T1__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Strategi Militer Jepang dan Cina dalam Kedaulatan Wilayah: Studi Kasus Perebutan Wilayah Sengketa Kepulauan SenkakuDiaoyu Tahun 20122016 T1 BAB II

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kerangka Teoritis
2.1.1. Neo-realisme
Terdapat banyak teori yang dapat menggambarkan tentang bagaimana situasi dan kondisi
dalam hubungan internasional berjalan, salah satunya adalah Neoralisme. Teori ini pertama
kali muncul setelah Liberalisme mengkritik pandangan Realisme Klasik yang secara umum
mengandalkan sifat alamiah manusia yang jahat sebagai upaya untuk mengejar power agar
dapat berkuasa atas manusia atau negara lain. Salah satu kritik Neorealisme terhadap
Realisme yaitu tentang pandangan Realisme yang berfokus pada perilaku dan kebijakan
negara untuk mempertahankan kepentingannya tanpa dipengaruhi oleh struktur atau sistem
internasional (Mearsheimer, 2006, hal 72).
Salah satu tokoh yang memiliki kontribusi cukup besar terhadap perkembangan teori
Neoralisme adalah John J. Mearsheimer. Ia percaya bahwa negara akan selalu mencari
power sebagai jaminan keamanan atas sistem internasional yang anarkis. Setiap negara

berkeinginan untuk bertahan hidup, sehingga ia akan melakukan tindakan-tindakan agresif
untuk melindungi dirinya. Sistem internasional adalah hal yang penting dan mempengaruhi
tindakan suatu negara karena berkaitan dengan peningkatan power. Selain itu dengan adanya
sistem internasional maka negara akan dapat mencari tahu hasil akhir dalam sebuah politik
internasional (Mearsheimer, 2006, hal 74).

Mearsheimer kemudian membentuk lima asumsi dasar yang ia gunakan untuk
menjelaskan tentang sistem internasional, (Mearsheimer, 2006, hal 73) berikut asumsi
tersebut:
a. Great power , ia merupakan pemeran utama dalam perpolitikan dunia yang beroperasi
dalam sistem internasional yang anarki.
b. Masing-masing negara memiliki power yang dapat mengancam negara lain. Power
tersebut biasanya berupa kekuatan militer, ekonomi, politik, teknologi, maupun jumlah
populasi yang besar.

c. Suatu negara tidak akan pernah mengetahui maksud atau tujuan dari negara lain, apakah
ia bermaksud untuk menyerang dan mengubah balance of power atau mereka akan diam
bertahan dengan kondisi yang telah dimiliki.
d. Tujuan utama negara adalah bertahan hidup. Ia harus menjaga integritas teritorial dan
otonomi dalam negeri. Setiap negara wajib untuk dapat bertahan hidup karena segala
sesuatu yang ia lakukan untuk mencapai tujuannya akan sia-sia jika ia tidak mampu
bertahan hidup.
e. Negara merupakan aktor rasional. Ia mampu menciptakan strategi yang logis untuk
memaksimalkan kemampuan bertahan hidup.
Berakar pada lima asumsi diatas, Mearsheimer kemudian menggagas tentang Offensive
realism yang terbentuk atas dasar pertentangan terhadap dua teori realis1 lain yang sama-


sama membahas tentang hubungan antar great power atau aktor utama dalam dunia politik
yang menjalankan sistem anarki. Offensive realism beranggapan bahwa power merupakan
sarana pencapaian kepentingan, dimana kepentingan merupakan salah satu tujuan akhir dari
suatu negara. Power harus didapatkan semaksimal mungkin melalui usaha atau kemauan
untuk menjadi hegemonic power, hegemon ini nantinya akan dapat digunakan sebagai
tameng untuk bertahan hidup atau survive dari sistem internasional (Mearsheimer, 2006, hal
75).
Offensive realism memiliki pendapat tersendiri tentang permasalahan perseimbangan

