Pemikiran Politik Hassan Hanafi (Studi Terhadap Pemikiran Kiri Islam)

(1)

 

PEMIKIRAN POLITIK HASSAN HANAFI

( STUDI TERHADAP PEMIKIRAN KIRI ISLAM)

SKRIPSI

OLEH :

HARRY PERDANA HARAHAP 040906022

DEPARTEMEN ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2010


(2)

 

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbill’alamiin, puji syukur kepada Allah SWT, atas segala nikmat

yang diberikan-Nya kepada penulis sehingga dapat menyusun dan menyelesaikan skripsi ini. Shalawat beriring salam atas Rasulullah Muhammad SAW sebagai teladan berkehidupan di muka bumi. Penulisan skripsi ini merupakan tugas akhir bagi mahasiswa Ilmu Politik sebagai syarat untuk menjadi sarjana ilmu sosial dan ilmu politik. Skripsi ini berjudul Pemikiran Politik Hassan Hanafi (Studi Terhadap Pemikiran Kiri Islam).

Manusia tak luput dari kesalahan, penulis mengakui masih terdapat kekurangan secara kualitatif, bahasa maupun cara penulisan dalam penyusunan skripsi ini, oleh karena itu diharapkan kritik dan saran yang membangun dalam penyempurnaan skripsi ini. Mudah-mudahan skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Medan, 25 Maret 2010

Harry Perdana Harahap 040906022


(3)

  UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU POLITIK

Nama : HARRY PERDANA HARAHAP

NIM : 040906022

Judul Skripsi : Pemikiran Politik Hassan Hanafi (Studi Terhadap Pemikiran Kiri Islam)

ABSTRAKSI

Kajian terhadap pemikiran politik para pemikir Islam masih sangat relevan untuk dibahas dan ditelusuri karena terus berkembang. Pemikiran politik Islam sangat digandrungi oleh para ilmuwan Islam kontemporer maupun para ilmuwan barat karena mengelaborasi hubungan antara manusia dengan manusia maupun manusia dengan Tuhan. Begitu juga bagi para mahasiswa yang sedang menyelesaikan penelitiannya.

Penelitian ini bertujuan untuk melihat Kiri dan Islam ataupun Kiri Islam yang digagas oleh Hassan Hanafi , baik faktor-faktor yang meliputinya ataupun tujuan akhir dari pemikiran Kiri Islam tersebut. Bagi penulis, hasil dari penelitian ini ialah mengetahui dan mempertegas makna pemikiran Hassan Hanafi terhadap tujuan Islam dalam menyeru kebenaran, membela kaum tertindas, dan rahmat bagi sekalian alam.


(4)

 

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ……… i

Abstraksi ……….. ii

Daftar Isi ……….. iii

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ……...……….………….……… 1

1.2. Perumusan Masalah ...………..……… 8

1.3. Pembatasan Masalah ……...………..………... 9

1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian ………...…..………... 9

1.4.1. Tujuan Penelitian ……….……….... 9

1.4.2. Manfaat Penelitian ……….………...…………... 9

1.5. Kerangka Pemikiran ……….…...………... 10

1.5.1. Kiri Islam ……….…………...……….... 11

1.6. Metode Penelitian ………...………..………... 15

1.6.1. Jenis Penelitian ……….………... 15

1.6.2. Sumber Data ………..………... 16

1.6.3. Teknik Analisa Data ………...………... 17

BAB II BIOGRAFI INTELEKTUAL HASSAN HANAFI 2.1. Riwayat Hidup Hassan Hanafi ………... 18

2.2. Pemikiran – Pemikiran Yang Mempengaruhi Hassan Hanafi ……… 26


(5)

 

BAB III

ANALISA DATA

3.1. Pemikiran Hassan Hanafi Tentang Kiri Islam ……… 31

3.1.1. Prinsip Turas dan Tajdid ………...……… 34

3.1.1.1. Turas dan Tajdid dan Penyatuan Ilmu – Ilmu ……..……… 36

3.1.2. Revitalisasi Khazanah Islam Klasik ………..……… 38

3.1.3. Oksidentalisme : Sikap Terhadap Turas Barat ……….. 40

3.1.4. Fundamentalisme : Islam Sebagai Reaksi Atas Imperialisme …………...… 43

3.1.5. Oksidentalisme Melawan Neo-Imperialisme ………...………. 44

3.1.6. Hermeneutika : Pembacaan Terhadap Realitas ……….……… 49

3.1.7. Kiri Islam dan Realitas Dunia Islam ………...……….. 53

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN 4.1. Kesimpulan ……….……… 59

4.2. Saran ………...……… 61

DAFTAR PUSTAKA ……… 62

                   


(6)

  UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU POLITIK

Nama : HARRY PERDANA HARAHAP

NIM : 040906022

Judul Skripsi : Pemikiran Politik Hassan Hanafi (Studi Terhadap Pemikiran Kiri Islam)

ABSTRAKSI

Kajian terhadap pemikiran politik para pemikir Islam masih sangat relevan untuk dibahas dan ditelusuri karena terus berkembang. Pemikiran politik Islam sangat digandrungi oleh para ilmuwan Islam kontemporer maupun para ilmuwan barat karena mengelaborasi hubungan antara manusia dengan manusia maupun manusia dengan Tuhan. Begitu juga bagi para mahasiswa yang sedang menyelesaikan penelitiannya.

Penelitian ini bertujuan untuk melihat Kiri dan Islam ataupun Kiri Islam yang digagas oleh Hassan Hanafi , baik faktor-faktor yang meliputinya ataupun tujuan akhir dari pemikiran Kiri Islam tersebut. Bagi penulis, hasil dari penelitian ini ialah mengetahui dan mempertegas makna pemikiran Hassan Hanafi terhadap tujuan Islam dalam menyeru kebenaran, membela kaum tertindas, dan rahmat bagi sekalian alam.


(7)

  BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Dalam ranah ilmu politik, kajian mengenai pemikiran politik bukanlah sesuatu hal yang baru. Ini dapat dilihat dari sejarah pemikiran politik yang ada, baik era klasik, pertengahan, maupun kontemporer. Tentu saja para pemikir juga mempengaruhi dan dipengaruhi oleh arus pemikiran pada zamannya.

Wacana pembebasan belakangan ini menjadi sangat popular dikalangan generasi muda. Gejala ini merupakan tampilan dari realitas serupa di negara-negara berkembang. Wacana ini terbit setelah modernisme dinilai tak mampu lagi merespon seluruh dimensi kehidupan manusia. Modernisme sebagai narasi besar (grand narrative) dianggap tak cukup tangguh lagi menjawab permasalahan yang muncul.

Diskursus mengenai problematika masyarakat dan pembebasan banyak melahirkan pemikir-pemikir Islam dengan latar belakang yang tak jauh berbeda. Mereka prihatin dengan kondisi kaum muslimin yang memiliki konsep ideologi (aqidah) sedemikian maju justru tidak berkembang dalam ideologi tersebut. Hassan Hanafi adalah salah satu diantara sekian pemikir tersebut.

Hassan Hanafi merupakan guru besar filsafat di Universitas Kairo. Ketika masih muda, ia seorang demonstran anti-kolonialisme Barat, pengagum visi revolusioner Sayyid Qutb, bahkan menemukan keasyikan berIslam bersama Ikhwanul Muslimin sembari menggeluti filsafat di Universitas Kairo. Selanjutnya meneruskan pendidikan di Sorbone University, Perancis, sambil mengagumi visi Sosialisme Islam Nasserian. Bahkan ia menyatakan bahwa sejatinya Islam lebih berorientasi pada pembebasan nasional.


(8)

 

Hassan Hanafi mengklaim dirinya sebagai penerus ide rekonstruksi Muhammad Iqbal, model reformasi Abduh dan konsep revolusi al-Afghani dan Ali Syari'ati, baginya rekonstruksi adalah pembangunan kembali warisan Arab-Islam dengan melihat kepada spirit modernitas dan kebutuhan Muslim kontemporer. Ilmu yang paling fundamental dalam Islam harus dibangun dengan perspektif dan standar modernitas.

Pada fase kematangan berfikirnya, ia dikenal sebagai penerus cita-cita besar Afghani dan Abduh, dengan mengajukan proyek besar peradaban yang dikemas dalam slogan

Al-Yasar al-Islami (Kiri Islam) yang mesti terejawantah dalam tiga proyek besar: kritis terhadap

tradisi Islam, kritis terhadap tradisi Barat dan cerdas menyikapi persoalan kontemporer Islam. Proyek yang ia namakan tradisi dan pembaharuan (al-turas wa al-tajdid).

Hassan Hanafi sebelumnya dikenal sebagai salah seorang pemikir hukum Islam dan juga menjabat guru besar di Fakultas Filsafat Universitas Kairo Mesir. Ia mengkonsentrasikan kajiannya pada proyek kebangkitan Islam dan kesatuan umat, sebagai suatu reaksi atas apa yang ia sebut sebagai tiga ancaman bagi dunia Islam. Tiga ancaman tersebut mencakup tiga dari luar (imperialisme / kolonialisme, kapitalisme, zionisme) dan tiga dari dalam (ketertindasan, kemiskinan, keterbelakangan).

Ia menawarkan Kiri Islam sebagai metode alternatif bagi pembaharuan pemikiran Islam dengan produk sebuah proyek besar, yakni merekonstruksi dan memperbaharui tradisi (al-turas wa al-tajdid).

Hassan Hanafi meluncurkan jurnal Kiri Islam (Al-Yasar al-Islami) pada 1981 di Kairo -hanya berumur satu terbitan- Hassan Hanafi memancangkan tiga pilar Kiri Islam. Tiga pilar yang dimaksud adalah, (1) rasionalisme untuk merevitalisasi khazanah Islam klasik; (2)


(9)

 

oksidentalisme untuk menentang Barat; dan (3) sebagai upaya analisis atas realitas dunia Islam, kritik atas metode tradisional yang terlalu bertumpu pada tekstual.

Di masa revolusi Prancis, Kaum Yakobin yang merupakan kelompok radikal mengambil tempat duduk di sebelah kiri Konvensi Nasional. Sejak itulah istilah “kiri” dan “kanan” digunakan dalam politik. Dalam terminologi politik, kata “kiri” seringkali diidentikkan sebagai perlawanan dengan label radikal, sosialis, anarkis, reformis, komunis, bahkan liberalis. Berlawanan dengan “kanan” yang cenderung mapan dalam sebutan yang lebih lembut, “kiri” mendobrak sakralisasi gagasan, sistem dan nilai. Dalam konotasi akademis maka istilah kiri sebenarnya adalah identifikasi sosial, sebagaimana dimunculkan oleh pendukung gagasan-gagasan Karl Marx untuk mengidentifikasi diri sebagai kelompok yang berlawanan dengan kemapanan sistem masyarakat Eropa yang kapitalistik.

Istilah Kiri Islam bukanlah ciptaan Hassan Hanafi, istilah ini sudah digunakan oleh Ahmad Gabbas Salih dalam sebuah tulisannya Al-Yamin wa al-Yasar fi al-Islam tahun 1972 :

Dalam Islam, kiri memperjuangkan pemusnahan penindasan bagi orang-orang miskin dan tertindas, ia juga memperjuangkan persamaan hak dan kewajiban di antara seluruh masyarakat. Singkat kata, kiri adalah kecenderungan sosialistik dalam Islam.1

Hassan Hanafi, seorang cendikiawan Mesir alumni Universitas Sorbonne, Prancis dan Profesor Filsafat di Universitas Kairo, yang mengelola gagasan Kiri Islam (Yasar

al-Islam) dalam konotasi akademis sebagai sebuah konsepsi ‘perlawanan terhadap pemapanan’

Islam. Dalam hal ini Hassan Hanafi tidak membicarakan Islam yang digariskan Tuhan tidak terpisah-pisah dalam “kiri” dan “kanan”, melainkan sebuah wacana tentang kaum muslimin

      

1

Kazuo Shimogaki. Kiri Islam : Antara Modernisme dan Posmodernisme, Telaah Kritis Pemikiran Hassan Hanafi, Yogyakarta : LKiS, 1993. hal.5


(10)

 

dalam realitas sejarah dan sistem sosial tertentu. Sepanjang kita terlibat dalam sejarah, maka kita akan selalu dalam pertentangan kekuatan dan kepentingan. Maka “kiri” dan “kanan” bagi Hassan Hanafi berada pada tingkat sosial dan historis ini.

Dengan mengacu pada gagasan kritisisme, Hassan Hanafi kemudian menyusun peta pemikiran sebagai berikut: Dalam teologi Islam, Mu’tazilah adalah kiri, sedangkan Asy’ariyah adalah kanan. Tafsir dengan aql adalah “kiri”, sedangkan dengan naql adalah “kanan”. Dan dalam politik, Ali dan Husein adalah “kiri”, sedangkan keluarga Mu’awiyah dan Yazid adalah “kanan”. Termasuk juga membagi realitas masyarakat muslim “kiri” sebagai masyarakat yang dikuasai, tertindas, miskin dan tersingkir, di antara masyarakat muslim “kanan” yang berkelebihan, cenderung tidak peduli dengan masyarakat muslim lainnya dan bahkan terseret dalam kehidupan kapitalisme Barat hingga tercerabut dari identitas keIslamannya.

