Bahan Artikel untuk Warta Minerba

IMPLEMENTASI TEKNOLOGI PEMANFAATAN BATUBARA HASIL
LITBANG DI INDONESIA
Gandhi Kurnia Hudaya
Puslitbang Teknologi Mineral dan Batubara
Jalan Jenderal Sudirman 623 Bandung

Abstrak
Harga batubara di dunia sedang menurun. Akibatnya, perusahaan batubara di Indonesia mencoba
mengalihkan pasarnya ke dalam negeri. Sayangnya, mayoritas pasar di dalam negeri adalah untuk
membangkitkan tenaga listrik. Oleh karena itu, dalam rangka mempercepat penerapan teknologi
pemanfaatan batubara di Indonesia, maka dilakukan kajian kebijakan berdasarkan hasil litbang teknologi
pemanfaatan batubara yang dapat diterapkan di dalam negeri. Litbang teknologi pemanfaatan batubara
yang dikaji adalah gasifikasi, upgrading, coal water mixture, kokas pengecoran dan karbon aktif. Kelima
jenis teknologi ini dipilih karena teknologi tersebut hingga kini merupakan litbang utama yang pernah
dilakukan Puslitbang tekMIRA. Kajian dilakukan dengan 4 cara, yaitu studi literatur, diskusi,
melaksanakan focus group discussion dan koordinasi dengan instansi terkait. Metode yang digunakan
adalah metode eksploratif yang bertujuan menggali semua informasi hasil pengamatan dari setiap tahapan
kegiatan yang dilaksanakan. Kajian ini menghasilkan rekomendasi sebagai berikut: pertama, pemerintah
perlu memberikan prioritas tinggi bagi berdirinya pabrik pemanfaatan batubara di Indonesia; kedua,
berdasarkan hasil kajian aspek teknologis, bahan baku, pasar dan finansial, maka teknologi gasifikasi
batubara yang menghasilkan gas bakar dan syngas adalah teknologi yang paling prioritas untuk diterapkan;

ketiga, pemerintah perlu membuat rencana induk percepatan teknologi gasifikasi batubara; keempat,
kebijakan yang mendukung penerapan teknologi gasifikasi batubara adalah kebijakan pengendalian
produksi dan ekspor batubara, penguatan kapasitas dan kapabilitas sumber daya manusia berbasis ilmu
pengetahuan, teknologi, dan inovasi secara terencana dan sistematis.

Kata kunci : batubara, teknologi pemanfaatan batubara, pabrik komersial
PENDAHULUAN
Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 (UU No.11/1967) tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Pertambangan telah digantikan oleh UU No. 4/2009 tentang Pertambangan
Mineral dan Batubara. ini merupakan amanat rakyat agar pemerintah dapat mengubah
paradigma bahwa batubara Indonesia hanya sebagai komoditas yang menghasilkan nilai
ketika diekspor. Sesuai pasal 95 huruf c dan pasal 102 UU No.4/2009, setiap pemegang
Izin Usaha Produksi (IUP) dan IUP Khusus (IUPK) wajib meningkatkan nilai tambah
sumber daya mineral dan/atau batubara di dalam negeri. Selanjutnya pasal 94 dan pasal
95 Peraturan Pemerintah (PP) No.23/2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha
Pertambangan Mineral dan Batubara, antara lain mengamanatkan bahwa pemegang IUP
Operasi Produksi dan IUPK Operasi Produksi batubara wajib melakukan pengolahan
untuk meningkatkan nilai tambah batubara yang diproduksi, baik secara langsung
maupun kerja sama dengan perusahaan pemegang IUP dan IUPK lainnya. Upaya
meningkatkan nilai tambah batubara itu sendiri, pada dasarnya ditujukan untuk

meningkatkan dan mengoptimalkan nilai tambang, tersedianya bahan baku, penyerapan
tenaga kerja, dan peningkatan penerimaan negara (penjelasan pasal 95 ayat (2) PP
No.23/2010).
Selain karena telah diamanatkan dalam undang-undang, keadaan bisnis batubara di dunia
saat ini dan di masa depan menjadi kurang kondusif. Bersamaan dengan kondisi
ekonomi dunia yang mengalami perlambatan, masalah lingkungan dan perubahan iklim
saat ini juga menjadi perhatian utama. Beberapa negara yang awalnya merupakan
pengguna batubara untuk kebutuhan listriknya telah mencanangkan tekad untuk menjadi
1

Negara yang bebas dari batubara di masa depan. Negara-negara seperti China, India telah
menargetkan untuk memenuhi kebutuhan listriknya dari energi terbarukan dalam
beberapa dekade mendatang (weforum.org ???). Oleh karena itu, pasar dalam negeri
selayaknya menjadi perhatian. Dengan demikian, kebutuhan percepatan pembangunan
pabrik komersial yang menggunakan teknologi pemanfaatan batubara di Indonesia
menjadi mendesak. Untuk itu, tulisan ini dimaksudkan untuk memberikan masukan bagi
pemerintah dan pengusaha dalam rangka lebih memperkenalkan teknologi pemanfaatan
batubara yang sudah ada baik yang sudah proven ataupun yang masih dalam
pengembangan. Harapannya agar dapat mempercepat penerapan teknologi pemanfaatan
batubara di Indonesia. Teknologi yang ada dalam tulisan ini adalah gasifikasi, upgrading,

coal water mixture (CWM), kokas pengecoran dan karbon aktif. Kelima topik ini dipilih
dikarenakan teknologi ini paling sedikit sudah mencapai tahap demo plant, sehingga
tinggal ditambah sedikit dorongan atau insentif akan menjadi tahapan komersial.
Keuntungan lainnya, biaya investasinya juga relatif terjangkau oleh investor.
METODOLOGI
Kajian ini dilakukan dengan menggunakan data primer yang diperoleh dari hasil
percobaan di Puslitbang tekMIRA serta data sekunder dari studi pustaka baik dari buku,
media cetak ataupun media di internet. Setiap litbang teknologi pemanfaatan batubara
dilakukan focus group discussion (FGD) dalam rangka membahas keuntungan dan
kerugian penerapan teknologi pemanfaatan batubara tersebut dengan pihak pemilik
kepentingan, serta penyiapan kebijakan yang diperlukan. Lebih lanjut, data primer dan
sekunder hasil FGD dikompilasi untuk kemudian dilakukan analisis dengan metode
pembobotan untuk mencari teknologi yang prioritas untuk secepatnya diterapkan.
Berdasarkan hasil analisis dapat disusun rekomendasi langkah-langkah dalam upaya
melakukan percepatan penerapan teknologi pemanfaatan batubara di Indonesia.
TEKNOLOGI PEMANFAATAN BATUBARA
Kegiatan penelitian dan pengembangan teknologi pemanfaatan batubara di Indonesia
khususnya di Puslitbang tekMIRA, Kementerian ESDM telah berlangsung cukup lama.
Dari keseluruhan penelitian tersebut mengerucut menjadi 5 jenis teknologi pemanfaatan
batubara yang diharapkan ke depan dapat diaplikasikan untuk kesejahteraan masyarakat

