BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pemikiran Politik dalam Keilmuan PKn 1. Pemikiran Politik - Adha Abdul Malik BAB II

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pemikiran Politik dalam Keilmuan PKn 1. Pemikiran Politik Menurut Syafe‟i (Yusuf, 2012:101) Istilah politik dalam bahasa Arab

  disebut siyasyah dan dalam bahasa Inggris disebut politics. Politik dalam pembicaraan keseharian diartikan sebagai suatu cara untuk mewujudkan suatu tujuan. Asal usul kata politik itu sendiri berasal dari kata polis yang berarti negara kota, sehingga dengan politik berarti ada hubungan khusus antara manusia yang hidup bersama, yang dalam hubungan tersebut timbullah aturan, kewenangan, legalitas kekuasaan.

  Secara spesifik politik diartikan sebagai pengetahuan mengenai ketatanegaraan (sistem pemerintahan) atau segala urusan dan tindakan (kebijakan,siasat) mengenai pemerintahan negara, atau dapat pula diartikan sebagai cara bertindak dalam menghadapi dan menangani suatu masalah.

  Menurut Bagus (Yusuf, 2012:101) menjelaskan beberapa pengertian politik atau politikos (Yunani), yang antara lain adalah perkara yang berkaitan dengan mengelola, mengarahkan, dan menyelenggarakan kebijaksanaan umum atau kebijaksanaan yang menyangkut partai-partai politik yang berperan dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara.

  Politik merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia, kapan dan dimana saja. Politik merupakan suatu strategi untuk tujuan bersama manusia (bukan hanya untuk individu atau golongan) yaitu suatu kehidupan yang berkeadilan, berkesejahteraan, dan berketentraman dan harus dalam bingkai moralitas dan spiritualitas.

  Berkaitan dengan pembahasan mengenai hubungan negara dan agama peneliti menggunakan pemikiran politik Islam, peneliti akan menyampaikan mengenai pandangan-pandangan berkaitan dengan politik atau siyasah dalam konteks (agama dan negara) yang di gagas oleh para filosof Islam, adapun menurut Iqbal dan Nasution (2015: 54) pemikiran politik Islam, menurut filosof Islam antara lain:

  Menurut pandangan al-Mawardi mengenai pemikiran politik bahwasanya selepas jaman kenabian (nubuwwah) dalam rangka melindungi agama dan mengatur kehidupan dunia maka di butuhkan seorang imamah (pemimpin). Pelembagaan imamah menurutnya adalah “fardhu kifayah” berdasarkan “ijma” ulama. Pandangannya ini juga sejalan dengan kaidah ushul yang menyatakan “ma

  la yatimmu al- wajib illa bihi, fahuwa wajib”(suatu kewajiban tidak sempurna

  kecuali melalui sarana atau alat, maka sarana atau alat itu juga hukumnya wajib).

  Pandangan politik yang disampaikan oleh al-Mawardi juga di atur berkaitan dengan bagaimana menentukan kriteria seorang pemimpin, serta bagaimana hubungan timbal balik antara seorang kepala negara sebagai penerima amanah dan rakyat sebagai pemberi amanah, dan bagaimana rakyat selaku warga negara didalam menangani ketika menemukan pemimpin yang tidak amanah. Berkaitan sudut pandang al-Mawardi bahwasanya peran dari negara, pemimpin, rakyat

  (warga negara) itu sangat penting didalam menjaga kehidupan baik hubungan dengan agama maupun dengan negara (dunia).

  Berkaitan dengan pemikiran politik al-Ghazali sependapat dengan al- Mawardi bahwa mendirikan imamah adalah wajib. Al-Ghazali menggambarkan hubungan antara agama dan kekuasaan politik dengan ungkapan :

  “Sultan (disini berarti kekuasaan politik) adalah wajib untuk ketertiban dunia; ketertiban dunia wajib bagi ketertiban agama; ketertiban agama wajib bagi keberhasilan di akhirat. Inilah tujuan sebenarnya para rasul. Jadi, wajib adanya imam merupakan kewajiban agama dan tidak ada jalan untuk meninggalkannya”. Ungkapan yang disampaikan oleh al-Ghazali ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan yang dikemukakan oleh al-Mawardi diatas, tentang bentuk pemerintahan, kewajiban mendirikan suatu pemerintahan dan mengangkat imam yang berfungsi untuk mengurusi persoalan agama dan dunia. Menurut al-Ghazali manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup tanpa bantuan orang lain. Disinilah perlunya hidup bermasyarakat dan bernegara. Pembentukan negara bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan praktis duniawi, melainkan juga untuk persiapan bagi kehidupan akhirat.

  Menurut Ibn Taimiyah mengatur urusan umat memang merupakan bagian dari kewajiban agama yang terpenting, tetapi hal ini tidak berarti pula bahwa agama tidak dapat hidup tanpa negara. Berbeda dengan al-Mawardi, Ibn Taimiyah menggunakan pendekatan sosiologis. kesejahteraan manusia tidak dapat tercipta kecuali hanya dalam satu tatanan sosial dimana setiap orang saling bergantung pada yang lainnya. Oleh sebab itu dibutuhkan pemimpin untuk mengatur kehidupan sosial tersebut. Ibn Taimiyah juga menekankan hubungan antara agama dan negara yang sangat penting.

  Ibn Khaldun berpandangan bahwa agama adalah faktor penting yang dapat mempersatukan berbagai perbedaan dalam masyarakat. Agama harus di gandengkan dengan solidaritas kelompok, sehingga mampu memberikan kontribusi yang nyata bagi kekuasaan politik. Sebaliknya, bila agama dan solidaritas kelompok ini dipertentangkan, maka yang terjadi adalah disintegrasi. Jadi, kalau solidaritas kelompok merupakan perintis bagi eksistensi suatu negara, maka agama akan menjadi penopang kekuasaan (negara) tersebut.

  Ibn Khaldun memandang bahwa agama memainkan peranan penting. Bagi Ibn Khaldun, kehancuran suatu dinasti atau negara didahului oleh tidak berjalannya peran strategis agama dalam mengarahkan kekuasaan.