Hassan Hanafi berusaha mengembalikan Islam yang dipahami sebagai ideologi, agama dan gerak (revolusi) kaum muslimin. Semua dimulai Hassan Hanafi dengan melakukan kritik internal komunitas muslim. Maka bagi salah satu kelompok, Argumen Kiri Islam Hassan Hanafi terasa mengganggu, bahkan mungkin mengancam, terutama berkaitan dengan kenyamanan terhadap tata cara beragama yang dikritisinya. Masyarakat muslim yang merasakan terusik mulai mengembangkan propaganda yang memandang Kiri sebagai pengingkaran terhadap agama, atheis dan pemecah belah.

Menurut Hassan Hanafi, Kiri Islam juga merupakan tahap lain dalam perkembangan reformasi keagamaan dimana ia bertugas bukan sekadar melakukan konfrontasi terhadap bahaya-bahaya abad ini, melainkan juga melakukan rekonstruksi terhadap kenyataan kemusliman yang fatalistik, menunggu bantuan dan inspirasi dari langit dengan mengabaikan


(11)

 

kemampuan manusia untuk menentukan tindakannya sendiri. Akal dianggap perlu untuk memperoleh bantuan dari langit untuk menghasilkan kemampuan praktis.

Hassan Hanafi mempunyai pandangan bersahabat dengan pemikiran Barat, kendati menurut sementara kalangan sikap kritisnya terhadap Barat kurang terakomodasi dengan tuntas, Hassan Hanafi memang selalu mengingatkan tentang kekeliruan Barat dalam memahami Islam, terutama dalam kelompok orientalis. Ia menapilkan sosok yang menyerap sepenuhnya nilai dan lmu-ilmu Barat. Namun dari sana pula ia berpijak mengkaji Barat dalam suatu pemahaman dan wawasan yang berbeda dari pemikir sebelumnya terutama kelompok modernis yang mungkin agak emosional baik mereka yang menerima atau menolak Barat. Inilah beberapa sisi pemikiran Hassan Hanafi tentang Islam.

Hassan Hanafi berpendapat kiri Islam merupakan resultan dari gerakan-gerakan kaum muslimin di Afghanistan, Melayu, Filipina, Pakistan, dan Revolusi Aljazair untuk memunculkan Islam sebagai khazanah nasional. Umat Islam di negeri tersebut ingin memelihara otentisitas dan kreativitas dalam memperjuangkan kepentingan mereka, serta menggerakkan umat Islam di tempat lain. Esensi kiri Islam, adalah pencurahan segala potensi untuk menghadapi puncak problematika zaman ini, berupa: imperialisme, zionisme, dan kapitalisme yang merupakan ancaman eksternal, serta kemiskinan, ketertindasan dan keterbelakangan sebagai ancaman internal.

Lebih lanjut, Kiri Islam Hassan Hanafi merupakan sintesa dari sistem ideologi Kapitalisme yang gagal mengangkat martabat manusia. Latar belakang kemunculan Kiri Islam Hassan Hanafi juga tidak lepas dari adanya persaingan kedua ideologi —kapitalisme dan sosialisme. Hassan Hanafi relatif mampu melakukan modifikasi konsep sosialisme yang materialistik dan determinisme historik. Hassan Hanafi berusaha melakukan pembebasan


(12)

 

yang diberi ruh pendasaran-religius-spiritualistik (dalam hal ini adalah Islam) dengan menghilangkan materialistiknya.

Ini dilakukan supaya Islam yang awalnya merupakan sistem kehidupan yang membebaskan kaum tertindas tetap dipertahankan dan menjadi suatu sistem ideologi yang populistik —ideologi kaum tertindas— yang selama ini selalu diklaim sosialisme. Hal inilah yang menjadi kesimpulan dan pilihan Hassan Hanafi yang menamakan gerakannya dengan Kiri Islam yang selalu mengedepankan progresifitas religius dan pranata-pranata lainnya yang bersifat spiritualitas dan historis.

Kiri Islam menurut Hassan Hanafi bersumber pada semangat revolusi tauhid sebagai basis Islam. Untuk membangun kembali peradaban Islam, maka mau tak mau diperlukan upaya membangun kembali semangat revolusi tauhid sebagai misi para nabi dan rasul. Nabi Muhammad saw. sebagai rasul terakhir mengembangkan misinya dari rumusan tauhid —la

ilaha illa-Allah— yang kemudian dimanifestasikan dalam syahadat dan merupakan

transformasi tauhid ilahiyah pada tataran tauhid al-ummah.

Revolusi tauhid ilahiyah merupakan konsekuensi logis yang membebaskan manusia dari penghambaan, pengultusan dan penyakralan terhadap mitos-mitos politik, ekonomi, sosial dalam struktur sosial kemasyarakatan. Sedangkan revolusi tauhid al-ummah menekankan pada aspek transformasi pembebasan kehidupan manusia dalam sistem kemasyarakatan tanpa dibatasi kelas, egalitarianisme dan tidak eksploratif dalam segala dimensi pada kehidupan kemasyarakatan.

Oleh karena itu ada dua penyebab utama mengapa peneliti tertarik untuk menelitinya.

Pertama, Hassan Hanafi, pemikir muslim modernis dari Mesir, adalah salah satu tokoh yang

akrab dengan simbol-simbol pembaruan dan revolusioner, seperti Kiri Islam, oksidentalisme, dan lain sebagainya. Tema-tema tersebut ia kemas dalam rangkaian proyek besar; pembaruan


(13)

 

pemikiran Islam, dan upaya membangkitkan umat dari ketertinggalan dan kolonialisme modern. Rekonstruksi dilakukan hanya dengan meletakkan warisan dan tradisi klasik dalam standar modernisme. Jika sudah tidak cocok, tradisi tersebut harus diubah. Atau, katanya, harus ada penafsiran ulang terhadap sumber-sumber pokok ajaran Islam di mana tradisi tersebut terbentuk. Dengan upaya ini, Hassan Hanafi yakin umat Islam akan mampu menghadapi tantangan berat, yakni bagaimana umat Islam memecahkan masalah kesenjangan sosial, ketidakadilan, kebodohan, kebebasan berekspresi, dan ketertindasan rakyat.

Kedua, teologi tradisional Islam lahir dalam konteks sejarah ketika sistem

kepercayaan, yakni transendensi Tuhan, diserang oleh wakil-wakil dari sekte-sekte dan budaya lama. Teologi itu dimaksudkan untuk mempertahankan doktrin utama dan untuk memelihara kemurniannya. Sementara itu konteks sosio-politik sekarang sudah berubah. Islam mengalami berbagai kekalahan di berbagai medan pertempuran sepanjang periode kolonisasi2. Karena itu, lanjut Hassan Hanafi, kerangka konseptual lama masa-masa permulaan, yang berasal dari kebudayaan klasik harus diubah menjadi kerangka konseptual baru, yang berasal dari kebudayaan modern.

Teologi dapat berperan sebagai suatu ideologi pembebasan bagi yang tertindas atau sebagai suatu pembenaran penjajahan oleh para penindas. Teologi memberikan fungsi legitimatif bagi setiap perjuangan kepentingan dari masing-masing lapisan masyarakat yang berbeda. Karena itu, Hassan Hanafi menyimpulkan bahwa tidak ada kebenaran obyektif atau arti yang berdiri sendiri, terlepas dari keinginan manusiawi. Kebenaran teologi, dengan demikian, adalah kebenaran korelasional atau, dalam bahasa Hassan Hanafi, persesuaian antara arti naskah asli yang berdiri sendiri dengan kenyataan obyektif berupa nilai-nilai

      

2

Kazuo Shimogaki. Kiri Islam : Antara Modernisme dan Posmodernisme, Telaah Kritis Pemikiran Hassan Hanafi, Yogyakarta : LKiS, 1993.


(14)

 

manusiawi yang universal. Sehingga suatu penafsiran bisa bersifat obyektif, bisa membaca kebenaran obyektif yang sama pada setiap ruang dan waktu.

Asumsi dasar dari pandangan teologi semacam ini adalah bahwa Islam, dalam pandangan Hassan Hanafi, adalah protes, oposisi dan revolusi. Baginya, Islam memiliki makna ganda. Pertama, Islam sebagai ketundukan; yang diberlakukan oleh kekuatan politik kelas atas. Kedua, Islam sebagai revolusi, yang diberlakukan oleh mayoritas yang tidak berkuasa dan kelas orang miskin. Jika untuk mempertahankan status-quo suatu rezim politik, Islam ditafsirkan sebagai tunduk. Sedang jika untuk memulai suatu perubahan sosial politik melawan status-quo, maka harus menafsirkan Islam sebagai reformasi.

1.2. Perumusan Masalah

Perumusan masalah merupakan penjelasan mengenai mengapa masalah yang dikemukakan dalam penelitian itu dipandang menarik, penting dan perlu untuk diteliti. Perumusan masalah juga merupakan suatu usaha yang menyatakan pertanyaan-pertanyaan penelitian apa saja yang perlu dijawab atau dicari jalan pemecahannya. Atau dengan kata lain perumusan masalah merupakan pertanyaan yang lengkap dan rinci mengenai ruang lingkup masalah yang akan diteliti didasarkan pada identifikasi masalah dan pembatasan masalah.3

Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan dalam latar belakang masalah diatas, maka dalam penelitian ini yang menjadi rumusan masalah adalah :

“Bagaimana Pemikiran Politik Hassan Hanafi tentang Pemikiran Kiri Islam?”

      


(15)

  1.3. Pembatasan Masalah

Dalam melakukan penelitian, peneliti perlu membuat pembatasan masalah terhadap masalah yang akan dibahas, agar hasil yang diperoleh tidak menyimpang dari tujuan yang dicapai yaitu menghasilkan uraian yang sistematis dan tidak melebar. Maka batasan masalah dalam penelitian ini, adalah :

“Pemikiran Hassan Hanafi tentang pemikiran Kiri Islam.”

1.4. Tujuan Dan Manfaat Penelitian

1.4.1. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Untuk mengungkap pemikiran Hassan Hanafi sebagai salah seorang pemikir

kontemporer terhadap pemikiran Kiri Islam.

2. Untuk mengetahui landasan Kiri Islam Hassan Hanafi.

1.4.2. Manfaat Penelitian

Adapun yang menjadi manfaat dari penelitian ini adalah :

1. Bagi peneliti hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai dasar untuk melakukan penelitian lebih lanjut atas permasalahan yang relevan.


(16)

 

3. Diharapkan berguna bagi para pemikir politik Islam di Indonesia tentang wacana Islam dan pemikiran kiri.

1.5. Kerangka Pemikiran

Bagian ini merupakan salah satu unsur yang penting dalam penelitian, karena pada bagian ini peneliti mencoba menjelaskan pemikiran yang sedang diamati dengan menggunakan teori-teori yang relevan dengan penelitiannya. Kerangka pemikiran berusaha menjelaskan arahan yang akan diteliti dan berkait dengan landasan teori atau penelitian yang sebelumnya.

Teori menurut Masri Singarimbun dan Sofian Effendi dalam buku Metode Penelitian

Sosial mengatakan, teori adalah serangkaian asumsi, konsep, konstrak, definisi dan preposisi

untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antar konsep.4

Sebelum membahas tentang konsep yang dipergunakan maka peneliti akan mendefinisikan hal-hal terkait dalam penelitian ini. Suatu konsep adalah abstraksi. Konsep adalah sepatah kata yang menyatakan kesamaan-kesamaan diantara peristiwa-peristiwa dan situasi-situasi lain.5 Oleh karena itu, dalam skripsi ini, untuk menggambarkan masalah penelitian yang menjadi objek penelitian, peneliti menggunakan konsep Kiri Islam.

Dalam menjelaskan Kiri Islam, peneliti menggunakan tahapan : pertama, pembentukan teori (turas dan tajdid). Kedua, analitika (hermeneutika, oksidentalisme) dan, ketiga, teori vis a vis realitas dunia Islam.

      

4

Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, Metode Penelitian Sosial. Jakarta : LP3ES, 1998, hal.37.

5

Komaruddin Sastradipoera, Mencari Makna dibalik Penelitian Skripsi, Tesis, dan Disertasi. Bandung : Kappa Sigma, 2005, hal 248.


(17)

  1.5.1. Kiri Islam

Istilah “kiri” dalam wacana global seolah terinspirasi dari gerakan kaum sosialis maupun pemikiran Herbert Marcuse yang disebut member ruh bagi New Left yang menginspirasi revolusi mahasiswa 1968. Ini seakan-akan menunjukkan bahwa “kiri” selalu bersentuhan dengan hal-hal yang bersifat revolusioner. Kiri Islam merupakan sintesa dan tafsir ulang terhadap khazanah keilmuan Islam dan juga analisis konsep Marxian atas kondisi obyektif serta tradisi yang mengakar dalam rakyat, tradisi yang dimaksud adalah tradisi keagamaan yang membentuk medan kebudayaan massa6.

