T BK 1302527 Chapter1

(1)

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini merupakan pendahuluan yang membahas latarbelakang penelitian yang menjadi titik tolak penelitian, identifikasi masalah, tujuan penelitian, pertanyaan penelitian, manfaat penelitian, sistematika penulisan.

A. Latar Belakang Penelitian

Self-control atau mengendalikan diri merupakan dimensi utama untuk meraih masa depan yang lebih baik. Manusia pada umumnya memiliki self-control baik anak-anak, remaja maupun orang dewasa. Self-control yang ada pada manusia memiliki kadar yang berbeda sesuai dengan berbagai faktor yang melatarbelakanginya. Duckworth & Kern (2011) menyatakan self-control

memiliki arti yang berbeda dari berbagai literatur baik nama, mendefinisikan maupun kontruks dari self-control. Namun ada teori umum yang disepakati bahwa

self-control didefinisikan sebagai kapasitas untuk mengubah atau mengganti kecenderungan respon yang dominan dan untuk mengatur perilaku, pikiran, dan emosi. Self-control berfokus menghambat respon yang tidak diinginkan (yang merusak) dan berupaya agar dapat merangsang respon yang diinginkan. Self-control juga prasyarat penting untuk self-regulation (Ridder et al 2012). Self-control melibatkan penundaan sesuatu yang baik saat ini untuk mencapai sesuatu yang baik di masa depan (Pervin dan Corveno, 2012: hal. 258).

Pada masa kehidupan manusia, masa remaja menjadi titik awal untuk mengingkatkan self-control, karena pada masa remaja mulai belajar mempertanggungjawabkan semua perkataan dan perbuatannya. Masa remaja (adolescence) sebagai periode transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa, yang melibatkan perubahan-perubahan biologis, kognitif, dan sosial-emosional (Santrock, 2007: hal.20). Masa remaja juga kadang-kadang dikenal sebagai the ten years, yaitu masa ketika remaja mengalami

lompatan-lompatan yang besar (Rabee’, 2011: hal.304). Lompatan-lompatan itu


(2)

menyendiri, merasa bosan, tidak nyaman, menolak, membangkang dan emosi yang memuncak serta berbagai ciri-ciri yang biasa terjadi pada remaja. Beberapa hal yang dirasakan remaja tersebut menuntut remaja untuk mampu untuk mengontrol dirinya (self-control). Hurlock (2002) berpendapat salah satu tugas perkembangan yang harus dimiliki remaja adalah memiliki perilaku self-control

yaitu dengan mempelajari apa yang diharapkan oleh kelompok dari padanya dan kemudian mau membentuk perilakunya agar sesuai dengan harapan sosial tanpa harus dibimbing, diawasi, didorong, dan diancam hukuman seperti yang alaminya waktu masa kanak-kanak. Remaja diharapkan mengganti konsep-konsep moral yang berlaku khusus di masa kanak-kanak dengan prinsip moral yang berlaku umum dan merumuskan ke dalam kode moral yang akan berfungsi sebagai pedoman bagi perilakunya (Hurlock, 2002: hal.225).

Menurut Mischel (dalam Cervone dan Pervin, 2012) kemampuan self-control seseorang dipengaruhi pengalaman yang di alami ketika masa kanak-kanak, Mischel melakukan penelitian dengan menghubungkan skor penundaan kepuasaan anak prasekolah untuk mengukur kompetensi kognitif dan sosial mereka saat remaja, dalam rentang waktu 10 tahun, hasilnya menunjukkan bahwa remaja yang mampu menunda kepuasaan ketika masa kanak-kanak, setelah remaja memiliki self-control yang baik seperti, penuh perhatian, mampu berkonsentasi, dapat mengekspresikan ide-ide baik, responsif terhadap alasan, kompeten, terampil, mampu berpikir ke depan, serta mampu menghadapi dan mengatasi stres secara matang (Cervone dan Pervin, 2012, hal. 262). Menurut Surya (dalam Lestari, 2012) self-control mempunyai makna sebagai daya yang memberi arah bagi individu dalam hidupnya dan tangungjawab penuh terhadap konsekuensi dari perilakunya. Semakin mampu individu mengendalikan perilakunya, maka semakin mungkin menjalani hidupnya secara efektif dan terhindar dari situasi yang dapat menggangu perjalanan hidupnya. Individu yang kurang memiliki self-control disebabkan karena tidak belajar kecakapan dan pengorbanan untuk mencapai suatu tujuan, dan tidak belajar bagaimana untuk menjadi dirinya sendiri (Lestari, 2012: hal.17).


