Studi Deskriptif Mengenai Derajat Resiliensi Pada Ibu Yang Memiliki Anak Tunarungu Usia Prasekolah di SLB-B "X" Cimahi.

(1)

Universitas Kristen Maranatha ix

Abstrak

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui gambaran resiliensi pada ibu yang memiliki anak tunarungu usia prasekolah di SLB-B “X” Cimahi. Alat ukur yang digunakan merupakan kuesioner dengan bentuk rating scale berdasarkan empat aspek personal strengths dari teori resiliensi Bonnie Benard (2004) yang terdiri dari 36 item. Data yang diperoleh diolah menggunakan uji korelasi

Spearman dengan program SPSS 10.0. Hasil uji validitas dari alat ukur berkisar dari 0.463 hingga 0.915. Reliabilitas alat ukur sebesar 0.775.

Pemilihan sampel menggunakan metode purposive sampling dan sampel dalam penelitian ini berjumlah 21 orang. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dengan teknik survei. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini menunjukkan bahwa 57,14% ibu anak tunarungu usia prasekolah di SLB-B “X” Cimahi memiliki derajat resiliensi yang tinggi dan 42,86% memiliki derajat resiliensi yang rendah. Sebanyak 57,14% responden memiliki derajat social competence yang tinggi dan 42,86% memiliki derajat social competence yang rendah. Sebanyak 52,38% memiliki derajat problem solving yang tinggi dan 47,62% memiliki derajat problem solving yang rendah. Sebanyak 52,38% memiliki derajat autonomy yang tinggi dan 47,62% memiliki derajat autonomy yang rendah. Sebanyak 52,38% memiliki derajat sense of purpose yang tinggi dan 47,62% memiliki derajat sense of purpose yang rendah.

Kesimpulan yang diperoleh adalah sebagian besar ibu anak tunarungu di SLB-B “X” Cimahi memiliki derajat resiliensi yang tinggi di mana sebagian besar aspek-aspek resiliensi juga tinggi. Sedangkan para ibu yang memiliki derajat resiliensi yang rendah akan memiliki derajat aspek-aspek resiliensi yang juga rendah. Environmental protective factor yang menunjukkan kecenderungan keterkaitan adalah high expectations dari komunitas dan opportunities for participation and contribution dari komunitas. Sedangkan environmental protective factor yang tidak menunjukkan kecenderungan keterkaitan adalah caring relationship dari keluarga dan komunitas, high expectations dari keluarga, dan opportunities for participation and contribution dari keluarga.

Berdasarkan hasil penelitian ini, peneliti mengajukan saran agar diadakan penelitian komparatif mengenai resiliensi pada ibu anak tunarungu di SLB-B yang menggunakan metode oral dengan SLB-B yang tidak menggunakan metode oral. Selain itu, disarankan bagi SLB-B “X” agar memberikan layanan konsultasi, pelatihan mengenai melatih bicara anak, dan seminar mengenai berbagai cara melatih perkembangan anak tunarungu dan alternatif masa depan bagi anak tunarungu. Bagi para ibu anak tunarungu di SLB-B “X” agar meningkatkan resiliensi mereka dengan mencari alternatif metode cara mendidik anak tunarungu untuk dapat meningkatkan perkembangan anak mereka, mengikuti seminar-seminar mengenai anak tunarungu, dan terlibat dalam aktivitas sosial seperti kegiatan lingkungan sehingga anak dapat lebih banyak berlatih bicara dengan orang lain.


(2)

Universitas Kristen Maranatha x

Abstract

This research was conducted to determine the picture of resilience in mothers with hearing impairment preschool children in SLB-B "X" Cimahi. Measuring instrument used is a questionnaire with a rating scale based on four aspects of personal strengths of resilience theory from Bonnie Benard (2004)

which consists of 37 items. The data obtained are processed using Spearman

correlation test with SPSS 10.0. Validity test results ranging from 0.463 to 0.915. Reliability from measuring instrument is 0.775.

Selection of the samples using purposive sampling method and sample in this study amounted to 21 people. The method used in this research is descriptive method with survey techniques. Results obtained from this study show that 57.14% of mothers with hearing impairment preschool children in SLB-B "X" Cimahi have a high degree of resilience and 42.86% have a low degree of resilience. A total of 57.14% of respondents have a high degree of social competence and 42.86% have a low degree of social competence. A total of 52.38% have a high degree of problem solving and 47.62% have a low degree of problem solving. A total of 52.38% have a high degree of autonomy and 47.62% have a low degree of autonomy. A total of 52.38% have a high degree of sense of purpose and 47.62% have a low degree of sense of purpose.

Conclusions obtained are mostly mothers of children with hearing impairment in SLB-B "X" Cimahi have a high degree of resilience where most aspects of resilience is also high. While the mothers who have a low degree of resilience will have a low degree of resilience aspects. Environmental protective factors that indicate the tendency of relationship are high expectations from the community and opportunities for participation and contribution from the community. While environmental protective factors that do not show the tendency of relationship is caring relationship from family and community, high expectations from family, and opportunities for participation and contribution from family.

Based on these results, the researchers propose recommendation for comparative research on resilience in mothers of children with hearing impairment in SLB-B which use oral methods with SLB-B which does not use the oral method. In addition, it is advisable for SLB-B "X" to provide consulting services, training about how to train children’s speaking, and seminars on a variety of ways to train deaf children's development and an alternative future for children with hearing impairment. For the mothers of children with hearing impairment in SLB-B "X "to increase their resilience by finding alternative methods of how to educate children with hearing impairment to improve their child's development, seminars on children with hearing impairment, and engage in social activities so that children can practice more talking with others.


(3)

Universitas Kristen Maranatha xi

DAFTAR ISI

Lembar Pengesahan ... ii

Pernyataan Orisinalitas Laporan Penelitian ...iii

Pernyataan Publikasi Laporan Penelitian ... iv

Kata Pengantar ... vi

Abstrak ... ix

Abstract ... x

Daftar Isi ... xi

Daftar Tabel ... xv

Daftar Bagan ... xvi

Daftar Lampiran... xvii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1.Latar Belakang Masalah ... 1

1.2.Identifikasi Masalah ... 12

1.3.Maksud dan Tujuan Penelitian ... 12

1.3.1. Maksud Penelitian ... 12

1.3.2. Tujuan Penelitian ... 12

1.4.Kegunaan Penelitian ... 13

1.4.1. Kegunaan Teoretis ... 13

1.4.2. Kegunaan Praktis ... 13


(4)

Universitas Kristen Maranatha xii

1.6.Asumsi ... 26

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 28

2.1. Resiliensi ... 28

2.1.1. Kekuatan Personal ... 28

2.1.1.1. Social Competence ... 29

2.1.1.2. Problem Solving Skills ... 34

2.1.1.3. Autonomy ... 36

2.1.1.4. A Sense of Purpose and Bright Future ... 40

2.1.2. Environmental Protective Factor ... 43

2.1.2.1. Family Protective Factors ... 47

2.1.2.2. Community Protective Factors... 49

2.2. Anak Tunarungu ... 51

2.2.1. Pengertian ... 51

2.2.2. Klasifikasi Tunarungu ... 52

2.2.3. Pengaruh Pendengaran pada Perkembangan Bicara dan Bahasa ... 54

2.2.4. Perkembangan Kognitif Anak Tunarungu ... 56

2.2.5. Perkembangan Emosi Anak Tunarungu ... 58

2.2.6. Perkembangan Sosial Anak Tunarungu ... 58

2.2.7. Perkembangan Perilaku Anak Tunarungu ... 59

2.2.8. Masalah-masalah dan Dampak Ketunarunguan bagi Individu, Keluarga, Masyarakat, dan Penyelenggara Pendidikan ... 60


(5)

Universitas Kristen Maranatha xiii

2.3. Hubungan Orang Tua dan Anak Tunarungu di Usia Prasekolah ... 63

BAB III METODOLOGI PENELITIAN... 66

3.1. Rancangan Penelitian... 66

3.2. Bagan Prosedur Penelitian ... 66

3.3. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 67

3.3.1. Variabel Penelitian ... 67

3.3.2. Definisi Operasional ... 67

3.4. Alat Ukur ... 69

3.4.1. Kuesioner Resiliensi ... 69

3.4.2. Data Primer dan Data Penunjang ... 72

3.4.2.1. Data Primer ... 72

3.4.2.2. Data Penunjang... 72

3.4.3. Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur ... 72

3.4.3.1. Validitas Alat Ukur ... 72

3.4.3.2. Reliabilitas Alat Ukur ... 73

3.5. Populasi dan Teknik Penarikan Sampel... 74

3.5.1. Populasi Sasaran ... 74

3.5.2. Karakteristik Sampel ... 74

3.5.3. Teknik Penarikan Sampel ... 75

3.6. Teknik Analisis Data ... 75


(6)

