PEMBELAJARAN MATEMATIKA AKTIF DAN INTERAKTIF DALAM PENGEMBANGAN SIKAP SOSIAL ANAK AUTIS DI SLB FREDOFIOS - UMBY repository

BAB II LANDASAN TEORI A. Pembelajaran Matematika 1. Belajar Belajar merupakan komponen ilmu pendidikan yang berkenaan dengan tujuan

  dan bahan acuan interaksi, baik yang bersifat eksplisit maupun implisit. Kegiatan atau tingkah laku belajar terdiri atas kegiatan psikis dan fisis yang saling bekerjasama secara terpadu dan komprehensif integral. Sejalan dengan itu Komara (2014:1) belajar dapat dipahami sebagai suatu aktivitas yang berusaha dan berlatih supaya mendapat suatu kepandaian.

  Morgan (Thobroni dan Mustofa, 2013:20) belajar adalah setiap perubahan yang relatif menetap dalam tingkah laku yang terjadi sebagai suatu hasil dari latihan atau pengalaman. Sedangkan Travers (Suprijono, 2009:2) berpendapat, belajar adalah proses menghasilkan penyesuaian tingkah laku. Menurut Komara (2014:1), para ahli psikologi dan guru-guru pada umumnya memandang belajar sebagai kelakuan yang berubah, pandangan ini memisahkan pengertian tegas antara pengertian proses belajar dengan kegiatan hapalan.

  Dapat dimengerti belajar merupakan suatu proses perubahan perilaku atau pribadi seseorang berdasarkan praktek atau pengalaman tertentu. Beberapa teori belajar, diantaranya dapat dijelaskan sebagai berikut. Pertama, teori belajar humanistik yang diprakarsai oleh Abraham Maslow dan Carl Rogers termasuk tokoh kunci humanisme. Tujuan utama dari humanisme perkembangan dari aktualisasi diri manusia automomous.

  Beberapa psikologi humanistik melihat bahwa manusia mempunyai keinginan alami untuk berkembang, untuk lebih baik, dan juga belajar. Jadi sekolah harus berhati-hati supaya tidak membunuh insting ini dengan memaksakan anak belajar sebelum mereka siap. Bukan hal yang benar apabila anak dipaksa untuk belajar sesuatu sebelum mereka siap secara fisiologis dan juga punya keinginan.

  Kedua, teori belajar behavioristik (Komara, 2014:7). Menurut teori behavioristik, belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai akibat dari adanya interaksi antara stimulus dan respons. Seseorang dianggap telah belajar sesuatu apabila ia mampu menunjukkan perubahan tingkah laku. Dengan kata lain, belajar merupakan bentuk perubahan yang dialami siswa dalam hal kemampuannya untuk bertingkah laku dengan cara yang baru sebagai hasil interaksi anatara stimulus dan respons. Sedangkan apa yang terjadi diantara stimulus dan respons dianggap tidak penting diperhatikan karena tidak bisa diamati. Faktor lain yang juga dianggap penting oleh aliran behavioristik adalah faktor penguatan (reinforcement) penguatan adalah apa saja yang dapat memperkuat timbulnya respons. Zarkasyi (2017:29) menyatakan teori behavioristik dengan model hubungan stimulus-responnya memposisikan siswa yang belajar sebagai individu yang pasif, tidak kreatif, tidak produktif, serta cenderung mengarah siswa untuk berpikir linier dan konvergen. Behaviorisme merupakan salah satu aliran psikologi yang memandang individu hanya dari sisi fenomena jasmaniah, dan mengabaikan aspek-aspek mental. Dengan kata lain, behaviorisme tidak mengakui adanya kecerdasan, bakat, minat, dan perasaan individu dalam suatu aktivitas belajar.

  Ketiga, Teori Disiplin Mental (Komara, 2014:9). Sebelum abad ke-20 telah berkembang beberapa teori belajar yaitu disiplin mental, teori pengembangan alamiah (natural unfoldment) atau self

  actualization , dan teori apersepsi. Teori belajar ini dikembangkan tanpa

  dilandasi eksperimen, ini berarti dasar orientasinya adalah “filosofi atau spekulatif”. Teori disiplin mental (Plato, Aristoteles) menganggap bahwa dalam belajar mental siswa didisplinkan atau dilatih. Dalam mengajar siswa membaca misalnya, guru pengikut teori ini melatih, “otot-otot” mental siswa.

  Berdasar dari berbagai pandangan sejumlah ahli tersebut mengenai belajar, meskipun diantara para ahli tersebut ada perbedaan mengenai pengertian belajar, namun baik secara ekplisit maupun implisit terdapat kesamaan makna, yaitu dapat dimengerti bahwa belajar merupakan suatu proses perubahan perilaku atau pribadi seseorang berdasarkan praktek atau pengalaman tertentu. Hal tersebut berarti belajar itu membawa perubahan tingkah laku karena pengalaman dan latihan, perubahan itu pada pokoknya hal yang disengaja.

2. Pembelajaran

  Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Komara (2014:30), pembelajaran merupakan bantuan yang diberikan pendidik agar dapat terjadi proses perolehan ilmu dan pengetahuan, penguasaan kemahiran dan tabiat, serta pembentukan sikap dan kepercayaan pada peserta didik.

  Menururt Kimble dan Garmezy (Pringgawidagda, 2002:20) pembelajaran adalah suatu perubahan perilaku yang relatif tetap dan merupakan hasil praktik yang diulang-ulang. Sedangkan Rombepajung (Thobroni dan Mustofa, 2013:18) berpendapat bahwa pembelajaran adalah pemerolehan suatu mata pembelajaran atau pemerolehan suatu keterampilan melalui pelajaran, pengalaman, atau pengajaran. Dalam pendekatan sistem, pembelajaran merupakan suatu kesatuan dari komponen-komponen pembelajaran yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lain, karena satu sama lain saling mendukung. Komponen-komponen tersebut dapat menunjang kualitas pembelajaran.

  Pembelajaran sebagai suatu sistem yang komponen-komponennya terdiri dari: (1) siswa; (2) guru; (3) tujuan; (4) materi; (5) metode; (6) sarana/alat; (7) evaluasi; (8) lingkungan/konteks. Masing-masing komponen itu sebagai bagian yang berdiri sendiri, namun dalam berproses di kesatuan sistem mereka saling bergantung dan bersama-sama untuk mencapai tujuan. komponen-komponen pembelajaran dapat dijabarkan sebagai berikut (Komara, 2014:35-37).

  a.