Berbicara tentang kiri maka tak terlepas dari kata kanan, maka dalam konteks ini adakah yang disebut dengan kanan Islam? Secara tersirat Hanafi menjelaskan tidak ada kanan Islam dan yang ada hanya kiri Islam. ini dikarenakan Islam tidak patut ataupun boleh bertindak sebagai penindas karena Islam adalah agama pembebasan. Bahkan posisi kaum tertindas dijelaskan dalam Al-Qur’an surah Al-Qasas (28) : 5, yang berbunyi :

Dan kami hendak member karunia kepada orang-orang tertindas di bumi itu dan hendak menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi bumi.

Hassan Hanafi, seperti dikatakan Issa J Boulatta dikutip dari Listiyono Santoso7, berkeyakinan bahwa Kiri Islam dapat berhasil setelah realitas masyarakat, politik, ekonomi, khazanah Islam dan tantangan barat dapat dianalisis. Dalam beberapa hal, Kiri Islam bertumpu dalam tiga tatanan metodologi : pertama, tradisi atau sejarah Islam; kedua, fenomenologi; ketiga, analisis sosial Marxian.

      

6

Muhammad Mustafied, dalam Muhidin M. Dahlan(ed), Sosialisme Religius Suatu Jalan Keempat?, Yogyakarta : Kreasi Wacana, 2000, hal.177.

7


(18)

 

Kiri Islam, menurut Hassan Hanafi sebagaimana dikutip Shimogaki, lahir setelah melihat berbagai kegagalan dalam masyarakat dunia Timur(Islam) dalam beberapa generasi dalam mengentaskan keterbelakangan dan kemiskinan8. Ini disebabkan karena : pertama, berbagai tendensi keagamaan yang terkooptasi kekuasaan yang menjadikan agama (Islam) hanya sekedar ritus dan kepercayaan-kepercayaan ukhrawi. Padahal itu bukanlah pencerminan dari system Islam. Sementara kecenderungan keagamaan yang tidak terkooptasi, terjebak dalam fanatisme primordial, kejumudan dan berorientasi kekuasaan.

Kedua, liberalisme yang pernah berkuasa sebelum masa-masa revolusi berakhir, jelas

didikte oleh kebudayaan barat, berperilaku seperti penguasa kolonial dan hanya melayani kelas-kelas elite yang menguasai asset negara. Ketiga, Marxisme yang berpretensi mewujudkan keadilan sosial dan menantang kolonialisme ternyata tidak diikuti dengan pembebasan rakyat dan pengembangan khazanah mereka sebagai energi untuk mewujudkan tujuan-tujuan kemerdekaan nasional. Keempat, nasionalisme revolusioner yang berhasil melakukan perubahan-perubahan radikal dalam sistem politik dan ekonomi ternyata tidak berumur lama karena banyak mengandung kontradiksi dan tidak mempengaruhi kesadaran mayoritas rakyat. Itu sebabnya Kiri Islam dimunculkan dalam rangka merealisasikan tujuan-tujuan pergerakan nasional dan prinsip-prinsip sosialis dengan cara mengembangkan khazanah intelektual klasik yang berdimensikan revolusioner dan berpijak pada kesadaran rakyat.

Kiri Islam (al-Yasar al-Islamiy) merupakan bentuk idiologisasi Islam untuk mewujudkan pemihakannya kepada kepentingan rakyat. Tugas Kiri Islam adalah mendefinisikan kuantitas Barat, yakni mengembalikannya ke batas alamiahnya dan mengakhiri mitosnya yang mendunia. Barat berada pada pusat peradaban dunia, dan ingin

      

8

Kazuo Shimogaki. Kiri Islam : Antara Modernisme dan Posmodernisme, Telaah Kritis Pemikiran Hassan Hanafi, Yogyakarta : LKiS, 1993. Hal 84


(19)

 

mengekspor peradabannya kepada bangsa-bangsa lain. Barat menyediakan model pembangunan sebagai alat untuk menguasai dan menghilangkan kekhasan bangsa-bangsa lain. Akibatnya bangsa- bangsa non-Barat tidak mampu menentukan nasib dan menguasai kekayaan mereka sendiri.

Krisis abad ke-20 di Barat bagi kita adalah awal reformasi. Tugas Kiri Islam adalah mengembalikan peradaban Barat pada tempat kelahiran, lingkungan dan sejarahnya. Ini untuk menghilangkan hambatan bagi berkembangnya peradaban non-Barat. Dan model-model bagi kemajuan, dengan demikian, bisa menjadi banyak dan berviariasi. Tugas Kiri Islam adalah mendorong peradaban Barat kembali ke Barat; menjadikan Barat sebagai tema studi khusus bagi peradaban non-Barat. Lebih jauh ia akan melahirkan suatu disiplin baru, “Orientalisme”, untuk menandingi “Oksidentalisme”. Orientalisme sendiri menghadirkan alam pikiran, pandangan dunia dan motivasi Barat yang terselubung ketimbang studi tentang objeknya.

Kiri Islam memberikan suatu gambaran situasi di dunia Islam tanpa mengikuti suatu metode bimbingan atau nasehat. Realitas menampakan dirinya, seperti statistik. Pemikiran keagamaan kita bersandar pada metode yang mentransfer teks ke realitas. Kiri Islam juga berfungsi guna meneliti unsur-unsur revolusioner dalam agama. Agama adalah apa yang kita miliki dalam tradisi yang asli; revolusi adalah hasil zaman kita. Dan dalam agama sendiri ada revolusi. Para nabi adalah para revolusioner dan sekaligus reformis. Revolusi tauhid menentang kemusyrikan dibawa Nabi Ibrahim; revolusi semangat oleh Nabi Isa, revolusi orang miskin, budak, dan orang-orang yang malang dibawa Nabi Muhammad.

Kiri Islam sepenuhnya bebas dari Timur atau pun Barat. Ia bukan Marxisme baru, liberalisme revolusioner atau gerakan Syi’ah. Konsepsi ini hadir dari kecenderungan budaya ideologis yang berakar dari warisan klasik kita, al-Qurtan dan Sunnah. Kiri Islam


(20)

 

mempertimbangkan politik dalam budaya ummah dan renaissans ummah, dan perjuangannya adalah pada tingkat kesadaran budaya dan peradaban ummah. Ia bertujuan melampaui pemecahan-pemecahan yang parsial untuk mencapai pandangan yang menyeluruh. Hassan Hanafi berpandangan bahwa Kiri Islam bukan hanya semangat yang berapi-api dalam pikiran masyarakat, tapi bertujuan untuk mentransformasikan semangat itu ke dalam akal, dialog dan pencerahan untuk mempertahankan kebaikan Islam.

Konsep Islam nasionalis berbentuk solusi riil problem umat Islam saat ini, seperti keadilan sosial, lintas etnik, toleransi beragama, membangun etos kerja, menolak penjarahan tanah, dan praktik kekerasan berdarah. ''Saya ingin memperkenalkan Islam modern, yang memberi penafsiran baru terhadap teks-teks ajaran Islam hingga mampu menghadapi tantangan modernitas, tanpa harus taklid pada Barat dan juga ulama klasik Arab. Islam yang saya maksud mendorong bangkitnya budaya nasional serta melestarikan identitas bangsa Indonesia,'' paparnya.

Dalam pandangannya, Islam yang dibutuhkan Indonesia bukan konservatif yang hanya terbuai dengan syiar-syiar agama dan bukan pula sekuler Barat yang belum tentu cocok dengan budaya bangsa Indonesia. ''Apa yang dibutuhkan Indonesia dan juga dunia Islam lainnya sesungguhnya sama, yaitu memelihara dua legitimasi dalam satu waktu, yakni teritorial dan identitas budaya, serta nasionalisme, dan khasanah warisan di satu sisi dan legitimasi modernitas yang ditandai dengan keterbukaan, kebebasan, keadilan, supremasi hukum di sisi lain.


(21)

 

Metode penelitian secara umum membahas bagaimana penelitian dilakukan. Metode penelitian dalam karya tulis ilmiah ini sebenarnya lebih bersifat refleksi, sekalipun disana-sini menggunakan sumber rujukan. Hal ini peneliti lakukan setelah melihat dan mengamati perjalanan intelektual seorang tokoh yakni Hassan Hanafi.

1.6.1. Jenis Penelitian

Metodologi yang dibutuhkan dalam studi tokoh adalah kualitatif. Akan tetapi, metodologinya berbeda dengan penelitian-penelitian bidang sosial lainnya.

Dalam penelitian pemikiran tokoh kerangka yang dipakai dalam meneliti adalah kualitatif. Menurut Arief Furchan dan Agus Maimun dalam bukunya “Studi Tokoh : Metode Penelitian Mengenai Tokoh,” melalui metode kualitatif, peneliti dapat mengenal sang tokoh secara pribadi dan melihat dia mengembangkan definisinya sendiri tentang dunia dengan berbagai pemikiran, karya, dan perilaku yang dijalaninya.

Di samping itu, metode kualitatif dapat dipergunakan untuk menyelidiki lebih mendalam mengenai konsep-konsep atau ide-ide. Konsep dan ide yang pernah ditulis dalam karya-karya tokoh akan dapat dikaji dengan melihat kualitas dari tulisan-tulisannya yang mempunyai pengaruh terhadap perkembangan pemikiran selanjutnya. Pengaruh tersebut tidak hanya dalam perkembangan teori, tetapi juga dalam hal praktek sehingga akan dapat dikatakan apakah pemikiran tokoh tersebut dapat dikatakan ilmiah dan memenuhi criteria ilmu pengetahuan. Dari pengaruh terhadap perkembangan pemikiranlah akan terlibat kekuatan dari pemikiran tokoh tersebut.

Penelitian ini bersinggungan dengan wacana keagamaan kontemporer dan objek wacana penelitian adalah pemikiran seorang tokoh.


(22)

 

Penelitian studi tokoh, seperti yang dikatakan oleh Arief Furchan dan Agus Maimun, dikategorikan kedalam jenis penelitian kualitatif, yang menelusuri pemikiran melalui karya-karya, peristiwa yang melatarbelakangi lahirnya karya tersebut dan pengaruh dari karya yang dihasilkan. Data kualitatif terdiri dari kutipan-kutipan orang dan deskripsi keadaan, kejadian, interaksi dan kegiatan. Dengan menggunakan jenis data kualitatif, memungkinkan peneliti mendekati data sehingga mampu mengembangkan komponen-komponen keterangan yang analitis, konseptual dan kategoris dari data itu sendiri.

1.6.2. Sumber Data

Penelitian jenis ini berisi satu topik yang didalamnya memuat beberapa gagasan dan atau proposisi yang berkaitan yang harus didukung oleh data yang diperoleh dari sumber pustaka atau dokumentasi.

Ada dua sumber data yang dibutuhkan yaitu data primer dan data sekunder. Sumber data primer yang berkaitan dengan pemikiran tokoh adalah karya-karya yang pernah ia tulis semasa hidupnya. Dan untuk sumber data sekunder berasal dari teoritisi sosial lainnya yang pernah menginterpretasikan pemikiran Hassan Hanafi dalam pemikiran Kiri Islam.


(23)

 

Teknik yang digunakan melalui tahapan pengumpulan data, klasifikasi data yang relevan dengan subjek penelitian, analisa, lalu menarik kesimpulan.

Data primer dan data sekunder dikumpulkan untuk memperoleh hasil yang mendalam (in-depth) dan tidak melebar (out-depth).

Setelah data yang diperoleh dirasa memadai untuk mendukung proses analisa, maka tahapan selanjutnya adalah analisa data. Analisa data yang dilakukan dalam penelitian pemikiran tokoh disini, mempergunakan pendekatan sejarah (historical approach).

Menurut Tolfsen, ada dua unsur pokok yang dihasilkan oleh analisa sejarah. Pertama, kegunaan dari konsep periodesasi atau derivasi lainnya. Kedua, rekonstruksi proses genesis, perubahan dan perkembangan. Dengan cara demikianlah, manusia dapat dipahami secara kesejarahan. Melalui analisa sejarah, baru dapat dilacak asal mula situasi yang melahirkan suatu ide dari seseorang tokoh. Melalui analisa sejarah pula, dapat diketahui bahwa seseorang tokoh dalam berbuat atau berpikir sesungguhnya dipaksa oleh keinginan-keinginan dan tekanan-tekanan yang muncul dari dirinya sendiri. Kita dapat melihat tindakan-tindakan secara mendalam dipengaruhi tidak cuma oleh dorongan internal yang berupa ide. Keyakinan, konsepsi-konsepsi awal yang tertanam dalam dirinya, tetapi juga oleh keadaan eksternal (Abdullah dan Karim, 1990:73).


