BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori - SRI MULYANI BAB II

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori

  1. Teori Keagenan (Agency Theory) Dalam hubungan keagenan, terdapat dua pihak yang melakukan kesepakatan atau kontrak, yakni pihak yang memberikan wewenang atau kekuasaan (prinsipal) dan yang menerima kewenangan (agen). Dalam suatu organisasi hubungan ini berbentuk vertikal, yakni antara pihak atasan (sebagai prinsipal) dan pihak bawahan (sebagai agen). Teori tentang hubungan kedua pihak tersebut popular dikenal sebagai teori keagenan. Hubungan keagenan lebih sering dibahas dalam konteks manajemen perusahaan yang berorientasi bisnis.

  Teori yang menjelaskan hubungan prisipal dan agen ini salah satunya berakar pada teori ekonomi, teori keputusan, sosiologi dan teori organisasi. Teori principal-agen menganalisis susunan kontraktual diantara dua atau lebih individu, kelompok, atau organisasi. Salah satu pihak (prinsipal) membuat suatu kontrak, baik secara implisit maupun eksplisit dengan pihak lain (agen) dengan harapan bahwa agen akan bertindak/melakukan pekerjaan seperti yang diinginkan oleh prinsipal (dalam hal ini terjadi pendelegasian wewenang).

  Dalam organisasi sektor publik, khususnya di pemerintahan pusat dan daerah, secara sadar atau tidak, teori keagenan telah dipraktikkan. Hal ini diperkuat dengan adanya kebijakan otonomi dan desentralisasi yang diberikan kepada pemerintah daerah sejak tahun 1999. Di sana terjadi kekuasaan yang independen (meski tidak 100 persen independen) dalam pemerintahan daerah.Pada hakikatnya, tujuan adanya organisasi sektor publik adalah untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat atas barang atau sumber daya yang digunakan untuk memenuhi hajat hidup orang banyak.

  Dalam mengelola dan mengalokasikan sumber daya ini, pemerintah pusat tidak dapat melakukannya sendirian, maka pemerintah pusat memberikan wewenang kepada pemerintah daerah untuk mengelola sumber daya tersebut dikarenakan pemerintah pusat juga tidak memiliki dana yang cukup untuk alokasi sumber daya. Oleh karena adanya keterbatasan dana tersebut, maka pembuatan anggaran diperlukan sebagai mekanisme yang penting untuk alokasi sumber daya.

2. Teori kontingensi

  Pendekatan kontijensi pada akuntansi didasarkan pada premis bahwa tidak ada sistem akuntansi secara universal selalu tepat untuk bisa diterapkan pada seluruh organisasi dalam setiap keadaan, tetapi dipengaruhijuga olehfaktor-faktor situasional yang ada dalam organisasi (Hanu, 2006). Adopsi teori kontijensi pada akuntansi muncul sebagai suatu kebutuhan untuk menginterpretasikan hasil riset empiris (Hanu, 2006).

  Penelitian yang menggunakan pendekatan kontijensi dilakukan, dengan tujuan mengidentifikasi berbagai variabel kontijensi yang memengaruhi perancangan.Hakikat teori kontijensi adalah tidak ada satu cara terbaik yang bisa digunakan dalam semua keadaan (situasi) lingkungan. Tujuan akhir sebuah organisasi dalam beroperasi menurut Teori Kontijensi adalah agar bisa bertahan (survive) dan bisa tumbuh (growth) atau disebut juga keberlangsungan (viability). Teori kontijensi memberi penekanan pada perlunya memfokuskan pada perubahan dengan asumsi tidak setiap waktu, tempat, semua orang atau semua situasi.Pendekatan kontijensi tersebut memungkinkan adanya variabel-variabel yang dapat bertindak sebagai moderating dan intervening.