Universitas Kristen Maranatha xiv

4.1 Gambaran Umum Subjek Penelitian ... 77

4.2 Hasil Penelitian ... 78

4.3 Pembahasan ... 81

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 86

5.1 Kesimpulan ... 86

5.2 Saran ... 87

5.2.1 Saran Teoretis ... 87

5.2.2 Saran Praktis ... 87

DAFTAR PUSTAKA ... 88

DAFTAR RUJUKAN ... 89 LAMPIRAN


(7)

Universitas Kristen Maranatha xv

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Tabel Aspek dan Indikator Resiliensi ... 29

Tabel 3.1 Tabel Aspek dan Indikator ... 70

Tabel 3.2 Tabel Skoring ... 71

Tabel 4.1 Gambaran Subjek Berdasarkan Usia ... 77

Tabel 4.2 Gambaran Subjek Berdasarkan Jumlah Anak ... 77

Tabel 4.3 Tabel Derajat Resiliensi pada Ibu Anak Tunarungu Usia Prasekolah di SLB-B ”X” Cimahi ... 78

Tabel 4.4 Tabel Derajat Resiliensi dan Aspek-Aspeknya pada Ibu Anak Tunarungu Usia Prasekolah di SLB-B ”X” Cimahi ... 78

Tabel 4.5 Tabel Tabulasi Silang Antara Environmental Protective Factor dan Resiliensi ... 79


(8)

Universitas Kristen Maranatha xvi

DAFTAR BAGAN

Bagan 1.1 Bagan Kerangka Pikir ... 26 Bagan 2.1 Bagan Peran Protective Factors dalam Human System... 47 Bagan 3.1 Bagan Prosedur Penelitian ... 66


(9)

Universitas Kristen Maranatha xvii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Kuesioner Resiliensi

Lampiran 2 Kuesioner Environmental Protective Factor Lampiran 3 Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur

Lampiran 4 Data SPSS 10.0 :Validitas Aspek Social Competence Lampiran 5 Data SPSS 10.0: Validitas Aspek Problem Solving Lampiran 6 Data SPSS 10.0: Validitas Aspek Autonomy

Lampiran 7 Data SPSS 10.0: Validitas Aspek Sense of Purpose Lampiran 8 Data SPSS 10.0: Reliabilitas Alat Ukur


(10)

1 Universitas Kristen Maranatha

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Tahun-tahun awal seorang anak merupakan tahun yang sangat menentukan, tahun di mana baik pendidikan maupun kekurangan memberikan dampak yang besar. Dampak kekurangan ini akan sangat terasa pada anak berkebutuhan khusus (ABK). Jumlah anak berkebutuhan khusus di Indonesia terus meningkat. Pada Hari Autis Sedunia yang jatuh pada 8 April 2009 diketahui bahwa prevalensi anak berkebutuhan khusus saat ini mencapai 10 dari 100 anak. Data ini menunjukkan bahwa 10% populasi anak-anak adalah anak berkebutuhan khusus (tidak terbatas hanya pada autis) dan mereka harus mendapatkan pelayanan khusus, seperti sekolah luar biasa, alat bantu, atau pendamping (http://www.autis.info).

Anak berkebutuhan khusus adalah anak-anak yang memerlukan penanganan khusus yang berkaitan dengan keterbatasannya. Penggolongan anak-anak yang dianggap memiliki kebutuhan khusus ada bermacam-macam, termasuk anak dengan kekurangan pada indera atau anggota tubuhnya. Salah satunya adalah anak tunarungu.

Tunarungu diartikan sebagai suatu keadaan kehilangan pendengaran yang mengakibatkan seseorang tidak dapat menangkap berbagai rangsangan melalui indera pendengarannya. Tunarungu dibedakan menjadi dua kategori, yaitu tuli dan kurang dengar. Akibat terbatasnya ketajaman pendengaran, pada anak tunarungu


(11)

Universitas Kristen Maranatha tidak terjadi proses peniruan suara dan hanya terbatas pada peniruan visual sehingga dalam perkembangan bicara dan bahasa, anak tunarungu memerlukan pembinaan secara khusus dan intensif. Selain itu, perkembangan kognitif anak tunarungu akan mengalami hambatan karena dipengaruhi perkembangan bahasa yang juga terhambat (Somantri, 2007).

Anak tunarungu yang seusia dengan anak normal meskipun sudah dididik dengan baik sejak usia dini, proses penguasaan bahasanya mengalami perbedaan mencolok. Anak yang mampu mendengar pada usia 4 tahun sudah memasuki tahap penguasaan bahasa sedangkan bagi anak tunarungu hal tersebut baru dicapai pada usia 12 tahun. (http://file.upi.edu). Hal ini akan membuat orang tua kesulitan karena harus mencari cara khusus untuk berkomunikasi dengan anaknya yang tunarungu, terutama anak usia prasekolah, karena mereka belum dapat membaca dan menulis sehingga media komunikasi anak tunarungu menjadi sangat minim.

Kekurangan akan pemahaman bahasa seringkali menyebabkan anak tunarungu menafsirkan sesuatu secara negatif atau salah dan hal ini sering membuatnya menjadi kesal dan marah. Anak tunarungu dapat menampilkan sikap menutup diri, bertindak agresif, atau sebaliknya menampakkan kebimbangan. Sebaliknya, orang lain akan sulit memahami perasaan dan pikirannya. Hal ini mengakibatkan anak tunarungu tidak mampu terlibat secara baik dalam situasi sosialnya, seperti tidak ikut dalam permainan dengan teman sebaya atau dalam pembicaraan dengan orang lain. Dengan adanya hambatan dalam perkembangan sosial ini, mengakibatkan pula bertambah minimnya penguasaan bahasa dan kecenderungan menyendiri serta memiliki sifat egosentris (Somantri, 2007).


(12)

Universitas Kristen Maranatha Pada usia prasekolah (3-5 tahun), di mana seharusnya anak lain mempelajari banyak kosakata baru, anak tunarungu tidak dapat mendengar kata-kata baru sehingga pengenalannya pada lingkungan sekitar pun minim. Ia juga akan kesulitan dalam membina hubungan dengan anak sebayanya. Komunikasi yang terhambat dan perbedaannya dari anak-anak lain akan memicu ejekan dari anak-anak di sekitarnya sehingga anak tersebut akan merasakan beban dan membuat emosinya semakin bergejolak. Ia akan semakin menjauh dari orang lain dan membuat dirinya menjadi tertutup.

Keterlibatan orang tua sejak usia dini berperan penting dalam perkembangan anak di masa mendatang, terutama pengaruh dari ibu. Ibu merupakan seseorang yang aktif terlibat dalam pertumbuhan dan memberikan kasih sayang bagi anaknya sehingga ibu merupakan figur penting yang tak dapat tergantikan dalam hidup anaknya. Perkembangan kepribadian anak tunarungu banyak ditentukan oleh hubungan antara anak dan orang tua terutama ibunya, lebih-lebih pada masa perkembangannya (Somantri, 2007). Seorang ibu akan berusaha memberikan pendidikan yang terbaik dengan harapan anaknya dapat tumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang unggul dan berguna bagi masyarakat.

Pendidikan merupakan hal yang penting bagi anak tunarungu. Sekolah banyak berperan dalam tumbuh kembang anak, terutama pada usia prasekolah. Ada 3 metode untuk mengajar anak tunarungu di SLB-B, yaitu menggunakan isyarat, oral, dan komtal (komunikasi total) atau perpaduan isyarat dan oral. SLB-B “X” merupakan salah satu sekolah bagi anak tunarungu di Cimahi. Anak-anak


(13)

Universitas Kristen Maranatha tunarungu yang bersekolah di SLB-B “X” sebagian besar mengalami tunarungu berat atau bahkan tuli total. Sekolah tersebut menggunakan metode pendekatan oral, di mana para siswa diajarkan berbicara tanpa menggunakan isyarat sama sekali. Metode oral belum banyak digunakan di SLB-B dan di Jawa Barat, SLB-B “X” merupakan satu-satunya SLB-B yang menggunakan metode oral ini. Tujuan metode ini adalah agar para siswa tunarungu dapat berkomunikasi dengan banyak orang, tidak terbatas pada orang terdekat saja. Para anak akan belajar untuk berkomunikasi secara wajar. Metode ini memerlukan keterlibatan orang tua yang cukup besar karena mereka harus melatih anaknya juga di rumah. Sekolah mengadakan pelatihan bagi para orang tua tersebut agar dapat melatih anaknya. Selain itu, sekolah juga menawarkan seminar-seminar yang diadakan di luar sekolah, meskipun terkadang orang tua tidak mau mengikutinya dikarenakan biaya yang cukup besar.