(3)

Untuk menjadi dirinya sendiri kepribadian individu dipengaruhi oleh faktor lingkungan yaitu keluarga, kebudayaan dan sekolah. Keluarga dipandang sebagai penentu utama pembentukan kepribadian seseorang. Kebudayaan mengatur kehidupan dari mulai lahir sampai meninggal, baik yang disadari maupun tidak disadari. Pada lingkungan sekolah, ada beberapa hal yang mempengaruhi antara lain; (a) iklim emosional kelas; (b) sikap dan perilaku guru; (c) disiplin (tata-tertib); (d) prestasi belajar dan penerimaan teman sebaya (Yusuf & Nurihsan, 2013: hal. 27-33). Salah satu lingkungan yang menjadi tempat untuk menjalankan tugas perkembangan bagi remaja adalah sekolah. Sekolah merupakan tempat berkumpulnya berbagai individu dengan latarbelakang yang beragam, sehingga dalam interaksi sosial remaja memerlukan perilaku self-control

yang tinggi untuk dapat selaras dengan irama kehidupan di sekolah maupun diluar sekolah.

Brooks-Gunn & Warren (dalam Santrock, 2012) menyebutkan pengalaman lingkungan dapat memberikan kontribusi lebih besar dalam depresi dan kemarahan remaja. Meningkatkan kemampuan kognitif dan self-control melalui kesadaran diri dapat mempersiapkan remaja dapat mengatasi stress dan fluktuasi emosional (Santrock, 2007: hal. 202). Self-control yang rendah dapat merusak masa depan remaja, remaja yang sudah terlibat dalam perilaku yang bermasalah seperti merokok, narkoba, minum-minuman keras, dan pergaulan bebas membutuhkan penangganan khusus. Ketidakcakapan dalam mengelola self-control bagi remaja memberikan dampak tersendiri bagi kehidupan remaja. Tsukayama, Kim dan Duckworth, (2013) menyebutkkan hasil penelitiannya bahwa remaja awal (early adolescence) yang memiliki self-control rendah merupakan salah satu pemicu stress. Gallupe dan Baron (2010) menyebutkan moralitas dan self-control yang rendah memiliki keterkaitan dengan kecenderungan untuk mengunakan obat-obatan terlarang pada remaja. Li, Li dan Newman (2013) menyatakan remaja yang memiliki self-control yang tinggi menunjukkan penurunan Problematic Internet Use (PIU) disamping adanya efek diferensial kontrol dari orang tua terhadap remaja. Gottfredson dan Hirschi (dalam Blumenstein dan Ford, 2013) berpendapat self-control yang rendah merupakan


(4)

pemicu awal terjadinya kejahatan. Orang-orang dengan self-control yang rendah tidak dapat mempertimbangkan konsekuensi jangka panjang dari tindakan mereka demi memuaskan diri, dan kesenangan sesaat. Para ahli berpendapat remaja yang memiliki self-control rendah lebih mungkin untuk terlibat dalam kegiatan kriminal, seperti minum-minuman keras, merokok, dan perjudian. Menurut Blumenstein dan Ford (2013) self-control yang rendah terjadi akibat dari kurangnya interaksi sosial, pola asuh orang tua yang tidak memadai, dan tidak stabilnya pengasuhan ketika masa kecil. Self-control yang rendah memiliki ciri-ciri seperti tidak sensitif, impulsif, berani mengambil resiko (risk-taking), suka dengan sesuatu yang menantang secara fisik, melihat secara sinis. De Kemp, Vermulst, FinKenauer, Scholte, Overbeek, dan Rommes (2009) menyebutkan temuan dari studi longitudinal yang menyelidiki hubungan antara self-control dan perilaku agresif (antisocial behavoir) pada remaja awal laki-laki dan perempuan.

