1. Hakikat Sikap Tanggung Jawab dalam Belajar a. Konsep Sikap - BAB II Agi Ahmad G.

BAB II KAJIAN TEORETIK A. Deskripsi Konseptual Deskripsi konseptual merupakan bagian dari laporan penelitian yang berisi

  berbagai konsep teori yang relevan dengan tema penelitian. Isi dari deskripsi konseptual merupakan kajian berbagai teori yang relevan dengan varibel penelitian baik variabel bebas maupun varibel terikat. Pada penelitian ini deskripsi konseptual meliputi hakikat sikap tanggung jawab, hakikat menganalisis teks cerpen, dan hakikat metode discovery learning. Berikut diuraikan masing-masing deskripsi konseptual dalam penelitian ini.

1. Hakikat Sikap Tanggung Jawab dalam Belajar a. Konsep Sikap

  Dalam memahami sikap ada beberapa hal yang menjadi dasar penentuan sikap.Sudah menjadi kebiasaan umum ketika mendapati respon seseorang terhadap suatu objek mengindikasikan bahwa orang tersebut memiliki sikap sebagaimana yang ditunjukkan responnya baik yang berupa verbal maupun non- verbal.Misalnya, ketika dua orang dihadapkan dengan pilihan pakaian warna merah, satu orang memilihnya sebagai kesukaan dan satu orang lagi tidak menyukainya. Hal tersebut sering kita indikasikan bahwa orang yang memilih pakian warna merah mempunyai sikap suka, senang dalam arti sikapnya positif atau favorable. Sedangkan, orang yang tidak menyukainya atau tidak memilihnya

  14 dindikasikan memiliki sikap tidak menyukai dalam arti sikapnya negatif atau unfavorable.

  Azwar (2013: 5-7) mengungkapkan berbagai pendapat dari para ahli mengenai defenisi sikap yang dikemukakan oleh beberapa kelompok pemikir.

  Pertama, kerangka pemikiran ahli psikologi seperti Louis Thurstone, Rensis Likert, dan Charles Ossgood. Menurut mereka sikap adalah suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan.Sikap seseorang terhadap suatu objek adalah perasaan mendukung atau memihak (favorable) maupun perasaan tidak mendukung atau tidak memihak (unfavorable) pada objek tersebut. Kelompok pemikiran kedua diwakili oleh para ahli tokoh terkenal di bidang Psikologi sosial dan psikologi Kepribadian seperti Chave, Bogardus , LaPierre, Mead, dan Gordon Allport.

  Menurut Pemikiran kelompok ini sikap merupakan semacam kesiapan untuk bereaksi terhadap suatu objek dengan cara-cara tertentu. Sejalan dengan pandangan kelompok pemikir kedua La Pierre (dalam Azwar, 2013: 6) mendefinisikan sikap sebagai suatu pola perilaku, tendensi atau kesiapan antisipatif, predisposisi untuk menyesuaikan diri dalam situasi sosial, atau secara sederhana, sikap adalah respons terhadap stimulasi sosial yang telah terkondisikan. Kelompok pemikiran ketiga adalah kelompok yang berorientasi kepada skema triadic (triadic scheme). Menurut kerangka pemikiran ini suatu sikap merupakan konstelasi komponen-komponen kognitif, afektif, dan konatif yang saling berinteraksi dalam memahami, merasakan, dan berperilaku terhadap suatu objek. Secord & Backman misalnya mendefinisikan sikap sebagai keteraturan tertentu dalm perasaan (afeksi), pemikiran (kognisi), dan preisposisi tindakan (konasi) seseorang terhadap suatu aspek di lingkungan sekitarnya.

  Selain itu, diungkapkan pula berbagai pandangan ahli yang berdasarkan pendekatan yang mereka anut. Pendekatan pertama adalah memandang sikap sebagai kombinasi reaksi afektif, perilaku, dan kognitif terhadap suatu objek Ketiga komponen tersebut secara bersama mengorganisasikan sikap individu.

  Pendekatan ini dikenal dengan nama skema triadik yang disebut juga pendekatan

  

tricomponent. Pendektan kedua memandang perlu membatasi konsep sikap hanya

  pada aspek afektif saja (single component). Defenisi yang mereka ajukan mengatakan bahwa sikap tidak lain adalah afek atau penilian positif atau negatif terhadap suatu objek (Azwar, 2013: 7). Berikut peneliti gambarkan skema triadik dalam bagan di bawah ini

  Bagan 2.1 Konsepsi Skema Triadik Sikap

  STIMULI (individu, situasi, isyu sosial, kemlompok sosiaal, dan objek SIKAP PERILAK KOGNISI AFEK

  Tindakan yang tampak Pernyataan lisan mengenai perilaku Respons Perseptual Pernyataan lisan tentang keyakinan Respons syaraf simpatetik Pernyataan lisan tentang afek

  Variabel independen yang dapat diukur

  

Variabel

Intervening

Variabel dependen yang dapat

  Konsepsi Skematik Roserberg & Hovland mengenai Sikap (diadaptasi dari Fishbein & Ajzen (1975) dalam Azwar (2013: 8) Katz, Stotland, Smith (dalam Azwar, 2013: 6) menganggap bahwa konsepsi respons-respons sikap yang bersikap kognitif, afektif, dankonatif sebagaimana dalam skema triadik di atas bukan sekedar cara kalisifkasi defenisi sikap melainkan suatu telaah yang lebih mendalam.

  Inferensi atau penyimpulan mengenai sikap harus didasarkan pada suatu fenomena yang diamati dan dapat diukur. Fenomena ini berupa respons terhadap objek sikap dalam berbagai bentuk. Rosenberg dan Hovlan (dalam Azwar, 2013: 20) melakukan analisis terhadap berbagai respons yang dapat dijadikan dasar penyimpulan sikap dari perilaku, yang hasilnya disajikan dalam tabel berikut ini.

  Tabel 2.1 Respon Sikap

  Kategori Respon Tipe Respon

  Kognitif Afektif Konatif Verbal Pernyataan Pernyataan Pernyataan intensi keyakinan perasaan terhadap perilaku mengenai objek objek sikap sikap

  Non-verbal Reaksi perseptual Reaksi fifiologis Perilaku tampak terhadap objek terhadap objek sehubungan sikap sikap dengan objek sikap

  

Respons yang Digunakan untuk Penyimpulan Sikap (Azwar, 2013: 20)

b. Konsep Tanggung Jawabdalam Belajar

  Sebelum membahas tentang tanggung jawab dalam belajar terlebih dahulu dipaparkan kedudukan dan asal mula adanya tanggung jawab dalam diri manusia.