Meskipun para ibu sudah menentukan sekolah yang terbaik bagi anaknya, namun mereka juga masih harus menghadapi masalah-masalah lainnya. Kondisi anak tunarungu usia prasekolah yang tertutup akan membuatnya semakin tergantung pada ibunya. Ibunya akan menjadi tempat di mana anak dapat mencurahkan perasaan sedih dan kesalnya sehingga ibu harus berusaha memahami kondisi emosi anaknya. Anak tunarungu seringkali memiliki emosi yang kurang terkendali karena tidak dapat mengekspresikan emosinya secara verbal. Sikap dari anak tersebut dapat membuat ibu menjadi merasa sedih dan frustrasi karena merasa tidak mampu memahami keinginan anaknya. Karakteristik-karakteristik anak tunarungu tersebut tentunya menjadi beban


(14)

Universitas Kristen Maranatha tersendiri bagi para ibu. Kemarahan anak juga dapat mengakibatkan relasi ibu dan anak menjadi tegang. Hal ini dapat terlihat dari wawancara dengan salah seorang ibu anak tunarungu di SLB-B “X”, di mana ada seorang ibu yang menjauhi anaknya dan menyerahkan tanggungjawab merawat anak kepada neneknya karena tidak ingin memiliki anak tunarungu.

Masalah yang juga dihadapi oleh ibu anak tunarungu adalah masalah biaya. Biaya yang dibutuhkan untuk membantu tumbuh kembang anak tunarungu tidaklah sedikit. Ibu dari anak tunarungu perlu mengeluarkan biaya untuk terapi wicara, menyekolahkan anak mereka di sekolah luar biasa, dan juga memberikan alat bantu dengar bagi anak mereka. Tidak semua orang tua berasal dari golongan ekonomi menengah atau atas. Bagi ibu yang berasal dari golongan ekonomi lemah, seringkali tuntutan biaya yang tinggi membuat mereka merasa terbebani karena di satu sisi mereka ingin mencukupi kebutuhan anaknya, namun di sisi lain mereka tidak mampu membiayainya. Ibu yang berasal dari golongan ekonomi atas juga tidak terlepas dari masalah karena mereka masih perlu menentukan pendidikan yang terbaik bagi anaknya, menyediakan waktu untuk mengajar anaknya, dan memberi perhatian yang lebih banyak dibandingkan mengasuh anak pada umumnya.

Beban yang dirasakan orang tua juga dapat terlihat dari hasil wawancara dengan ibu anak tunarungu di SLB-B “X” bahwa seorang ibu yang melihat anaknya diperlakukan berbeda oleh lingkungan, seperti tidak diajak bermain atau diejek anak yang sebaya, merasa sedih atau bahkan merasa bersalah karena sudah membuat anaknya menjadi tunarungu. Mereka melihat anak lain yang normal


(15)

Universitas Kristen Maranatha dapat bernyanyi di pesta ulang tahun, sedangkan anaknya meskipun ingin bernyanyi namun tidak dapat melakukannya. Pandangan sinis dan ejekan dari anak-anak lain kepada anak yang tunarungu seringkali membuat ibu anak tunarungu menjadi marah terhadap lingkungannya.

Selain itu, didapatkan data lain dari wawancara kepada sepuluh ibu anak tunarungu di SLB-B “X” bahwa reaksi lingkungan ketika mengetahui anak mereka tunarungu adalah 50% lingkungan tetap mau bersosialisasi dengan anak tunarungu seperti bermain bersama atau mengajak bicara, 30% lingkungan mengejek anaknya, dan 20% lingkungan sinis terhadap anaknya. Dapat disimpulkan bahwa 50% lingkungan ibu anak tunarungu memandang anak tunarungu secara negatif dan 50% dapat menerima dan memperlakukan anak tunarungu secara wajar.

Tekanan-tekanan dari lingkungan dan masalah-masalah lainnya mengakibatkan para ibu mengalami emosi-emosi negatif dari dalam diri mereka. Hasil survey awal kepada 10 ibu anak tunarungu di SLB-B “X” menunjukkan bahwa 10% ibu merasa sedih setiap kali memikirkan masa depan anaknya, 20% merasa malu untuk keluar rumah dengan anaknya, 10% menjadi mudah marah dan menyalahkan dirinya sendiri karena memiliki anak tunarungu, 10% mengalami sakit maag dan sesak ketika mencari sekolah untuk anaknya yang tunarungu, 10% berusaha menutupi bahwa anaknya tunarungu dengan tidak memberitahu orang lain mengenai keadaan anaknya, 20% merasa sedih setiap melihat anak lain yang normal, 20% mampu menerima anaknya yang tunarungu tanpa merasa sedih atau malu.


(16)

Universitas Kristen Maranatha Seperti juga anak lainnya, anak tunarungu diharapkan mampu memenuhi tugas perkembangan. Berhasil tidaknya anak tunarungu melaksanakan tugas perkembangannya dipengaruhi oleh bimbingan keluarga. Tidaklah mudah bagi orang tua menerima kenyataan bahwa anaknya menderita tunarungu. Reaksi pertama saat orang tua mengetahui bahwa anaknya menderita tunarungu adalah merasa terpukul dan bingung. Reaksi ini kemudian diikuti dengan reaksi lain, seperti timbul rasa bersalah, kecewa, malu, atau menerima anaknya beserta keadaannya. Sikap orang tua terhadap anaknya sangat bergantung pada reaksinya tersebut, seperti ingin menebus dosa dengan mencurahkan kasih sayang secara berlebihan kepada anaknya, menolak kehadiran anaknya, menyembunyikan anaknya, atau bersikap realistis kepada anaknya. Sikap-sikap orang tua ini memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap perkembangan kepribadian anaknya. Sikap-sikap yang kurang mendukung keadaan anaknya tentu saja akan menghambat perkembangan anak, misalnya dengan sikap terlalu melindungi atau dengan mengabaikannya (Somantri, 2007).

Sebagian besar ibu dari anak tunarungu menghayati kondisi anaknya sebagai suatu tekanan sehingga dibutuhkan daya tahan. Menurut Benard (2004), daya tahan ini disebut dengan resiliensi. Resiliensi membantu ibu dari anak tunarungu dalam menghadapi stres, tidak depresi, dan bangkit dari keterpurukannya. Hal ini dapat berguna agar ibu dari anak tunarungu mampu berespon positif terhadap anaknya, seperti bersabar ketika mengajari anak bicara atau mengajak anak pergi keluar rumah bersama sehingga memperkuat relasi


(17)

Universitas Kristen Maranatha antara ibu dan anak, merencanakan masa depan bagi anaknya, dan berespon secara positif kepada lingkungan yang memandang negatif kepada anaknya.

Menurut Ann Masten (dalam Benard, 2004), resiliensi adalah proses normatif dari adaptasi manusia, melekat pada spesies manusia dan digunakan untuk perkembangan dalam lingkungan favorable dan unfavorable. Menurut Benard (2004), resiliensi memiliki empat aspek, yaitu social competence, problem solving, autonomy, dan sense of purpose. Social competence adalah karakteristik, kemampuan, dan sikap yang penting dalam membangun suatu hubungan dan ikatan positif dengan orang lain. Misalnya orang tua tetap dapat menjalin hubungan dan komunikasi dengan orang lain tanpa merasa malu karena memiliki anak tunarungu. Problem solving merupakan kemampuan merencanakan dan fleksibilitas dalam mencari sumber bantuan, berpikir kritis, dan insight. Misalnya orang tua mencari sekolah bagi anaknya dan mencari sumber informasi mengenai tunarungu dari berbagai sumber. Resiliensi juga mencakup kemampuan untuk bertindak secara mandiri dan merasakan bahwa ia memiliki kontrol terhadap lingkungannya, yang biasa disebut autonomy. Misalnya orang tua tidak menyalahkan dirinya sendiri melainkan memiliki keyakinan bahwa ia mampu merawat anaknya yang tunarungu. Di samping itu juga, resiliensi mencakup sense of purpose, yaitu keyakinan yang mendalam bahwa hidup seseorang memiliki arti dan ia memiliki tempat di dunia ini. Misalnya orang tua tetap mensyukuri anaknya sebagai anugerah yang diberikan Tuhan.

Dari survey awal yang dilakukan terhadap sepuluh ibu anak tunarungu di SLB-B “X”, dalam pergaulan 50% tetap bersosialisasi seperti biasa dan memiliki


(18)

Universitas Kristen Maranatha tempat untuk bercerita mengenai keluh kesah mereka. Sebanyak 20% pada awalnya berusaha menutupi bahwa anaknya tunarungu dengan tidak membawa anaknya bertemu dengan kenalan atau merahasiakan anaknya tunarungu namun sekarang sudah tidak lagi dan mereka juga memiliki tempat untuk bercerita mengenai keluh kesah mereka. Sebanyak 30% merasa malu ketika berjalan-jalan dengan anaknya sehingga menjadi jarang keluar rumah dan bertemu orang-orang di sekitarnya namun memiliki tempat untuk bercerita mengenai keluh kesah mereka. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian ibu dari anak tunarungu mampu bersosialisasi seperti biasa dan sebagian lainnya mengalami hambatan dalam bersosialisasi.

