Artikel untuk warta Limno_APCE (IGNASIUS)_edit 2Okt

PERAN APCE SEBAGAI KATALISATOR KEARIFAN
DALAM PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR BERKELANJUTAN
Ignasius D.A. Sutapa
1. Peneliti Utama Puslit Limnologi - LIPI
2. Asia Pacific Centre for Ecohydrology (APCE)
UNESCO Category II Centre – LIPI
Pendahuluan
Asia Pacific Centre for Ecohydrology (APCE) merupakan Pusat Kategori II di bawah naungan
organisasi Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) UNESCO yang memfokuskan programnya dengan
pendekatan ekologi pada manajemen sumber daya air untuk menyediakan air yang berkelanjutan bagi
masyarakat melalui ilmu pengetahuan dan teknologi, pendidikan dan kebudayaan. APCE
berkomitmen untuk memberikan kontribusi dalam mengatasi isu-isu penting saat ini dalam skala
nasional, regional dan global, seperti kemiskinan, adaptasi perubahan iklim, dan pengurangan resiko
bencana (Dokumen APCE, 2009).
Dalam mencapai tujuan, telah direncanakan beberapa kegiatan yang disusun berdasarkan hasil
penelitian masa lalu, dan saat ini yang dilakukan oleh LIPI dan mitranya. APCE memiliki dan
mengembangkan keahlian dan pengalaman di bidang berikut:
 Hubungan antara pola ekologi dan proses hidrologi;
 Perubahan dan dinamika ekologi alam, antropogenik dan hidrologi;
 Pendekatan ekohidrologi untuk konservasi keanekaragaman hayati;
 Pengelolaan lingkungan dan pemulihan ekologi;

 Pengintegrasian hidrologi dengan perencanaan ekologi, desain, dan arsitektur, atau
sebaliknya;
 Studi multidisiplin keberlanjutan regional dari lingkup ekohidrologi, ekologi, atau keduanya.
Beberapa kegiatan yang telah dilakukan oleh APCE sampai saat ini akan disampaikan dalam paragraf
berikut yang terdiri atas kegiatan implementasi maupun kegiatan observasi di lapangan.
Kearifan Dalam Mengelola Air Secara Berkelanjutan
Integrated Flood Analysis System (IFAS) Training
Kawasan Asia dan Pasifik dengan karakteristik iklim yang berbeda memiliki resiko hidrometeorologi berkategori bahaya yang sering dikaitkan dengan kejadian ekstrim. Beberapa negara di
wilayah ini rentan terhadap banjir. Kerugian akibat banjir tahunan yang tinggi harus ditanggung
pemerintah.
Training IFAS diselenggarakan berdasarkan kerangka Flood Forecasting and Warning System
(FFWS) yang telah dilakukan di sepuluh negara (Australia, Kamboja, Cina, Indonesia, Laos,
Malaysia, Filipina, Republik Korea, Thailand dan Vietnam). Program ini terwujud atas kerjasama
antara ICHARM, Kantor UNESCO Jakarta, dan LIPI. Tujuannya adalah untuk membantu instansi
pemerintah dalam penggunaan perangkat lunak yang sesuai (IFAS). Hal ini untuk memprediksi banjir
dan sistem peringatan yang mengarah pada peningkatan kapasitas pengelolaan sumber daya air yang
dipengaruhi variabilitas iklim maupun fenomena ekstrim terkait. Training ini memerlukan data GIS
digital nasional untuk pembuatan model di DAS sasaran serta data hidrologi/hidrolik lokal untuk
analisis runoff dan validasi model.