3. Kinerja Keuangan Daerah

  Keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka menyelanggarakan pemerintah daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk didalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah tersebut (pasal 1 PP No.58/2005). Hal yang sama dinyatakan oleh Halim

  (2007:23) dalam junarwati dengan menambahkan adanya kepemilikan yang jelas secara peraturan. Keuangan daerah dikelola melalui anggaran daerah, yakni rencana keuangan yang disusun berdasarkan target kinerja yang telah ditetapkan untuk mencapai visi dan misi kepada daerah. Penilaian/pengukuran kinerja terhadap lembaga atau organisasi tidak hanya berlaku pada lembaga atau organisasi yang berorientasi profit saja, melainkan juga perlu dilakukan pada lembaga atau organisasi non komersial. Hal ini dilakukan dengan maksud agar dapat mengetahui sejauh mana pemerintah menjalankan tugasnya dalam roda pemerintahan dalam melaksanakan pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat dengan menyampaikan laporan pertanggungjawaban keuangan

  Menurut Mardiasmo (2004) pengukuran kinerja dilakukan untuk memenuhi tiga maksud. Pertama, dimaksudkan untuk membantu memperbaiki kinerja pemerintah. Pengukuran kinerja dimaksudkan untuk dapat membantu pemerintah berfokus pada tujuan dan sasaran program unit kerja. Hal ini pada akhirnya akan meningkatkan efisiensi dan efektivitas pemerintah daerah dalam pelayanan publik. Kedua, dimaksudkan untuk pengalokasian sumber daya dan pembuatan keputusan. Ketiga, dimaksudkan untuk mewujudkan pertanggungjawaban publik dan memperbaiki komunikasi kelembagaan.

  Beberapa rasio yang dapat dikembangkan berdasarkan data keuangan yang bersumber dari APBD antara lain adalah sebagai berikut:

  a. Rasio Efisiensi Rasio efisiensi adalah rasio yang menggambarkan perbandingan antara besarnya biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh pendapatan dengan realisasi pendapatan yang diterima.

  b. Rasio Efektivitas Rasio efektivitas menggambarkan kemampuan pemerintah daerah dalam merealisasikan Pendapatan Asli Daerah yang direncanakan dibandingkan dengan target yang ditetapkan 4.

   Belanaja Modal

  Belanja modal merupakan salah satu jenis Belanja Langsung dalam APBN/APBD. Menurut Erlinadan Rasdianto (2013) belanja modal adalah pengeluaran anggaran untuk aset tetap berwujud yang memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi.

  Besaran nilai pembelian/pengadaan atau pembangunan aset tetap berwujud dianggarkan dalam belanja modal hanya sebesar harga beli/bangun aset (Permendagri 13 Tahun 2006). Dalam Lampiran

  III PMK No. 101/PMK.02/2011 belanja modal dipergunakan untuk antara lain: belanja modal tanah, belanja modal peralatan dan mesin, belanja modal gedung dan bangunan, belanja modal jalan irigasi dan jaringan, belanja modal lainnya, dan Belanja Modal Badan Layanan Umum (BLU). Secara spesifik sumber pendanaan untuk belanja modal belum ditentukan aturannya. Namun seluruh jenis sumber-sumber penerimaan daerah dapat dialokasikan untuk mendanai belanja daerah diantaranya belanja modal. Sumber- sumber penerimaan daerah (UU Nomor 33 Tahun 2004) yang dapat digunakan sebagai sumber pendaaan belanja daerah berasal dari pendapatan daerah dan pembiayaan. pendapatan daerah bersumber dari: a. Pendapatan Asli Daerah (PAD) yaitu: pajak daerah, retribusi dan lain-lain PAD yang sah b. Dana perimbangan yaitu: dana bagi hasil, dana alokasi umum, dan dana alokasi khusus.

  c. Lain-lain pendapatan yang sah yaitu: hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan, jasa giro, pendapatan bunga, keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, dan komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh daerah.

  Sedangkan Pembiayaan daerah bersumber dari: sisa lebih pembiayaan anggaran daerah, penerimaan pinjaman daerah, dana cadangan daerah, dan hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan.

  Pengalokasi dana yang bersumber dari pendapatan dan pembiayaan daerah kepada belanja daerah ditentukan oleh kebutuhan daerah sendiri atas kebutuhan belanja daerahnya. Pada umumnya sumber dana yang bersumber dari pendapatan asli daerah lebih banyak dialokasikan kepada belanja operasional daerah dan sisanya dialokasikan untuk belanja daerah lainnya diantaranya belanja modal.