Indonesia. Kelima jenis teknologi itu adalah:
1. Teknologi Gasifikasi Batubara di Industri dan Pembangkit Listrik
Proses gasifikasi batubara adalah proses konversi batubara menjadi produk gas dalam
sebuah reaktor, dengan atau tanpa menggunakan pereaksi (berupa udara, campuran
udara/uap air atau campuran oksigen/uap air). Secara garis besar, teknologi gasifikasi
batubara yang dikembangkan mencakup 2 jenis, yaitu:
A. Teknologi Gasifikasi Batubara untuk Industri
1). Gasifikasi batubara penghasil syngas untuk industri
Hasil produk gasifikasi batubara adalah syngas atau gas bakar. Syngas bisa dimanfaatkan
sebagai bahan bakar seperti pembangkit listrik, namun akan lebih memberikan nilai
tambah jika digunakan sebagai bahan baku berbagai macam produk seperti industri
kimia misalnya pupuk, bahan bakar minyak sintetik, bahan reduktor pada peleburan baja
dan SNG. tekMIRA pada awalnya bekerja sama dengan pihak Jepang (IHI,
Ishikawajima-Harima Heavy Industries Co. Ltd) yang sedang mengembangkan TIGAR
(twin IHI Gasifier). Teknologi gasifikasi yang dikembangkan adalah fluidized bed.
2

Dalam perkembangan selanjutnya, tekMIRA berusaha untuk mengembangkan peralatan
sendiri. Teknologi penghasil syngas ini dapat sangat membantu perkembangan industri di
Indonesia, mengingat berkembangnya industri kimia di suatu negara akan berkorelasi

positif terhadap kemajuan industri tersebut. Tahapan yang ada saat ini adalah
membangun process development unit (PDU) (Gambar 1) di Sentra Teknologi
Pemanfaatan Batubara di Palimanan, Cirebon.

Gambar 1.
PDU syngas di Palimanan, Cirebon

Selain tekMIRA, IHI sendiri telah membangun pabrik demoplant TIGAR di Karawang
bersebelahan dan bekerjasama dengan pabrik pupuk Kujang (cek sumber). Beberapa
kendala yang menjadi hambatan di dalam komersialisasi teknologi gasifikasi menjadi
syngas antara lain adalah:
- Teknologi dan kebutuhan investasi yang tinggi. Pengembangan teknologi lokal saat ini
baru tahap PDU sementara untuk teknologi Jepang baru mencapai tahap demoplant.
- Pabrik gasifikasi harus terintegrasi dengan pengguna (industri kimia). Industri kimia
di Indonesia saat ini kurang berkembang.
- Tidak ada jaminan pasar bagi syngas ataupun SNG.
- Perlu infrastruktur gas (terminal dan pipa transportasi).
- Gas alam masih diizinkan sebagai bahan baku industri kimia terutama pabrik pupuk
urea. Harganya pun masih disubsidi pemerintah atau tidak sama dengan harga
internasional.

2). Gasifikasi mini untuk industri kecil dan menengah
Selain untuk industri besar, tekMIRA juga berusaha mengembangkan teknologi yang
dapat digunakan oleh industri kecil dan menengah. Salah satunya adalah Gasifikasi Mini
(Gasmin). Gasmin adalah teknologi gasifikasi batubara yang menghasilkan produk
berupa gas bakar yang memiliki nilai kalori rendah. Saat ini pengembangan Gasmin
sudah mencapai taraf uji coba. Pilot plant-nya sendiri saat ini dapat dilihat di Sentra
Pemanfaatan Batubara di Palimanan (Gambar 2). Sementara itu untuk uji cobanya telah
diterapkan di beberapa industri kecil menengah antara lain di pengeringan tembakau
dengan kapasitas 4-10 kg batubara/jam. Kemudian uji coba di pabrik peleburan

3

aluminium, pabrik tahu dan penyulingan minyak atsiri yang ada di provinsi Jogyakarta
(Gambar 3).

Gambar 2.
Pilot plant gasifikasi mini di Palimanan, Cirebon

Gambar 3.
Uji coba Gasmin di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

Dari kiri ke kanan: peleburan aluminium – minyak atsiri - tahu

Penerapan teknologi gasifikasi batubara untuk memproduksi gas bakar sebenarnya telah
ada yang diterapkan di Indonesia, antara lain untuk industri keramik di Jawa Tengah,
industri sarung tangan, industri mineral dan industri lainnya misal di Medan. Saat ini
sudah banyak pemasok mesin gasifier yang memproduksi gas bakar memiliki banyak
pemasok mesin gasifier, dan kebanyakan berasal dari negara Cina. Meskipun demikian,
masih ada potensi agar lebih banyak industry yang menerapkannya. Sayangnya, ada
beberapa kendala yang dihadapi antara lain:
- Penyediaan bahan baku. Kebanyakan industri pengguna berada di lokasi yang jauh
dari lokasi tambang batubara. Selain itu jumlah yang dibutuhkan oleh industri kecil-

4

menengah umumnya relative kecil. Akibatnya tidak banyak perusahaan tambang yang
bersedia menyuplai batubara apalagi jika harus diangkut antarpulau.
- Kualitas bahan baku. Letak lokasi tambang batubara yang jauh dapat mengakibatkan
ketidakkonsistenan kualitas batubara. Jika menggunakan batubara yang ada di
stockpile, umumnya yang tersedia berukuran campuran dari halus hingga bongkah.
Padahal yang diperlukan adalah batubara berukuran bongkah. Sehingga terjadi

ketidakefisienan.
- Ijin penanganan dan pemanfaatan limbah. Limbah gasifikasi batubara untuk gas bakar
berupa abu dan ter. Abu batubara sudah dapat dimanfaatkan untuk industri bangunan,
sementara ter hanya digunakan kembali dalam reaktor gasifikasi. Di luar negeri, ter
batubara dimanfaatkan secara komersial untuk bahan pengikat (binder) dan industri
kimia. Yang menjadi masalah, limbah batubara di Indonesia termasuk dalam limbah
B3 (bahan berbahaya dan beracun). Karena itu, semua kegiatan mulai dari
penumpukan/penyimpanan, pembuangan, pengangkutan dan pemanfaatan harus
mendapatkan izin dari Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup dan atau
Pemerintah Daerah.
B. Teknologi Gasifikasi Batubara untuk Pembangkit Listrik
Pada awalnya teknologi gasifikasi batubara yang dikembangkan ditujukan untuk
menggantikan penggunaan minyak diesel pada Pembangkit Listrik Tenaga Diesel
(PLTD) yang saat ini masih dimiliki oleh PLN (Suprapto dkk., 2009). Ke depannya,
teknologi ini dikembangkan untuk menjadi PLTGB (Pembangkit Listrik Tenaga
Gasifikasi Batubara) sebagai sarana untuk membantu menyediakan listrik. Karena
hingga kini program PT. PLN untuk membangun PLTGB belum berhasil oleh karena
satu dan lain hal. Gas engine untuk memproduksi batubara untuk menghasilkan listrik
secara langsung sebenarnya sudah umum digunakan dan biayanya lebih hemat
dibandingkan dengan dual fuel dan PTLD. Hingga saat ini, tahap penelitian masih berada

di pilot plant (Gambar 4). Tim peneliti yakin akan bahwa teknologi gasifikasi batubara
untuk listrik sudah handal dan saat ini mencoba menjajagi teknologi gas engine serta
teknologi fluidized bed untuk listrik. Selain itu, pengembangan penelitian juga dilakukan
dengan fokus mencoba menggunakan berbagai jenis batubara lain seperti batubara kalori
rendah dan menengah.

