T1__BAB V Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Menguak Identitas Lesbian di Salatiga dalam Perspektif Erving Goffman T1 BAB V

BAB V
PEMBAHASAN
Setelah peneliti menjabarkan temuan di lapangan serta penjabaran yang relevan pada bab
sebelumnya, pada bab ini penulis akan menggambarkan identitas yang dibawa atau ditunjukan
oleh lesbian di kota Salatiga dengan melihat identitas tersebut dari sudut pandang teori
dramaturgi oleh Erving Goffman. Teori dramaturgi sendiri melihat bahwa terdapat 2 (dua) sisi
yang ada dalam pribadi seseorang dan dibedakan menjadi bagian depan (front) dan bagian
belakang (back) (Goffman,1959). Pada bab pembahasan ini peneliti akan mengkaitkan bagian
depan teori dramaturgi dengan teori komunikasi yaitu Teori Muka oleh Sandra Metts dan
William Cupach dalam teori komunikasi interpersonal dan mengkaitkan bagian belakang dengan
teori komunikasi intrapersonal.
5.1 Bagian Depan (front) Identitas Lesbian di Salatiga
Dalam Presentation of Self in Everyday Life yang ditulis oleh Erving Goffman (1959),
bagian depan dalam teori dramaturgi merupakan bagian yang dapat dilihat secara langsung
oleh “penonton” atau dapat juga dikatakan bahwa bagian ini merupakan bagian yang
memang dengan sengaja ingin diperlihatkan oleh sang aktor. Bagaimana pun uniknya sifat
seseorang dalam identitas psikologisnya, pasti ia memiliki diri sosial atau identitas sosial
dan dapat pula disebut sebagai “penampilan” yang berusaha untuk ditampilkan selama
berinteraksi di publik. Setiap individu akan menyadari bahwa identitas sosial sebagai
“penampilan” tersebut dibangun pula secara sosial yang juga merupakan dampak dari
kepedulian sosial (Budyatna,2015:211-212).

Pada bagian depan ini terdiri dari 3 (tiga) hal pendukungnya, yaitu setting, peralatan
untuk mengkespresikan diri dan penampilan diri. Setting dalam teori ini mengacu pada halhal atau benda mati, perabotan, dekorasi atau tata letak sebagai penunjang bagi sang aktor
dalam berperan. Selain itu, setting juga dapat digambarkan sebagai letak seperti ruangan
kelas, restoran, rumah, dan lain-lain (Budyatna,2011:215).
Dalam menguak identitas lesbian di kota Salatiga ini, setiap lesbian yang menjadi
informan pun memiliki setting masing-masing. Ambar dan Rika memiliki setting bagian
25

depannya ketika mereka berada di lingkungan rumahnya. Lingkungan rumah yang
dimaksudkan adalah ketika mereka berada di tengah-tengah keluarga terdekatnya atau pun
dengan para tetangga di sekitar rumahnya tersebut. Hal ini berbeda dengan Alin. Alin tidak
menggunakan setting tertentu dalam menampilkan identitasnya. Hal ini disebabkan karena
orangtuanya sudah mengetahui perbedaan orientasi seksual Alin dan tidak berusaha untuk
membatasi atau melarangnya.
“Ya tau aja sendiri. Kan kalo sama pacarku kan ya sering tak ajak main ke rumah.
Terus ibuku lama-lama mungkin menyimpulkan sendiri. Terus ya taunya dari
situ. ... Ya cuma tanya, iya apa nggak. Terus aku bilang iya. Tapi ibuku ya nggak
marah, nggak piye-piye. Cuma bilang ya udah. Gitu tok.”1

Di samping itu, teman-temannya pun mengetahui perbedaan orientasi seksualnya sehingga

ia tidak perlu menutupi diri tentang hal tersebut. Setiap individu memiliki keunikan dalam
identitas psikologisnya. Dalam identitas tersebut, manusia pun memiliki diri sosial,
gambaran umum atau yang dapat disebut pula sebagai “penampilan” yang akan ditunjukan
atau ditampilkan selama melakukan interaksi (Budyatna,2015:211-212). Seperti halnya
Ambar dan Rika. Ketika berada di setting mereka yaitu di lingkungan rumahnya, Ambar dan
Rika akan menampilkan diri mereka dengan sewajar mungkin selayaknya anak perempuan
pada umumnya. Seperti misalnya Ambar. Ia berusaha untuk tidak merokok di rumahnya.
Sedangkan Rika menghindari topik-topik pembicaraan yang berkaitan dengan orientasi
seksualnya di rumah. Hal ini disebabkan karena penampilan mereka tersebut telah dibangun
secara sosial oleh lingkungan sosial disekitarnya.
Ambar berusaha untuk menutupi perbedaan orientasi seksualnya di lingkungan rumahnya
karena ia menyadari bahwa lingkungan rumahnya tersebut tidak dapat menerima adanya
perbedaan orientasi seksual seperti yang dimilikinya. Hal ini terbukti dari penggambaran
ibunya tentang Fita, salah seorang warga yang secara tidak sengaja diketahui adalah seorang
lesbian. Secara langsung ibunya mengatakan bahwa lebih baik ibunya meninggal apabila
Ambar adalah seorang lesbian karena Ambar berpenampilan hampir sama dengan Fita
(memiliki potongan rambut cepak dan berpenampilan tomboy).