  Siswa adalah individu yang unik, mereka merupakan kesatuan psiko-fisis yang secara sosiologis berinteraksi berinterakai dengan teman sebaya, guru, pengelola sekolah, pegawai administrasi, dan masyarakat pada umumnya. Potensi dan kemampuan inilah yang harus dikembangkan oleh guru.

  b.

  Guru memiliki peran yang sangat penting dalam proses belajar mengajar.

  Menurut Usman ada 4 peran guru dalam pembelajaran, yaitu (1) sebagai demonstrator, lecturer (pengajar), (2) sebagai pengelola kelas, (3) sebagai mediator dan fasilitator, dan (4) sebagai motivator.

  c.

  Tujuan meliputi mulai dari tujuan pendidikan nasional, tujuan institusional, tujuan kurikuler, tujuan umum pembelajaran sampai tujuan khusus pembelajaran. Proses pembelajaran tanpa tujuan bagaikan hidup tanpa arah. Tujuan disusun berdasarkan ciri karakteristik anak dan arah yang ingin dicapai. Tujuan belajar adalah sejumlah hasil belajar yang menunjukkan bahwa siswa telah melakukan perbuatan belajar, yang umumnya meliputi pengetahuan, keterampilan dan sikap-sikap yang baru yang diharapkan tercapai oleh siswa. d.

  Materi pembelajaran dalam arti luas tidak hanya yang tertuang dalam buku paket yang diwajibkan, akan tetapi mencakup keseluruhan materi pembelajaran. Semua materi pembelajaran harus diorganisasikan secara sistematis agar mudah dipahami oleh anak. Materi disusun berdasarkan tujuan dan karakteristik siswa.

  e.

  Metode mengajar merupakan cara atau teknik penyampaian materi pembelajaran yang harus dikuasai oleh guru. Metode mengajar ditetapkan berdasarkan tujuan dan materi pembelajaran, serta karakteristik anak. Agar pembelajaran lebih mudah dipahami oleh siswa, maka dalam proses belajar mengajar digunakan alat pembelajaran. Alat pembelajaran dapat berupa benda yang sesungguhnya, imitasi, gambar, bagan, grafik, tabulasi, dan sebagainya yang dituangkan dalam media.

  f.

  Evaluasi dapat digunakan untuk menyusun graduasi kemampuan anak didik, sehingga ada penanda simbolik yang dilaporkan kepada semua pihak. Evaluasi dilaksanakan secara komprehansif, obyektif, kooperatif dan efektif. Evaluasi dilaksanakan berpedoman pada tujuan dan materi pembelajaran.

  g.

  Lingkungan pembelajaran merupakan komponen proses belajar mengajar yang sangat penting demi suksesnya belajar siswa. Lingkungan ini mencakup lingkungan fisik, lingkungan sosial, lingkungan alam, dan lingkungan psikologis pada waktu proses belajar mengajar berlangsung.

  Dapat dimengerti pembelajaran adalah proses interaksi kegiatan belajar atau proses perolehan ilmu dan pengetahuan ataupun pembentukan sikap dan kepercayaan pada sebagai suatu sistem yang komponen-komponennya terdiri dari: siswa, guru, tujuan, materi, metode, sarana/alat, evaluasi, dan lingkungan/konteks.

  Masing-masing komponen itu sebagai bagian yang berdiri sendiri, namun dalam berproses di kesatuan sistem mereka saling bergantung dan bersama-sama untuk mencapai tujuan yang diharapkan.

3. Matematika

  Matematika berasal dari perkataan latin mathematica, yang mulanya diambil dari perkataan Yunani, matematike , yang berarti “relating to learning”. Perkataan ini mempunyai akar kata mathema yang berarti knowledge, science (pengetahuan, ilmu). Hudojo (2003:36) mengemukakan bahwa matematika itu berkenaan dengan gagasan berstruktur yang hubungan-hubungannya diatur secara logis. Ini berarti matematika bersifat sangat abstrak. Yaitu berkenaan dengan konsep-konsep abstrak dan penalaran deduktif.

  Menurut James dan James (Suherman, 2003:19), matematika adalah ilmu tentang logika mengenai bentuk, susunan, besaran, dan konsep-konsep yang berhubungan satu dengan yang lain dengan jumlah yang banyak yang terbagi ke dalam tiga bidang, yaitu aljabar, analisis dan geometri. Sedangkan Russefendi (Heruman, 2012:1) mengemukakan bahwa matematika adalah bahasa simbol, ilmu deduktif yang menolak pembuktian secara induktif, ilmu tentang pola keteraturan dan struktur yang teroganisasi. Hakikat matematika yaitu memiliki objek tujuan yang abstrak, bertumpu pada kesepakatan, dan pola pikir yang deduktif (Soedjadi, 2000:1).

  Menurut Ruseffendi (Suherman, 2003:16): Matematika terbentuk sebagai hasil pemikiran manusia berhubungan dengan ide, proses dan penalaran. Pada tahap awal matematika terbentuk dari pengalaman manusia dalam dunianya secara empiris, karena matematika sebagai aktivitas manusia kemudian pengalaman itu diproses dalam dunia rasio, diolah secara analisis dan sintesis dengan penalaran di dalam struktur kognitif sehingga sampailah pada suatu kesimpulan berupa konsep-konsep matematika. Agar konsep-konsep matematika yang telah terbentuk itu dapat dipahami dan dapat dengan mudah dimanipulasi secara tepat, maka digunakan notasi dan istilah yang disepakati bersama secara global (universal) yang dikenal dengan istilah matematika.

  Berdasarkan pendapat para ilmuwan tersebut, dapat disimpulkan bahwa matematika adalah ilmu pengetahuan yang terorganisasi secara sistematis dan mencakup penalaran atau logika, bilangan, aljabar, geometri, yang mana menggunakan metode deduktif dalam pembuktian kebenarannya, serta dapat membantu mempelajari ilmu bidang lain. konsep matematika menggunakan notasi dan istilah yang disepakati bersama secara global.

  Pembelajaran merupakan proses interaksi kegiatan belajar atau proses perolehan ilmu dan pengetahuan ataupun pembentukan sikap dan kepercayaan.