   Ukuran Pemerintah Daerah

  Pemerintah daerah ataupun provinsi di Indonesia mempunyai wewenang penuh untuk meningkatkan dan memajukan wilayahnya berdasarkan pendapatan daerah yang dimiliki. Apabila pemerintah daerah (provinsi) masih ketergantungan terhadap pemerintah pusat dengan mengharapkan pencairan anggaran dana perimbangan dari pemerintah pusat, maka hal ini dapat menimbulkan dampak yang negatif terhadap sistem pemerintah juga pelayanan terhadap masyarakat (penduduk) tidak dapat berjalan dengan maksimal karena belanja aparaturnya belum dapat dibiayai oleh diri sendiri oleh pemerintah daerah (provinsi).

  Total pendapatan suatu daerah bersumber dari PAD, Dana Perimbangan dan lain-lain pendapatan daerah yang sah. Semakin banyak pendapatan yang diperoleh menggambarkan bahwa semakin produktif kinerja pemerintah daerah. Ukuran daerah yang besar dalam pemerintah akan memberikan kemudahan kegiatan operasional yang kemudian akan mempermudah dalam memberikan pelayanan masyarakat yang memadai, kemudahan di bidang operasional juga akan memberi kelancaran dalam memperoleh Pendapatan Asli Daerah (PAD) guna kemajuan daerah sebagai bukti peningkatan kinerja (Kusumawardani, 2012).

6. Intergovernmental Revenue

  pelaksanaan desentralisasi, kepada daerah diberikan Dana Perimbangan melalui APBN yang bersifat transfer dengan prinsip

  

money follows functon. Salah satu tujuan pemberian Dana

  Perimbangan tersebut adalah untuk mengurangi kesenjangan fiskal antara pemerintah dengan daerah dan antar daerah, serta meningkatkan kapasitas daerah dalam menggali potensi ekonomi daerah.

  Bagi daerah-daerah yang memiliki sumber daya alam akan memperoleh bagian pendapatan yang jumlahnya lebih besar sedangkan daerah-daerah lainya akan mengutamakan bagian dari Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK).

  Berdasarkan UU No.33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, dana perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dana perimnagan bertujuan mengurangi kesenjangan fiskal antara pemerintah dan pemerintah daerah dan antar pemerintah daerah. Dana perimbangan terdiri atas : a. Dana Bagi Hasil (DBH)

  Dana bagi hasil adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yyang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka prsentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.

  b. Dana Alokasi Umum (DAU) DAU adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. c. Dana Alokasi Khusus (DAK) DAK adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional.

7. Pendapatan Asli Daerah

  Pendapatan asli daerah merupakan semua penerimaan daerah yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah. Pasal 157 Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah menyebutkan bahwa kelompok PAD dipisahkan menjadi empat jenis pandapatan, yaitu:

  a. Hasil pajak daerah, yaitu pungutan yang dilakukan oleh pemerintah daerah berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku ditetapkan melalui peraturan daerah. 1) Jenis pajak daerah Propinsi terdiri dari:

  a) Pajak kenderaan bermotor

  b) Bea balik nama kenderaan bermotor c) Pajak bahan bakar kenderaan bermotor.

  2) Jenis pajak daerah Kabupaten / Kota terdiri dari:

  a) Pajak hotel dan restoran

  b) Pajak hiburan

  c) Pajak reklame d) Pajak penerangan jalan

  e) Pajak pengambilan dan pengelolaan bahan galian golongan C f) Pajak pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan.

  b. Hasil retribusi daerah, yaitu pungutan daerah sebagai pembayaran/pemakaian karena memperoleh jasa yang diberikan oleh daerah atau dengan kata lain retribusi daerah adalah pungutan yang dilakukan sehubungandengan suatu jasa atau fasilitas yang diberikan secara langsung dan nyata.

  Oleh karena itu setiap pungutan yang dilakukan oleh pemerintah daerah senantiasa berdasarkan prestasi dan jasa yang diberikan kepada masyarakat, sehingga keluasan retribusi daerah retribusi sangat berhubungan erat dengan jasa layanan yang diberikan pemerintah kepada yang membutuhkan. Adapun jenis-jenis retribusi terdiri dari: 1) Jenis retribusi daerah untuk Propinsi terdiri dari:

  a) retribusi pelayanan kesehatan

  b) retribusi pemakaian kekayaan daerah

  c) retribusi penggantian biaya cetak peta d) retribusi pengujian kapal perikanan.

