perkembangan yang optimal. Ada beberapa karakteristik umum dari anak tunagrahita, yaitu adanya keterbatasan intelegensi, keterbatasan sosial, dan keterbatasan fungsi-fungsi mental lainnya (Somantri, 2006).

Dalam hal keterbatasan intelegensi, anak dengan tunagrahita memiliki kapasitas belajar seperti belajar dan berhitung, menulis dan membaca yang terbatas. Kemampuan belajarnya


(10)

cenderung tanpa pengertian atau cenderung belajar dengan membeo. Disamping memiliki keterbatasan intelegensi, anak tunagrahita kesulitan dalam mengurus diri sendiri dalam masyarakat. Anak tunagrahita juga memerlukan waktu lebih lama untuk menyelesaikan reaksi pada situasi yang baru dikenalnya. Mereka memperlihatkan reaksi terbaiknya bila mengikuti hal-hal rutin dan secara konsisten dialaminya. Selain itu, anak tunagrahita memiliki keterbatasan dalam penguasaan bahasa. Mereka bukannya mengalami kerusakan artikulasi, akan tetapi pusat pengolahan atau pembendaharaan kata yang kurang berfungsi sebagaimana mestinya. Selain itu, anak tunagrahita kurang mampu untuk mempertimbangkan sesuatu, membedakan antara baik dan buruk, dan membedakan yang benar dan yang salah (Somantri, 2006).

Pada anak tunagrahita, terdapat klasifikasi yang didasarkan pada taraf intelegensinya di mana terdiri atas keterbelakangan ringan, sedang, dan berat. Anak dengan tunagrahita ringan disebut juga moron atau debil. Kelompok ini memiliki IQ antara 69-55 menurut Skala Weschler (WISC), anak dengan tunagrahita sedang disebut juga imbesil dan memiliki IQ antara 54-40 menurut skala Weschler (WISC), dan yang ketiga adalah kelompok anak tunagrahita berat atau sering disebut idiot. Kelompok ini dapat dibedakan lagi antara tunagrahita berat dan sangat berat. tunagrahita berat (severe) memiliki IQ antara 39-25 menurut skala Weschler (WISC) dan tunagrahita sangat berat (profound) memiliki IQ di bawah 24 menurut skala Weschler (WISC) (Somantri, 2006).

SLB “X” Bandung menyediakan tingkat pendidikan luar biasa mulai dari tingkat Taman Kanak-kanak Luar Biasa (TKLB) sampai dengan Sekolah Menengah Atas Luar Biasa (SMALB). Visi dari SLB “X” adalah untuk membentuk siswa didik yang mandiri dan dapat bertahan dalam masyarakat luas. SLB “X” juga memiliki beberapa program belajar dan kegiatan ekstrakulikuler yang bertujuan untuk menunjang proses belajar anak. Selain itu, SLB “X” juga mengadakan kegiatan outing bersama orangtua yang biasanya diadakan dua bulan


(11)

3

Universitas Kristen Maranatha sekali. Kegiatan outing dapat berupa jalan bersama, makan bersama, renang, ataupun outbond. SLB “X” Bandung juga merupakan sekolah bagi anak dengan mayoritas muridnya merupakan anak dengan tunagrahita sedang.

Pada anak tunagrahita sedang, mereka dapat di didik mengurus diri sendiri, melindungi diri sendiri dari bahaya seperti menghindari kebakaran, berjalan di jalan raya, berlindung dari hujan, dan sebagainya. Anak tunagrahita sedang sangat sulit bahkan tidak dapat belajar secara akademik seperti belajar menulis, membaca, dan berhitung walaupun mereka masih dapat menulis secara sosial, misalnya menulis nama sendiri, alamat rumahnya, dan lain-lain. Dalam kehidupan sehari-hari, anak tunagrahita sedang membutuhkan pengawasan yang terus-menerus (Somantri, 2006). Hal inilah yang menjadi kekhawatiran orangtua saat merawat dan membimbing anaknya yang tunagrahita sedang.

Terkait dengan hal tersebut, saat-saat yang kritis bagi keluarga adalah ketika pertama kali menyadari bahwa keadaan anak mereka tidak seperti anak-anak pada umumnya. Jika anak tersebut menunjukkan gejala-gejala kelainan fisik, maka kelainan anak dapat segera diketahui sejak anak dilahirkan. Tetapi jika anak tersebut tidak mempunyai kelainan fisik, maka orangtua hanya akan mengetahui dari hasil pemeriksaan. Adanya kehadiran sang anak tentu menjadi anugerah yang tak ternilai bagi pasangan orangtua dan harus selalu dijaga juga dirawat dalam kondisi apapun. Orangtua juga sewajarnya menerima segala kondisi anak apa adanya tanpa merasa kecewa, sedih, malu, bahkan disaat terguncang sekalipun. Meskipun dalam kondisi yang seperti ini, tidak menutup kemungkinan para orangtua, khususnya para ibu, menjadi stres.

Pada kenyataannya, tidak sedikit para ibu yang merasa stres menghadapi kondisi anaknya yang mengalami tunagrahita. Misalnya, seorang ibu merasa kaget dan sedih saat mengetahui bahwa anaknya mengalami tunagrahita. Ia merasa bahwa memiliki anak yang mengalami tunagrahita merupakan suatu aib dan beban bagi keluarganya. Keadaan ini


(12)

membuat ibu tersebut tidak bisa menerima keadaan anaknya karena malu pada lingkungan sekitarnya sehingga menimbulkan niat untuk mempekerjakan pengasuh/perawat bahkan berniat menitipkan anaknya kepada kerabat atau ke tempat penampungan anak. Niat yang muncul dalam benak orangtua khususnya ibu untuk “menyingkirkan” anaknya tersebut disebabkan mereka dalam kondisi yang benar-benar tidak bisa menerima kehadiran anaknya yang lahir dan tumbuh secara tidak normal dan dalam kondisi yang sangat tertekan (Ayah Bunda, 2002). Ibu yang kurang mampu memahami dan sulit menerima kondisi anaknya yang mengalami tunagrahita disebutkan oleh Kenney (1976) bahwa ibu tersebut mempunyai tingkat perkembangan ego yang kurang sehat.