Self-control yang tinggi pada secara konsisten menurunkan perilaku agresif dan nakal dalam 6 bulan berikutnya. Moon dan Alarid (2014) menyatakan remaja dengan self-control rendah cenderung suka mengertak baik secara fisik maupun psikologis, sifat bullying ini semakin diperkuat dengan faktor-faktor kesempatan seperti bekerja sama dengan penggangu, pengawasan orang tua yang lemah, lingkungan sekolah yang negatif serta sikap guru yang suka menghukum remaja. Ruhban (2013) menyebutkan hasil temuannya bahwa self-control yang rendah memiliki hubungan positif dengan intensitas penggunaan facebook pada remaja.

Beberapa hasil penelitian yang menggambarkan rendahnya self-control

pada remaja serupa dengan hasil studi lapangan yang dilakukan pada salah satu SMPN yang ada di Kota Cimahi. Guru Bimbingan dan Konseling telah berusaha melakukan need assessment pada murid-murid yang menjadi kelas binaannya, namun belum sepenuhnya mengoptimalkan hasil need assessment, hal ini terlihat dari hasil observasi masih memprioritaskan siswa-siswa yang memiliki masalah yang terkait laporan baik dari siswa maupun laporan dari orang tua siswa (Hikmah, 2015). Akhirnya sebagian kecil siswa yang mampu ditanggani untuk diselesaikan masalahnya. Self-control yang merupakan penunjang kesuksesan individu, belum sepenuhnya menjadi perhatian guru Bimbingan dan Konseling.


(5)

Self-control tinggi menunjukkan remaja tersebut mampu untuk mengatur perilaku, pikiran dan keputusan. Hal ini didukung oleh hasil tes pada aspek self-control

yang secara umum menggambarkan: 1) sejumlah 12 siswa (16 %) memiliki self-control rendah; 2) sejumlah 48 siswa (64%) memiliki self-control sedang; dan 3) sejumlah 15 orang siswa (20 %) memiliki self-control tinggi. Sedangkan berdasarkan persentase per aspek siswa yang masuk dalam kategori rendah adalah : 1) aspek kontrol prilaku berjumlah 9 orang; 2) aspek kontrol kognitif berjumlah 12 orang; dan 3) aspek kontrol keputusan berjumlah 11 orang (Hikmah, 2015).

Remaja pada SMPN tersebut merupakan siswa yang memiliki orang tua dengan latar belakang pendidikan yang berbeda, mulai dari orang tua dengan berlatar pendidikan tamatan Sekolah Dasar hingga Sarjana. Hal ini menimbulkan permasalahan tersendiri yang memicu terjadinya berbagai masalah internal antar sesama siswa di lingkungan sekolah. Permasalahan muncul karena adanya perbedaan kepribadian dan pengalaman lingkungan yang berbeda pada tiap siswa di SMPN tersebut. Lingkungan keluarga memberikan kontribusi bagi self-control

yang rendah pada beberapa remaja di SMPN tersebut. Hal ini sesuai hasil observasi dan penelitian pendahuluan, ada siswa yang diberi surat peringkatan serta paling berat dikeluarkan dari sekolah karena masalah-masalah yang terkait

self-control yang rendah serta lingkungan keluarga yang kurang mendukung, seperti orang tua sering berhantam dirumah, orang tua dalam proses perceraian serta siswa yang diasuh oleh nenek atau kakeknya dan jauh dari orang tua. Selain itu juga, terlihat adanya beberapa siswa yang memiliki sifat bulliying seperti meminta uang adik kelas, kecanduan penggunaan internet seperti game online, agresif dan nakal, mencontek ketika ujian, prestasi akademik yang menurun, kabur dari rumah, merokok, pergi kemana-mana tanpa tujuan yang jelas (berkeluyuran), malas belajar, malas untuk melaksanakan ibadah seperti sholat dan lain sebagainya (Hikmah, 2015).