  Menurut Syaifullah (Fajar dan Faridli, 2017:8) ada tiga teori mengenai pemikiran politik Islam modern yang muncul didunia Islam, yaitu teori

  revivalisme, teori sekularisme, dan teori modernisme , antara lain: Pertama, teori Revivalisme faham ini berpandangan bahwa Islam adalah

  agama yang sempurna dan lengkap yang dapat mengatur segala aspek kehidupan, termasuk kehidupan bernegara. Aliran ini juga berpendapat bahwa umat Islam hendaknya kembali pada sistem politik (ketatanegaraan) Islam dan tidak perlu meniru sistem politik Barat. Teori ini disebut Revivalisme merupakan suatu paham politik yang menginginkan kebangkitan Islam melalui praktik politik Islam yang diteladani dari Nabi Muhammad dan Khulafau al-Rasyidin. Teori ini dilatar belakangi oleh suatu keyakinan bahwa segala sesuatunya ada dalam al- Qur‟an, termasuk sistem politik.

  Menurut Iqbal dan Nasution (2015:75) Teori ini tercermin dalam pemikiran Mohammad Rasyid Ridha, Ikhwanul Muslimin, dan Mawdudi. Ridha berpandangan bahwa keutuhan umat Islam hanya dapat terwujud melalui

  Jami’ah

Islamiyah atau Pan Islamisme (bersatunya umat Islam), dengan mempertahankan

  lembaga kekuasaan Usmaniyah murni dibawah pimpinan Sultan Abdul Hamid II yang mempersatukan seluruh umat Islam, dengan tujuan memperkuat wibawa dan kemampuan Sultan dalam menghadapi tantangan dan kekuatan asing. Keinginan kuat Ridha untuk mempertahankan lembaga khalifah ini tampak jelas dari kesungguhannya untuk mendirikan lembaga khalifah baru. Upaya untuk mewujudkan lembaga khalifah yang baru ini adalah dengan mengadakan Muktamar Akbar di Mesir pada 1926. Upaya seperti itu pernah dicoba di Makkah pada 1925, yang dihadiri oleh Ridha. Namun, kedua muktamar tersebut berakhir dengan kegagalan.

  Teori ini juga digagas Sayyid Qutub, seorang aktivis dan pemikir politik Ikhwanul Muslimin. Menurut Syaifullah (2015:16) Ia mengemukakan tiga pokok pikiran politik Islam. (1). Dunia Islam merupakan suatu kesatuan politik, dibawah satu pemerintahan suprasional dengan sistem sentralisasi yang dikelola atas prinsip kekuasaan penuh diantara semua umat Islam yang berada diseluruh penjuru dunia Islam, tanpa adanya fanatisme ras dan kedaerahan, serta tanpa mengenal batas-batas kebangsaan. (2). Persamaan hak diantara para pemeluk berbagai agama. (3). Pemerintahan dalam Islam didasarkan atas tiga asas, yakni keadilan penguasa, ketaatan rakyat, dan permusyawaratan antar penguasa dan rakyat.

  Menurut Abul A‟ala Al-Mawdudi (Iqbal dan Nasution, 2015:168) juga sebagai wakil teori ini, mendasarkan pandangan politik Islam pada tiga keyakinan.

  (1). Islam adalah agama paripurna, lengkap dengan petunjuk untuk mengatur semua segi kehidupan manusia, termasuk kehidupan politik, yang berarti bahwa dalam Islam terdapat pula sistem politik. Oleh karenya, dalam bernegara, umat Islam tidak perlu atau bahkan dilarang meniru sistem Barat. (2). Kekuasaan atau kedaulatan tertinggi adalah pada Allah atau khalifah-khalifah Allah dibumi. (3).

  Sistem politik Islam adalah suatu sistem universal dan tidak mengenal batas, ikatan geografis, bahasa, dan kebangsaan. Uraian singkat tentang gagasan-gagasan pokok tokoh-tokoh diatas menunjukan adanya kesamaan pemikiran, yang mencerminkan teori revivalisme.

  Kedua , teori Sekularisme, teori ini berpandangan bahwa Al-

  Qur‟an tidak mengatur masalah politik atau negara lebih jauh. Pendukung teori ini berpandangan bahwa Nabi Muhammad hanyalah seorang rasul biasa dengan tugas tunggal, yakni mengajak manusia kembali pada kehidupan yang mulia dengan menjunjung tinggi budi pekerti luhur, dan Nabi Muhammad tidak pernah bermaksud untuk mendirikan dan mengepalai negara atau politik. Teori ini disebut sekularisme, suatu paham yang memisahkan agama dan negara atau politik.

  Tokoh yang menganut teori ini, Thaha Husein, sebagaimana dikutip oleh Syaifullah, berpendapat bahwa, sesungguhnya politik adalah sesuatu dan agama adalah sesuatu yang lain. Dan, sesungguhnya politik sistem pemerintahan dan pembentukan negara adalah atas dasar manfaat-manfaat amaliah, bukan atas dasar sesuatu yang lain. Al-

  Qur‟an tidak mengatur sistem pemerintahan, baik secara umum maupun secara khusus. Teori ini berpandangan bahwa pemerintahan Nabi di Madinah maupun khalifah-khalifah sesudahnya bukanlah pemerintahan yang didasarkan pada wahyu, melainkan pemerintahan insani, sehingga tidak pantas jika dianggap sakral. Pandangan yang diungkapkan oleh Thaha Husein atas dasar kalo memang pemerintahan yang dijalankan Nabi Muhammad itu seluruhnya atas perintah Allah, tentu tidak seorang pun yang diajaknya bermusyawarah. Baiat (sumpah setia) selalu diminta oleh Nabi dan kedua sahabatnya (Abu Bakar dan Umar Ibnu Khattab) pada kaum muslimin.

  Sejalan dengan pemikiran tokoh diatas, Ali Abd al-Raziq mengatakan bahwa Islam tidak menetapkan suatu rezim pemerintahan tertentu dan tidak pula mendesakan kepada kaum muslimin suatu sistem pemerintahan tertentu lewat mana mereka harus diperintah, tetapi Islam telah memberikan kebebasan mutlak kepada kaum muslimin untuk mengorganisasikan negara sesuai dengan kondisi intelektual, sosial, dan ekonomi yang mereka miliki, dan dengan mempertimbangkan perkembangan sosial dan tuntutan zaman. Tentang kekhalifahan, Ali Abd al-Raziq berpendapat bahwa hal tersebut tidak ada dalam al-

  Qur‟an dan sunnah. Kedua sumber Islam itu tidak menyebut istilah khalifah dalam pengertian kekhalifahan yang pernah ada dalam sejarah. Demikian menurut Ali Abd al-Raziq, kekuasaan politik yang diperlukan oleh umat Islam bukanlah tuntutan agama, melainkan tuntutan situasi sosial politik itu sendiri dengan menggunakan instrumen akal, walaupun tujuan akhirnya adalah tuntutan untuk memeluk suatu agama. Baik Thaha Husein maupun Ali Abd al-Raziq mempunyai pandangan politik yang paralel, yang mencerminkan corak teori sekularisme.