(24)

 

BIOGRAFI INTELEKTUAL HASSAN HANAFI

2.1. Riwayat Hidup Hassan Hanafi

Hassan Hanafi, sebagaimana disebutkan oleh Abad Badruzzaman, lahir di Kairo, ibukota Republik Arab Mesir (Jumhuriyyat Mishr al-‘Arabiyah), pada tanggal 13 Februari 1935.9 Keluarganya berasal dari provinsi Banu Swaif, salah satu provinsi di Mesir bagian selatan. Namun kemudian mereka kemudian pindah ke Kairo. Kakek Hassan Hanafi berasal dari al-Maghrib (Maroko), sedangkan neneknya berasal dari kabilah Bani Mur. Kakek Hassan Hanafi yang orang Maroko itu memutuskan untuk menetap di Mesir ketika ia singgah di negeri itu sepulang menunaikan ibadah haji. Dalam persinggahan itu pula ia menikah dengan seseorang yang kemudian menjadi nenek Hassan Hanafi.

Pada usia sekitar lima tahun. Hassan Hanafi mulai menghafal Al-Qur’an dibawah bimbingan Syaikh Sayyid. Sentuhan awal Hassan Hanafi dengan Al-Qur’an itu berlangsung di jalanan al-Banhawi kompleks bab al-Sya’riyah, pinggiran kota Kairo bagian selatan. Pendidikan dasarnya ia selesaikan selama lima tahun di Madrasah Sulayman Ghawish, Bab al-Futuh, suatu daerah yang berbatasan dengan Benteng Salahuddin. Setamat dari sekolah itu, Hassan Hanafi masuk ke sekolah pendidikan guru Al-Mu’allimin. Namun ketika hendak memasuki tahun kelima, tahun terakhir pendidikan di sekolah tersebut, ia pindah mengikuti jejak kakaknya ke sekolah Silahdar. Sekolah barunya itu berada di komplek Al-Hakim bi

      

9

Abad Badruzaman. Kiri Islam Hassan Hanafi : Menggugat Kemapanan Agama dan Politik, Yogyakarta : Tiara Wacana, 2005, hal.41.


(25)

 

Amrillah. Di sekolah itu pula Hassan Hanafi banyak belajar bahasa asing. Pendidikan menengah atasnya ditempuh di Sekolah Menengah Atas Khalil Agha10.

Sewaktu masih kanak-kanak, pada waktu libur musim panas, Hassan Hanafi bersama keluarga selalu meluangkan waktu untuk pulang kampung asal mereka, Banu Sweif. Di kampung asalnya itu, Hanafi sekeluarga menenangkan diri dari kebisingan kota Kairo. Belum lagi kebisingan yang bersumber dari bentrokan antara tentara nasional pembela kemerdekaan Mesir dengan kekuatan kolonial Inggris yang masih ingin menguasai negeri itu. Di Banu Sweif, mereka masih dapat menikmati indahnya pemandangan alam yang masih murni dengan suasana masyarakat desa yang bersahaja11.

Saat kanak-kanak, Hassan Hanafi sangat senang berolahraga dan bermain musik. Renang menjadi olahraga yang paling digemarinya meski sering dilarang keluarganya. Larangan ini karena mereka khawatir Hassan Hanafi menjadi tuli, karena telinganya kemasukan air, atau mati tenggelam. Kegemaran Hassan Hanafi untuk bermain musik pun kurang disetujui keluarganya dengan alasan alat musik mahal harganya. Ketika keluarganya berusaha mencegahnya berenang, Hanafi selalu berkilah dan “melawan”, dengan mengatakan bahwa renang, memanah dan berkuda merupakan olah raga yang dianjurkan agama. “Menjaga kesegaran jasmani sama pentingnya dengan merawat kesehatan jiwa,” demikian Hassan Hanafi berkilah.

Seringkali ketika Hassan Hanafi ngotot dengan hobinya, dan keluarganya pun sama

ngotot dengan larangannya, Hassan Hanafi pun berinisiatif mogok makan untuk melunakkan

hati orang tuanya. Mereka akhirnya dapat mengabulkan keinginan Hassan Hanafi setelah

      

10

Ibid.

11


(26)

 

kakak iparnya turun tangan dan berhasil membuat orang tua Hassan Hanafi memahami bahwa setiap orang mempunyai watak dan kecenderungan tersendiri.

Pada tahun 1946, memasuki usia sekitar sebelas tahun, Hassan Hanafi sudah ikut serta dalam demonstrasi bersama buruh dan mahasiswa. Di usianya masih relatif muda, ia sudah memandang perlunya tindakan turun ke jalan, tidak cukup hanya duduk belajar di bangku sekolah. Ilmu yang dimiliki di sekolah harus didedikasikan untuk membela tanah air. Pada tahun 1948, Hanafi mencoba mendaftarkan diri ke Organisasi Pemuda Islam (Jam’iyah

Syubban al-Muslimin) untuk bergabung dengan para prajurit sukarelawan yang membantu

perjuangan bangsa Palestina melawan kaum Zionis. Namun permohonannya ditolak. Usia masih terlalu muda untuk menjadi pejuang. Itulah alasan penolakan tersebut.12

Gagal ikut berjuang ke Palestina, Hanafi menyalurkan semangat revolusionernya ke dalam gerakan-gerakan politik-keagamaan di negaranya. Ia berkenalan dengan pemikiran dan aktivitas Ikhwan al-Muslimin (Moslem Brothers) di Khalil Agha. Pada tahun 1952 ia tercatat sebagai anggota resmi gerakan itu. Ketika menjadi mahasiswa di Universitas Kairo, Hassan Hanafi terus terlibat aktif dalam berbagai aktivitas Ikhwan hingga organisasi itu dilarang oleh Pemerintah Mesir13.

Pada tahun 1951, Hassan Hanafi mendapat kesempatan untuk ikut dalam perjuangan pembebasan al-Qanat (terusan Suez). Waktu itu ia sempat belajar memegang senjata di Fakultas Teknik di Abbasiyah, Kairo bagian selatan. Dalam perjuangan pembebasan itu Hassan Hanafi ikut mengantar dan mensholatkan jenazah para syahid di masjid al-Kukhya dengan mengenakan pakaian kumal sambil membawa tongkat yang dibuat mirip senapan. Pada bulan Januari 1952 di kota Kairo terjadi kebakaran hebat. Kebakaran itu konon

      

12

Ibid. hal 47

13


(27)

 

disengaja guna mengalihkan perhatian gerakan nasionalisme Mesir yang anti pemerintah yang bersekongkol dengan kolonialis Inggris. Dalam hal itu, Hassan Hanafi jelas berada di pihak kaum nasionalis yang memperjuangkan nasib kaum lemah. Ia tidak suka dengan kekuasaan kaum istana yang bersekongkol dengan Inggris.

Bagi Hassan Hanafi tahun 1952 merupakan tahun transisi – perpindahan jenjang pendidikan dari pendidikan menengah atas menuju bangku kuliah. Saat itu ia harus memilih antara pendidikan sains atau pendidikan sastra; antara ilmu eksakta atau filsafat. Hassan Hanafi memilih keduanya. Ia memilih eksakta karena ia menyukai matematika. Ia pernah bercita-cita menjadi seorang insinyur. Ia juga memilih filsafat, karena ia menemukan kebebasan berpikir didalamnya. Ia pernah mengikuti lomba karya tulis tentang orientasi filsafat, dan ia menjadi juara satu dalam lomba itu.

Selain ilmu eksak dan filsafat, seni lukis juga ia gemari. Dalam suatu lomba melukis, Hassan Hanafi keluar sebagai juara. Beethoven, Muhammad Abduh, Raja Farouk adalah tokoh yang pernah ia lukis. Lukisan-lukisannya dipajang disekolahnya. Dalam diri Hassan Hanafi ternyata berpadu minat dan bakat dalam seni lukis, musik, logika dan filsafat.

Pada musim panas Juli 1952 terjadi peristiwa penting dalam sejarah pergerakan politk di Mesir. Peristiwa itu kemudian dikenal dengan nama “Revolusi Juli” – suatu revolusi yang telah merubah konstelasi sosial, politik dan kulturah yang cukup mendasar. Dan agama termasuk pula di dalamnya. Revolusi itu telah merubah bentuk pemerintahan Mesir dari Monarki-Kerajaan menjadi Republik-Demokrasi. Oleh Hassan Hanafi, Revolusi Juli dijadikan sebagai titik awal untuk membahas pergulatan pemikiran dan pergolakan politik dalm kaitannya dengan agama di Mesir. Pikiran-pikiran Hassan Hanafi tersebut kemudian


(28)

 

dibukukan dengan judul Al-Din wa al-Tsawrah fi Mishr 1952-1981, yang dicetak dalam delapan volume14.

Bagi Hassan Hanafi, di Mesir tidak ada gerakan-gerakan politik yang revolusioner dan mempunyai koordinasi organisasi yang baik dan murni. Umumnya organisasi-organisasi itu dihuni oleh orang-orang yang munafik dam oportunis belaka. Satu-satunya organisasi yang masih ia nilai baik dan bersih adalah Al-Ikhwan al-Muslimun (Ikhwan). Selain Ikhwan, di Mesir saat itu ada Partai Hay’ah al Tahrir (Gerakan Pembebasan), Partai Wafd dan partai yang berhaluan Sosialis-Marxis.

Hassan Hanafi pun kemudian menjadi anggota Ikhwan, dan dibawah paying organisasi ini dia mengkoordinir Persatuan Pelajar Mesir. Ikhwan dikenal semakin kental dengan gerakan revolusi. Ketika terjadi perundingan antara Inggris dan Mesir tentang Terusan Suez pada bulan Maret 1954 – di mana di antara salah satu butir perundingan dinilai sangat merugikan bangsa Mesir karena memberi peluang bagi Inggris untuk kembali menguasai Terusan Suez, Ikhwan mengkritik sangat tajam atas hasil perundingan itu. Hanafi bertugas mengedarkan selebaran kritik Ikhwan itu.

Gelar kesarjanaannya ia raih pada tanggal 11 Oktober 1956 dari Kulliyat al-Adab (Fakultas Sastra) Jurusan Filsafat Universitas Kairo. Setelah itu Hassan Hanafi pergi ke Perancis untuk memperdalam filsafat di Universitas Sorbonne, dengan spesialisasi Filsafat Barat Modern dan Pra-Modern. Selama kurang dari sepuluh tahun Hassan Hanafi tinggal di Perancis, salah satu Negara tempat orientalis berada. Dalam rentang waktu tersebut, tradisi, pemikiran, dan keilmuan barat dikuasainya. Ia sempat pula mengajar Bahasa Arab di Ecole

des Langues Orientales di Paris.

      

14


(29)

 

Pada tahun-tahun awal keberadaannya di Perancis, Hassan Hanafi sempat mengikuti kursus musik di salah satu sekolah tinggi musik di Paris. Hal itu tak lain karena Hassan Hanafi memiliki minat pada dunia seni. Keluarganya pun terkenal sebagai keluarga musisi. Begitu seriusnya ia menekuni bidang itu sampai-sampai ia pernah bercita-cita menjadi musisi dan komponis dunia. Pagi hari kursus musik, siangnya kuliah, dan sore hari ia gunakan untuk membaca atau mencipta suatu simponi musik. Ia harus membagi waktu untuk kursus musik, kuliah, membaca dan menggubah. Setelah dua tahun, dengan kesibukan seperti itu, Hassan Hanafi sempat terserang TBC akibat kelelahan. Dokter menyarankan untuk menentukan pilihan antara musik atau filsafat. Hassan Hanafi akhirnya memilih filsafat, sebab dalam filsafat ia masih dapat menemukan pandangan yang apresiatif terhadap aspek estetis kehidupan. Pandangan itu ia temukan dalam aliran Filsafat Romantisme.

Hassan Hanafi menyusun disertasi yang berjudul Essai sur la methode d’Exegese (Esei Tentang Metode Penafsiran). Disertasi setebal 900 halaman tersebut memperoleh penghargaan untuk penulisan karya ilmiah terbaik di Mesir pada tahun 19615. Karya yang tebal dan monumental tersebut merupakan upaya Hassan Hanafi dalam menghadapkan Ilmu

Ushul Fiqh (Filsafat Hukum Islam) kepada suatu madzhab filsafat modern, yaitu

fenomenologi yang dirintis oleh Edmud Husserl. Upaya Hassan Hanafi itu merupakan suatu eksperimen yang menarik, sebab infinitas dari rangkaian fenomena kehidupan, yang sama sekali tidak memiliki pretensi kelanggengan, diterapkan pada ketangguhan kerangka berpikir yang dimaksudkan untuk mendukung keabadian Al-Qur’an. Setelah meraih gelar Doktor, Hassan Hanafi kembali ke almamaternya, Universitas Kairo, Mesir, dan mengajar di Fakultas Sastra, Jurusan Filsafat. Ia mengajar mata kuliah Pemikiran Kristen Abad Pertengahan dan Filsafat Islam.

      

15


(30)

 

Reputasi internasionalnya sebagai pemikir ternama mengantarkan Hassan Hanafi untuk merengkuh beberapa jabatan guru besar luar biasa di berbagai perguruan tinggi diluar Mesir. Pada tahun 1969, Hassan Hanafi menjadi professor tamu di Perancis. Kecuali itu, Hassan Hanafi pernah mengajar di Belgia (1970), Amerika Serikat (1971-1975), Kuwait (1979), Maroko (1982-1984), Jepang (1984-1985) dan Uni Emirat Arab (1985)16.