Upaya untuk meningkatkan self-control pada siswa di sekolah seharusnya menjadi prioritas khususnya bidang bimbingan dan konseling. Pada bimbingan dan konseling komprehensif ada yang disebut layanan responsif. Layanan responsif menurut Nurihsan (2006) merupakan layanan bimbingan yang bertujuan


(6)

membantu memenuhi kebutuhan yang dirasakan sangat penting oleh siswa pada saat ini. Layanan ini lebih bersifat kuratif (Nurihsan, 2006: hal. 45). Keberhasilan remaja dalam usaha untuk memperbaiki kepribadiannya tergantung pada banyak faktor. Hurlock (2002) menyebutkan empat faktor usaha untuk memperbaiki pribadian remaja yaitu; (1) remaja harus menentukan ideal-ideal yang realistik dan dapat mereka capai; (2) remaja harus membuat penilaian yang realistik mengenai kekuatan dan kelemahannya; (3) remaja harus mempunyai konsep diri yang stabil; dan (4) remaja harus merasa cukup puas dengan apa yang mereka capai dan bersedia memperbaiki prestasi-prestasi di bidang-bidang yang mereka anggap kurang (Hurlock, 2002: hal. 235).

Layanan yang lebih bersifat kuratif salah satunya adalah konseling kelompok. Konseling kelompok yang dimaksud untuk meningkatkan self-control

pada siswa adalah Solution-Focused Brief Counseling (SFBC) dalam setting

kelompok. Dipilihnya solution focused brief counseling untuk meningkatkan self-control karena adanya keberhasilan dari beberapa penelitian sebelumnya yang mengunakan pendekatan ini. Temuan Garner (2000) yang meneliti persepsi konselor sekolah pada multi isu dengan mengunakan pendekatan solution focused group counseling menunjukkan konselor sekolah menganggap model solution focused group counseling merupakan model yang layak dijadikan sebagai alternatif pada konseling kelompok.

Model solution focused group counseling memiliki banyak dampak positif, walaupun ada tantangan yang terkait lingkungan sekolah. Hasil penelitian lain oleh Javanmini, Kimiace, & Hashem (2013) menunjukkan adanya penurunan tingkat depresi pada remaja putri, setelah dilaksanakan intervensi mengunakan

solution focused group counseling. Fitch, Marshall & McCarthy (2012) menyebutkan solution-focused brief counseling juga mampu meningkatkan keterampilan akademis yang berkaitan dengan self-regulated learning. Temuan Jones, Hart, Jimerson, Dowdy, Earhart, James & Tyler (2009) rekomendasi untuk mengunakan solution-focosed brief counseling dalam proses konseling yang dilaksanakan di sekolah.


(7)

Beberapa hasil penelitian menunjukan solution-focused brief counseling

efektif dan efisien dalam mengatasi masalah-masalah yang dialami individu remaja, sehingga diharapkan solution-focused brief counseling dalam setting

kelompok pun mampu untuk meningkatkan self-control yang rendah pada siswa di SMP 6 Cimahi. Disamping itu solution-focused brief counseling pada prinsipnya percaya konseli sudah siap pada saat memasuki sesi konseling. Peran konselor dalam solution-focused brief counseling membantu mengenal sumber daya yang miliki konseli (Gladding, 2012: hal.285). Menurut Cavanagh (dalam Dahlan, 2011: hal. 37) setiap orang memiliki psychological strength (daya psikologi) untuk menyelesaikan masalahnya. Orang yang membutuhkan konseling adalah orang yang kurang baik dalam daya psikologi, sehingga mengalami ketidaknyaman distress dalam kehidupan lebih dari semestinya. Salah satu daya psikologi yang dimiliki remaja adalah self-control.