  Sebab hanya manusia yang diharuskan tanggung jawab selain makhluk lain yang Allah ciptakan. Dalam kejadian penciptaannya, manusia memiliki tujuan hidup yang telah Allah gariskan. Sebagaimana telah peneliti ungkapkan pada bagian pendahuluan bahwa tugas utama manusia itu adalah beribadah kepada Allah. Ibadah dalam hal ini bukan semata bentuk ritual dalam menyembah Allah melainkan meliputi segala bentuk tingkah laku manusia. Langgulung (1995: 4) mengungkapkan ayat yang selalu dibaca umat Islam dalam beribadah, “Sesungguhnya sembahyangku, ibadat hajiku, hidupku, dan matiku semuanya

  

adalah untuk Allah.” Jadi ibadah dalam arti luas meliputi seluruh gerak gerik

  manusia. Ibadah dalam pengertian yang luas inilah tujuan manusia diciptakan, atau tujuan hidup manusia.

  Selain hal tersebut diatas, lebih lanjut Langgulung (1995: 5) mengungkapkan bahwa dalam hal penciptaan Nabi Adam a.s., yang dimaksud di sini tentulah umat manusia seluruhnya, Tuhan berfirman dalam Al-Quran, “... Aku

telah membentuk dan menghembuskan kepadanya roh-Ku ...” (Q.S. 15: 29).

  Selanjutnya Langgulung menjelaskan bahwa hal tersebut bermakna antara lain bahwa Tuhan memberi manusia itu beberapa potensi atau kebolehan sesuai dengan sifat-sifat Tuhan. Sifat-sifat Tuhan ini disebut dalam Al-Quran dengan nama-nama yang indah (Al-Asmaul Husna). Kaitannya dengan tugas manusia untuk menyembah Allah. Langgulung (1995: 5) menyatakan bahwa menyembah dalam pengertiannya yang umum bermakna mengembangkan sifat-sifat tersebut pada manusia menurut perintah dan petunjuk Allah. Dalam falsafah Islam, sifat- sifat Tuhan hanya dapat diberi kepada manusia dalam bentuk dan cara yang terbatas, sebab kalau tidak demikian manusia akan mengaku diri sebagai Tuhan. Tetapi yang penting diterangkan di sini adalah bahwa sifat-sifat yang diberikan kepada manusia itu harus dianggap sebagai Amanah, yaitu tanggung jawab besar.

  Sejalan dengan hal tersebut Agustian (2001: 90) menyatakan “Tanggung jawab, adalah wujud pengabdian manusia dan zikir kepada sifat Allah, Al Wakiil.” Makna kata Al Wakiil dalam hal tersebut adalah Maha Pemanggul Amanat. Tirtorahardjo dan Sulo (2005:4) yang menyatakan bahwa wujud sifat hakikat manusia yang dikemukakan oleh faham eksistensialisme adalah: (1) kemampuan menyadari diri; (2) kemampuan bereksistensi; (3) kata hati (conscience of man); (4) moral; (5) tanggung jawab; (6) rasa kebebasan; (7) kewajiban dan hak; dan (8) kemampuan menghayati kebahagiaan.

  Sejalan dengan pendapat di atas Kemendiknas (dalam Wardoyo, 2013: 95) yang mengungkapkan bahwa tanggung jawab adalah sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dilakukan terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial, dan budaya), negara, dan Tuhan Yang Maha Esa. Demikian pula Tirtarahardja dan Sulo (2005: 8) menyatakan bahwa tanggung jawab diartikan sebagai keberanian untuk menentukan sesuatu perbuatan sesuai dengan tuntutan kodrat manusia, dan bahwa hanya karena itu perbuatan tersebut dilakukan sehingga sanksi apa pun yang dituntutkan (oleh kata hati, oleh masyarakat, oleh norma-norma agama) diterima dengan penuh kesadaran dan kerelaan.

  Pendapat lain dikemukakan Zubaedi (2011: 78) “Tanggung jawab (responsibility) maksudnya mampu mempertanggungjawabkan serta memiliki perasaan untuk memenuhi tugas dengan dapat dipercaya, mandiri, dan berkomitmen”. Schiller & Tamera (dalam Astuti, 2005: 17) menyatakan, “Tanggung jawab adalah perilaku yang menentukan bagaimana kita bereaksi terhadap situasi hari, yang memerlukan beberapa jenis keputusan yang bersifat moral”. Wuryanano (2007) menyatakan, “Tanggung jawab adalah siap menerima kewajiban atau tugas”.

  Berdasarkan hal tersebut di atas, dapat diketahui bahwa tanggung jawab merupakan potensi manusia yang telah Tuhan titipkan dalam diri manusia sesuai dengan salah satu nama-Nya yaitu Al Wakiil. Keberadaan sifat tersebut merupakan sebuah amanah yang harus diemban oleh manusia. Kemampuan manusia dalam menanggung dan melaksanakan semua amanah tersebut merupakan sebuah tanggung jawab. Bentuk tanggung jawab ini pun diikuti dengan sikap penuh kerelaan diri dalam menerima sangsi dengan penuh sadar apabila melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan yang seharusnya. Jadi tanggung jawab merupakan sebuah kemampuan seorang manusia dalam melaksanakan amanah yang telah ditugaskannya dengan penuh kesadaran. Dalam hal ini diketahui bahwa bentuk tanggung jawab tercermin dengan terlebih dahulu adanya sebuah stimulus atau pemberi sebuah tugas kepada manusia untuk dilaksanakan. Kemampuan manusia dalam melaksanakan tugas itulah yang disebut tanggung jawab.

  Dalam penelitian ini yang dimaksud bentuk tanggung jawab adalah sikap siswa yang dengan penuh kerelaan melakukan tugas yang peneliti berikan dalam konteks pembelajaran menganalisis teks cerpen. Sardiman (2011: 20) menyatakan bahwa belajar adalah perubahan tingkah laku atau penampilan, dengan serangkaian kegiatan misalnya dengan membaca, mengamati, mendengarkan, meniru, dan lain sebagainya. Jadi tanggung jawab siswa selama proses pembelajaran menganalisis teks cerpen inilah yang akan menjadi aspek penelitian.

c. Jenis-Jenis Tanggung Jawab

  Tanggung jawab berdasarkan wujudnya terdiri dari: (1) tanggung jawab kepada diri sendiri, (2) tanggung jawab kepada masyarakat, dan (3) tanggung jawab kepada Tuhan (Tirtorahardjo, 2005: 8). Berikut penjelasan dari ketiga jenis tanggung jawab berdasarkan wujudnya.

  1) Tanggung jawab kepada diri sendiri

  Hakikat manusia sebagai makhluk individu yang mempunyai kepribadian yang utuh, dalam bertingkah laku, dalam menentukan perasaan, dalam menentukan keinginannya, dan dalam menuntut hak-haknya. Namun, sebagai individu yang baik maka harus berani menanggung tuntutan kata hati, misalnya dalam bentuk penyesalan yang mendalam. 2)

  Tanggung jawab kepada masyarakat Selain hakikat manusia sebagai makhluk individu, manusia juga sebagai makhluk sosial yang berada di tengah-tengah masyarakat dan tidak mungkin untuk hidup sendiri. Oleh karena itu, manusia dalam berpikir, bertindak, berbicara dan segala aktivitasnya, manusia terikat oleh masyarakat, lingkungan dan negara.

