Studi Deskriptif Mengenai Derajat Self-Compassion pada Ibu yang Memiliki Anak Tunagrahita di SLB-C "X" Kota Bandung.

(1)

This study was conducted to describe the degree of self – compassion on mother with intellectual disability children in SLB – C “X” Bandung. Self – compassion is ability to comfort ourselves, see a failure as a part of human experiences, and treat our thoughts and emotions in mindful awareness. Self – compassion consist of three components: self – kindness, common humanity, and mindfulness. The result of the study will assist mothers in understanding their act towards themselves when facing difficulties and improve their ability to deal difficulties during nurturing child with intellectual disability.

The instruments that used in this study was self - compassion questionnaire which has 26 items. This questionnaire were constructed by Neff (2003) and has been translated into Indonesian by Missiliana R, M.Si. Psik. (2012). The validity ranged from 0.318 – 0.772 while the reliability is 0.852 which include high reliability category. Secondary datas was measured using questionnaires which are include factors that can affect self – compassion, such as: role of culture, role of parents, and personality. All datas were analyzed using frequency distributional by SPSS.

This study was conducted on 34 mother with intellectual disability children in SLB –C “X” Bandung. Based on the result of the study, there were 24 mothers (71%) have a low degree of self – compassion. While the other 10 mothers (29%) have a high degree of self – compassion. Self – compassion tend to related to mother’s perspective of their parent’s role and personality.

Based on result, school can provide parenting seminar that could help mothers to know the right way to deal with intellectual disability children. In addition, school can also do a socialization about the concept of children with intellectual disability and competencies that children should achieved in each level of education.


(2)

Penelitian ini dilaksanakan untuk mengetahui gambaran derajat self – compassion pada ibu yang memiliki anak tunagrahita di SLB – C “X” Kota Bandung. Self – compassion adalah kemampuan menghibur diri, melihat suatu pengalaman sebagai bagian dari pengalaman manusia, dan memperlakukan pikiran dan perasaan terluka dengan penuh kesadaran. Self – compassion terdiri dari 3 komponen yaitu self – kindness, common humanity, dan mindfulness. Hasil penelitian akan membantu ibu dalam memahami tindakan terhadap dirinya ketika menghadapi kesulitan dan meningkatkan kemampuannya dalam menghadapi hambatan – hambatan yang dialami selama menghadapi anak tunagrahita.

Alat ukur yang digunakan adalah kuesioner self – compassion berjumlah 26 item yang dikonstruksi oleh Neff (2003) dan diadaptasi ke Bahasa Indonesia oleh Missiliana R, M.Si.Psik. (2012). Validitas alat ukur berkisar dari 0.318 – 0.772 sedangkan reliabilitasnya sebesar 0.852 yang termasuk kategori realibilitas tinggi. Alat ukur data penunjang menggunakan gambaran faktor yang memengaruhi self – compassion yaitu: role of parents, role of culture, dan personality. Data yang diperoleh diolah menggunakan distribusi frekuensi dengan program SPSS.

Penelitian ini dilakukan pada 34 ibu yang memiliki anak tunagrahita di SLB – C “X”. Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh bahwa sebagian besar ibu yaitu 24 ibu (71%) memiliki derajat self – compassion yang rendah. Sedangkan 10 ibu (29%) lainnya memiliki derajat self – compassion yang tinggi. Derajat self – compassion cenderung memiliki keterkaitan dengan faktor role of parents dan personality.

Pihak sekolah dapat memberikan seminar parenting pada para ibu mengenai cara pengasuhan yang tepat bagi anak tunagrahita, terutama mengenai modelling of parents dan maternal criticism. SLB – C “X” juga dapat melakukan sosialisasi mengenai pemahaman konsep anak tunagrahita, target pembelajaran serta kompetensi yang akan dicapai anak dalam setiap jenjang pendidikan.


(3)

LEMBAR JUDUL ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

LEMBAR ORISINALITAS PENELITIAN ... iii

LEMBAR PERNYATAAN PUBLIKASI PENELITIAN ... iv

ABSTRACT ... v

ABSTRAK ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xvi

DAFTAR BAGAN ... xvii

DAFTAR LAMPIRAN ... xviii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah... 1

1.2 Identifikasi Masalah ... 9


(4)

1.3.1 Maksud Penelitian ... 9

1.3.2 Tujuan Penelitian ... 10

1.4 Kegunaan Penelitian ... 10

1.4.1 Kegunaan Teoritis ... 10

1.4.2 Kegunaan Praktis ... 10

1.5 Kerangka Pemikiran ... 11

1.6 Asumsi ... 21

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Self – Compassion ... 23

2.1.1 Definisi Self – Compassion ... 23

2.1.2 Komponen Self – Compassion ... 27

2.1.2.1 Self – Kindness versus Self – Judgement ... 27

2.1.2.2 A Sense of Common Humanity versus Isolation ... 28

2.1.2.3 Mindfulness versus Over – Identification ... 30

2.1.3 Faktor – Faktor yang Memengaruhi Self – Compassion ... 32

2.1.3.1 Jenis Kelamin ... 32


(5)

2.1.3.3 Role of Culture ... 37

2.1.3.4 Role of Parent ... 38

2.1.3.4.1 Maternal Criticism ... 38

2.1.3.4.2 Attachment ... 40

2.1.3.4.3 Modelling ... 41

2.1.4. Manfaat Self – Compassion ... 41

2.1.4.1 Emotional Well Being ... 41

2.1.4.2. Motivasi dan Personal Growth ... 42

2.1.4.3. Hubungan Interpersonal ... 43

2.1.4.4. Empati ... 44

2.2 Anak Tunagrahita ... 44

2.2.1 Pengertian Anak Tunagrahita... 44

2.2.2 Karakteristik Anak Tunagrahita ... 45

2.2.2.1 Keterbatasan Fungsi Intelektual ... 45

2.2.2.2 Keterbatasan Perilaku Adaptif ... 47

2.2.3 Klasifikasi Anak Tunagrahita ... 48

2.3 Anak Multiple Disabilities ... 51


(6)

2.5 Tahap Perkembangan Dewasa ... 57

2.5.1 Dewasa Awal ... 57

2.5.2 Dewasa Madya ... 58

2.5.3 Dewasa Akhir ... 59

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Rancangan dan Prosedur Penelitian ... 61

3.2 Bagan Prosedur Penelitian ... 62

3.3 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 62

3.3.1 Variabel Penelitian ... 62

3.3.2 Definisi Konseptual ... 62

3.3.3 Definisi Operasional ... 63

3.4 Alat Ukur ... 64

3.4.1 Alat Ukur Self – Compassion ... 64

3.4.2 Sistem Penilaian Alat Ukur ... 65

3.4.3 Data Pribadi dan Data Penunjang ... 66

3.4.4 Validitas dan Reliabilitas ... 67


(7)

3.4.4.2 Reliabilitas Alat Ukur ... 68

3.5 Populasi ... 68

3.5.1 Populasi Sasaran ... 68

3.6 Teknik Analisis Data ... 69

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Responden ... 70

4.2 Hasil Penelitian ... 75

4.3 Pembahasan ... 78

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 90

5.2 Saran ... 92

5.2.1 Saran Teoritis ... 92

5.2.2 Saran Praktis ... 92

DAFTAR PUSTAKA ... 94


(8)

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Kisi – Kisi Alat Ukur ... 65

Tabel 3.2 Keterangan Skor Item ... 66

Tabel 4.1 Gambaran Responden Berdasarkan Usia ... 70

Tabel 4.2 Gambaran Responden Berdasarkan Status Marital ... 71

Tabel 4.3 Gambaran Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 72

Tabel 4.4 Gambaran Responden Berdasarkan Pekerjaan ... 72

Tabel 4.5 Gambaran Responden Berdasarkan Usia Anak Tunagrahita ... 73

Tabel 4.6 Gambaran Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan Anak ... 73

Tabel 4.7 Gambaran Responden Berdasarkan Pihak yang Mengurus Anak ... 74

Tabel 4.8 Gambaran Responden Berdasarkan Tingkat Tunagrahita ... 74

Tabel 4.9 Pengelompokkan Responden Berdasarkan Derajat Self – Compassion .. 75

Tabel 4.10 Tabulasi Silang Derajat Self – Compassion dan Self – Kindness ... 76

Tabel 4.11 Tabulasi Silang Derajat Self – Compassion dan Common Humanity ... 76


(9)

DAFTAR BAGAN

Bagan 1.1. Bagan Kerangka Pikir ... 20


(10)

DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN I : Validitas dan Reliabilitas Kuesioner Self - Compassion

LAMPIRAN II : Tabulasi Silang Derajat Self – Compassion dan Komponennya

LAMPIRAN III : Tabulasi Silang Derajat Self – Compassion dan Faktor – Faktor yang Memengaruhi

LAMPIRAN IV : Tabulasi Silang Derajat Self – Compassion dan Data Penunjang

LAMPIRAN V : Kuesioner Self – Compassion

LAMPIRAN VI : Kuesioner Role of Parents

LAMPIRAN VII : Kuesioner Role of Culture

LAMPIRAN VIII : Kuesioner Personality

LAMPIRAN IX : Profil SLB –C “X” Bandung

LAMPIRAN X : Undang – Undang Republik Indonesia tentang Sistem Pendidikan Nasional

LAMPIRAN XI : Tabel Hasil Pengambilan Data


(11)

BAB I PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang Masalah

Memiliki anak merupakan suatu anugerah bagi setiap pasangan suami istri. Ketika pasangan suami istri memutuskan untuk memiliki anak, mereka berkomitmen untuk menerima tanggung jawab menjadi seorang orangtua. Orangtua tidak dapat memilih anak seperti apa yang diingininya. Beberapa orangtua dianugerahi anak – anak yang termasuk berkebutuhan khusus. Tidak setiap anak mengalami perkembangan normal. Mereka mengalami hambatan, gangguan, kelambatan dalam proses perkembangannya, atau memiliki faktor-faktor risiko sehingga untuk mencapai perkembangan optimal diperlukan penanganan atau intervensi khusus. Kelompok inilah yang kemudian dikenal sebagai anak berkebutuhan khusus. Diantara anak berkebutuhan khusus tersebut, ada anak yang digolongkan sebagai tunagrahita.

Menurut American Association on Intellectual and Developmental Disabilities (AAIDD) anak tunagrahita adalah anak yang secara umum memiliki keterbatasan yang signifikan dalam fungsi intelektual dan perilaku adaptif yang terlihat dari keterampilan konseptual, sosial, dan adaptif. Ketidakmampuan ini terjadi sebelum umur 18 tahun. Dalam hal fungsi intelektual, anak tunagrahita memiliki keterbatasan dalam hal kecerdasan, memori, dan generalisasi. (Schalock et al, 2010). Keterbatasan yang dialami


(12)

oleh anak tunagrahita akan semakin meningkat seiring dengan tingkat ketunagrahitaannya. DSM IV – TR membagi tingkat keparahan tunagrahita menjadi empat kelompok, yaitu mild, moderate, severe, dan profound. Klasifikasi ini dibagi berdasarkan tingkat kecerdasan (IQ). Mild mental retardation (tunagrahita ringan) adalah individu yang memiliki IQ 50 – 55 sampai kurang lebih 70, sedangkan moderate mental retardation (tunagrahita sedang) adalah yang memiliki IQ 25 – 40 sampai dengan 50 – 55. Severe mental retardation (tunagrahita berat) adalah individu yang memiliki IQ 20 25 sampai 30 - 40, dan profound mental retardation (tunagrahita sangat berat) adalah yang memiliki IQ di bawah 20 - 25 (American Psychiatric Association, 2000).

Dengan berbagai keterbatasan yang dimiliki oleh anak tunagrahita, para orangtua membutuhkan bantuan dan pendampingan khusus dari para ahli. Undang – Undang Nomor 20 tahun 2003 pada Pasal 5 Ayat 1 dan 2 mengenai Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa:

”Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh

pendidikan yang bermutu”

”Setiap warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan / atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus”.

Berdasarkan Undang – Undang tersebut, pemerintah mengadakan pendidikan khusus bagi anak – anak berkebutuhan khusus yang disebut sebagai Sekolah Luar Biasa (SLB). Pendidikan ini diberikan secara individual yang dikelompokkan atas dasar kebutuhan setiap anak. SLB Bagian C merupakan SLB yang dikhususkan bagi anak tunagrahita.


(13)

SLB –C ”X” Bandung adalah salah satu sekolah yang menangani anak – anak yang tergolong tunagrahita dari tingkat ringan dan sedang di Kota Bandung. SLB ini menyediakan tingkat pendidikan luar biasa yang lengkap yaitu terdiri dari tingkat Taman Kanak – Kanak Luar Biasa (TKLB), SDLB, SMPLB, dan SMALB. Sekolah ini memiliki visi membentuk siswa didik yang mandiri dan dapat bertahan dalam masyarakat luas. SLB – C “X” Bandung memiliki beberapa program pembelajaran dan ekstrakulikuler untuk menunjang proses pembelajaran anak. Beberapa ekstrakulikuler yang tersedia di SLB – C ”X” ini adalah tari jaipong, menyanyi, dan pramuka. Ekstrakulikuler ini diadakan untuk menambah keterampilan siswa selain keterampilan akademik. Program pembelajaran di SLB –C ”X” dilaksanakan berdasarkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Selain itu, SLB

– C ”X” juga mengadakan kegiatan outing bersama orangtua, yang biasanya

diadakan dua bulan sekali. Kegiatan outing dapat berbentuk jalan bersama di sekitar kompleks, renang, atau outbond.

SLB – C”X” memiliki guru sebanyak 7 orang yang terdiri dari 5

sarjana pendidikan luar biasa dan 2 orang sukarelawan. Sedangkan, jumlah siswa yang aktif bersekolah di SLB ini sebanyak 40 orang. Setiap guru akan menangani 4 – 5 anak dengan tingkat pendidikan yang sama. Berdasarkan wawancara peneliti dengan kepala sekolah SLB – C ”X”, beliau merasa jumlah guru di sekolah ini masih sangat terbatas, bahkan kepala sekolah sampai harus ikut turun tangan untuk mengajar. Hal ini terkadang membuat guru mengalami kesulitan dalam memantau perkembangan anak. Apabila


(14)

terdapat salah satu guru yang tidak masuk, maka anak yang ditangani guru ini akan digabungkan dengan kelas guru lain. Hal ini membuat anak yang dipindah kurang dapat berkonsentrasi dalam pembelajaran karena merasa asing dengan teman sekelas dan guru yang mengajarnya. Anak yang sudah ada di kelas juga terkadang merasa terganggu dengan keberadaan anak baru di kelasnya tersebut. Menurut kepala sekolah, proses belajar mengajar di kelas tersebut kurang berjalan dengan lancar.

Dalam proses perkembangan anak tunagrahita di SLB – C “X”, kepala sekolah menuntut kerjasama antara pihak sekolah dan orangtua. Menurut Ibu N, kepala sekolah SLB – C ”X” Bandung, anak tunagrahita akan dapat berkembang dengan optimal apabila ada dukungan dari orangtua khususnya dari seorang ibu karena ibu yang hampir setiap saat berinteraksi secara intens dan mengetahui perkembangan anak tunagrahita secara menyeluruh. Selain itu menurut Ibu S, seorang guru tingkat SDLB, anak akan lebih mudah mempelajari suatu keterampilan apabila ada dukungan dari orang terdekatnya di rumah. Guru hanya dapat berinteraksi dengan anak di sekolah selama kurang lebih 3 jam per hari. Keterampilan tersebut akan lebih baik diajari pula di rumah. Dalam hal ini peran ibu sangat penting bagi perkembangan anak. Anak tunagrahita membutuhkan seorang sosok yang dapat mengayomi dan memenuhi kebutuhan – kebutuhan psikologisnya, seperti kebutuhan untuk dihargai dan diperhatikan, kebutuhan afeksi, dan lainnya. Pemenuhan kebutuhan psikologis ini berguna dalam pencapaian keterampilan tertentu, seperti daily life skills. Maka dari itu dukungan dan pendampingan dari ibu


(15)

sangat berpengaruh pada kemampuan anak dalam mempelajari suatu keterampilan tertentu. Hal – hal ini melandasi diadakannya pertemuan antara pihak guru dan para ibu yang bertujuan untuk pengoptimalan perkembangan anak. Di pertemuan ini, ibu dapat mengetahui permasalahan yang dialami guru dalam menghadapi anaknya. Selain itu, guru juga memberikan informasi – informasi mengenai keterampilan yang sudah dapat dilakukan oleh anak dan keterampilan yang perlu dilatih lagi di rumah.

