Studi Deskriptif Mengenai Value of Children pada Ibu yang Memiliki Anak Autis di SLB "X" Bandung.

(1)

vi Universitas Kristen Maranatha ABSTRAK

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui value of children pada ibu yang memiliki anak autis di SLB “X” Bandung. Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Penarikan sampel menggunakan purposive sampling dengan jumlah sampel sebanyak 25 responden.

Alat ukur yang digunakan adalah kuesioner yang dibuat peneliti dengan menggunakan teori Fred Arnold (1975) yang terdiri dari dua dimensi value of children yaitu positive general values dan negative general values. Validitas yang digunakan adalah content validity dengan 52 item yang valid. Alat ukur terdiri dari 26 item positif dan 26 item negatif.

Berdasarkan hasil pengolahan data diperoleh bahwa ibu yang memiliki value of children kurang positif sebanyak 52%, sedangkan ibu yang memiliki value of children sangat positif sebanyak 48%. Ibu yang memiliki value of children kurang negatif sebanyak 56%, sedangkan ibu value of chidren sangat negatif kuat sebanyak 44%. Kesimpulan dari penelitian ini adalah sebagian besar ibu memiliki value of children kurang positif dan value of children kurang negatif.

Untuk penelitian selanjutnya peneliti mengajukan saran untuk meneliti kontribusi faktor yang memengaruhi value of children terhadap value of children positif dan value of children negatif. Bagi pihak sekolah agar dapat memfasilitasi ibu dalam melakukan kegiatan sharing mengenai hal-hal yang berkaitan dengan value of children.


(2)

vii Universitas Kristen Maranatha ABSTRACT

This research was conducted to determine the value of children of mothers

who have children with autism at SLB ‘X’ Bandung. The method used in this research is descriptive method. This research sampling using purposive sampling with a total sample of 25 respondents.

Measuring instrument was constructed by researcher based on Fred

Arnold’s theory (1975) of two dimensions of value of children (positive general values and negative general values). Validity used is content validity method resulting 52 valid items. Measuring instrument consisted of 26 positive items and 26 negative items.

Based on the results of data processing, in this obtain that a total of 52% mothers have less-positive value of children, and a total of 48% mothers have very-positive value of children. A total of 56% mothers have less negative value of children and a total of 44% mothers have very-negative value of children. The conclucion of this research is most of mothers have less-positive and less-negative value of children.

For further research the researchers propose suggestions to examine the contribution factors that affect the value of children to positive value of children and negative value of children. For school to facilitate mothers in sharing activities on matters relating to the value of children.


(3)

viii Universitas Kristen Maranatha DAFTAR ISI

Halaman

Lembar Pengesahan ……... i

Lembar Pernyataan Orisinalitas Laporan Penelitian .………….………… ii

Lembar Pernyataan Publikasi Laporan Penelitian ……….……. iii

Kata Pengantar ……...……….……...…….. iv

Abstrak ………. vi

Abstract ……… vii

Daftar Isi ………...………..………..….…. viii

Daftar Tabel ……... xii

Daftar Skema ……... xiii

Daftar Lampiran ………..……… xiv

BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang Masalah ………..………..…………. 1

1.2Identifikasi Masalah………..……….. 10

1.3Maksud Dan Tujuan Penelitian………..………. 10

1.3.1 Maksud Penelitian………...………….... 10

1.3.2 Tujuan Penelitian……….….….……….. 10

1.4Kegunaan Penelitian……….….……….. 11

1.4.1 Kegunaan Teoritis……….…..……….... 11

1.4.2 Kegunaan Praktis………..……..… 11


(4)

ix Universitas Kristen Maranatha

1.6Asumsi………..…... 23

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Value of children……….... 24

2.1.1 Pengertian Value of Children………. 24

2.1.2 Dimensi-dimensi Value of children………... 25

2.1.3 Faktor yang mempengaruhi Value of Children...30

2.2 Teori Perkembangan Dewasa Madya...………...……... 34

2.2.1 Masa dewasa madya...……….…..………….. 34

2.2.2 Perkembangan fisik dewasa madya... 35

2.2.3 Perkembangan Kognitif... 35

2.3 Autisme...……… 36

2.3.1 Definisi Autisme...………..…... 36

2.3.2 Jenis Autisme... 36

2.3.3 Gejala-gejala pada autisme...……… 37

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Rancangan dan Prosedur Penelitian.……….………... 40

3.2 Bagan Rancangan Penelitian...40

3.3 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional……….………...…… 40

3.3.1 Variabel Penelitian…………...………....…. 40

3.3.2 Definisi Konseptual………...………... 41


(5)

x Universitas Kristen Maranatha

3.4 Alat Ukur Dimensi Positive dan Negative………... 45

3.4.1 Alat Ukur Value of Children…...……… 45

3.4.2 Prosedur Pengisian……… 48

3.4.3 Cara Skoring...48

3.4.4 Validitas Alat Ukur...50

3.5 Data Pribadi dan Data Penunjang………...… 50

3.6 Populasi dan Teknik Penarikan Sampling………...………... 51

3.6.1 Populasi Sasaran...……….….……….. 51

3.6.2 Karakteristik Populasi……….……….………... 51

3.6.3 Teknik Penarikan Sampel……….……...………...….. 51

3.7 Teknik Analisis Data………...…… 51

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Responden……… 53

4.1.1 Gambaran Responden Berdasarkan Usia………... 53

4.1.2 Gambaran Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Anak...…… 54

4.2 Gambaran Hasil Penelitian……… 54

4.2.1 Gambaran Value of Children Ibu yang Memiliki Anak Autis…… 55

4.2.1.1 Gambaran Ibu yang Memiliki VOC Positif...56

4.2.1.2 Gambaran Ibu yang Memiliki VOC Negatif...57


(6)

xi Universitas Kristen Maranatha BAB V SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan ……….……… 85

5.2 Saran ………... 86

5.2.1 Saran Teoritis ………...………… 86

5.2.2 Saran Praktis ……… 87

DAFTAR PUSTAKA... 88

DAFTAR RUJUKAN……….…………... 89 LAMPIRAN


(7)

xii Universitas Kristen Maranatha DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Kerangka kuesioner value of children dimensi positive general

values...45

Tabel 3.2 Kerangka kuesioner value of children dimensi negative general

values...47

Tabel 3.3 Kategori norma

kelompok...49

Tabel 4.1 Gambaran ibu berdasarkan usia...53 Tabel 4.2 Gambaran ibu berdasarkan jenis kelamin...54 Tabel 4.3 Gambaran value of children positif dan value of children negatif pada ibu yang memiliki anak autis...55 Tabel 4.4 Gambaran aspek-aspek value of children pada ibu yang memiliki value

of children positif...56

Tabel 4.4 Gambaran aspek-aspek value of children pada ibu yang memiliki value


(8)

xiii Universitas Kristen Maranatha DAFTAR BAGAN

Bagan skema 1.1 Kerangka pemikiran...22 Bagan skema 3.1 Prosedur Penelitian...40


(9)

Universitas Kristen Maranatha 1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah

Memiliki anak merupakan hal yang diharapan oleh orang tua, terlebih bagi pasangan yang baru menikah atau telah lama menikah namun belum dikarunia seorang anak. Menjadi sebuah hal yang logis bila keinginan untuk memiliki anak tersebut diikuti dengan harapan dari para orang tua untuk mendapatkan anak yang terlahir sempurna dan sehat, baik secara fisik maupun psikis, dapat berkembang sesuai dengan usianya. Pada kenyataannya, harapan-harapan itu tidak selalu dapat diwujudkan kendati orang tua telah merawat kandungannya dengan baik. Ketidaksesuaian harapan ibu dengan kenyataan yang ada, sebagai contohnya adalah memiliki anak yang lahir dengan cacat fisik ataupun psikis. Kelahiran anak dengan kondisi cacat psikis yang akhir-akhir ini memiliki kecenderungan angka kelahiran yang semakin tinggi, salah satunya gangguan autisme (Stela, Hurtanto. 2006).