  Selain itu, segala tingkah laku ataupun perbuatannya harus dipertanggung- jawabkan kepada masyarakat. Tanggung jawab kepada masyarakat juga menanggung tuntutan-tuntutan berupa sanksi-sanksi dan norma-norma sosial, misalnya seperti cemoohan masyarakat, hukuman penjara, dan lain-lain.

  3) Tanggung jawab kepada Tuhan

  Manusia di alam semesta ini tidaklah muncul dengan sendirinya, namun ada yang menciptakan yaitu Tuhan YME. Sebagai makhluk ciptaan Tuhan manusia wajib mengabdi kepadanya dan juga menanggung tuntutan norma-norma agama serta melakukan kewajibannya terhadap Tuhan YME. Sebagai bentuk perilaku bertanggung jawab kepada Tuhan misalnya yaitu mempunyai perasaan berdosa dan terkutuk.

  Berdasarkan penjelasan tentang jenis-jenis tanggung jawab tersebut, maka tanggung jawab belajar siswa termasuk dalam jenis tanggung jawab kepada diri sendiri. Artinya, siswa tersebut harus bisa menanggung kata hatinya untuk bersedia melakukan kewajibannya sebagai siswa yaitu belajar. Siswa tersebut harus bisa berkomitmen untuk membiasakan diri dalam belajar dengan baik dan disiplin.

d. Ciri-Ciri Sikap Tanggung Jawab

  Samani dan Haryanto (2013: 51) mengungkapkan bahwa tanggung jawab itu meliputi melakukan tugas dengan sepenuh hati, bekerja dengan etos kerja yang tinggi, berusaha keras untuk mencapai prestasi terbaik (giving the best), mampu mengontrol diri dan mengatasi stres, berdisiplin diri, akuntabel terhadap pilihan dan keputusan yang diambil.

  Wulandari (dalam Ulfa, 2014: 25) mengungkapkan bahwa secara umum siswa yang bertanggung jawab terhadap belajar dapat dilihat dari ciri-ciri sebagai berikut. 1)

  Akan senantiasa mengerjakan tugas-tugas yang diberikan oleh gurunya sampai tuntas baik itu tugas yang diberikan di sekolah maupun PR yang harus mereka kerjakan di rumah.

  2) Selalu berusaha menghasilkan sesuatu tanpa rasa lelah dan putus asa. 3) Selalu berpikiran positif disetiap kesempatan dan dalam situasi apapun. 4) Tidak pernah menyalahkan orang lain atas kesalahan yang telah diperbuatnya.

  Lebih lanjut Adiwiyato (dalam Astuti, 2005:27) mengungkapkan bahwa ciri-ciri tanggung jawab antara lain sebagai berikut.

  1) Melakukan tugas rutin tanpa harus diberi tahu. 2) Dapat menjelaskan apa yang dilakukannya. 3) Tidak menyalahkan orang lain yang berlebihan. 4) Mampu menentukan pilihan dari beberapa alternatif. 5) Bisa bermain atau bekerja sendiri dengan senang hati. 6)

  Bisa membuat keputusan yang berbeda dari keputusan orang lain dalam kelompoknya.

  7) Punya beberapa saran atau minat yang ia tekuni. 8) Menghormati dan menghargai aturan. 9) Dapat berkonsentrasi pada tugas-tugas yang rumit. 10) Mengerjakan apa yang dikatakannya akan dilakukan. 11) Mengakui kesalahan tanpa mengajukan alasan yang dibuat-buat.

  Zubaedi (2011: 40) menyatakan bahwa tanggung jawab juga ditandai dengan adanya sikap yang rasa memiliki, disiplin, dan empati. Rasa memiliki maksudnya seseorang itu mempunyai kesadaran akan memiliki tanggung jawab yang harus dilakukan; disiplin berarti seseorang itu bertindak yang menunjukkan perilaku yang tertib dan patuh pada berbagai peraturan; dan empati berarti seseorang itu mampu mengidentifikasi dirinya dalam keadaan perasaan dan pikiran yang sama dengan orang atau kelompok lain dan tidak merasa terbebani akan tanggung jawabnya itu.

  Berdasarkan ciri-ciri tersebut disusun indikator dari sikap tanggung jawab kaitannya dengan pembelajaran menganalisis teks cerpen antara lain yaitu: (1) melaksanakan tugas yang diberikan guru, (2) memberikan alasan dalam menentukan bagian-bagian unsur interinsik cerpen, (3) tidak bekerja sama ketika dilaksanakan tes individu, (4) melakukan tugas sendiri dengan senang hati, (5) ketika belajar kelompok dapat membuat keputusan yang berbeda dari teman kelompoknya, (6) mempunyai minat untuk menganalisis cerpen, (7) menghormati dan menghargai skenario pembelajaran, dan (8) dapat konsentrasi dalam setiap suasana belajar.

  Dari beberapa indikator tersebut yang erat kaitannya dengan pembelajaran menganalisis teks cerpen peneliti simpulkan sebagai berikut.

  1) Melaksanakan tugas yang diberikan guru

  Dalam sebuah pembelajaran guru senantiasa memberikan tugas yang harus dilakukan siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran. Siswa yang memiliki sikap tanggung jawab senantiasa akan selalu melakukan tugas yang diberikan guru yang berkaitan dengan pembelajaran.

  2) Memberikan alasan logis dalam menentukan bagian-bagian analisis teks cerpen.

  Ketika siswa melaksanakan tugas dalam menganalisis cerpen. Akan dihadirkan sebuah tugas bahwa siswa dalam mennganalisis cerpen perlu memberikan ulasan berupa kutipan kalimat berserta alasan untuk memperkuat jawabannya. Kehadiran alasan siswa dalam menjawab tersebut merupakan sebuah cerminan dari sikap tanggung jawab atas pernyataannya.

  3) Tidak bekerja sama ketika dilaksanakan tes individu.

  Sebagai upaya mengetahui kemempuan siswa dalam hasil pembelajaran. Guru akan melakukan sebuah tes individu untuk mengetahui kemampuan tiap individu di dalam kelas. Siswa yang memiliki sikap tanggung jawab akan melakukan tugas tersebut dengan tidak kerja sama dengan siswa yang lainnya. 4) Melakukan tugas sendiri dengan senang hati.

  Dalam mengerjakan tugas individu siswa yang benar-benar memiliki rasa tanggung jawab akan melaksanakan tugas tersebut dengan senang hati. Artinya, keseriusan, semangat dan disiplin dalam melaksanakan tugas akan terlihat dari sikap siswa yang bertanggung jawab.