  2) Jenis retribusi daerah untuk Kabupaten / Kota terdiri dari:

  a) Retribusi pelayanan kesehatan b) Retribusi pelayan persampahan / kebersihan

  c) Retribusi penggantian biaya cetak KTP

  d) Retribusi penggantian biaya cetak akta catatan sipil

  e) Retribusi pelayanan pemakaman

  f) Retribusi pelayanan pengabuan mayat

  g) Retribusi pelayanan parkir di tepi jalan umum

  h) Retribusi pelayanan pasar i) Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor j) Retribusi Pemeriksaan Alat Pemadam Kebakaran k) Retribusi Penggantian Biaya Cetak Peta l) Retribusi Pengujian Kapal Perikanan m) Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah o) Retribusi Jasa Usaha Tempat Pelelangan p) Retribusi Jasa Usaha Terminal q) Retribusi Jasa Usaha Tempat Khusus Parkir r) Retribusi Jasa Usaha Tempat Penginapan /

  Persenggrahan /Villa s) Retribusi Jasa Usaha Penyedotan Kakus t) Retribusi Jasa Usaha Rumah Potong Hewan u) Retribusi Jasa Usaha Pelayanan Pelabuhan Kapal v) Retribusi Jasa Usaha Tempat Rekreasi dan Olahraga w) Retribusi Jasa Usaha Penyeberangan di atas Air x) Retribusi Jasa Usaha Pengolahan Limbah Cair y) Retribusi Jasa Usaha Penjualan Produksi Usaha Daerah z) Retribusi Izin Mendirikan Bangunan

  c. Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang terpisah, yaitu penerimaan daerah yang berasal dari pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, mencangkup bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik daerah/ BUMD, bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik negara/ BUMN, bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik swasta atau kelompok usaha masyarakat.Jenis pendapatan ini meliputi : 1) bagian laba perusahaan milik daerah 3) bagian laba lembaga keuangan non bank

  d. Lain-lain PAD yang sah sesuai UU No.33 Tahun 2004 disediakan untuk menganggarkan penerimaan daerah yang tidak termasuk dalam jenis Pajak Daerah, Retribusi Daerah, dan Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan dirinci menurut obyek pendapatan yang antara lain : 1) Hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan secara tunai atau angsuran/cicilan 2) Penerimaan Jasa Giro 3) Penerimaan Bunga Deposito

  4) Denda Keterlambatan Pelaksanaan Pekerjaan 5) Penerimaan ganti rugi atas kerugian/kehilangan kekayaan Daerah (TPTGR).

  B. Hasil Penelitian Terdahulu Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu

  No Peneliti & Judul Hasil Penelitian Perbedaan Persamaan Penelitian

  1 Simanullang belanja modal tidak -Periode/ tahun Variabel penelitian intergovern (2013) berpengaruh positif

  mental

  Pengaruh belanja signifikan terhadap

  • Objek revenue dan modal, kinerja satuan kerja peneitian pendapatan

  intergovernmenta perangkat daerah di

  asli daerah

  l revenue dan Provinsi Kepulauan

  • Lama pendapatan asli Riau, penelitian daerah terhadap intergovernmental
  • tidak kinerja keuangan revenue dan PAD menggunakan daerah kota dan berpengaruh positif variabel belanja kabupaten di signifikan terhadap modal provinsi kinerja satuan kerja kepualain riau perangkat daerah di tahun 2008-2012. Provinsi Kepulauan Riau sedangkan secara bersamaan berpengaruh terhadap kinerja keuangan daerah kota dan kabupaten di Provinsi Kepulauan Riau.