Mempunyai anak yang mengalami tunagrahita bisa menimbulkan tekanan ataupun kesedihan bagi orang tua, khususnya bagi ibu. Peran ibu yang memiliki anak tunagrahita menjadi lebih berat mengingat dalam kehidupan sehari-hari anak tunagrahita mengalami hambatan dalam perkembangan fisik, kognitif, bahasa, emosi, dan penyesuaian sosial. Ibu memiliki peran penting dalam mendampingi anaknya terus menerus. Para ibu merasa kesulitan selama mengasuh anaknya di tempat umum seperti sekolah dan pusat perbelanjaan. Anak bisa saja berperilaku tantrum yang mengarah pada agresi saat sedang didalam kelas atau saat berbelanja ke pusat perbelanjaan, dan ibu kesulitan menenangkan anak karena tidak tahu apa yang diinginkan oleh anaknya. Saat anak berperilaku tantrum yang mengarah pada agresi diri ataupun orang lain di sekolah, ibu bisa meminta bantuan kepada guru atau sesama ibu yang memiliki anak tunagrahita. Berbeda halnya dengan saat berada di pusat perbelanjaan. Ibu berperan sebagai ibu rumah tangga yang mengurusi kebutuhan rumah tangga sehingga ibu juga bertanggungjawab untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Disisi lain, saat ibu sedang berbelanja ibu dengan anak tunagrahita juga harus menangani anak tunagrahitanya yang sedang tantrum. Akibatnya, ibu kesulitan dalam menyelesaikan tanggungjawabnya sebagai ibu rumah tangga. Kondisi ketika mempunyai anak tunagrahita dengan saat mempunyai anak


(13)

5

Universitas Kristen Maranatha yang normal akan berbeda. Orangtua diasumsikan tidak memiliki kesulitan yang berarti dalam membesarkan anak yang normal jika dibandingkan ketika mereka harus membesarkan anak tunagrahita (Hutt, 1976) karena anak normal tidak membutuhkan penanganan, perlakuan, dan perawatan khusus yang perlu dilakukan oleh orangtua sepanjang hidup anaknya.

Berdasarkan wawancara dengan lima ibu yang memiliki anak tunagrahita, empat ibu mengatakan bahwa dirinya merasa tertekan ketika anak tidak mau menuruti apa yang ibu perintahkan, salah satunya adalah saat anak tunagrahita diminta ibu untuk belajar. Anak seringkali menolak untuk belajar sehingga membuat ibu merasa kesal. Bahkan satu ibu mengakui bahwa anaknya tidak mau diminta masuk kelas saat berada di sekolah. Anak bahkan berperilaku kasar kepada ibu apabila ibu memaksanya, seperti melemparkan barang-barang yang bisa dijangkau oleh anak tunagrahita. Anak juga seringkali berperilaku kasar kepada orang yang baru dia temui. Perilaku yang ditunjukkan oleh anak tunagrahita, membuat ibu merasa lelah secara mental. Dua ibu lain merasa bahwa anak tunagrahitanya tidak mau dirawat oleh orang selain dirinya, sehingga ibu terus menerus merawatnya baik dirumah maupun disekolah. Apabila ibu meninggalkan anak tunagrahitanya di sekolah, anaknya seringkali mengamuk dengan menyiksa dirinya sendiri. Ibu merasa sangat lelah karena harus terus menerus mengasuh anak tunagrahitanya. Hal-hal ini yang dirasa ibu melelahkan secara fisik dan juga mental.

Dalam keadaan yang menekan seperti ini dibutuhkan adanya resiliency pada diri individu. Resiliency merupakan faktor penting yang harus kita miliki saat ini. Resiliency adalah “personal strengths”, yaitu tentang bagaimana kemampuan individu untuk dapat beradaptasi dengan baik walaupun di tengah situasi yang menekan atau banyak halangan dan rintangan (Bonnie Benard, 2004). Terdapat empat kategori yang merupakan manifestasi dari resilience, yaitu social competence, problem solving, autonomy, dan sense of purpose. Dalam


(14)

hal ini, resiliency ibu akan mempengaruhi cara mendidik serta mengasuh anak mereka yang berkebutuhan khusus.

Berdasarkan hasil wawancara terhadap 10 orang ibu yang memiliki anak tunagrahita mengenai kedekatan yang positif terhadap orang lain (social competence), delapan ibu (80%) mengakui bahwa mereka mampu berelasi dengan baik dengan orang lain. Mereka merasa bahwa dengan memiliki anak yang tunagrahita, mereka memiliki pelajaran hidup yang lebih berharga dibandingkan dengan teman-temannya dan lebih mampu untuk mengerti serta berbagi mengenai kesulitan ibu-ibu lain yang memiliki kesulitan yang sama dengannya. Sementara itu, dua ibu (20%) mengalami kesulitan untuk terbuka dengan orang lain mengenai kesulitan-kesulitan yang ia hadapi. Mereka merasa bahwa lingkungan sekitarnya tidak bisa memahami kesulitannya yang berkaitan dengan merawat dan mengurus anaknya yang mengalami tunagrahita.

Berdasarkan hasil wawancara dengan 10 orang ibu yang memiliki anak tunagrahita mengenai kemampuannya dalam menghadapi permasalahan atau kesulitan (problem solving), 70% bersikap membandingkan kesulitan yang dialaminya dengan ibu-ibu lain. Mereka menganggap bahwa hanya dirinya yang memiliki anak yang paling sulit dihadapi atau dirawat. 20% lainnya merasa marah dan menyesal sudah memiliki anak tunagrahita. Mereka seringkali bertanya pada diri sendiri dan orang lain mengapa hanya mereka yang mendapatkan anak tunagrahita. Sementara itu 10% bersikap mengintrospeksi dirinya setiap dihadapkan pada kesulitan dan mendengarkan kesulitan orang lain, sehingga ibu tersadar bahwa bukan dirinya saja yang menghadapi kesulitan tersebut.

Autonomy melibatkan kemampuan untuk terlibat dengan bebas dan untuk merasakan bahwa dirinya berkuasa di lingkungannya. 40 % ibu mengatakan bahwa anaknya tidak mau dibimbing oleh orang lain selain ibunya, sehingga seluruh kegiatan anak harus dibantu oleh ibu tersebut seorang diri dan ia pun yakin dapat melakukannya. 60 % ibu lainnya mengatakan


(15)

7

Universitas Kristen Maranatha bahwa anak mereka masih mau dibantu oleh orang lain, seperti halnya ditangani oleh terapis, diawasi bergantian oleh kakak atau adik dari anak tersebut bahkan diasuh oleh nenek atau kakeknya, namun tetap saja ibulah yang paling utama memegang kendali atas anaknya karena mereka yang satu hari penuh mengontrol kegiatan anaknya, seperti saat makan, mandi, belajar saat dirumah, tidur, menemani anak sekolah, dan sebagainya. Hal ini menunjukan bahwa empat orang ibu memiliki autonomy yang lebih tinggi dibandingkan dengan ibu yang lainnya.