Autisme berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua kata yaitu ‘aut’ yang berarti ‘diri sendiri’ dan ‘ism’ yang secara tidak langsung

menyatakan ‘orientasi atau arah atau keadaan (state). Autisme dapat

didefinisikan sebagai kondisi seseorang yang luar biasa asik dengan dirinya sendiri (Fitriana, N. 2013).

Autis merupakan suatu gangguan perkembangan yang kompleks yang berhubungan dengan komunikasi, interaksi sosial dan aktivitas


(10)

Universitas Kristen Maranatha imajinasi. Autis juga merupakan suatu konsekuensi dalam kehidupan mental dari kesulitan perkembangan otak yang kompleks yang mempengaruhi banyak fungsi- fungsi: persepsi (perceiving), intending, imajinasi (imagining) dan perasaan (feeling) (Homdijah, Siti. Pendidikan Luar Biasa). Autisme juga dapat dikatakan suatu kelainan perkembangan sistem saraf pada seseorang. Gejala-gejala autis meliputi gangguan kognitif (kemampuan), bahasa, perilaku, komunikasi, dan gangguan interaksi sosial dengan mengalami gangguan pada sosialisasi, gangguan komunikasi, dan minat (Miftah, 2011).

Jumlah anak penyandang autisme di Indonesia terus meningkat. Menurut Diah pada seminar "Diagnosis Akurat, Pendidikan Tepat dan Dukungan Kuat untuk Menciptakan Masa Depan Anak Autis yang Lebih Baik” mengatakan bila diasumsikan dengan prevalensi autisme 1,68 per 1000 untuk anak di bawah 15 tahun dimana jumlah anak usia 5-19 tahun di Indonesia mencapai 66.000.805 jiwa berdasarkan data BPS tahun 2010 maka diperkirakan terdapat lebih dari 112.000 anak penyandang autisme. (Mellisa, Fenny. 09 April 2013)

Merawat anak penyandang autisme dapat menyebabkan stres karena banyaknya gejala yang ditimbulkan oleh anak autis, diantaranya ibu mengalami kesulitan dalam hal mengajar dan berkomunikasi karena anak bermasalah dalam bahasa dan mengekspresikan emosinya; ibu harus selalu waspada dengan perilaku anak yang suka menyerang; perawatan yang ekstra karena anak penyandang autisme tidak mampu merawat dirinya sendiri; memenuhi semua kebutuhan anak penyandang autisme; kebutuhan akan


(11)

3

Universitas Kristen Maranatha sekolah, dan kesehatan anak. Kemudian stigma yang harus dihadapi dari masyarakat mengenai anak penyandang autisme, harus selalu memperhatikan perkembangan anak yang tidak biasa, serta kekhawatiran akan masa depan anak saat harus mengandalkan kemandiriannya (Miftah. 2011).

Masalah yang berhubungan dengan perawatan anak penyandang autisme dirasakan sangat berat oleh ibu, dimana ibu adalah orang pertama dalam merawat anak. Ibu yang dianggap sebagai individu yang memiliki kedekatan emosional tertinggi dengan anaknya. Ibu juga memiliki tugas-tugas yang saling tumpang tindih, di satu sisi mereka harus menjadi istri, di sisi lain mereka harus menjadi ibu dengan segala kesibukan barunya. Salah satu kesibukan ibu dalam keluarga terkait anak adalah merawat, mendidik, dan menjaga anak-anaknya dari usia bayi hingga dewasa, karena anak tidak jauh dari pengamatan orangtua terutama ibunya (Duvall, 1977). Merawat anak penyandang autisme berpengaruh pada pekerjaan dan waktu istirahat. Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa ibu memiliki beban yang lebih berat dalam merawat anak penyandang autisme dibandingkan ayah (Miftah. 2011).

Ibu perlu mempersiapkan diri untuk memberikan dukungan yang optimal terhadap anaknya. Ibu pun melakukan konsultasi sehubungan dengan kondisi anaknya, mencari sekolah atau pusat terapi yang terbaik bagi anaknya, mencari informasi dari buku, majalah, dan internet, demi memperkaya pengetahuannya mengenai autisme terutama mengenai terapi yang tepat dan sesuai dengan anak autis. (Purwanta, Edi).


(12)

Universitas Kristen Maranatha Dalam merawat anak, tiap ibu memperlakukannya berbeda-beda. Seperti yang terlihat dari hasil wawancara, ibu pertama secara rutin membawa anaknya ke tempat terapi yang jaraknya sangat jauh dari rumah sehabis pulang kerja. Ibu mengatakan sesekali dirinya mengulang pelajaran yang diajarkan terapis kepada anaknya, agar anaknya menjadi semakin mahir seperti anak normal lainnya. Sebelum berangkat kerja, ibu selalu memandikan anaknya dan menyiapkan sarapan untuk anak dan suaminya.

Ibu kedua yang berhenti bekerja setelah mengetahui anaknya autis. Ibu mencari terapis terbaik yang bisa datang ke rumahnya. Setiap sore ibu mengajak anaknya berkeliling perumahan agar anaknya dapat mengenal dunia di sekelilingnya dan dapat berinteraksi dengan orang lain. Hal ini dilakukan ibu agar anaknya dapat mengenal lingkungan dan tidak menganggu tetangga atau orang lain.

Ibu ketiga yang menyewa jasa pengasuh untuk mengurus anaknya agar ibu dapat fokus dengan pekerjaannya. Ibu mengaku jarang menemani anaknya saat melakukan terapi dan menyerahkan semua proses penanganan kepada terapis, dikarenakan tuntutan pekerjaan untuk bertemu banyak orang dan membantu pasangan dalam biaya perawatan anak autisnya. Setiap hari waktu ibu dihabiskan di luar rumah, sehingga sedikit waktu untuk berkumpul bersama anak. Ketika ada acara bersama teman-teman kantornya atau arisan, ibu cenderung mengurung anaknya atau meminta pengasuh untuk mengajak jalan anaknya selama kegiatan bersama teman-teman ibu berlangsung.


