GENERASI MUDA BERBICARA POLITIK SEBUAH P

SAYEMBARA PENULISAN ESAI
““Membumikan Intelektual Mahasiswa: Peranan Mahasiswa dalam Mengatasi Permasalahan
Bangsa”"

GENERASI MUDA BERBICARA POLITIK : SEBUAH PROSES ARTIKULASI
KEPENTINGAN RAKYAT DALAM ERA KETERBUKAAN POLITIK
Sebuah Analisa Potensi Generasi Muda dalam Membangun Indonesia Melalui Gerakan
Sosial

Disusun oleh:
Nama : Desiana Rizka Fimmastuti
NIM : 10/ 305078/ SP/ 24358
JURUSAN POLITIK DAN PEMERINTAHAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2013

GENERASI MUDA BERBICARA POLITIK : SEBUAH PROSES ARTIKULASI
KEPENTINGAN RAKYAT DALAM ERA KETERBUKAAN POLITIK
Sebuah Analisa Potensi Generasi Muda dalam Membangun Indonesia Melalui Gerakan

Sosial
Oleh:
Desiana Rizka Fimmastuti

Indonesia merupakan salah satu negara yang mengalami dinamika kontestasi
perpolitikan yang menarik untuk diamati. Pemerintahan yang demokratis dan adanya
kesempatan yang sama untuk berbicara politik menjadi satu topik yang tidak pernah usai.
Konsep demokrasi meletakkan kekuasaan berada di tangan rakyat1, yang mana dinilai
menjadi pilihan terbaik diantara model terburuk karena terdapat check and balances atas
adanya keterbukaan bagi publik. Pada model ini, rakyat memiliki kendali politik sehingga
memegang posisi sentral dalam kehidupan sosial politik2.
Sebelum dibahas lebih lanjut, harus diakui bahwa Indonesia merupakan salah satu
negara yang mengalami pasang surut kadar demokrasi. Terlihat bahwa pada awal
kemerdekaan, kran demokrasi cukup terbuka sehingga rakyat memiliki kesempatan untuk
memberikan aspirasinya. Akan tetapi, pada masa rejim Orde Baru terlihat bahwa tidak
terdapat kesempatan bagi rakyat untuk mengungkapkan pendapatnya. Rejim dengan sengaja
melakukan floating mass untuk melanggengkan kekuasaannya3. Tak ayal jika terdapat
pembredelan media massa, kebijakan NKK BKK yang diterapkan di kampus,
penyederhanaan partai politik, serta lapisan masyarakat yang sengaja diwadahi dalam sebuah
organisasi. Instrumen inilah yang mengendalikan masyarakat, sehingga tidak terdapat celah

bagi berbagai pihak untuk berpendapat. Realitas ini bertahan cukup lama sekitar 32 tahun
lamanya. Sejak adanya reformasi tahun 1998, kran demokrasi telah terbuka dengan lebar
hingga saat ini. Pada titik inilah masyarakat dari berbagai kalangan berhak untuk
mengutarakan aspirasinya termasuk mahasiswa. Namun, penyampaian aspirasi melalui aksi
mahasiswa kerap dicederai dengan label anarkis. Di samping itu, banyk mahasiswa juga
1

Ruphina, Said 2005, Menuju Demokrasi Pemerintahan, NTB : Universitas Mataram Press, h. 129
Beetham, David dan Kevin Boyle, Introducing Democracy: 80 Question and Answers, Kanisius: Yogyakarta, hh. 20-21
3
McVey, Ruth T 1977, ‘The Beamtenstaat in Indonesia’, dalam Benedict Anderson & Audrey Kahin (eds.), Interpreting
Indonesian Politics : Thirteen Contribution To The Debate, Ithaca: South East Asian Programs, Cornell University, h. 141
2

terjerat dalam politik praktis sehingga jauh dari nilai yang idealis. Aspek itulah yang kiranya
membuat mahasiswa kini semakin jauh dari masyarakat dan abai terhadap kesejahteraan
rakyat.
Seperti halnya telah disinggung di atas bahwa mahasiswa kini kondisinya begitu
memprihatinkan. Mahasiswa selaku agent of change justru semakin menjauh dari idealitas
pribadinya. Pada titik inilah, mahasiswa sudah saatnya berbenah diri dalam melakukan