Gambar 4
Pilot plant gasifier untuk listrik di Palimanan

Kendala yang dihadapi dalam pengaplikasian teknologi gasifikasi batubara untuk
menghasilkan listrik antara lain:
-

Ketersediaan bahan baku
Kebanyakan teknologi gasifier yang sudah diuji coba hanya bisa menggunakan
bahan baku batubara bituminus dengan spesifikasi tertentu. Keterbatasan ini dicoba

5

-


diatasi dengan rencana modifikasi dan percobaan menggunakan berbagai macam
batubara jenis lain.
Lokasi PLTD yang cukup terpencil
Lokasi PLTD saat ini umumnya tersebar di berbagai tempat yang cukup terpencil di
Indonesia dan kebanyakan berada di Indonesia timur. Jika PLTGB digunakan untuk
menggantikan PLTD maka semakin jauh jaraknya dengan lokasi tambang batubara.
Akibatnya terjadi peningkatan biaya transportasi yang pada akhirnya akan
meningkatkan biaya pembangkitan listrik.

2. Teknologi Coal Water Mixture (CWM)
CWM adalah bahan bakar campuran antara batubara dan air yang dengan bantuan zat
aditif membentuk suspensi kental yang homogen dan stabil selama penyimpanan,
pengangkutan dan pembakaran CWM dapat digunakan untuk pengganti minyak bakar
berat (heavy fuel oil) yang biasa digunakan di industri-industri untuk pembangkit tenaga
listrik, pabrik semen, pembangkit tenaga uap dan industri-industri yang biasa
menggunakan boiler sebagai penghasil uap. Teknologi CWM di tekMIRA (Gambar 5),
KESDM dikembangkan pertama kali oleh Prof. Dr. Datin Fatia Umar hingga kini (Umar
dkk., 2007). Selain tekMIRA, Jepang juga mengembangkan teknologi CWM berbahan
baku batubara kalori rendah (Usui dkk., 1999) dan telah membangun demoplant di

Karawang.

Gambar 5
Pilot plant CWM di Palimanan, Cirebon

Keuntungan penggunaan batubara dalam bentuk CWM antara lain (Umar, D.F dkk,
2013):

Sifat alirnya yang tergolong bersifat cairan (fluida) sama dengan sifat alir bahan
bakar minyak (BBM).

Dapat digunakan langsung sebagai bahan bakar cair menggantikan minyak bakar
di kilang-kilang minyak atau industri lainnya yang biasa menggunakan minyak bakar
berat (heavy fuel oil) sebagai bahan bakar untuk pengolahan produknya.

Penanganan sama dengan penanganan minyak berat. Memungkinkan
pengiriman/pengangkutan CWM di antara berbagai lokasi di dalam/luar
instalasi/pabrik lewat pipa.

Dapat menggunakan boiler yang sama dengan boiler yang biasa
digunakan untuk minyak berat dengan melakukan sedikit modifikasi
6



Batubara dalam bentuk suspensi dapat ditangani secara lebih bersih hingga
menunjang program bersih lingkungan dan terhindar dari kemungkinan terjadinya
pembakaran spontan, peledakan dan masalah debu yang biasa ditimbulkan batubara
dalam bentuk serbuk.

Komersialisasi CWM hingga saat ini belum terlaksana. Beberapa kendala dalam upaya
komersialisasi CWM antara lain adalah :
- Biaya Investasi tinggi. Industri CWM merupakan industri padat modal. Biaya
investasi yang diperlukan untuk mendirikan pabrik CWM versi Jepang adalah sekitar
US$ 250 juta.
- CWM adalah bahan bakar baru. Oleh karena itu, perlu adanya sosialisasi untuk
memperkenalkannya terhadap industri pengguna.
- Lokasi pabrik. Umumnya industri pengguna berada di pusat kota sehingga maka
lokasinya akan jauh dengan lokasi tambang. Dengan demikian biaya transportasinya
akan menjadi salah satu faktor biaya yang penting.
3. Teknologi Upgrading Batubara
Teknologi upgrading pada umumnya dilakukan untuk menurunkan kadar air yang
terdapat di dalam batubara tersebut, sehingga nilai kalori meningkat. Puslitbang
tekMIRA sejak awal tahun 2000 telah bekerja sama dengan pihak Jepang (Kobe Steel)
dalam penelitian tentang teknologi upgrading batubara yaitu Upgraded Brown Coal
(UBC). UBC saat ini sedang menunggu mitra investor yang bersedia menanamkan
modal. UBC telah membangun pilot plant (Gambar 7) berkapasitas 3 ton per hari di
Palimanan dan demo plant di Satui, Kalimantan Selatan yang berkapasitas 600 ton
produk per hari. Pada tahun 2011, demo plant Satui (Gambar 7) tersebut telah selesai
digunakan sekaligus sebagai tanda bahwa UBC siap dikembangkan di tahap komersial.

Gambar 6
Pilot plant UBC di Palimanan, Cirebon

7

Gambar 7
Demo plant UBC di Satui, Kalimantan Selatan

Selain UBC, tekMIRA juga berusaha mengembangkan teknologi upgrading yang lebih
sederhana dan lebih murah, yaitu coal drying briquetting (CDB). Teknologi CDB hingga
saat ini baru mencapai tahap pilot plant (Gambar 8) dan pengembangan penelitiannya
adalah berusaha mengoptimalkan aliran proses serta desain peralatan yang digunakan.