Kegiatan training IFAS

Pengembangan Demosite Pengelolaan Air Berbasis Masyarakat
Tujuan pengembangan demosite ekohidrologi adalah sebagai stasiun dalam kaitannya untuk
implementasi konsep ekohidrologi di lapangan. Pembuatan demosite ekohidrologi diharapkan menjadi
bahan untuk sosialisasi pengelolaan sumber daya air sesuai dengan konsep ekohidrologi. Selain itu
juga sebagai laboratorium alam untuk pengembangan konsep ekohidrologi masa depan terutama
ekohidrologi tropis Indonesia. Pengembangan demosite ekohidrologi di Indonesia akan diarahkan ke
lokasi demosite yang mewakili konsep pengelolaan sumber daya air berkelanjutan yaitu "Demosite
ekohidrologi untuk pengelolaan sumber daya air berbasis masyarakat".
Masyarakat merupakan faktor penting dalam mendukung pengelolaan sumber daya air yang
berkelanjutan. Kelompok masyarakat diharapkan menjadi agen perubahan sebagai upaya untuk
mengintegrasikan pengelolaan sumber daya air atau yang biasa disebut sebagai Integrated Water
Resources Management (IWRM). Pada 2012, pengembangan demosite ekohidrologi berbasis
masyarakat untuk pengelolaan air telah dibuat di sekolah umum berbasis masyarakat yaitu pesantren.
Pesantren merupakan sekolah agama yang sangat umum di Indonesia dan merupakan komunitas yang
memiliki posisi cukup kuat di masyarakat. Pesantren umumnya dipimpin oleh Kyai atau alim ulama
yang menjadi panutan dalam masyarakat, sehingga diharapkan transfer pengetahuan dari luar relatif
mudah dilakukan.
Pesantren umumnya mencakup SD sampai dengan SMA, sehingga pendidikan mengenai

sumber daya air dapat diperkenalkan melalui demosite yang telah dibuat. Jumlah pesantren di
Indonesia adalah sekitar 26.000 buah. Diperkirakan pesantren secara keseluruhan di Indonesia dapat
memberdayakan hingga 20 juta orang. Keberhasilan sosialisasi dan pengelolaan sumber daya air
berkelanjutan di lokasi demosite dapat digunakan sebagai model bagi masyarakat di sekitar pesantren.

Seminar konsep Ekohidrologi
di Pesantren Ar-Risalah

Lahan basah buatan

Pesantren Ar-Risalah di Kabupaten Ciamis terpilih sebagai salah satu lokasi pembangunan
demosite pada tahun 2012 - 2013. Pesantren ini melibatkan sekitar 2.700 orang yang terdiri dari siswa
yang menetap (pelajar/santri), guru, dan tenaga pendukung yang sebagian besar adalah masyarakat
sekitar pesantren.
Sumber air yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan air sehari-hari pesantren berasal dari
air tanah dan air sungai Cijantung. Air tanah yang digunakan berasal dari air sumur artesis, sementara
air sungai diolah dengan penyaringan sederhana sebelum digunakan untuk keperlukan MCK. Hal
yang perlu diperhatikan adalah kualitas air hasil penyaringan sederhana tersebut kurang memenuhi
standar untuk peruntukan kegiatan domestik seperti kebersihan dan sanitasi. Sistem pembuangan
limbah di pesantren masih terbuka atau langsung dibuang ke lingkungan. Limbah padat dibuang di

tempat pembuangan sampah terbuka yang terletak di halaman belakang asrama. Sementara limbah
cair domestik dibuang langsung ke badan air melalui pipa-pipa tanpa pengolahan terlebih dahulu. Hal
ini tentu saja akan berakibat buruk pada kualitas udara dan air lokal serta kesehatan masyarakat
mengingat air sungai digunakan secara langsung oleh penduduk di bagian hilir sungai. Kualitas air
baku yang digunakan dan pengelolaan limbah penghuni asrama yang kurang baik akan menjadi fokus
perhatian perbaikan pengelolaan sumber daya air di lokasi melalui demosite ekohidrologi.
Pada tahap awal, pengembangan demosite ekohidrologi di Pesantren Ar-Risalah difokuskan
pada peningkatan kualitas air rumah tangga dan pengelolaan limbah cair. Pengolahan limbah
domestik dilakukan dengan pembuatan lahan basah buatan (constructed wetland), selanjutnya disebut
sebagai lahan basah. Lahan basah ini berfungsi untuk meningkatkan kualitas air limbah domestik
yang berasal dari tempat mandi, dapur, dan wudhu yang tidak langsung dibuang ke badan air sungai.
Sementara itu, limbah padat domestik akan dikumpulkan pada septik tank komunal di mana limpasan
air bisa mengalir ke sawah. Untuk perbaikan kualitas dan pasokan air ke sekolah, direncanakan untuk
pembuatan dan pemasangan instalasi pengolahan air di lokasi sekolah dengan memanfaatkan air
sungai sebagai air baku.
Lansekap Budaya dan Sistem SUBAK di Propinsi Bali
Subak adalah sebuah sistem manajemen (irigasi) air untuk sawah di Pulau Bali, yang telah
dikembangkan lebih dari 1.000 tahun yang lalu. Lansekap budaya Bali pada awalnya terdiri dari lima
sawah terasering beserta pura-pura airnya yang mencakup 19.500 ha. Pura merupakan pusat dari
sistem koperasi pengelolaan air kanal dan bendungan, yang dikenal sebagai Subak sejak abad ke-9.