  Dan matematika adalah ilmu pengetahuan yang terorganisasi secara sistematis dan mencakup penalaran atau logika. Maka pembelajaran matematika dapat diartikan proses interaksi kegiatan belajar atau proses perolehan ilmu dan pengetahuan yang terorganisasi secara sistematis dan mencakup penalaran atau logika.

  Pembelajaran matematika menurut Bruner (Hudoyo, 2003:56) adalah belajar tentang konsep dan struktur matematika yang terdapat dalam materi yang dipelajari serta mencari hubungan antara konsep dan struktur matematika di dalamnya. Suherman (2003:55) mengemukakan bahwa dalam pembelajaran matematika para siswa dibiasakan untuk memperoleh pemahaman melalui pengalaman tentang sifat-sifat yang dimiliki dan yang tidak dimiliki dari sekumpulan objek.

  Menurut Cobb (Suherman, 2003:71) pembelajaran matematika sebagai proses pembelajaran yang melibatkan siswa secara aktif mengkonstruksi pengetahuan matematika. Hakikat pembelajaran matematika adalah proses yang sengaja dirancang dengan tujuan untuk menciptakan suasana lingkungan yang memungkinkan seseorang (si pelajar) melaksanakan kegiatan belajar matematika dan pembelajaran matematika harus memberikan peluang kepada siswa untuk berusaha dan mencari pengalaman tentang matematika.

B. Pembelajaran Matematika Aktif

  Aktif maksudnya melakukan aktifitas. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), aktif diartikan giat (bekerja, berusaha), mampu beraksi dan bereaksi. Kemudian pembelajaran aktif secara sederhana didefinisikan oleh Warsono (2016:12) sebagai metode pengajaran yang melibatkan siswa secara aktif dalam proses pembelajaran. Pembelajaran aktif mengkondisikan agar siswa selalu melakukan pengalaman belajar yang bermakna dan senantiasa berfikir tentang apa yang dapat dilakukannya selama proses pembelajaran.

  Hornby (Syah dan Kariadinata, 2009:13) mengatakan secara harfiah pembelajaran aktif adalah “in the habit of doing things, energetic”, maksudnya :

  Terbiasa berbuat segala hal dengan menggunakan segala daya. Pembelajaran yang aktif berarti pembelajaran yang memerlukan keaktifan semua siswa dan guru secara fisik, mental, emosional, bahkan moral dan spiritual. Guru harus menciptakan suasana sedemikian rupa sehingga siswa aktif bertanya, membangun gagasan, dan melakukan kegiatan yang dapat memberikan pengalaman langsung, sehingga belajar merupakan proses aktif siswa dalam membangun pengetahuannya sendiri.

  Dapat dimengerti dari beberapa pendapat mengenai pembelajaran aktif, merupakan pembelajaran atau proses belajar siswa yang secara energik, melakukan aktifitas bermakna dan senantiasa berfikir untuk membangun pengetahuannya. Di sini siswa atau peserta didik adalah pusat dari pembelajaran tersebut, sedangkan guru atau pendidik hanya sebagai fasilitator, seorang pendamping yang memfasilitasi pembelajaran tersebut, mulai dari menciptakan suasana belajar hingga siswa mampu membangun gagasannya.

  Menurut Charles C. Bonwell dan J.A Eison (Warsono, 2016:14) seluruh bentuk pengajaran yang berfokus kepada siswa sebagai penanggung jawab pembelajaran adalah pembelajaran aktif. Jadi, menurut kedua ahli tersebut, pembelajaran aktif mengacu kepada pembelajaran berbasis siswa (student-

  centered learning ).

1. Konsep Pembelajaran Aktif

  Membahas tentang definisi pembelajaran aktif, maka harus pula mengenal konsepnya. Konsep pembelajaran aktif berkembang setelah sejumlah institusi melakukan riset tentang lamanya ingatan siswa terhadap materi pembelajaran yang dipergunakan. Hasil riset dari National Training Laboratories tahun 1954 di Bethel, Maine, Amerika Serikat. Menunjukkan bahwa dalam kelompok belajar berbasis guru (teacher-centeral learning) mulai dari ceramah, tugas membaca, presentasi guru dengan audiovisual dan bahkan demonstrasi oleh guru, siswa hanya dapat mengingat materi pembelajaran maksimal sebesar 30%.

  Dalam pembelajaran dengan metode diskusi yang tidak didominasi guru (bukan diskusi kelas, whole class discussion, dan guru sebagai pemimpin diskusi), siswa dapat mengingat sebanyak 50%. Jika para siswa diberi kesempatan melakukan sesuatu (doing something) mereka dapat mengingat 75%. Edgar Dale (Warsono, 2016:13) dalam hubungan hal di atas memaparkan hasil temuan penelitiannya pada tabel 2.1.

Tabel 2.1 Ingatan Terhadap Pembelajaran Dikaitkan dengan Jenis Presentasi

  Kemampuan Mengingat Presentasi Setelah Setelah 3 jam 3 hari

  Ceramah 25% 10-20%

  Tertulis (membaca) 72% 10% Visual dan verbal (pengajaran memakai

  80% 65% ilustrasi) Partisipatori (bermain peran, studi kasus,

  90% 70% praktik) Jika melihat hasil penelitian Dale tersebut, presentasi visual dan verbal, maupun Partisipator, siswa mampu mengingat lebih baik, terlihat dalam persentase hasil. Terkait dengan konsep melakukan (doing), Joyce Shower (Warsono, 2016:14) dalam Journal of Education menyatakan antara lain tertera dalam tabel yang telah diadaptasi berikut ini.

Tabel 2.2 Transfer Pembelajaran dari Instruktur kepada Siswa

  Keterampilan yang Transfer ke Dunia Komponen Pelatihan Diperoleh Kerja

  Teori + 10-20% 5-10% Demonstrasi + 30-35% 5-10% Praktik + 60-70% 5-10% Umpan Balik + 70-80% 10-20% Pelatihan 80-90% 80-90%

  Terlihat dari hasil temuan Joyce dan Showers tersebut betapa bermaknanya

  

doing dengan pelatihan, baik dalam pembentukan keterampilan maupun

  kebermaknaan dalam transfernya di dunia kerja. Dengan melakukan sesuatu dalam pelatihan, kemungkinan transfernya meningkat sekitar 4 (empat) kali lipat.