Gambar 8
Pilot plant CDB di Palimanan, Cirebon

Kendala yang dihadapi dalam upaya komersialisasi teknologi upgrading adalah:
- Investasi yang besar. Investasi untuk teknologi UBC diperkirakan akan membutuhkan
dana minimal US$ 200 juta untuk pembangunannya.
- Teknologi ini belum terbukti dalam skala komersial. Pengusaha membutuhkan bukti
yang nyata mengenai kemampuan teknologi UBC dan CDB untuk menjadi bisnis
yang menguntungkan. Sebelum itu terjadi, tidak ada pengusaha yang tertarik.
4. Teknologi Karbon Aktif
Karbon aktif adalah komoditas industri yang sangat berguna pada berbagai proses
industri, seperti untuk pengolahan limbah cair dan gas, penyerap warna, penghilang bau,
katalis maupun sebagai penarik kembali zat yang diinginkan. Pembuatan karbon aktif
membutuhkan material yang mengandung senyawa karbon tinggi, seperti tempurung
kelapa, kayu, sawit, tulang, ampas tebu, serbuk gergaji, ampas kertas, sekam, bonggol
jagung, dan batubara. Karbon aktif yang di pasaran kebanyakan berasal dari tempurung
kelapa. tekMIRA berusaha membuat karbon aktif dengan menggunakan bahan baku
batubara kalori rendah (Monika dkk., 2009). Hingga saat ini telah dikembangkan tahap
8

pilot plant (Gambar 9) yang berkapasitas 1 ton/hari di Sentra Teknologi Pemanfaatan
Batubara di Palimanan, Cirebon. Berdasarkan hasil uji coba pemanfaatan, dapat
disimpulkan bahwa karbon aktif dari batubara dapat digunakan untuk proses penjernihan
air, pengolahan limbah (adsorpsi logam) dan penyerap bau pada fasa cair maupun gas.

Gambar 9
Pilot plant karbon aktif di Palimanan, Cirebon

Dari aspek teknologis dan keekonomian, teknologi karbon aktif dapat dilanjutkan hingga
tahap komersial. Di Indonesia, penggunaan karbon aktif tidak mengacu pada besarnya
luas permukaan atau ukuran butir, sebagaimana terlihat di standar kualitas menurut
Standar Industri Indonesia (Tabel 1). Sebagai pembanding, karbon aktif hasil penelitian
juga tercantum.
Tabel 1. Kualitas karbon aktif hasil uji coba dan persyaratan kualitas
No

Uraian

Satuan

1

Bagian yang hilang pada
pemanasan 950°C

%

2

Air

%

3
4
5
6
7
8
9
10

Abu
Bilangan yodium
Karbon aktif murni
Adsorpsi benzene
Bilangan metilen biru
Kerapatan jenis curah
Lolos ukuran mesh 325
Kekerasan

Kualitas karbon aktif
(SII,1999)/komersial

%
mg/g
%
%
mg/g
g/ml
%
-

Persyaratan
Kualitas karbon aktif hasil uji
coba

15-25

6

4-15
2-10
400-1200
60-80
25
60-120
0,30-0,55
Min 90
80

4-5
3-18
500-800
75
40-80
0,53
99
50

Meskipun secara teknologi dan karakteristik atau kualitas produk karbon aktif hasil
penelitian telah memenuhi syarat, namun upaya komersialisasi hingga kini belum
berhasil. Beberapa permasalahan yang menghambat upaya komersialisasi tersebut antara
lain adalah:
- Infrastruktur distribusi batubara masih kurang, sehingga jika lokasi pabrik karbon
aktif jauh dari tambang batubara maka biaya transportasi akan menjadi relatif mahal.
- Masalah lingkungan dari pembuangan sisa zat terbang yang tidak terbakar pada proses
karbonisasi.
- Masih banyak masyarakat yang kurang paham atau takut dalam menggunakan karbon
aktif berbahan baku batubara karena asumsinya batubara adalah zat yang berbahaya.
9

5. Teknologi Kokas Pengecoran
Kokas adalah material padatan hasil proses dekomposisi batubara dengan pemanasan
bebas udara yang menghasilkan keluaran berupa padatan, cairan, dan produk gas (disebut
proses karbonisasi). Padatan yang dihasilkan dari proses karbonisasi umumnya disebut
char atau semikokas untuk produk karbonisasi temperatur rendah, dan disebut dengan
kokas untuk produk karbonisasi temperatur tinggi.
Salah satu kegunaan kokas adalah sebagai bahan bakar dalam industri pengecoran dan
industri pembuatan besi atau baja. Secara umum kegunaan kokas adalah:
 sebagai sumber kalori, kokas bereaksi dengan oksigen dari tiupan udara
menghasilkan panas untuk melelehkan besi dan slag;
 sebagai chemicals, kokas berreaksi dengan oksigen dan CO2 membentuk gas
pereduksi untuk proses reduksi bahan baku besi;
 sebagai sumber karbon pada pembuatan karbit,
 sebagai reduktor oksida-oksida logam lainnya seperti mangan, silika, dan fosfor;
 sebagai unggun yang kuat, poros dan media permeabel agar sirkulasi dan distribusi
gas pereduksi optimal.
Pengembangan teknologi kokas, yang menghasilkan paten, pada awalnya merupakan
reaksi terhadap ketidakberdayaan masyarakat Indonesia, khususnya industri pengecoran
besi baja yang tersandera oleh mahalnya kokas impor. Meskipun batubara Indonesia
bukan merupakan batubara kokas, namun upaya pembuatan kokas dari batubara
nonkokas adalah suatu keniscayaan. Sebuah perusahaan pengolahan bijih besi di
Lampung telah berhasil memanfaatkan kokas dari arang kayu untuk blast furnace-nya.
Jika arang kayu dapat dimanfaatkan menjadi kokas, maka batubara pun dapat
dimanfaatkan. Percobaan pembuatan kokas dengan proses ganda telah dilakukan oleh
tekMIRA sejak tahun 1990 dengan bahan baku berbagai batubara Indonesia dan
menggunakan berbagai jenis tungku karbonisasi. Bagan alir proses terlihat pada Gambar
10. Produknya dalam bentuk briket kokas yang diperoleh telah diuji coba sebagai kokas
pengecoran dan hasilnya menunjukkan bahwa kokas tersebut dapat digunakan sebagai
kokas dasar dan kokas muat.

Gambar 10
Bagan alir pembuatan kokas pengecoran di Palimanan

10

Penelitian teknologi kokas telah berlangsung lama dengan hasil yang baik dan telah diuji
coba di pilot plant (Gambar 11). Meskipun demikian ada beberapa kendala yang dapat
menghambat penerapan teknologi tersebut di dalam tahapan komersial, yaitu antara lain:
-

Konsumen kokas pengecoran umumnya di daerah Jawa, sehingga biaya transportasi
dari lokasi tambang ke industri pengguna cukup mahal.
Masalah lingkungan dapat terjadi diakibatkan dari pembuangan sisa zat terbang yang
tidak terbakar pada proses karbonisasi.
Infrastruktur distribusi batubara yang minim dapat meningkatkan biaya transportasi.
Harga bahan pengikat briket kokas berupa aspal relatif mahal dan pasokannya kurang
lancar.