Walaupun pihak sekolah sudah mengadakan pertemuan antara guru dan orangtua, ternyata orangtua masih sering mengalami kesulitan dalam menghadapi anaknya. Berdasarkan wawancara terhadap 10 ibu yang memiliki anak tunagrahita di SLB – C “X” mengenai permasalahan yang sering dialami, 9 ibu (90%) menganggap bahwa masih mengalami kesulitan karena merasa belum mampu untuk mengajari anaknya. Mereka merasa sudah melakukan hal – hal yang dihimbau oleh para guru namun anaknya tidak mau menurut dan melakukan keterampilan yang diajari. Sementara itu, 1 ibu (10%) mengalami kesulitan menghadapi anak karena merasa belum memiliki waktu yang cukup dan belum cukup sabar dalam mendampingi anaknya. Ibu sering merasa putus asa dan menyerah untuk mengajari anaknya suatu keterampilan sederhana seperti daily life skill (makan, minum, mandi, dan lain – lain). Seluruh ibu (10 orang) mengatakan bahwa dengan adanya kesulitan - kesulitan yang sering dialami membuatnya menghayati bahwa mereka merasa gagal sebagai seorang ibu.


(16)

Berdasarkan wawancara yang dilakukan pada 10 orang ibu dengan anak tunagrahita di SLB – C “X” mengenai pendapat mengenai diri sendiri saat menghadapi kesulitan, sebagian besar ibu yaitu sebanyak 8 ibu (80%) menganggap dirinya sebagai ibu yang gagal dan kecewa pada dirinya sendiri ketika tidak berhasil mengajari anaknya untuk melakukan keterampilan – keterampilan tertentu. Sebanyak satu ibu (10%) merasa sebagai ibu yang tidak kompeten dan bukan ibu yang baik bagi anaknya karena tidak dapat memberikan yang terbaik bagi anaknya. Satu ibu lainnya (10%) merasa sangat bersalah dan mengatakan bahwa dirinya ibu yang jahat. Ibu ini menganggap anaknya terlahir tunagrahita akibat kecerobohannya selama masa kehamilan. Pendapat ibu mengenai diri sendiri ketika dirinya menghadapi kesulitan yang negatif membuat para ibu mencurahkan segala waktu, tenaga, dan perhatian yang dimilikinya untuk merawat dan mendampingi anaknya. Bahkan 10 ibu (100%) yang diwawancara ini selalu menunggui anaknya selama di sekolah. Mereka merasa sebagai ibu yang jahat dan tidak bertanggung jawab apabila melakukan kegiatan lain seperti hobi maupun kegiatan refreshing lainnya.

Selain itu, berdasarkan wawancara mengenai bagaimana sikap ibu dalam menghadapi kesulitan, sebanyak 7 ibu (70%) bersikap membanding – bandingkan kesulitan yang dialaminya dengan ibu lain. Ibu menganggap bahwa hanya dirinya yang memiliki anak yang paling sulit dihadapi. Sementara itu, 2 ibu (20%) merasa marah dan menyesal telah memiliki anak tunagrahita. Ibu sering kali bertanya baik pada diri sendiri maupun orang lain


(17)

mengapa hanya saya yang mendapatkan anak tunagrahita. Sedangkan 1 ibu (10%) bersikap mengintrospeksi dirinya setiap mengalami kegagalan dan mendengar kegagalan yang dialami orang lain. Akhirnya ibu sadar bahwa tidak hanya dirinya yang mengalami kegagalan tersebut. Ibu menyadari bahwa kesulitan tersebut adalah bagian dari proses merawat anak.

Berdasarkan wawancara mengenai pemahaman akan pengalaman yang dialami, sebanyak 8 ibu (80%) mengatakan bahwa mereka sulit memahami penyebab dari kegagalan dan kesulitan yang dialaminya. Ketika mengalami kegagalan, ibu merasa pesimis bahwa dirinya dapat merawat anak tunagrahita dengan baik. Selain itu, ketika ibu berhasil mengajari anak suatu keterampilan, ibu merasa sangat senang dan memamerkannya pada guru serta ibu – ibu yang lain. Sementara itu, 2 ibu lainnya (20%) mengintrospeksi dirinya dengan berusaha memahami hal – hal apa saja yang telah dilakukan sehingga mengalami kegagalan tersebut. Maka dari itu, ibu akhirnya dapat menyadari bentuk – bentuk kesalahan yang menyebabkan kegagalan tersebut sehingga ia cenderung tidak mengulanginya kembali. Ibu dapat menjadikan segala pengalamannya baik keberhasilan maupun kegagalan sebagai pembelajaran bagi dirinya.

Secara keseluruhan, ibu masih mengalami permasalahan dalam hal menyikapi kesulitan – kesulitan dalam menghadapi anak tunagrahita. Maka dari itu, ibu sering mengalami permasalahan yang serupa berulang kali. Ibu juga merasa dirinya kurang optimal dalam merawat anak tunagrahita.


(18)

Sementara itu, menurut Ibu N, kepala SLB –C “X”, seorang ibu dengan anak tunagrahita harus lebih bersemangat dan pantang menyerah daripada anaknya. Dengan berbagai keterbatasan yang dimiliki oleh anak tunagrahita, ia menjadi sangat bergantung dengan orang – orang di sekitarnya, terutama ibu. Apabila ibunya sendiri mudah menyerah, anak tunagrahita tidak akan dapat mengembangkan keterampilan – keterampilan dengan optimal. Maka dari itu ibu dituntut untuk memiliki perhatian, kesabaran, kasih sayang, dan empati yang lebih dalam merawat dan membimbing anak tunagrahita.

Apabila ibu dapat menerima dan memahami dirinya ketika menghadapi kesulitan, memandang permasalahan sebagai proses dari merawat anak, dan dapat menghayati segala pengalamannya sebagai sebuah pembelajaran, ibu akan dapat membantu ibu dalam menghadapi anak tunagrahita. Ibu juga cenderung dapat memandang kehidupannya secara lebih positif. Berbagai tindakan terhadap diri sendiri ini dapat membangun rasa empati, kesabaran, dan ketekunan dalam menghadapi anak tunagrahita.

Kemampuan untuk menghibur diri dan peduli pada diri sendiri ketika mengalami penderitaan, kegagalan, dan ketidaksempurnaan daripada mengkritik diri dengan keras; melihat suatu pengalaman sebagai bagian pengalaman manusia secara umum daripada mengisolasi diri sendiri serta memperlakukan pikiran – pikiran dan perasaan – perasaan yang terluka dengan penuh kesadaran daripada terpaku dan membesar – besarkannya dikonsepkan sebagai self – compassion (Neff, 2003). Self - compassion terdiri


(19)

dari tiga komponen utama, yaitu self- kindness, a sense of common humanity, dan mindfulness (Neff, 2003,b). Self – compassion dapat membantu ibu mencapai emotional well being. Ibu cenderung dapat menemukan cara yang bijaksana dalam mengatasi kesulitan. Selain itu, Pommier (2010) dan Neff mengemukakan bahwa self – compassion dapat membantu individu membangun kepedulian empatik terhadap orang lain. Kemampuan – kemampuan inilah yang diharapkan dimiliki oleh ibu dengan anak tunagrahita di SLB – C “X” Bandung agar mereka dapat menghadapi hambatan – hambatan yang dialami selama merawat anak tunagrahita.

Melihat pentingnya kemampuan menghibur diri, mengasihani diri, dan peduli pada diri sendiri ketika ibu mengalami kegagalan dalam merawat anak tunagrahita, maka peneliti tertarik untuk meneliti “Studi Deskriptif mengenai derajat self - compassion pada ibu yang memiliki anak di SLB –C “X” Kota Bandung”. Peneliti ingin mengetahui deskripsi masing – masing komponen yang membentuk derajat self - compassion pada ibu yang memiliki anak di

SLB – C “X” Kota Bandung, yang terdiri dari komponen Self – Kindness, a

sense of common humanity, dan mindfulness.

1.2.Identifikasi Masalah

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui derajat self - compassion pada ibu yang memiliki anak tunagrahita di SLB – C “X” Kota Bandung beserta komponen – komponen yang membentuknya.


(20)

1.3.Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1. Maksud Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan maksud memperoleh gambaran self - compassion pada ibu yang memiliki anak tunagrahita di SLB – C “X” Kota Bandung.

1.3.2. Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan mengetahui gambaran derajat self - compassion pada ibu yang memiliki anak tunagrahita di SLB – C “X” Kota Bandung beserta kaitannya dengan faktor – faktor yang memengaruhi.

1.4.Kegunaan Penelitian 1.4.1. Kegunaan Teoritis

Memberikan informasi mengenai derajat self - compassion ibu yang memiliki anak tunagrahita di SLB – C “X” Bandung bagi bidang ilmu psikologi perkembangan dan psikologi positif.