Mengenai perencanaan ibu bagi anaknya, 30% ibu mengatakan bahwa ia berencana memasukkan anaknya ke sekolah umum dan mencari sumber informasi mengenai terapi, perkembangan anak, dan cara menghadapi anak tunarungu ke ahli tunarungu, sekolah, dan kelompok ibu dari anak tunarungu. Sebanyak 20% belum memiliki rencana untuk anaknya dan tidak mencari informasi mengenai anak tunarungu pada ahli tunarungu. Sebanyak 10% ibu mengatakan bahwa ia berencana memasukkan anaknya ke sekolah umum dan tidak mencari informasi mengenai anak tunarungu pada ahli tunarungu. Sebanyak 10% berencana memasukkan anaknya ke sekolah umum dan di masa mendatang menyekolahkan anaknya di luar negeri dan mencari sumber informasi mengenai terapi, perkembangan anak, dan cara menghadapi anak tunarungu ke ahli tunarungu, sekolah, dan kelompok ibu dari anak tunarungu. Sebanyak 10% ingin anaknya menjadi insinyur pertanian atau peternakan dan tidak mencari informasi mengenai


(19)

Universitas Kristen Maranatha anak tunarungu pada ahli tunarungu. Sebanyak 10% ingin anaknya ke sekolah yang lebih bagus dan memfokuskan bakat anaknya di bidang olahraga dan mencari sumber informasi mengenai terapi, perkembangan anak, dan cara menghadapi anak tunarungu ke ahli tunarungu, sekolah, dan kelompok ibu dari anak tunarungu. Sebanyak 10% hanya ingin anaknya bisa mandiri dan mencari sumber informasi mengenai terapi, perkembangan anak, dan cara menghadapi anak tunarungu ke ahli tunarungu, sekolah, dan kelompok ibu dari anak tunarungu. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat ibu dari anak tunarungu yang sudah memiliki rencana bagi anaknya dan mencari sumber informasi dari berbagai sumber yang menunjukkan kemampuan problem solving yang tinggi dan ada pula ibu yang belum memiliki rencana masa depan bagi anaknya dan hanya mencari sumber informasi dari lingkungan terdekat saja yang menunjukkan kemampuan problem solving yang rendah.

Sebanyak 30% dari sepuluh ibu anak tunarungu percaya bahwa dirinya mampu merawat anaknya sesuai kebutuhan khususnya dan pada awalnya mereka menyalahkan diri sendiri karena memiliki anak tunarungu tapi sekarang sudah tidak lagi. Sebanyak 30% dari sepuluh ibu anak tunarungu percaya bahwa dirinya mampu merawat anaknya sesuai kebutuhan khususnya dan masih menyalahkan dirinya hingga saat ini karena memiliki anak tunarungu. Sebanyak 30% merasa ragu-ragu mampu merawat anaknya dan tidak menyalahkan dirinya karena memiliki anak tunarungu. Sebanyak 10% merasa ragu-ragu mampu merawat anaknya dan masih menyalahkan dirinya hingga saat ini. Hal ini menunjukkan bahwa ada ibu dari anak tunarungu yang merasa memiliki kontrol terhadap


(20)

Universitas Kristen Maranatha keadaannya dan ada pula ibu yang merasa tidak mampu mengontrol keadaannya yang memiliki anak tunarungu.

Sebanyak 20% ibu merasa optimis bahwa anaknya akan dapat berbicara dan berperilaku seperti anak normal lainnya, memiliki hobi yang rutin dilakukan, dan menganggap peristiwa ini sebagai takdir dari Allah. Sebanyak 20% optimis bahwa anaknya akan dapat berbicara meskipun lebih lambat atau berbeda dari anak normal lainnya, memiliki hobi namun waktunya berkurang karena harus merawat anaknya yang tunarungu, dan menganggap peristiwa ini sebagai hadiah dari Tuhan sehingga patut disyukuri. Sebanyak 20% optimis bahwa anaknya akan dapat berbicara meskipun lebih lambat atau berbeda dari anak normal lainnya, memiliki hobi yang rutin dilakukan, dan tidak memikirkan makna dari peristiwa ini. Sebanyak 10% optimis bahwa anaknya akan dapat berbicara meskipun lebih lambat atau berbeda dari anak normal lainnya, memiliki hobi namun sudah tidak dilakukan karena harus merawat anaknya yang tunarungu, dan tidak memikirkan makna dari peristiwa ini. Sebanyak 10% ibu merasa optimis bahwa anaknya akan dapat berbicara dan berperilaku seperti anak normal lainnya, memiliki hobi yang rutin dilakukan, dan mendapat pelajaran dari peristiwa ini untuk lebih berhati-hati dalam kehamilan. Sebanyak 10% ibu merasa optimis bahwa anaknya akan dapat berbicara dan berperilaku seperti anak normal lainnya meskipun lebih lambat, memiliki hobi namun waktunya berkurang karena harus merawat anaknya yang tunarungu, dan menganggap peristiwa ini sebagai kesempatan untuk lebih dekat dengan Tuhan. Sebanyak 10% ibu pasrah mengenai perkembangan bicara anaknya, tidak memiliki hobi yang rutin dilakukan, dan merasa peristiwa ini


(21)

Universitas Kristen Maranatha sebagai teguran dari Tuhan. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat ibu dari anak tunarungu yang mampu memaknai positif keadaannya yang memiliki anak tunarungu dan sebagian lainnya memandangnya sebagai kejadian yang negatif.

Dari data-data tersebut, dapat terlihat bahwa ada ibu anak tunarungu yang memiliki resiliensi tinggi dan ada juga yang memiliki resiliensi rendah. Hal ini menunjukkan bahwa para orang tua anak tunarungu memiliki derajat resiliensi yang bervariasi. Maka dari itu, peneliti tertarik untuk membahas mengenai derajat resiliensi pada orang tua anak tunarungu di SLB-B “X” Cimahi.

1.2 Identifikasi Masalah

Dari penelitian ini ingin diketahui seberapa besar derajat resiliensi pada ibu yang memiliki anak tunarungu usia prasekolah di SLB-B “X” Cimahi.

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1 Maksud Penelitian

Maksud dari penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran mengenai resiliensi pada ibu yang memiliki anak tunarungu usia prasekolah di SLB-B “X” Cimahi.

1.3.2 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah ingin memperoleh gambaran yang lebih rinci mengenai derajat resiliensi dan faktor-faktor yang mempengaruhinya pada ibu yang memiliki anak tunarungu usia prasekolah di SLB-B “X” Cimahi.


(22)

Universitas Kristen Maranatha 1.4 Kegunaan Penelitian

1.4.1 Kegunaan Teoretis

 Memberikan sumbangan kepada ilmu pengetahuan, khususnya bidang psikologi klinis, yaitu dengan menambah informasi dan pengetahuan mengenai resiliensi, khususnya pada ibu yang memiliki anak tunarungu usia prasekolah.

 Sebagai acuan bagi peneliti lainnya yang ingin meneliti mengenai resiliensi.

1.4.2 Kegunaan Praktis

 Memberikan informasi kepada SLB-B “X” Cimahi mengenai derajat resiliensi para ibu yang memiliki anak tunarungu usia prasekolah, agar pihak sekolah dapat meningkatkan pelayanan yang dapat mendukung resiliensi para ibu anak tunarungu yang derajat resiliensinya rendah.

 Memberikan informasi dan gambaran kepada para ibu yang memiliki anak tunarungu usia prasekolah agar dapat mengenali daya tahan dirinya dari derajat resiliensi.

1.5 Kerangka Pemikiran

Tunarungu diartikan sebagai suatu keadaan kehilangan pendengaran yang mengakibatkan seseorang tidak dapat menangkap berbagai rangsangan melalui indera pendengarannya. Kemiskinan bahasa membuat anak tunarungu tidak mampu terlibat secara baik dalam situasi sosialnya. Sebaliknya, orang lain akan


(23)

Universitas Kristen Maranatha sulit memahami perasaan dan pikiran anak tunarungu (Somantri, 2007). Pada anak usia prasekolah yang tunarungu, dibutuhkan relasi yang tepat antara anak dengan orang tua. Tanpa adanya relasi tersebut, anak yang sedang bertumbuh tidak akan bisa menyalurkan kebutuhan impulsif dan kegelisahannya. Anak dapat menjadi bersikap destruktif, memiliki sifat tantrum dan bahkan dapat mengasingkan orang tuanya. (Rainer & Altshuler, 1973 dalam Cruickshank, 1980). Penyesuaian anak yang tunarungu akan sangat dipengaruhi oleh tingkat penyesuaian dari keluarga terhadap kenyataan bahwa anaknya tunarungu dan sikap keluarga terhadap hal tersebut. Sebagai ibu, reaksi ketika mengetahui anaknya menderita tunarungu dapat berbeda-beda. Beberapa ibu merasa malu, sedih, bahkan berusaha menutupi bahwa anaknya tunarungu. Perasaan-perasaan yang negatif dapat mengakibatkan timbulnya stres pada diri ibu, bahkan dapat menyebabkan timbulnya psikosomatis. Apabila ibu memiliki resiliensi yang tinggi, maka ibu akan dapat bertahan, kemudian bangkit dari tekanan yang dirasakannya tersebut, dan bahkan dapat menjalani hidup yang lebih baik dari sebelumnya. Ibu dengan resiliensi tinggi juga akan dapat menerima keadaan anaknya sehingga dapat memberikan perawatan yang sesuai dengan keadaan anaknya yang tunarungu, misalnya mengajak anak bersosialisasi sehingga anak dapat lebih terangsang untuk berkomunikasi dan memberikan pendidikan yang sesuai dengan kondisi tunarungu. Oleh sebab itu, ibu yang mempunyai anak tunarungu membutuhkan resiliensi untuk dapat bangkit dari tekanan yang dirasakannya.