  5) Ketika belajar kelompok dapat membuat keputusan yang berbeda dari teman kelompoknya.

  Sikap tanggung jawab atas tugas yang diberikan oleh guru akan terlihat juga dari cara pandang siswa terhadap meteri pelajaran yang menunjukkan antusiasmenya dengan cara berani berpendapat yang berbeda dengan siswa yang lain dalam kelompoknya.

  6) Mempunyai minat untuk menganalisis cerpen.

  Bertanggung jawab akan tugas yang diberikan tentunya akan dilaksanakn dengan baik antusias, semangat yang punya pandangan sendiri dengan pembuktian yang tepat. Hal ini menunjukkan bahwa siswa tersebut mempunyai minat terhadap pembelajaran. Sehingga mencerminkan sikap tanggung jawabnya.

  7) Menghormati dan menghargai prosedur pembelajaran.

  Sebuah pembelajaran telah dirancang oleh guru sedimikian rupa supaya dapat mencapai tujuan pembelajaran. Siswa yang memiliki sikap tanggung jawab tentunya akan mengikuti langkah-langkah tersebut sebagaimana yang diarahkan oleh guru.

  8) Berkonsentrasi dalam setiap suasana belajar.

  Sikap tanggung jawab juga dapat terlihat dari cara belajar siswa yang mampu berkonsentrasi dengan suasan belajar. Konsentrasi ini tidak akan timbul begitu saja tanpa dia sadar akan makna pembelajaran yang merasa itu yang harus dia laksanakan sehingga siswa tersebut terlihat memiliki sikap tanggung jawab.

  2. Hakikat Menganalisis Teks Cerpen a. Pengertian Cerpen

  Dalam memberikan pengertian terhadap cerpen terjadi bermacam pendapat yang dikemukakan para ahli. Keragaman tersebut dipengaruhi oleh cara pandang mereka terhadap cerpen itu sendiri. Ada pendapat yang mendefisikan cerpen berdasarkan lama waktu yang dibutuhkan untuk membaca cerpen. Hal ini dikemukakan Poe (Nurgiyantoro, 2000: 10) “Cerpen adalah sebuah cerita yang selesai dibaca dalam sekali duduk, kira-kira berkisar antara setengah sampai dua jam.” Pendapat di atas menunjukkan cerpen dapat dibaca dalam kurun waktu yang singkat. Hal ini dapat dipengaruhi sebab dalam cerpen aspek pembentuk ceritanya terbatas dalam arti bersifat tunggal. Hal ini juga sejalan dengan Sumardjo (1984: 69) Cerita pendek adalah cerita yang membatasi diri dalam membahas salah satu unsur fisik dalam aspeknya yang terkecil. Kependekan sebuah cerita pendek bukan karena bentuknya yang jauh lebih pendek dari novel, tetapi karena aspek masalahnya yang sangat dibatasi. Dengan pembatas ini maka sebuah masalah akan tergambarkan jauh lebih jelas dan jauh lebih mengesankan bagi pembaca. Kesan yang ditinggalkan oleh sebuah cerita pendek harus tajam dan dalam, sehingga sekali membacanya kita tidak akan mudah lupa.

  Pendapat lain tentang pendefinisian cerpen berdasarkan pada keududukan cerpen di dalam genre serta berdasarkan isi yang terkandung di dalamnya.

  Pandangan ini diungkapkan Bahrudin dkk. (2006:14) yang menyatakan bahwa cerpen adalah karangan pendek yang berbentuk prosa. Dalam cerpen dikisahkan sepenggal kehidupan tokoh, yang penuh pertikaian, peristiwa yang mengharukan atau menyenangkan dan mengandung kesan yang tidak mudah dilupakan. Dari pendapat tersebut dapat diketahui cerpen merupakan bagian dari prosa fiksi yang berisi tentang berbagai kejadian atau peristiwa yang berdampak emotif bagi pembaca.

  Cara pandang lain terhadap cerpen didasarkan pada batasan jumlah kata yang digunakan. Hal ini dikemukakan Notosusanto (dalam Tarigan, 1984:176),“Cerita pendek adalah cerita yang panjangnya sekitar 5000 kata atau kira-kira 17 halaman kuarto spasi rangkap yang terpusat dan lengkap pada dirinya sendiri.” Walaupun demikian batasan tersebut bukanlah hal yang baku dan selamanya berlaku, hal itu merupakan batasan yang ditujukan untuk memperkirakan jumlah kata dan halaman. Sebab pada kenyataan bisa saja sebuah cerpen kurang atau lebih dari jumlah yang telah ditentukan tersebut.

  Pendapat lain yang menguatkan lagi tentang karakteristik cerpen berdasarkan cara pemaparan ceritanya yang singkat adalah Strong (dalam Tarigan, 1984:176) yang menyatakan bahwa singkat dan lengkap atau brevity with completeness adalah sifat-sifat pokok cerita pendek.

  Berdasarkan beberapa pendapat di atas peneliti menyimpulkan batasan- batasan cerpen sebagai berikut.

  1) Cerpen merupakan salah satu genre sastra yang berbentuk prosa. 2) Cerpen berupa karangan dalam bentuk tulisan. 3)

  Isi cerpen menyajikan sebuah kisah, peristiwa yang mampu memberi dampak emotif bagi pembaca.

  4) Waktu yang dibutuhkan untuk membaca cerpen tidak lama. 5)

  Unsur pembangun yang ada di dalam cerpen bersifat terbatas namun disajikan dengan lengkap dan jelas.

  Jadi, cerita pendek dapat dikatakan sebagai sebuah karya prosa fiksi yang disajikan dalam bentuk bahasa tulis. Didalamnya disuguhkan sepenggal cerita tentang sebuah peritiwa yang melibatkan melibatkan konflik seorang tokoh yang diuraikan dengan cara-cara terbatas namun lengkap dan jelas, sehinggacerita tersebut mampu memberikan dampak emotif bagi pembaca.

b. Ciri-Ciri Cerpen

  Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa dalam pendefinisian cerpen terdapat beberapa pandangan para ahli yang memberikan pengertian berdasarkan cara pandangnya tersendiri. Oleh sebab itu, untuk mengenali lebih jelas lagi tentang cerpen berikut peneliti paparkan ciri-ciri cerpen.

  Nurgiyantoro (2000: 12-13) berpendapat bahwa cerita pendek mempunyai ciri sebagai berikut.

  1) Plot cerpen pada umumnya tunggal, hanya terdiri dari satu urutan peristiwa yang diikuti sampai cerita berakhir, maka konflik yang dibangun dan klimaks yang akan diperoleh pun bersifat tunggal pula.