(13)

5

Universitas Kristen Maranatha Berdasarkan hasil wawancara diatas, dapat dikatakan bahwa memiliki anak autis benar-benar menyita waktu, tenaga, perasaan, bahkan biaya yang tidak sedikit untuk berbagai pengobatan dan terapi yang harus dijalani anak autis. Kehadiran anak autis membuat ibu cenderung memandang anak autis sebagai beban secara emosi dan ekonomi. Pandangan ibu bahwa anak autis adalah beban secara emosi dan ekonomi merupakan satu dari sekian banyak pandangan ibu terhadap kehadiran anak autis. Dengan demikian, maka perlakuan ibu terhadap anak autis pun berbeda-beda antara satu keluarga dengan keluarga lainnya. Hal ini dipengaruhi oleh bagaimana ibu memaknakan anak autisnya didalam keluarga (Hidayat, Sianiawati Sunarto., dan Katherine Komalasari. 2004).

Fred Arnold cs (1975), menyatakan bahwa nilai anak dimata orangtuanya disebut sebagai Value of Chldren yang seterusnya akan disingkat menjadi VOC. VOC merupakan nilai manfaat dan beban yang ditimbulkan yang berasal dari anak. VOC dikelompokkan menjadi empat dimensi, yaitu

Postive General Values (benefits), Negative General Values (costs), Large Family dan Small Family. Hanya saja, Arnlod (1975) lebih menekankan pada

pemikiran yang berkaitan dengan kepuasan (satisfaction) orangtua terhadap kehadiran anaknya (positive general values) dan berkaitan dengan beban (costs) yang harus ditanggung oleh orangtua apabila memiliki anak (negative

general values). Kemudian Positive General Values dan Negative General Values secara tidak langsung memiliki keterikatan dengan keinginan orangtua


(14)

Universitas Kristen Maranatha

Family) ataupun keluarga kecil (Small Family). Oleh karena itu, pada

penelitian ini, VOC ibu yang memiliki anak autis difokuskan pada dimensi

Positive General Values (benefits) dan Negative General Values (costs).

Positive General Values menurut Arnold (1975), yaitu pemikiran

orangtua mengenai kepuasan (satisfaction) terhadap kehadiran anak dalam keluarga dikarenakan anak dapat memenuhi kebutuhan orangtua. Positive

General Values pada ibu yang memiliki anak autis dapat dilihat dari

bagaimana ibu memaknakan kehadiran anak autisnya sebagai Emotional

benefits, economic benefits and security, self-enrichment and development, identification with children, dan family cohesiveness and continuity.

Emotional Benefits dianggap sebagai sumber kebahagiaan ibu.

Kehadiran anak juga memberikan kepuasan ekonomi (Economic Benefits and

Security), yaitu anak dapat memberikan keuntungan kepada orangtuanya

dalam hal menyokong perekonomian keluarga dan memberikan jaminan bagi ibu di masa tua. Ibu bangga melihat pertumbuhan dan perkembangan anak karena adanya refleksi diri orangtua dalam diri anaknya (Identification with

Children) merupakan kepuasan lainnya. Lalu ada pula kepuasan yang

membuat ibu merasa kehadiran anak dapat membuat ibu belajar lebih dewasa karena mendapat pengalaman selama mengasuh anak (Self-Enrichment and

Development). Kehadiran anak dapat berfungsi sebagai pengikat antara

suami-istri, pelengkap dalam kehidupan keluargam dan penerus nama keluarga (Family Cohessiveness and Continuity).


(15)

7

Universitas Kristen Maranatha Di sisi lain, negative General Values yang dimaksud Fred Arnold cs (1975), yaitu pemikiran orangtua mengenai beban (costs) yang harus ditanggung orangtua ketka anak hadir dalam keluarga. Negative general

values pada ibu yang memiliki anak autis dapat dilihat dari bagaimana ibu

memaknakan kehadiran anak autisnya sebagai emotional costs, economic

costs, restriction or opportunity costs, physcal demands, dan family costs.

Anak dimaknai menjadi beban ketika ibu menganggap bahwa akan mengeluarkan biaya yang banyak untuk pengobatan dan pendidikan anak (Economic Cost). Anak pun dimaknai sebagai beban karena hanya membuat mereka merasa lelah dan letih mengurusi anak-anak mereka, karena anak dianggap sebagai beban fisik (Physical Demands). Ibu merasa kehadiran anak mereka hanya membuat ibu pusing karena harus menghadapi perilaku anak-anak yang tidak seperti anak-anak normal lainnya (Emotional Cost). Ada pula ibu yang merasa kehadiran anak hanya akan memicu munculnya pertengkaran di antara pasangan (Family Cost). Selain itu ada ibu yang merasa kehadiran anak hanya akan membatasi ruang gerak ibu terlebih ibu yang masih memikirkan masalah karir (Restriction or Opportunity Cost).

Anak yang menderita autis selain memerlukan perhatian, perlakuan dan perawatan kesehatan yang khusus, juga memerlukan pendidikan khusus untuk mengembangkan potensi yang dimiliki anak autis secara optimal. Salah satunya dengan memasukkan anak yang menderita autis ke sekolah luar biasa (SLB). Sesuai pasal 15 UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, bahwa jenis pendidikan bagi Anak berkebutuan khusus adalah Pendidikan Khusus. Pasal


(16)

Universitas Kristen Maranatha 32 (1) UU No. 20 tahun 2003 memberikan batasan bahwa Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional,mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.

Sekolah Luar Biasa (SLB) adalah salah satu pendidikan khusus yang bertujuan membantu peserta didik yang menyandang kelainan fisik dan/atau mental, perilaku dan sosial agar mampu mengembangkan sikap, pengetahuan dan keterampilan sebagai pribadi maupun anggota masyarakat dalam mengadakan hubungan timbal balik dengan lingkungan sosial, budaya dan alam sekitar serta dapat mengembangkan kemampuan dalam dunia kerja atau mengikuti pendidikan lanjutan. Salah satunya adalah SLB “X” (Aditya, R. 2011).

SLB “X” adalah salah satu SLB di Bandung yang memiliki

siswa-siswa berkebutuhan khusus, salah satunya anak autis. Salah seorang ibu

memasukkan anaknya ke SLB “X” karena mendapatkan informasi dan

pengalaman dari ibu lain yang pernah memasukkan anaknya di SLB “X”. Perkembangan anak mereka yang maju pesat dibandingkan saat belum belum bersekolah di SLB “X”. Salah satu kemajuannya adalah sebelum masuk SLB

“X” anak mereka sulit untuk bersosialisasi dengan orang luar, namun setelah


(17)

9

Universitas Kristen Maranatha Metoda-metoda pembelajaran yang dirasakan cocok dengan anak mereka, yang membuat anak-anak menjadi lebih mampu menerima pelajaran. Setiap 3 bulan sekali para ibu diminta untuk menghadiri jadwal parent

meeting dimana para ibu, psikolog, serta guru berdiskusi mengenai

perkembangan anaknya.