Resiliensi merupakan kemampuan untuk dapat bangkit kembali dari kesulitan yang dihadapi. Pada ibu yang memiliki anak tunarungu, tekanan yang


(24)

Universitas Kristen Maranatha dirasakan berupa sulitnya berkomunikasi dan memahami kebutuhan anak, biaya yang cukup mahal dalam perawatan anak, dan reaksi negatif dari masyarakat. Resiliensi dilihat dari kekuatan personal yang dimiliki ibu yang memiliki anak tunarungu. Kekuatan resiliensi personal merupakan karakteristik individu, yang juga disebut aset internal atau kompetensi pribadi, yang diasosiasikan dengan perkembangan kesehatan dan kesuksesan dalam hidup. Aspek-aspek dalam resiliensi diantaranya adalah social competence, problem solving, autonomy, dan sense of purpose (Benard, 2004).

Social competence adalah karakteristik, kemampuan, dan sikap yang penting dalam membangun suatu hubungan dan ikatan positif dengan orang lain. Adanya ikatan positif dengan orang lain akan membuat ibu yang memiliki anak tunarungu mendapatkan dukungan sosial yang lebih besar dari lingkungannya sehingga membantunya dalam menghadapi tekanan yang dirasakannya. Social competence dilihat dari responsiveness, komunikasi, empati dan perhatian, compassion, altruism, dan forgiveness.

Responsiveness merupakan kemampuan untuk memperoleh respon positif dari orang lain. Misalnya ibu yang memiliki anak tunarungu tetap bersikap ramah terhadap orang lain sehingga lingkungannya dapat bersimpati kepada ibu. Kemampuan dalam berkomunikasi sosial diperlukan dalam berhubungan dengan orang lain dan membangun hubungan dengan orang lain. Sikap ibu yang memiliki anak tunarungu yang tetap senang berbincang-bincang dengan orang tua lain akan meningkatkan persahabatan mereka sehingga para ibu akan mendapatkan lebih banyak dukungan saat ia mengalami kesulitan. Empati, yaitu kemampuan untuk


(25)

Universitas Kristen Maranatha memahami perasaan orang lain dan mengerti persepsi orang lain, merupakan inti dari resiliensi. Jika ibu anak tunarungu mampu memahami perasaan orang tua lain yang juga memiliki anak tunarungu, ia akan dapat bersikap lebih peka sehingga hubungan sosialnya pun akan terjalin dengan baik. Compassion adalah hasrat untuk menolong orang lain yang menderita. Seperti compassion, altruism sering disebut bentuk tindakan dari empati. Altruism lebih mengacu kepada melakukan sesuatu bagi seseorang apa yang mereka butuhkan dan bukan apa yang ingin kita lakukan bagi mereka. Dengan memiliki rasa empati dan melakukan tindakan yang membantu orang lain seperti memberikan informasi kepada sesama ibu yang memiliki anak tunarungu, maka ibu anak tunarungu akan lebih diterima oleh lingkungannya dan lingkungan pun akan memberikan respon yang positif meskipun mengetahui bahwa subjek memiliki anak tunarungu. Forgiveness merupakan kemampuan memaafkan diri sendiri dan orang lain. Apabila ibu anak tunarungu mampu memaafkan penghinaan yang diberikan lingkungan kepada dirinya, maka ia akan dapat tetap bersikap ramah kepada mereka sehingga meningkatkan kemampuan berelasinya.

Problem solving merupakan kemampuan merencanakan dan fleksibilitas dalam mencari sumber bantuan, berpikir kritis, dan insight. Ketika ibu yang memiliki anak tunarungu menghadapi berbagai tekanan seperti sulitnya mencari sekolah, membiayai kebutuhan anak tunarungu, atau penolakan dari lingkungan, ibu tersebut dapat tetap berpikir jernih untuk mencari alternatif penyelesaiannya, baik dengan berpikir sendiri atau meminta saran dari orang lain. Alternatif tersebut dapat membuat ibu yang memiliki anak tunarungu merasakan adanya


(26)

Universitas Kristen Maranatha harapan bagi masalah-masalah ibu tersebut. Problem solving dilihat dari perencanaan, fleksibilitas, resourcefulness, dan berpikir kritis dan insight.

Adanya perencanaan membantu ibu anak tunarungu memiliki rasa kontrol dan harapan akan masa depan, sehingga menciptakan kehidupan yang positif. Misalnya ibu yang memiliki anak tunarungu memiliki rencana untuk menyekolahkan anaknya ke sekolah umum dengan harapan bahwa anaknya akan dapat bersosialisasi seperti anak lainnya. Fleksibilitas merupakan kemampuan untuk melihat alternatif dan mengusahakan solusi alternatif, baik untuk masalah kognitif maupun masalah sosial. Fleksibilitas merupakan kemampuan untuk mengubah arah dan tidak terhenti jika menghadapi hambatan. Misalnya ibu yang memiliki anak tunarungu dapat memikirkan alternatif jalan keluar ketika anaknya yang tunarungu tidak mau berlatih bicara di rumah. Resourcefulness adalah kemampuan untuk mencari bantuan, pemanfaatan sumber daya, dan kecerdikan. Resourcefulness harus diikuti dengan inisiatif yang ditunjukkan dengan tindakan nyata untuk mencari dukungan dan kesempatan. Misalnya ibu yang memiliki anak tunarungu mencari informasi seputar perawatan anaknya dari ahli atau dari suatu kelompok. Berpikir kritis mengacu pada kemampuan berpikir tingkat tinggi yang melampaui mitos tradisional atau opini sehingga memahami suatu konteks atau menemukan makna mendalam dari berbagai kejadian, pernyataan, atau situasi (Schor, 1993 dalam Benard, 2004). Kemampuan berpikir kritis membuat ibu anak tunarungu tidak begitu saja menerima penghinaan dari orang lain dan dapat melihat bahwa anak tunarungu tidak selalu berarti kekurangan, melainkan anak tunarungu juga memiliki kelebihannya sendiri. Pemikiran demikian akan


(27)

Universitas Kristen Maranatha mencegah tekanan yang terinternalisasi maupun perasaan menjadi korban. Insight merupakan bentuk terdalam dari pemecahan masalah dan sangat serupa dengan konsep kesadaran kritis. Insight merupakan kebiasaan mental untuk bertanya pertanyaan yang tajam pada diri sendiri dan menyediakan jawaban yang jujur. Misalnya para ibu yang pada awalnya tidak dapat menerima keadaan anaknya yang tunarungu mulai merenungkan keadaannya dan mencari tahu apa yang harus dilakukannya di masa mendatang.

Autonomy mengacu kepada kemampuan untuk bertindak secara mandiri dan merasakan bahwa ibu anak tunarungu memiliki kontrol terhadap lingkungannya. Adanya rasa kontrol akan menguatkan ibu yang memiliki anak tunarungu bahwa ibu tersebut masih dapat mengubah hidupnya menjadi lebih baik. Ibu tersebut tidak hanya pasrah pada keadaan, namun akan berjuang untuk mengatasi masalah yang ada. Autonomy dilihat dari identitas positif, internal locus of control dan inisiatif, self-efficacy dan mastery, adaptive distancing dan resistance, self-awareness dan mindfulness, dan humor.

Identitas diri yang positif sering disejajarkan dan disinonimkan dengan evaluasi diri yang positif atau self-esteem. Jika ibu anak tunarungu memiliki identitas positif, misalnya merasa dirinya sebagai seorang yang mampu merawat anak tunarungu, maka ia akan lebih percaya diri dan mau berusaha ketika menghadapi anaknya yang belum bisa berbicara seperti teman sebayanya. Internal locus of control secara umum merupakan perasaan memiliki kuasa atau kekuatan pribadi, sehingga dapat membantu ibu yang memiliki anak tunarungu untuk merasakan bahwa ibu tersebut dapat mengubah apa yang dialaminya menjadi


(28)

Universitas Kristen Maranatha sesuatu yang positif dan bermakna. Misalnya ketika anak tunarungu mengalami keterlambatan bicara dibandingkan anak tunarungu lain di kelasnya, maka sang ibu merasa bahwa jika usahanya ditingkatkan maka anak pun akan lebih cepat belajar berbicara. Inisiatif didefinisikan oleh Larson (dalam Benard, 2004) sebagai kemampuan untuk termotivasi dari dalam diri dan mengarahkan atensi dan usaha ke arah tujuan yang menantang. Ibu anak tunarungu yang memiliki internal locus of control akan berinisiatif untuk mengajarkan anaknya bicara karena merasa usahanya yang menentukan kejadian dalam hidupnya. Self-efficacy adalah kekuatan keyakinan ibu anak tunarungu terhadap kekuatan pribadinya yang dapat menentukan hasil dari kehidupan pribadinya, tidak masalah apakah mereka benar-benar memiliki kekuatan atau tidak (Bandura, 1997 dalam Benard, 2004). Mastery merupakan hal yang berhubungan dengan self-efficacy, di mana mastery adalah pengalaman dan perasaan kompetensi untuk dapat melakukan sesuatu dengan baik. Keyakinan yang dimiliki oleh ibu yang memiliki anak tunarungu bahwa ia dapat membantu perkembangan bicara anaknya akan membuatnya merasa bahwa ia mampu untuk merawat anaknya dengan baik dan hal tersebut akan memberinya kekuatan untuk mengatasi tekanan yang dialaminya.