kekuatan. Menurutnya, setiap negara pengancam biasanya seimbang ketika berlawanan
dengan musuh, namun keseimbangan itu tidak benar-benar efisien karena dalam
perilakunya, negara akan saling berasumsi untuk memeriksa lawan yang lebih kuat selagi
mereka berdekatan (Mearsheimer, 2006, hal 75).
Walaupun Mearsheimer hanya menggagas tentang Offensive realism, namun sebenarnya
terdapat satu lagi teori turunan dari teori Neoralisme yang bertentangan dengan Offensive
realism yaitu Defensive realism. Defensive realism digagas oleh Kenneth Waltz, teori ini

merupakan pemahaman yang menjelaskan bahwa tidak bijak bila suatu negara mencoba
untuk terus meningkatkan atau memaksimalkan power karena akan ada sistem yang dapat

menghukumnya. Dengan kata lain, jika terdapat satu atau beberapa negara yang terlalu kuat

1

Dua teori yang bertentangan dengan offensive realism yaitu classical realisme (Hans J. Morgenthau) dan
defensive realism (Kenneth Waltz).

maka akan terjadi keseimbangan. Keseimbangan ini akan mendorong negara-negara besar
untuk membangun militer serta koalisi penyeimbang untuk melawan hegemon terbesar
sehingga perlahan-lahan ia akan hancur (Waltz,1979).
Namun demikian, Defensive realism

mengakui bahwa sistem internasional akan

menciptakan dorongan kuat untuk memperoleh tambahan power . Tetapi, pencarian atas
hegemoni merupakan strategi yang terlalu brutal bagi suatu negara. Power tidak harus
didapatkan secara maksimal melainkan harus disesuaikan dengan kondisi negara tersebut.
Pada dasarnya, negara harus lebih fokus terhadap pencarian rasa aman daripada kekuatan itu
sendiri sehingga membuat sistem internasional lebih tenang dan tidak banyak memicu
konflik (Waltz,1979).


2.1.2. Keseimbangan Kekuatan atau Balance of Power
Konsep Balance of Power (BOP) beranggapan bahwa perubahan status dan kekuatan
suatu negara akan menimbulkan aksi counter-balancing dari negara lain untuk mencegah
ekspansi yang dilakukan oleh negara tersebut. Proses perimbangan kekuatan ini dapat
mendorong terciptanya stabilitas politik internsional serta hubungan antar negara yang
merasa terancam (T.V. Paul, 2004, hal 23).
Dalam level regional, rising power biasanya menjadi ancaman bagi lainnya. Ketika salah
satu aktor atau koalisi meningkatkan kekuatan militer dalam suatu wilayah, aktor atau
koalisi tersebut akan dianggap sebagai predator yang berbahaya bagi negara tetangga. Untuk
meng-counter bahaya tersebut, biasanya negara yang merasa terancam akan bergabung
dengan great power atau koalisi regional lain yang juga menganggap bahwa negara atau
koalisi ‘itu’ merupakan ancaman, metode ini disebut dengan external balancing. Selain
external balancing, terdapat pula metode internal balancing. Internal balancing dapat

dlakukan dengan cara memodernisasi dan menambah inovasi senjata militer yang dapat
mengimbangi kapabilias kekuatan negara atau koalisi pengancam (T.V. Paul, 2004, hal 24).
Selain digunakan sebagai alat untuk mencegah ekspansi dari aktor lain, Balance of Power
(BOP) juga dapat digunakan sebagai alat untuk melawan kebijakan atau negara yang
revisionis di wilayah regional. Dimana terciptanya negara revionis biasanya disebabkan oleh

suatu negara yang melanggar atau tidak menyetujui status quo yang telah ada terutama soal
Nuclear Biological and Chemical warfare atau NBC (T.V. Paul, 2004, hal 24).

Munculnya negara revionis dalam suatu wilayah regional tentunya akan menjadi
ancaman bagi stabilitas wilayah tersebut. Hal itu akan semakin rumit jika negara pengancam
memiliki angkatan militer, teknologi dan perekonomian yang juga kuat. Untuk itu, Balance
of Power (BOP) diperlukan sebagai sarana untuk mencegah perang (Mearsheimer, 2006, hal