2. Metode Pembelajaran Aktif

  Metode pembelajaran dapat diartikan cara atau pola yang khas dalam memanfaatkan berbagai teknik dan sumber belajar. Maka metode pembelajaran aktif merupakan cara memanfaatkan teknik dan sumber belajar untuk membuat kegiatan belajar secara aktif.

  Perlu dipahami kontinum pemikiran mulai dari pendekatan pembelajaran, strategi pembelajaran, metode, model pembelajaran, serta teknik pembelajaran.

  Suyono dan Hariyanto (Warsono, 2016:34) mencoba menyampaikan urutan logis berbagai terminologi sebagai dinyatakannya dalam tebel berikut.

Tabel 2.3 Ikhtiar Terminologi Pembelajaran (Warsono, 2016:35-36)

  No Terminologi Deskripsi Contoh Ket

  1 Pendekatan pembelajaran Latar pedagogis dan psikologis yang dilandasi filosofi pendidikan tertentu yang dipilih agar tujuan pembelajaran dapat tercapai atau dapat didekati secara optimal

  Pendekatan CBSA, pendekatan keterampilan proses, pendekatan saling lepas (sains, lingkungan teknologi, dan masyarakat), pendekatan kontekstual

  Filosofi yang digunakan adalah konstruktiv isme dengan implement asi student-

  based learning

  No Terminologi Deskripsi Contoh Ket

  2 Strategi Rangkaian Colin Marsh pembelajaran kegiatan terkait hanya dengan menetapkan dua pengelolaan macam strategi, siswa, yakni teacher- pengelolaan centered dan lingkungan student-centered belajar, pengelolaan sumber belajar, dan penilaian untuk mencapai tujuan pembelajaran

  3 Metode Langkah- Metode Colin Marsh pembelajaran langkah atau eksperimen, menganggap prosedur metode diskusi, pengertian pembelajaran metode metode termasuk karyawisata, pembelajaran penilaian, dalam metode proyek, sama saja rencana metode dengan pembelajaran pembelajaran strategi agar tujuan kooperatif pembelajaran pembelajaran tercapai

  No Terminologi Deskripsi Contoh Ket

  4 Model Model yang pembelajaran dipilih dalam pembelajaran untuk mencapai tujuan pem- belajaran dan dilaksanakan dengan suatu sintaks (langkah- langkah yang sistematis dan urut) tertentu*

  5 Teknik Implementasi Teknik Merupakan pembelajaran metode pem- percobaan penjabaran belajaran yang berujung terbuka dari strategi secara nyata pada metode pembelajaran berlangsung di eksperimen dalam kelas, (open-ended merupakan kiat experiment ), atau taktik untuk teknik deduktif, mencapai tujuan teknik induktif* pembelajaran

  Catatan: sampai saat ini memang tidak ada istilah yang baku dan dianut di seluruh dunia sehingga penerapan istilah itu dalam sejumlah sumber sering dianggap sama atau dipertukarkan. Sumber lain ada yang menyebutnya sebagai strategi induktif dan strategi deduktif ada pula yang menyebutkannya sebagai model induktif dan model deduktif.

  Variasi pokok metode pembelajaran aktif, menurut Michael Prince (Warsono, 2016:15-16) diwujudkan dalam pembelajaran kolaboratif, pembelajaran kooperatif, pembelajaran berbasis masalah dan proyek (PBL dan PjBL). Dapat dilihat pada gambar 2.1. Dan t erdapat kontinum mulai dari pendekatan, menuju strategi kemudian menuju ke metode, dapat dimodifikasi dapat dilihat pada gambar 2.2.

  Aktif Individual Non

  Pembelajaran Kerjasama: aktif kolaboratif,

  Kolaboratif kooperatif, PBL, dan PjBL

Gambar 2.1 Klasifikasi Pembelajaran Aktif

  Klasifikasi pembelajaran aktif pada gambar menunjukan terdapat dua jenis pembelajaran aktif. Pertama, non kolaboratif mencirikan pembelajaran individual.

  Siswa belajar aktif dengan secara individu. Sedangkan yang kedua, kolaboratif lebih menekan pada jenis pembelajaran bersama. Terdapat beberapa jenis dengan pembelajaran kolaboratif, diantaranya: metode kooperatif, PBL, dan PjBL.

  Pendekatan Strategi Metode

Gambar 2.2 Kontinum Pembelajaran Aktif

  Jumlah siswa dalam pembelajaran aktif bebas, boleh perseorangan atau kelompok belajar, yang penting siswa harus aktif, sedangkan manifestasinya dalam pembelajaran berkelompok dapat diwujudkan dengan metode pembelajaran kolaboratif, pembelajaran kooperatif, pembelajaran berbasis masalah, dan pembelajaran berbasis proyek. Oleh sebab itu, tidak ada sintaks (urutan) khusus pembelajaran aktif, bergantung pada metode yang dipilih lebih lanjut.

3. Teknik Pembelajaran Aktif

  Teknik pembelajaran aktif secara garis besar terbagi menjadi dua, yaitu aktif non kolaboratif dan aktif kolaboratif. Dalam hal ini, peneliti hanya akan membahas teknik pembelajaran aktif non kolaboratif. Teknik pembelajaran aktif individual (non kolaboratif) menurut Donald R. Paulson dan Jennifer L. Faust (Warsono, 2016:34) dapat diterapkan dengan mudah karena misalnya saja tidak memerlukan pengaturan kembali ruang kelas, atau pengaturan terhadap aliran proses pembelajaran yang sedang berlangsung. Teknik-teknik ini jika diimplementasikan, pemahaman dan adaya ingat para siswa terhadap materi ajar akan lebih baik. Teknik-teknik pembelajaran aktif bergantung kepada skenario pembelajaran yang dirancang oleh guru.

  Berbagai teknik ini merupakan teknik pembelajaran yang secara umum tidak memerlukan waktu yang lama, sampai menghabiskan satu jam tatap muka. Oleh sebab itu pada implementasinya, guru dapat saja menggabungkan berbagai teknik ini dalam suatu kesempatan pembelajaran. Berikut teknik-teknik pembelajaran aktif individu (Warsono, 2016:36-37): a.