Berdasarkan wawancara terhadap 10 ibu yang memiliki anak tunagrahita mengenai keyakinan mendalam mengenai makna hidup (sense of purpose), 60% ibu mengatakan bahwa meskipun saat ini mereka menyekolahkan anaknya agar anaknya memiliki keterampilan yang berguna untuk masa depannya, mereka masih tidak dapat membayangkan apa yang akan terjadi pada anaknya yang mngalami tunagrahita apabila mereka sudah tidak mampu untuk mengasuhnya. Sementara 40% ibu lainnya mengaku bahwa tujuan mereka menyekolahkan anaknya yaitu agar anaknya mampu mengurus dirinya sendiri di masa depan dengan cara memberikan pengetahuan keterampilan-keterampilan yang dapat digunakan untuk mencari penghasilan sendiri.

Disini tiap ibu yang ada diuji seberapa kuat daya tahan menghadapi adversity dalam menangani serta mengasuh anak kandungnya yang mengalami tunagrahita. Penelitian ini berfokus pada ibu yang menangani anak tunagrahita karena ibu mendapatkan tekanan yang terus menerus dalam prosesnya mengasuh anak tunagrahita. Dengan mengetahui gambaran resiliency ibu yang memiliki anak tunagrahita, diharapkan dapat memberikan masukan untuk meningkatkan dan mengembangkan daya tahan pada ibu.

Dari data di atas, dapat dilihat adanya perbedaan resiliency antara masing-masing ibu yang memiliki anak tunagrahita. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai gambaran mengenai derajat resiliency pada ibu yang memiliki anak tunagrahita di SLB “X” Bandung.


(16)

I.2 Identifikasi Masalah

Dari penelitian ini ingin diketahui bagaimana gambaran mengenai derajat resiliency pada ibu yang memiliki anak tunagrahita di SLB “X” kota Bandung beserta aspek-aspek yang membentuknya.

I.3 Maksud dan Tujuan Penelitian I.3.1 Maksud Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan maksud untuk memperoleh data dan gambaran mengenai derajat resiliency pada ibu yang memiliki anak tunagrahita di SLB “X” kota Bandung.

I.3.2 Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui derajat resiliency dalam kaitannya dengan protective factors (family, community) pada ibu yang memiliki anak tunagrahita di SLB “X” kota Bandung.

I.4 Kegunaan Penelitian I.4.1 Kegunaan Teoretis

Memberikan informasi mengenai resiliency ibu yang memiliki anak tunagrahita ke dalam bidang ilmu psikologi klinis.

 Memberi informasi dan masukan bagi peneliti lain yang ingin meneliti lebih lanjut mengenai bagaimana gambaran resiliency.

I.4.2 Kegunaan Praktis


(17)

9

Universitas Kristen MaranathaMemberikan informasi kepada SLB mengenai gambaran derajat resiliency yang

dimiliki orang tua khususnya ibu yang memiliki anak tunagrahita di SLB agar dapat memberikan dukungan dan semangat kepada orangtua yang memiliki anak tunagrahita.  Memberi informasi untuk para pendidik di SLB mengenai derajat resiliency pada ibu

yang memiliki anak tunagrahita di SLB “X” Kota Bandung dalam rangka membantu para ibu untuk beradaptasi di lingkungannya.

Memberikan informasi pada keluarga mengenai resiliency pada ibu yang memiliki anak tunagrahita di SLB “X” Kota Bandung dalam rangka membantu atau mendukung ibu untuk selalu merawat anaknya meski dalam situasi yang menekan.

 Memberikan informasi kepada orang tua khususnya ibu serta pihak sekolah mengenai gambaran derajat resiliency ibu yang memiliki anak tunagrahita di SLB “X” kota Bandung.

I.5 Kerangka Pikir

Tunagrahita adalah istilah yang digunakan untuk menyebutkan anak yang memiliki kemampuan intelektual di bawah rata-rata. Istilah tersebut memiliki arti yang sama yang menjelaskan kondisi anak yang kecerdasannya jauh di bawah rata-rata dan ditandai oleh keterbatasan inteligensi dan ketidakcakapan dalam interaksi sosial. Keterbatasan inteligensinya mengakibatkan dirinya sukar untuk mengikuti program pendidikan di sekolah biasa secara klasikal, oleh karena itu anak tunagrahita membutuhkan layanan pendidikan secara khusus yakni disesuaikan dengan kemampuan anak tersebut .

Dengan keadaannya yang terbatas dalam hal inteligensi, anak tunagrahita menemui kesulitan dalam mempelajari informasi, keterampilan-keterampilan menyesuaikan diri dengan masalah-masalah, situasi-situasi kehidupan baru, belajar dari pengalaman masa lalu,


(18)

berperilaku abstrak, kreatif, dapat menilai secara kritis, menghindari kesalahan-kesalahan, mengatasi kesulitan, dan kemampuan untuk merencanakan masa depan. Selain itu anak tunagrahita memiliki keterbatasan sosial seperti mengurus diri sendiri di lingkungan masyarakat, oleh karena itu anak tunagrahita selalu memerlukan bantuan.

Perasaan dan tingkah laku orangtua terhadap anaknya yang mengalami tunagrahita berbeda-beda, seperti: perasaan melindungi anak secara berlebihan, perasaan bersalah melahirkan anak berkelainan, kehilangan kepercayaan akan memiliki anak yang normal, terkejut, dan kehilangan kepercayaan diri, mereka bingung dan malu.

Proses membesarkan dan mendidik anak tunagrahita dinilai sebagai situasi yang sulit (adversity). Untuk dapat membesarkan dan mendidik anak tunagrahita perlu memiliki kemampuan untuk menyesuaikan diri secara positif dan berfungsi secara baik di tengah situasi menekan serta banyaknya halangan maupun rintangan, kemampuan seperti inilah yang disebut sebagai resiliency (Benard, 2004). Resiliency merupakan kemampuan ibu untuk dapat beradaptasi dengan baik dan mampu berfungsi secara baik walaupun di tengah situasi yang menekan atau banyak halangan dan rintangan. Resiliency merupakan kemampuan ibu untuk dapat bangkit kembali dari tekanan hidup, belajar mencari elemen positif dari lingkungan untuk membantu kesuksesan proses adaptasi dengan segala keadaan dan mengembangkan seluruh kemampuannya walaupun berada dalam kondisi hidup tertekan baik secara eksternal maupun internal (Handerson dan Milstein, p.203 dalam Benard). Misalnya, seorang ibu yang memiliki anak tunagrahita dapat menenangkan anaknya yang menangis karena berebut makanan dengan saudaranya. Padahal di saat yang sama, ibu dari anak tunagrahita tersebut harus mengurus keperluan suami dan anaknya yang lain.