  Ketiga , teori Modernisme, teori ini berpandangan bahwa dalam al-

  Qur‟an tidak terdapat sistem politik, tetapi terdapat seperangkat tata-nilai etika bagi kehidupan berpolitik. Walaupun Muhammad Abduh lebih merupakan tokoh pembaru agama, pemikiran politiknya cukup mewakili alirin ini. Seperti dikutip oleh Syaifullah, Abduh mengatakan sesungguhnya dalam Islam tidak terdapat kekuasaan kegamaan selain kewenangan untuk memberikan peringatan secara baik, mengajak orang lain kearah kebaikan, dan menariknya dari kebutuhan. Kewenangan ini diberikan kepada setiap muslimin, baik yang berpangkat tinggi maupun rakyat biasa. Pandangan Muhammad Abduh ini mencerminkan bahwa misi Islam yang menjadi tugas muslimin adalah seruan Amar Makruf Nahi

  

Munkar . Dengan kata lain, diluar wilayah agama atau keyakinan, misi

  kemanusiaan adalah sebatas seruan kebaikan, tentu saja dengan panduan dasar- dasar etika Islam.

  Dalam teori Modernisme, pemikiran politik Mohammad Husein Haikal lebih tegas. Ia menyatakan bahwa Islam tidak memberikan petunjuk yang langsung dan terperinci tentang bagaimana umat Islam mengatur urusan negara. Islam hanya meletakan prinsip-prinsip dasar bagi peradaban manusia, atau ketentuan-ketentuan dasar yang mengatur perilaku manusia dalam kehidupan dan pergaulan dengan sesamanya, yang pada gilirannya akan mewarnai pola kehidupan politik. Ada tiga prinsip dasar yang ditawarkan Husein Haikal. Percaya akan keesaan Tuhan; percaya adanya hukum alam dari Tuhan (sunatullah); dan persamaan. Sejarah umat manusia, perbedaan keyakinan dasar selalu menjadi penyebab keresahan masyarakat atau negara. Oleh sebab itu, Islam mengajak umat manusia untuk menyetujui suatu keyakinan dasar sebagai asas tunggal bagi kehidupan bersama, yaitu percaya pada keesaan Tuhan (tauhid) sesuai dengan firman Allah, surat An-Nisa ayat 48. Allah tidak akan mengampuni perbuatan menyekutukan Tuhan, dan Dia akan mengampuni dosa-dosa lain bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Sedangkan yang percaya akan keesaan Allah tidak hanya umat Islam, banyak umat agama-agama lain juga percaya akan keesaan Allah, termasuk umat Yahudi.

  Tentang prinsip hukum alam (sunatullah), Islam percaya bahwa alam semesta ini, termasuk kehidupan umat manusia, tunduk pada sunah Allah, atau hukum alam dari Allah, yang sifatnya pasti, serta tidak pernah tidak akan berubah. Dalam konteks ini, Syaifullah memberi komentar bahwa Haikal, tampaknya ingin mengatakan bahwa dalam pengelolaan masyarakat atau negara agar diperhatikan watak-watak manusia sesuai dengan fitrah alamiahnya.

  Tentang prinsip persamaan, Islam mengakui bahwa semua manusia sama derajatnya dihadapan Tuhan, sama hak dan kewajibannya, dan sama-sama tunduk pada sunah Allah. Persamaan ini melahirkan persaudaraan umat Islam; satu sama lain bersaudara, dengan hak dan kewajiban yang sama, tidak ada perbedaan antara Arab dan bukan Arab. Pada sisi lain, dalam prinsip persamaan yang melahirkan persaudaraan ini tidak dibenarkan adanya pemaksaan untuk memeluk agama karena Islam menjamin kebebasan beragama dan menyatakan pendapat.

  Tiga prinsip yang dikemukakan oleh Husein Haikal tersebut dapat dijadikan panduan bagi peradaban manusia dan perilaku manusia dalam bermasyarakat dan bernegara.

  Teori modernisme diwakili Muhammad Abduh dan Muhammad Husein Haikal, berpandangan bahwa agama dan negara (politik) berhubungan secara simbiotis, yaitu agama memerlukan negara (politik), karena dengan negara, agama dapat berkembang. Sebaliknya, negara memerlukan agama, karena dengan agama, negara dapat berkembang dalam bimbingan etika. Pandangan tentang simbiosis agama dan negara dapat ditemukan dalam, pemikiran Al-Mawardi, Al-Ghazali, Muhammad Abduh. Dalam karyanya yang terkenal, Al-Ahkam wa Al-Sultaniyah, Al-Mawardi menegaskan bahwa kepemimpinan negara merupakan instrumen untuk meneruskan misi kenabian, guna memelihara agama dan mengatur dunia.

  Al-Ghazali mengisyaratkan hubungan setara atau sejajar antara agama dan negara, seperti kesetaraan nabi dan raja, yang berarti raja (atau negara) yang berstatus tinggi berhubungan dalam kesejajaran dengan nabi (atau agama). Jika Tuhan mengirimkan para nabi dan memberi mereka wahyu, maka Dia juga telah mengirim para raja dan memberi mereka “kekuatan Ilahi” (farriizadi). Keduanya memiliki tujuan yang sama, yaitu kemaslahatan kehidupan manusia. Al-Ghazali secara jelas menegaskan tentang hubungan kesetaraan, yaitu bahwa agama dan negara (politik) adalah saudara kembar yang lahir dari satu ibu. Muhammad Abduh mengakui bahwa Islam bukan agama semata-mata, melainkan juga mempunyai hukum-hukum yang mengatur hubungan sesama muslimin dan sesama hidup, yang untuk pelaksanaan dan pengawasan berlakunya memerlukan penguasa, lengkap dengan aparatnya. Tugas ini merupakan tanggung jawab kepala negara beserta perangkat pemerintahannya.