Dengan demikian perlu ada upaya bantuan berupa konseling bagi siswa yang berada pada salah satu SMPN di Cimahi melalui solution-focused brief counseling dalam setting kelompok sehingga dapat meningkatkan self-control, agar remaja mampu melewati masa perkembangan menuju dewasa dengan baik.


(8)

B. Identifikasi dan Rumusan Masalah

Pada kehidupan sehari-hari di lingkungan pada salah satu SMPN di Cimahi menunjukkan ada siswa yang memiliki self-control yang rendah. Self-control yang rendah bila diabaikan akan menganggu perkembangan remaja tersebut menuju dewasa dan merusak tatanan lingkungan sosial di sekolah. Permasalah tersebut menuntut bidang bimbingan dan konseling untuk memberikan bantuan dalam menyelesaikan masalah self-control rendah dialami siswa di sekolah. Pendekatan konseling yang selama ini digunakan masih banyak yang berfokus pada masalah, sehingga siswa pada saat proses konseling tidak maksimal dalam menghadirkan diri.

Perlu ada inovasi baru yang memberikan penyegaran dalam proses konseling dan membantu menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan perilaku dan psikologis siswa. Salah satu metode baru dalam konseling kelompok adalah

Solution-Focused Brief Counseling (SFBC) yang berorentasi pada kemampuan siswa, berkeyakinan bahwa konseli memiliki kesanggupan untuk sadar dan membuat keputusan-keputusan. Menurut Cleveland dan Lindsey (dalam Gladding, 2012) konseling singkat berfokus solusi konselor bertindak sebagai fasilitator perubahan untuk membantu konseli mengakses sumber daya dan kekuatan yang telah dia miliki, tetapi tidak disadari atau tidak digunakan (Gladding, 2012: hal. 284). Menurut Kelly, Kim dan Franklin (2008) Solution-Focused Brief Counseling (SFBC) memiliki beberapa keuntungan yaitu strengths based, client centered, small changes matter, portable, dan adaptable (Kelly, Kim, dan Franklin, 2008: hal.8).

Berdasarkan uraian tersebut maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “efektivitas Solution-Focused Brief Counseling (SFBC) dalam setting


(9)

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian adalah menghasilkan rumusan solution-focused brief counseling dalam setting kelompok yang efektif untuk meningkatkan self-control

siswa.

D. Manfaat Penelitian

Secara teoretis, hasil penelitian diharapkan memberikan manfaat tentang gambaran konseptual perilaku self-control pada siswa dan menambah khasanah pengetahuan intervensi bimbingan dan konseling yang efektif dan efisien melalui pendekatan solution focused brief counseling dalam setting kelompok.

Secara praktis, hasil penelitian ini dapat manfaat untuk: (1) Guru bimbingan dan konseling konselor dalam mengembangkan program bimbingan dan konseling di sekolah terutama di bidang pribadi-sosial, serta sebagai umpan balik keefektifan pendekatan konseling kelompok untuk mengatasi masalah siswa; dan (2) peneliti selanjutnya, sebagai referensi dalam melakukan penelitian selanjutnya tentang solution-focused brief counseling dalam setting kelompok untuk meningkatkan self-control siswa.


(10)

E. Sistematika Penulisan

Penelitian ditulis dalam lima bab, dengan urutan sebagai berikut.

Bab I Pendahuluan mencakup uraian latar belakang, identifikasi dan rumusan masalah penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan tesis.

Bab II Kajian pustaka mencakup uraian konsep atau teori utama dan teori-teori dalam bidang yang dikaji, hasil penelitian terdahulu dan hasil temuannya, kerangka pemikiran, serta asumsi dan hipotesis.

Bab III Metode penelitian menacakup pembahasan secara berurutan tentang pendekatan penelitian: metode penelitian, desain penelitian, lokasi dan subjek penelitian, definisi operasionl tentang variabel-variabel penelitian, instrument penelitian, teknik pengumpulan data dan analisisnya.