  2) Cerpen hanya berisi satu tema. 3) Jumlah tokoh dalam cerpen lebih terbatas. 4)

  Latar yang digunakan dalam cerpen hanya memerlukan pelukisan secara garis besar saja, atau bahkan hanya secara implisit, asal telah mampu memberikan suasana tertentu yang dimaksud.

  Selanjutnya Sumardjo (2001: 84) mengemukakan pula bahwa ciri khas cerpen sebagai berikut.

  1) Cerita pendek hanya memiliki satu arti, satu krisis, dan satu efek untuk pembacanya.

  2) Pengarang cerpen hanya ingin mengemukakan suatu hal secara tajam. 3) Cerpen menuntut penggunaan bahasa yang ekonomis.

  Berdasarkan pendapat tersebut dalam memberikan pandangan terhadap ciri-ciri cerpen terjadi kembali keragaman dari para ahli dalam memeparkan ciri- ciri cerpen tersebut. Akan tetapi, kalau ditinjau dari esensi ciri-ciri cerita pendek yang disajikan di atas. Peneliti memandang terdapat kesamaan yaitu sama-sama menyoroti unsur yang membangun cerita pendek yang terbatas.

c. Jenis-Jenis Cerpen

  Cerpen sebagai sebuah karangan prosa fiksi yang ditulis oleh seorang pengarang degan menyajikan sebuah kisah sepenggal pengalaman pengarang baik yang berasal dari pengalaman pribadinya maupun dari pengalaman orang lain yang dia amati. Cara pandang pengarang terhadap objek tulisan antara satu dengan yang lainnya pasti berbeda.Hal ini mempengaruhi keberadaan cerpen yang beragam. Untuk mengetahui perbedaan antara cerpen yang satu dengan yang lainnya, berikut ini peneliti kemukakan jenis-jenis cerpen berdasarkan pendapat para ahli.

  Tarigan (1984: 178 ) membagi cerita pendek ke dalam dua bagian sebagai berikut.

  1) Berdasarkan jumlah kata

  Berdasarkan jumlah kata yang dikandungnya, dapatlah dibedakan dua jenis cerita pendek, yaitu cerpen yang pendek (short story) dan cerpen yang panjang

  (long story).

  2) Berdasarkan nilai sastra

  Berdasarkan nilai sastra, cerita pendek dibagi dua, yaitu cerpen sastra dan cerpen hiburan. Cerpen sastra adalah cerpen yang benar-benar bernilai sastra, sedangkan cerpen hiburan adalah cerpen yang tidak bernilai sastra, tetapi lebih ditujukan untuk menghibur saja.

  Berbeda dengan Tarigan, Sumardjo (1984: 70–71) menggolongkan bahwa cerita pendek menurut unsur-unsur fiksi yang ditemukannya sebagi berikut.

  1) Cerita Pendek watak

  Cerita pendek ini menggambarkan salah satu aspek watak manusia, misalnya kikir, sangat religius, pemberang, penipu, sembrono atau gabungan dari beberapa watak yang sulit dinyatakan seperti sifat religius tetapi ahak urakan.

  Jadi, watak dalam cerita pendek ini jelas statis, sebab pengarang tak memiliki kesempatan untuk mengembangkan watak tertentu.

  2) Cerita Pendek Plot

  Cerita pendek ini merupakan cerita pendek yang menekankan terjadinya suatu peristiwa yang amat mengesankan.

  3) Cerita Pendek Tematis

  Cerita pendek ini menekankan pada unsur tema atau permasalahan yang biasanya cukup berat untuk dipikirkan. Pembahasan masalah dalam cerita pendek ini sangat dominan sehingga kadang melupakan tugasnya untuk memberikan cerita pembacanya.

  4) Cerita Pendek Suasana

  Cerita pendek ini seolah-olah tak ada ceritanya, namun dapat membawa pembaca terbius oleh suasana yang digambarkan pengarangnya.

  5) Cerita Pendek Setting

  Dalam cerita pendek jenis ini pengarang lebih banyak menguraikan latar belakang tempat terjadinya cerita.

  Dari uraian di atas diketahui bahwa cerpen dapat dibedakan berdasarkan beberapa aspek yang meliputi jumlah kata, nilai sastra, unsur-unsur pembangun cerpen. Perbedaan cerpen dapat diketahui dari isi cerpen tersebut yang mempunyai ciri khas masing-masing. Hal ini tentunya tidak lepas dari peran pengarang yang memiliki kebebasan dalam mengekspresikan ide melalui sebuah karya cerpen yang disajikan dalam bahasa tulis.

d. Cerpen Sebagai Teks

  Cerpen sebagai sebuah karya prosa fiksi yang disajikan melalui bahasa tulis. Memosisikan dirinya sebagai sebuah karya yang lengkap, dalam arti cerpen dapat dikatakan sebagai sebuah teks sebab bahasa sebagai media utama cerita dituangkan dalam bahasa tulis yang disusun menjadi sebuah teks. Hal ini sejalan dengan Mahsun (2013) yang menyatakan bahwa dari sudut pandang teori semiotika sosial, teks merupakan suatu proses sosial yang mengandung konteks situasi tertentu dan berorientasi pada suatu tujuan sosial. Sementara itu, proses sosial akan dapat berlangsung jika ada sarana komunikasi yang disebut bahasa.

  Dengan demikian, proses sosial akan merefleksikan diri menjadi bahasa dalam konteks situasi tertentu sesuai tujuan proses sosial yang hendak dicapai. Bahasa yang muncul berdasarkan konteks situasi inilah yang menghasilkan register atau bahasa sebagai teks. Konteks yang melatarbelakangi kehadiran suatu teks, yaitu konteks budaya (yang di dalamnya ada nilai dan norma kultural yang akan mengejawantahkan diri melalui proses sosial) dan konteks situasi yang di dalamnya terdapat pesan yang hendak dikomunikasikan (medan/field), pelaku yang dituju (pelibat/tenor), dan format bahasa yang digunakan untuk menyampaikan pesan itu (sarana/mode).

  Priyatni (2014: 65) menyatakan “Teks adalah ujaran (lisan) atau tulis bermakna yang berfungsi untuk mengekspresikan diri.”Tiap-tiap jenis teks tersebut menunjukkan struktur berpikir/struktur isi, unsur kebahasaan, dan tujuan sosial yang berbeda.Pemilihan struktur teks oleh penutur untuk mencapai suatu tujuan dalam suatu kegiatan sosial komunikatif dintentukan oleh konteks situasi yang dihadapi.

  Keberadaan konteks situasi pemakai bahasa dalam muatan proses sosial mengakibatkan keberagaman jenis teks yang muncul. Proses sosial yang berlangsung dalam kehidupan selalu memiliki muatan nilai atau norma kultural. Mahsun (2013) menyatakan nilai-nilai atau norma-norma kultural yang direalisasikan dalam suatu proses sosial itulah yang disebut genre. Satu genre dapat muncul dalam berbagai jenis teks.