  Dengan demikian, baik al-Mawardi, al-Ghazali, maupun Muhammad Abduh mengenalkan hubungan timbal balik, hidup bersama (simbiosis), serta kesetaraan antara agama dan negara (politik). Adanya konsep hubungan timbal balik antara agama dan politik di satu sisi, dan prinsip dasar yang ditunjukan Islam pada wilayah politik, membuka peluang besar untuk melakukan ijtihad politik, di sisi yang lain.

  Berdasarkan ketiga teori tentang pemikiran politik Islam Modern diatas sehingga dapat dijadikan dasar tela‟ah yang di lakukan peneliti dalam menganalisa pergerakan Muhammadiyah dalam realitas perpolitikan di Indonesia.

2. Hubungan Pemikiran Politik dalam Keilmuan PKn

  Pendidikan kewarganegaraan merupakan bagian penting dalam kehidupan kenegaraan dan kebangsaan. Dalam konteks perjalanan bangsa dan negara Indonesia sebagai negara bangsa (nation states), pembentukannya masih terus tumbuh dan berkembang seiring dengan dinamika yang terjadi. Menjadikan Indonesia sebagai negara bangsa sejak awal kemerdekaan tidak terlepas dari peran para tokoh dan intelektual bangsa seperti Soekarno, Moh. Hatta, Moh. Yamin, H.

  Agus S alim, Moh. Natsir, Moh. Roem, KH. Hasyim Asy‟ari, KH. Ahmad Dahlan, dan termasuk didalamnya Ki Bagus Hadikusumo sebagai warga negara yang peduli dengan bangsanya dan cinta kepada tanah air.

  Perjalanan panjang sejarah politik Islam di Indonesia dan perjuangannya terkait dengan kontekstualisasi dan artikulasi relasi agama dan negara dalam konteks kebangsan dan keindonesiaan dipandang oleh Ki Bagus Hadikusumo bahwasanya ajaran agama Islam pantas dan layak untuk dijadikan sebagai dasar bagi berdirinya negara Indonesia. Pemikiran politik oleh Ki Bagus Hadikusumo dipandang sebagai sesuatu yang memiliki tujuan untuk menegakan hukum kebenaran dan keadilan. Menurut Hadikusumo (1973:24) Pandangan politik yang dianut oleh Ki Bagus Hadikusumo yang ahirnya membuat Ki Bagus Hadikusumo turut serta didalam perjuangan politik untuk menghasilkan kemerdekaan bagi bangsa dan tanah airnya, dan agama Islam. Kemerdekaan menurut Ki Bagus Hadikusumo memiliki esensi bahwa kemerdekaan itu harus mampu memenuhi hajat hidup rakyat, jasmani, dan rohani.

  Ki Bagus Hadikusumo merupakan salah seorang tokoh bangsa yang sangat fenomenal di kalangan intelektual-cendekiawan-muslim Indonesia terutama sejak masa Indonesia sebelum merdeka. Ki Bagus Hadikusumo merupakan seorang tokoh dari Muhammadiyah yang termasuk didalam golongan nasionalis Islam yang berusaha merumuskan pola hubungan agama dengan negara.

  Pandangan Ki Bagus Hadikusumo mengenai hubungan agama dan negara, bahwa antara agama dan negara itu tidak bisa dipisahkan satu sama lain, pemikiran Ki Bagus Hadikusumo tersebut memiliki dasar bahwa nilai-nilai yang terdapat didalam agama Islam pantas dan layak untuk dijadikan sebagai landasan bagi berdirinya negara kesatuan Republik Indonesia. Untuk mempertahankan pandangan Ki Bagus Hadikusumo mengenai hubungan antara agama dengan negara, untuk itu Ki Bagus Hadikusumo turut terlibat perjuangannya didalam politik.

  Hubungan agama dan negara dalam konteks dunia Islam kiranya masih menjadi isu yang strategis untuk mewujudkan demokrasi di Indonesia. Menurut Maarif (2017:214) dalam hal ini mengkritisi bahwa ketegangan perdebatan tentang hubungan agama dan Negara dalam Islam disulut oleh hubungan yang agak canggung antara Islam sebagai agama (din) dan Negara (dawlah). Berbagai eksperimen telah diselesaikan untuk menyelaraskan antara din dan dawlah dengan konsep dan kultur masyarakat muslim. Perdebatan Islam dan Negara berangkat dari pandangan dominan, Islam sebagai sebuah sistem kehidupan yang menyeluruh (syumuli) yang mengatur semua kehidupan manusia, termasuk persoalan politik. Dari sudut pandang Islam sebagai agama yang komprehensif, hal ini pada dasarnya dalam Islam tidak terdapat konsep pemisahan antara agama (din) dan politik (dawlah). Argumentasi ini sering dikaitkan dengan posisi Nabi Muhammad saw. Menurut Azra (2007: 38) di kota Madinah Muhammad berperan ganda, satu sisi beliau sebagai seorang pemimpin agama sekaligus sebagai kepala negara yang memimpin sebuah sistem pemerintahan awal Islam yang oleh kebanyakan pakar dinilai sangat modern di masanya.

  Untuk melihat lebih jauh aktivitas dan kontribusi pemikiran Ki Bagus Hadikusumo dalam membangun demokrasi dan masyarakat beradab (civil society) Indonesia yang modern, demokratis, toleran, moderat, tanpa harus menanggalkan jati diri sebagai muslim dan bagian dari bangsa Indonesia. Studi ini dilakukan dengan dasar pertimbangan bahwa pemikiran yang dihasilkan dan gerakan sosiokultural yang di implementasikan oleh Ki Bagus Hadikusumo tersebut merupakan suatu pola yang patut disuriteladani dengan pengembangan kajian keilmuwan dan pola pemberdayaan warga negara yang dapat mengedepankan

  

civic culture dalam kehidupan masyarakat dan bangsa, serta menjadi bagian dari

warga global dalam membangun tatanan dunia yang rahmatan li al-alamin.

  Gerakan sosiokultural kewarganegaraan yang dilakukan oleh Ki Bagus Hadikusumo telah membuat sejarah bangsa berubah dimana kaum santri yang dalam teori Clifford Geertz (Rozak, 2015:61) diidentikkan sebagai kaum sarungan, kolot, tradisional dan menolak modernitas, tampil dengan pola pikir dalam ”identitas baru” yang lebih intelek, progresif dan modern, dengan merumuskan pola hubungan antara agama dan negara.