  2 Sesotyaningtyas leverage , ukuran -Periode/ tahun Variabel penelitian intergovern (2012) legislatif,

  mental

  pengaruh intergovernmental

  • Objek revenue dan

  leverage , ukuran revenue dan

  peneitian PAD legislatif, pendapatan pajak

  • Tidak menggunakan variabel

  intergovernmenta l revenue dan

  pendapatan pajak daerah terhadap kinerja keuangan pemerintah daerah pada kabupaten/ kota di Pulau Jawa. daerah secara simultan memiliki pengaruh terhadap kinerja keuangan pemerintah daerah berdasarkan rasio efisiensi. Sedangkan secara persial variabel leverage , ukuran legislatif,

  • Lama penelitian

  intergovernmental revenue dan variabel

  pendapatan pajak daerah berpengaruh negatif terhadap kinerja keuangan pemerintah daerah berdasarkan rasio efisiensi kinerja.

  leverage,

  ukuran legislatif

  3 Dhia Wenny (2012) pengaruh pendapatan asli daerah (PAD) terhadap kinerja keuangan pemerintah daerah kabupaten dan kota di Propinsi Sumatera Selatan (2005- 2009).

  PAD secara simultan memiliki pengaruh terhadap keinerja keuangan, namun secara persial pajak daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan dan kekayaan daerah tidak dominan mempengaruhi kinerja keuangan pada pemerintah kabupaten dan kota di Provinsi Sumatera Selatan.

  • Periode/ tahun penelitian
  • Objek peneitian
  • Lama penelitian

  Variabel PAD

  4 Indah puspa (2016) pengaruh ukuran pemerintah daerah, PAD, ukuran pemerintah daerah, PAD dan dana perimbangan berpengaruh positif terhadap kinerja

  • Periode/ tahun penelitian
  • Objek peneitian

  Variabel ukuran pemerintah daerah, PAD dan dana

  • Lama penelitian
  • Tidak menggunakan variabel
  • Periode/ tahun penelitian
  • Objek peneitian
  • Lama penelitian
  • tidak menggunakan variabel belanja modal

  Variabel

  Variabel ukuran pemerintah daerah,

  opini audit BPK tidak berpengaruh positif terhadap kinerja keuangan.

  intergovernmental revenue dan temuan

  opini audit BPK pada kinerja keuangan di kabupaten/ kota se-Bali ukuran pemerintah berpengaruh positif terhadap kinerja keuangan sedangkan kemakmuran,

  intergovernmenta l revenue , temuan

  pendapatan asli daerah (PAD) 6 putu riesty (2016) pengaruh ukuran pemerintah daerah, kemakmuran,

  intergovern mental revenue dan

  berpengaruh positif signifikan terhadap kinerja keuangan, sedangkan PAD berpengaruh positif signifikan terhadap kinerja keuangan.

  intergovernmental revenue tidak

  pendapatan asli daerah (PAD) terhadap kinerja keuangan (2009- 2013) pada kabupaten/ kota di Sumatera Barat. belanja modal,

  intergovernmenta l revenue dan

  5 Tesha febria (2014) pengaruh belanja modal,

  ukuran legislatif perimbanga n

  leverage dan

  perimbangan dan ukuran legislatif terhadap kinerja keuangan pemerintah daerah pada kabupaten/ kota di pulau Sumatera. keuangan pemerintah daerah, sedangkan leverage dan ukuran legislatif tidak berpengaruh positif terhadap kinerja keuangan pemerintah daerah.

  leverage , dana

  • Periode/ tahun penelitian
  • Objek peneitian
  • Lama penelitian
  • variabel temuan opini BPK dan kemakmuran

  intergovern mental revenue

C. Kerangka Pemikiran

  Pendekatan kontijensi akan digunakan dalam penelitian ini, untuk mengevaluasi keefektifan hubungan antara belanja modal dengan kinerja keuangan. Pemerintah Daerah sebagai pemegang amanah (agent) memiliki tujuan utama dalam melaksanakan program kerja yaitu memberikan pelayanan yang terbaik bagi masyarakat sebagai pemberi amanah (principal). Oleh karena itu, diperlukan sumber daya dan fasilitas yang memadai untuk memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakat.

  Intergovernmental revenue hubungan antara pemerintah pusat

  dengan pemerintah daerah yaitu dugaan bahwa terdapat faktor situasional lainnya yang mungkin akan saling berinteraksi di dalam mempengaruhi kondisi tertentu antara pemerintah pusat dengan daerah. masyarakat. Masyarakat sebagai pihak prinsipal telah memberikan sumber daya kepada daerah berupa pembayaran pajak daerah, retribusi dan sebagainya untuk dapat meningkatkan PAD. Pemerintah daerah selaku agen dalam hal ini, sudah seharusnya memberikan timbal balik kepada masyarakat dalam bentuk pelayanan publik yang memadai, yang didanai oleh PAD itu sendiri.