  Teknik pembelajaran kertas satu menit (One minute paper). Teknik ini aslinya dikembangkan oleh Spencer Kagan dan diterapkan dalam pembelajaran kooperatif. Teknik pembelajaran ini merupakan teknik yang sangat efektif untuk mengukur kemajuan pembelajaran, baik kemajuan dalam pemahaman terhadap bahan ajar maupun kemajuan dalam melakukan tanggapan terhadap bahan ajar. Guru meminta siswa mengeluarkan kertas kosong, lalu memberikan pertanyaan yang akan dijawab oleh siswa dengan waktu satu menit.

  b.

  Teknik pembelajaran butir terjelas (Clearest point). Teknik ini adalah variasi dari teknik one minute paper, teknik ini memberikan waktu yang lebih longgar (relatif lebih lama).

  c.

  Teknik pembelajaran tanggapan aktif (Active response). Teknik ini mirip dengan kedua teknik di atas. Siswa akan diminta untuk memberi tanggapan mengenai pembelajaran yang telah berlangsung sebelumnya.

4. Langkah-langkah Pembelajaran Aktif

  Terdapat lima macam langkah-langkah (steps) pembelajaran atau sintaks

  Direct Instruction (Warsono, 2016:27-29): a.

  Siegfried Engelmann menyatakan 6 langkah pembelajaran sebagai berikut. 1) Introduksi atau mengulang kembali (Introduction or Review). 2) Pengembangan (Development). 3) Latihan terbimbing (Guided practice). 4) Simpulan (Closure). 5) Latihan mandiri (Independent practice). 6) Evaluasi (Evaluation).

  b.

  Joyce, Weil dan Calhoun menyatakan langkah-langkah Direct Instruction sebagai berikut.

  1) Orientasi (Orientation). 2) Presentasi (Presentation).

  3) Latihan terstruktur (Structured practice). 4) Latihan terbimbing (Guided practice). 5) Latihan mandiri (Independent practice).

  c.

  Eggen dan Kauchak menampilkan fase pembelajaran (keduanya tidak menyebutkan sintaks) Direct Instruction lebih sederhana, yaitu.

  1) Introduksi (Introduction). 2) Presentasi (Presentation). 3) Latihan terbimbing (Guided practice). 4) Latihan mandiri (Independent practice).

  d.

  Arens sepertinya yang banyak dijadikan referensi di Indonesia, berpendapat sintaks Direct Instruction adalah sebagai berikut.

  1) Merumuskan tujuan pembelajaran dan menyiapkan siswa untuk siap belajar.

  2) Mendemonstrasikan pengetahuan atau keterampilan. 3) Menyediakan latihan terbimbing. 4) Mengontrol pemahaman dan memberikan umpan balik. 5)

  Menyiapkan latihan yang diperluas dan transfer ke dalam situasi yang lebih kompleks dan kehidupan nyata.

  e.

  Menurut Martin A. Kozloff et.al Direct Instruction sebagai berikut. 1)

  Melakukan telaah dan pemeriksaan kembali terhadap karya/ pembelajaran terdahulu.

  2) Melakukan presentasi bahan-bahan ajar dalam satuan-satuan pembelajaran kecil-kecil.

  3) Mempersiapkan panduan bagi praktik pembelajaran. 4) Memberikan umpan balik dan koreksi-koreksi yang relevan. 5) Melakukan supervisi secara bebas terhadap para siswa. 6)

  Melakukan telaah terhadap konsep-konsep pada setiap minggu atau setiap bulan.

  Artikulasi wacana di atas adalah suatu sintaks untuk metode atau model pembelajaran yang sama dapat berbeda-beda bergantung kepada para ahli yang mengemukakannya. Dengan kata lain, perlu ditegaskan bahwa suatu sintaks yang diungkapakan oleh seorang pakar tidak harus diikuti karena bersifat subjektif.

C. Pembelajaran Matematika Interaktif

  Interaktif menurut KBBI adalah bersifat saling melakukan aksi, antar- hubungan, dan atau saling aktif. Komara (2014:42) mendefinisikan pembelajaran interaktif adalah suatu cara atau teknik pembelajaran yang digunakan oleh guru pada saat menyajikan bahan pembelajaran dimana guru pemeran utama dalam menciptakan situasi interaktif yang edukatif, yakni interaksi antara guru dengan siswa, siswa dengan siswa dan dengan sumber pembelajaran dalam menunjang tercapainya tujuan belajar.

  Pembelajaran interaktif menurut Dimyati dan Mudjiono (Komara, 2014:67) adalah kegiatan guru secara terprogram dalam desain instruksional, untuk membuat siswa belajar secara aktif, yang menekan pada penyediaan sumber belajar. Margaretha (Majid, 2014:84) berpendapat pembelajaran ini menitik beratkan pada pertanyaan siswa, maksudnya siswa sebagai pusat pembelajaran mengali pertanyaan-pertanyaan mereka sendiri.

  Pembelajaran matematika aktif merupakan pembelajaran matematika menggunakan model pembelajaran aktif. Serupa dengan hal tersebut, maka pembelajaran matematika interaktif yang dimaksud di sini adalah pembelajaran matematika yang menggunakan model pembelajaran interaktif.

1. Karakteristik Pembelajaran Interaktif

  Pembelajaran interaktif mempunyai 2 (dua) karakteristik seperti dijelaskan oleh Sagala (Komara, 2014:67-68), yaitu: (1) dalam proses pembelajaran melibatkan proses mental siswa secara maksimal, bukan hanya menuntut siswa sekedar mencatat, akan tetapi menghendaki aktivitas dalam proses berpikir; (2) dalam pembelajaran membangun suasana dialogis dan proses tanya jawab terus menerus yang diarahkan untuk memperbaiki dan meningkatkan kemampuan siswa untuk memperoleh pengetahuan yang mereka konstruksi sendiri.

  Djamarah (2000:194) berpendapat karakteristik pembelajaran ini dipisah menurut jenisnya, anatara lain: (1) metode interaktif ceramah. Proses pembelajaran dikuasai oleh guru, dan jika dilakukan dalam durasi yang lama, siswa akan merasa jenuh; (2) metode eksperimen. Siswa cenderung aktif, biasanya akan dibentuk beberapa kelompok dalam proses pembelajarannya; (3) metode interaktif diskusi. Pembelajaran dilakukan dengan berdiskusi dan memberikan alternatif jawaban pada suatu masalah; (4) metode interaktif multimedia. Terdapat media yang berbasis multimedia dalam proses pembelajaran. Siswa tidak akan cepat bosan karena multimedia ini biasanya dikemas dalam bentuk video game.