  Menurut Winataputra (Rozak, 2015:82) Secara konseptual dipandang bahwa “pendidikan kewarganegaraan” atau citizenship education merupakan bidang kajian ilmiah pendidikan disiplin ilmu sosial yang bersifat “lintas bidang keilmuan” dengan intinya ilmu politik, yang secara paradigmatik memiliki saling keterpautan yang bersifat komplementatif dengan pendidikan ilmu sosial secara keseluruhan. Dalam hal ini, bahwa (a) social studies berpijak terutama pada konsep-konsep dan metode berpikir ilmu-ilmu sosial secara keseluruhan, sedang

  

citizenship education berpijak terutama pada ilmu politik dan sejarah; (b) salah

satu dimensi dari social studies adalah citizenship education.

  Hubungan pemikiran politik dalam kerangka keilmuan Pendidikan Kewarganegaraan jika dilihat dalam kultur akademis dan pedagogis Pendidikan Kewarganegaraan, seperti pada pembahasan diatas sebelumnya maka berada didalam domain ilmiah civic education sebagai integrated knowledge system dan domain sosial kultural berupa pemikiran para tokoh intelektual. Dalam penelitian, kedua domain tersebut memiliki keterkaitan yang erat satu sama lain.

  Secara paradigmatik sistem pendidikan kewarganegaraan memiliki tiga komponen, yakni: (a) kajian ilmiah pendidikan ilmu kewarganegaraan; (b) program kurikuler Pendidikan Kewarganegaraan; dan (c) gerakan sosial-kultural kewarganegaraan (Winataputra, 2001), yang secara koheren bertolak dari esensi dan bermuara pada upaya pengembangan pengetahuan kewarganegaraan, nilai dan sikap kewarganegaraan, dan keterampilan kewarganegaraan. Sedangkan secara kontekstual logika internal dan dinamika eksternal sistem pendidikan kewarganegaraan dipengaruhi oleh aspek-aspek pengetahuan intraseptif berupa Agama dan Pancasila; pengetahuan ekstraseptif ilmu, teknologi, dan seni; cita- cita, Nilai, konsep, prinsip, dan praksis demokrasi; masalah-masalah kontemporer Indonesia; kecenderungan dan masalah globalisasi; dan kristalisasi civic virtue dan civic culture untuk masyarakat madani Indonesia-masyarakat negara kebangsaan Indonesia yang berdemokrasi konstitusional. Aspek esensial yang menjadi faktor perekat (integrating forces) dari ketiga komponen sistem pendidikan kewarganegaraan sehingga membentuk suatu kerangka paradigmatik yang koheren adalah konsep warga negara yang cerdas, demokratis, taat hukum, beradab, dan religius sebagai perangkat kompetensi kewarganegaraan (civic

  

knowledge, civic disposition and civic skills-civic virtue ) yang berkembang secara

dinamis.

  Istilah PKn yang digunakan didalam penelitian adalah PKn dalam arti

  

citizenship education yaitu sebagai istilah generik yang mencakup pengalaman

  belajar di sekolah dan di luar sekolah, seperti yang terjadi di lingkungan keluarga, organisasi keagamaan, organisasi kemasyarakatan dan sebagai kerangka konseptual dan sistematik dalam bentuk pemikiran individual dan kelompok pakar terkait dengan berbagai upaya pengembangan dan penguatan keilmuan pendidikan kewarganegaraan. Menurut Rozak (2015:75) citizenship education memiliki visi sosio-pedagogis yaitu mendidik warganegara yang demokratis dalam konteks yang lebih luas, yang mencakup konteks pendidikan formal dan pendidikan non- formal. Pendidikan kewarganegaraan (citizenship education

  • –civic education)

  secara substantif dan pedagogis didesain untuk mengembangkan warganegara yang cerdas dan baik (good and smart citizenship) untuk seluruh jalur dan jenjang pendidikan. Sampai saat ini bidang itu sudah menjadi bagian inheren dari instrumentasi serta praksis pendidikan nasional Indonesia dalam lima status, diantaranya : 1. Pendidikan kewarganegaraan sebagai mata pelajaran di persekolahan.

  2. pendidikan kewarganegaraan sebagai mata kuliah di perguruan tinggi. 3. pendidikan kewarganegaraan sebagai salah satu cabang pendidikan disiplin ilmu pengetahuan sosial dalam kerangka program pendidikan guru.

  4. Pendidikan kewarganegaraan sebagai program pendidikan politik, pendidikan demokrasi dan HAM dalam ranah pendidikan kemasyarakatan.

  5. Pendidikan kewarganegaraan sebagai kerangka konseptual dan sistematik dalam bentuk pemikiran individual dan kelompok pakar terkait dengan berbagai langkah dalam pengembangan keilmuan pendidikan kewarganegaraan sebagai suatu bidang kajian ilmiah yang melandasi dan sekaligus menaungi pendidikan kewarganegaran. Penelitian ini merupakan bagian dari instrumen dan praksis PKn dalam status kelima dari kelima status diatas, yaitu sebagai kerangka konseptual dan sistematik dalam bentuk pemikiran individual dan kelompok pakar terkait dengan berbagai langkah dalam pengembangan keilmuan PKn sebagian bidang kajian ilmiah yang mendasari dan sekaligus menaungi PKn (Winataputra, 2012:73)

  Dalam konteks proses menuju Indonesia baru dengan konsepsi masyarakat madani sebagai tatanan ideal sosial-kulturalnya, maka pendidikan kewarganegaraan (Wahab dan Sapriya, 2011) mengemban misi sebagai berikut: sosio-pedagogis, sosio-kultural, dan substantif-akademis.

  Misi sosio-pedagogis adalah mengembangkan potensi individu sebagai insan tuhan dan makluk sosial untuk menjadi warga negara Indonesia yang cerdas, demokratis, taat hukum, beradab, dan religius. Misi sosio-kultural adalah memfasilitasi perwujudan cita-cita, sistem kepercayaan/nilai, konsep, prinsip, dan praksis demokrasi dalam konteks pembangunan masyarakat madani Indonesia melalui pengembangan partisipasi warganegara secara cerdas dan bertanggungjawab dengan berbagai kegiatan sosiokultural yang didesain secara kreatif-inovatif yang bermuara pada tumbuh dan berkembangnya komitmen moral social, dan keadaban kewarganegaraan. Misi substantif-akademis adalah mengembangkan struktur atau batang tubuh keilmuan pendidikan kewarganegaraan, termasuk di dalamnya konsep, prinsip, dan generalisasi mengenai dan yang berkenaan dengan civic virtue (keadaban kewarganegaraan) dan civic culture (budaya kewarganegaraan) melalui kegiatan penelitian dan pengembangan (fungsi epistemologis) dan memfasilitasi praksis sosio-pedagogis dan sosio-kultural dengan hasil penelitian dan pengembangannya itu (fungsi aksiologis).