SLB “X” memiliki program parent meeting dimana para ibu, psikolog,

serta guru berdiskusi mengenai perkembangan anak. Parent meeting juga membantu ibu mendapatkan informasi seminar atau gathering seputar anak autis baik dari sesama ibu yang memiliki anak autis, psikolog, ataupun dari

guru. Setiap 6 bulan sekali SLB”X” mengadakan gathering bersama.

Gathering ini mengikutsertakan ibu beserta anak autisnya untuk melakukan

kegiatan bersama. Tujuan dari gathering ini, menumbuhkan rasa sayang lebih lagi dengan anak autisnya. Ibu mendapatkan informasi tambahan mengenai anak autisnya baik dari para ibu lainnya atau praktisi. Di akhir sesi para ibu diminta untuk menghadiri seminar yang akan dibawakan seorang praktisi atau psikolog mengenai anak yang menderita autis.

Dari survei awal yang dilakukan pada 10 orang ibu dari siswa yang menderita autis didapatkan data sebagai berikut: sebanyak 20% (2 orang ibu) menganggap seorang anak adalah anugerah yang diberikan Tuhan sebagai pelengkap dalam hidupnya. Seorang anak harus disayangi dan dididik dengan sebaik-baiknya, sehingga ibu tersebut memperlakukan anaknya dengan baik dan tetap menganggap anaknya seperti anak normal lainnya (Family


(18)

Universitas Kristen Maranatha

Cohesiveness and Continuity). Sebanyak 40% (4 orang ibu) merasa kehadiran

seorang anak menjadi beban karena anaknya memerlukan banyak biaya untuk memenuhi kebutuhan anaknya (Economic Cost).

Sebanyak 20% (2 orang ibu) memutuskan untuk berhenti bekerja dan merasa kurang memiliki waktu untuk melakukan kegiatan sendiri, seperti pergi ke salon (Restriction or Opportunity Costs). Sebanyak 10% (1 orang ibu) merasa dengan kehadiran anaknya yang autis, dirinya menjadi lebih sibuk dalam merawat anaknya. Ia memusatkan perhatiannya lebih besar pada anaknya yang autis mengakibatkan berkurangnya waktu bersama pasangan (Family Costs). Sebanyak 10% (1 orang ibu) merasa kehadiran anaknya membuat dirinya harus bekerja keras dalam mengurus rumah tangga sehingga dirinya merasa lelah karena harus merawat anaknya yang autis dan kurangnya waktu tidur (Physical Demands).

Berdasarkan hasil survei awal tersebut, dapat terlihat bahwa makna anak bagi setiap ibu yang memiliki anak autis berbeda-beda. Oleh karena itu peneliti ingin mengetahui gambaran Value of Children (VOC) pada ibu yang memiliki anak autis di SLB “X” Bandung.

1.2Identifikasi Masalah

Dari penelitian ini ingin diteliti gambaran values of children (dimensi positif (positif general values) dan negatif (negative general values)) pada ibu yang memiliki anak autis di SLB “X” Bandung


(19)

11

Universitas Kristen Maranatha 1.3.1 Maksud Penelitian

Maksud penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran mengenai values of children dimensi positif (positif general values) dan dimensi negatif (negative general values)) pada ibu yang memiliki anak autis di SLB “X” Bandung.

1.3.2 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tentang Value of

Children dalam positive general values (satisfaction) dan negative general values (costs) pada ibu yang memiliki anak autis di SLB “X” Bandung.

1.4Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Teoretis

 Untuk memberikan masukan bagi peneliti lain yang ingin mengetahui lebih lanjut mengenai Value of Children pada ibu yang memiliki anak autis.

 Untuk memberikan tambahan informasi bagi bidang ilmu Psikologi, khususnya di bidang Psikologi Sosial dan Psikologi Perkembangan dalam rangka memperkaya materi Value of Children pada ibu yang memiliki anak autis.


(20)

Universitas Kristen Maranatha 1.4.2 Kegunaan Praktis

Untuk memberikan informasi mengenai mengenai values of children dimensi positif (positive general values) dan negatif (negative general

values) pada ibu yang memiliki anak autis, yang berguna untuk

pemahaman diri dan sebagai bahan pertimbangan bagaimana memperlakukan anaknya yang menderita autis.

 Untuk memberikan informasi bagi para guru dan aktivis anak autis mengenai values of children dimensi positif (positive general values) dan negatif (negative general values) bagi ibu yang memiliki anak autis. Informasi ini dapat digunakan dalam memberikan penyuluhan atau seminar mengenai bagaimana memberikan perlakuan yang tepat bagi anak yang menderita autis.

1.5Kerangka Pemikiran

Autisme adalah suatu kelainan perkembangan sistem saraf pada seseorang. Gejala-gejala autis meliputi gangguan kognitif (kemampuan), bahasa, perilaku, komunikasi, dan gangguan interaksi sosial dengan mengalami gangguan pada sosialisasi, gangguan komunikasi, dan minat (Miftah, 2011). Anak autis merupakan tantangan bagi ibu yang memiliki anak autis di SLB “X” Bandung, karena anak penderita autis memiliki gangguan yang mempengaruhi seluruh perkembangannya, seperti dalam hal mengajar dan berkomunikasi dengan anak sangat sulit karena anak bermasalah dalam bahasa dan mengekspresikan


(21)

13

Universitas Kristen Maranatha emosinya; harus selalu waspada dengan perilaku anak yang suka menyerang; perawatan yang ekstra karena anak penyandang autisme tidak mampu merawat dirinya sendiri; memenuhi semua kebutuhan anak penyandang autisme; kebutuhan akan sekolah, dan kesehatan anak. Stigma yang harus dihadapi dari masyarakat mengenai anak penyandang autisme, harus selalu memperhatikan perkembangan anak yang tidak biasa, serta kekhawatiran akan masa depan anak saat harus mengandalkan kemandiriannya. Hal tersebut membuat ibu yang memiliki anak autis perlu lebih banyak meluangkan waktu dan tenaganya untuk mengasuh dan membantu anak autis mengembangkan diri secara optimal karena hal tersebut merupakan tugas pokokya sebagai orangtua.

Bagi ibu yang memiliki anak autis, mengasuh dan mendidik anak autis tidaklah mudah karena seluruh perhatiannya terfokus pada anaknya yang autis. Ibu yang memiliki anak autis mengalami kesulitan dalam membagi perhatiannya antara pasangan dan anak serta bagaimana memperlakukan keluarga lainnya. Selain itu, ibu mempunyai waktu istirahat yang sedikit karena harus mengasuh anaknya, bertambahanya pengeluaran yang diperlukan untuk kebutuhan anaknya, dan ibu tidak dapat melakukan aktivitas yang disukainya, seperti meneruskan karir di pekerjaan mereka. Hal ini dapat mempengaruhi perlakuan ibu terhadap anaknya yang autis. Perlakuan ibu terhadap anaknya yang autis pun berbeda-beda antara satu keluarga dengan keluarga lainnya tergantung bagaimana ibu tersebut memaknakan kehadiran anaknya (Value of Children).