73). Jika negara pengancam menggunakan NBC sebagai ancaman, maka negara atau koalisi
pengimbang juga dapat melakukan hal yang sama untuk menstabilkan kembali situasi dan
kondisi yang memburuk.
Dalam menciptakan Balance of Power (BOP), negara mampu mengadopsi satu dari dua
varian BOP yaitu hard balancing atau soft balancing (T.V. Paul, 2004, hal 31).
a. Hard balancing merupakan strategi yang sering digunakan sebuah negara untuk
mengimbangi negara lain yang sedang menjadi pesaingnya. Negara tersebut akan
menggunakan strategi militer serta menciptakan dan memelihara aliansi formal dengan
negara-negara yang memiliki kepentingan yang sama dengannya (T.V. Paul, 2004, hal
31). Salah satu contoh hard balancing yaitu pada saat terjadi Perang Dunia II, aliansi
Inggris dan Amerika Serika bersatu untuk melawan Jerman yang pada saat itu menjadi
musuh utama banyak negara.

b. Soft balancing secara diam-diam membangun koalisi non-offensive untuk menetralisir
potensi ancaman yang muncul. Hal ini dapat terjadi ketika negara merasa bahwa ia tidak
memiliki cukup kekuatan untuk menyeimbangkan keadaan atas hegemon lain. Soft
balancing, menggunakan lembaga regional atau internasional sebagai koalisinya untuk

membatasi hegemon lain yang dirasa mengancam keamanannya. Koalisi ini bersifat
formal dan dilakukan dalam waktu singkat (T.V. Paul, 2004, hal 31). Contohnya seperti
yang dilakukan oleh negara-negara Eropa Timur. Mereka bekerjasama dengan NATO
untuk menyeimbangi kekuatan Rusia yang sedang melakukan balancing dengan
Amerika Serikat. Selain itu pada tahun 2002-2003, Rusia, Perancis, dan Jerman
bekerjasama dengan UN Security Council untuk mencegah Amerika Serikat berperang
dengan Iraq.

2.1.3. Geopolitik dan Geostrategi
2.1.3.1. Konsep Geopolitik

Geopolitik merupakan alat bagi negara untuk mengontrol dan berkompetisi di
wilayah teritorialnya. Geopolitik juga menjadi bagian dari human geography, yaitu tidak
hanya tentang kondisi geografi saja karena human geography yang dimaksud adalah
kondisi dunia secara keseluruhan dalam berbagai aspek. Kondisi tersebut nantinya

digunakan untuk membuat kebijakan yang tidak hanya kebijakan politik, tetapi juga
kebijakan dalam berbagai aspek misalnya ekonomi dan lain-lain (Colin Flint, 2006, hal
18).
Geopolitik terbagi menjadi tiga jenis yaitu geopolitik klasik, geopolitik moderen, dan
geopolitik postmoderen. Geopolitik klasik menyatakan bahwa sia pa yang mengua sai
laut a ka n mendomina si perda ga ngan dunia da n pada a khirnya a ka n menguasai
dunia . Lauta n merupa ka n kehidupa n, a da banya k sumber da ya ala m di laut. Oleh
ka rena itu, harus membangun a ngkatan laut ya ng kua t untuk menjaga dan
mempertahankannya . Denga n pengertia n tersebut, Ma ckinder da n Haushofer
menyata kan bahwa geopolitik sa ngat erat kaita nnya d enga n geografi secara fisik
da n negara a da la h pemilik hegemoni tertinggi untuk mengatur kegia ta nnya seperti
mela kuka n ekspa nsi wila yah teruta ma la ut (Colin Flint, 2006, hal 34).
Berbeda

denga n

geopolitik klasik,

geopolitik moderen


berangkat

da ri

pemikiran-pemikira n ka um neoliberal dan kritis yang menyebutka n ba hwa
geoekonomi sekarang telah mendominasi kebijakan ya ng dibua t oleh neg a ra di
dunia . Setiap nega ra aka n berkompetisi untuk membangun negaranya ya ng tida k
didominasi oleh sektor militer namun melalui kerjasa ma yang berujung pa da sektor
ekonomi. Selain itu, konsep geopolitik klasik sanga tlah tra disiona l da n tida k la gi
relevan diguna kan pa da dunia moderen yang lebih multipolar (Colin Flint, 2006, hal

40).
Seda ngkan geopolitik postmoderen lebih menekankan ba hwa dunia ini tela h
berkemba ng lebih dari moderen, geopolitik tida k hila ng namun ruang -rua ng ya ng
sebelumnya dapat terliha t jela s mula i beruba h seca ra membingungkan. Ada nya
revolusi teknologi yang ditimbulka n oleh globa lia si tela h melema hka n pera n
nega ra .