  Anderson (dalam Priyanti, 2014: 66) “Teks dapat dikelompokkan menjadi dua kategori besar (genre), yaitu genre sastra dan genre faktual.”Genre sastra bertujuan untuk mengajuk emosi dan imajinasi pembaca/penyimak.Genre sastra membuat pembaca/penyimak tertawa, menangis, dan merfleksi diri/menyucikan diri (katarsis).Genre sastra dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis yaitu teks naratif (cerpen, novel) puitik, dan dramatik.Teks naratif bertujuan untuk menceritakan sesuatu.

  Lebih lanjut, Kosasih (2014: 111) mengungkapkan bahwa cerpen termasuk ke dalam genre cerita atau naratif fiksional.Keberadaannya lebih pada kepentingan memberikan kesenangan untuk para pembacanya.Meskipun demikian cerpen tidak terlepas dari nilai-nilai tertentu dibalik kisah ceritanya. Sebuah cerpen sering sekali mengandung hikmah atau nilai yang bias dipetik di balik perilaku tokoh ataupun di antara kejadian-kejadiannya. Hal ini karena cerpen tidak terlepas dari niai-nilai agama, budaya, sosial, ataupun moral yang bias dimaknai oleh pembaca.

  Chatman mengungkapkan bahwa menurut pandangan strukturalisme, unsur fiksi (juga disebut: teks naratif ‘narative text’), dapat dibedakan ke dalam unsur cerita (story, content) dan wacana (discource, expression). Pembedaan tersebut ada kemiripannya dengan pembedaan tradisional yang berupa unsur bentuk dan isi.Pandangan bahwa teks naratif merupakan sebuah fakta semiotik (ilmu tentang tanda) menurut pandangan Chatman yang mendasarkan diri pada teori Saussure dan Hjemlet menambah rincian pada aspek substansi (substance, inti masalah) dan bentuk (form). Dengan demikian, unsur teks naratif itu sebagai fakta semiotik terdiri dari unsur: substansi isi (substance of content), bentuk isi (form of content), substansi ekspresi (substance of exspresion) dan bentuk ekspresi (form of expresioni) (Nurgiyantoro, 2012: 26-27).

  Berdasarkan pendapat di atas peneliti memandang cerpen termasuk ke dalam sebuah teks naratif karena kehadiran cerpen sebagai sebuah karya sastra yang dituangkan oleh pengarang melalui bahasa tulis yang menceritakan sebuah kisah. Hal ini juga dilatarbelakangi oleh sebuah situasi proses sosial seorang pengarang yang di dalamnya mengandung berbagai konteks. Konteks yang terkandung dalam cerita pendek meliputi konteks budaya sebagai sebuah proses interaksi sosial yang menggunakan bahasa dan konteks situasi yang di dalamnya terdapat pesan yang hendak disampaikan oleh pengarang kepada pembaca memalui sebuah cerita.

e. Analisis Teks Cerpen

  Sebagaimana diketahui bahwa karya sastra digolongkan ke dalam tiga genre yaitu puisi, prosa fiksi, dan drama. Ketiga genre tersebut dibedakan berdasarkan cara penuangan bahasa sebagai media utamanya. Salah satu karya sastra yang termasuk ke dalam genre tersebut adalah cerpen yang merupakan bagian dari prosa fiksi.

  Cerpen merupakan sebuah karya sastra sering dianggap sebagai sebuah karangan yang bersifat hayalan yang bertujuan untuk hiburan semata. Pandangan tersebut tentunya kurang tepat. Sebab seorang pengarang tidak mungkin mampu membuat sebuah karya sastra apabila hanya bermodal imajinasi semata. Dalam membuat sebuah karya, imajinasi pengarang diperoleh dari pengalaman-pengalam nyata yang didapatkan dalam kehidupan. Baik itu berupa pengalaman pribadi yang dialaminya ataupun pengalaman orang lain yang diperolehnya melalui pengamatannya. Dengan kata lain tidak mungkin pengarang memperoleh imajinasi begitu saja tanpa adanya pengalaman dalam kehidupan nyata. Hal ini sejalan denganAbidin (2012: 208) yang menyatakan bahwa sastra merupakan karangan faktual imajinatif yang bersifat menyenangkan dan bermanfaat yang disusun pengarang dengan menggunakan bahasa sebagai media utamanya.

  Berdasarkan hal tersebut di atas, sastra merupakan aspek penting yang harus diajarkan dalam mata pelajaran bahasa Indonesia. Sebab dalam sebuah karya sastra terdapat hal-hal yang dapat diambil pelajaran untuk kehidupan karena karya sastra bersifat faktual imajinatif. Selain itu juga keterkaitan sastra dengan mata pelajaran bahasa Indonesia sebab media utama sastra adalah bahasa.

  Dalam cerpen tentu mengandung muatan positif yang penting bagi peserta didik. Akan tetapi tidak semua cerpen baik untuk diajarkan di sekolah. Karya sastra yang pantas diajarkan di sekolah tentunya harus memenuhi kriteria kesesuaian dengan karakteristik dan perkembangan siswa. Hal ini pula dikemukakan Rahmanto (dalam Abidin, 2012: 221), “Minimalnya karya sastra yang akan diajarkan di sekolah harus memenuhi tiga kriteria yakni bahasa, psikologi, dan latar belakang budaya.”

  Kehadiran cerpen memberikan banyak manfaat diantaranya sebagai sarana hiburan, pembelajaran. Sebagai sebuah media pembelajaran karya sastra tidak cukup hanya dijadikan sebagai bahan hiburan. Sebab di dalam sebuah cerpen tertuang berbagai nilai-nilai yang positif yang mampu memberikan pembelajaran kepada pembaca. Sejalan dengan hal tersebut Abidin (2012: 211) menyatakan “Karya sastra tidak hanya sekedar untuk dinikmati, tetapi perlu juga dimengerti, dihayati, dan ditafsirkan.”

  Proses memahami, menghayatidan menafsirkan isi sebuah cerpen ini ditujukan agar pembaca mampu menggali makna, pesan dan nilai-nilai positif yang disampaikan pengarang melalui sebuah cerita. Seorang pembaca terlebih dahulu melakukan kegiatan memahami cerpen dengan kegiatan membaca. Proses membaca dilakukan dengan serius dan keadaan batin yang gembira serta larut terhadap isi cerita. Kenney (dalam Pujiharto, 2012:23) menyatakan bahwa setelah melakukan pembacaan dengan cermat terhadap karya fiksi, seorang pembaca akan melanjutkan dengan melakukan analisis terhadapnya dengan cara mengidentifikasi bagian-bagian yang membangun karya fiksi itu.