1


Hasil wawancara dengan informan 2 : Alin di Depot Es Dhaw‟t pada tanggal 23 April 2017

26

Hal yang sama juga terjadi pada Rika. Rika yang awalnya sangat terbuka terhadap
perbedaan orientasi seksualnya baik di rumah maupun di luar rumah, mulai menutupi hal
tersebut ketika ia ketahuan berpacaran dengan teman kampusnya sehingga ia dituntun untuk
hidup normal oleh kedua orangtuanya.
“Dulu, mamaku tahunya dari itu, apa.. temennya dia di sekolah. Kan dia guru,
nah tahunya ya dari temen sesama guru itu. ... dimarahin blablablaa.. Diomongin
„kamu tu harus hidup yang normal‟. Lha aku nggak tahu, hidup yang normal tu
yang kaya‟ gimana. ...”2

Selain setting, pada bagian depan yang digambarkan Erving Goffman pun memiliki
peralatan untuk mengekspresikan diri. Peralatan yang dimaksudkan untuk mengekspresikan
diri ini merupakan hal-hal yang melekat pada sang aktor seperti halnya cara berpakaian,
postur tubuh, usia, jenis kelamin, gaya rambut, gestur, hingga ras. Pada lesbian yang
menyebut diri mereka sebagai butchy dapat dilihat secara langsung bahwa mereka akan
berpakaian layaknya seorang laki-laki. Model pakaian yang dipilih adalah kaos atau baju
atasan dengan model pakaian laki-laki atau pakaian uni-sex sehingga tidak menonjolkan

lekukan tubuhnya. Umumnya pakaian yang digunakan sedikit longgar sehingga bagian dada
atau payudara tidak akan menonjol. Model celana yang dipilih pun adalah celana gombrang
baik celana panjang maupun celana pendek. Untuk gaya rambut, seorang butchy akan
memilih gaya rambut cepak seperti model rambut laki-laki3. Hal ini akan bertolak belakang
dengan peralatan yang digunakan oleh femme dalam mengekspresikan dirinya. Femme akan
cenderung berpenampilan feminine dengan pakaian yang dapat menunjukan bentuk atau
lekukan tubuhnya. Seperti misalnya kaos ketat dan juga celana jeans model pensil. Pilihan
pakaian yang digunakan adalah pakaian yang sesuai dengan ukuran badan dan body-fit.
Sedangkan dari model atau tatanan rambutnya, sebagian besar femme memiliki rambut yang
panjang4.
Pada bagian depan ini, Erving Goffman pun juga berusaha melihat dari sisi penampilan
diri. Penampilan diri yang dimaksudkan lebih mengarah pada penampilan dan sikap.

2

Hasil wawancara dengan informan 3 di Food Court Kampoeng Kemiri pada tanggal 9 Juni 2017
Hasil observasi pada penampilan butchy
4
Hasil observasi terhadap penampilan femme
3


27

Penampilan mengacu kepada rangsangan yang memiliki fungsi untuk membuat para
penonton menyadari status sosial dari sang aktor. Di lain pihak, sikap mengacu kepada
rangsangan yang dapat berfungsi sebagai peringatan terhadap apa yang diharapkan sang
aktor akan terjadi dalam sebuah interaksi (Goffman,1959). Sikap yang ditunjukan aktor
dapat berupa kelembutan, agresifitas, sikap ramah dan lain sebagainya. Hal ini akan nampak
pada saat sang aktor melakukan interaksi dan dapat ditunjukan melalui ekspresi wajah atau
parasnya, postur atau pun gerak isyarat tubuhnya (Budyatna,2015:215). Seperti halnya
dengan Rika yang memiliki setting di rumahnya. Di lingkungan rumahnya yang notabene
kedua orangtuanya hanya mengetahui bahwa Rika sedang dalam proses untuk berubah,
maka ketika di rumah ia menjadi sedikit lebih pendiam dan lebih manja. Selain ia anak
perempuan, ia juga anak bungsu dan hanya tinggal ia satu-satunya anak yang tinggal di
rumah. Sehingga ia akan menjadi lebih manja ketika berada di rumah. Di samping itu, ia
mulai jarang mengajak pasangannya untuk berkunjung ke rumahnya sejak kedua
orangtuanya mengetahui perbedaan orientasi yang dimilikinya dan menuntutnya untuk
menjadi „normal‟5. Berbeda halnya dengan sikap yang ditunjukan oleh Ambar. Seperti yang
kita ketahui bahwa keluarga Ambar tidak mengetahui perihal perbedaan orientasi seksual
yang dimilikinya. Di lingkungan rumahnya, Ambar berusaha untuk berperilaku sewajar