Derajat resiliency pada ibu yang memiliki anak tunagrahita dapat dilihat dari aspek-aspek tertentu serta dapat diukur personal strength-nya. Personal strength adalah karakteristik individual yang dihubungkan dengan perkembangan dan keberhasilan yang sehat,


(19)

11

Universitas Kristen Maranatha dan keberhasilan hidup. Personal strength tersebut dapat menimbulkan resiliency. Social competence, problem solving skills, autonomy, dan sense of purpose merupakan bagian dari personal strength.

Menurut Benard (2004) yang termasuk dalam personal strength adalah social competence. Social competence merupakan kemampuan sosial yang mencakup karakteristik, kemampuan dan tingkah laku yang diperlukan untuk membangun suatu relasi dan keadaan yang positif terhadap orang lain. Social competence terdiri atas responsiveness, communication, empathy and caring, dan compassion, altruism, forgiveness. Misalnya, ibu yang memiliki anak tunagrahita di SLB mampu untuk memberikan bantuan dukungan tanpa menyinggung keadaan dan perasaan ibu lainnya agar terus semangat menjalani keadaan hidup saat ini pada saat ibu yang memiliki anak tunagrahita di SLB lainnya sedang menghadapi masalah rumah tangga dan mulai menyalahkan diri karena keadaan anaknya yang tunagrahita. Bantuan tersebut juga disesuaikan dengan masalah yang dihadapi dikarenakan adanya kesamaan keadaan yang pernah dialami oleh sesama ibu yang memiliki anak tunagrahita di SLB sehingga ibu dapat memaafkan dirinya sendiri karena telah melahirkan anak kurang sempurna.

Problem solving skills, dibangun oleh beberapa kemampuan yaitu planning, flexibility, resourcefulness, critical thinking and insight. Sebagai contoh, seorang ibu yang memiliki anak tunagrahita di SLB merasa bingung akan masa depan anaknya, sehingga dia merencanakan pendidikan untuk mengembangkan keterampilan anaknya agar mampu untuk menghidupi diri sendiri pada masa dewasa nanti. Sebelumnya ibu yang memiliki anak tunagrahita di SLB juga memikirkan keterbatasan yang dimiliki oleh anaknya dan mulai mencari bantuan dukungan (baik dari sesama ibu yang memiliki anak tunagrahita ataupun dari konselor) dan pendapat mengenai hal-hal dalam diri anak yang dapat dikembangkan.


(20)

Autonomy, melibatkan kemampuan untuk bertindak dengan bebas dan untuk merasakan sense of control atas lingkungannya. Yang termasuk dalam autonomy adalah positive identity, internal locus of control and initiative, self-efficacy and mastery, adaptive distancing and resistance, self-awareness and mindfulness, humor. Misalnya, ibu yang memiliki anak tunagrahita di SLB mengasuh anaknya seorang diri (tanpa bantuan dari pengasuh). Ibu selalu bersama dengan anaknya yang mengalami tunagrahita memiliki rasa percaya diri mendaftarkan anaknya ke tempat kursus dasar keterampilan (tempat latihan membuat kerajinan tangan) untuk melatih keterampilan anaknya dengan tujuan agar anaknya dapat menjalani masa depannya agar dapat mengurus dirinya sendiri. Ibu dari anak yang mengalami tunagrahita tersebut tetap menyayangi anaknya meski ibu mendengar ocehan dari lingkungannya mengenai keterbatasan anaknya tersebut. Pada saat berkumpul bersama keluarga, ibu tetap memperlakukan anaknya yang memiliki keterbatasan dan anak yang normal secara sama. Permasalahan anak yang mengalami tunagrahita sehari-hari menjadi bahan pembicaraan dan permasalahan tersebut menjadi bahan tertawaan keluarganya.

Sense of purpose, fokus terhadap masa depan yang positif dan kuat secara konsisten telah diidentifikasikan dengan sukses akademis, identitas diri yang positif, dan sedikitnya tingkah laku yang beresiko terhadap kesehatan. Sense of purpose dibangun oleh berbagai kemampuan yaitu goal direction, achievement motivation, and educational aspiration; special interest, creativity, and imagination; optimism and hope; faith, spirituality, and sense of meaning. Para ibu yang memiliki anak tunagrahita di SLB memiliki tujuan untuk anaknya, yaitu agar anaknya dapat memiliki keterampilan yang setidaknya mampu untuk mengurus dirinya sendiri dan kehadiran anaknya dapat diterima oleh lingkungan masyarakat. Ibu yang memiliki anak tunagrahita di SLB memiliki keyakinan dan harapan positif akan tujuan yang ingin dicapainya tersebut. Para ibu menerima dan yakin bahwa Tuhan memiliki suatu rencana lain yang berharga dibalik kekurangan yang dimiliki oleh anaknya.


(21)

13

Universitas Kristen Maranatha Perkembangan resiliency terbentuk dari pengaruh kombinasi yang terdiri atas risk factor dan protective factor. Risk factor adalah adanya satu atau lebih faktor-faktor yang meningkatkan probabilitas dari keluaran yang negatif (Richman and Fraser, 2003 dalam Benard). Keterbatasan ekonomi yang dialami ibu yang memiliki anak tunagrahita di SLB membuat mereka memiliki masalah-masalah yang harus dihadapi. Hal ini disebut sebagai risk factor (Benard, 2004). Umumnya ibu yang memiliki anak tunagrahita di SLB dihadapkan dengan masalah ekonomi. Masalah ekonomi yang dihadapi oleh ibu yang memiliki anak tunagrahita pada umumnya sering kali mendapatkan kesulitan dalam memenuhi biaya untuk pendidikan dan perawatan anak, misalnya konsultasi psikologi atau berobat ke dokter.

Sikap yang mendukung perkembangan resiliency disebut sebagai protective factor. Protective factor diperlukan sebagai kekuatan untuk meningkatkan perkembangan positif dan keluaran yang berhasil. Lingkungan (keluarga dan komunitas) memiliki peranan besar dalam perkembangan resiliency yang dilakukan melalui sikap yang ditujukan pada individu. Protective factor meliputi caring relationship, high expectation, dan opportunities to participate and contribute (Benard, 2004).