Gambar 11
Pilot plant kokas pengecoran di Palimanan

PEMBAHASAN
Dalam rangka mempercepat pembangunan pabrik komersial pemanfaatan batubara di
Indonesia yang berbasiskan CCT (clean coal technology), maka dibutuhkan analisis
terhadap 4 aspek utama, yaitu aspek teknologis, aspek suplai bahan baku, aspek pasar
dan aspek finansial. Berdasarkan analisis tersebut, maka dapat dilakukan analisis
kebijakan yang produk ahirnya berupa rekomendasi kebijakan yang perlu dibuat oleh
pemerintah dalam rangka mempercepat komersialisasi teknologi pemanfaatan batubara.
Analisis terhadap keempat aspek utama tersebut dijelaskan dibawah ini :
1). Aspek Teknologi
Mengenai teknologi pemanfaatan batubara yang saat ini sebagian besar sudah atau
sedang diteliti dan dikembangkan di Indonesia, maka dapat digarisbawahi bahwa:
a. Teknologi gasifikasi batubara sudah terbukti secara komersial dan banyak
diaplikasikan di berbagai negara, khususnya yang berbahan baku batubara kalori
sedang dan tinggi. Aplikasi gasifikasi batubara digunakan untuk menghasilkan
syngas (bahan kimia), listrik dan bahan bakar minyak (pencairan batubara).
b. Teknologi CWM berbahan baku batubara kalori tinggi telah diaplikasikan di Cina
dan Jepang. Saat ini teknologi CWM yang berbahan baku batubara kalori rendah
berada dalam tahap demo plant.
11

c. Teknologi upgrading batubara. Hingga kini, teknologi upgrading batubara belum
ada yang terbukti komersial dan diaplikasikan. Teknologi UBC masih mencari
investor, sementara teknologi dari Australia yang diaplikasikan di Gunung Bayan
tidak berhasil dengan baik.
d. Teknologi kokas pengecoran hingga kini masih berada dalam tahap pilot plant.
Meskipun sudah diklaim dapat dikomersialkan, hingga kini belum ada investor
yang mengaplikasikannya.
e. Teknologi karbon aktif dari batubara. Meskipun karbon aktif dari tempurung
kelapa sudah umum di Indonesia, hingga kini teknologi karbon aktif dari
batubara belum diminati oleh investor yang serius. Penelitiannya saat ini masih
berada dalam antara pilot plant dan demo plant.
Secara teknologis, dari seluruh teknologi yang sedang dan sudah dikembangkan, maka
teknologi yang paling memungkinkan untuk diaplikasikan dalam waktu dekat dan sudah
terbukti dapat diaplikasikan secara komersial adalah teknologi gasifikasi batubara. Di
Indonesia telah berdiri beberapa industri yang menggunakan teknologi gasifikasi dari
Cina menggunakan batubara bituminus sebagai bahan bakunya. Selain dari Cina,
teknologi gasifikasi batubara juga ada yang berasal dari Jerman (Siemens) dan dari
Amerika Serikat (Lurgi). Yang diharapkan adalah teknologi gasifikasi batubara yang
dapat memproses batubara kalori rendah dan menengah, mengingat batubara jenis
tersebut yang banyak terdapat di Indonesia.
2). Aspek Suplai Bahan Baku
Indonesia saat ini memang memiliki kekayaan batubara yang cukup besar. Meskipun saat
ini jumlah cadangan batubara jauh lebih besar dari konsumsi dalam negeri, pemerintah
harus benar-benar menghitung kecukupan jumlah cadangan batubara tersebut agar
jangan sampai ketika teknologi pemanfaatan batubara seluruhnya hendak diaplikasikan,
kesulitan mencari bahan baku. Apalagi jika sampai Indonesia harus mengimpornya. Atau
meskipun dapat diperoleh dalam negeri, harganya sudah mahal oleh karena stripping
ratio-nya yang sudah tinggi. Jangan sampai skenario yang terjadi di minyak bumi
terulang lagi di batubara. Dari Gambar 11 dapat dilihat realisasi dan prediksi untuk
produksi dan penjualan batubara hingga tahun 2030.

2012 2013 2014 2015 2020 2025 2030
Batas Tengah Produksi – BAU

407

421

397

403

439

475

512

Batas Tengah Ekspor – BAU

340

349

324

329

358

387

417

12

Batas Tengah Domestik – BAU

67

72

73

75

81

88

95

Sumber : Ditjen Minerba, 2015

Gambar 11
Realisasi dan prediksi produksi dan penjualan batubara

Konsep ketahanan energi nasional harus benar-benar diterapkan dalam kasus
perbatubaraan ini. Kebijakan yang dapat diterapkan agar ketahanan energi nasional dapat
tercapai adalah melalui:
a. Pengendalian produksi
Produksi batubara harus dikendalikan, terutama pada saat harga batubara saat ini
semakin turun. Jika produksi batubara tidak dikendalikan, maka pasokan batubara
ke dunia perdagangan akan melimpah, sehingga harga akan turun. Semakin cepat
eksploitasi juga akan menyulitkan bagi penanggulangan masalah lingkungan
hidup.
b. Kebijakan pencadangan batubara
PT. PLN telah merencanakan pembangunan PLTU berbasis batubara pada proyek
10.000 MW Tahap 1 dan Tahap 2 percepatan produksi listrik. Batubara masih
menjadi energi dengan biaya termurah saat ini di Indonesia dan menjadi tumpuan
negara. Oleh karena itu perlu dipikirkan upaya untuk menyisakan atau
mencadangkan persediaan batubara Indonesia bagi generasi mendatang. Langkah
yang perlu diambil antara lain adalah menyiapkan wilayah cadangan batubara
nasional sebagai cadangan negara untuk menjamin kesinambungan kebutuhan
energi nasional dalam jangka panjang yang diatur dalam bentuk undang-undang,
sehingga mempunyai kekuatan hukum yang kuat.
c. Mengurangi ekspor secara bertahap
Porsi ekspor dibandingkan konsumsi dalam negeri sangat jauh dan berpotensi
membahayakan cadangan batubara nasional. Pelarangan ekspor secara tiba-tiba
akan sangat tidak bijaksana, mengingat beberapa perusahaan batubara telah
memiliki kontrak jangka panjang dan ada risiko sosial dan ekonomi akibat
banyaknya perusahaan batubara yang tutup. Dengan demikian, langkah yang
dapat diambil adalah mulai mengurangi ekspor secara bertahap.