 Memberikan masukan bagi peneliti lain yang berminat melakukan penelitian mengenai self - compassion.

1.4.2. Kegunaan Praktis

 Memberikan informasi kepada kepala sekolah SLB – C “X” Bandung mengenai gambaran self - compassion pada ibu yang memiliki anak tunagrahita di sekolah tersebut untuk mengembangkan pemahaman


(21)

mengenai tindakan ibu terhadap dirinya ketika menghadapi kesulitan dan kegagalan dalam menghadapi anak tunagrahita.

 SLB – C “X” dapat memanfaatkan informasi mengenai derajat self -

compassion pada ibu untuk membuat program konseling atau seminar yang bertujuan untuk membantu para ibu bersikap lebih peduli, mengasihi diri, dan menghibur diri sendiri ketika mengalami kesulitan maupun kegagalan dalam merawat anak tunagrahita.

1.5.Kerangka Pemikiran

Ibu dengan anak tunagrahita memiliki tantangan dan tuntutan yang berbeda dengan ibu lainnya. Anak tunagrahita memiliki keterbatasan dalam bidang intelektual dan perilaku adaptif yang menghambatnya untuk memahami dan mempelajari sesuatu. Anak memiliki kesulitan untuk menggunakan pengetahuan atau perilaku yang sudah dipelajari untuk suatu tugas ke tugas maupun setting yang lain. Hal ini dikarenakan kurangnya kapasitas mental untuk menyelesaikan masalah dan gangguan dalam hal short – term memory serta working memory. Selain itu, anak tunagrahita juga mengalami keterbatasan dalam hal perilaku adaptif. Anak tunagrahita hampir selalu berada di bawah norma anak – anak seumurnya. Hal ini dikarenakan mereka memiliki keterbatasan yang signifikan atas ketidaktahuan cara untuk melakukan suatu keterampilan, kapan untuk melakukan suatu keterampilan, dan faktor motivasional yang memengaruhi apakah keterampilan dapat dilakukan atau tidak (Schalock et al, 2010). Maka dari itu, anak tunagrahita


(22)

cenderung membutuhkan support dari orang lain dalam kehidupan sehari hari. Salah satu support yang bermanfaat bagi anak tunagrahita adalah yang berasal dari ibu.

Menjadi seorang ibu anak tunagrahita membutuhkan kondisi fisik dan psikis yang prima dalam menghadapi anak. Anak tunagrahita cenderung memiliki energi yang lebih dan sulit untuk diberitahu. Ibu yang merawat anak tunagrahita memerlukan stamina dan energi yang lebih pula untuk membimbing anak dalam mempelajari suatu keterampilan tertentu. Dalam hal kondisi psikologis ibu dituntut untuk bersikap lebih sabar, tekun, dan hangat kepada anak. Dengan keterbatasan yang dimiliki oleh anak tunagrahita terkadang membuat anak membutuhkan waktu yang lebih lama dalam memahami sesuatu. Maka dari itu, ibu anak tunagrahita cenderung membutuhkan usaha dan waktu yang lebih hanya untuk mengajari anak tunagrahita suatu keterampilan sederhana seperti self – help skill (makan, mandi, mengganti baju).

Dengan berbagai tuntutan yang dihadapkan oleh seorang ibu dengan anak tunagrahita, ada kalanya ibu mengalami kesulitan dan kegagalan dalam merawat anaknya. Maka dari itu, ibu membutuhkan kemampuan untuk mengasihi diri sendiri dan menghibur saat ia mengalami kegagalan dalam proses merawat anak tunagrahita tersebut. Kemampuan untuk menghibur diri dan peduli pada diri sendiri ketika mengalami penderitaan, kegagalan, dan ketidaksempurnaan daripada mengkritik diri dengan keras; melihat suatu


(23)

pengalaman sebagai bagian pengalaman manusia secara umum daripada mengisolasi diri sendiri serta memperlakukan pikiran – pikiran dan perasaan – perasaan yang terluka dengan penuh kesadaran daripada terpaku dan membesar – besarkannya disebut sebagai Self – Compassion (Neff, 2003). Self - compassion terdiri dari tiga komponen utama, yaitu self- kindness, a sense of common humanity, dan mindfulness (Neff, 2003b).

Self – Kindness adalah kemampuan untuk memahami dan menerima diri apa adanya serta mentoleransi, menyayangi serta memberikan perhatian, tanpa mengkritik diri sendiri saat menghadapi kegagalan dan ketidaksempurnaan. Ibu dengan anak tunagrahita di SLB – C “X” Bandung yang memiliki self – kindness tinggi dapat memahami dan tetap dapat memandang dirinya sebagai ibu yang baik ketika mengalami kegagalan dalam mengurus anak tunagrahita. Ibu tidak mengkritik kemampuan dirinya dengan keras karena ibu paham bahwa anaknya membutuhkan waktu dan usaha yang lebih untuk memahami sesuatu. Sedangkan ibu dengan anak tunagrahita di SLB – C “X” Bandung yang memiliki derajat self – kindness yang rendah bersikap menilai, menghakimi, dan mengkritik diri bahwa dirinya tidak memiliki kemampuan yang memadai ketika mengalami kesulitan atau kegagalan dalam kehidupannya.

Komponen kedua adalah common humanity yaitu kesadaran individu untuk memandang kesulitan atau kegagalan sebagai bagian dari kehidupan yang harus dijalani dan bukan hanya dialami oleh dirinya sendiri. Ketika ibu


(24)

mengalami kegagalan dalam kehidupannya, ibu tidak memisahkan diri dari lingkungannya. Ibu dapat memandang bahwa kegagalan adalah kejadian yang wajar dan pernah dialami oleh setiap orang. Sedangkan ibu dengan anak tunagrahita di SLB – C “X” Bandung yang memiliki common humanity rendah terpusat pada kegagalannya. Ketika ibu mengalami kegagalan, ia merasa bahwa hanya dirinya yang pernah mengalami kegagalan tersebut sehingga merasa bahwa dirinya orang yang paling malang atau sial.

Komponen terakhir adalah mindfulness, yaitu kemampuan untuk menerima dan menyadari kesalahan, kekurangan, dan kegagalan apa adanya, tanpa melebih – lebihkan kenyataan atau berusaha menghindari kenyataan yang terjadi. Ibu yang memiliki anak tunagrahita di SLB – C “X” Bandung bersedia menerima pikiran, perasaan, dan keadaan sebagaimana adanya ketika mengalami berbagai peristiwa dalam kehidupannya baik itu kegagalan maupun keberhasilan. Ketika ibu mengalami kegagalan, ibu cenderung berusaha untuk berpikir positif dan berpikir bahwa kegagalan tersebut dapat menjadi pembelajaran bagi dirinya serta menjadikan dirinya individu yang lebih kuat dan tegar. Selain itu, ketika mengalami kesuksesan dalam merawat anak tunagrahita, ibu tidak melebih – lebihkan emosi senang dalam dirinya. Sedangkan ibu dengan anak tunagrahita di SLB – C “X” Bandung yang memiliki derajat mindfulness rendah bersikap melebih – lebihkan emosi dalam dirinya sehingga sulit menghayati berbagai peristiwa yang dialaminya. Ketika mengalami kesulitan atau kegagalan dalam merawat anak tunagrahita,


(25)

ibu cenderung mengumbar rasa sedihnya. Ibu “terjebak” dalam rasa sedih dan gagalanya sehingga sulit untuk mencari jalan keluar dari kegagalan tersebut.

Derajat self – compassion dibangun oleh konstelasi dari ketiga komponen tersebut. Satu komponen berhubungan dengan komponen lainnya membangung derajat self – compassion individu. Derajat self – compassion dikatakan tinggi apabila skor ketiga komponen yang membangunnya juga tinggi. Sedangkan derajat self – compassion dikatakan rendah apabila terdapat salah satu skor komponen yang rendah (Neff, 2003).

Ibu yang memiliki derajat self – compassion tinggi mampu untuk memahami dan menerima diri apa adanya ketika menghadapi kegagalan. Mereka juga dapat melihat bahwa peristiwa kegagalan yang dialaminya adalah sesuatu yang wajar dan pernah dialami oleh semua orang. Maka dari itu, ibu juga mampu memandang permasalahan yang terjadi dalam kehidupannya secara lebih objektif dan tidak berlebihan. Sebaliknya ibu yang memiliki derajat self – compassion rendah mengkritik diri dengan keras ketika mengalami kegagalan dalam hidup. Mereka juga menganggap bahwa hanya dirinya-lah yang pernah mengalami kegagalan tersebut sehingga memandang bahwa ia adalah orang yang paling tidak beruntung. Ibu cenderung bereaksi berlebihan ketika menghadapi berbagai peristiwa dalam kehidupannya sehingga sulit untuk belajar dari pengalaman.