Pura Taman Ayun Kerajaan abad ke-18 termasuk dalam lansekap dan merupakan bangunan arsitektur

terbesar dan paling indah. Sistem Subak yang merupakan pelaksanaan kegiatan pertanian secara
demokratis dan egaliter telah memungkinkan Bali menjadi produsen padi paling produktif di
Nusantara meskipun menghadapi tantangan kepadatan penduduk yang meningkat.

Sawah padi di situs warisan dunia Jatiluwih

Sistem Subak: Pura, sawah, dan air

Persawahan, sistem air yang menopang, Subak, serta sistem sosial koperasi yang mengontrol
air, telah bersama-sama membentuk lansekap selama seribu tahun dan merupakan bagian integral dari
kehidupan beragama. Sawah padi dipandang sebagai karunia Tuhan, dan sistem Subak adalah bagian
dari budaya candi. Air dari mata air dan kanal mengalir melalui pura-pura dan keluar ke sawah. Pura
air adalah pusat dari pengelolaan bersama sumber daya air oleh sekelompok Subak. Sejak abad ke-11
jaringan pura air telah berhasil mengelola ekologi terasering sawah pada skala daerah aliran sungai.
Secara total Bali memiliki sekitar 1.200 air kolektif dan antara 50-400 petani mengelola
pasokan air dari satu sumber air. Sistem tersebut terdiri dari lima situs yang memberikan contoh saling
keterkaitan antar komponen yaitu alam, agama, dan budaya dari sistem Subak tradisional. Di mana
sistem Subak masih berfungsi penuh, petani masih menanam padi secara tradisional tanpa bantuan

pupuk atau pestisida, dan lansekap keseluruhan terlihat memiliki konotasi sakral (Windya, 2013).
Subak merupakan sistem irigasi berkelanjutan secara ekologis tradisional. Sistem Subak telah
berkembang lebih dari seribu tahun, terus-menerus menyesuaikan diri dengan situasi yang berubah.
Hasilnya adalah sistem yang rumit yang saling terkait antara lingkungan sosial, budaya, dan agama
serta alam di Bali.
Subak tersusun dari campuran beberapa unit yang berbeda:
a. Teknologi, termasuk bendungan dan sistem yang rumit dari saluran irigasi secara kolektif;
b. Secara fisik, terdiri dari semua sawah dalam batas-batas Subak yang jelas. Batas ini
didefinisikan sebagai semua sawah yang menerima air irigasi dari infrastruktur irigasi Subak;
c. Sosial, terdiri dari semua petani yang mengolah lahan dalam batas-batas Subak dan menerima
air dari infrastruktur irigasi Subak;
d. Agama, termasuk upacara pada tingkat individu, tingkat Subak, dan tingkat antar-Subak.
Upacara terkait dengan tatanan hierarkis pura air yang memainkan peran penting dalam
koordinasi air irigasi dan pengelolaan hama (Geertz, 1972; Lansing, 1991; Pitana, 1993;
Sutawan, 2000).