  Perwujudan ketiga misi tersebut akan memfasilitasi pengembangan pendidikan kewarganegaraan sebagai proto science dalam rangka menjadi disiplin baru dan dalam waktu bersamaan secara sinergistik akan dapat meningkatkan kualitas isi dan proses pendidikan kewarganegaraan sebagai program kurikuler pendidikan politik, pendidikan demokrasi dan HAM serta kegiatan sosio-kultural dalam koteks makro pendidikan nasional. Sebagai suatu domain kajian pendidikan ilmu, pendidikan kewarganegaraan memerlukan kelembagaan yang berfungsi sebagai sarana institusional yang memfasilitasi pengembangan epistemologi dan perwujudan aksiologi kedisiplinannya, dan komunitas ilmiah yang berperan sebagai kelompok pemikir wacana akademisnya dan pengembang sarana programatiknya.

  Pendidikan Kewarganegaraan memiliki dua dimensi ontologi, yakni objek telaah dan obyek pengembangan. Objek telaah adalah keseluruhan aspek idiil, instrumental, dan praksis pendidikan kewarganegaraan yang secara internal dan eksternal mendukung sistem kurikulum dan pembelajaran pendidikan kewarganegaraan di persekolahan dan di kemasyarakatan, serta format gerakan sosial-kutural kewarganegaraan masyarakat. Kajian tentang pemikiran politik termasuk pemikiran politik yang dikemukakan oleh kaum intelektual muslim yang masuk kedalam golongan nasionalis Islam Indonesia seperti Ki Bagus Hadikusumo adalah menjadi bagian integral dari obyek telaah keilmuan pendidikan kewarganegaraan. Dengan memasukkan pemikiran politik kaum intelektual muslim Indonesia seperti Ki Bagus Hadikusumo, pendidikan kewarganegaraan Indonesia memiliki karakteristik dan menjadi nilai beda dengan telaahan keilmuan pendidikan kewarganegaraan pada umumnya. Begitu juga dengan gerakan sosiokultural kewarganegaraan yang dilakukan oleh Ki Bagus Hadikusumo dapat menambah khazanah dan model obyek pengembangan dari ranah dimensi ontologis keilmuan pendidikan kewarganegaraan. Dengan kata lain kajian penelitian ini memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan dimensi ontologis keilmuan pendidikan kewarganegaraan. Adapun objek pengembangan adalah keseluruhan ranah sosio-psikologis peserta didik, yakni ranah kognitif, afektif, konatif, dan psikomotorik yang menyangkut status, hak, dan kewajibannya sebagai warga negara, yang perlu dimuliakan dan dikembangkan secara programatik guna mencapai kualitas warga negara yang “cerdas, dan baik, demokratis, religius, dan berkeadaban dalam konteks kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

  Aspek epistemologi pendidikan kewarganegaraan berkaitan erat dengan aspek ontologi pendidikan kewarganegaraan, karena memang proses epistemologis, yang pada dasarnya berwujud dalam berbagai bentuk kegiatan sistematis dalam upaya membangun pengetahuan bidang kajian ilmiah pendidikan kewarganegaraan sudah seharusnya terkait pada obyek telaah dan obyek pengembangan. Kegiatan epistemologis pendidikan kewarganegaraan mencakup metodologi penelitian dan pengembangan. Metodologi penelitian digunakan untuk mendapatkan pengetahuan baru melalui metode penelitian kuantitatif yang menonjolkan proses pengukuran dan generalisasi untuk mendukung proses konseptualisasi, dan metode penelitian kualitatif yang menonjolkan pemahaman holistik terhadap fenomena alamiah untuk membangun suatu teori. Metodologi pengembangan digunakan untuk mendapatkan paradigma pedagogis dan rekayasa kurikuler yang relevan guna mengembangkan aspek- aspek sosial-psikologis peserta didik, dengan cara mengorganisasikan berbagai unsur instrumental dan kontekstual dalam pendidikan kewarganegaraan.

  Selanjutnya yang termasuk ke dalam aspek aksiologi pendidikan kewarganegaraan adalah berbagai manfaat dari hasil penelitian dan pengembangan dalam bidang kajian pendidikan kewarganegaraan yang telah dicapai, bagi dunia pendidikan persekolahan dan pendidikan kemasyarakatan.

  Hasil-hasil penelitian dan pengembangan citizenship education dan civic

  

education dalam dunia pendidikan persekolahan banyak memberi manfaat dalam

  merancang program pendidikan guru, meningkatkan kualitas kemampuan guru, meningkatkan kualitas proses pembelajaran, meningkatkan kualitas sarana dan sumber belajar, dan meningkatkan kualitas penelitian dan pengembangan dalam rangka revitalisasi pendidikan kewarganegaraan sebagai pendidikan politik, pendidikan demokrasi dan HAM sekaligus sebagai pendidikan karakter bangsa.

  Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pendidikan kewarganegaraan merupakan suatu sistem pengetahuan yang memiliki: (a) ontologi civic behavior dan civic culture yang bersifat multidimensional (filosofis, ilmiah, kurikuler, dan sosial kultural); (b) epistemologi research, development, and diffusion dalam bentuk kajian ilmiah dan pengembangan program kurikuler, perilaku dan konteks sosial kultural warganegara, serta komunikasi akademis, kurikuler, dan sosial dalam rangka penerapan hasil kajian ilmiah dan pengembangan kurikuler dan instruksional dalam praksis pendidikan demokrasi untuk warganegara di sekolah dan masyarakat; dan (c) aksiologi untuk memfasilitasi pengembangan body of knowledge sistem pengetahuan atau disiplin pendidikan kewarganegaraan; melandasi dan memfasilitasi pengembangan dan pelaksanaan pendidikan demokrasi di sekolah dan diluar sekolah; dan membingkai serta memfasilitasi berkembangnya koridor proses demokratisasi secara sosial kultural dalam masyarakat.