O


Thuata il membahas

eksistensi

geopolitik posmoderenisme yang

menyebabkan krisis identitas. P erkembanga n dunia sema kin bergu lir sehingga kia n
mengura ngi per anan negara ata s kontrol komunika si da n informasi yang juga turut

menyebabkan degra dasi lingkunga n. Dengan kata la in, geopolitik postmoderen
cenderung menga ra hka n pada bentuk teritorial yang sema kin sa ma r akibat
kemajua n teknologi serta meningkatnya kepentinga n terkait sektor ekonomi (O
Thuata il, 1996).

2.1.3.2. Hubungan antara Geopolitik dan Geostrategi

Jika geopolitik adalah a la t kekua sa an da n kekuatan negara untuk berkompetisi
di wila ya h teritorialnya , ma ka geostrategi merupa ka n suatu strategi nega ra dala m
memanfa atka n kondisi geogra finya untuk menentukan kebija ka n, tujua n da n sarana
dala m ra ngka menca pai tujua n nasional. Antara geopolitik dan geostrategi saling

erat berka ita n dima na geopolitik bertumpu pada geogra fi sosia l (hukum geogr afis),
mengenai situasi, kondisi atau konstela si geogra fi dan segala sesuatu yang
dia ngga p releva n denga n kara kteristik geografi suatu negara (Colin Flint, 2006, hal

19). Dala m hubunga nnya, anta ra geopolitik dan geostrategi, geografi yang
dima ksud tida k secara murni berda sa rka n pada leta k geografis suatu negara saja
na mun juga berdasarka n pada hubunga n antar institusi politik negara dengan
kondisi geografis disekitarnya . Denga n demikian hal itu da pa t disebut dengan
geogra fi politik a ta u political geography.
Geopolitik sendiri memiliki empat unsur pemba ngun yaitu keadaa n geografis,
kea da an politik dan strategi, hubunga n timba l balik a ntara geografi dan politik,
serta kebija kan suatu nega ra . Untuk itu, anta ra geopolitik dan geografi politik
memiliki beberapa pera nan penting. P erta ma, menghubungka n kekua sa an negar a
dengan

potensi

alam ya ng

ada.


Kedua, menghubungka n

kebijakan

sua tu

pemerinta ha n denga n situasi da n kondisi a la m sehingga a ka n mempenga ruhi
pembuata n kebija kan luar da n dala m negeri. Ketiga, berusa ha untuk meningkatka n
posisi dan kedudukan negara sehingga membena rkan tinda ka n ekspa nsi ya ng
dijala nka n oleh sua tu negara (Colin Flint, 2006, hal 19).

Dengan melihat penjabaran teori-teori diatas, baik teori neoralisme dan Balance of Power
digunakan untuk menjelaskan mengenai pola perilaku negara, situasi dan kondisi yang terjadi
antara Jepang dan Cina yang sedang mengalami konflik persengketaan di wilayah Laut Cina
Timur. Sedangkan teori geopolitik dan geostrategi digunakan sebagai penjelas akan

pentingnya kepulauan Senkaku/Diaoyu bagi Jepang dan Cina. Dimana kepulauan ini
merupakan jalur dagang di wilayah Asia Timur, memiliki banyak potensi laut dan migas
yang begitu banyak bagi sebuah negara, serta menjadi lokasi yang strategis bagi Jepang
maupun Cina dalam memantau keadaan atau situasi dari negara-negara tetangga demi
menjaga keamanan dalam negeri.
Mela lui teori neorealisme, tinda ka n ya ng dilakukan oleh Jepa ng dan Cina da lam
mempertahankan kepula uan Senka ku/Diaoyu merupakan sala h sa tu ca ra bagi mereka
untuk mencapai kepentingan ya ng sa ma ya itu menjadi grea t power ba gi negara la in.
P osisi geogra fis kepula uan Senka ku/Diaoyu ya ng strategis kemudian menarik Jepa ng
da n Cina untuk saling kla im serta meningka tka n a ktivitas militernya di wila yah
sengketa.