pergerakan. Untuk itu, tulisan ini berangkat dari sebuah fakta bahwa kran demokrasi memang
sudah terbuka lebar. Akan tetapi mahasiswa justru memanfaatkannya secara kebablasan
sehingga terkesan nir keberadaan data. Realitas ini mendorong pemikiran lebih serius untuk
mengadakan sebuah perubahan demi kebaikan bersama. Untuk menghasilkan sebuah tulisan
yang komprehensif, terlebih dahulu penulis memaparkan mengenai potensi generasi muda
dalam perubahan politik selaku agent of change. Penulis menguraikan adanya dimensi
kekuatan jaringan dalam gerakan sosial yang dimotori oleh generasi muda. Melalui instrumen
ini pula, mahasiswa merupakan agen yang dekat dengan rakyat sehingga lebih akurat dalam
menyuarakan aspirasi. Tidak lupa penulis akan memberikan simpulan atas analisa yang telah
dilakukan.
Potensi Generasi Muda dalam Era Keterbukaan Politik
Sebagaimana kita tahu bahwa pada masa ini, keterbukaan politik benar- benar terlihat
karena demokrasi telah diterapkan seutuhnya di Indonesia. Implikasi penerapan demokrasi
yang kaffah beberapa diantaranya dapat dilihat dari bebasnya media massa dari pembredelan,
organisasi dan gerakan yang diperkenankan menunjukkan eksistensinya, serta terbukanya
peluang bagi masyarakat untuk berbicara mengenai politik. Media massa kini terlihat begitu
gencar memberitakan infomasi terkini mengenai kondisi negara, mulai dari permasalahan
sosial politik hingga argumentasi ilmuwan terkait kondisi negara. Pada titik ini, keterbukaan
informasi terlihat sangat besar.
Di samping itu, organisasi dan gerakan kini telah menjamur dimana Badan Pusat

Statistik (BPS) mencatat bahwa sebelum reformasi (1996) jumlah Ormas hanya sekitar
10.000 tetapi pasca bergulirnya reformasi (2000) jumlahnya melonjak sampai sekitar 70.000.
Jumlah organisasi yang begitu banyak mengindikasikan bahwa terdapat peluang bagi seluruh
lapisan masyarakat untuk berpartisipasi dalam mengawal perubahan. Namun ironis ketika
terdapat beberapa organisasi mahasiswa yang justru memanfaatkan keterbukaan ini secara
berlebihan dan tidak terkendali. Hal ini terlihat dalam aksi anarkis, sehingga label tukang

demo kerap melekat di tubuh gerakan mahasiswa. Tidak hanya itu, penilaian khalayak juga
berlanjut pada anggapan bahwa mahasiswa ketika berbicara politik adalah tanpa data. Dengan
demikian generasi muda dinilai belum pantas untuk berbicara politik karena belum memiliki
pengalaman, sehingga ide- ide generasi muda dinilai tidak realistis.
Anggapan bahwa mahasiswa telah lepas dari intelektualitasnya tidaklah benar, karena
generasi muda memiliki potensi dan kemampuan menuangkan ide- ide yang kreatif dan pas
untuk diterapkan. Keterbukaan informasi membuat generasi muda semakin terbuka
pemikirannya akan ide- ide baru dalam membangun bangsanya. Selain itu, generasi muda
juga memiliki kemampuan organisasi yang tinggi sehingga berpeluang mengawal perubahan
melalui gerakan sosial yang positif. Hal ini menarik untuk dielaborasi lebih lanjut, karena
pada dasarnya generasi muda memiliki pemikiran yang baru dan memiliki banyak informasi
karena pintu keterbukaan publik semakin besar.
Harus diakui bahwa generasi muda merupakan para pemuda yang memiliki semangat