  Sebuah karya sastra senantiasa dibangun oleh empat komponen utama penciptaan yakni pengarang sebagai penulisnya, bahasa sebagai media utamanya, isi karya sebagai muatannya, dan unsur sastra sebagai strukturnya. Dari keempat komponen penciptaan karya sastra tersebut dapat dipilah ke dalam dua kelompok yang pertama komponen yang ada di luar karya yaitu pengarang dan yang kedua komponen yang ada di dalam karya sastra tersebut yaitu bahasa, isi, dan struktur karya sastra (Abidin, 2012: 208).

  Pujiharto (2012: 24) menyatakan, “Di dalam melakukan analisis terhadapnya, karya fiksi pun perlu dipilah-pilah ke dalam bagian-bagiannya.

  Adapun bagian-bagian itu meliputi elemen fakta-fakta, sarana-sarana, dan makna (tema) cerita.” Penggolongan bagian-bagian tersebut penulis pandang masih sejalan dan dapat dikategorikan ke dalam komponen isi yang berada di dalam sebuah karya. Hal ini mengindikasikan bahwa komponen yang dijadikan bahan dalam menganalisis teks cerpen adalah komponen yang berada di dalam karya tersebut yang meliputi struktur, isi, dan bahasanya. Berikut peneliti uraikan bagian-bagain cerpen tersebut.

1) Struktur

  Kosasih (2014: 113) mengungkapkan bahwa bagian-bagian umum struktur cerita pendek secara umum dibentuk oleh (1) bagian pengenalan cerita, (2) penanjakan menuju konflik, (3) puncak konflik, (4) penurunan, dan (5) penyelesaian. Bagian-bagian ini ada yang menyebutnya dengan istilah abstrak, orientasi, komplikasi, evaluasi, resolusi, dan koda.

  a) Abstrak

  Abstrak merupakan sinopsis atau bagian cerita yang menggambarkan keseluruhan isi cerita. Keberadaan abstrak dalam sebuah cerpen bersifa opsional mungkin ada dan mungkin tidak muncul (Kosasih, 2014: 113). Keberadaan abstrak yang bersifat opsional tersebut penulis pandang bukan menjadi bagian tetap dalam melakukan analisis struktur cerpen. Abstrak dapat dengan sendirinya pembaca buat tanpa harus ada dalam setiap cerpen. Misalnya seorang yang akan menentukan tema cerpen pastilah dia sudah mampu menyimpulkan isi cerpen sehingga memahami dengan benar gagasan pokok cerpen yang dibacanya.

  b) Orientasi (Bagian pengenalan cerita)

  Orientasi atau pengenalan cerita, baik itu berkenaan dengan penokohan ataupun bibit-bibit masalah yang dialaminya (Kosasih, 2014: 113). Dalam tahapan ini masalah yang dialami tokoh diceritakan dari mulai muncul masalah sampai ke masalah menjadi rumit atau bagian penanjakan menuju konflik.

  c) Komplikasi (Puncak konflik)

  Komplikasi atau puncak konflik, yakni bagian cerpen yang menceritakan puncak masalah yang dialami tokoh utama (Kosasih, 2014: 114). Dalam tahap ini ketegangan konflik yang dialami si tokoh mengalami puncaknya.

  d) Evaluasi (Penurunan)

  Pada bagian ini konflik cerita agak mengendur, tetapi pembaca tetap menunggu implikasi ataupun konflik selanjutnya sebagai akhir dari cerita (Kosasih, 2014: 114). Tahap evaluasi menunjukkan bahwa si tokoh sudah berhasil keluar dari puncak konfliknya akan tetapi ini bukan akhir dari semua konflik yang terjadi pada tokoh cerita. e) Resolusi (Penyelesaian)

  Resolusi merupakan tahap penyelesaian akhir dari seluruh rangkaian cerita (Kosasih, 2014: 115). Pada tahap ini konflik yang dialami si tokoh berakhir.

  Pembaca sudah mengetahui bagaimana akhir ceritanya.

  f) Koda

  Koda merupakan komentar akhir terhadap kesluruhan isi cerita atau diisi dengan kesimpulan tentang hal-hal yang dialami tokoh utama kemudian (Kosasih, 2014: 115).

  Berikut peneliti tuangkan struktur teks cerpen dalam bagan di bawah ini.

  Koda Resolusi Evaluasi Kompli- kasi Orien- tasi

  Bagan 2.2: Struktur Umum Cerpen (Kosasih, 2014: 116) Bagian-bagian ini merupakan bagian umum. Artinya sangat mungkin keberadaan cerpen tidak memiliki struktur seperti di atas. Hal ini terkait dengan kreativitas dan kebebasan yang dimiliki setiap penulis (Kosasih, 2014: 116).

2) Isi Cerita Pendek

  Komponen yang terkandung di dalam isi teks cerpen disebut dengan unsur interinsik cerpen. Nurgiyantoro (2000: 23) menyatakan bahwa unsur interinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Unsur interinsik dapat dibagi menjadi tema, alur, tokoh dan penokohan, latar/setting, sudut pandang, amanat. Berikut peneliti uraikan bagian-bagian isi teks cerpen.

  a) Tema

  Tema merupakan hal penting dari sebuah cerita. Berdasarkan tema sebuah cerita dapat dibangun. Pengembangan segala unsur cerita semua bersumber dari tema. Hal ini sejalan dengan Tarigan (1984: 125) yang menyatakan bahwa tema merupakan hal yang paling penting dalam seluruh cerita.

  Lalu apakah tema itu? Telah banyak pendapat dari para ahli mengenai tema. Menurut Suwardjo dan Saini (1991:56), ”Tema adalah ide sebuah cerita.”Aminudin (1987:79) menyatakan,“Tema adalah ide yang mendasari suatu cerita sehingga berperan juga sebagai pangkal tolak pengarang dalam memaparkan karya fiksi yang diciptakannya.” Sukirno (2009: 68) menyatakan “Tema adalah makna cerita, gagasan sentral, atau dasar cerita yang hendak diperjuangkan dalam cerita.”

  Senada dengan pendapat di atas, Stanton dan Kenny (dalam Nurgiyantoro, 2000:67) menyatakan,” Tema adalah makna yang dikandung oleh sebuah cerita.”Ramanto dan Hartoko (1989:142) menyatakan, “Tema merupakan gagasan dasar umum yang menopang sebuah karya sastra di dalam teks sebagai struktur semantis dan yang meyangkut persamaan atau perbedaan-perbedaan.”Books dan Warren (dalam Tarigan, 1984:125) menyatakan “Tema adalah pandangan hidup yang tertentu atau perasaan tertentu mengenai kehidupan atau rangkaian nilai-nilai tertentu yang membentuk atau membangun dasar atau gagasan yang utama dari suatu karya sastra.” Berdasarkan pendapat-pendapat di atas peneliti dapat menyimpulkan bahwa yang di maksud tema adalah sebuah ide atau gagasan cerita yang menjadi dasar atau pangkal tolak pengarang ketika membangun sebuah cerita yang bersumber dari pandangan pengarang terhadap kehidupan. Tema tersebut terkandung dalam keseluruhan isi cerita.

  b) Alur

  Dalam sebuah cerpen pengarang menyajikan cerita tersebut yang terdiri atas rangkaian peristiwa yang menjadi satu cerita. Rangkaian peristiwa dalam sebuah cerpen dikenal dengan istilah plot atau alur. Kedua istilah tersebut sudah umum disepadankan atau disamakan maksudnya untuk menunjukkan bagaimana peristiwa itu dipaparkan sehingga menjadi kesatuan cerita yang utuh. Akan tetapi terdapat perbedaan pendapat para ahli mengenai plot dan alur.