Adaptive distancing meliputi proses pemisahan diri secara emosional oleh karena kegagalan, dengan adanya kesadaran dari dalam diri bahwa dirinya bukanlah penyebab dari kegagalan tersebut, dan dia tidak dapat mengontrol adanya kegagalan tersebut dan kemungkinan adanya masa depan yang lain (Chess, 1989, p.195 dalam Benard, 2004). Individu mungkin telah terlukai, marah, dan ketakutan karena kejadian-kejadian dalam hidupnya, tetapi ia dapat


(29)

Universitas Kristen Maranatha mengambil jarak sehingga tidak terus menerus menyalahkan diri (Rubin, 1996, p.225 dalam Benard, 2004). Resistance adalah penolakan akan pesan negatif mengenai diri ibu yang memiliki anak tunarungu. Misalnya ibu yang memiliki anak tunarungu tidak akan larut dalam kesedihan yang terus menerus ataupun menyalahkan dirinya karena keadaan anaknya yang tunarungu. Self-awareness, kadang disebut juga mindfulness, seringkali melibatkan tidak hanya mundur dari cengkeraman emosi, tapi juga tindakan mental untuk menata kembali (juga dikatakan sebagai merestruktur kognitif) pengalaman ibu anak tunarungu, untuk melihat diri dan hidupnya dari sudut pandang lain. Misalnya ibu yang memiliki anak tunarungu menyadari kondisi dirinya yang sedang lelah dan memerlukan istirahat dan menata kembali perasaannya agar dapat kembali pada rutinitasnya merawat anak tunarungu. Humor, yaitu kemampuan untuk tertawa, bermain, atau bahkan yang sederhana yaitu untuk tersenyum, membantu mengubah amarah dan kesedihan menjadi tawa dan membantu ibu yang memiliki anak tunarungu mengambil jarak dari penderitaan dan kemalangannya. Misalnya ibu yang memiliki anak tunarungu dapat bercanda dengan orang lain meskipun memiliki anak tunarungu.

Sense of purpose adalah keyakinan yang mendalam bahwa hidup ibu anak tunarungu memiliki arti dan ia memiliki tempat di dunia ini. Tujuan yang dimiliki oleh ibu yang memiliki anak tunarungu akan menimbulkan harapan dalam diri ibu tersebut untuk berusaha mewujudkannya. Ibu tersebut akan berusaha melakukan yang terbaik dan memandang kegagalan bukan sebagai akhir, tapi sebagai awal kesuksesan. Sense of purpose dilihat dari goal direction, motivasi berprestasi, dan


(30)

Universitas Kristen Maranatha aspirasi pendidikan, minat khusus, kreativitas, dan imajinasi, optimisme dan harapan, keyakinan, spiritualitas, dan sense of meaning.

Goal direction biasa disinonimkan dengan kompetensi terencana. Watt dan koleganya menggunakan istilah seperti “usaha yang tiada henti”, “inner drive yang pantang menyerah”, dan “tekad untuk bertahan yang tidak tergoyahkan” sebagai atribut yang penting dalam studi longitudinalnya mengenai resiliensi (1995, p.240 dalam Benard, 2004). Motivasi berprestasi merupakan aspek yang mempengaruhi perilaku dan performance dari individu. Ibu yang memiliki anak tunarungu yang memiliki tujuan dan motivasi berprestasi akan terus berusaha meskipun mengalami kegagalan untuk mencapai tujuannya tersebut. Misalnya mereka akan tetap berusaha mengajari anaknya berbicara meskipun perkembangan bicaranya lambat. Individu yang memiliki minat khusus dan hobi yang mendorong perhatian mereka dan memberi mereka sebuah perasaan dalam penguasaan tugas merupakan orang yang resilien (Werner & Smith, 1982, 1992 dalam Benard, 2004). Memiliki minat khusus dan dapat menggunakan kreativitas atau imajinasi dapat menghasilkan self-actualization dan flow experience. Flow experience digambarkan sebagai konsentrasi yang begitu intens sehingga tidak ada atensi untuk memikirkan masalah lain, bahkan waktu menjadi terdistorsi. Misalnya ibu yang memiliki anak tunarungu memiliki hobi yang dapat menghiburnya ketika ia merasa tertekan oleh penghinaan dan sikap negatif dari lingkungannya. Optimisme sering dikaitkan dengan belief dan kognisi yang positif, dan harapan sering diasosiasikan dengan emosi dan perasaan-perasaan positif. Misalnya ibu yang memiliki anak tunarungu akan optimis bahwa dirinya


(31)

Universitas Kristen Maranatha mampu mendidik anaknya dengan baik dan berharap anaknya dapat berhasil di lain kesempatan jikalau anaknya menemui kegagalan. Keyakinan dan spiritualitas menggambarkan kualitas perubahan dari pembuatan makna, apakah dengan cara memberikan arti/makna pada hal-hal yang di luar kontrol ibu anak tunarungu atau dengan menciptakan maknanya sendiri. Beberapa orang mendapat kekuatannya dari agama atau kepercayaan, sementara sisanya mencapai rasa stabilitas atau pengertian dengan menemukan jawabannya sendiri atas pertanyaan mengenai tujuan apa yang ingin yang dicapai dan penghargaan diri. Misalnya ibu anak tunarungu memaknai alasan mengapa ia memiliki anak tunarungu sebagai hal yang positif, seperti anak tunarungu merupakan hadiah dari Yang Kuasa.

Ibu yang memiliki resiliensi yang rendah hanya akan merenungi nasib mereka, menghadapi kekurangan anaknya dengan perasaan kecewa karena tidak memenuhi harapannya, malu menghadapi kenyataan bahwa anaknya berbeda dari anak-anak lain, menolak kehadiran anaknya, menyembunyikan anaknya atau menahannya di rumah, dan bukannya bangkit menghadapi kenyataan yang terjadi. Pada ibu yang memiliki resiliensi yang tinggi, meskipun pada awalnya mereka merasa putus asa dan hanya dapat merenungi nasib, namun sekarang mereka dapat mengasuh anak-anak mereka agar dapat berfungsi seoptimal mungkin sesuai dengan kemampuan anak.

Kapasitas perkembangan resiliensi yang positif membutuhkan lingkungan yang mendukung di mana ibu anak tunarungu dapat menemukan diri mereka, kebutuhan psikologis akan kasih sayang, rasa kompetensi, perasaan otonomi, dan rasa aman – yang berkontribusi pada harapan pribadi. Salah satu protective factor


(32)

Universitas Kristen Maranatha yang paling konsisten adalah keberadaan hubungan positif dengan orang tua dan keluarga. Seorang ibu yang depresi dapat menghambat perkembangan anaknya secara signifikan. Daripada jenuh atau mengalami kelelahan, ibu yang resilien akan mempercayai kemampuan dalam diri mereka sama seperti kemampuan pada anaknya. Mereka juga dilindungi oleh perasaan self-efficacy, optimis, dan harapan bagi diri mereka dan anak mereka (Benard, 2004).

Derajat resiliensi pada setiap orang akan berbeda-beda, karena dipengaruhi oleh lingkungan mereka, yang disebut environmental protective factors. Lingkungan ibu anak tunarungu dibagi menjadi dua, yaitu keluarga dan komunitas. Dukungan dari keluarga didapat dari suami, sedangkan komunitas yang mendukung adalah pihak SLB, lingkungan tempat tinggal ibu anak tunarungu, dan teman-teman ibu. Aspek-aspek dari environmental protective factors adalah caring relationships, high expectations, dan opportunities to participate and contribute. Ketika ibu anak tunarungu merasakan bahwa rumah dan komunitasnya kaya akan ketiga faktor tersebut, maka need mereka akan terpenuhi. Need yang terpenuhi ini akan meningkatkan kekuatan resiliensi social competence, problem solving skills, autonomy, dan sense of purpose.