Berdasarkan pada konsep Balance of Power (BOP), dapat dijelaskan bahwa Jepang dan
Cina sama-sama merasa terancam atas peningkatan aktivitas militer yang terjadi di wilayah
regional mereka. Cina sebagai The New Rising Power dianggap sebagai pembawa ancaman
terbesar bagi Jepang yang menjadi salah satu negara tetangga terdekat Cina di regional Asia
Timur. Jepang melihat bahwa peningkatan aktivitas militer Cina yang massive dapat
mengancam stabilitas keamanan di wilayah regional tersebut. Untuk itu, sebagai
penyeimbang kekuatan Cina, maka kemudian Jepang turut mengikuti jejak Cina untuk
meningkatkan anggaran serta kekuatan militernya secara besar-besaran sebagai alat
keamanan serta ancaman terhadap aktivitas Cina begitupun sebaliknya.

2.2. Penelitian Terdahulu
2.2.1. Buku “Sovereign Rights and Territorial Space in Sino-Japanese Relations:
Irredentism and the Diayou/Senkaku Islands” (2000).

Oleh : Unryu Suganuma
Dalam bukunya, Unryu Suganuma membahas mengenai hukum, teritorial udara maupun
laut, hingga berbagai macam perspektif yang dapat melatar belakangi konflik kepulauan
Diayou/Senkaku. Pada Sub Bab yang berjudul “To Whom Do the Diayou Islands Belong?
The Law of the Sea Analysis”, Unryu menjelaskan bahwa belum ada hukum internasional
yang dapat digunakan untuk menjelaskan dan menyelesaikan konflik atas kepulauan
Diayou/Senkaku. Hal tersebut menciptakan berbagai macam argumen dibandingkan solusi

dari ahli-ahli hukum dunia. Disamping itu, dokumen-dokumen yang diberikan oleh Jepang
dan Cina sama-sama memiliki kekuatan untuk diserahkan ke IJC (International Court of
Justice).

Pada konferensi UNCLOSS III tahun 1993, Jepang dan Tiongkok sama-sama tidak dapat
menjalankan beberapa kesepakatan yang mendekatkan mereka dari konflik, kedua negara
sama-sama mengingkari kesepakatan untuk kepentingan mereka masing-masing dan
berlanjut ketahun-tahun setelahnya. Kedua negara saling menonjolkan kekuatan dan
terkhusus untuk Jepang, ia seringkali mengandalkan AS sebagai tameng kekuatannya
terhitung dari UNCLOSS I-III.
Buku ini menjukkan bagaimana sengketa wilayah anatara Jepang dan Cina menjadi
begitu rumit karena kedua negara sama-sama memiliki kepentingan berbeda untuk wilayah
sengketa. Jika memang ada kepentingan yang samapun, kesepakatan yang dilakukan akan
sulit untuk tercapai karena sebagai negara yang sama-sama menyatakan kedaulatannya atas
kepulauan Senkaku/Diaoyu, baik Jepang dan Cina tidak secara gampang mau berbagi atau
menciptakan kesepakatan yang berujung kerjasama. Walaupun demikian, buku ini lebih
menjelaskan sengketa kepulauan Senkaku/Diaoyu berdasarkan pandangan hukum dan bukan
berdasarkan pandangan HI yang tentu saja bertolak belakang. Selain itu, dalam buku ini
penulis hanya menceritakan sejarah kronologi terjadinya konflik antara Jepang dan Cina
sehingga dampak-dampak yang ditimbulkan dalam konfik ini tidak dijelaskan. Strategi
Jepang dan Cina dalam mempertahankan wilayah sengketa sebagai bagian dari negara juga
kurang menjamah pada aktivitas miter kedua negara.
2.2.2. Jurnal “Japanese-Chinese territorial disputes in the East China Sea-between
military confrontation and economic cooperation ” (2008).