Caring relationship, lingkungan yang menyajikan caring relationship berarti memberi dukungan penuh kasih sayang yang tulus, kepedulian mau saling mendengarkan. High expectation merupakan harapan yang jelas, positif, dan mengkomunikasikan kepercayaan yang mendalam dari orang lain kepada individu dalam membangun resiliency, membangun kepercayaan dan memberikan tantangan kepada individu. Opportunities to participate and contribution, lingkungan memberikan kesempatan kepada individu untuk memberikan kontribusi dan partisipasi untuk meningkatkan rasa percaya diri dan dihargai untuk lingkungan.

Caring relationship dalam komunitas ditunjukan dukungan dan perhatian yang didapatkan oleh ibu dari ibu yang memiliki anak tunagrahita yang lain dan para guru yang


(22)

mengajar di SLB. High expectation yang didapat dari komunitas adalah berupa dorongan dan kata-kata membangun yang didapat oleh ibu yang memiliki anak tunagrahita di SLB yaitu dari sesama ibu yang memiliki anak tunagrahita dan para pengajar di SLB. Opportunities to participate and contribution dalam komunitas dengan memberikan kesempatan pada ibu yang memiliki anak tunagrahita di SLB untuk berperan dalam melakukan aktivitas-aktivitas seperti memberikan kesempatan pada setiap ibu untuk merencanakan dan melakukan suatu kegiatan yang membangun kekeluargaan di SLB.

Caring relationship dalam keluarga dapat ditujukan oleh suami, anak, dan saudara misalnya saja dalam situasi yang penuh tekanan dan halangan bagi ibu yang memiliki anak tunagrahita di SLB keluarga berperan penting dalam memberikan dukungan, suasana rumah yang harmonis, dimana terdapat kedekatan antara anggota keluarga juga dibutuhkan untuk menghadapi tantangan dan hambatan. Dengan terjalinnya komunikasi yang baik antar anggota keluarga dapat membina kehangatan, kasih sayang, dan perhatian. High expectation yang didapatkan dari keluarga yaitu dimana keluarga dapat menyampaikan harapannya melalui penerimaan, cinta, dan dukungan kepada ibu yang memiliki anak tunagrahita di SLB sehingga mereka termotivasi dalam menjalani kehidupannya. Opportunities to participate and contribution dalam keluarga dengan memberikan kesempatan pada ibu yang memiliki anak tunagrahita di SLB untuk berperan dalam melakukan aktivitas-aktivitas seperti memberikan kesempatan yang diberikan keluarga pada setiap ibu yang memiliki anak tunagrahita di SLB.

Faktor-faktor tersebut akan mempengaruhi resiliency secara keseluruhan. Apabila risk factor lebih kuat pengaruhnya dari protective factor pada ibu yang memiliki anak tunagrahita mungkin akan menimbulkan negative outcomes dimasa yang akan datang dan tidak dapat beradaptasi dengan keadaan yang sulit misalnya saja mengeluh, menyalahkan keadaan, dan putus asa. Berlawanan dengan hal tersebut, apabila protective factor dapat menahan atau


(23)

15

Universitas Kristen Maranatha menetralisir risk factor, maka ibu yang memiliki anak tunagrahita akan beradaptasi dan berfungsi dengan baik di tengah adversity (Benard, 2004).

Berdasarkan empat aspek resiliency berupa social competence, problem solving skills, autonomy, dan sense of purpose apabila ibu yang memiliki anak tunagrahita tersebut mempunyai keempat aspek tersebut serta mendapatkan dukungan dari keluarga dan teman, maka kemampuan resiliency mereka tergolong tinggi meskipun banyak situasi yang menekan mereka.

Ibu yang memiliki anak tunagrahita dikatakan memiliki derajat resiliency yang tinggi apabila dalam situasi dimana ibu memiliki tekanan dari lingkungan seperti harus mengurus kebutuhan keluarganya setiap hari disaat anaknya yang mengalami tunagrahita harus mendapatkan perawatan dan pengasuhan sepanjang hari, mereka tetap mampu untuk berkomunikasi dan menjalin relasi sosial dengan percaya diri terhadap orang-orang sekitar mereka, seperti suami, keluarga, teman, dan masyarakat (social competence).

Selain itu, ibu yang memiliki anak tunagrahita diharapkan untuk mampu mengetahui apa yang harus dilakukan apabila terjadi masalah seperti pada saat nenek, bibi, paman, dan sepupu dari anak tunagrahita menjauhi anaknya karena anaknya memiliki keterbatasan, mengungkapkan masalah tersebut kepada keluarga dan teman saat menghadapi masalah yang tidak dapat diselesaikan sendirim dan berusaha mencari solusi alternatif yang lain (problem solving skills). Ibu yang memiliki anak mentally retarded pun diharapkan bisa bangkit kembali, memiliki perasaan bahwa mereka bisa melakukan sesuatu yang benar, dan dapat menerima kondisi diri apa adanya (autonomy), mereka juga diharapkan memiliki motivasi yang tinggi untuk memperbaiki keadaannya, memiliki optimisme, dan harapan akan masa depannya (sense of purpose).

Sebaliknya, apabila ibu yang memiliki anak tunagrahita kurang dapat menunjukan social competence seperti tidak mampu berempati dengan keadaan yang menekan, problem


(24)

solving skills seperti tidak mampu berpikir fleksibel dalam mengatasi masalah, autonomy seperti tidak memiliki kemandirian, dan sense of purpose seperti kurangnya keyakinan terhadap kemampuan, dan tidak memiliki tujuan yang ingin dicapai dalam hidup maka derajat resiliency mereka tergolong rendah.


(25)

17

Universitas Kristen Maranatha Berikut ini adalah bahan kerangka pikir mengenai derajat resiliency pada ibu yang memiliki anak tunagrahita di SLB “X” Bandung:

Bagan 1.1 Skema Kerangka Pikir Ibu yang

memiliki anak tunagrahita di SLB “X” Kota Bandung

Protective Factor in the Community and Family: - Caring Relationship - High Expectation - Opportunities for Participation and Contribute Adversity:

Anak tunagrahita

Resiliency

Personal Strength:

Social Competence Problem Solving Skills Autonomy

Sense of Purpose

Tinggi

Rendah

Risk factor: - Ekonomi


(26)

1.6 Asumsi Penelitian

Berdasarkan penelitian mengenai gambaran derajat resiliency pada ibu yang memiliki anak tunagrahita di SLB “X” Kota Bandung, peneliti memiliki asumsi sebagai berikut:

1. Tinggi rendahnya derajat resiliency dipengaruhi oleh adversity ibu yang memiliki anak tunagrahita.

2. Adanya perbedaan derajat resiliency pada masing-masing ibu yang memiliki anak tunagrahita di SLB “X” Kota Bandung.

3. Derajat resiliency pada ibu yang memiliki anak tunagrahita sangat dipengaruhi oleh personal strength (social competence, problem solving skill, autonomy, sense of purpose) yang dimiliki oleh ibu.