Hassan Hanafi juga pernah berkunjung ke negeri Belanda, Swedia, Portugal, Spanyol, India, Sudan, Saudi Arabia, dan juga Indonesia. Kunjungan-kunjungan itu berlangsung antara 1980-1987. Dalam berbagai kunjungan tersebut, Hassan Hanafi banyak bertemu dengan para pemikir ternama, yang kemudian memberi sumbangan pada keluasan tentang persoalan hakiki yang dihadapi oleh umat manusia umumnya, dan umat Islam khususnya.

Kunjungan-kunjungan tersebut juga digunakan Hassan Hanafi untuk mengamati secara langsung berbagai kontradiksi dan penderitaan kaum lemah yang terjadi di berbagai belahan dunia. Hassan Hanafi sempat menyaksikan agama revolusioner di Amerika Serikat. Di Amerika Latin, ia menyaksikan berkembangnya gerakan teologi pembebasan, yang kemudian membuka pikiran Hassan Hanafi bahwa agama (Islam) sudah saatnya dikembalikan kepada hakikat yang sebenarnya, yaitu sebagai agama pembebasan, agama yang sangat peduli pada persoalan-persoalan kemanusiaan. Teologi Islam harus segera direkonstruksi dari bentuk lamanya yang bersifat teosentris menjadi suatu kerangka ilmu yang dapat memajukan umat Islam, membela kaum lemah, dan berdiri tegak melawan kekuatan apa pun yang mempertahankan rezim tiran dan status quo yang merampas hak hidup dan kebebasan hakiki karunia Tuhan. Teologi Islam harus berbicara tentang manusia dengan sejumlah persoalannya : masalah sosial, ekonomi, politik, dan kebudayaan.

      

16

Ilham B.Saenong, Hermeneutika Pembebasan, Metodologi Tafsir Al-Qur’an Menurut Hassan Hanafi, Jakarta : Penerbit TERAJU, cet.I, 2002, hal.69


(31)

 

Kepergiannya ke Amerika Serikat untuk mengajar di Universitas Temple (1971-1975) sebenarnya merupakan pilihan Hassan Hanafi ketika pemerintah Mesir memberikan pilihan kepadanya antara tetap tinggal di Mesir dengan syarat menghentikan aktivitas intelektual dan gerak-geriknya yang membuat gerah dan merah kuping pemerintah, atau pergi keluar negeri. Di Amerika Serikat, Hassan Hanafi mempertajam penguasaannya atas filsafat Anglo-Saxon dan studi tentang agama-agama. Pada periode itu ia menulis tentang agama Yahudi, Kristen dan Islam dalam rangka membangun dialog antar agama.

Pada tahun 1975, Hassan Hanafi kembali ke Mesir dengan membawa obsesi lamanya, yaitu membangun kesadaran diri (al-wa’y) lewat penelusuran dan pengkajian serta penafsiran ulang atas tradisi klasik (turats) di satu sisi, dan menjadikan Barat sebagai objek kajian sekaligus mitra sejajar dalam hubungan Timur (Islam) – Barat. Ia pun mulai menulis buku

Al-Turats al-Tajdid. Namun, naskah buku tersebut belum sempat selesai ditulis, karena ia

kemudian (antara tahun 1976-1981) ikut aktif dalam gerakan anti-pemerintahan Presiden Anwar Sadat yang dinilainya pro Barat dan bersedia untuk berdamai dengan Israel, musuh bebuyutan bangsa Arab.

Keterlibatan Hassan Hanafi pada gerakan anti-pemerintahan Presiden Anwar Sadat, menjadikannya dipecat dari Universitas Kairo dengan tuduhan menentang penguasa. Hassan Hanafi pun kemudian banyak menulis di berbagai surat kabar dan majalah. Tulisan-tulisannya merupakan refleksi Hassan Hanafi atas sejumlah persoalan agama, sosial dan politik di Mesir. Ia kemudian mengumpulkan tulisan-tulisannya tersebut dan menerbitkannya dalam bentuk buku berjudul Al-Din wa al-Tsawrah fi Mishr 1952-1981 (Agama dan Revolusi di Mesir 1952-1981). Buku itu dikemas dalam delapan volume – Vol.I: Agama dan Kebudayaan Bangsa; Vol.II: Agama dan Pembebasan Kebudayaan; Vol.III: Agama dan Perjuangan Nasional; Vol.IV: Agama dan Pembangunan Bangsa; Vol.V: Gerakan-gerakan


(32)

 

Keagamaan Kontemporer; Vol.VI: Fundamentalisme Islam; Vol.VII: Kanan dan Kiri dalam Pemikiran Islam; dan Vol.VIII: Kiri Islam dan Kesatuan Nasional.

Hassan Hanafi tercatat sebagai pelopor berdirinya organisasi perhimpunan para filosof Mesir yang berdiri tahun 1986. Perhimpunan itu diketuai oleh Dr. Abu Al-Wafa al-Taftazani, dan selanjutnya digantikan oleh Dr. Mahmud Hamdi Zaqzuq. Hassan Hanafi sendiri memegang jabatan sekretaris jendral.

2.2. Pemikiran – Pemikiran yang Mempengaruhi Hassan Hanafi

Sebagai pemikir modernis, gagasan Hassan Hanafi terfokus pada perlunya pembaruan rekonstruksi Islam yang ia kemas dalam konsep besar Turats wa Tajdid (Tradisi dan Pembaruan), dan Al Yasar Al Islami (Kiri Islam) yang ia cetuskan pada 1981. Konsep itu merupakan kepanjangan dari gagasan Al Urwatul Wutsqo-nya Jamaluddin Al Afghani dan Muhammad Abduh. Menurutnya, penggunaan nama 'kiri' sangat penting karena dalam citra akademik, kata tersebut berkonotasi perlawanan dan kritisisme.

Hassan Hanafi mulai mengajar di Universitas Kairo bahkan sebelum ia menyelesaikan kuliah disana. Diberkati dengan kecerdasan berfikir, ia memiliki ketertarikan tentang kontradiksi antara apa yang ia pelajari di Universitas dengan apa yang ia baca dari buku-buku pemikir Islam seperti Hassan al-Banna dan Sayyid Qutb, yang pada belakangan hari akan sangat mempengaruhi cara berfikirnya. Lalu, ia juga memiliki ketertarikan terhadap tulisan


(33)

 

Guyau, sosiologis Prancis, filsuf Bergson, dan pemikir Idealis dari Jerman, Immanuel Kant, Schelling dan Hegel17.

Kiri Islam yang ia gagas juga punya akar dalam karya pemikir Islam revolusioner, Ali Syari’ati, dan pemikir yang menggerakkan revolusi Islam Iran yang agung, Imam Khomeini. Menurutnya, Kiri Islam adalah hasil nyata dari Revolusi Islam Iran yang merupakan salah satu respon Islam terhadap Barat. Ia juga terkait dengan gerakan-gerakan yang bermacam-macam di Libya, Sudan, Aljazair, Maroko, dan gerakan-gerakan di bawah pimpinan Hasan al-Banna, Sayyid Quthb, dan lain-lain. Kiri Islam menggalang revolusi melawan imperialisme dan keterbelakangan. Ia membangkitkan gerakan-gerakan Islam revolusioner sekarang, dan merumuskan teorinya.

Setelah menyelesaikan kuliahnya di Universitas Kairo pada 1956, Hassan Hanafi melanjutkan perkuliahannya di University of Paris (Sorbonne) selama sepuluh tahun. Disini dia melanjutkan eksplorasi pemikirannya mengenai hubungan antara Barat dan pemikiran Arab. Ia sangat dipengaruhi oleh Jean Guitton, filsuf terkenal di Paris pada masa itu. Pada 1959 dan 1960 menyelesaikan bacaan karya Edmund Husserl dengan bahasa Jerman, orang yang kelak akan ia jadikan acuan untuk disertasi doktoralnya. Dia juga mengagumi filsuf yang terkenal melalui pemikiran protesnya, Spinoza dan Kierkegaard.18

Kiri Islam terlibat di zaman ini, dan mengupayakan transformasi kaum Muslim dari keterbelakangan ke kemajuan, dari kolonialisme ke pembebasan, dari penyalahgunaan ke kekuasaan masyarakat Muslim yang sejahtera, dari feodalisme suku dan kapitalisme kelas menengah ke sosialisme masyarakat Muslim, ummah, dan dari penguasaan ke kebebasan dan demokrasi. Ini merupakan partisipasi dalam gerakan sejarah kaum Muslim setelah Revolusi

      

17

Diterjemahkan oleh penulis dari http://www.encyclopedia.com/doc/1G2-3404702767.html diakses 12 November 2009 pukul 01.28

18


(34)

 

Islam di Iran, dan bertugas merebut hak-hak dan kekayaan kaum Muslim agar dikuasainya. Kalau kaum Muslim memenangkan revolusi dan merebut kekayaan mereka, mereka akan menguasai dunia.

2.3. Karya - Karyanya

Karya karya Hassan Hanafi dapat diklasifikasiakan menjadi tiga periode, yaitu : Periode pertama berlangsung pada tahun 1960-an; periode kedua pada tahun 1970-an, dan periode ketiga dari tahun 1980-an sampai dengan 1990-an. Analisis tentang perkembangan pemikiran Hassan Hanafi akan di dasarkan perkembangan perperiode dari karya karya tersebut. Masing masing periode terdapat perkembangan pemikiran Hassan Hanafi dan dinamika politik di Mesir mempunyai pengaruh besar pada pemikirannya19.

Pada awal dasawarsa 1960-an pemikiran Hassan Hanafi dipengaruhi oleh faham-faham dominan yang berkembang di Mesir, yaitu nasionalistik-sosialistik populistik yang juga dirumuskan sebagai ideologi Pan Arabisme, dan oleh situasi nasional yang kurang menguntungkan setelah kekalahan Mesir dalam perang melawan Israel pada tahun 1967.

Usahanya untuk melakukan rekonstruksi pemikiran Islam, ketika ia berada di Perancis ia mengadakan penelitian tentang, metode interpretasi sebagai upaya pembaharuan bidang ushul, dan tentang fenomenologi sebagai metode untuk memahami agama dalam konteks realitas kontemporer. Ketiga, usaha untuk menginterprestasikan realitas umat Islam dalam kerangka baru. Penelitian itu sekaligus merupakan upayanya untuk meraih gelar doktor pada Universitas Sorbonne, dan ia berhasil menulis disertasi tentang Metode Penafsiran yang mendapat penghargaan sebagai karya ilmiah terbaik di Mesir pada tahun 1961.

      

19


(35)

 

Awal periode 1970-an, Hassan Hanafi juga memberikan perhatian utamanya untuk mencari penyebab kekalahan umat Islam dalam perang melawan Israel tahun 1967. Oleh karena itu, tulisan-tulisannya lebih bersifat populis. Di awal periode 1970-an, ia banyak menulis artikel di berbagai media massa, seperti Al Katib, Al-Adab, Al-Fikr al-Mu’ashir, dan

Mimbar Al-Islam. Pada tahun 1976, tulisan-tulisan itu diterbitkan sebagai sebuah buku

dengan judul Qadhaya Mu’ashirat fi Fikrina al-Mu’ashir.

Kemudian, pada tahun 1977, kembali ia menerbitkan Qadhaya Mu `ashirat fi al Fikr

al-Gharib. Buku kedua ini mendiskusikan pemikiran para sarjana Barat untuk melihat

bagaimana mereka memahami persoalan masyarakatnya dan kemudian mengadakan pembaruan.

Sementara itu Dirasat Islamiyyah, yang ditulis sejak tahun 1978 dan terbit tahun 1981, memuat deskripsi dan analisis pembaruan terhadap ilmu-ilinu keIslaman klasik, seperti ushul fiqih, ilmu-ilmu ushuluddin, dan filsafat. Dimulai dengan pendekatan historis untuk melihat perkembangannya, Hanafi berbicara tentang upaya rekonstruksi atas ilmu-ilmu tersebut untuk disesuaikan dengari realitas kontemporer.

Periode selanjutnya, yaitu dasawarsa 1980-an sampai dengan awal 1990-an, dilatarbelakangi oleh kondisi politik yang relatif lebih stabil ketimbang masa-masa sebelumnya. Dalam periode ini, Hanafi mulai menulis Al-Turats wa al-Tajdid yang terbit pertama kali tahun 1980. Buku ini merupakan landasan teoretis yang memuat dasar-dasar ide pembaharuan dan langkah-langkahnya. Kemudian, ia menulis Al-Yasar Al-lslamiy (Kiri Islam), sebuah tulisan yang lebih merupakan sebuah "manifesto politik" yang berbau ideologis, sebagaimana telah saya kemukakan secara singkat di atas.


(36)

 

Buku Min Al-Aqidah ila Al-Tsaurah (5 jilid), yang ditulisnya selama hampir sepuluh tahun dan baru terbit pada tahun 1988. Buku ini memuat uraian terperinci tentang pokok-pokok pembaruan yang ia canangkan dan termuat dalam kedua karyanya yang terdahulu. Oleh karena itu, bukan tanpa alasan jika buku ini dikatakan sebagai karya Hassan Hanafi yang paling monumental.