  2. Syarat Pembelajaran Interaktif Syarat model pembelajaran interaktif dikemukakan oleh Ahmad Sabri

  (2005:40), antara lain: (1) dapat membangkitkan motivasi, minat atau gairah belajar siswa, (2) dapat meransang keinginan siswa untuk belajar lebih lanjut, (3) dapat memberikan kesempatan bagi siswa untuk memberikan tanggapannya terhadap materi yang disampaikan, (4) dapat menjamin perkembangan kegiatan kepribadian siswa, (5) dapat mendidik siswa dalam teknik belajar sendiri dan cara memperoleh pengetahuan melalui usaha pribadi, (6) dapat menanamkan dan mengembangkan nilai-nilai dan sikap siswa dalam kehidupan sehari-hari.

  Menurut Balen (Komara, 2014:42), pengembangan keterampilan yang harus dimiliki siswa adalah keterampilan berpikir, keterampilan sosial dan keterampilan praktis. Ketiga keterampilan tersebut dapat dikembangkan dalam situasi belajar mengajar yang interaktif antara guru dengan siswa dan siswa dengan siswa.

  Komara (2014:42) menyebutkan peran guru merupakan hubungan erat dengan cara mengaktifkan siswa dalam hal belajar, terutama dalam proses pengembangan keterampilan tersebut.

  3. Metode Pembelajaran Interaktif Tidak ada metode khusus yang mencirikan pembelajaran interaktif. Selama kegiatan belajar melibatkan beberapa komponen atau unsur yaitu peserta didik, pendidik atau guru, tujuan pembelajaran, isi pelajaran, media pembelajaran yang sesuai untuk digunakan dan evaluasi kemajuan belajar siswa menggunakan tes standar. Semua komponen ini saling berinteraksi dalam proses pembelajaran yang berakhir pada tujuan pembelajaran.

  Pembelajaran interaktif, guru harus menyadari bahwa pembelajaran memiliki sifat yang kompleks karena melibatkan aspek pedagogis, psikologis dan didaktis (mendidik) secara bersamaan. Caranya guru dengan menggunakan pendekatan pemberian pemahaman kepada siswa, pemberian informasi dan pendekatan pemecahan terhadap masalah yang dihadapi oleh siswa (Komara, 2014:78).

4. Langkah-langkah Pembelajaran Interaktif

  Berikut langkah-langkah pembelajaran interaktif berdasar beberapa jenis atau macam pembelajaran interaktif di atas (Komara, 2014:47-48): a.

  Student Facilitator and Explaining Adapun langkah-langkah yang harus dipersiapkan sebagai berikut. Guru menyampaikan kompetensi yang ingin dicapai, guru mendemonstrasikan/ menyajikan materi, memberikan kesempatan siswa untuk menjelaskan kepada siswa lainnya misal melalui bagan/peta konsep, guru menyimpulkan ide/pendapat dari siswa, guru menerangkan semua materi yang disajikan saat itu, penutup.

  b.

  Demonstration.

  Untuk materi yang memerlukan peragaan atau percobaan. Adapun langkah-langkahnya sabagai berikut. Guru menyampaikan kompetensi yang ingin dicapai. Guru menyajikan gambaran sekilas materi yang akan disampaikan, manyiapkan bahan atau alat yang diperlukan, menunjuk salah seorang siswa untuk mendemonstrasikan sesuai skenario yang telah disiapkan. Seluruh siswa memperhatikan demonstrasi dan menganalisa-nya. Setiap siswa mengemukakan hasil analisanya dan juga pengalaman siswa didemonstrasikan, dan guru membuat kesimpulan.

  c.

  Exlicit Instruction Pembelajan langsung khusus dirancang untuk mengembangkan belajar siswa tentang pengetahuan procedural dan pengetahuan deklaratif yang dapat diajarkan dengan pola selangkah demi selangkah. Langkah-langkah sebagai berikut. Menyampaikan tujuan dan mempersiapkan siswa. Mendemonstrasi- kan pengetahuan dan keterampilan, membimbing pelatihan, mengecek pemahaman dan memberikan umpan balik, memberikan kesempatan uantuk latihan lanjutan.

D. Pengembangan Sikap Sosial

  Pengembangan sikap sosial merupakan upaya yang dilakukan guna proses menuju tingkat kematangan atau kedewasaan dalam hal perbuatan nyata untuk bertingkah laku dengan cara tertentu secara sadar, terhadap orang lain dan mementingkan tujuan-tujuan sosial daripada tujuan pribadi dalam kehidupan masyarakat. Secara terperinci dapat peneliti jelaskan sebagai beriku.

1. Pengembangan

  Menurut KBBI pengembangan adalah proses, cara, dan atau perbuatan mengembangkan. Perkembangan merupakan prihal berkembang. Perkembangan dapat diartikan sebagai proses perubahan kuantitatif dan kualitatif individu dalam rentang kehidupannya, mulai dari masa konsepsi, masa bayi, masa kanak-kanak, masa anak, masa remaja, sampai masa dewasa (Yusuf dan Sugandhi, 2013:1). Merujuk kepada perubahan sistematik, Yusuf menerangkan bahwa perkembangan merupakan suatu proses perubahan baik fisik maupun psikis menuju tingkat kematangan dan kedewasaan. Dapat dimengerti pengembangan adalah upaya yang dilakukan untuk proses perubahan menuju tingkat kematangan.

2. Sikap Sosial

  Krech dan Crutchfield (Ardyanto, 2009:137) mendefinisikan sikap sebagai organisasi yang bersifat menetap dari proses motivasional, emosional, perseptual, dan kognitif mengenai beberapa aspek dunia individu. Kemudian Allport (Ardyanto, 2009:137) berpendapat bahwa, sikap adalah keadaan mental dan saraf dari kesiapan, diatur melalui pengalaman yang memberikan pengaruh dinamik atau terarah terhadap respon individu pada semua objek dan situasi yang berkaitan. Sependapat dengan hal tersebut, Harvery dan Smith (Ahmadi, 2007:150) yang menyatakan, sikap merupakan kesiapan merespon secara konsisten dalam bentuk positif atau negatif terhadap objek atau situasi.