Caring relationship misalnya adalah dukungan dari lingkungan kepada orang yang beresiliensi, berupa rasa percaya dan kasih sayang tanpa syarat. Orang-orang yang berhasil memiliki resiliensi mendeskripsikan hubungan dengan karakteristik “keberadaan saat dibutuhkan”, “penghargaan mendasar yang positif”, “kebaikan sederhana”, misalnya adalah tepukan di bahu, senyuman, sapaan (Higgins, 1994 dalam Benard, 2004). Caring relationship dalam keluarga, yang


(33)

Universitas Kristen Maranatha mendukung terbentuknya resiliensi dalam diri seseorang, adalah keluarga yang mengembangkan empati. Misalnya adalah suami ibu anak tunarungu mendukungnya dengan membantu mengasuh ketika ibu harus bekerja atau mendengarkan keluh kesah dari ibu dan membantu memberikan solusi saat ibu mengalami masalah. Hal ini dapat meningkatkan rasa percaya diri ibu tersebut dalam merawat anak tunarungu dan memenuhi need safety dan love/belonging sehingga meningkatkan aspek social competence. Komunitas yang dapat mendukung terbentuknya resiliensi yang tinggi misalnya adalah pihak sekolah yang menyediakan program konseling bagi orang tua. Adanya dukungan dari komunitas akan memenuhi need safety dan love/belonging yang akan membantu ibu lebih percaya diri dalam bersosialisasi (social competence).

High expectation didefinisikan sebagai harapan yang jelas, positif, dan terpusat pada diri orang yang beresiliensi dari lingkungannya. Harapan dan kepercayaan yang diberikan oleh orang lain kepada ibu anak tunarungu akan menantang ibu tersebut untuk menjadi dirinya yang terbaik. Ketika orang lain memandang ibu anak tunarungu sebagai orang yang tegar dan mampu merawat anaknya, maka ia pun akan melihat dirinya sebagai orang yang tegar dan mampu merawat anaknya. Contoh dari high expectations dalam keluarga misalnya adalah kepercayaan dari suami pada ibu anak tunarungu bahwa ibu tersebut dapat memilih sekolah yang terbaik bagi anak mereka. Hal ini dapat meningkatkan motivasi dari dalam diri ibu, dorongan untuk belajar dan perkembangan pribadi dan memenuhi need respect, autonomy, challenge/mastery, dan meaning sehingga meningkatkan aspek resiliensi autonomy dan sense of purpose. Sedangkan contoh


(34)

Universitas Kristen Maranatha high expectations dalam komunitas adalah dukungan dari teman-teman ibu anak tunarungu bahwa ia bukanlah penyebab anaknya menjadi tunarungu dan bahwa ia mampu membantu anaknya menjadi orang yang berguna bagi masyarakat. Hal ini dapat memenuhi need autonomy, challenge, dan meaning sehingga meningkatkan aspek resiliensi autonomy dan sense of purpose.

Menciptakan peluang (opportunities) dalam berpartisipasi dan berkontribusi dapat berupa menyediakan kesempatan untuk terlibat, tertantang, dan mengikuti aktivitas yang menarik bagi ibu anak tunarungu. Peluang ini juga dapat berupa kesempatan untuk menyelesaikan masalah dan membuat keputusan. Ketika ibu anak tunarungu terlibat dalam kegiatan kelompok, maka ia akan mememuhi kebutuhannya akan belonging. Saat ibu anak tunarungu mengambil keputusan, maka hal tersebut akan mengembangkan autonomy. Contoh dari opportunities dalam keluarga adalah memberikan kesempatan bagi ibu untuk menentukan pendidikan bagi anaknya dan melaksanakan rencana ibu bagi anaknya yang tunarungu. Hal ini dapat memenuhi need respect, autonomy, challenge, dan meaning sehingga akan meningkatkan aspek resiliensi problem solving skills dan autonomy dalam diri ibu yang memiliki anak tunarungu. Contoh opportunities dari komunitas misalnya adalah dengan memberi kesempatan pada ibu yang memiliki anak tunarungu serta anaknya untuk terlibat dalam kegiatan sosial seperti arisan atau perlombaan bagi anak-anak di RT/RW. Kesempatan tersebut dapat membuat ibu merasa diterima oleh lingkungannya sehingga memenuhi need love/belonging dan respect dan meningkatkan aspek resiliensi social competence.


(35)

Universitas Kristen Maranatha Ketiga aspek tersebut merupakan komponen yang saling berkaitan. Sebagai contoh adalah caring relationship tanpa high expectations atau opportunities untuk berpartisipasi akan mengembangkan ketergantungan. High expectation tanpa caring relationship dan dukungan (support) yang membantu ibu anak tunarungu mencapai harapan tersebut merupakan pendekatan yang kejam. Contoh lain, caring relationship dan high expectations tanpa opportunities untuk ibu anak tunarungu aktif berpartisipasi dan berkontribusi akan menciptakan situasi yang membuat frustrasi yang akan menghambat perkembangan dalam dirinya.

Bagan 1.1 Bagan Kerangka Pikir

1.6 Asumsi

Berdasarkan kerangka pikir yang dikemukakan di atas, maka asumsi yang dapat ditarik adalah:

Derajat resiliensi ibu

anak tunarungu Rendah

Tinggi Adversity:

Anak Tunarungu

Environmental Protective Factor: - Keluarga (Family) - Komunitas (Community)

- Caring Relationships - High Expectations - Opportunities to Participate and Contribute

Aspek:

- Social Competence - Problem Solving - Autonomy - Sense of Purpose Ibu yang memiliki anak tunarungu Basic need: - Safety - Love/Belonging - Respect - Autonomy/Power - Challenge/Mastery - Meaning


(36)

Universitas Kristen Maranatha  Derajat resiliensi ibu yang memiliki anak tunarungu mencakup social

competence, problem solving, autonomy, dan sense of purpose.

 Derajat resiliensi ibu yang memiliki anak tunarungu dipengaruhi oleh environmental protective factor, yaitu caring relationships, high expectations, dan opportunities to participate and contribute dari keluarga dan komunitas.  Ibu yang memiliki anak tunarungu memiliki derajat resiliensi yang


(37)

86 Universitas Kristen Maranatha 5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian mengenai derajat resiliensi pada ibu anak tunarungu usia prasekolah di SLB-B “X” Cimahi, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:

1. Sebagian besar ibu anak tunarungu usia prasekolah di SLB-B “X” Cimahi memiliki derajat resiliensi yang tinggi.

2. Para ibu anak tunarungu yang memiliki derajat resiliensi yang tinggi sebagian besar memiliki derajat yang tinggi pula dalam aspek-aspeknya, yaitu social competence, problem solving, autonomy, dan sense of purpose. 3. Para ibu anak tunarungu yang memiliki derajat resiliensi yang rendah

sebagian besar memiliki derajat yang rendah pula dalam aspek-aspeknya, yaitu social competence, problem solving, autonomy, dan sense of purpose. 4. Environmental protective factor yang menunjukkan kecenderungan

keterkaitan adalah high expectations dari komunitas dan opportunities for participation and contribution dari komunitas.

5. Environmental protective factor yang tidak menunjukkan kecenderungan keterkaitan adalah caring relationship dari keluarga dan komunitas, high expectations dari keluarga, dan opportunities for participation and contribution dari keluarga.


(38)

Universitas Kristen Maranatha 5.2 Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat diajukan beberapa saran yang diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pihak-pihak yang berkepentingan.

5.2.1 Saran Teoretis

1. Peneliti selanjutnya dapat melakukan studi komparatif mengenai derajat resiliensi pada ibu anak tunarungu di SLB-B yang menggunakan metode oral dengan SLB-B yang tidak menggunakan metode oral.

5.2.2 Saran Praktis

1. Bagi pihak SLB-B agar tetap mempertahankan dukungannya pada para ibu anak tunarungu dengan memberikan layanan konsultasi, pelatihan mengenai melatih bicara anak, dan seminar mengenai berbagai cara melatih perkembangan anak tunarungu dan alternatif masa depan bagi anak tunarungu.

2. Bagi para ibu anak tunarungu di SLB-B “X” agar meningkatkan resiliensi mereka dengan mencari alternatif metode cara mendidik anak tunarungu untuk dapat meningkatkan perkembangan anak mereka, mengikuti seminar-seminar mengenai anak tunarungu, dan terlibat dalam aktivitas sosial seperti kegiatan lingkungan sehingga anak dapat lebih banyak berlatih bicara dengan orang lain.


(39)

Universitas Kristen Maranatha 88

DAFTAR PUSTAKA

Benard, Bonnie. 1995. From Risk to Resiliency: What Schools Can Do. Northwest Regional Education Laboratory.

Benard, Bonnie. 2004. Resiliency: What We Have Learned. San Fransisco: WestEd.

Cruickshank, William. M. 1980. Psychology of Exceptional Children and Youth. United States of America: Prentice-Hall, Inc.

Denscombe, Martyn. 2003. The Good Research Guide for Small-Scale Social Research Projects. Philadelphia: Open University Press.

Hernawati, Tati. 2007. Pengembangan Kemampuan Berbahasa dan Berbicara Anak Tunarungu. Jurnal Asesmen dan Intervensi Anak Berkebutuhan Khusus.. (Online). Volume 7, No.1. (http://file.upi.edu/ai.php?dir= Direktori/A%20%20FIP/JUR.%20PEND.%20LUAR%20BIASA/1963020 81987032%20%20TATI%20HERNAWATI/&file=jurnal.pdf, diakses 17 Agustus 2010).