Derajat self – compassion individu dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu; jenis kelamin, personality, role of parent dan role of culture. Namun


(26)

pada penelitian ini, faktor jenis kelamin tidak dibahas lebih lanjut karena semua sampel penelitian ini memiliki jenis kelamin yang sama yaitu perempuan.

Faktor pertama yang memengaruhi derajat self – compassion adalah personality. Penelitian menunjukkan bahwa personality dari The Big Five Personality (Extraversion, Agreeableness, Conscientiousness, Neuroticism, dan Openness to Experiences) memiliki hubungan dengan derajat self – compassion individu (Neff, 2003). Self – compassion memiliki keterkaitan yang kuat dengan derajat extraversion, agreeableness, dan conscientiousness yang tinggi serta derajat neuroticism yang rendah. Namun tidak berkaitan dengan derajat openness to experience (Neff, Rude et al., 2007).

Derajat extraversion yang tinggi terlihat dari antusiasme yang tinggi, senang bergaul, dan ramah terhadap orang lain. Dengan hal – hal tersebut, ibu mudah terbuka dengan orang lain seperti bercerita kepada ibu lain ataupun guru di SLB ketika mengalami kegagalan ataupun kesulitan dalam menghadapi anak tunagrahitanya. Ibu tidak memisahkan ataupun mengurung diri dari lingkungan melainkan memiliki banyak informasi dari lingkungan untuk membantunya mengatasi kesulitan tersebut.

Derajat agreeableness yang tinggi pada individu berkaitan dengan derajat self – compassion yang tinggi. Derajat agreeableness yang tinggi pada ibu yang memiliki anak tunagrahita di SLB – C “X” Bandung dapat dilihat dari sikap ibu yang mudah percaya dan setuju dengan orang lain. Ketika ibu


(27)

diberikan saran dan masukan dari orang lain mengenai permasalahannya, ibu dapat menerima dan setuju dengan saran tersebut sehingga ibu tidak bersikap menyalahkan dirinya sendiri.

Derajat conscientiousness yang tinggi pada individu berkaitan dengan derajat self – compassion yang tinggi. Apabila derajat conscientiousness pada ibu yang memiliki anak tunagrahita di SLB – C “X” Bandung tinggi, ibu bersikap, teratur, terencana, dan tekun untuk mencapai tujuan yang ditentukannya. Ketika ibu mengalami kegagalan dalam merawat anak tunagrahita, ibu tidak larut dalam penyesalannya melainkan ibu tetap tekun dan berusaha lebih giat untuk mencoba lagi.

Derajat neuroticism yang tinggi pada individu berkaitan dengan derajat self – compassion yang rendah. Apabila derajat neuroticism ibu yang memiliki anak tunagrahita di SLB – C “X” Bandung tinggi, ia cenderung diwarnai dengan emosi negatif seperti rasa cemas, khawatir, dan rasa tidak aman. Individu ini rentan terhadap sress dan menunjukkan ketidakmampuan untuk mengatasi stress secara adekuat. Dengan emosi – emosi negatif tersebut, ketika mengalami kegagalan ibu kurang dapat melihat permasalahannya dengan objektif dan cenderung “tenggelam” dalam permasalahannya.

Faktor kedua yang memengaruhi derajat self – compassion adalah role of culture. Role of culture adalah seberapa jauh individu menghayati budaya di lingkungan tempat tinggalnya. Dalam hal ini, ibu yang memiliki anak


(28)

tunagrahita di SLB – C “X” Bandung tinggal di Negara Indonesia yang sangat identik dengan budaya ketimuran. Budaya timur yang dianut di Indonesia adalah budaya kolektivistik, yaitu kebersamaan dan bergantung pada orang lain (http://geert-hofstede.com/indonesia.html). Ibu yang

menghayati budaya kolektivistik sebagai bagian dari dirinya, cenderung lebih senang berinteraksi dengan orang lain. Dengan relasi yang luas, ibu dapat membangun kebersamaan dengan orang lain dan memiliki kelompok yang mendukungnya. Maka dari itu, ketika ia mengalami kegagalan ataupun kesulitan, ia tidak memisahkan diri dari lingkungan dan dapat melihat bahwa ada orang lain yang pernah mengalami kegagalan tersebut.

Faktor ketiga yang memengaruhi derajat self – compassion pada ibu yang memiliki anak tunagrahita di SLB – C “X” Bandung adalah role of parent. Faktor ini terdiri dari maternal criticism, attachment, dan modelling. Maternal criticism adalah penghayatan individu terhadap pola asuh orangtuanya yang memberikan kritik dan celaan ketika individu mengalami kegagalan ataupun kesulitan. Kritik yang kuat dari orangtua merujuk pada derajat self - compassion yang rendah. Apabila orangtua dari ibu yang memiliki anak tunagrahita di SLB – C “X” Bandung berusaha mengontrol perilaku ibu dengan memberikan kritik secara terus – menerus, ibu cenderung menampilkan kegelisahan dan terbiasa untuk memotivasi dirinya dengan cara mengkritik dirinya sendiri. Ibu yang menginternalisasi kritik tersebut cenderung mengkritik kemampuan dirinya setiap kali ia mengalami


(29)

kegagalan dalam kehidupannya. Hal ini mengindikasikan self – compassion yang rendah.

Attachment adalah suatu ikatan emosional yang kuat dikembangkan individu pada saat anak – anak, melalui interaksinya dengan orang yang memiliki arti khusus pada kehidupannya, umumnya adalah orangtua. Gilbert (2005) menyatakan bahwa self - compassion muncul dari sistem attachment atau kedekatan. Ibu yang tumbuh dalam lingkungan yang aman dan memiliki hubungan yang saling mendukung dengan orangtua mereka akan memiliki rasa percaya serta dapat mempertahankan hubungan yang akrab dengan orang lain. Ibu cenderung tidak memisahkan diri dan dapat memandang dirinya layak untuk menerima kebaikan. Sebaliknya ibu yang tumbuh pada lingkungan yang tidak aman, stressful, dan mengancam, akan cenderung bersikap lebih dingin, menilai dirinya ketika mengalami kegagalan, serta kurang dapat memercayai orang lain. Individu yang dibesarkan dalam lingkungan yang tidak aman cenderung bersikap lebih dingin dan kritis terhadap dirinya sendiri (Gilbert & Proctor, 2006). Individu kurang dapat bersikap baik pada dirinya sendiri ketika mengalami kegagalan.

Faktor ketiga dalam role of parent adalah modelling, yaitu penghayatan individu terhadap tingkah laku yang dilakukan oleh orangtua pada saat mengalami kegagalan dalam kehidupannya Model orangtua yang suka mengkritik diri sendiri dan melakukan self – judgement ketika ia mengalami kegagalan akan menjadi contoh bagi ibu yang memiliki anak


(30)

tunagrahita di SLB – C “X” Bandung untuk melakukan hal yang sama, seperti mengucapkan kata – kata yang merendahkan diri sendiri saat mengalami kesulitan dalam kehidupannya. Hal ini menunjukkan derajat self – compassion yang rendah. Sedangkan ibu yang memiliki orangtua yang secara aktif menghibur diri dan memberikan pemahaman saat mengalami kegagalan, akan cenderung melakukan hal yang sama pula ketika kesulitan maupun kegagalan menimpa dirinya. Hal ini menunjukkan derajat self – compassion yang tinggi.

Berikut ini adalah bagan kerangka pikir mengenai derajat self compassion pada ibu yang memiliki anak tunagrahita di SLB – C “X” Bandung:


(31)

Bagan 1.1. Kerangka Pikir

Faktor – faktor yang memengaruhi: 1. Personality (Extraversion, Agreeableness, Conscientiousness, Neuroticism, dan Openness to

Experience 2. Role of Culture

3. Role of parent (maternal criticism, modelling, dan attachment)

Tinggi

Rendah Ibu yang memiliki

anak tunagrahita di

SLB –C “X” Bandung

Self – Compassion Self – Kindness vs Self -

Judgement

Common Humanity vs Self -

Isolation

Mindfulness vs Overidentification


(32)

1.6.Asumsi

1. Para ibu yang memiliki anak tunagrahita di SLB – C “X” Bandung membutuhkan self – compassion dalam menjalani kehidupannya dan dalam menghadapi anak tunagrahita.