  Atkinson dkk ( Taufiq, 2008:371) mengemukakan “sikap meliputi rasa suka dan tidak suka; mendekati atau menghindari situasi, benda, orang, kelompok; dan aspek lingkungan yang dapat dikenal lainnya, termasuk gagasan abstrak, dan kebijakan sosial”. Ahmadi (2007:151-152) mengemukakan bahwa Traves, Gagne, dan Cronbach sependapat sikap melibatkan 3 aspek atau komponen yang saling berhubungan yaitu: a.

  Aspek kognitif yaitu yang berhubungan dengan gejala mengenal pikiran, berupa pengetahuan, kepercayaan, atau pikiran yang didasarkan pada informasi yang berhubungan dengan objek. b.

  Aspek afektif yaitu menunjuk pada dimensi emosional dari sikap, emosi yang berhubungan dengan objek berwujud proses yang menyangkut perasaan-perasaan tertentu seperti senang, tidak senang, ketakutan, kedengkian, simpati, dan sebagainya.

  c.

  Aspek konatif yaitu melibatkan salah satu predisposisi/kecenderungan untuk bertindak terhadap objek.

  Dari beberapa definisi tentang sikap yang telah disebutkan para ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa sikap adalah perbuatan nyata dan perbuatan- perbuatan yang mungkin akan terjadi dalam kegiatan-kegiatan dengan kesadaran individu tersebut, kaitannya dalam merespon dan memberikan respon ke lingkungan.

  Chaplin (Kartono, 2006:469) mendefinisikan sikap sosial (social attitudes) yaitu (1) satu predisposisi atau kecenderungan untuk bertingkah laku dengan cara tertentu terhadap orang lain; (2) satu pendapat umum; dan (3) satu sikap yang terarah kepada tujuan-tujuan sosial, sebagai lawan dari sikap yang terarah pada tujuan-tujuan prive (pribadi). Sosial adalah lingkungan dan sikap adalah cara bertingkah laku, kegiatan yang secara sadar dilakukan oleh individu.

  Sudarsono (1997:216) yang mendefinisikan sikap sosial yaitu sebagai perbuatan-perbuatan atau sikap yang tegas dari seseorang atau kelompok di dalam keluarga atau masyarakat. Kemudian Ahmadi (2007:152) menyebutkan sikap sosial adalah kesadaran individu yang menentukan perbuatan nyata dan berulang- ulang terhadap objek sosial. Sikap sosial dinyatakan tidak oleh seorang tetapi diperhatikan oleh orang-orang sekelompoknya. Objeknya adalah objek sosial

  (banyak orang dalam kelompok) dan dinyatakan berulang-ulang. Misalnya sikap masyarakat terhadap bendera kebangsaan, mereka selalu menghormatinya dengan cara khidmat dan berulang-ulang pada hari-hari nasional di negara Indonesia. Contoh lainnya sikap berkabung seluruh anggota kelompok karena meninggalnya seorang pahlawannya.

  Dari beberapa definisi yang telah disebutkan para ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa sikap sosial adalah perbuatan nyata untuk bertingkah laku dengan cara tertentu secara sadar, terhadap orang lain dan mementingkan tujuan- tujuan sosial daripada tujuan pribadi dalam kehidupan masyarakat. Indikator yang digunakan dalam penelitian ini adalah menunjukkan sikap terbuka pada teman, membentuk pendapat secara jelas, melakukan sesuatu dengan kerjasama, menunjukkan sikap peduli kepada teman, merasakan apa yang dirasakan teman, membangun suasana yang komunikatif, melaksanakan tanggung jawab, mendengarkan pendapat teman, menghargai orang lain, dan menunjukkan sikap suka menolong teman.

  Sikap tidak akan terbentuk tanpa interaksi manusia terhadap suatu objek tertentu. Seperti yang dikemukakan Baron dan Byrne (Djuwita, 2009:123-126) yang menyebutkan “salah satu sumber penting yang dapat membentuk sikap yaitu dengan mengadopsi sikap orang lain melalui proses pembelajaran sosial”.

  Pandangan terbentuk ketika berinteraksi dengan orang lain atau mengobservasi tingkah laku mereka. Pembelajaran ini terjadi melalui beberapa proses yaitu: a.

  Classical conditioning yaitu pembelajaran berdasarkan asosiasi, ketika sebuah stimulus muncul berulang-ulang diikuti stimulus yang lain, stimulus pertama akan dianggap sebagai tanda munculnya stimulus yang mengikutinya.

  b.

  Instrumental conditioning yaitu belajar untuk mempertahankan pandangan yang benar.

  c.

  Observational learning yaitu pembelajaran melalui observasi/belajar dari contoh, proses ini terjadi ketika individu mempelajari bentuk tingkah laku atau pemikiran baru dengan mengobservasi tingkah laku orang lain.

  d.

  Perbandingan sosial yaitu proses membandingkan diri dengan orang lain untuk menentukan pandangan kita terhadap kenyataan sosial benar atau salah. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi perubahan sikap sosial

  (Ahmadi, 2007:157-158), yaitu: a.

  Faktor Intern Yaitu faktor yang terdapat dalam pribadi manusia itu sendiri. Faktor ini berupa selectivity atau daya pilih seseorang untuk menerima dan mengolah pengaruh-pengaruh dari luar yang biasanya disesuaikan dengan motif dan sikap di dalam diri manusia, terutama yang menjadi minat perhatian.

  b.

  Faktor Ekstern Yaitu faktor yang terdapat diluar pribadi manusia. Faktor ini berupa interaksi sosial di dalam maupun di luar kelompok.

3. Skala Perkembangan Sosial

  Vineland Social Maturity Scale (V-SMS) adalah instrumen untuk mengetahui

  tingkat perkembangan (kematangan) sosial. Dikembangkan oleh Edgar Arnold Doll. Digunakan untuk usia 0-25 tahun. Aspek-aspek kematangan sosial anak yang diungkap dari instrumen VSMS antara lain: a.

  Self help general (SHG), yaitu kemampuan menolong diri sendiri secara umum.

  b.