Fred Arnold cs (1975), menyatakan bahwa nilai seorang anak dapat disebut Values of Children (VOC). VOC merupakan nilai kepuasan dan beban


(22)

Universitas Kristen Maranatha yang berasal dari anak. Hal yang lebih ditekankan dalam penelitian VOC Fred Arnold adalah pada pemikiran mengenai kepuasan (satisfaction) orangtua terhadap anaknya (positive general values) dan berkaitan dengan beban (costs) yang harus ditanggung oleh orangtua apabila memiliki anak (negative general

values). Kemudian Positive General Values dan Negative General Values secara

tidak langsung memiliki keterikatan dengan keinginan orangtua memiliki anak maupun ukuran keluarga yang berupa keluarga besar (Large Family) ataupun keluarga kecil (Small Family).

Oleh karena itu pada penelitian, VOC ibu yang memiliki anak autis di

SLB “X” Bandung lebih difokuskan pada dimensi Positive General Values dan

Negative General Values. Ibu yang memaknakan adanya manfaat memiliki anak

autis dapat terlihat apabila ibu lebih memaknakan keberadaan anak merupakan sumber kebahagiaan bagi ibu. Misalnya, seorang ibu yang menganggap anaknya sebagai sumber kebahagiaan yang diberikan Tuhan meskipun ibu terkadang tidak dapat mengerti apa yang diucapakan oleh anaknya dan mampu mengusir rasa kesepian dan kebosanan (Emotional Benefits).

Ibu yang mempunyai anak autis memaknakan anaknya bila anak dapat membantu ibu dalam mengurus rumah. Hal ini dapat terlihat apabila ibu merasa kehadiran anak autis dapat memberikan keuntungan kepada orangtua. Keuntungan yang dimaksud adalah dalam hal memberi pertolongan dalam mengerjakan pekerjaan rumah yang sederhana dan memberikan perlindungan psikologis orangtua berupa ketenangan dengan menunjukkan bahwa anak autisnya dapat hidup mandiri (sebagai Economic Benefits and Security).


(23)

15

Universitas Kristen Maranatha Ibu pun memaknakan keberadaan anaknya yang autis membuat ibu mempunyai banyak hal yang dipelajari dari pengalamannya merawat anak autis. Misalnya, ibu dapat merasa puas secara psikologis karena ibu mempunyai banyak pengalaman yang berharga selama merawat anaknya dan merasa lebih bangga karena dirinya mampu membesarkan anak autisnya dengan baik dibandingkan orang lain (Self-Enrichment and Development).

Ibu yang mempunyai anak autis memaknakan anaknya sebagai sumber kebanggaan bagi ibu dan melihat anak sebagai gambaran dirinya. Misalnya, ibu yang merasa sukses dalam mendidik anak autisnya ketika ibu mengetahui bahwa anak autisnya mampu menerapkan ajaran-ajaran yang diberikan ibu didalam lingkungan sehari-hari anak. Selain itu juga ibu merasa bangga melihat perkembangan positif pada anak autinya karena merasa berhasil mendidik anak autisnya dengan baik (Identification with Children).

Ibu pun memaknakan anaknya sebagai pengikat antara suami dan istri, pemenuhan dari sebuah pernikahan, sebagai pelengkap dalam sebuah pernikahan, sebagai penerus nama keluarga dan tradisi. Misalnya, dengan mempunyai anak autis hubungan suami dan istri semakin erat karena mereka harus bekerjasama dalam mengasuh dan merawat anaknya. Ibu yang mempunyai anak autis memaknakan kehadiran seorang anak autis sebagai pelengkap hidup, anugerah dari Tuhan yang harus disayangi, dijaga, dan dididik dengan sebaik-baiknya (Family Cohesiveness and Continuity).


(24)

Universitas Kristen Maranatha Disisi lain, negative general values berkaitan dengan perasan terbebani yang dirasakan ibu atas kehadiran anak autis dapat terlihat apabila ibu memaknakan kehadiran anak autisnya tersebut sebagai sumber ketegangan, dan kekhawatiran berlebih terhadap kondisi anaknya. Misalnya, perdebatan yang muncul dalam pasangan suami-istri yang disebabkan salah satu atau keduanya malu karena memiliki anak autis. Rasa khawatir yang dirasakan ibu mengenai kondisi anaknya yang menyebabkan ibu tidak dapat hidup tenang terkait kelangsungan hidup anak autisnya jika hidup tanpa oranglain yang membantu. Hal ini membuat ibu merasa anak sebagai beban emosi (Emotional Costs).

Ibu yang mempunyai anak autis memaknakan anaknya sebagai beban ekonomi karena pengeluaran ibu akan kebutuhan anaknya seperti terapi, pengobatan, serta kebutuhan-kebutuhan lainnya, dan pendidikan anak tersebut. Hal tersebut membuat ibu terbebani jika harus mengeluarkan biaya yang cukup besar untuk mengasuh dan mengembangkan potensi anaknya yang menderita autis. Ibu memandang anaknya sebagai beban ekonomi bagi keluarganya (Economic Costs).

Ibu yang mempunyai anak autis memaknakan anaknya sebagai pembatas dalam karir, hubungan sosial, kurangnya kebebasan dalam melakukan kegiatan yang disukai, dan tidak ada waktu untuk memenuhi keinginan pribadi. Misalnya ibu yang memutuskan untuk berhenti bekerja dan merawat anaknya yang membuat ibu sibuk dan kehilangan waktu untuk kegiatannya sendiri (Restrictions


(25)

17

Universitas Kristen Maranatha Ibu yang mempunyai anak autis memaknakan keberadaan anaknya sebagai suatu pekerjaan yang ekstra dalam rumah tangga selain harus mengurus keperluan rumah tangga ibu pun mempunyai tugas untuk menyiapkan seluruh keperluan anaknya yang autis yang seharusnya bisa dikerjakan oleh anak normal. Pekerjaan rumah tangga yang ekstra dapat menyebabkan kurang waktu untuk tidur dan kelelahan fisik (Physical Demands).

Ibu yang mempunyai anak autis memaknakan anaknya sebagai alasan kurangnya waktu untuk pasangan, perbedaan dalam merawat anak autis, dan kehilangan afeksi dari pasangan. Misalnya, ketika memiliki anak autis yang menyita banyak waktu ibu sehingga waktu bersama pasangan menjadi berkurang sehingga seringkali ibu kurang memperhatikan pasangan. Perhatian ibu terlalu besar ditunjukkan untuk anaknya yang autis yang harus di kontrol setiap saat. Hal tersebut dapat menyebabkan pasangan merasa terabaikan dan dapat memicu munculnya konflik dalam rumah tangga (Family Costs).