  Dengan mengakomodasi pemikiran politik kaum intelektual muslim Indonesia sebagai bagian dari materi kajian Pendidikan Kewarganegaraan, keberadaan dan posisi Pendidikan Kewarganegaraan yang secara legal formal dalam Undang-undang Sistem Pendidikan nasional Nomor 20 tahun 2003 sebagai sesuatu bahan kajian yang harus ada dalam kurikulum persekolahan mulai jenjang pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi jenjang sarjana akan semakin efektif peran yang dapat dilakukan oleh Pendidikan Kewarganegaraan dalam rangka pelaksanaan fungsi dan perwujudan tujuan pendidikan nasional. Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa” (pasal 3 UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional). Sedangkan tujuan pendidikan nasional (pasal 3 UU No. 20 tahun

  2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional) adalah “untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman ban bertaqwa kepada tuhan yang maha esa, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warganegara yang demokratis dan bertanggung jawab”.

B. Konsep Negara 1. Pengertian Negara

  Istilah negara merupakan terjemahan dari beberapa kata asing: state (Inggris), staat (Belanda dan Jerman), atau etat (Perancis). Menurut Mahmuda (2017:287) Secara terminologi, negara diartikan sebagai organisasi tertinggi di antara satu kelompok masyarakat yang memiliki cita-cita untuk bersatu, hidup di dalam suatu kawasan, dan mempunyai pemerintahan yang berdaulat. Pengertian ini mengandung nilai konstitutif yang pada hakikatnya harus dimiliki oleh suatu negara berdaulat: masyarakat (rakyat), wilayah, dan pemerintahan yang berdaulat. Ketiga unsur ini perlu ditunjang dengan unsur lainnya seperti adanya konstitusi dan pengakuan dunia internasional yang oleh Mahfud M.D. disebut dengan unsur deklaratif.

2. Bentuk-Bentuk Negara

  Menurut Abdullah (2014:24) Negara sendiri memiliki bentuk yang berbeda-beda. Secara umum, dalam konsep teori modern, negara terbagi ke dalam dua bentuk: negara kesatuan (unitarianisme) dan negara serikat (federasi).

  Negara kesatuan adalah bentuk suatu negara yang merdeka dan berdaulat, dengan satu pemerintah pusat yang berkuasa dan mengatur seluruh daerah.

  Namun dalam pelaksanaannya, negara kesatuan ini terbagi ke dalam dua macam sistem pemerintahan: sentral dan otonomi.

  Negara serikat atau federasi merupakan bentuk negara gabungan yang terdiri dari beberapa negara bagian dari sebuah negara serikat. Pada mulanya negara-negara bagian tersebut merupakan negara yang merdeka, berdaulat, dan berdiri sendiri. Setelah menggabungkan diri dengan negara serikat, dengan sendirinya negara tersebut melepaskan sebagian dari kekuasaannya dan menyerahkannya kepada negara serikat.

  Di samping dua bentuk ini, dari sisi pelaksana dan mekanisme pemilihannya, bentuk negara dapat digolongkan ke dalam tiga kelompok: monarki, oligarki, dan demokrasi.

  Menurut Ubaedillah dan Rozak (2012:127) Pemerintahan monarki adalah model pemerintahan yang dikepalai oleh raja atau ratu. Dalam praktiknya, monarki memiliki dua jenis: monarki absolut dan monarki konstitusional. Monarki absolut adalah model pemerintahan dengan kekuasaan tertinggi di tangan satu orang raja atau ratu. Termasuk dalam kategori ini adalah Arab Saudi.

  Adapun, monarki konsitusional adalah pemerintahan yang kekuasaan kepala pemerintahannya (perdana menteri) dibatasi oleh ketentuan-ketentuan konstitusi negara. Praktik monarki konstitusional ini adalah yang paling banyak dipraktikkan di beberapa negara, seperti, Malaysia, Thailand, Jepang, dan Inggris.

  Model pemerintahan oligarki adalah pemerintahan yang dijalankan oleh beberapa orang yang berkuasa dari golongan atau kelompok tertentu.

  Pemerintahan model demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang bersandar pada kedaulatan rakyat atau mendasarkan kekuasaannya pada pilihan dan kehendak rakyat melalui mekanisme pemilihan umum (pemilu).

3. Teori Terbentuknya Negara

  Menurut Ubaedillah dan Rozak (2012:123) Bentuk-bentuk negara yang telah disebutkan di atas ada teori tentang pembentukannya. Di antara teori-teori terbentuknya sebuah negara, yaitu:

  a. Teori Kontrak Sosial (Social Contract) Teori kontrak sosial atau teori perjanjian masyarakat beranggapan bahwa negara dibentuk berdasarkan perjanjian-perjanjian masyarakat dalam tradisi sosial masyarakat. Teori ini meletakkan negara untuk tidak berpotensi menjadi negara tirani, karena keberlangsungannya bersandar pada kontrak-kontrak sosial antara warga negara dengan lembaga negara. Penganut mazhab pemikiran ini antara lain Thomas Hobbes, John Locke, dan J.J. Roussae.

  b. Teori Ketuhanan (Teokrasi) Teori ketuhanan dikenal juga dengan istilah dokrin teokritis. Teori ini dianut oleh Al-Ghazali dengan mengisyaratkan hubungan setara atau sejajar antara agama dan negara, seperti kesetaraan nabi dan raja, yang berarti raja

  (atau negara) yang berstatus tinggi berhubungan dalam kesejajaran dengan nabi (atau agama).

  Menurut pandangan Al-Ghazali jika Tuhan mengirimkan para nabi dan memberi mereka wahyu, maka Dia juga telah mengirim para raja dan memberi mereka “kekuatan Ilahi” (farriizadi). Keduanya memiliki tujuan yang sama, yaitu kemaslahatan kehidupan manusia. Muhammad Abduh mengakui bahwa Islam bukan agama semata-mata, melainkan juga mempunyai hukum-hukum yang mengatur hubungan sesama muslimin dan sesama hidup, yang untuk pelaksanaan dan pengawasan berlakunya memerlukan penguasa, lengkap dengan aparatnya. Tugas ini merupakan tanggung jawab kepala negara beserta perangkat pemerintahannya.

  c. Teori Kekuatan Secara sederhana teori ini dapat diartikan bahwa negara terbentuk karena adanya dominasi negara kuat melalui penjajahan. Menurut teori ini, kekuatan menjadi pembenaran (raison d‟etre) dari terbentuknya sebuah negara. Melalui proses penaklukan dan pendudukan oleh suatu kelompok (etnis) atas kelompok tertentu dimulailah proses pembentukan suatu negara. Dengan kata lain, terbentuknya suatu negara karena pertarungan kekuatan di mana sang pemenang memiliki kekuatan untuk membentuk sebuah negara.