Bab IV Hasil penelitian dan pembahasan mendiskusikan temuan penelitian dengan mengunakan dasar teoretik yang telah dibahas dalam Bab II dan berisi hal utama hasil pengolahan atau analisis data dalam bentuk temuan penelitia, serta pembahasan atau analisis temuan penelitian.

Bab V Simpulan dan rekomendasi mencakup penafsiran dan pemaknaan terhadap hasil analisis terhadap temuan penelitian yang disajikan dalam bentuk simpulan dan rekomendasi yang ditujukan kepada guru bimbingan dan konseling, dan peneliti selanjutnya.


(1)

Self-control tinggi menunjukkan remaja tersebut mampu untuk mengatur perilaku, pikiran dan keputusan. Hal ini didukung oleh hasil tes pada aspek self-control yang secara umum menggambarkan: 1) sejumlah 12 siswa (16 %) memiliki self-control rendah; 2) sejumlah 48 siswa (64%) memiliki self-self-control sedang; dan 3) sejumlah 15 orang siswa (20 %) memiliki self-control tinggi. Sedangkan berdasarkan persentase per aspek siswa yang masuk dalam kategori rendah adalah : 1) aspek kontrol prilaku berjumlah 9 orang; 2) aspek kontrol kognitif berjumlah 12 orang; dan 3) aspek kontrol keputusan berjumlah 11 orang (Hikmah, 2015).

Remaja pada SMPN tersebut merupakan siswa yang memiliki orang tua dengan latar belakang pendidikan yang berbeda, mulai dari orang tua dengan berlatar pendidikan tamatan Sekolah Dasar hingga Sarjana. Hal ini menimbulkan permasalahan tersendiri yang memicu terjadinya berbagai masalah internal antar sesama siswa di lingkungan sekolah. Permasalahan muncul karena adanya perbedaan kepribadian dan pengalaman lingkungan yang berbeda pada tiap siswa di SMPN tersebut. Lingkungan keluarga memberikan kontribusi bagi self-control yang rendah pada beberapa remaja di SMPN tersebut. Hal ini sesuai hasil observasi dan penelitian pendahuluan, ada siswa yang diberi surat peringkatan serta paling berat dikeluarkan dari sekolah karena masalah-masalah yang terkait self-control yang rendah serta lingkungan keluarga yang kurang mendukung, seperti orang tua sering berhantam dirumah, orang tua dalam proses perceraian serta siswa yang diasuh oleh nenek atau kakeknya dan jauh dari orang tua. Selain itu juga, terlihat adanya beberapa siswa yang memiliki sifat bulliying seperti meminta uang adik kelas, kecanduan penggunaan internet seperti game online, agresif dan nakal, mencontek ketika ujian, prestasi akademik yang menurun, kabur dari rumah, merokok, pergi kemana-mana tanpa tujuan yang jelas (berkeluyuran), malas belajar, malas untuk melaksanakan ibadah seperti sholat dan lain sebagainya (Hikmah, 2015).

Upaya untuk meningkatkan self-control pada siswa di sekolah seharusnya menjadi prioritas khususnya bidang bimbingan dan konseling. Pada bimbingan dan konseling komprehensif ada yang disebut layanan responsif. Layanan responsif menurut Nurihsan (2006) merupakan layanan bimbingan yang bertujuan


(2)

Nurul Hikmah, 2016

EFEKTIVITAS TEKNIK SOLUTION-FOCUSED BRIEF COUNSELING (SFBC) DALAM SETTING KELOMPOK UNTUK MENINGKATKAN SELF CONTROL SISWA

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu| perpustakaan.upi.edu

membantu memenuhi kebutuhan yang dirasakan sangat penting oleh siswa pada saat ini. Layanan ini lebih bersifat kuratif (Nurihsan, 2006: hal. 45). Keberhasilan remaja dalam usaha untuk memperbaiki kepribadiannya tergantung pada banyak faktor. Hurlock (2002) menyebutkan empat faktor usaha untuk memperbaiki pribadian remaja yaitu; (1) remaja harus menentukan ideal-ideal yang realistik dan dapat mereka capai; (2) remaja harus membuat penilaian yang realistik mengenai kekuatan dan kelemahannya; (3) remaja harus mempunyai konsep diri yang stabil; dan (4) remaja harus merasa cukup puas dengan apa yang mereka capai dan bersedia memperbaiki prestasi-prestasi di bidang-bidang yang mereka anggap kurang (Hurlock, 2002: hal. 235).