Upaya Peningkatan Akses Air Bersih bagi Masyarakat di Daerah Marjinal
Perhatian Indonesia terhadap isu kerusakan lingkungan semakin intensif. Salah satu penyebab
dari kondisi lingkungan memburuk adalah karena pengelolaan sumber daya alam yang tidak dapat
diperbaharui atau dapat diperbaharui telah melampaui daya dukungnya. Kelestarian lingkungan dan

tingkat ekosistem tidak dipertahankan lagi, oleh karena itu pihak yang terlibat, dalam hal ini
perusahaan swasta dan negara, pemerintah, dan masyarakat perlu mengembangkan kerjasama yang
baik dan sinergi untuk pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan.
Apabila kualitas kehidupan sosial masyarakatnya baik, maka kemampuan masyarakat untuk
mendukung program pelestarian lingkungan akan menjadi lebih baik. Pembangunan daerah di zona
penyangga dan zona transisi dari kawasan konservasi yang harus dilakukan untuk menciptakan
kegiatan ekonomi yang bermanfaat bagi masyarakat di wilayah tersebut bertujuan untuk melestarikan
dan melindungi daerah inti. Kegiatan yang dilakukan meliputi pengembangan penerapan teknologi
tepat guna yang dapat memenuhi kebutuhan dasar masyarakat di sekitar zona konservasi, diantaranya
pasokan air bersih dan sumber daya ekonomi lainnya. Program pelaksanaan pembangunan ekonomi di
zona penyangga dan zona transisi diharapkan dapat memberi keseimbangan antara kepentingan
konservasi dengan kepentingan ekonomi.
Mayoritas daerah di Provinsi Riau dan Provinsi Kalimantan Tengah merupakan lahan gambut
yang airnya memiliki karakteristik sebagai berikut: memiliki tingkat pH rendah (2-4) atau sangat
asam, memiliki kandungan organik yang tinggi, mengadung kadar besi (Fe) dan mangan (Mn) yang
cukup tinggi, dan mempunyai warna kuning atau coklat tua. Jenis air ini pada dasarnya tidak dapat
digunakan sebagai air baku untuk air minum. Dibandingkan dengan air tawar, air gambut perlu
diproses secara khusus untuk menghasilkan air bersih yang memenuhi standar.

Mandi di air gambut


Air bersih hasil IPAG60

Teknologi pengolahan air gambut yang telah dikembangkan dalam penelitian oleh Sutapa dan
tim pada 2009-2011, memungkinkan daerah gambut memiliki fasilitas pengolahan air gambut untuk
penyediaan air minum dengan menggunakan IPAG60 (Instalasi Pengolahan Air Gambut Type 60).
Implementasi dan pengujian IPAG60 telah dilakukan di daerah gambut Kabupaten Katingan, Provinsi
Kalimantan Tengah dan di Kabupaten Bengkalis Propinsi Riau. Sementara itu banyak wilayah di
Indonesia, khususnya Sumatera dan Kalimantan, yang memiliki masalah terkait pasokan air bersih.
Penerapan teknologi ini di daerah yang lebih luas diperlukan untuk mendukung peningkatan
pelayanan air di wilayah tersebut.

Penutup
Melalui perjuangan yang cukup panjang baik di tingkat nasional, regional maupun internasional,
APCE telah diakui sebagai Organisasi Internasional (UNESCO Category II Centre) di bawah badan
PBB. Kita patut berterima kasih kepada para penggagas dan founding fathers berdirinya APCE di
antaranya: Prof. Peter Hehanussa, Prof. Jan Sopaheluwakan, Prof. Hery Harjono, Prof. Gadis Sri
Haryani serta seluruh Pimpinan LIPI yang telah mendukung keberadaan APCE di lingkungan LIPI.
Namun demikian perjuangan masih harus dilanjutkan. Setelah tahun 2013 gedung APCE bisa
digunakan untuk mengisi aktivitas maupun kegiatan yang merupakan implementasi dari visi, misi,

program, dan strategi yang telah dicanangkan. Diharapkan APCE menjadi Pusat Ekohidrologi yang
disegani di kancah regional maupun internasional.