Selain itu, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi perbedaan Value

of children pada ibu yang mempunyai anak autis, yaitu latar belakang pendidikan,

usia saat menikah, tingkat perekonomian, penghayatan terhadap nilai agama, serta harapan akan kehadiran anak. Latar belakang pendidikan yang dimiliki ibu akan memengaruhi bagaimana ibu memaknakan anaknya. Latar belakang pendidikan secara tidak langsung mempengaruhi bagaimana pola pemikiran dan wawasan ibu. Semakin tinggi jenjang pendidikan, maka diharapkan pola berpikir dan wawasannya akan semakin luas. Misalnya, ibu yang mempunyai anak autis dengan latar belakang pendidikan yang tinggi cenderung akan mencari tahu


(26)

Universitas Kristen Maranatha informasi mengenai cara memerhatikan, memerlakukan dan mendidik anak autis dengan baik, guna mengembangkan kemampuan anak autisnya secara optimal. Oleh karena itu, dengan melihat perkembangan yang positif pada anak autisnya membuat ibu berhasil dalam mendidik dan membesarkan anak autisnya dengan baik. Selain itu, menurut hasil penelitian Arnold cs (1975) ibu yang memiliki latar belakang pendidikan yang rendah cenderung sulit mendapatkan pekerjaan yang leayak sehingga kehadiran anak dalam keluarga dianggap beban ekonomi yang besar karena biaya-biaya yang dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari menjadi lebih besar (Economic Costs). Hal tersebut dapat membuat ibu cenderung memiliki pandangan yang negatif terhadap anak autisnya.

Usia ibu pada saat menikah juga secara tidak langsung memberikan pengaruh dalam memaknai kehadiran anak. Menurut Psikologi, Diane E. Papalia dan Sally Wendkos Olds dalam buku Human Development (1998), mengemukakan bahwa masa usia menikah adalah usia dewasa awal yaitu antara 20 hingga 40 tahun karena tugas perkembangan dewasa awal adalah untuk memasuki dunia pernikahan dan membina bahtera rumah tangga. Selain itu, Papalia mengemukakan bahwa dari segi kesiapan fisik dan psikis, usia terbaik untuk menikah bagi perempuan adalah 19-25 tahun, sedangkan bagi laki-laki adalah usia 20-25 tahun. Ketika ibu menikah dibawah 19 tahun tersebut dan kemudian memiliki anak, ibu akan kehilangan banyak waktu bersama teman-temannya. Kegiatan yang biasa dilakukan bersama akan semakin berkurang. Hal ini akan semakin terasa bila ibu mempunyai anak autis yang membutuhkan perhatian dan perlakuan yang lebih banyak dibandingkan anak normal lainnya


(27)

19

Universitas Kristen Maranatha (Restriction or Oppoturnity Costs). Hal tersebut dapat membuat ibu memiliki pandangan yang cenderung negatif terhadap kehadiran anak autisnya.

Disisi lain bila ibu yang menikah 19-25 tahun, ibu akan merasa lebih siap dalam menjalani kehidupan rumah tangga. Anak dipandang sebagai sumber kebanggaan bagi ibu jika berhasil membesarkan anaknya sehingga anaknya dapat mengembangkan kemampuannya semaksimal mungkin. Misalnya, ibu yang menikah di usia tersebut dan kemudian memiliki anak autis, kemungkinan besar ibu akan lebih bertanggung jawab dan lebih baik dalam mengasuh dan mendidik anak autisnya. Hal ini dapat membuat ibu cenderung memiliki pandangan yang positif terhadap kehadiran anak autisnya, berbeda bagi ibu yang menikah di atas usia 35 tahun kemudian mempunyai anak autis, mereka memandang anaknya sebagi suatu pekerjaan rumah tangga yang ekstra. Selain karena kodisi fisik yang mulai melemah, mempunyai anak autis dapat menyebabkan keletihan dan kurang tidur (Physical Demands). Hal tersebut dapat membuat ibu cenderung memiliki pandangan yang negatif terhadap kehadiran anak autisnya.

Tingkat perekonomian keluarga juga memberikan pengaruh terhadap bagaimana ibu memaknai anaknya. Ibu yang mempunyai anak autis yang berasal dari golongan ekonomi yang menegah ke bawah cenderung mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan keluarga. Mempunyai anak autis memerlukan pengeluaran yang besar untuk melakukan pengobatan, terapi, kebutuhan-kebutuhan lainnya, serta pendidikan yang dipandang sebagai beban ekonomi bagi keluarga (Economic Costs). Ibu yang berasal dari golongan ekonomi yang menengah ke atas, kurang mempermasalahkan pengeluaran yang dkeluarkan


(28)

Universitas Kristen Maranatha dalam merawat anak autisuntuk membiayai pengobatan, pendidikan khisus, dan kebutuhan sehari-hari anak autisnya. Hal tersebut ibu lakukan agar dapat mengasuh dan mengembangkan kemampuan anak autisnya secara optimal sehingga ibu merasa bangga dan memaknakan kondisi anak autisnya secara positif.

Penghayatan terhadap nilai-nilai agama yang diyakini juga menjadi salah satu faktor yang memberikan pengaruh terhadap bagaimana ibu memaknai keberadaan anaknya. Dalam pengajaran agama kehadiraan anak dipandang sebagai suatu anugerah dan berkat yang perlu dididik dan disayangi. Penghayatan ibu pada ajaran agama tersebut membuat ibu memandang kehadiran anak autisnya dapat membuat hidupnya senang dan bahagia dikarenakan mendapat anugerah dan berkat dari Tuhan Yang Maha Esa. Misalnya, ibu yang memiliki anak autis dan memiliki penghayatan nilai agama seperti itu akan memandang bahwa dirinya diberikan kepercayaan yang lebih oleh Tuhan untuk menjaga makhluk ciptaan-Nya yang istimewa yaitu anaknya yang menderita autis. Hal tersebut dapat membuat ibu memiliki pandangan yang positif akan kehadiran anak autisnya.

Selain itu, harapan ibu terhadap kehadiran anak autis di tengah-tengah keluarganya secara langsung dapat memberikan pengaruh terhadap bagaimana ibu memkanai kehadiran anak autisnya. Misalnya, ketika ibu mengharapkan anaknya terlahir dengan kondisi fisik maupun psikis normal sehingga kelak dapat membantu orangtua seperti membantu mengerjakan pekerjaan rumah. Tetapi ternyata ibu dikaruniai anak yang menderita autis dengan kemandirian rendah, anak ibu akan merasa terbebani karean tidak siap untuk mendapatkan tugas yang


(29)

21

Universitas Kristen Maranatha berat sebagai orangtua yang harus mengurus dan mendidik anak yang menderita autis sehingga mereka mengalami keletihan saat harus menyesuaikan diri dengan tugasnya yang baru. Hal tersebut dapat membuat ibu memiliki pandangan yang cenderung negatif akan kehadiran anak autisnya.