  Kinerja keuangan daerah adalah sebagaimana kemampuan pemerintah daerah untuk menghasilkan keuangan daerah melalui penggalian kekayaan asli daerah yang dikatakan sebagai pendapatan asli daerah yang harus terus menerus dipacu pertumbuhannya oleh pemerintah daerah.

  Berdasarkan kerangka pemikiran tersebut diatas, maka model penelitian yang akan dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut

Tabel 2.2 Model Penelitian

  Belanja Modal (-)

  Ukuran Pemerintah Daerah (-)

  Kinerja Keuangan (-)

  Intergovernmental Revenue

  Daerah (Y) (-)

  PAD D.

   Hipotesis Penelitian

  1) Pengaruh Belanja Modal terhadap Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah

  Dalam PP No. 24 Tahun 2005 disebutkan bahwa belanja modal adalah pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pembelian/ pengadaan aset tetap dan aset lainnya yang mempunyai masa manfaat lebih dari 12 (dua belas bulan). Belanja modal digunakan dalam kegiatan pemerintah, seperti dalam bentuk tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, jaringan, buku perpustakaan dan hewan. Dalam Permendagri No. 13 Tahun 2006, belanja modal didefinisikan sebagai pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pembelian/pengadaan atau pembangunan aset tetap berwujud yang mempunyai nilai manfaat lebih dari 12 (dua belas) bulan untuk digunakan dalam kegiatan pemerintah, seperti dalam bentuk tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, jalan, irigasi, jaringan, dan aset tetap lainnya.

  Sudarsana (2013) menyatakan bahwa belanja modal yang besar merupakan cerminan dari banyaknya infrastruktur dan sarana yang dibangun. Sehingga semakin banyak pembangunan yang sehingga kinerja daerah akan lebih baik. Hal tersebut menunjukan, semakin tinggi belanja modal maka akan semakin tinggi kinerja keuangan yang diukur dari rasio efisiensi. Rasio efisiensi yang semakin tinggi mangidentifikasikan kinerja yang buruk.

  Dalam penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Simanullang (2013) serta penelitian yang dilakukan oleh Tesha (2014) menunjukan hasil bahwa balanja modal berpengaruh negatif terhadap kinerja keuangan. Hal ini menunjukan jika belanja modal tinggi maka kinerja keuangan tinggi, sehingga rasio efisiensi yang dihasilkan akan semakin rendah.

  Berdasarkan penjelasan diatas, maka hipotesis pertama dalam penelitian ini adalah: : Belanja modal berpengaruh negatif signifikan terhadap kinerja keuangan

  2) Pengaruh Ukuran Pemerintah Daerah terhadap Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah

  Sudarsana (2013) menjelaskan tujuan utama dari pemda adalah memberikan pelayanan yang terbaik untuk masyarakat.

  Oleh karena itu, diperlukan sumberdaya dan fasilitas yang memadai untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat.

  Dengan demikian, semakin besar ukuran daerah yang ditandai dengan besarnya jumlah penduduk, maka diharapkan akan semakin tinggi kenerja Pemda tersebut. Sehingga ukuran pemerintah yang besar maka kinerja keuangan semakin tinggi yang diukur dengan rasio efisiensi. Rasio efisiensi yang semakin tinggi mengidentifikasikan kinerja keuangan yang buruk.

  Dalam penelitian yang dilakukan oleh putu (2016) bahwa ukuran pemerintah daerah berpengaruh negatif terhadap kinerja keuangan. Hal ini menunjukan jika ukuran pemerintah daerah besar maka kinerja keuangan semakin tinggi, sehingga rasio efisiensi yang dihasilkan semakin rendah.

  Berdasarkan uraian diatas, maka hipotesis kedua pada penelitian ini adalah : : Ukuran Pemerintah Daerah berpengaruh negatif signifikan terhadap kinerja keuangan pemerintah daerah.