4. Konsep Negara Islam

  Menurut teori-teori politik Islam klasik, konsep negara merupakan inti filsafat politik Islam. Istilah negara (dawlah) dalam literatur Islam yaitu Al Qur‟an, memang tidak ditemukan satu ayatpun, tetapi unsur-unsur esensial yang menjadi dasar Negara dapat ditemukan dalam kitab suci Al Quran.

  M. Natsir berpandangan bahwa Islam merupakan agama yang ajarannya komprehensif dan mengatur segala aspek kehidupan manusia di muka bumi ini.

  Menurut Ibn Hajar (Kashim, 2012:95) membagi negara Islam, al-Dawlah al- Islamiyyah, kedalam tiga komponen penting, yaitu:

  a. Tanah yang didiami oleh umat Islam pada asalnya dan dipimpin oleh seorang yang beragama Islam. Sebagai contoh sebagaimana yang berlaku di al- Madinah al-Munawwarah.

  b. Tanah yang dibuka oleh umat Islam melalui peperangan atau persefahaman.

  Pada asalnya tanah itu didiami oleh orang kafir, selepas kemenangan umat Islam dalam peperangan, golongan yang dikira sebagai penduduk asal sebelum ini sanggup dan bersetuju untuk membayar al-jizyah kepada umat Islam bagi membolehkan mereka terus tinggal di tanah yang dibuka itu tadi.

  c. Negara yang didiami oleh umat Islam dan kemudiannya negara tersebut telah dijajah oleh orang kafir.

  Menurut al-Kasani (Kashim, 2012:95), Imam Abu Hanifah berpendapat sebuah negara boleh diklasifikasikan sebagai negara bukan Islam apabila terdapat tiga ciri berikut: a. Hukum bukan Islam dilaksanakan di negeri tersebut seperti amalan riba, arak, judi dan memilih pemimpin selain yang beragama Islam.

  b. Negeri itu tidak mempunyai perhubungan langsung dengan orang Islam, malah dari segi geografi ia terhalang daripada negara Islam. Sekiranya kawasan bukan Islam itu mempunyai hubungan dan dikelilingi oleh kawasan Islam, ia tidak dikategorikan sebagai Dar-al-Harb.

  c. Tiada seorang Muslim atau dzimmi yang hidup dalam keadaan aman sebagaimana keamanan yang dinikmati oleh masyarakat Muslim awal.

  Mazhab Shafi‟i juga menegaskan sebuah negara Islam itu mestilah memiliki sebagian daripada ciri-ciri negara Islam seperti berikut: a. Undang-undang Islam dilaksanakan sepenuhnya dalam negara Islam tersebut.

  b. Umat Islam bebas melaksanakan segala tuntutan syariat tanpa ada larangan daripada pihak yang berkuasa.

  c. Pemimpin negara itu mestilah terdiri daripada orang yang beragama Islam.

5. Konsep Negara Demokrasi

  Pengertian tentang demokrasi dapat dilihat dari tinjauan bahasa (etimologis) dan istilah (terminologis). Secara etimologis “demokrasi” terdiri dari dua kata yang berasal dari b ahasa Yunani yaitu “demos” yang berarti rakyat atau penduduk suatu temp at dan “cratein” atau “cratos” yang berarti kekuasaan atau kedaulatan. Jadi secara bahasa demos-cratein atau demos-cratos (demokrasi) adalah keadaan negara dimana dalam sistem pemerintahannya kedaulatan berada di tangan rakyat, kekuasaan tertinggi berada dalam keputusan bersama rakyat. Rakyat berkuasa, pemerintahan rakyat dan kekuasaan oleh rakyat.

  Menurut Nando (2018:32) Prinsip-prinsip demokrasi, dapat ditinjau dari pendapat Abul A‟la Maududi yang kemudian dikenal dengan "sosok guru demokrasi". Menurutnya, prinsip-prinsip demokrasi adalah sebagai berikut:

  1) Kedaulatan rakyat. Kedaulatan berarti kekuasaan tertinggi. Dalam Negara demokrasi, pemilik kedaulatan adalah rakyat bukan penguasa.

  2) Pemerintahan didasarkan pada persetujuan rakyat. Prinsip ini menghendaki adanya pengawasan rakyat terhadap pemerintahan. Dalam hal ini, penguasa Negara tidak bisa dan tidak boleh menjalankan kehidupan Negara berdasarkan kemauannya sendiri.

  3) Pemerintahan mayoritas dan perlindungan hak-hak minoritas. Prinsip ini menghendaki adanya keadilan dalam keputusan. Keputusan yang sesuai dengan kehendak rakyat. 4) Persamaan di depan hukum. Prinsip ini menghendaki adaanya persamaan politik.

  5) Perlindungan hukum. Prinsip ini menghendaki adanya perlindungan hukum warga Negara dari tindakan sewenang-wenang oleh Negara.

  6) Pemerintahan dibatasi oleh konstitusi. Prinsip ini menghendaki adanya pembatasan kekuasaan pemerintah melalui hukum. Pembatasan itu dituangkan dalam konstitusi.

  7) Penghargaan terhadap nilai-nilai demokrasi. Prinsip ini menghendaki agar kehidupan Negara senantiasa diwarnai oleh toleransi, kemanfaatan, kerjasama dan konsesus.

C. Relasi Muhammadiyah dan Negara

  Muhammadiyah didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan pada 8 Dzulhijah 1330 H bertepatan dengan 18 November 1912. Tokoh yang nama kecilnya Muhammad Darwis ini lahir di Kampung Kauman, Yogyakarta, pada tahun 1868 M. Sejak awal berdirinya Muhammadiyah bukan dimaksudkan sebagai organisasi politik melainkan organisasi sosial-keagamaan yang terutama bergerak pada lahan dakwah dan pendidikan.

  Meskipun Muhammadiyah merupakan organisasi yang murni sebagai gerakan dakwah

  amar ma’ruf nahi mungkar yang mencurahkan perhatian utama