  Alur adalah rangkaian cerita yang bersifat kronologis, dibangun oleh urutan waktu. Mungkin juga dibentuk oleh urutan keruangan atau spasial.

  Berdasarkan hal itu, kemudian dikenal adanya alur progresif atau alur maju. Dalam hal ini cerita bergerak runtut dari awal hingga akhir cerita (dari peristiwa A-B-C, dst). Ada pula cerita yang bergerak dari akhir cerita menuju awal (flash back : peristiwa C-B-A) (Kosasih, 2014: 120).

  Aminudin (1987:83) manyatakan “Plot atau alur adalah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin suatu cerita yang diharapkan oleh para pelaku dalam suatu peristiwa.” Foster (dalam Kusmini dan Abidin 2003:13) menyatakan “Plot adalah peristiwa-peristiwa cerita yang mempunyai penekanan pada adanya hubungan kausalitas.” Alam (dalam Nurgiyantoro, 2000:113) menyatakan bahwa plot adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian hanya dihubungkan secara sebab akibat peristiwa yang satu disebakan atau menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain. Sukada (1985:70) yang mengatakan bahwa plot merupakan serangkaian kejadian yang saling berkaitan, yang didalamnya terdapat konflik atau problem yang diselesaikan.

  Keberadaan alur dalam sebuah cerita memiliki urutan tertentu. Sukirno (2009: 65) menyatakan bahwa alur cerita jika dilihat dari urutan peristiwanya terdiri atas bagian awal, tengah, dan akhir. Lebih terinci lagi terdiri atas eksposisi, konflik, klimaks, peleraian, dan penyelesaian.

  Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa alur dapat dikatan sama dengan plotyang merupakanurutan kejadian atau peristiwa-peristiwa yang ada di dalam sebuah cerpen. Plot dalam keberadaanya membahas hubungan kausalitas atau sebab akibat terjadinya cerita, bukan hanya semata kaitan antara satu peristiwa dengan peristiwa lain. Hanya pada dasarnya plot dan alur membahasa tentang rangkaian cerita yang ada di dalam sebuah cerpen baik pada bagian awal, tengah dan akhir.

  c) Tokoh dan Penokohan

  Dalam cerpen kehadiran tokoh berperan sebagai unsur yang membawakan cerita tersebut. Sebagaimana diungkapkan Kusmini dan Abidin (2003:28), “Tokoh adalah pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita fiksi sehingga peristiwa itu mampu menjalin suatu cerita,” Jones (dalam Nurgiyantoro, 2000: 165) mengungkapkan bahwa penokohan adalah pelukisan/gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita.

  Keberadaan tokoh dalam cerpen memeiliki peran yang berbeda-beda sesuai dengan cerita yang dihadirkan oleh pengarang. Hal ini sejalan dengan Aminudin (1987: 79) yang menyatakan bahwa tokoh yang terdapat suatu cerita memiliki peranan yang berbeda-beda. Seorangg tokoh yang memiliki peranan penting dalam satu cerita disebut dengan tokoh inti atau tokoh utama. Sedangkan tokoh yang memiliki peranan tidak penting karena pemunculunnya hanya melengkapi, melayani, mendukung pelaku utama disebut tokoh tambahan atau tokoh pembantu.

  Lebih lanjut Aminudin (1987: 79) mengatakan bahwa Peristiwa dalam karya fiksi seperti halnya peristiwa dalam kehidupan sehari-hari, selalu diemban oleh tokoh atau pelaku-pelaku tertentu. Pelaku yang mengemban peristiwa dalam fiksi sehingga peristiwa itu mampu menjalin suatu cerita disebut dengan tokoh.

  Sedangkan cara pengarang menampilkan tokoh atau pelaku disebut penokohan.

  Sesuai pendapat tersebut tokoh dan penokohan merupakan hal yang berbeda tetapi ada pada satu unsur. Tokoh ditujukan kepada pelaku dalam cerpen sedangkan penokohan ditujukan kepada karakter atau segala sesuatu yang berhubungan dengan sifat yang ada dalam diri seorang tokoh dalam menjalankan perannya.

  Kehadiran tokoh dalam cerpen dapat diketahui dengan mudah sebab biasanya seorang pengarang akan langsung menyebutkan nama tokoh dalam cerpen tersebut, baik itu nama tokoh ataupun kata ganti peengarang “aku”. Berbeda halnya dengan penokohan, untuk mengenal penokohan dari seorang tokoh pembaca perlu mengkaji beberapa hal yang menunjukkan penokohan pelaku tersebut baik secara langsung maupun tidak langsung.

  Nurgiyantoro (2000:194) mengungkapkan bahwa teknik penelitian sifat, sikap, watak, tingkah laku, dan berbagai hal lain yang berhubungan dengan jati diri tokoh dapat dibedakan ke dalam dua cara atau teknik. 1)

  Teknik analitik atau langsung, yaitu pelukisan tokoh cerita dengan memberikandeskripsi, uraian atau penjelasan secara langsung.

  2) Teknik dramatik, yaitu yang dilakukan secara tidak langsung, pengarang tidak mendeskripsikan secara eksplisit sifat dan sikap serta tingkah laku tokoh.

  Selain itu, untuk memudahkan pembaca mengenal penokohan atau karakter tokoh dalam sebuah cerpen dapat dilakukan dengan beberapa cara.

  Aminudin (1987:81) mengungkapkan bahwa untuk memahami watak pelaku (penokohan) pembaca dapat menelusurinya dengan cara (a) tuturan pengarang terhadap karakteristik pelakunya. (b) Gambaran yang diberikan pengarang lewat gambaran lingkungan kehidupannya maupun caranya berpakaian. (c) Menunjukan bagaimana perilakunya. (d) Melihat bagaimana tokoh itu bebicara tentang dirinya sendiri. (e) Memahami bagaimana jalan pikiannya. (f) Melihat bagaimana tokoh lain berbicara tentangnya. (g) Melihat bagaimana tokoh lain berbincang dengannya. (h) Melihat bagaimana tokoh yang lain memberika reaksi terhdapnya. (i) Melihat bagaimana tokoh itu alam mereaksi tokoh yang lainnya. d) Latar atau Setting