  Self help dressing (SHD), yaitu kemampuan menolong diri sendiri dalam hal berpakaian.

  c.

  Self help eating (SHE), yaitu kemampuan menolong diri sendiri dalam hal makan.

  d.

  Self Direction (SD), yaitu kemampuan memerintah atau memimpin diri sendiri.

  e.

  Occupation (O), yaitu kemampuan dalam mengerjakan sesuatu yang menghasilkan karya.

  f.

  Communication (C), yaitu kemampuan berkomunikasi.

  g.

  Locomotion (L), yaitu kemampuan dan keberanian untuk bergerak atau pergi ke suatu tempat.

  h.

  Self Socialization (S), yaitu kemampuan untuk bersosialisasi.

E. Anak Autis

  Anak autis merupakan anak dengan sindrom autistik, dimana anak memiliki kelainan pada cerebellum atau otak, yang disebabkan berbagai faktor. Tiga gangguan utama pada anak autis adalah gangguan komunikasi, gangguan interaksi sosial dan prilaku yang berulang-ulang. Kemudian autistik menurut Hasdianah (2013:93) merupakan:

  Gangguan perkembangan yang mempengaruhi beberapa aspek bagaimana anak melihat dunia dan belajar dari pengalamannya. Biasanya anak-anak ini kurang minta untuk melakukan kontak sosial dan tidak ada kontak mata. Selain itu, anak-anak autistik memiliki kesulitan dalam berkomunikasi dan terlambat dalam perkembangan bicaranya. Ciri lainya Nampak pada perilaku yang stereotype seperti mengepakkan tangan secara berulang-ulang, modar- mandir tidak bertujuan, menyusun benda berderet, dan terpukau terhadap benda yang berputar dan masih banyak lagi ciri anak autistik yang tidak dapat disebutkan di sini karena setiap anak memiliki karakteristik yang berbeda- beda. Autisme adalah gangguan perkembangan yang sangat kompleks pada anak. Gejala yang tampak adalah gangguan dalam bidang perkembangan: perkembangan interaksi dua arah, perkembangan interaksi timbal balik, dan perkembangan perilaku. Hingga saat ini kepastian mengenai autisme belum juga terpecahkan. Padahal, perkembangan jumlah anak autis sekarang ini kian mengkhawatirkan. Di Amerika Serikat, perbandingan anak autis dengan yang normal 1:150, sementara di Inggris 1:100, sedangkan di Indonesia belum punya data akurat mengenai itu (Hasdianah, 2013:71).

  Para ilmuan (Hasdianah, 2013:71) menyebutkan autisme terjadi karena kombinasi berbagai faktor, termasuk faktor genetik yang dipicu faktor lingkungan.

  Penyandang autisme menderita gangguan prilaku atau pun otak. Meskipun mereka tidak mampu bersosialisasi, tapi anak autis tidak bodoh.

  Ada pemahaman dari sebagian masyarakat yang kurang lengkap tentang anak autis. Sepertinya ada “sindrome latah” (hyperstartle syndrome (hyperekplexia) [ed.]) pada masyarakat dalam memberika label anak-anak autis. Orang-orang gampang s ekali mengatakan “oh itu autis”. Anak belum bisa bicara langsung dilabel autistik, anak yang aktif/tidak bisa diam di kelas dilabel autistik dan sebagainya. Sedikit-dikit autis! (Hasdianah, 2013:93).

1. Mengenal Gejala Autis

  Autisme harus diketahui sejak dini agar bisa ditangani secepatnya. Diagnonis autisme yang tepat sejak dini sangat membantu mengurangi gejala autisme agar tidak berkembang lebih buruk. Untuk memeriksa apakah seorang anak menderita autis atau tidak, dapat digunakan standar internasional tentang autisme. ICD-19 (International Classification of Diseases) 1993 dan DSM-IV (Diagnostic and

  

Statistical Manual ) 1994 merumuskan kriteria diagnosis untuk Autisme Infantil

  yang isinya sama, yang saat ini dipakai di seluruh dunia. Kriteria tersebut adalah (Meranti, 2013:5-9):

  Harus ada sedikitnya 6 gejala dari a, b, dan c, dengan minimal 2 gejala dari a dan masing-masing 1 gejala dari b dan c.

  a.

  Gangguan Kualitatif dalam Interaksi Sosial yang Timbal Balik Minimal harus ada 2 dari gejala di bawah ini:

  1) Tak mampu menjalin interaksi sosial yang cukup memandai: kontak mata sangat kurang, ekspresi muka kurang hidup, gerak gerik kurang tertuju.

  2) Cenderung hidup dalam dunianya sendiri dan tidak bisa bermain dengan teman sebaya.

  3) Tak ada empati dan simpati sehingga tak dapat merasakan apa yang dirasakan orang lain.

  4) Kurang mampu mengadakan hubungan sosial dan emosional yang timbal balik. b.

  Gangguan Kualitatif dalam Bidang Komunikasi Ada beberapa faktor yang menyebabkan anak autis mengalami gangguan kualitatif dalam bidang komunikasi, salah satunya karena adanya gangguan atau kerusakan pada susunan syaraf pusat. Kelainan yang paling konsisten adalah kelainan pada otak kecil. Bauman (Meranti, 2013:6) menerangkan bahwa bagian tertentu dari otak anak autistic tidak berkembang (underdeveloped) dan tidak matang (immature). Area yang berkembang tidak matang adalah otak kecil (cerebellum), sistem limbic (limbic system) dan

  

brain sistem. Gangguan ini ditunjukkan dengan minimal harus ada 1 dari

  gejala di bawah ini: 1)

  Perkembangan bicara terlambat atau sama sekali tak berkembang, anak tidak berusaha untuk berkomunikai secara non-verbal.

2) Bila anak bisa bicara, maka bicaranya tidak dipakai untuk berkomunikasi.

  Ucapan yang keluar dari mulut anak autis lebih pada menyampaikan apa yang ada di otak mereka.

  3) Seiring menggunakan bahasa aneh, sukar dimengerti, dan tidak lazim digunakan oleh orang normal. Selain itu, bahasa cenderung disampaikan secara diulang-ulang.

  4) Cara bermain kurang variatif (monoton). Penderita autis kurang imajinatif dan tidak mampu menunjukkan kreativitas, serta kurang dapat meniru sesuatu. c.