Short, Edward. 1974. Birth to Five. London: Pitman Publishing.

Siegel, Sidney. 1997. Statistik Non Parametrik Untuk Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.

Somantri, Sutjihati. 2006. Psikologi Anak Luar Biasa. Bandung: PT. Refika Aditama.


(40)

Universitas Kristen Maranatha 89

DAFTAR RUJUKAN

Birtwhistle, Amy, dkk. 2004. Exemplary Practices in Adolescent Development. (Online). (http://www.sierrahealth.org/assets/files/other_pubs/Exemplary_ Practices_in_Adolescent_Development.pdf, diakses 24 Maret 2010). Didit. 2009. Mengenal Anak Berkebutuhan Khusus. (Online).

(http://berlianbiru.blogspot.com/2009/10/mengenal-anak-berkebutuhan-khusus.html, diakses 17 Februari 2010).

Hambatan Belajar Anak Tunarungu. (Online). (http://file.upi.edu/ai.php?dir= Direktori/A%20%20FIP/JUR.%20PEND.%20LUAR%20BIASA/1970041 71994022%20%20IMAS%20DIANA%20APRILIA/&file=BAH%20PRE SENTASI%202.pdf, diakses 17 Agustus 2010).

P., Yanti D., 2010. Karakteristik Anak TK. (Online). (http://www.bintangbangsaku.com/content/karakteristik-anak-tk, diakses 18 Agustus 2008).

Pembelajaran Guru. 2008. Karakteristik Perkembangan Anak TK. (Online).

(http://pembelajaranguru.wordpress.com/2008/05/25/karakteristik-perkembangan-anak-tk/, diakses 18 Agustus 2008).

Yulia. 2010. Dampingi Anak Berkebutuhan Khusus. (Online). (http://yulia-putri.blogspot.com/2010/04/dampingi-anak-berkebutuhan-khusus.html, diakses 27 Mei 2010).


(1)

Universitas Kristen Maranatha Ketiga aspek tersebut merupakan komponen yang saling berkaitan. Sebagai contoh adalah caring relationship tanpa high expectations atau

opportunities untuk berpartisipasi akan mengembangkan ketergantungan. High expectation tanpa caring relationship dan dukungan (support) yang membantu ibu anak tunarungu mencapai harapan tersebut merupakan pendekatan yang kejam. Contoh lain, caring relationship dan high expectations tanpa opportunities untuk ibu anak tunarungu aktif berpartisipasi dan berkontribusi akan menciptakan situasi yang membuat frustrasi yang akan menghambat perkembangan dalam dirinya.

Bagan 1.1 Bagan Kerangka Pikir

1.6 Asumsi

Berdasarkan kerangka pikir yang dikemukakan di atas, maka asumsi yang dapat ditarik adalah:

Derajat resiliensi ibu

anak tunarungu Rendah Tinggi Adversity:

Anak Tunarungu

Environmental Protective Factor: - Keluarga (Family) - Komunitas (Community)

- Caring Relationships - High Expectations - Opportunities to Participate and Contribute

Aspek:

- Social Competence - Problem Solving - Autonomy - Sense of Purpose

Ibu yang memiliki anak tunarungu Basic need: - Safety - Love/Belonging - Respect - Autonomy/Power - Challenge/Mastery - Meaning


(2)

Universitas Kristen Maranatha 27

 Derajat resiliensi ibu yang memiliki anak tunarungu mencakup social competence, problem solving, autonomy, dan sense of purpose.

 Derajat resiliensi ibu yang memiliki anak tunarungu dipengaruhi oleh

environmental protective factor, yaitu caring relationships, high expectations,

dan opportunities to participate and contribute dari keluarga dan komunitas.  Ibu yang memiliki anak tunarungu memiliki derajat resiliensi yang


(3)

86 Universitas Kristen Maranatha

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian mengenai derajat resiliensi pada ibu anak tunarungu usia prasekolah di SLB-B “X” Cimahi, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:

1. Sebagian besar ibu anak tunarungu usia prasekolah di SLB-B “X” Cimahi memiliki derajat resiliensi yang tinggi.

2. Para ibu anak tunarungu yang memiliki derajat resiliensi yang tinggi sebagian besar memiliki derajat yang tinggi pula dalam aspek-aspeknya, yaitu social competence, problem solving, autonomy, dan sense of purpose. 3. Para ibu anak tunarungu yang memiliki derajat resiliensi yang rendah

sebagian besar memiliki derajat yang rendah pula dalam aspek-aspeknya, yaitu social competence, problem solving, autonomy, dan sense of purpose. 4. Environmental protective factor yang menunjukkan kecenderungan

keterkaitan adalah high expectations dari komunitas dan opportunities for participation and contribution dari komunitas.

5. Environmental protective factor yang tidak menunjukkan kecenderungan keterkaitan adalah caring relationship dari keluarga dan komunitas, high expectations dari keluarga, dan opportunities for participation and contribution dari keluarga.


(4)

87

Universitas Kristen Maranatha

5.2 Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat diajukan beberapa saran yang diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pihak-pihak yang berkepentingan.

5.2.1 Saran Teoretis

1. Peneliti selanjutnya dapat melakukan studi komparatif mengenai derajat resiliensi pada ibu anak tunarungu di SLB-B yang menggunakan metode oral dengan SLB-B yang tidak menggunakan metode oral.

5.2.2 Saran Praktis

1. Bagi pihak SLB-B agar tetap mempertahankan dukungannya pada para ibu anak tunarungu dengan memberikan layanan konsultasi, pelatihan mengenai melatih bicara anak, dan seminar mengenai berbagai cara melatih perkembangan anak tunarungu dan alternatif masa depan bagi anak tunarungu.

2. Bagi para ibu anak tunarungu di SLB-B “X” agar meningkatkan resiliensi mereka dengan mencari alternatif metode cara mendidik anak tunarungu untuk dapat meningkatkan perkembangan anak mereka, mengikuti seminar-seminar mengenai anak tunarungu, dan terlibat dalam aktivitas sosial seperti kegiatan lingkungan sehingga anak dapat lebih banyak berlatih bicara dengan orang lain.


(5)

Universitas Kristen Maranatha 88

DAFTAR PUSTAKA

Benard, Bonnie. 1995. From Risk to Resiliency: What Schools Can Do. Northwest Regional Education Laboratory.

Benard, Bonnie. 2004. Resiliency: What We Have Learned. San Fransisco: WestEd.

Cruickshank, William. M. 1980. Psychology of Exceptional Children and Youth. United States of America: Prentice-Hall, Inc.

Denscombe, Martyn. 2003. The Good Research Guide for Small-Scale Social Research Projects. Philadelphia: Open University Press.

Hernawati, Tati. 2007. Pengembangan Kemampuan Berbahasa dan Berbicara Anak Tunarungu. Jurnal Asesmen dan Intervensi Anak Berkebutuhan Khusus.. (Online). Volume 7, No.1. (http://file.upi.edu/ai.php?dir= Direktori/A%20%20FIP/JUR.%20PEND.%20LUAR%20BIASA/1963020 81987032%20%20TATI%20HERNAWATI/&file=jurnal.pdf, diakses 17 Agustus 2010).

Short, Edward. 1974. Birth to Five. London: Pitman Publishing.

Siegel, Sidney. 1997. Statistik Non Parametrik Untuk Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.

Somantri, Sutjihati. 2006. Psikologi Anak Luar Biasa. Bandung: PT. Refika Aditama.


(6)

Universitas Kristen Maranatha 89

DAFTAR RUJUKAN

Birtwhistle, Amy, dkk. 2004. Exemplary Practices in Adolescent Development.

(Online). (http://www.sierrahealth.org/assets/files/other_pubs/Exemplary_ Practices_in_Adolescent_Development.pdf, diakses 24 Maret 2010). Didit. 2009. Mengenal Anak Berkebutuhan Khusus. (Online).

(http://berlianbiru.blogspot.com/2009/10/mengenal-anak-berkebutuhan-khusus.html, diakses 17 Februari 2010).

Hambatan Belajar Anak Tunarungu. (Online). (http://file.upi.edu/ai.php?dir= Direktori/A%20%20FIP/JUR.%20PEND.%20LUAR%20BIASA/1970041 71994022%20%20IMAS%20DIANA%20APRILIA/&file=BAH%20PRE SENTASI%202.pdf, diakses 17 Agustus 2010).

P., Yanti D., 2010. Karakteristik Anak TK. (Online). (http://www.bintangbangsaku.com/content/karakteristik-anak-tk, diakses 18 Agustus 2008).

Pembelajaran Guru. 2008. Karakteristik Perkembangan Anak TK. (Online).

(http://pembelajaranguru.wordpress.com/2008/05/25/karakteristik-perkembangan-anak-tk/, diakses 18 Agustus 2008).

Yulia. 2010. Dampingi Anak Berkebutuhan Khusus. (Online). (http://yulia-putri.blogspot.com/2010/04/dampingi-anak-berkebutuhan-khusus.html, diakses 27 Mei 2010).