2. Derajat self - compassion para ibu yang memiliki anak tunagrahita di SLB

–C “X” Kota Bandung ditentukan berdasarkan komponen self – Kindness,

common humanity, dan mindfulness.

3. Para ibu yang memiliki anak tunagrahita di SLB – C “X” Kota Bandung dapat memiliki derajat self - compassion yang berbeda beda.

4. Derajat self – compassion ibu yang memiliki anak tunagrahita di SLB – C

“X” Kota Bandung dikatakan tinggi apabila derajat ketiga komponen yang

membangunnya tinggi pula.

5. Derajat self – compassion ibu yang memiliki anak tunagrahita di SLB – C

“X” Kota Bandung dikatakan rendah apabila ada salah satu derajat dari

ketiga komponen yang rendah atau derajat ketiga komponennya rendah.

6. Derajat self - compassion para ibu yang memiliki anak tunagrahita di SLB

– C “X” Kota Bandung dipengaruhi oleh faktor personality, role of

culture, dan role of parent yang terdiri dari maternal criticism, modelling, attachment.


(33)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Rancangan dan Prosedur Penelitian

Penelitian ini dilakukan menggunakan metode deskriptif dengan teknik survey menggunakan kuesioner. Penelitian deskriptif adalah suatu metode untuk membuat deskripsi, gambaran, atau lukisan secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta – fakta, sifat – sifat serta hubungan antar fenomena yang akan diteliti (Nazir, 2003).

Penelitian ini menggunakan metode survey yaitu metode pengumpulan data dari sejumlah unit atau individu dalam waktu bersamaan yang bertujuan untuk mengetahui gambaran individu tersebut. Pada penelitian ini bertujuan untuk mengetahui derajat Self – compassion ibu yang memiliki anak tunagrahita di SLB - C “X” Bandung.


(34)

3.2. Bagan Prosedur Penelitian

Rancangan penelitian apabila dijelaskan melalui bagan adalah sebagai berikut:

Bagan 3.1. Prosedur Penelitian

3.3. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional 3.3.1. Variabel Penelitian

Variabel yang diukur dalam penelitian ini adalah derajat Self compassion pada ibu yang memiliki anak tunagrahita di SLB - C “X” Bandung.

3.3.2. Definisi Konseptual

Self – compassion merupakan kemampuan untuk menghibur diri dan peduli pada diri sendiri ketika mengalami penderitaan, kegagalan, dan ketidaksempurnaan daripada mengkritik diri dengan keras; melihat suatu pengalaman sebagai bagian pengalaman manusia secara umum daripada mengisolasi diri sendiri serta memperlakukan pikiran – pikiran dan Kuesioner Self -

Compassion

Ibu yang memiliki

anak tunagrahita

di SLB - C “X”Bandung

Derajat Self - Compassion

Tinggi Rendah


(35)

perasaan – perasaan yang terluka dengan penuh kesadaran daripada terpaku dan membesar – besarkannya. Self – compassion terdiri dari tiga komponen utama yaitu Self – kindness, a sense of Common humanity, Mindfulness (Neff, 2003b).

3.3.3. Definisi Operasional

Self – compassion pada ibu yang memiliki anak tunagrahita di SLB - C “X” Bandung adalah kemampuan ibu untuk menghibur diri dan peduli pada diri sendiri ketika mengalami kesulitan; seberapa sering ibu melihat suatu kesulitan sebagai bagian pengalaman manusia secara umum serta memperlakukan pikiran – pikiran dan perasaan – perasaan yang terluka dengan penuh kesadaran. Self – compassion pada ibu yang memiliki anak tunagrahita di SLB - C “X” Bandung tersusun oleh komponen – komponen berikut ini, yaitu:

Self – kindness adalah seberapa sering ibu yang memiliki anak tunagrahita di SLB - C “X” Bandung mampu untuk menerima diri sendiri apa adanya, mentoleransi, menyayangi serta memberikan perhatian, tanpa mengkritik diri sendiri saat menghadapi kegagalan dan ketidaksempurnaan dalam merawat anak tunagrahita.

Common humanity adalah seberapa sering ibu yang memiliki anak tunagrahita di SLB - C “X” Bandung mampu untuk menyadari bahwa


(36)

kegagalan dan ketidaksempurnaan dalam merawat anak tunagrahita merupakan bagian yang dijalani dan dialami semua ibu, bukan hanya dialami oleh dirinya sendiri saja.

Mindfulness adalah seberapa sering ibu yang memiliki anak tunagrahita di SLB - C “X” Bandung mampu untuk menjaga emosi, memandang situasi secara seimbang dan objektif, serta menghadapi kenyataan tanpa menekan atau melebih – lebihkan kegagalan dan ketidaksempurnaan dalam merawat anak tunagrahita.

3.4. Alat Ukur

3.4.1. Alat Ukur Self-Compassion

Alat ukur yang akan digunakan untuk mengukur Self – compassion dikonstruksi oleh Kristin Neff (2003). Kuesioner ini telah diterjemahkan oleh Missiliana R., M. Si., Psikolog. (2012) dalam Bahasa Indonesia.

Alat ukur ini berupa kuesioner yang terdiri dari 26 item untuk mengukur ketiga komponen utama self – compassion, yaitu: Self kindness, Common humanity, dan Mindfulness. Subjek diminta untuk memberikan tanda checklist pada salah satu kolom mulai dari angka satu (1) yang berarti hampir tidak pernah sampai lima (5) yang berarti hampir selalu.


(37)

Tabel 3.1. Kisi – Kisi Alat Ukur

No Komponen Nomor Item

Item Positif Item Negatif

1. Self – kindness 5, 12, 19, 23, 26 1, 8, 11, 16, 21 2. Common humanity 3,7, 10, 15 4,13,18,25 3. Mindfulness 9, 14, 17, 22 2, 6, 20, 24

3.4.2. Sistem Penilaian Alat Ukur

Rata - rata dari total skor tiap komponen Self – compassion akan menunjukkan derajat Self – compassion yang dimiliki ibu yang memiliki anak tunagrahita di SLB - C “X” Bandung, yaitu dengan cara sebagai berikut:

1. Menghitung total skor dari setiap komponen dari seluruh responden dan rata - rata total skor setiap komponen seluruh responden.

2. Membandingkan total skor setiap komponen dari tiap responden dengan rata - rata total skor setiap komponen seluruh responden. Apabila total skor setiap komponen dari responden lebih kecil dari rata - rata total skor setiap komponen, berarti komponen Self – compassion yang dimiliki responden tersebut tergolong rendah. Sedangkan apabila total skor setiap komponen dari setiap responden lebih besar atau sama dengan rata - rata total skor setiap komponen berarti komponen Self – compassion responden tersebut tergolong tinggi.


(38)

3. Kategori derajat Self – compassion dari setiap responden dapat dilihat dari derajat tinggi rendahnya skor setiap komponen yang membangunnya. Self – compassion tergolong tinggi apabila ketiga komponennya tergolong tinggi. Sedangkan derajat Self – compassion tergolong rendah ketika terdapat salah satu skor komponen yang tergolong rendah.

Tabel 3.2. Keterangan Skor Item

Pilihan Jawaban Skor Item (+) Skor Item Negatif (-)

1 = Hampir Tidak Pernah 1 5

2 = Jarang 2 4

3 = Kadang – Kadang 3 3

4 = Sering 4 2

5 = Hampir Selalu 5 1

3.4.3. Data Pribadi dan Data Penunjang

Selain menggunakan alat ukur kuesioner Self – compassion, peneliti juga menggunakan data pribadi yang meliputi data sosiodemografis dari responden yaitu: nama, usia, status marital, tingkat pendidikan terakhir, dan pekerjaan serta identitas anak yaitu: nama, usia, tingkat pendidikan, dan pihak yang mengurus anak. Nama responden dan nama anak akan digunakan untuk mengetahui tingkatan tunagrahita yang dimiliki oleh anak responden.


(39)

Data penunjang dalam penelitian ini mengenai kuesioner faktor – faktor yang memengaruhi self – compassion, yaitu role of parent, role of culture, dan personality.

3.4.4. Validitas dan Reliabilitas 3.4.4.1. Validitas Alat ukur

Uji validitas ditujukan untuk mengetahui apakah alat ukur tersebut telah memilki taraf kesesuaian dan ketepatan dalam melakukan suatu penelitian, atau dengan kata lain apakah alat ukur tersebut sudah benar – benar mengukur apa yang hendak diukur (Moh Nazir, 1999).