Selanjutnya, pada tahun-tahun 1985-1987, Hassan Hanafi menulis banyak artikel yang ia presentasikan dalam berbagai seminar di beberapa negara, seperti Amerika Serikat, Perancis, Belanda, Timor Tengah, Jepang, termasuk Indonesia. Kumpulan tulisan itu kemudian disusun menjadi sebuah.buku yang berjudul Religion, Ideology, and Development yang terbit pada tahun 1993. Beberapa artikel lainnya juga tersusun menjadi buku dan diberi judul Islam in the Modern World (2 jilid).

Bapak tiga anak ini menulis sedikitnya 20 buku dan puluhan makalah ilmiah. Karyanya yang populer di Indonesia antara lain Al-Yasar Islami (Kiri Islam), Min

al-`Aqidah ila al-Tsaurah (Dari Teologi ke Revolusi), Turats wa Tajdid (Tradisi dan

Pembaharuan), Islam in The Modern World (1995), dan lainnya. Hasan Hanafi bukan sekedar pemikir revolusioner, tapi juga reformis tradisi intelektual Islam klasik.20

      

20


(37)

  BAB III

ANALISA DATA

3.1. Pemikiran Hassan Hanafi Tentang Kiri Islam

Revolusi kultural sebagai model gerakan pembaharuan Islam yang berkembang sejak akhir abad ke-19. Salah satu pemikir Muslim yang menyokong gerakan ini adalah Hassan Hanafi, seorang intelektual dan filosof Muslim kontemporer di Mesir. Beliau menawarkan ”Kiri Islam” sebagai metode alternatif bagi pembaharuan pemikiran Islam dengan produk sebuah proyek besar, yakni merekonstruksi dan memperbaharui tradisi (turath wa

al-tajdid).

Hassan Hanafi berpendapat kiri Islam merupakan resultan dari gerakan-gerakan kaum muslimin di Afghanistan, Melayu, Filipina, Pakistan, dan Revolusi Aljazair untuk memunculkan Islam sebagai khazanah nasional. Umat Islam di negeri tersebut ingin memelihara otentisitas dan kreativitas dalam memperjuangkan kepentingan mereka, serta menggerakkan umat Islam di tempat lain. Esensi kiri Islam, adalah pencurahan segala potensi untuk menghadapi puncak problematika zaman ini, berupa: imperialisme, zionisme, dan kapitalisme yang merupakan ancaman eksternal, serta kemiskinan, ketertindasan dan keterbelakangan sebagai ancaman internal.

Untuk proyek besar seperti itu, menurut dia, tak bisa mengandalkan kebaikan orang lain. Untuk dapat mengubah kondisi tersebut, yang mendesak dilakukan umat Islam adalah rekonstruksi (pembangunan kembali) pemikiran Islam. Selama ini, menurut dia telah terjadi stagnasi pemikiran. Dan itu, katanya, menjadi penyebab utama kemunduran umat Islam.


(38)

 

Rekonstruksi dilakukan hanya dengan meletakkan warisan dan tradisi klasik dalam standar modernisme. Jika sudah tidak cocok, tradisi tersebut harus diubah. Atau, katanya, harus ada penafsiran ulang terhadap sumber-sumber asal di mana tradisi tersebut terbentuk.

Dengan upaya ini, Hassan Hanafi yakin umat Islam akan mampu menghadapi tantangan berat, yakni bagaimana umat Islam memecahkan masalah kesenjangan sosial, ketidakadilan, kebodohan, pengekangan kebebasan berekspresi, dan ketertindasan rakyat. Dunia Islam, katanya, ditandai oleh disparitas kaya-miskin dan penindasan kebebasan. Kondisi tersebut harus diubah.

Yang terjadi selama ini adalah hidupnya al-turath (tradisi), yang merupakan akumulasi penafsiran yang diberikan berbagai generasi dalam menjawab tantangan zamannya, justru menguatkan ketidakadilan tersebut. Tradisi macam inilah yang ia sebut sebagai 'kanan Islam'.

Dalam menghadapi hegemoni Barat, Hanafi merumuskan paradigma pikir yang ia sebut oksidentalisme--cara memandang Barat-- sebagai anti-tesa orientaslime Barat. Untuk ini, ia menulis buku khusus berjudul Muqaddimah fi 'Ilmi Istighrab, yang telah di-Indonesiakan dengan judul: Oksidentalisme: Sikap Kita terhadap Tradisi Barat. Ia mengajak umat Islam mengkritisi hegemoni kultural, politik, dan ekonomi Barat, yang dikemas di balik kajian orientalisme.

Hassan Hanafi yakin orientalisme sama saja dengan imperialisme, seperti kepopuleran imperalisme kultural yang digelar Barat melalui media informasi dengan mempropagandakan Barat sebagai pusat kebudayaan kosmopolitan. Bahkan, orientalisme dijadikan kedok belaka untuk melancarkan ekspansi kolonialisme Barat (Eropa) terhadap dunia Timur (Islam).


(39)

 

Apakah dengan oksidentalisme ini Hanafi berambisi merebut kekuasaan orientalisme? Tidak. Hanafi menulis, oksidentalisme hanya ingin menuntut pembebasan diri dari cengkeraman kolonialisme orientalis. Menurut Hassan Hanafi, ego oksidentalisme lebih bersih, objektif, dan netral dibandingkan dengan ego orientalisme. Oksidentalisme sekadar menuntut keseimbangan dalam kebudayaan, kekuatan, yang selama ini memposisikan Barat sebagai pusat yang dominan. Dengan oksidentalisme, Hassan Hanafi berniat mengakhiri dan sekaligus meruntuhkan mitos Barat yang dianggap sebagai satu-satunya representasi (kekuatan) dunia.

Proyek Hanafi ini sangat erat kaitannya dengan tipe-tipe masyarakat21. Pertama disebut juga dengan masyarakat tradisional. Pada tipe ini, tradisi atau khazanah klasik menjadi sumber inspirasi, sumber sistem nilai dan argumen bagi kekuasaan. Sebaliknya, pada tipe kedua, masyarakat modern, tradisi dikritik tajam dan tidak lagi dianggap sebagai acuan nilai. Hanafi meniscayakan adanya titik temu antara keduanya sehingga menghasilkan pembaruan yang berarti penafsiran kembali atas khazanah klasik agar sesuai dengan kebutuhan zaman.

Selanjutnya gagasan pembaruan ini mengharuskan ”me-muhasabah kembali” alternatif-alternatif lama yang pernah dimunculkan orang-orang terdahulu, dan bahkan menciptakan sebuah alternatif baru agar dapat menghasilkan pilihan terbaik yang sesuai dengan tuntutan zaman. Baginya, yang harus dilakukan sekarang adalah pengembangan tradisi sehingga menjadi ”spirit zaman”.

Berikut akan penulis paparkan pemikiran-pemikiran Hassan Hanafi yang melandasi dan melingkupi gagasan Kiri Islam-nya.

      


(40)

  3.1.1. Prinsip dari Turas dan Tajdid

Turas atau Turath (untuk kepentingan penulisan, untuk selanjutnya akan digunakan istilah Turas) adalah segala sesuatu yang sampai kepada kita dari masa lalu dalam peradaban yang dominan, sehingga merupakan masalah yang diwarisi sekaligus masalah penerima yang hadir dalam berbagai tingkatan. Turas merupakan titik awal sebagai tanggung-jawab kebudayaan dan bangsa. Secara bahasa, Turas bisa juga diartikan sebagai tradisi. Adapun tajdid (secara bahasa berarti pembaruan) sendiri bermakna penafsiran ulang atas turas sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan zaman, karena yang lama mendahului yang baru22. Oleh karena itu, pembahasan mengenai turas dan tajdid dalam kajian Hassan Hanafi tidak dalam konteks filosofis an sich, melainkan dengan menyertakan argumen historis.

Dalam perkembangannya, turas bagi umat Islam akan dijumpai pada beberapa hal23. Pertama, disebut juga turas tulis, adalah turas yang terdapat pada lembar-lembar ataupun shuhuf-shuhuf yang tersebar di perpustakaan-perpustakaan. Kedua, diistilahkan turas formal, yakni turas yang dilegitimasikan oleh lembaga atau institusi formal yang berujung pada taqlid formalistik, bukan bangunan kesadaran. Adapun yang ketiga dikenal dengan nama turas

mental, yakni turas yang sudah terfomulasi menjadi gaya hidup yang tanpa sadar terwariskan

tanpa reserve.

Jadi tugas turas dan tajdid adalah mengembalikan semua kemungkinan lama, tetapi dengan memposisikan kemungkinan-kemungkinan baru dan mencari yang paling sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan, karena tidak ada standar kebenaran dan kesalahan teoretis untuk menilainya, tetapi yang ada hanyalah standar praktis.

      

22 Hassan Hanafi, Turas dan Tajdid : Sikap Kita terhadap Turas Klasik (Yogyakarta : Titian Ilahi Press, 2001), hal. 9. 23 Ibid, h. 10.


(41)

 

Akhirnya, proyek besar tersebut menghantarkan kita kepada 3 (tiga) dimensi : sikap kita terhadap khazanah klasik, sikap kita terhadap khazanah Barat dan sikap kita terhadap realitas. Dimensi pertama melahirkan seruan untuk merevitalisasi khazanah Islam klasik, dimensi kedua melahirkan oksidentalisme, sebuah kajian kritis atas tradisi Barat, dan yang terakhir melahirkan sebuah teori penafsiran (hermeneutika)24.

Pada gilirannya kebanggaan atas tradisi dan keterbukaannya melihat kebutuhan realitas zaman, melahirkan sebuah elaborasi sikap dan ilmu yang sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya. Dengan berlandaskan pada nilai-nilai Islam yang berketuhanan, berkeadilan dan bersandarkan pada kemaslahatan bersama.

Merunut semangat di atas, dalam melawan neo imperalis dengan kendaraan ekonomi politiknya, maka seorang muslim dalam berekonomi tidak lagi condong pada semangat kapitalistik yang jauh dari keadilan. Karena kesadarannya memberi tahu bahwa kapitalisme tidak akan tercerabut dari tubuh umat Islam Selama masyarakat muslim masih terintegrasi dengan kapitalisme global. Dalam berpolitikpun tidak lagi menggunakan cara-cara Machiavelis dengan menghalalkan segala cara. Termasuk sampai pada melakukan lompatan-lompatan ideologi demi manuver politiknya. Neo-Imperalism akan selalu masuk dan bercokol dalam jiwa-jiwa terjajah yang pragmatis dan kerdil. Untuk itulah kaum Muslimin harus melakukan revitalisasi turas.

      

24 Din Wahid, “Kiri Islam : Studi atas Gagasan Pembaruan Pemikiran Islam Hassan Hanafi”, dalam Jurnal ”Refleksi”, Vol. 2, No.2, 2000, h. 38.


(42)

 

3.1.1.1. Turas Dan Tajdid Dan Penyatuan Ilmu Ilmu

Turas adalah segala sesatu yang sampai kepada kita dari masa lalu dalam peradaban yang dominant, sehingga merupakan masalah yang diwarisi sekaligus mesalah penerima yang hadir dalam berbagai tingkatan. Turas merupakan titik awal sebagai tangungjawab kebudayaan dan bangsa. Tajdid adalah penafsiran ulang atas turas sesauai dengan kebutuhan kebutuhan zaman, karena yang lama mendahului yang baru. Turas adalah perantara sedangkan tajdid adalah tujuan.

Jadi turas dan tajdid berusaha menegakan persoalan persoalan perubahan sosial scara alamiah dan dalam kerangka sejarah, yang dimulai dengan asas dan syarat sebelum yang di bangun dan di syariati. Turas dan tajdid mencerminkan proses peradaban yaitu pengungkapan sejarah, sebagai kebutuhan yang sangat mendesak dan tuntunan revolusioner dalam kesadaran kontemporer kita.

Walaupun turas telah memberi kita empat ilmu rasional yang luar biasa yaitu kalam, filsafat, tasawuf dan ushul fiqih, hanya saja tujuan akhir turas dan tajdid adalah penyatuan ilmu ilmu dalam satu ilmu yang sinonim dengan peradaban itu sendiri. Sebab semua ilmu itu berusaha untuk memahami dan merubah wahyu menjadi teori seperti ada dalam kalam dan filsafat.

Penyatuan ilmu-ilmu merupakan peresolan yang mungkin, karena setiap ilmu menunjuk kepada ilmu-ilmu lain dengan komparasi dan seringkali dengan falsifikasi dan kritik. Dalam ilmu kalam misalnya terdapat kritik aras filsafat, khusunya menganai hal hal yang berkaitan dengan falak-falak, makna makna akal akal. Kadang kadang sebagian kajian fiqih dan ushul fiqih tercakup dalam satu poin bersama dalam kajian kajian bahasa, qiyas dan ijtihad.


(43)

 

Penyatuan ilmu-ilmu merupakan suatu yang mungkin dengan cara mengambil semua yang diberikan oleh ilmu ilmu tradisional dan apa yang memnuhi tuntutan tuntutan zaman. Misalnya pengukuhan kebebsana dalam ilmu tauhid akal, amal dan musyawarah.