baru dan memiliki idealisme yang tinggi. Mereka dinilai sangat potensial untuk
membicarakan politik Indonesia dan menawarkan gagasan baru berasal dari pemikiran yang
didapat melalui media massa dan juga bangku pendidikan. Berbagai sumber ilmu tersebut
semakin ditunjang oleh adanya jaringan yang menjadi ‘wadah’ bagi mereka untuk semakin
mematangkan ide- ide, sehingga berbicara politik merupakan keniscayaan bagi generasi
muda. Wadah tersebut dapat berupa gerakan ekstra kampus, badan eksekutif, dan komunitas.
Mereka saling berinteraksi dalam keberagaman, baik dari latar belakang keilmuan, suku,
agama serta ideologi, sehingga melahirkan berbagai alternatif pandangan akan sebuah
realitas.
Di samping itu, para generasi muda yang berjejaring inilah yang justru dekat dengan
masyarakat daripada para pemangku kebijakan. Sebagaimana kita tahu bahwa pemerintah
seringkali dominan bekerja dengan logika teknokratisme, yang mana menganggap bahwa
aparat maha benar dan maha tahu. Hal ini berimplikasi pada tidak didengarnya aspirasi
masyarakat oleh para pemangku kebijakan. Masyarakat selaku objek kebijakan harus
mengikuti intruksi pemerintah. Untuk itu, generasi muda selaku agent of change harus segera
turun tangan menindaklanjuti hal tersebut. Atas dasar realitas ini, saya menilai bahwa
generasi muda memang layak untuk berbicara politik dan menyuarakan aspirasi masyarakat
yang notabene kurang terakomodir. Data riil kondisi masyarakat di lapangan dikaji dan

ditelaah dari berbagai sudut pandang. Hal ini berimplikasi pada ide- ide yang dihasilkan lebih

terkonsep, lebih matang dan sesuai dengan aspirasi masyarakat.
Aspirasi tersebut disuarakan oleh generasi muda dengan menggunakan strategi yang
khas, diantaranya dengan membangun jaringan antar organisasi lintas provinsi. Mereka
berinteraksi dalam wadah yang lebih besar, misalkan BEM seluruh Indonesia bersatu dalam
BEM SI. ‘Wadah’ yang lebih besar ini sering mengadakan pertemuan untuk membicarakan
isu- isu yang akan diperjuangkan dan memikirkan strategi untuk mengubah kebijakan
sehingga sesuai dengan aspirasi masyarakat. Pada titik inilah mereka berperan sebagai social
movement yang bergerak untuk menciptakan perubahan dengan menyuarakan ide- ide
cemerlang mereka melalui strategi konvensional maupun non konvensional sebagai upaya
untuk mengkoordinasikan gerakan4. Strategi konvensional berupa aksi maupun lobby ke
lembaga eksekutif maupun legislatif. Sedangkan strategi non konvesional dapat seperti
melalui jejaring sosial, blog, dan artikel- artikel yang ditulis di media massa. Jika diamati
lebih lanjut tindakan mereka merupakan wujud artikulasi aspirasi kepentingan masyarakat
serta wujud kepedulian atas kondisi perpolitikan nasional.
Kita dapat melihat contoh mengenai gerakan save KPK. Jika diamati lebih dalam,
gerakan ini muncul karena adanya anggapan bahwa eksistensi KPK sebagai lembaga
pemberantas korupsi akan dilemahkan eksistensinya. Di sisi lain, pemerintah juga tidak
segera mengambil keputusan tegas meskipun masyarakat menginginkan penyelamatan KPK.
Untuk itu, generasi muda mengajak masyarakat untuk bersama memperjuangkan aspirasi
tersebut. Mereka memanfaatkan twitter sehingga mampu menarik perhatian massa yang lebih

besar untuk mendukung eksistensi KPK.
Realitas tersebut menunjukkan bahwa generasi muda memiliki ide yang ditopang oleh
kekuatan jaringan, sehingga efektif dalam menyuarakan aspirasi masyarakat. Dengan adanya
‘generasi muda berbicara politik’ dapat berimplikasi pada kebijakan publik di Indonesia tidak
lagi bersifat top down, akan tetapi lebih bersifat bottom up sehingga kesejahteraan
masyarakat akan terealisasi. Berdasarkan uraian tersebut, terlihat bahwa generasi muda
memiliki potensi untuk membangun bangsa. Mereka memiliki sumber informasi yang
memadai, ide yang kreatif, serta jaringan yang kuat untuk menyuarakan aspirasi masyarakat.
Jadi tidak ada salahnya jika generasi muda bersuara dan menganalisa kondisi politik nasional.