Validitas alat ukur telah diukur menggunakan rumus Product Moment Pearson dari 26 item pada 34 ibu yang memiliki anak tunagrahita di SLB – C “X” Bandung. Penelitian tersebut menggunakan kriteria validasi dari Freindenberg (1995) sebagai berikut:

 0,00 – 0,29 : Tidak valid dan item ditolak

 0,30 – 1,00 : Valid dan item diterima

Uji validitas menunjukkan bahwa validitas item berkisar antara 0,318 – 0.772. Dari hasil perhitungan terdapat 26 item yang valid.


(40)

3.4.4.2. Reliabilitas Alat Ukur

Reliabilitas kuesioner self compassion telah menggunakan metode alpha cronbach kemudian dibandingkan dengan kriteria dari Guilford (1956), yaitu sebagai berikut:

0,00 – 0,19 : Reliabilitas sangat rendah 0,20 – 0,39 : Reliabilitas rendah

0,40 – 0,69 : Reliabilitas sedang 0,70 – 0,89 : Reliabilitas tinggi 0,90 – 1,00 : Reliabilitas sangat tinggi

Reliabilitas yang didapat adalah 0.852 yang termasuk kategori realibitas tinggi.

3.5. Populasi

3.5.1. Populasi Sasaran

Populasi dalam penelitian ini adalah ibu yang memiliki anak tunagrahita di SLB - C “X” Bandung sebanyak 34 orang.


(41)

3.6. Teknik Analisis Data

Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menghitung distribusi frekuensi dan tabulasi silang. Cara menghitung distribusi dilakukan dengan membagi frekuensi setiap jawaban responden dengan jumlah keseluruhan responden, kemudian dikalikan seratus persen.

Keterangan:

f = Frekuensi dari jumlah responden yang menjawab N = Jumlah Keseluruhan responden

Setelah didapatkan presentase, maka dilakukan tabulasi silang dengan komponen yang membangun derajat self – compassion dan data penunjang untuk menarik kesimpulan secara induktif.


(42)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai derajat self - compassion pada ibu yang memiliki anak tunagrahita di SLB – C “X” Kota Bandung, diperoleh kesimpulan sebagai berikut:

1. Dari 34 ibu yang memiliki anak tunagrahita di SLB – C “X” Kota Bandung, sebagian besar memiliki derajat self - compassion yang rendah. Sebagian besar ibu memiliki komponen mindfulness yang rendah. Hal ini berarti para ibu sulit untuk menghayati berbagai peristiwa yang terjadi dalam kehidupannya sehingga sulit untuk memandang peristiwa tersebut sebagai sebuah pembelajaran. Maka dari itu, ibu seringkali mengalami kesulitan maupun kegagalan yang serupa dalam menghadapi anak tunagrahita.

2. Terdapat kecenderungan keterkaitan antara derajat self - compassion dengan faktor modelling of parents dan attachment yang merupakan bagian dari faktor role of parents. Individu yang memiliki kedekatan hubungan emosi yang kuat dengan orangtuanya (attachment kuat) cenderung memercayai bahkan meniru tingkah laku yang dilakukan oleh orangtuanya, termasuk tingkah lakunya ketika mengalami kegagalan dalam hidup. Dengan adanya


(43)

attachment yang kuat, individu cenderung meniru tingkah laku orangtuanya yang terbiasa mengkritik diri sendiri ketika mengalami kegagalan dan menyikapi kesulitan yang dialaminya,

3. Terdapat kecenderungan keterkaitan antara derajat self - compassion dengan trait neuroticism, agreeableness, dan conscientiousness dari faktor trait kepribadian. Derajat neuroticism yang tinggi berkaitan dengan self - compassion yang rendah karena individu mudah khawatir dan cenderung bereaksi berlebihan ketika mengalami permasalahan. Derajat agreeableness yang tinggi berkaitan dengan derajat self - compassion yang rendah karena individu mudah percaya dan setuju dengan orang – orang di sekitarnya. Sementara itu, sebagian besar ibu di SLB – C “X” tersebut memiliki derajat self - compassion yang rendah pula. Derajat conscientiousness yang tinggi berkaitan dengan ketekunan dan kehati – hatian individu yang tinggi yang pada tahap berlebihan dapat memunculkan kecenderungan perfeksionis. Individu terbiasa memaksakan dirinya untuk mencapai tujuan dengan cara apapun tanpa mentolelir kesalahan yang dilakukannya.

4. Faktor role of culture dan faktor maternal criticism dari role of parents cenderung tidak memiliki keterkaitan dengan derajat self – compassion.


(44)

5.2 Saran

5.2.1 Saran Teoritis

Peneliti yang berminat melakukan penelitian mengenai derajat self compassion disarankan untuk:

1. Menggunakan sampel penelitian yang lebih luas, misalnya pada SLB – C di seluruh Kota Bandung.

2. Meneliti kontribusi atau korelasional antara faktor – faktor yang memengaruhi self - compassion dengan derajat self - compassion.

5.2.2 Saran Praktis

1. SLB – C ”X” diharapkan dapat mengadakan program seminar parenting kepada para ibu. Dalam seminar ini dapat disampaikan cara pengasuhan yang tepat bagi anak tunagrahita terutama dalam hal menjadi model yang positif bagi anak dan memberi support pada anak ketika mengalami kegagalan dalam kehidupannya. Hal ini dilakukan mengingat faktor modelling dan maternal critism paling berkaitan dengan self compassion.

2. SLB – C “X” diharapkan menyampaikan pemahaman mengenai konsep anak tunagrahita dan melakukan sosialisasi mengenai tujuan pembelajaran serta kompetensi yang dapat dicapai anak dalam setiap jenjang pendidikan


(45)

sehingga ibu tidak bersikap menuntut ataupun membandingkan kondisi anaknya.

3. SLB – C “X” juga dapat memberikan pengarahan dan pembinaan khusus bagi para ibu yang memiliki anak multiple disabilities mengenai pendekatan pada anak sehingga ibu lebih memahami keterbatasan yang dimiliki oleh anaknya dan tidak mengalami kesulitan dalam menghadapi anak.


(46)

DAFTAR PUSTAKA

Allen, A., & Leary, M. R. 2013. A Self-Compassionate Response to Aging. The Gerontologist, doi:10.1093/geront/gns204.

American Psychiatric Association (APA). (2000). Diagnostic and statistical manual of mental disorders (4th ed., rev.). Washington, DC: Author.

Brown, K. W.; Ryan, R. M. (2003). "The Benefits of Being Present: Mindfulness and its Role in Psychological Well-Being". Journal of Personality and Social Psychology 84 (4): 822–848.

Costa, P. T., Jr., & McCrae, R. R. 1992. NEO-PI-R Professional Manual. Odessa, FL: Psychological Assessment Resources.

Eisenberg, N. 2000. “Empathy” Pp. 179 – 182 in Encylopedia of Psychology Vol. 3 ed. Alan E. Kazdin. Washington, D.C.:American Psychological Association.

Fakultas Psikologi UKM. 2009. Pedoman Penelitian Skripsi. Bandung: UKM.

Gilbert, Paul. 2005. Compassion and Cruelty: A Biopsychosocial Approach in Compassion: Conceptualisations, Research and Use in Psychotherapy, ed. Paul Gilbert. London: Routledge.

Gilbert, P., & Procter, S. 2006. Compassionate Mind Training for People with High Shame and Self-Criticism: Overview and Pilot Study of A Group Therapy Approach. Clinical Psychology & Psychotherapy, 13, 353–379.

John Bowlby. (1969). Attachment and Loss. Vol. 1: Attachment (New York: Basic Books).


(47)

Kitayama, S., Markus, H. R., Matsumoto, H., & Norasakkunkit, V. 1997. Individual and Collective Processes in The Construction of The Self: Self-enhancement in The United States and Self-Criticism in Japan. Journal of Personality and Social Psychology, 72,1245-1267.

Marnat, Groth & Lewis, Aiken. 2006. Psychological Testing and Assessment. Michigan: Allyn and Bacon.

Nazir, Moh. 2003. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Neff, K. 2009. The Role of Self – Compassion in Development: A Healthier Way to Relate to Oneself. Journal of Human Development. 52: 211 – 214. Doi: 10.1159/000215071.

Neff, K.D.2011. Self – Compassion: Stop Beating Yourself Up and Leave Insecurity Behind. New York: Harper Collins Publishers.