3). Aspek Pasar
Peningkatan produksi suatu barang atau komoditas harus diimbangi dengan peningkatan
konsumsi atau perluasan pasarnya. Apabila tidak, maka akan berakibat tingginya
persaingan antara produsen serta menurunnya harga komoditas tersebut dan diakhiri
dengan matinya sejumlah produsen. Hal ini harus diperhatikan oleh pemerintah, dan dari
hasil diskusi dengan pengusaha batubara juga merupakan kekhawatiran utama mereka.
Pengusaha batubara yang tergabung dalam Asosiasi Pengusahaan Batubara Indonesia
sebagian besar menolak untuk melakukan investasi dalam aplikasi teknologi
pemanfaatan batubara dalam skala komersial yang memerlukan biaya investasi tinggi.
Alasannya sederhana, siapa yang akan menggunakan.
Ditinjau dari jumlah penduduk, potensi pasar Indonesia adalah sangat besar. Ditambah
dengan semakin tingginya harga komoditas energi yang lain di pasaran internasional,
maka sebenarnya potensi batubara untuk menjadi substitusi adalah sangat besar. Oleh
13

karena itu, beberapa industri yang mengalami kenaikan biaya energi yang sangat
signifikan dipaksa oleh keadaan untuk beralih ke batubara. Sayangnya, sangat sedikit
sekali yang melakukan hal seperti itu. Salah satu penyebab utamanya adalah kesulitan
yang dialami pengusaha dalam perizinan terkait pengusahaan batubaranya dan juga
dalam mengatasi masalah limbahnya. Industri pengguna gasifikasi batubara di Medan
sudah mengajukan izin untuk memproses limbah batubara kepada dinas lingkungan
hidup pemerintah daerahnya, namun hingga lebih dari 1 tahun izin tersebut tidak
diperoleh.
Koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah serta koordinasi antara
lembaga/kementrian di Indonesia yang menangani energi, industri, perdagangan,
keuangan dan lingkungan hidup adalah sangat penting. Melalui koordinasi itu diharapkan
tercipta rencana strategis yang matang dalam upaya meningkatkan konsumsi batubara di
dalam negeri tanpa merusak lingkungan hidup serta meningkatkan pendapatan daerah
atau pendapatan nasional.
4). Aspek Finansial
Aspek finansial yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kelayakan teknologi
pemanfaatan batubara yang diteliti secara finansial. Tentunya pemerintah juga tidak
mengharapkan untuk memaksa industri untuk mengaplikasikan teknologi pemanfaatan
batubara yang pada akhirnya akan merugikan pengusaha tersebut. Berdasarkan hasil
kajian keekonomian yang dilakukan, maka seluruh teknologi pemanfaatan batubara
(kecuali TIGAR) sudah layak secara finansial. Meskipun demikian, oleh karena hingga
kini teknologi yang diteliti masih berupa penelitian, maka kajian keekonomian yang
dilakukan masih perlu diperdalam lagi menjadi studi kelayakan yang bankable.
Pada kenyataannya, di masyarakat Indonesia sendiri sudah ada beberapa industri yang
mengaplikasikan teknologi pemanfaatan batubara, yaitu gasifikasi batubara. Industri
tersebut membeli teknologi gasifier dari Cina dan kemudian memodifikasinya secara
otodidak, agar cocok dengan batubara Indonesia. Dari hasil kunjungan lapangan,
umumnya industri tersebut awalnya adalah pengguna gas, namun karena keterbatasan
pasokan gas dan harganya yang terus meningkat, maka mereka terpaksa menggunakan
batubara. Secara finansial, salah satu perusahaan di Medan mengungkapkan bahwa
penghematan yang dapat diperoleh berkat penggunaan gasifikasi batubara dapat
mencapai Rp 20 juta per hari atau setara dengan Rp 6,5 miliar per tahun. Hal ini
menunjukkan bahwa teknologi pemanfaatan batubara sudah menguntungkan.
Ditinjau dari sisi ekonomi makro, maka penggunaan batubara akan sangat
menguntungkan bagi pemerintah. keuntungan itu antara lain:
a. Pengurangan subsidi BBM
Peningkatan konsumsi batubara di dalam negeri diharapkan dapat mengurangi
subsidi BBM yang saat ini dirasakan semakin memberatkan keuangan pemerintah
Indonesia. Dalam APBN-P 2013 diketahui bahwa BBM yang disubsidi mencapai
lebih dari Rp 250 triliun. Jika penggunaan BBM sebagai sumber energi dapat
dikurangi, maka akan membantu mengurangi subsidi pemerintah.
b. Penghasilan untuk negara dari pajak perusahaan
Semakin banyak perusahaan yang beralih ke batubara, maka akan semakin
mengurangi biaya energinya dan akan meningkatkan keuntungan perusahaan,
sehingga pajaknya pun akan meningkat. Makin banyak pabrik komersial
teknologi pemanfaatan batubara, maka akan meningkatkan pendapatan negara.
14

c. Peningkatan nilai tambah
Daripada mengekspor batubara dalam bentuk wantah ke luar negeri, akan jauh
lebih baik jika batubara tersebut dijadikan energi untuk menghasilkan produk
yang akan diekspor. Dengan demikian akan memberikan nilai tambah yang lebih
besar bagi perekonomian Indonesia.
d. Menciptakan lapangan kerja
Pembangunan pabrik pemanfaatan batubara akan memberikan lowongan
pekerjaan yang cukup besar bagi masyarakat Indonesia umumnya dan bagi
masyarakat sekitar pabrik pada khususnya. Lowongan pekerjaan ini akan terbuka
sejak pekerjaan konstruksi pabrik dimulai hingga kemudian beroperasinya pabrik
pemanfaatan batubara tersebut. Hal ini akan membantu program pemerintah
dalam mengurangi kemiskinan dan mengurangi pengangguran.
e. Efek pengganda dari proyek
Dengan berkembangnya teknologi pemanfaatan batubara, diharapkan biaya
energi akan dapat berkurang, sehingga akan merangsang timbulnya industriindustri hilir pengguna energi tersebut atau minimal dapat mencegah tutupnya
perusahaan yang tidak sanggup mengatasi biaya energi yang semakin tinggi.
Dengan demikian, mengingat peran industri pemanfaatan batubara sangat strategis bagi
ketahanan energi nasional, sudah seharusnya Pemerintah Indonesia mengeluarkan
kebijakan-kebijakan yang secara signifikan dapat mendorong tumbuhnya industri
pemanfaatan batubara di Indonesia. Teknologi yang dapat dijadikan unggulan yang
pertama adalah teknologi gasifikasi batubara oleh karena teknologi ini sudah terbukti
komersial di luar negeri dan di dalam negeri pun sudah diaplikasikan oleh beberapa
perusahaan. Kebijakan yang direkomendasikan antara lain pendirian tim koordinasi
percepatan teknologi gasifikasi batubara, pembuatan kebijakan harga batubara untuk
dalam negeri, dan pemberian insentif.
1. Pendirian Tim Koordinasi Lintas Kementerian
Pembentukan tim koordinasi untuk berbagai kementerian sangat penting dalam
menghasilkan keputusan bersama untuk mempercepat aplikasi teknologi gasifikasi
batubara di Indonesia. Beberapa hal penting yang perlu dicari solusinya antara lain
adalah masalah lingkungan, pembatasan produksi, masalah insentif serta perizinan
pengusahaan dan penjualan gas. Melalui tim ini juga maka hambatan-hambatan
komersialisasi industri ini yang bersifat lintas kementerian dapat diselesaikan.
2.