Layanan yang lebih bersifat kuratif salah satunya adalah konseling kelompok. Konseling kelompok yang dimaksud untuk meningkatkan self-control pada siswa adalah Solution-Focused Brief Counseling (SFBC) dalam setting kelompok. Dipilihnya solution focused brief counseling untuk meningkatkan self-control karena adanya keberhasilan dari beberapa penelitian sebelumnya yang mengunakan pendekatan ini. Temuan Garner (2000) yang meneliti persepsi konselor sekolah pada multi isu dengan mengunakan pendekatan solution focused group counseling menunjukkan konselor sekolah menganggap model solution focused group counseling merupakan model yang layak dijadikan sebagai alternatif pada konseling kelompok.

Model solution focused group counseling memiliki banyak dampak positif, walaupun ada tantangan yang terkait lingkungan sekolah. Hasil penelitian lain oleh Javanmini, Kimiace, & Hashem (2013) menunjukkan adanya penurunan tingkat depresi pada remaja putri, setelah dilaksanakan intervensi mengunakan solution focused group counseling. Fitch, Marshall & McCarthy (2012) menyebutkan solution-focused brief counseling juga mampu meningkatkan keterampilan akademis yang berkaitan dengan self-regulated learning. Temuan Jones, Hart, Jimerson, Dowdy, Earhart, James & Tyler (2009) rekomendasi untuk mengunakan solution-focosed brief counseling dalam proses konseling yang dilaksanakan di sekolah.


(3)

Beberapa hasil penelitian menunjukan solution-focused brief counseling efektif dan efisien dalam mengatasi masalah-masalah yang dialami individu remaja, sehingga diharapkan solution-focused brief counseling dalam setting kelompok pun mampu untuk meningkatkan self-control yang rendah pada siswa di SMP 6 Cimahi. Disamping itu solution-focused brief counseling pada prinsipnya percaya konseli sudah siap pada saat memasuki sesi konseling. Peran konselor dalam solution-focused brief counseling membantu mengenal sumber daya yang miliki konseli (Gladding, 2012: hal.285). Menurut Cavanagh (dalam Dahlan, 2011: hal. 37) setiap orang memiliki psychological strength (daya psikologi) untuk menyelesaikan masalahnya. Orang yang membutuhkan konseling adalah orang yang kurang baik dalam daya psikologi, sehingga mengalami ketidaknyaman distress dalam kehidupan lebih dari semestinya. Salah satu daya psikologi yang dimiliki remaja adalah self-control.

Dengan demikian perlu ada upaya bantuan berupa konseling bagi siswa yang berada pada salah satu SMPN di Cimahi melalui solution-focused brief counseling dalam setting kelompok sehingga dapat meningkatkan self-control, agar remaja mampu melewati masa perkembangan menuju dewasa dengan baik.


(4)

Nurul Hikmah, 2016

EFEKTIVITAS TEKNIK SOLUTION-FOCUSED BRIEF COUNSELING (SFBC) DALAM SETTING KELOMPOK UNTUK MENINGKATKAN SELF CONTROL SISWA

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu| perpustakaan.upi.edu

B. Identifikasi dan Rumusan Masalah

Pada kehidupan sehari-hari di lingkungan pada salah satu SMPN di Cimahi menunjukkan ada siswa yang memiliki self-control yang rendah. Self-control yang rendah bila diabaikan akan menganggu perkembangan remaja tersebut menuju dewasa dan merusak tatanan lingkungan sosial di sekolah. Permasalah tersebut menuntut bidang bimbingan dan konseling untuk memberikan bantuan dalam menyelesaikan masalah self-control rendah dialami siswa di sekolah. Pendekatan konseling yang selama ini digunakan masih banyak yang berfokus pada masalah, sehingga siswa pada saat proses konseling tidak maksimal dalam menghadirkan diri.