Jika turas telah memberi kita ilmu ilmu rasional, yang mengeksprsikan puncak tertinggi pencapainnya yaitu rasionalisasi nash dan analisi wahyu jika tajdid dengan kemampuannya merubah ilmu ilmu trasisional ini menjadi ilmi ilmu kemanusiaan, maka zaman sekarang ingin mealangkah jauh lebih maju yaitu merubah ilmu ilmu kemanusiaan sebagai warisan ilmu ilmu tradisional menajdi idiologi. Itulah tujuan tertinggi turas dan tajdid.

Dalam Al-Yasar al-Islami (Kiri Islam) tersebut, Hassan Hanafi mendiskusikan bebarapa isu penting berkaitan dengan kebangkitan Islam. Secara singkat dapat dikatakan, Kiri Islam bertopang pada tiga pilar dalam rangka mewujudkan kebangkitan Islam, revolusi Islam (revolusi Tauhid) dan kesatuan umat. Pilar pertama adalah revitalisasi khazanah Islam klasik. Hassan Hanafi menekankan perlunya rasionalisme untuk merevitalisasi khazanah Islam. Rasionalisme merupakan keniscayaan bagi kemajuan dan kesejahteraan Muslim, disamping untuk memecahkan situasi kekinian di dalam dunia Islam. Pilar kedua adalah perlunya menentang peradaban Barat. Ia memperingatkan pembacanya akan bahaya imperialisme kultural Barat yang cenderung membasmi kebudayaan bangsa-bangsa yang, secara kesejarahan, kaya. Ia mengusulkan "Oksidentalisme" sebagai jawaban "Orientalisme" dalam rangka mengakhiri mitos peradaban Barat. Pilar ketiga adalah analisis atas realitas dunia Islam. Untuk analisis ini, ia mengkritik metode tradisional yang bertumpu pada teks (nash), dan mengusulkan suatu metode tertentu, agar realitas dunia Islam dapat berbicara bagi dirinya sendiri.


(44)

 

Menurut Hassan Hanafi, dunia Islam sedang menghadapi tiga ancaman, yaitu imperialisme, zionisme dan kapitalisme (dari luar) serta kemiskinan, ketertindasan dan keterbelakangan (dari dalam). Kiri Islam berfokus pada problem-problem era ini.

3.1.2. Revitalisasi Khazanah Islam Klasik

Hassan Hanafi menjelaskan ada 3 (tiga) pendekatan terhadap khazanah klasik25. Pertama adalah pendekatan kaum tradisionalis yang beranggapan bahwa khazanah lama telah memberikan solusi atas persoalan-persoalan yang dihadapi di segala zaman (masa lalu, masa kini, dan masa depan). Pendekatan kedua erat kaitannya dengan usaha-usaha pembaharuan yang dimotori oleh kaum Modernis. Mereka ingin membangun sebuah ”bangunan” baru disamping ”bangunan” lama yang dianggap seperti tidak mempunyai nilai sama sekali. Adapun pendekatan ketiga adalah gabungan antara tradisi dan pembaruan. Sebuah pendekatan yang bermaksud mengidentifikasi kedua nilai tersebut dalam rangka mencari yang relevan dengan perubahan zaman.

Menurut Hassan Hanafi, ada 2 (dua) cara dalam menafsirkan kembali khazanah Islam klasik. Pertama adalah reformasi bahasa (linguistik). Bahasa adalah alat untuk mengekspresikan ide-ide sehingga perlu direformasi agar tetap memenuhi fungsinya sebagai media ekspresi dan komunikasi. Reformasi ini dapat dilakukan secara otomatis (tilqa’iyya) ketika kesadaran berpaling dari bahasa lama kepada makna dasarnya, kemudian berusaha untuk mengekspresikan kembali makna dasar ini dengan menggunakan bahasa-bahasa yang sedang berkembang. Dengan demikian, makna yang dipegang adalah makna tradisi, sedang bahasanya adalah bahasa yang telah direformasi.

       25 Ibid, hal. 45.


(45)

 

Sebagi contoh tentang makna dari istilah “Islam” yang biasanya secara umum diartikan sebagai sebuah agama tertentu. Menurut Hassan Hanafi sebaiknya istilah ini diganti dengan “pembebasan” sebagaimana disimbolkan dalam syahadat. Asumsi dasar dari pandangan teologi semacam ini adalah bahwa Islam, dalam pandangan Hassan Hanafi, adalah protes, oposisi dan revolusi26. Baginya, Islam memiliki makna ganda. Jika untuk mempertahankan status-quo suatu rezim politik, Islam ditafsirkan sebagai tunduk. Sedang jika untuk memulai suatu perubahan sosial politik melawan status-quo, maka harus menafsirkan Islam sebagai pergolakan27.

Cara kedua untuk pembaruan khazanah klasik adalah dengan mengganti obyek kajian28 dari ilmu-ilmu keIslaman tradisional yang sarat dengan latarbelakang kemunculannya (budaya lingkugan pada situasi dan kondisi tertentu). Settingan ini tentu berpengaruh pada pada perkembangan ilmu-ilmu tersebut : esensi, metode, hasil dan bahasanya sehingga menyebabkan disiplin keilmuan tersebut tidaklah absolut dan karenanya berubah. Hassan Hanafi memberi contoh pada teologi (ilmu kalam). Pendekatan tradisional mendefinisikan objek dari ilmu ini adalah keesaan Tuhan. Menurut Hassan Hanafi, objek tersebut harus diganti dengan manusia, yakni kesatuan manusia. Pergantian ini akan menggiring kita untuk mengakui persamaan manusia. Dapat disimpulkan penafsiran yang bercorak transformatif sebagai hasil akhir dari rumusan praktis metodologi ini.

Kiri Islam lahir dari kesadaran penuh atas posisi tertindas umat Islam, untuk kemudian melakukan rekonstruksi terhadap seluruh bangunan pemikiran Islam tradisional agar dapat berfungsi sebagai kekuatan pembebasan. Upaya rekonstruksi ini adalah suatu keniscayaan karena bangunan pemikiran Islam tradisional yang sesungguhnya satu bentuk

      

26 Hassan Hanafi, “Pandangan Agama tentang Tanah, Suatu Pendekatan Islam,” dalam Prisma 4, April 1984, hal. 103. 27 Ibid, hal. 104.


(46)

 

tafsir justru menjadi pembenaran atas kekuasaan yang menindas. Upaya rekonstruksi ini diawali dengan menjaga jarak terhadap Asy’arisme, pemikiran keagamaan resmi yang telah bercampur dengan tasawuf dan menajdi ideologi kekuasaan, serta mempengaruhi perilaku negatif rakyat untuk hanya menunggu perintah dan ilham dari langit. Hassan Hanafi lebih terbuka dengan Mu’tazilah versi Muhammad Abduh yang memproklamirkan kemampuan akal untuk mencapai pengetahuan dan kebebasan berinisiatif dalam perilaku. Juga melanjutkan apa yang dirintis oleh Al-Kawakibi dalam menganalisis faktor-faktor sosial politik untuk membebaskan dan memperkuat kaum muslimin. Dan Kiri Islam juga mewarisi kapabilitas Muhammad Iqbal dan upaya-upayanya dalam “Pembaharuan Pemikiran Keagamaan dalam Islam” (Reconstruction of Islamic Thoughts).

3.1.3. Oksidentalisme : Sikap Terhadap Turas Barat

Dalam mewujudkan Kiri Islam mengharuskan adanya proses rekonstruksi tradisi kebudayaan Barat yang dicirikannya sebagai kebudayaan murni historis, di mana wahyu Tuhan tidak dijadikan sebagai sentral peradaban. Pandangan obyektif dan kritis dalam pemikiran Hassan Hanafi disebut juga dengan “oksidentalisme”. Proyek ini diharapkan menjadi kekuatan wacana penyeimbang dalam melihat Barat dan upaya westernasasi.

Oksidentalisme adalah wajah lain dan tandingan bahkan berlawanan dengan Orientalisme. Orientalisme melihat ego (Timur) melalui the other. Orientalisme lama adalah pandangan ego Eropa terhadap the other non Eropa, subyek pengkaji terhadap obyek yang dikaji29. Di sini terjadi superioritas Barat dalam melihat Timur. Hal demikian dibalikkan dengan Oksidentalisme, yag tugasnya yaitu mengurai inferioritas sejarah hubungan ego

      


(47)

 

dengan the other, menumbangkan superioritas the other Barat dengan menjadikannya sebagai obyek yang dikaji, dan melenyapkan infererioritas kompleks ego dengan menjadikannya sebagai subyek pengkaji. Hanya saja Oksidentalisme kali ini dibangun di atas ego yang netral dan tidak berambisi merebut kekuasaan, dan hanya menginginkan pembebasan30. Ia juga tidak ingin mendiskreditkan kebudayaan lain, dan hanya ingin mengetahui keterbentukan dan struktur peradaban Barat. Seperti diklaim oleh Hassan Hanafi, ego Oksidentalisme lebih bersih, obyektif, dan netral dibadindingkan ego Orientalisme31.

Sebuah kenyataan bahwa barat kini secara ekonomi lebih maju dari timur. Dan perihal ini dipandang secara bulat-bulat oleh kebanyakan orang timur untuk seluruhnya berkiblat kepadanya. Melalui paham developmentalism barat mengekspor ideologi yang sepertinya tidak dapat di tolak oleh seluruh negara di dunia. Kemudian negara-negra berkembang mengamini, lalu berjuang dengan disiplin puritan dan sikap licik nomer satu untuk mampu maju secara ekonomi dan teknologi.

Sepertinya hal itu adalah sebuah keniscayaan atas sebuah pembangunan manusia yang komperehensif. Berbagai kritik di lontarkan atas agama baru ini (developmentalisme) tetapi tidak ada yang kunjung mampu menghentikan kekuatan paham ini bahkan justru membuatnya memodisfikasi strategi yang lebih jitu lagi.

Sejak munculnya revolusi sains hingga merubah paradigma dunia dalam memandang alam dan segala isinya. Maka berubah pula paradigma-paradigma sosial yang ada.

Kemunculan ilmu-ilmu empirik baru dan menangnya filsafat-filsafat positifistik membuka gerakan dan percepatan lain bagi sejarah dunia ini. Sebut saja Copernicus, Galileo,

      

30 Zacky Khairul Umam, dalam artikel“Rekonstruksi Dialog Islam Barat” (Republika On-line, 15 Februari 2006). 31 Happy Susanto , dalam artikel “Geliat Baru Pemikiran Islam Kontemporer”, hal. 5.


(48)

 

Newton, dan Descartes orang-orang jenius abad pertengahan telah memetakan dunia baru. Bagi kaum materialis terciptanya ilmu pengetahuan dan teknologi menjadikan peluang bagi dirinya untuk melakukan eksplorasi dan efesiensi kegiatan ekonomi. Alat digunakan sebaik mungkin untuk mengakumulasikan kapital sebanyak-banyaknya. Dan sudah menjadi hukumnya perilaku tersebut memerlukan tanah-tanah baru dan sumberdaya-sumberdaya baru yang lebih kaya lagi murah.

Selanjutnya pandangan-pandangan merkantilisme mendorong penguasa-penguasa untuk melakukan pembiyayaan besar-besaran atas sejumlah pelayaran dan ekspedisi.Di Spanyol, raja dan ratu mendukung secara kuat Colombus untuk menemukan dunia baru. Dengan diikuti kongsi-kongsi dagang melaui pelaut-pelaut eropa dengan motif Gold, Gospel,

Glory (emas, gereja/agama, kejayaan). Jadi upaya globalisasi di era kolonial diarahkan untuk

memenuhi kebutuhan negara-negara yang lebih dahulu maju dengan mengeksploitasi negara atau daerah yang lebih terbelakang.

Globalisasi ekonomi yang telah berakar berabad-abad terus berevolusi. Munculnya tatanan strata sosial baru antara kaum penjajah dan terjajahpun tidak bisa dihindarkan.

Bahkan budaya superior dan inferiorpun muncul sebagai konsekuensi logisnya. Universalisasi nilai, ukuran dan ideologi dipaksakan masuk dalam budaya bangsa-bangsa terjajah yang menyebabkan akulturasi yang tidak seimbang. Situasi yang demikian menyebabkan pribumi secara tidak sadar dan berangsur-angsur mulai memberikan legitimasi kepada penjajah untuk kemudian mengakui bahwa dirinya adalah subordinat dari kaum emperialis. Dari situ mulailah pendiktean atas tradisi, moral dignity, dan pola pikir bangsa-bangsa terjajah. Yang oleh Antonio Gramsci disebut dengan istilah hegemoni.


(49)

 

3.1.4. Fundamentalis Islam Sebagai Reaksi Atas Imperialisme

Tidak ada sesuatu yang sempurna, termasuk imperialisme sekaligus hegemoni yang ada di dalamnya. Ketersumbatan kaum terjajah dalam mengakses hak-hak hidup sebagai individu dan sosial menyebabkan beberapa dari mereka berfikir tentang kebebasan. Sedangkan catatan kegemilangan Islam memunculkan romantisme sejarah tersendiri bagi umat Islam. Romantisme tersebut memberikan energi perlawanan terhadap penjajah yang notabennya orang-orang non-Muslim.