Kebijakan penggunaan harga batubara untuk dalam negeri

Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Menteri (Permen) ESDM No. 17/2010 tentang
tata cara penetapan harga patokan penjualan mineral dan batubara. Harga Batubara
Acuan (HBA) diterbitkan setiap bulannya berdasarkan keputusan Direktorat Jenderal
Mineral dan Batubara. Penentuan harga ini juga melibatkan gubernur dan bupati/wali
kota. Saat ini HBA dikenakan untuk semua izin yang ada, seperti yang terdapat dalam
pasal 2, yaitu pemegang IUP Operasi Produksi mineral dan batubara dan IUPK Operasi
Produksi mineral dan batubara wajib menjual mineral atau batubara yang dihasilkannya
dengan berpedoman pada harga patokan baik untuk penjualan kepada pemakai dalam
negeri maupun ekspor termasuk kepada badan usaha afiliasinya.
Penggunaan batubara di dalam negeri, baik sebagai sumber energi maupun bahan baku
sangat lambat pertumbuhannya. Salah satu faktor penghambatnya adalah ketersediaan
batubara dengan harga murah. Hal ini dirasakan juga oleh PT. PLN yang harus membeli
15

batubara dengan HBA, sehingga berdampak terhadap mahalnya biaya untuk
memproduksi listrik. Lebih jauh kondisi ini mengakibatkan subsidi yang dikeluarkan
oleh pemerintah juga bertambah, karena PT. PLN tidak diperbolehkan untuk menaikkan
harga listrik. Dapat dipastikan bahwa industri domestik lainnya akan mengalami hal yang
sama, karena pada akhirnya akan bersaing dengan BBM atau gas yang bersubsidi. Agar
industri gasifikasi batubara menarik, maka perlu diatur khusus Permen soal jaminan
pasokan dan kebijakan harga batubara domestik. Saat ini, pelaksanaan peraturan tentang
domestic marketing obligation baru berlaku untuk satu tahun dan mungkin belum cukup
memberikan kepastian terhadap pemenuhan batubara dalam negeri terutama untuk
industri yang membutuhkan kepastian suplai untuk jangka waktu yang lama. Sementara
untuk kebijakan harga batubara, saat ini sedang dipersiapkan Permen tentang pengaturan
harga batubara untuk keperluan tertentu yang tidak mengacu kepada harga batubara
internasional.
3.

Pemberian Insentif

Berbagai insentif dan kemudahan telah disediakan oleh pemerintah untuk menarik
investor, sebagai contoh telah diberlakukan PP No. 62/2008 tentang fasilitas pajak
penghasilan untuk penanaman modal di bidang-bidang usaha tertentu dan/atau di daerahdaerah tertentu. Investor yang memenuhi kriteria tersebut dapat memperoleh insentif
yaitu :
- Pengurangan penghasilan neto sebesar 30% dari jumlah investasi, dibebankan selama 6
tahun masing-masing sebesar 5% per tahun.
- Penyusutan dan amortisasi dipercepat.
- Pengenaan PPh atas dividen yang dibayarkan kepada Subjek Pajak Luar Negeri sebesar
10%.
- Kompensasi kerugian yang lebih lama dari 5 tahun, tetapi tidak lebih dari 10 tahun.
- Pengurangan tarif PPh badan sebesar 25% pada tahun 2010. Tambahan pengurangan
PPh 5% menjadi 20% pada 2010, jika perusahaan yang menjual sahamnya minimal
40% ke pasar modal dalam negeri dengan minimal 300 orang pemegang saham.
- Pembebasan PPN atas impor dan/atau penyerahan barang kena pajak tertentu yang
bersifat strategis, meliputi antara lain barang modal, makanan ternak dan/atau bahan
bakunya; bibit/benih barang pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan,
penangkaran, perikanan, dan penyerahan barang hasil oleh petani atau kelompok tani.
Kementerian Keuangan juga telah mengeluarkan PP No. 94/2010 tentang Penghitungan
Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan sebagai
peraturan untuk menjamin tax holiday kepada investor. Tax holiday akan diberikan
kepada investor secara selektif dengan pertimbangan tertentu, misalnya adalah investor
industri pionir. Berdasarkan PMK No. 130/2011, wajib pajak yang dapat diberikan
fasilitas pembebasan atau pengurangan, pajak penghasilan badan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 adalah Wajib Pajak badan baru yang memenuhi kriteria sebagai berikut:
- Merupakan industri pionir.
- Mempunyai rencana penanaman modal baru yang telah mendapatkan pengesahan dari
instansi yang berwenang paling sedikit sebesar satu triliun rupiah.
- Menempatkan dana di perbankan di Indonesia paling sedikit 10% dari total rencana
penanaman modal sebagaimana dimaksud pada huruf b, dan tidak boleh ditarik
sebelum saat dimulainya pelaksanaan realisasi penanaman modal.

16

- Harus berstatus sebagai badan hukum Indonesia yang pengesahannya ditetapkan paling
lama 12 bulan sebelum Permen Keuangan ini mulai berlaku atau pengesahannya
ditetapkan sejak atau setelah berlakunya Permen Keuangan ini.
Mendorong tumbuhnya industri nasional, dalam rangka penanaman modal telah
diterbitkan Permen Keuangan No. 176/PMK.011/2009, yang antara lain berisikan
pembebasan bea masuk atas impor mesin (sepanjang belum diproduksi di dalam negeri,
sudah diproduksi di dalam negeri namun belum memenuhi spesifikasi yang diberikan
atau belum cukup kebutuhannya di dalam negeri) dan bahan baku untuk produksi selama
2 tahun yang dapat diberikan kepada perusahaan baru. Perusahaan yang melakukan
pembangunan atau pengembangan, kecuali bagi industri yang menghasilkan jasa, dengan
menggunakan mesin produksi buatan dalam negeri paling sedikit 30% dari total nilai
mesin, atas impor barang dan bahan dapat diberikan pembebasan bea masuk untuk
keperluan produksi/keperluan tambahan produksi selama 4 tahun sesuai kapasitas
terpasang, dengan jangka waktu pengimporan selama 4 tahun terhitung sejak berlakunya
keputusan pembebasan bea masuk.
Tabel 2 menampilkan sebagian dari bidang usaha tertentu yang memungkinkan untuk
mendapatkan fasilitas insentif sebagaimana disebutkan dalam Lampiran I PP No.
62/2008. Insentif yang diberikan pemerintah kepada investor di daerah tertentu dan
bidang usaha tertentu teknologi gasifikasi batubara sudah termasuk di dalamnya.
Tabel 2
Fasilitas bidang usaha energi dan sumber daya mineral sesuai Lampiran I PP No. 62/2008
Bidang Usaha

KBLI

Cakupan Produk

Penambangan dan Pemanfaatan Batubara Mutu
Rendah (Low Rank Coal)*)

10102

Coal Gasification
Hanya untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri

Pengusahaan Tenaga Panas Bumi

11102

Kelompok ini mencakup usaha pencarian, pengeboran dan
pengubahan panas bumi menjadi tenaga listrik