Disisi lain, ibu yang mengharapkan kehadiran anaknya sebagai pelengkap dalam kehidupan keluarga yang kemudian ibu mengandung dan melahirkan anak, maka kelahiran anaknya tersebut akan membuat ibu lebih berbahagia dan menjaga anak sepenuh hati walaupun anak tersebut menderita autis. Hal tersebut terjadi dikarenakan ibu merasa berhasil menghasilkan keturunan dan anak pun menjadi pengikat antara suami dan istri walaupun anak menderita autis sehingga ibu memandang kehadiran anak autis didalam keluarga cenderung positif. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat digambarkan dengan bagan kerangka pemikiran sebagai berikut :

Ibu yang mempunyai anak autis di SLB “X”

Bandung

Dimensi-dimensi VOC: Positive General Values:

Value of Children Faktor-faktor :

- Latar belakang pendidikan - Usia saat menikah

- Tingkat perekonomian - Penghayatan terhadap nilai

agama

- Harapan akan kehadiran anak

Positive


(30)

Universitas Kristen Maranatha Skema 1.1 Bagan Kerangka Pemikiran

1.6Asumsi Penelitian

- Value of children pada ibu yang memiliki anak autis di SLB “X” Bandung

terdiri dari 10 aspek yaitu, Emotional Benefits, Economic Benefits and

Security, Self-Enrichment and Development, Identification with Children, Family Cohesiveness and Continuity, Emotional Costs, Restrictions or Opportunity Costs, Physical Demands, Family Costs.

- Ibu yang memiliki anak autis di SLB “X” Bandung memiliki Value of Children yang berbeda-beda. Positive Values berupa kepuasan


(31)

23

Universitas Kristen Maranatha (satisfaction) ibu terhadap anaknya yang menderita autis atau Negative

Values (costs) yang berupa beban yang harus ditanggung oleh ibu apabila

memiliki anak yang menderita autis.

- Perbedaan Value of children pada ibu dari anak yang menderita autis di SLB “X” Bandung dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan, usia saat menikah, tingkat perekonomian, penghayatan terhadap nilai agama, serta harapan akan kehadiran anak.


(32)

Universitas Kristen Maranatha 85

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, maka peneliti dapat menyimpulkan beberapa hal berikut :

1. Lebih dari separuh ibu yang memiliki anak autis di SLB “X” Bandung memiliki VOC kurang positif untuk value of children positif dalam menilai kehadiran anak autisnya. Selain itu lebih dari sebagian ibu yang memiliki anak autis di SLB “X” Bandung juga memiliki VOC kurang negatif untuk value of children negatif dalam menilai kehadiran anak autisnya.

2. Value of Children positif menunjukkan kecenderungan keterkaitan faktor

latar belakang pendidikan dalam aspek emotional benefit and security,

economic benefit, identification with children, family cohesiveness and continuity pada ibu dari siswa yang menderita autis di SLB “X” Bandung.

Value of Children negatif menunjukkan kecenderungan keterkaitan faktor

latar belakang pendidikan dalam aspek restriction or opportunity cost pada ibu dari siswa yang menderita autis di SLB “X” Bandung.

3. Value of Children positif menunjukkan kecenderungan keterkaitan faktor

penghasilan per bulan dalam aspek emotional benefit and security,


(33)

86

Universitas Kristen Maranatha yang menderita autis di SLB “X” Bandung. Value of Children negatif menunjukkan kecenderungan keterkaitan faktor penghasilan per bulan dalam aspek restriction or opportunity cost pada ibu dari siswa yang menderita autis di SLB “X” Bandung.

4. Value of Children positif menunjukkan kecenderungan keterkaitan faktor

usia ibu pada saat menikah dalam aspek economic benefit, family

cohesiveness and continuity pada ibu dari siswa yang menderita autis di

SLB “X” Bandung. Value of Children negatif menunjukkan kecenderungan keterkaitan faktor usia ibu pada saat menikah dalam aspek

restriction or opportunity cost pada ibu dari siswa yang menderita autis di

SLB “X” Bandung.

5. Value of Children positif menunjukkan kecenderungan keterkaitan faktor

penghayatan ibu terhadap agama yang dianut dalam aspek emotional

benefit and security, economic benefit, family cohesiveness and continuity,

dan identification with children pada ibu dari siswa yang menderita autis di SLB “X” Bandung.

6. Faktor harapan ibu akan kehadiran anak kurang memiliki kecenderungan keterkaitan dengan Value of Children.

5.2 Saran

5.2.1 Saran Teoritis

 Bagi Peneliti lain disarankan untuk meneliti kontribusi faktor yang memengaruhi value of children terhadap positive general values dan


(34)

Universitas Kristen Maranatha 5.2.2 Saran Praktis

Gambaran mengenai makna anak (Value of Children) pada ibu dari siswa yang menderita autis di SLB “X” Bandung, dapat digunakan oleh pihak sekolah untuk memfasilitasi ibu dalam melakukan sharing mengenai hal-hal yang berkaitan mengenai value of children.


(35)

Universitas Kristen Maranatha DAFTAR PUSTAKA

Arnold, Fred, Cs,. (1975). The Value of Children, a cross–national study.

Introduction and comparative, Volume One, East-West Population. Honolulu, Hawaii : Intitute, East-West.

Duvall, Evelyn Ruth Millis. 1977. Marriage and Family Development Philadelphia. J.B. Lippicott Company.

Hidayat, Sianiawati Sunarto., dan Katherine Komalasari. 2004. Pengantar

Psikologi Sosial

Kumar, Ranjit. 2010. Research Methodology: A Step by Step Guide for Beginners,

Edisi ke-3, London: Sage Publication.

Nazir, Moh. 2003. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia

Santrock, John W. 2004. Life Span Development, Jilid II. Jakarta : Erlangga Soehartono, Irawan. 2011. Metode Penelitian Sosial: Suatu Teknik Penelitian

Bidang Kesejahteraan Sosial dan Ilmu Sosial Lainnya, Cetakan VIII.


(36)

Universitas Kristen Maranatha DAFTAR RUJUKAN

Aditya, R. (2011). Kepuasan Kerja Guru di Sekolah Luar Biasa Kota Medan. Melalui

<http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/22047/5/Chapter%20I.pd f> [05 Maret 2014]

Fitriana, N. (2013). Penyandang Autis. Melalui <digilib.unisby.ac.id> [09 September 2014]

Homdijah, Siti. (________). Pendidikan Luar Biasa. Melalui

<http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PEND._LUAR_BIASA/19610105 1983032-OOM_SITI_HOMDIJAH/MAKALAH_A_AUTIS.pdf> [09 September 2014]

Mellisa. (2014). Studi Deskriptif Mengenai Value of Children Pada ibu dari siswa yang Menderita Celebral Palsy (CP) di SLB-D “X” Bandung. Skripsi,

Bandung: Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha [5 Maret 2014]

Mellisa, Fenny. (09 April 2013). 112.000 Anak Indonesia Diperkirakan Menyandang Autisme. Melalui

<http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/13/04/09/mkz2un-112000-anak-indonesia-diperkirakan-menyandang-autisme> [09 September 2014]

Miftah. (2011). Hubungan Dukungan Sosial Dengan Tingkat Stres Ibu Yang

Memiliki Anak Penyandang Autisme Di Sekolah Luar Biasa Autisme Di Kota Padang Tahun 2010. Melalui <reprository.unad.ac.id> [29

November 2014]

Purwanta, Edi. (______). Partisipasi Orang Tua dalam Pelaksanaan Program

Terapi Pada Anak Autisme. Melalui

<http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/131411084/Partisipasi%20orangtu a.pdf> [5 Maret 2014]

Stela, Hurtanto. (2006). Suatu Penelitian Deskriptif Mengenai Derajat Optimisme

Pada Ibu yang Memiliki Anak Autis di Pusat Terapi “X” di Kota Bandung. Melalui <http://

repository.maranatha.edu/5156/3/0030056_Chapter1.pdf> [11 Februari 2016]


(1)

23

Universitas Kristen Maranatha (satisfaction) ibu terhadap anaknya yang menderita autis atau Negative Values (costs) yang berupa beban yang harus ditanggung oleh ibu apabila memiliki anak yang menderita autis.