Dalam konteks ini Islam sebagai agama menuntut sebuah pencarian atau legalitas dengan asumsi bahwa setiap aksi, sistem, atau negara harus berdiri diatas konsepsi atau gagasan sebagai landasan dasarnya. Hal ini jelas tidak diijinkan oleh kaum imperialis. Seperti juga negara kapitalis yang berasaskan kebebasan dan negara-negara yang berhaluan sosialis melandaskan atas konsep “keadilan sosial”. Negara Islam yang di idami-idamkan, juga harus berdiri diatas legalitas Islamnya. Disinilah fundamentalisme Islam dalam salah satu makannya berupaya memformulasikan legalitas ini. Kemudian merealisasikannya di tengah kepungan kepentingan imperialis dan ideologi-ideologi lainnya32.

Dari beberapa kalimat paragraf diatas jelas bahwa fundamentalis Islam tidaklah identik dengan konservatif, terbelakang dan menentang peradaban modern seluruhnya. Fundamentalis juga tidak bisa dituduh selalu menggunakan cara-cara anarkis dan machievalis dalam pencapaian tujuannnya. Hal tersebut dapat dibuktikan bahwa kebanyakan dari doktrin perjuangannya bersandar pada nilai-nilai Islam yang Pro dalam pembangunan kesadaran berbangsa, membangun kesadaran berpolitik, melestarikan budaya arab, menyerukan kebersihan dan bahkan beberapa pemikir yang dianggap fundamentalis (seperti

Al-      


(50)

 

Afghani,Rasyid Ridho, Al-Kawakibi, dll) menulis tentang toleransi dan saling bekerjasama, serta menyerukan persaudraaan dan cinta kasih. Sehingga fundamentalis Islam dalam perspektif umum yang kini di amini, lebih merupakan istilah yang diciptakan barat dalam mendeskriditkan gerakan-gerakan Islam yang notabennya berusaha menuntut haknya sendiri.

3.1.5. Oksidentalisme Melawan Neo-Imperialism

Sudah kita fahami bersama bahwa bentuk-bentuk imperialism telah berganti bentuk menjadi neo-imperialism. Soekarno, 50 tahun lalu, memberikan ungkapan atas hal ini dihadapan negara asia-afrika, bahwa: “colonialism has also its modern dress, in form of

economic control and actual physical control by a small but alien community within a nation”. Imperialis hanya berganti baju, kalau dulu dengan meriam dan pistol kini baju

barunya adalah sebuah paham atas pembangunan dan kemajuan. Dengan globalisasi sebagai topengnya untuk menyembunyikan taring-taring kapitalisme.

Dalam terminologi ekonomi Doktrin Gramsci mengatakan bahwa negara-negara terhegemoni akan melahirkan budaya kaum-kaum subordinat. Sedangkan negara kuat selalu menguniversalisasikan nilai-nilai yang dibawanya baik melalui tradisi intelektual ataupun cara-cara kekerasan sekalipun. Kritik model ini tidak hanya gramsci, dalam teori dependensinya Andre Gunder Frank bahwa hubungan antara negara pinggiran dan negara pusat akan menghasilkan pembangunan keterbelakangan atau The Development of


(1)

  BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1. Kesimpulan

Kiri dan Kanan menjelma sebagai jargon-jargon perjuangan yang saling berhadapan. Sebutan Kiri menitahkan gerakan perlawanan untuk menumbangkan yang mapan, yakni yang kanan.

Setting dialektika ideologis seperti itu juga digunakan Hassan Hanafi dalam mengembangkan kajian teologi Islam, yang kemudian dikenal dengan Kiri Islam. Dengan mengambil sketsa sosial masyarakat arab sebagai latar argumentasi, Hanafi mengabstraksikan pandangannya tentang kondisi umat Islam secara struktural. Menurutnya, sejak zaman Al-Afghani hingga kini, umat Islam secara struktural terbagi dua kelompok yang saling berhadapan : yakni antara yang mapan vis a vis yang tereksploitasi; yang menguasai berhadapan dengan yang dikuasai, pemimpon vs rakyat, elit vs jelata. Kelompok pertama, minoritas tapi dominan dan mengeksploitasi kelompok kedua.

Dalam kondisi seperti ini, menurut Hanafi, visi ideologis Kiri Islam lahir dan berkembang. Ritme gerakannya menyuarakan kepentingan dan hak-hak mayoritas; aspek teologisnyaterwujud pada perjuangan untuk membebaskan manusia mayoritas yang tertindas dari belenggu eksploitasi kaum minoritas, hingga keduanya bisa hidup sederajat dan setara, laksana helai-helai sisir yang saling merekat dan berdampingan.

Kiri Islam bukanlah Islam yang berbaju Marxisme, karena itu menafikan makna revolusioner dari Islam sendiri. Ia juga tidak berarti bentuk ekletik antara Marxisme dan Islam, karena hal demikian hanya menunjukkan bentuk pemikiran yang tercerabut dari akar,


(2)

tanpa pertautan yang erat dengan realitas kaum muslimin. Namun jelas, Kiri Islam akan mengusik kemapanan, kemapanan politik dan agama.

Titik dimana penerapan Kiri Islam susah diterapkan adalah antipasti dari kaum muslimin terhadap kata kiri, lalu tidak ditemuinya konsepsi penerapan ditatanan akar-rumput yang bisa diaplikasikan diberbagai kalangan. Kondisi multitafsir ini terjadi karena dalam hermeneutika bahasa terus berkembang termasuk terhadap pendefinisian Kiri Islam itu sendiri oleh pemikir selain Hassan Hanafi.

Bahasa Kiri Islam yang cenderung berada di tataran menara gading (intelektual akademis) dan bukannya intelektual organik ala Gramsci menjadikan Kiri Islam terkadang tak lebih dari perdebatan ilmiah tentang konsepsi. Ini dikarenakan Hassan Hanafi berbeda dengan Ali Syariati atau Hassan Al-Banna yang memiliki garda pendukung terhadap penerapan pemikirannya di kalangan masyarakat.

Namun demikian, apresiasi layak diberikan pada Hassan Hanafi atas keberanian dan kajian mendalamnya dalam mengkaji Kiri Islam sebagai upaya mendekatkan masyarakat terhadap pemahaman teks sesuai konteks. Dan lagi, Kiri Islam memang pekat dengan atmosfer teologi pembebasan, yang membumi dan humanistis, dari Tuhan untuk semua penghuni bumi.


(3)

  4.2. Saran

Sebenarnya pemikiran Hassan Hanafi merupakan pemikiran yang sangat besar dan cemerlang, namun tak dapat dihindari bahwa pemikirannya masih di permukaan. Oleh karena itu perlu pengkajian mendalam mengenai pemikiran Hassan Hanafi.

Kajian atas pemikir Islam asal timur tengah memang belum massif tapi masih bisa didorong sebagai upaya pengimbangan atas wacana yang ditebarkan barat tentang wajah Islam yang bisa dsorot.

Harapan kedepan tulisan ini bisa menjadi daya refleksi untuk mengkaji pemikiran Islam, ini dikarenakan karya-karya Hassan Hanafi dalam terjemah Indonesia masih sangat terbatas. Maka diharapkan akan lebih banyak lagi penambahan pustaka sehingga benar-benar dapat menyelami pemikiran Hassan Hanafi.

Sosialisasi pemikiran Kiri Islam Hassan Hanafi akan sangat berguna sebagai upaya agar kata Kiri tidak lagi menjadi momok menakutkan untuk dikaji, pemikiran Islam pun dapat berkembang. Sehingga bisa mewujudkan tatanan sosial seperti yang tercantum didalam Al-Qur’an dan diterapkan oleh Rasulullah Muhammad SAW dalam membumikan Islam sebagai rahmat bagi sekalian alam.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Buku-buku

‘Abed al-Jabiri, Mohammed. Kritik Kontemporer atas Filsafat Arab Islam, Yogyakarta : Islamika, 2003.

Arkoun, Mohammade, dkk. Orientalisme vis a vis Oksidentalisme, Jakarta : Pustaka Firdaus, 2008.

Arsyad, Azhar (et al), Islam dan Perdamaian Global, Yogyakarta : Madyan Press, 2002.

Badruzaman, Abad. Kiri Islam Hassan Hanafi : Menggugat Kemapanan Agama dan Politik, Yogyakarta : Tiara Wacana, 2005.

Boulatta, Issa J. Dekonstruksi Tradisi : Gelegar Pemikiran Arab Islam, Yogyakarta : LKiS, 2001.

Boy ZTF, Pradana. Islam Dialektis : Membendung Dogmatisme, Menuju Liberalisme, Malang : UMM Press, 2005.

Dhiauddin Rais, Muhammad. Teori Politik Islam, Jakarta : Gema Insani Press, 2001.

Grondin, Jean. Sejarah Hermeneutika : Dari Plato sampai Gadamer, Yogyakarta : Ar-Ruzz, 2007.

Hanafi, Hassan. Aku Bagian Dari Fundamentalisme Islam, Yogyakarta : Islamika, 2003.

Dari Akidah ke Revolusi : Sikap Kita Terhadap Tradisi Lama, Jakarta : Penerbit Paramadina, 2003.

Sendi-sendi Hermeneutika : Membumikan Tafsir Revolusioner, Yogyakarta : Titian Ilahi Press, 2001.

Turas dan Tajdid : Sikap Kita Terhadap Tradisi Klasik, Yogyakarta : Titian Ilahi Press, 2001.

Oksidentalisme : Sikap Kita Terhadap Tradisi Barat, Jakarta : Penerbit Paramadina, 2000.

Bongkar Tafsir : Liberalisasi, Revolusi, dan Hermeneutik, Yogyakarta : Primasophie, 2005.

(et al) Islam dan Humanisme : Aktualisasi Humanisme Islam di Tengah Krisis Humanisme Universal, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2007.


(5)

 

Jurdi, Syarifuddin. Pemikiran Politik Islam Indonesia : Pertautan Negara, Khilafah, Masyarakat Madani dan Demokrasi, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2008. Mulkhan, Abdul Munir. Teologi Kiri : Landasan Gerak Membela Kaum Mustad’lafin,

Yogyakarta : Kreasi Wacana, 2002.

Mustafied, Muhammad, “Merancang Ideologi Gerakan Islam Progresif-Transformatif : Mempertimbangkan Kiri Islam”, dalam Muhidin M. Dahlan, Sosialisme Religius Suatu Jalan Keempat?, Yogyakarta : Kreasi Wacana, 2000.

Noer, Deliar. Pengantar Ke Pemikiran Politik, Jakarta : Rajawali, 1983.

Nurhakim, Moh. Islam, Tradisi, dan Reformasi : “Pragmatisme” Agama dalam Pemikiran Hassan Hanafi, Malang : Bayumedia, 2003.

Nur Kholis Setiawan, Muhammad. Pemikiran Progresif Dalam Kajian Al-Qur’an, Jakarta : Kencana, 2008.

Prasetyo, Eko. Islam Kiri : Jalan Menuju Revolusi Sosial, Yogyakarta : INSIST, 2003.

Rasyid, Daud. “Pembaruan” Islam & Orientalisme dalam Sorotan. Bandung : Syaamil, 2006 Ridlwan Hambali, Muhammad. Hassan Hanafi : Dari Islam “Kiri”, Revitalisasi Turats,

Hingga Oksidentalisme, dalam M. Aunul Abied Shah (et.al) Islam Garda Depan : Mosaik Pemikiran Islam Timur Tengah, Bandung : Mizan, 2001. Saenong, Ilham B. Hermeneutika Pembebasan : Metodologi Tafsir Al-Qur’an Menurut

Hassan Hanafi, Jakarta : TERAJU, 2002

Santoso, Listiyono. Epistemologi Kiri. Yogyakarta : Ar-Ruzz Media, 2003.

Sastradipoera, Komaruddin. Mencari Makna Di Balik Penelitian Skripsi, Tesis, dan Disertasi, Bandung : Kappa Sigma, 2005.

Shimogaki, Kazuo. Kiri Islam : Antara Modernisme dan Posmodernisme, Telaah Kritis Pemikiran Hassan Hanafi, Yogyakarta : LKiS, 1993.

Singarimbun, Masri, dan Sofian Effendi. Metode Penelitian Sosial, Jakarta : LP3ES, 1998

Usman, Husaini, dan Purnomo. Metode Penelitian Sosial, Bandung : Bumi Aksara, 2004.

Wahid, Din, “Kiri Islam:Studi atas Gagasan Pembaharuan Pemikiran Islam Hassan Hanafi” dan “Hassan Hanafi dan Wacana Sosial Politik di Mesir” dalam Nanang Tahqiq (ed.). Politik Islam, Jakarta : Kencana, 2004.


(6)

Internet.

http://www.encyclopedia.com/doc/1G2-3404702767.html http://pusat-akademik.blogspot.com/2008/10