Oleh : Reinhard Drifte
Dalam working papernya, Reinhard Drifte menyebutkan bahwa peningkatan intensitas
militer Cina dapat dipengaruhi oleh meningkatnya kerjasama militer antara Jepang dan
Amerika Serikat. Sedangkan bagi Jepang, peningkatan aktivitas militer yang juga ia lakukan
merupakan tindakan atas Cina yang tidak menunjukkan transparansi terhadap kegiatan
militer yang ia lakukan.
Kepulauan Senkaku/Diayou yang menjadi fokus Jepang dan Cina dalam memperebutkan
wilayah, membuat kedua negara semakin menggila dalam meningkatkan aktivitas militer

baik melalui jalur laut ataupun udara. Keduanya saling melakukan konfrontasi atas wilayah
tersebut dengan alasan pelanggaran kedaulatan negara, padahal terdapat alasan atau
kepentingan strategis lainnya seperti kandungan migas di wilayah tersebut. Hal ini dapat
terlihat dari perilaku kedua negara yang sama-sama mencoba untuk melakukan penelitian
dan eksplorasi minyak di wilayah persengketaan. Keduanya juga sempat beberapa kali
melakukan joint development namun berujung pada kegagalan.
Melalui investigasinya, Drifte menyebutkan bahwa perilaku Jepang telah berubah dan
akan terus berubah dalam menghadapi perilaku Cina terutama dalam hal persengketaan
wilayah. Jepang terlihat menolak kekuatan yang dimiliki Cina melalui peningkatan aktivitas
yang dapat mendukung negaranya dalam membangun kekuatan. Disisi lain, Cina beserta
kementerian, perusahaan minyak, serta angkatan lautnya bersama-sama berusaha untuk
mendapatkan otonomi yang lebih atas wilayah sengketa. Oleh pemerintah, kekuatan militer
Cina dikerahkan ke wilayah sengketa dengan cara menempatkan pasukan dan alutsistanya di
pulau-pulau yang berdekatan dengan wilayah Senkaku/Diaoyu. Sedangkan dari sisi
perusahaan minyak Cina, ia mendukung aksi pemerintah dalam meningkatkan aktivitas yang
mendukung perusahaannya melakukan eksplorasi migas ke daerah sekitar sengketa.
Jurnal ini cukup jelas dalam memaparkan tentang persengketaan wilayah Jepang dan
Cina atas kepulauan Senkaku/Diaoyu. Namun sayangnya, jurnal ini tidak membahas tentang
tensi-tensi yang ditimbulkan kedua negara jika pada akhirnya salah satu negara yang
sebelumnya terlihat lebih lemah kemudian bangkit melawan negara yang dianggap lebih
kuat. Hal ini sebenarnya wajar karena pada saat penelitian ini dibuat, Jepang sebagai negara
yang terlihat lemah belum melakukan upaya-upaya peningkatan militer seperti saat ini,
sehingga kekuatan Jepang tidak lagi dapat diacuhkan melihat Cina yang sekarang terlihat
memiliki begitu banyak konflik teritorial yang melibatkannya dibandingkan Jepang.

2.2.3. Skripsi “Diplomasi Jepang dan Amerika Serikat dalam Merespon Peningkatan
Anggaran Militer Tiongkok Periode 2006—2010 ” (2015).