Pengilangan Minyak Bumi (Oil Refinary)*)

23201

Pemurnian pengilangan minyak bumi yang menghasilkan
gas/LPG, avtur, avigas, naphta, minyak solar, minyak
tanah, minyak diesel, minyak bakar, lubricant, waz,
solvent/pelarut, residu dan aspal
Prioritas untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri

Pembangunan kilang mini gas bumi (Industri
Pemurnian dan Pengolahan Gas Bumi)

23202

Kelompok ini mencakup usaha pemurnian dan pengolahan
gas bumi menjadi Liqufied Natural Gas (LNG) dan
Liqufied Petroleum Gas (LPG)

Sejalan dengan upaya pemerintah agar perusahaan-perusahaan yang ada memiliki
dampak berganda bagi masyarakat sekitarnya, maka pemerintah telah mengeluarkan PP
No.93/2010 yang mengatur tentang sumbangan-sumbangan yang dapat dikurangkan dari
penghasilan bruto. Sumbangan dimaksud antara lain adalah sumbangan penelitian dan
pengembangan, pembinaan olahraga, fasilitas pendidikan, biaya pembangunan
infrastruktur, dan sumbangan penanggulangan bencana nasional. Besarnya nilai
sumbangan dibatasi tidak melebihi 5% dari penghasilan neto fiskal Tahun Pajak
sebelumnya. Kriteria sumbangan dan WP Badan yang berhak memperoleh insentif ini
adalah:
- WP mempunyai penghasilan neto fiskal berdasarkan SPT PPh tahun sebelumnya.
17

- Pemberian sumbangan dan/atau biaya tidak menyebabkan rugi pada Tahun Pajak
sumbangan diberikan.
- Didukung oleh bukti yang sah.
- Lembaga yang menerima sumbangan dan/atau biaya memiliki NPWP kecuali badan
yang dikecualikan sebagai subjek pajak sebagaimana diatur UU PPh.
Sumbangan tidak dapat dikurangkan sebagai pengurang Penghasilan Bruto jika terdapat
hubungan istimewa antara pihak yang memberi dan menerima sumbangan, dan/atau
biaya, dengan definisi hubungan istimewa tersebut dijelaskan pada Pasal 18 UU PPh.
KESIMPULAN
1.

2.

3.

4.

Sesuai dengan amanat di dalam UU No. 4/2009 serta mengingat dampak positif atas
keberadaan pabrik komersial teknologi pemanfaatan batubara yang sangat besar,
maka sudah selayaknya pemerintah memberikan prioritas tinggi bagi berdirinya
pabrik pemanfaatan batubara di Indonesia.
Berdasarkan hasil kajian aspek teknologis, bahan baku, pasar dan finansial terhadap
lima buah teknologi pemanfaatan batubara, yaitu gasifikasi batubara, CWM,
upgrading batubara, kokas dan karbon aktif, maka teknologi gasifikasi batubara
yang menghasilkan gas bakar dan syngas adalah teknologi yang paling cocok untuk
dikedepankan sebagai proyek prioritas pertama untuk percepatan penerapan
teknologi pemanfaatan batubara.
Pemerintah diharapkan dapat membangun koordinasi yang baik antara pemerintah
pusat dan daerah serta antara lintas kementerian dalam rangka membuat rencana
induk percepatan teknologi gasifikasi batubara dan mengatasi pemasalahan yang
timbul seperti masalah pasokan bahan baku, masalah lingkungan dan masalah
insentif bagi pengusaha.
Kebijakan yang direkomendasikan untuk disusun dalam rangka percepatan
penerapan teknologi gasifikasi batubara adalah:
- Pengendalian produksi dan ekspor batubara.
- DMO yang meliputi kuantitas dan kualitas tertentu bagi teknologi gasifikasi
batubara.
- Penguatan kapasitas dan kapabilitas sumber daya manusia berbasis ilmu
pengetahuan, teknologi, dan inovasi secara terencana dan sistematis.
- Insentif yang menarik bagi perusahaan yang menerapkan teknologi gasifikasi
batubara.
- Perbaikan dan peningkatan infrastruktur dalam mendukung hilirisasi mineral dan
batubara.
- Evaluasi terhadap peraturan-peraturan yang kurang kondusif bagi pengembangan
gasifikasi batubara.

DAFTAR PUSTAKA (tambahkan lagi acuan jurnal/prosiding terbaru setidaknya
80% dari seluruh acuan pustaka)
Badan Geologi, 2012. Neraca Energi Fossil Tahun 2011, Kementerian ESDM.
Ditjen Minerba.....produksi dan ekspor?
18

Elliot, M.A. (ed.), 1981. Chemistry of coal utilization. Second Suppl. Vol., John Wiley &
Sons, New York.
Francis, W., 1965. Fuels and Fuel Technology. Vol. II, Section C: Gaseous Fuels.
Pergamon Press, London.
Monika, I., Ningrum, S.N., Margono, B., 2009. Optimasi Proses dan Uji Coba
Pemanfaatan Karbon Aktif Dari Batubara, Laporan, Pusat Penelitian dan
Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara, Bandung.
Nowacki, P. (ed.), 1981. Coal gasification process. Noyes Data Corporation, New Jersey.
Peraturan Menteri ESDM No. 25 Tahun 2008 tentang Tata Cara Kebijakan Pembatasan
Produksi Pertambangan Mineral Nasional.
Peraturan Pemerintah RI No. 22 Tahun 2010 tentang Wilayah Pertambangan.
Peraturan Pemerintah RI No. 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Pengusahaan
Pertambangan Mineral dan Batubara.
Peraturan Pemerintah RI No. 55 Tahun 2010 tentang Pembinaan dan Pengawasan
Pertambangan Mineral dan Batubara.
Peraturan Pemerintah RI No. 78 Tahun 2010 tentang Reklamasi dan Pasca Tambang.
Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena
Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan .
Umar, D. F., Kunrat, T. S., Basyuni, Y., Setiawan. L., Hanafiah, N. dan Kuswara T., 2007.
Teknologi Pembuatan dan Pembakaran Coal Water Mixture dari Batubara Hasil
Proses Upgraded Brown Coal, Laporan Intern Puslitbang tekMIRA.
Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Usui, T., Tatsukawa T. and Usui H., 1999. Preparation Techniques of Coal Water
Mixtures with Upgraded Low Rank Coals, Coal Preparation, 21, p. 161-176.
Sukhyar, 2012, “Potensi Batubara di Indonesia”, Badan Geologi, Kementerian ESDM.
Suprapto, S., Heryadi, D., Nurhadi, 2009. Pemanfaatan gasifikasi batubara untuk PLTD
sistem dual fuel. Jurnal Teknologi Mineral dan Batubara, vol. 5, no. 3.
Ward, C.R., 1984. Coal geology and coal technology. Blackwell Scientific Publications,
Melbourne.

19