4. Risk factors & protective factors (family, community) yang ada di lingkungan sekitar ibu yang memiliki anak tunagrahita dapat mempengaruhi perbedaan derajat resiliency.


(27)

58

Universitas Kristen Maranatha BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Berdasarkan dari hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Dari penelitian ini, didapat lebih banyak ibu dengan anak tunagrahita di SLB “X” kota Bandung memiliki resiliency tinggi daripada yang memiliki resiliency rendah. Sebagian besar ibu dengan anak tunagrahita yang memiliki derajat resiliency tinggi, memiliki derajat yang tinggi juga pada seluruh aspek-aspek resiliency.

2. Sebagian besar ibu dengan anak tunagrahita yang memiliki derajat resiliency rendah juga memiliki derajat yang rendah pada seluruh aspeknya (social competence, problem solving, autonomy, dan sense of purpose and bright future).

3. Pada family environmental protective factors dengan aspek caring relationship dan opportunities yang tinggi didapat pula resiliency yang tinggi, namun antara aspek high expectation dengan resiliency derajatnya tidak sejalan sehingga family environmental protective factors kurang memiliki kecenderungan keterkaitan pada resiliency ibu yang memiliki anak tunagrahita di SLB “X” Bandung.

4. Dalam penelitian ini, pada community environmental protective factors ibu yang memiliki

anak tunagrahita di SLB “X” Bandung dengan derajat tinggi, juga memiliki resiliency

yang tinggi sehingga community environmental protective factors memiliki kecenderungan keterkaitan dengan resiliency ibu yang memiliki anak tunagrahita di SLB “X” Bandung.


(28)

5.2 Saran

Berdasarkan simpulan di atas serta dengan menyadari adanya beberapa keterbatasan hasil penelitian yang telah diperoleh, maka peneliti merasa perlu untuk mengajukan beberapa saran, yaitu:

1. Saran Teoritis:

Bagi peneliti yang ingin meneliti lebih lanjut mengenai resiliency pada ibu yang memiliki anak tunagrahita di SLB “X” Bandung disarankan untuk meneliti kontribusi atau pengaruh environmental protective factors terhadap resiliency ibu.

Bagi peneliti yang ingin meneliti lebih lanjut mengenai resiliency pada ibu yang memiliki anak tunagrahita di SLB “X” Bandung disarankan untuk mempertimbangkan penggunaan norma mutlak dalam menentukan derajat resiliency pada ibu.

2. Saran Praktis:

 Kepada pihak SLB “X” kota Bandung agar terus memberikan dukungan seperti

mengadakan kegiatan luar sekolah (misalnya karyawisata) yang mengikutsertakan ibu yang memiliki anak tunagrahita agar dapat meningkatkan resiliency ibu.

 Kepada pihak SLB “X” Bandung agar bekerjasama dengan para ibu yang memiliki

anak tunagrahita untuk mengadakan suatu program pelatihan guna meningkatkan resiliency pada ibu.

 Kepada para ibu yang memiliki anak tunagrahita di SLB “X” Bandung, diharapkan

dapat bertahan dan menerima keadaan anak sehingga ibu dapat memiliki kemampuan untuk meyakinkan diri terhadap masa depan ibu dan anak dengan memperhatikan penyesuaian atau kehidupan sosial, kesehatan, pemahaman, serta berusaha mencari


(29)

60

Universitas Kristen Maranatha informasi dan mengatasi hambatan dalam membesarkan anak tunagrahitanya sehingga ibu dapat meningkatkan resiliency-nya.

 Kepada pihak keluarga dari ibu yang memiliki anak tunagrahita di SLB “X” kota Bandung untuk memberikan dukungan serta kepercayaan kepada ibu agar tetap mampu bertahan dalam merawat anak tunagrahitanya.


(30)

STUDI DESKRIPTIF MENGENAI DERAJAT RESILIENCY PADA IBU

YANG MEMILIKI ANAK TUNAGRAHITA

DI SLB “X” KOTA BANDUNG

SKRIPSI

Diajukan untuk menempuh Sidang Sarjana pada Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha Bandung

Disusun Oleh: SHINTA NOVIANA

0930038

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA BANDUNG


(31)

(32)

(33)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat limpahan rahmat-Nya peneliti dapat menyelesaikan mata kuliah Skripsi di Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.

Selama menyusun rancangan penelitian yang berjudul Studi Deskriptif Mengenai Derajat Resiliency pada Ibu yang Memiliki Anak Tunagrahita di SLB “X” Kota Bandung, peneliti banyak menemukan kesulitan. Namun berkat adanya bantuan dari berbagai pihak, akhirnya kesulitan tersebut dapat diatasi oleh peneliti. Karena itulah, pada kesempatan ini peneliti ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah memberikan bantuan dan bimbingan dalam penyusunan skripsi ini, yaitu kepada:

1. Dr. O. Irene Prameswari Edwina, M.Si., Psikolog selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.

2. Lie Fun Fun, M.Psi., Psikolog selaku Kepala Program Studi Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.

3. Sianiwati S. Hidayat, M.Si., Psikolog bersama tim dosen Usulan Penelitian yang telah memberikan bantuan dan kesempatan kepada peneliti untuk menempuh mata kuliah Skripsi.

4. Ira Adelina, M.Psi., Psikolog selaku pembimbing utama yang telah memberikan waktu, pikiran, tenaga, dan dorongan demi membantu peneliti untuk menyelesaikan skripsi ini. 5. Lisa Imelia, M.Psi., Psikolog selaku pembimbing pendamping yang telah sabar dalam

memberikan waktu, dukungan, dan dorongan serta bertukar pikiran agar peneliti dapat menyelesaikan skripsi dengan sebaik mungkin.

6. Evany Victoriana, M.Psi., Psikolog selaku dosen wali yang telah memberikan masukan kepada peneliti serta memberikan dukungan agar peneliti mampu berusaha sebaik mungkin.


(34)

7. Bapak Amid Juwardi, M.M.Pd., selaku kepala sekolah yang telah memberikan izin,

bantuan serta masukan kepada peneliti selama melakukan penelitian di SLB “X” kota

Bandung.

8. Guru-guru SLB yang telah memberikan izin dan bantuan kepada peneliti selama

melakukan penelitian di SLB “X” Kota Bandung.