Oleh : Mohamad Reza Tri Satriakhan

Penelitian ini menyimpulkan bahwa Cina memiliki potensi untuk menjadi hegemoni baru
dalam dunia internasional. Kebangkitannya akan mengancam stabilitas keamanan negaranegara di kawasan Asia Timur dan negara yang paling merasakan ancaman terhadap
kebangkitan Cina ini adalah Jepang. Jepang memiliki hubungan sejarah yang buruk dengan
Cina. Hal ini diawali dengan pendudukan Jepang di Cina tahun 1930-an dan terjadi
pelanggaran-pelanggaran kemanusiaan yang dilakukan Jepang terhadap penduduk serta
prajurit Cina. Karena kejahatan kemanusiaan yang dilakukan Jepang terhadap wilayah
jajahannya, maka ia dihukum untuk membatasi kekuatan militernya.
Tahun demi tahun berselang, muncul konflik teritori antara Jepang dan Cina. Kedua
negara saling mengklaim kepulauan Senkaku/Diaoyu sebagai bagian dari wilayahnya. Pada
tahun 2006-2010, Cina mengalami peningkatan anggaran militer yang sangat besar. Jika
pada periode sebelumnya peningkatan anggaran militer Cina hanya berada pada kisaran 1
miliar hingga 3 miliar dolar AS, pada tahun 2006, peningkatan anggaran militer Cina
mencapai 5 miliar dolar AS hingga pada tahun 2010, anggaran militernya melejit hingga
mencapai 14 miliar dolar AS. Periode ini merupakan awal mula terjadinya ancaman besar
terhadap stabilitas keamanan Jepang di wilayah Asia Timur karena pada saat itu hubungan
keduanya sedang memanas akibat sengketa wilayah kepulauan Senkaku/Diaoyu. Konflik
maritim yang terjadi antara Jepang dengan Cina membuat ia memutuskan untuk
meningkatkan power -nya, berupa peningkatan anggaran militer, yang digunakan sebagai
sebuah alat tawar (bargaining power). Untuk mengatasi ancaman tersebut, Jepang mulai
meningkatkan kerjasama dengan Amerika Serikat, dimana hal ini dapat menjadi salah satu
bantuan militer diluar negara Jepang.
Skripsi ini cukup baik dalam menjelaskan tentang sengketa wilayah yang terjadi antara
Jepang dan Cina di wilayah Laut Cina Timur. Tetapi sayangnya penelitian ini hanya
berfokus pada bagaimana Jepang dan Amerika Serikat berkoalisi dalam melawan The New
Rising Power yaitu Cina. Kapabilitas dari Jepang sendiri dalam mempertahankan wilayah

sengketa seperti terlihat hanya didukung oleh kekuatan Amerika Serikat saja, padahal
Jepang sendiri sebenarnya memiliki kemampuan atau kekuatan diluar koalisinya dengan
Amerika Serikat.
Selain itu, prediksi-prediksi tentang kemana sengketa ini akan berakhir tidak disebutkan
karena penelitian ini lebih berfokus pada bagaimana Jepang dan Amerika Serikat saling

bertukar kekuatan untuk mencapai keamanan regional. Padahal jika dilihat kembali,
keterlibatan Amerika Serikat dalam konflik antara Jepang dan Cina sebenarnya lebih dari
masalah kemanan regional atau dunia, hal ini disebabkan karena Amerika Serikat merasa
bahwa dirinya telah kehilangan kontrol atas Asia Pasifik setelah sebelumnya ia berfokus
pada ke wilayah Timur Tengah. Selain itu, Amerika Serikat juga tengah dihantui oleh rasa
takut terhadap kekuatan Cina yang secara perlahan mengikis dirinya sebagai satu-satunya
hegemonic power di dunia.

2.3. Kerangka Pikir Penelitian

Sengketa kepulauan
Senkaku/Diaoyu

Klaim Jepang dan Cina atas
Kepulauan Senkaku/Diayou

Neorealisme
Balance of Power

Geopolitik dan Geostrategi

Strategi militer Jepang dan Cina
dalam mempertahankan kedaulatan di 3.
wilayah sengketa.

Bagan 3.
Kerangka Pikir Penelitian

Dokumen yang terkait

Studi Kualitas Air Sungai Konto Kabupaten Malang Berdasarkan Keanekaragaman Makroinvertebrata Sebagai Sumber Belajar Biologi

23 176 28

ANALISIS KOMPARATIF PENDAPATAN DAN EFISIENSI ANTARA BERAS POLES MEDIUM DENGAN BERAS POLES SUPER DI UD. PUTRA TEMU REJEKI (Studi Kasus di Desa Belung Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang)

23 307 16

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

PENILAIAN MASYARAKAT TENTANG FILM LASKAR PELANGI Studi Pada Penonton Film Laskar Pelangi Di Studio 21 Malang Town Squere

17 165 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

PEMAKNAAN MAHASISWA TENTANG DAKWAH USTADZ FELIX SIAUW MELALUI TWITTER ( Studi Resepsi Pada Mahasiswa Jurusan Tarbiyah Universitas Muhammadiyah Malang Angkatan 2011)

59 326 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

STRATEGI KOMUNIKASI POLITIK PARTAI POLITIK PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH TAHUN 2012 DI KOTA BATU (Studi Kasus Tim Pemenangan Pemilu Eddy Rumpoko-Punjul Santoso)

119 459 25