- Perbedaan Value of children pada ibu dari anak yang menderita autis di SLB “X” Bandung dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan, usia saat menikah, tingkat perekonomian, penghayatan terhadap nilai agama, serta harapan akan kehadiran anak.


(2)

Universitas Kristen Maranatha

85 BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, maka peneliti dapat menyimpulkan beberapa hal berikut :

1. Lebih dari separuh ibu yang memiliki anak autis di SLB “X” Bandung memiliki VOC kurang positif untuk value of children positif dalam menilai kehadiran anak autisnya. Selain itu lebih dari sebagian ibu yang memiliki anak autis di SLB “X” Bandung juga memiliki VOC kurang negatif untuk value of children negatif dalam menilai kehadiran anak autisnya.

2. Value of Children positif menunjukkan kecenderungan keterkaitan faktor latar belakang pendidikan dalam aspek emotional benefit and security, economic benefit, identification with children, family cohesiveness and continuity pada ibu dari siswa yang menderita autis di SLB “X” Bandung. Value of Children negatif menunjukkan kecenderungan keterkaitan faktor latar belakang pendidikan dalam aspek restriction or opportunity cost pada ibu dari siswa yang menderita autis di SLB “X” Bandung.

3. Value of Children positif menunjukkan kecenderungan keterkaitan faktor penghasilan per bulan dalam aspek emotional benefit and security, economic benefit, family cohesiveness and continuity pada ibu dari siswa


(3)

86

Universitas Kristen Maranatha yang menderita autis di SLB “X” Bandung. Value of Children negatif menunjukkan kecenderungan keterkaitan faktor penghasilan per bulan dalam aspek restriction or opportunity cost pada ibu dari siswa yang menderita autis di SLB “X” Bandung.

4. Value of Children positif menunjukkan kecenderungan keterkaitan faktor usia ibu pada saat menikah dalam aspek economic benefit, family cohesiveness and continuity pada ibu dari siswa yang menderita autis di SLB “X” Bandung. Value of Children negatif menunjukkan kecenderungan keterkaitan faktor usia ibu pada saat menikah dalam aspek restriction or opportunity cost pada ibu dari siswa yang menderita autis di SLB “X” Bandung.

5. Value of Children positif menunjukkan kecenderungan keterkaitan faktor penghayatan ibu terhadap agama yang dianut dalam aspek emotional benefit and security, economic benefit, family cohesiveness and continuity, dan identification with children pada ibu dari siswa yang menderita autis di SLB “X” Bandung.

6. Faktor harapan ibu akan kehadiran anak kurang memiliki kecenderungan keterkaitan dengan Value of Children.

5.2 Saran

5.2.1 Saran Teoritis

 Bagi Peneliti lain disarankan untuk meneliti kontribusi faktor yang memengaruhi value of children terhadap positive general values dan negative general values.


(4)

87

Universitas Kristen Maranatha 5.2.2 Saran Praktis

Gambaran mengenai makna anak (Value of Children) pada ibu dari siswa yang menderita autis di SLB “X” Bandung, dapat digunakan oleh pihak sekolah untuk memfasilitasi ibu dalam melakukan sharing mengenai hal-hal yang berkaitan mengenai value of children.


(5)

Universitas Kristen Maranatha DAFTAR PUSTAKA

Arnold, Fred, Cs,. (1975). The Value of Children, a cross–national study. Introduction and comparative, Volume One, East-West Population. Honolulu, Hawaii : Intitute, East-West.

Duvall, Evelyn Ruth Millis. 1977. Marriage and Family Development Philadelphia. J.B. Lippicott Company.

Hidayat, Sianiawati Sunarto., dan Katherine Komalasari. 2004. Pengantar Psikologi Sosial

Kumar, Ranjit. 2010. Research Methodology: A Step by Step Guide for Beginners, Edisi ke-3, London: Sage Publication.

Nazir, Moh. 2003. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia

Santrock, John W. 2004. Life Span Development, Jilid II. Jakarta : Erlangga Soehartono, Irawan. 2011. Metode Penelitian Sosial: Suatu Teknik Penelitian

Bidang Kesejahteraan Sosial dan Ilmu Sosial Lainnya, Cetakan VIII. Bandung: Rosda.


(6)

Universitas Kristen Maranatha DAFTAR RUJUKAN

Aditya, R. (2011). Kepuasan Kerja Guru di Sekolah Luar Biasa Kota Medan. Melalui

<http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/22047/5/Chapter%20I.pd f> [05 Maret 2014]

Fitriana, N. (2013). Penyandang Autis. Melalui <digilib.unisby.ac.id> [09 September 2014]

Homdijah, Siti. (________). Pendidikan Luar Biasa. Melalui

<http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PEND._LUAR_BIASA/19610105 1983032-OOM_SITI_HOMDIJAH/MAKALAH_A_AUTIS.pdf> [09 September 2014]

Mellisa. (2014). Studi Deskriptif Mengenai Value of Children Pada ibu dari siswa yang Menderita Celebral Palsy (CP) di SLB-D “X” Bandung. Skripsi, Bandung: Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha [5 Maret 2014]

Mellisa, Fenny. (09 April 2013). 112.000 Anak Indonesia Diperkirakan Menyandang Autisme. Melalui

<http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/13/04/09/mkz2un-112000-anak-indonesia-diperkirakan-menyandang-autisme> [09 September 2014]

Miftah. (2011). Hubungan Dukungan Sosial Dengan Tingkat Stres Ibu Yang Memiliki Anak Penyandang Autisme Di Sekolah Luar Biasa Autisme Di Kota Padang Tahun 2010. Melalui <reprository.unad.ac.id> [29

November 2014]

Purwanta, Edi. (______). Partisipasi Orang Tua dalam Pelaksanaan Program Terapi Pada Anak Autisme. Melalui

<http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/131411084/Partisipasi%20orangtu a.pdf> [5 Maret 2014]

Stela, Hurtanto. (2006). Suatu Penelitian Deskriptif Mengenai Derajat Optimisme Pada Ibu yang Memiliki Anak Autis di Pusat Terapi “X” di Kota

Bandung. Melalui <http://

repository.maranatha.edu/5156/3/0030056_Chapter1.pdf> [11 Februari 2016]