  3) Pengaruh Intergovernmental Revenue terhadap Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah

  Intergovernmental Revenue adalah pendapatan yang

  diterima pemerintah daerah yang berasal dari sumber eksternal dan tidak memerlukan adanya pembayaran kembali (patrick, 2007)

  

Intergovernmental Revenue biasa dikenal dengan dana

  perimbangan, simanullang (2013). Dana perimbangan ini merupakan hasil kebijakan pemerintah pusat di bidang desentralisasi fiskal demi keseimbangan fiskal antara pusat dan daerah, yang terdiri dari Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Dana perimbangan selain dimaksudkan untuk membantu daerah dalam mendanai kewenanganya, juga bertujuan untuk mengurangi ketimpangan sumber pendanaan pemerintah antara pusat dan daerah serta untuk mengurangi kesenjangan pendanaan pemerintah antar daerah.

  Pemberian dana perimbangan ini akan dipantau penggunaanya oleh pemerintah pusat. Oleh karena itu, semakin besar dana perimbangan maka pengawasan dari pemerintah pusat semakin ketat sehingga diharapkan akan membuat pemerintah daerah akan semakin berhati-hati dalam melaksanakan program kerjanya. Hal ini akan mendorong pemerintah daerah untuk meningkatkan kinerjanya sebagai bentuk pertanggungjawaban pengelolaan keuanganya karena sumber keuanganya berasal dari pihak eksternal. semakin besar dana perimbangan maka pengawasan dari pemerintah pusat semakin ketat sehingga diharapkan akan membuat pemerintah daerah akan semakin berhati-hati dalam pelaksanaan program kerjanya. Dengan demikian, semakin besar dana perimbangan akan membuat kinerja keuangan pemerintah daerah semakin baik. Hal ni menunjukan keuangan yang diukur dengan rasio efisiensi. Rasio efisiensi yang semakin tinggi, mengidentifikasikan kinerja yang buruk.

  Dalam penelitian Riesty (2016) dan Tesha (2014) bahwa

  intergovernmental revenue berpengaruh negatif terhadap kinerja

  keuangan. Hal ini menunjukan jika dana perimbangan besar maka kinerja keuangan baik, sehingga rasio efisiensi yang dihasilkan akan semakin rendah.

  Bardasarkan penjelasan diatas, maka hipotesis kedua dalam penelitian ini adalah :

  : Intergovernmental Revenue berpengaruh negatif signifikan terhadap kinerja keuangan 4) Pengaruh PAD terhadap Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah

  Pendapatan asli daerah (PAD) adalah pendapatan yang diperoleh daerah yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan (Undang-Undang No.33 Tahun 2004). PAD merupakan komponen pendapatan daerah yang harus terus dipacu pertumbuhannya. Pemerintah daerah dengan pendapatan yang besar diharapkan mampu memberikan kinerja yang baik. Jika pemerintah daerah dengan aset dan kekayaaan yang besar namun kinerja efensiensinya dinilai masih buruk maka pemerintah daerah tersebut harus intropeksi dan melakukan perbaikan kedepannya. Pemerintah daerah dengan aset dan kekayaan yang besar pasti memiliki tekanan yang lebih besar pula dari masyarakat untuk lebih baik dalam mengelola dan menggunakan segala sumber daya yang dimilikinya itu guna kemajuan daerah (marfiana, 2013).

  Julitawati (2012) menyatakan bahwa kemampuan suatu daerah dalam menggali PAD akan mempengaruhi perkembangan dan pengembangan daerah tersebut. Disamping itu semakin besar kontribusi PAD terhadap APBD, maka akan semakin kecil pula ketergantungan terhadap bantuan pemerintah pusat. Sumarjo

  (2010) menjelaskan bahwa peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan faktor pendukung dari kinerja ekonomi makro.

  Hal tersebut menunjukan, semakin besar PAD maka akan semakin tinggi kinerja keuangan yang diukur dari rasio efisiensi. Rasio efisiensi yang semakin tinggi mangidentifikasikan kinerja yang buruk.

  Dalam penelitian sesotyaningtyas (2012) bahwa PAD berpengaruh negatif terhadap kinerja keuangan. Hal ini menunjukan jika PAD besar maka kinerja keuangan semakin tinggi, sehingga rasio efisiensi yang dihasilkan akan semakin rendah.

  Bardasarkan uraian diatas, maka hipotesis penelitian yang : Pendapatan Asli Daerah berpengaruh negatif signifikan terhadap kinerja keuangan pemerintah daerah.