_______. 2012. The Science of Self – Compassion. In C, Germer & R. Siegel (Eds), Compassion and Wisdom in Psychoterapy, 79 – 92. New York: Guilford Press.

_______. 2004. Self – Compassion and Psychological Well Being Constructivism in The Human Sciencecs, 9, 27 – 37.

_______. (2009) Self-Compassion. In M. R. Leary & R. H. Hoyle (Eds.), Handbook of Individual Differences in Social Behavior (pp. 561-573). New York: Guilford Press.

Neff, K.D., & Beretvas. (in press). The Role of Self – Compassion in Healthy Relationship Interactions.


(48)

Neff, K. D., & Dahm, K. A. (in press). Self-Compassion: What it is, What It Does, And How It Relates to Mindfulness. To appear in in M. Robinson, B. Meier & B. Ostafin (Eds.) Mindfulness and Self-Regulation. New York: Springer.

Neff, K. D. & McGeehee, P. (2010). Self-Compassion and Psychological Resilience Among Adolescents and Young Adults. Self and Identity, 9, 225-240.

Neff, K. D., Pisitsungkagarn, K., & Hseih, Y. (2008). Self-compassion and self-construal in the United States, Thailand, and Taiwan. Journal of Cross-Cultural Psychology, 39, 267-285.

Neff, K. D., & Rude, S. S., & Kirkpatrick, K. 2007. An Examination Of Self-Compassion in Relation to Positive Psychological Functioning and Personality Traits. Journal of Research in Personality, 41, 908-916.

Riasnugrahani, M. 2014. Self – Compassion dan Compassion for Others pada Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha. Repository Universitas Kristen Maranatha.

Santrock, John W. 2004. Life – Span Development Ninth Edition. Mc Graw Hill

Soemantri, S. 2006. Psikologi Anak Luar Biasa. Bandung: PT. Refika Aditama.

Thompson. E.R. 2008. Development & Validation of an International English Big – Five Mini Markers Personality and Individual Differences. (online).


(49)

DAFTAR RUJUKAN

http://geert-hofstede.com/indonesia.html

http://geert-hofstede.com/dimensions.html

http://self-compassion.org/UTserver/pubs/listofpublications70714.htm

Undang – Undang Republik Indonesia tentang Sistem Pendidikan Nasional. 2003. Jakarta.


(1)

Universitas Kristen Maranatha

5.2 Saran

5.2.1 Saran Teoritis

Peneliti yang berminat melakukan penelitian mengenai derajat self compassion disarankan untuk:

1. Menggunakan sampel penelitian yang lebih luas, misalnya pada SLB – C di seluruh Kota Bandung.

2. Meneliti kontribusi atau korelasional antara faktor – faktor yang memengaruhi self - compassion dengan derajat self - compassion.

5.2.2 Saran Praktis

1. SLB – C ”X” diharapkan dapat mengadakan program seminar parenting kepada para ibu. Dalam seminar ini dapat disampaikan cara pengasuhan yang tepat bagi anak tunagrahita terutama dalam hal menjadi model yang positif bagi anak dan memberi support pada anak ketika mengalami kegagalan dalam kehidupannya. Hal ini dilakukan mengingat faktor modelling dan maternal critism paling berkaitan dengan self compassion.

2. SLB – C “X” diharapkan menyampaikan pemahaman mengenai konsep anak tunagrahita dan melakukan sosialisasi mengenai tujuan pembelajaran serta kompetensi yang dapat dicapai anak dalam setiap jenjang pendidikan


(2)

93

Universitas Kristen Maranatha

sehingga ibu tidak bersikap menuntut ataupun membandingkan kondisi anaknya.

3. SLB – C “X” juga dapat memberikan pengarahan dan pembinaan khusus bagi para ibu yang memiliki anak multiple disabilities mengenai pendekatan pada anak sehingga ibu lebih memahami keterbatasan yang dimiliki oleh anaknya dan tidak mengalami kesulitan dalam menghadapi anak.


(3)

94 Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR PUSTAKA

Allen, A., & Leary, M. R. 2013. A Self-Compassionate Response to Aging. The Gerontologist, doi:10.1093/geront/gns204.

American Psychiatric Association (APA). (2000). Diagnostic and statistical manual of mental disorders (4th ed., rev.). Washington, DC: Author.

Brown, K. W.; Ryan, R. M. (2003). "The Benefits of Being Present: Mindfulness and its Role in Psychological Well-Being". Journal of Personality and Social Psychology 84 (4): 822–848.

Costa, P. T., Jr., & McCrae, R. R. 1992. NEO-PI-R Professional Manual. Odessa, FL: Psychological Assessment Resources.

Eisenberg, N. 2000. “Empathy” Pp. 179 – 182 in Encylopedia of Psychology Vol. 3 ed. Alan E. Kazdin. Washington, D.C.:American Psychological Association.

Fakultas Psikologi UKM. 2009. Pedoman Penelitian Skripsi. Bandung: UKM.

Gilbert, Paul. 2005. Compassion and Cruelty: A Biopsychosocial Approach in Compassion: Conceptualisations, Research and Use in Psychotherapy, ed. Paul Gilbert. London: Routledge.

Gilbert, P., & Procter, S. 2006. Compassionate Mind Training for People with High Shame and Self-Criticism: Overview and Pilot Study of A Group Therapy Approach. Clinical Psychology & Psychotherapy, 13, 353–379.

John Bowlby. (1969). Attachment and Loss. Vol. 1: Attachment (New York: Basic Books).


(4)

95

Universitas Kristen Maranatha

Kitayama, S., Markus, H. R., Matsumoto, H., & Norasakkunkit, V. 1997. Individual and Collective Processes in The Construction of The Self: Self-enhancement in The United States and Self-Criticism in Japan. Journal of Personality and Social Psychology, 72,1245-1267.

Marnat, Groth & Lewis, Aiken. 2006. Psychological Testing and Assessment. Michigan: Allyn and Bacon.

Nazir, Moh. 2003. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Neff, K. 2009. The Role of Self – Compassion in Development: A Healthier Way to Relate to Oneself. Journal of Human Development. 52: 211 – 214. Doi: 10.1159/000215071.

Neff, K.D.2011. Self – Compassion: Stop Beating Yourself Up and Leave Insecurity Behind. New York: Harper Collins Publishers.

_______. 2012. The Science of Self – Compassion. In C, Germer & R. Siegel (Eds), Compassion and Wisdom in Psychoterapy, 79 – 92. New York: Guilford Press.

_______. 2004. Self – Compassion and Psychological Well Being Constructivism in The Human Sciencecs, 9, 27 – 37.

_______. (2009) Self-Compassion. In M. R. Leary & R. H. Hoyle (Eds.), Handbook of Individual Differences in Social Behavior (pp. 561-573). New York: Guilford Press.

Neff, K.D., & Beretvas. (in press). The Role of Self – Compassion in Healthy Relationship Interactions.


(5)

Universitas Kristen Maranatha

Neff, K. D., & Dahm, K. A. (in press). Self-Compassion: What it is, What It Does, And How It Relates to Mindfulness. To appear in in M. Robinson, B. Meier & B. Ostafin (Eds.) Mindfulness and Self-Regulation. New York: Springer.

Neff, K. D. & McGeehee, P. (2010). Self-Compassion and Psychological Resilience Among Adolescents and Young Adults. Self and Identity, 9, 225-240.

Neff, K. D., Pisitsungkagarn, K., & Hseih, Y. (2008). Self-compassion and self-construal in the United States, Thailand, and Taiwan. Journal of Cross-Cultural Psychology, 39, 267-285.

Neff, K. D., & Rude, S. S., & Kirkpatrick, K. 2007. An Examination Of Self-Compassion in Relation to Positive Psychological Functioning and Personality Traits. Journal of Research in Personality, 41, 908-916.

Riasnugrahani, M. 2014. Self – Compassion dan Compassion for Others pada Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha. Repository Universitas Kristen Maranatha.

Santrock, John W. 2004. Life – Span Development Ninth Edition. Mc Graw Hill

Soemantri, S. 2006. Psikologi Anak Luar Biasa. Bandung: PT. Refika Aditama.

Thompson. E.R. 2008. Development & Validation of an International English Big – Five Mini Markers Personality and Individual Differences. (online).


(6)

97 Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR RUJUKAN

http://geert-hofstede.com/indonesia.html

http://geert-hofstede.com/dimensions.html

http://self-compassion.org/UTserver/pubs/listofpublications70714.htm

Undang – Undang Republik Indonesia tentang Sistem Pendidikan Nasional. 2003. Jakarta.