Perlu ada inovasi baru yang memberikan penyegaran dalam proses konseling dan membantu menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan perilaku dan psikologis siswa. Salah satu metode baru dalam konseling kelompok adalah Solution-Focused Brief Counseling (SFBC) yang berorentasi pada kemampuan siswa, berkeyakinan bahwa konseli memiliki kesanggupan untuk sadar dan membuat keputusan-keputusan. Menurut Cleveland dan Lindsey (dalam Gladding, 2012) konseling singkat berfokus solusi konselor bertindak sebagai fasilitator perubahan untuk membantu konseli mengakses sumber daya dan kekuatan yang telah dia miliki, tetapi tidak disadari atau tidak digunakan (Gladding, 2012: hal. 284). Menurut Kelly, Kim dan Franklin (2008) Solution-Focused Brief Counseling (SFBC) memiliki beberapa keuntungan yaitu strengths based, client centered, small changes matter, portable, dan adaptable (Kelly, Kim, dan Franklin, 2008: hal.8).

Berdasarkan uraian tersebut maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “efektivitas Solution-Focused Brief Counseling (SFBC) dalam setting kelompok untuk meningkatkan self-control siswa”.


(5)

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian adalah menghasilkan rumusan solution-focused brief counseling dalam setting kelompok yang efektif untuk meningkatkan self-control siswa.

D. Manfaat Penelitian

Secara teoretis, hasil penelitian diharapkan memberikan manfaat tentang gambaran konseptual perilaku self-control pada siswa dan menambah khasanah pengetahuan intervensi bimbingan dan konseling yang efektif dan efisien melalui pendekatan solution focused brief counseling dalam setting kelompok.

Secara praktis, hasil penelitian ini dapat manfaat untuk: (1) Guru bimbingan dan konseling konselor dalam mengembangkan program bimbingan dan konseling di sekolah terutama di bidang pribadi-sosial, serta sebagai umpan balik keefektifan pendekatan konseling kelompok untuk mengatasi masalah siswa; dan (2) peneliti selanjutnya, sebagai referensi dalam melakukan penelitian selanjutnya tentang solution-focused brief counseling dalam setting kelompok untuk meningkatkan self-control siswa.


(6)

Nurul Hikmah, 2016

EFEKTIVITAS TEKNIK SOLUTION-FOCUSED BRIEF COUNSELING (SFBC) DALAM SETTING KELOMPOK UNTUK MENINGKATKAN SELF CONTROL SISWA

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu| perpustakaan.upi.edu

E. Sistematika Penulisan

Penelitian ditulis dalam lima bab, dengan urutan sebagai berikut.

Bab I Pendahuluan mencakup uraian latar belakang, identifikasi dan rumusan masalah penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan tesis.

Bab II Kajian pustaka mencakup uraian konsep atau teori utama dan teori-teori dalam bidang yang dikaji, hasil penelitian terdahulu dan hasil temuannya, kerangka pemikiran, serta asumsi dan hipotesis.

Bab III Metode penelitian menacakup pembahasan secara berurutan tentang pendekatan penelitian: metode penelitian, desain penelitian, lokasi dan subjek penelitian, definisi operasionl tentang variabel-variabel penelitian, instrument penelitian, teknik pengumpulan data dan analisisnya.

Bab IV Hasil penelitian dan pembahasan mendiskusikan temuan penelitian dengan mengunakan dasar teoretik yang telah dibahas dalam Bab II dan berisi hal utama hasil pengolahan atau analisis data dalam bentuk temuan penelitia, serta pembahasan atau analisis temuan penelitian.

Bab V Simpulan dan rekomendasi mencakup penafsiran dan pemaknaan terhadap hasil analisis terhadap temuan penelitian yang disajikan dalam bentuk simpulan dan rekomendasi yang ditujukan kepada guru bimbingan dan konseling, dan peneliti selanjutnya.