4

Hiller, Harry H 1975, ‘A Reconceptualization of the Dynamics of Social Movement Development’, The Pacific
Sociological Review, Vol. 18, No. 3, University of California Press, h. 353

Pembenahan Internal : Sebuah Catatan Akhir
Harus diakui bahwa generasi muda berpotensi begitu luar biasa untuk menuangkan
gagasan inovatif dan menawarkan problem solving atas permasalahan bangsa, sehingga
kesejahteraan rakyat dapat tercapai. Di samping itu, generasi muda juga memiliki kedekatan
lebih tinggi dengan masyarakat. Atas dasar inilah generasi muda memang seharusnya selalu

melakukan update kondisi bangsa dan menyuarakan aspirasi masyarakat. Proses inilah yang
kemudian disebut dengan upaya analisa politik yang notabene dapat dilakukan dengan cara
konvensional dan non konvensional melalui aksi, tulisan di media cetak, jejaring sosial, dan
sebagainya.
Melihat betapa besarnya potensi generasi muda melalui keterbukaan jaringan tersebut,
maka mahasiswa sudah semestinya melakukan kontrol terhadap pergerakan dirinya sendiri.
Wadah organisasi memang efektif dan sudah selayaknya untuk diteruskan. Akan tetapi
sebuah catatan kritis yang harus segera untuk diakomodir adalah adanya pembenahan
internal. Pembenahan internal dapat dilakukan dengan manajemen diri yaitu dengan
melakukan kajian yang lebih komprehensif serta dilengkapi dengan data terkini sehingga
label intelektual mahasiswa tidak tergadaikan. Di samping itu, mahasiwa melalui social
movement juga seharusnya mengontrol emosi, sehingga anarkisme tidak akan terjadi.
Anarkisme memang harus dihaindari karena dapat merugikan kepentingan umum. Dengan
begitu, mahasiswa – gerakan mahasiswa kini harus berubah sehingga label berganti menjadi
gerakan politik yang beretika dan memiliki intelektualitas yang tinggi.
Di samping itu, tantangan generasi muda ke depan adalah untuk mempertahankan
idealisme dan konsistensi dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat. Salah satu hal
yang dapat dilakukan adalah dengan menanamkan kesadaran moral secara lebih mendalam,
bahwa perubahan dan nasib rakyat ada di tangannya. Ketika idealisme tidak dapat
dipertahankan, hal yang terjadi adalah tergadainya kesejahteraan rakyat sehingga melahirkan

kondisi sosial politik yang tidak sesuai harapan.

Daftar Referensi :
Ruphina, Said 2005, Menuju Demokrasi Pemerintahan, NTB : Universitas Mataram Press,
h-129
Beetham, David dan Kevin Boyle, Introducing Democracy: 80 Question and Answers,
Kanisius: Yogyakarta, hh. 20-21
McVey, Ruth T 1977, ‘The Beamtenstaat in Indonesia’, dalam Benedict Anderson & Audrey
Kahin (eds.), Interpreting Indonesian Politics : Thirteen Contribution To The Debate,
Ithaca: South East Asian Programs, Cornell University
Hiller, Harry H 1975, ‘A Reconceptualization of the Dynamics of Social Movement
Development’, The Pacific Sociological Review, Vol. 18, No. 3, University of
California Press, pp. 342-360

BIODATA PENULIS
Nama Lengkap

: Desiana Rizka Fimmastuti

Alamat


: Jalan Perangtritis Km 15, Gerselo Patalan Jetis Bantul,

Yogyakarta
Tempat, Tanggal Lahir

: Kulonprogo, 15 April 1992

Profesi

: Mahasiswa

Nim

: 10/305078/SP/24358

Alamat Sekolah Atau Universitas

:


Universitas

Gadjah

Mada

Jl.

Socio

Bulaksumur Sleman Yogyakarta
Jurusan / fakultas

: Jurusan Politik dan Pemerintahan/ Fisipol

Yustisia

Email

: desiana.rizka@yahoo.com

Fb

: Desiana Rizka F

Twetter

:@Desiana_RF

Nomor Telepon/Hp

: 085729337246