9. Ibu Ati selaku guru SLB “X” yang telah membantu peneliti dalam menyelesaikan penelitian ini.

10.Para ibu di SLB “X” yang telah menjadi responden dan bersedia meluangkan waktu untuk berbagi cerita dengan peneliti, serta membuat peneliti lebih mengerti bagaimana keadaan dan perasaan yang mereka rasakan.

11.Seluruh staff Tata Usaha dan TKT Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha yang telah membantu peneliti menyelesaikan penelitian.

12.Mami, Papi, dan Mama yang telah memberikan kasih sayang, perhatian, dan dukungan kepada peneliti.

13.Para kakak-kakakku, Lita Agustina, ST., Ryandro F. Pratama, S.Ikom., Finny Afrilia, ST., Purnahabi Wardana, S.Kom., Reggy Adinugraha, ST., Jerry Dwi Prasetia, S.Hum., adikku Reza Ramadhan, dan keponakanku Raylee Aryan Pratama yang telah memberikan dukungan, perhatian, pengertian dan menghibur peneliti disaat peneliti sedang menghadapi kesulitan dalam menyusun skripsi ini.

14.Ali Limbardijaya Andri, SKG. yang memberikan bantuan disaat peneliti kesulitan dan memberikan dukungan serta semangat tanpa henti kepada peneliti.

15.Dhery Zwastyana dan Alvina Ilone, S.Psi. yang memberikan kasih sayang, dukungan dan dorongan serta menghibur peneliti saat peneliti kesulitan selama mengerjakan penelitian. 16.Lady Tri Pakar, Bernand Joseph, Riko Christian, Raynard Wiguna, Wulan Fitria, dan


(35)

17.Seluruh teman-teman Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha angkatan 2009 yang telah membantu dan mendukung peneliti dalam menyelesaikan penelitian.

Peneliti menyadari bahwa rancangan penelitian ini tidak terlepas dari adanya kekurangan. Oleh karena itu, peneliti terbuka untuk menerima masukan sehingga peneliti dapat membuat rancangan penelitian ini menjadi lebih baik lagi.

Peneliti berharap rancangan penelitian ini dapat bermanfaat bagi masyarakat, khususnya mahasiswa psikologi.

Bandung, Agustus 2016


(36)

DAFTAR PUSTAKA

Benard, Bonnie. 2004. Resiliency: What We Have Learned. San Francisco: WestEd.

Hidayat, Sianiwati S., Prasetya, Paulus H., Handayani, Vida., Savitri, Jane., Azizah, Endeh., Wardani, Ria., Rajagukguk, Robert O. 2015. Panduan Penulisan Skripsi Sarjana. Edisi Revisi Juli. Bandung: Universitas Kristen Maranatha.

Kumar, Ranjit. 2010. Research Methodology: A Step by Step Guide for Beginners, Edisi ke-3. London: Sage Publication.

Manurung, Rosida T. 2009. Teknik Penulisan Karya Ilmiah. Bandung: Jendela Mas Pustaka. Muniroh, Siti Mumun. 2010. Jurnal Dinamika Resiliensi Orang Tua Anak Autis, 7,2.

Noor, Hasanuddin. 2012. Psikometri: Aplikasi Dalam Penyusunan Instrumen Pengukuran Perilaku. Bandung: Jauhar Mandiri.

Prasa, Bima Adi. 2012. Stres dan Koping Orangtua dengan Anak Retardasi Mental. Diunduh dari http://www.jogjapress.com/index.php/EMPATHY/ article/ download/1595/945 Siegel, Sidney. 1992. Statistik Nonparametrik untuk Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta: PT. Gramedia. Somantri, T.Sutjihati. 2006. Psikologi Anak Luar Biasa. Bandung: Refika Pratama.


(37)

62

Universitas Kristen Maranatha DAFTAR RUJUKAN

Anita, Nur. (2012). Pengalaman Orang Tua yang Mempunyai Anak Retardasi Mental di Kota Pekalongan. StiKes Muhamadiyah: Pekajang.

Kamalita, Dina (2015). Studi Deskriptif Mengenai Derajat Resiliensi pada Ibu dengan Anak Cerebral Palsy di SLB “X” Bandung. Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha: Bandung.

Listiyaningsih, Reny., Dewayani, Triana Noor Dewani., (2012). Kepercayaan Diri pada Orangtua yang Memiliki Anak Tunagrahita. Diunduh dari http://fpsi.mercubuana-yogya.ac.id/wpcontent/uploads/2012/06/Agustus 2010 Triana-Noor-Edwina.pdf Luvti,Fenni. (2009). Studi Deskriptif Mengenai Derajat Resiliency pada Ibu yang Memiliki

Anak Autis di Yayasan “X” Kota Bandung. Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha: Bandung.

https://idtesis.com/metode-deskriptif/ diakses pada tanggal 15 Juni 2016, pukul 05:43 https://id.wikipedia.org/wiki/Anak_berkebutuhan_khusus

http://pengertian-kata.blogspot.co.id/2012/02/pengertian-pendidikan-luar-biasa.html

https://skripsipsikologie.wordpress.com/2009/05/14/stres-pada-ibu-ibu-yang-mempunyai-anak-retardasi-mental-ditinjau-dari-dukungan-sosial-dan-religiusitas/

https://scribd.com/mobile/doc/52842072/PURPOSIVE-SAMPLING diakses pada tanggal 5 Juni 2016, pukul 02:35


(38)

(1)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat limpahan rahmat-Nya peneliti dapat menyelesaikan mata kuliah Skripsi di Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.

Selama menyusun rancangan penelitian yang berjudul Studi Deskriptif Mengenai Derajat Resiliency pada Ibu yang Memiliki Anak Tunagrahita di SLB “X” Kota Bandung, peneliti banyak menemukan kesulitan. Namun berkat adanya bantuan dari berbagai pihak, akhirnya kesulitan tersebut dapat diatasi oleh peneliti. Karena itulah, pada kesempatan ini peneliti ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah memberikan bantuan dan bimbingan dalam penyusunan skripsi ini, yaitu kepada:

1. Dr. O. Irene Prameswari Edwina, M.Si., Psikolog selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.

2. Lie Fun Fun, M.Psi., Psikolog selaku Kepala Program Studi Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.

3. Sianiwati S. Hidayat, M.Si., Psikolog bersama tim dosen Usulan Penelitian yang telah memberikan bantuan dan kesempatan kepada peneliti untuk menempuh mata kuliah Skripsi.

4. Ira Adelina, M.Psi., Psikolog selaku pembimbing utama yang telah memberikan waktu, pikiran, tenaga, dan dorongan demi membantu peneliti untuk menyelesaikan skripsi ini. 5. Lisa Imelia, M.Psi., Psikolog selaku pembimbing pendamping yang telah sabar dalam

memberikan waktu, dukungan, dan dorongan serta bertukar pikiran agar peneliti dapat menyelesaikan skripsi dengan sebaik mungkin.

6. Evany Victoriana, M.Psi., Psikolog selaku dosen wali yang telah memberikan masukan kepada peneliti serta memberikan dukungan agar peneliti mampu berusaha sebaik mungkin.


(2)

7. Bapak Amid Juwardi, M.M.Pd., selaku kepala sekolah yang telah memberikan izin, bantuan serta masukan kepada peneliti selama melakukan penelitian di SLB “X” kota Bandung.

8. Guru-guru SLB yang telah memberikan izin dan bantuan kepada peneliti selama melakukan penelitian di SLB “X” Kota Bandung.

9. Ibu Ati selaku guru SLB “X” yang telah membantu peneliti dalam menyelesaikan penelitian ini.

10. Para ibu di SLB “X” yang telah menjadi responden dan bersedia meluangkan waktu untuk berbagi cerita dengan peneliti, serta membuat peneliti lebih mengerti bagaimana keadaan dan perasaan yang mereka rasakan.

11.Seluruh staff Tata Usaha dan TKT Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha yang telah membantu peneliti menyelesaikan penelitian.

12.Mami, Papi, dan Mama yang telah memberikan kasih sayang, perhatian, dan dukungan kepada peneliti.

13.Para kakak-kakakku, Lita Agustina, ST., Ryandro F. Pratama, S.Ikom., Finny Afrilia, ST., Purnahabi Wardana, S.Kom., Reggy Adinugraha, ST., Jerry Dwi Prasetia, S.Hum., adikku Reza Ramadhan, dan keponakanku Raylee Aryan Pratama yang telah memberikan dukungan, perhatian, pengertian dan menghibur peneliti disaat peneliti sedang menghadapi kesulitan dalam menyusun skripsi ini.

14.Ali Limbardijaya Andri, SKG. yang memberikan bantuan disaat peneliti kesulitan dan memberikan dukungan serta semangat tanpa henti kepada peneliti.

15.Dhery Zwastyana dan Alvina Ilone, S.Psi. yang memberikan kasih sayang, dukungan dan dorongan serta menghibur peneliti saat peneliti kesulitan selama mengerjakan penelitian. 16.Lady Tri Pakar, Bernand Joseph, Riko Christian, Raynard Wiguna, Wulan Fitria, dan


(3)

17.Seluruh teman-teman Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha angkatan 2009 yang telah membantu dan mendukung peneliti dalam menyelesaikan penelitian.

Peneliti menyadari bahwa rancangan penelitian ini tidak terlepas dari adanya kekurangan. Oleh karena itu, peneliti terbuka untuk menerima masukan sehingga peneliti dapat membuat rancangan penelitian ini menjadi lebih baik lagi.

Peneliti berharap rancangan penelitian ini dapat bermanfaat bagi masyarakat, khususnya mahasiswa psikologi.

Bandung, Agustus 2016


(4)

61

Universitas Kristen Maranatha DAFTAR PUSTAKA

Benard, Bonnie. 2004. Resiliency: What We Have Learned. San Francisco: WestEd.

Hidayat, Sianiwati S., Prasetya, Paulus H., Handayani, Vida., Savitri, Jane., Azizah, Endeh., Wardani, Ria., Rajagukguk, Robert O. 2015. Panduan Penulisan Skripsi Sarjana. Edisi Revisi Juli. Bandung: Universitas Kristen Maranatha.

Kumar, Ranjit. 2010. Research Methodology: A Step by Step Guide for Beginners, Edisi ke-3. London: Sage Publication.

Manurung, Rosida T. 2009. Teknik Penulisan Karya Ilmiah. Bandung: Jendela Mas Pustaka. Muniroh, Siti Mumun. 2010. Jurnal Dinamika Resiliensi Orang Tua Anak Autis, 7,2.

Noor, Hasanuddin. 2012. Psikometri: Aplikasi Dalam Penyusunan Instrumen Pengukuran Perilaku. Bandung: Jauhar Mandiri.

Prasa, Bima Adi. 2012. Stres dan Koping Orangtua dengan Anak Retardasi Mental. Diunduh dari http://www.jogjapress.com/index.php/EMPATHY/ article/ download/1595/945 Siegel, Sidney. 1992. Statistik Nonparametrik untuk Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta: PT. Gramedia. Somantri, T.Sutjihati. 2006. Psikologi Anak Luar Biasa. Bandung: Refika Pratama.


(5)

62

Universitas Kristen Maranatha DAFTAR RUJUKAN

Anita, Nur. (2012). Pengalaman Orang Tua yang Mempunyai Anak Retardasi Mental di Kota Pekalongan. StiKes Muhamadiyah: Pekajang.

Kamalita, Dina (2015). Studi Deskriptif Mengenai Derajat Resiliensi pada Ibu dengan Anak

Cerebral Palsy di SLB “X” Bandung. Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha: Bandung.

Listiyaningsih, Reny., Dewayani, Triana Noor Dewani., (2012). Kepercayaan Diri pada Orangtua yang Memiliki Anak Tunagrahita. Diunduh dari http://fpsi.mercubuana-yogya.ac.id/wpcontent/uploads/2012/06/Agustus 2010 Triana-Noor-Edwina.pdf Luvti,Fenni. (2009). Studi Deskriptif Mengenai Derajat Resiliency pada Ibu yang Memiliki

Anak Autis di Yayasan “X” Kota Bandung. Fakultas Psikologi Universitas Kristen

Maranatha: Bandung.

https://idtesis.com/metode-deskriptif/ diakses pada tanggal 15 Juni 2016, pukul 05:43 https://id.wikipedia.org/wiki/Anak_berkebutuhan_khusus

http://pengertian-kata.blogspot.co.id/2012/02/pengertian-pendidikan-luar-biasa.html

https://skripsipsikologie.wordpress.com/2009/05/14/stres-pada-ibu-ibu-yang-mempunyai-anak-retardasi-mental-ditinjau-dari-dukungan-sosial-dan-religiusitas/

https://scribd.com/mobile/doc/52842072/PURPOSIVE-SAMPLING diakses pada tanggal 5 Juni 2016, pukul 02:35


(6)

63

Universitas Kristen Maranatha

Lampiran