mungkin layaknya seorang perempuan heteroseksual di kampungnya. Seperti halnya ketika
diadakan perayaan tujuhbelasan di kampungnya dan ia pun menjadi pembawa acaranya.
“Ya nggak masalah sih. Nek di kampung kadang kan aku juga nge-MC. Kayak
acara-acara tujuhbelasan gitu gitu. Kalau pas suruh pake rok ya aku pake rok.
Pokoknya pake baju yang lebih feminine, ya pantes-pantese aja gimana. Dandan
juga, ning yo tipis-tipis aja ”6.

Pada perayaan tersebut ia tampil dengan dress dan menambahkan makeup tipis di wajahnya.
Selain itu, Ambar berusaha untuk bersikap manis dan lebih santun ketika berada di
lingkungan rumah. Hal ini bertolak belakang dengan penampilannya sehari-hari 7 , serta
bertolak belakang dengan keinginan pribadinya karena ketika salah seorang rekan kerjanya
meminta Ambar untuk sesekali berpenampilan feminine pun ia menolak.

5

Hasil wawancara dengan informan 3 : Rika tanggal 9 Juni 2017
Hasil wawancara dengan informan 1 : Ambar di Angkringan, Jalan Jendral Sudirman pada tanggal 30 April 2017
7
Hasil observasi pada informan 1 di rumah, di kontrakan dan di tempat-tempat umum
6


28

“...Wong kalo tak bilangin „mbok kowe ki rodok feminin sithik‟ malah bilang „hiihh
geli‟...”8

Dalam setiap interaksinya, masing-masing informan akan melakukan interaksi yang
terkoordinasi. Seperti halnya interaksi yang dapat kita jumpai dalam institusi-institusi di
sekitar kita. Ada pun Sandra Metts dan William Cupach dalam Teori-Teori Mengenai
Komunikasi Antar Pribadi yang ditulis oleh Prof. Dr. Muhammad Mudyatna, M.A

memberikan contoh institusi-institusi yang dimaksudkan tersebut misalnya adalah rumah
sakit, tempat kerja hingga restoran. Masing-masing personil dalam isntitusi tersebut mampu
mengatur kegiatan-kegiatan mereka hingga sedemikian rupa untuk melaksanakan peran
mereka. Seperti misalnya staf restoran (pelayan, pemilik, juru masak) yang dengan
sedemikian rupa dapat melaksanakan peran-peran mereka secara terkoordinir. Hal serupa
juga terjadi ketika sang aktor yang mempersiapkan diri mereka untuk tampil di atas
panggung. Setiap tindakan atau perbuatan telah direncanakan baik secara sadar maupun
tidak sadar sehingga mampu menciptakan kesan tertentu kepada penonton atau orang lain
mengenai siapa diri kita agar dapat diterima di lingkungan sosial tersebut.

Ketika seseorang “berpenampilan”, tidak selamanya penampilan tersebut diterima secara
baik di tengah masyarakat. Terkadang seseorang bisa berada pada situasi “mendapat malu”
atau losing face ketika penonton atau orang lain tidak sepakat dengan apa yang kita
tampilkan. Seperti misalnya ketika seseorang sedang berkencan dan gagal karena terlalu
banyak berceloteh dan membuat lelucon, hingga mungkin berbuat bodoh9. Peristiwa losing
face tersebut pula yang dialami oleh Rika hingga akhirnya ia ketahuan oleh kedua

orangtuanya bahwa ia memiliki perbedaan orientasi seksual dan dituntut untuk menjadi
„normal‟ oleh kedua orangtuanya. Hal tersebutlah yang dihindari oleh Ambar agar jangan
sampai orangtuanya mengetahui perbedaan orientasi seksualnya.
“Ya pokoknya jangan sampe pada tahu. Apalagi ibuku. Eh, tapi ibuku pernah
diomongi orang-orang gitu sih. Terus tanya mbek aku. Ya aku mesti njawab endak
lah. Ibuku ki juga pernah bilang nek aku sampe‟ kaya‟ Fita (bukan nama
8

Hasil wawancara dengan informan 4 : Imanuel di Bulu, Tegalrejo pada tanggal 30 Mei 2017
Budyatna, Muhammad.2015.Teori-teori Mengenai Komunikasi Antarpribadi. Prenadamedia Gorup: Jakarta
(hal.216-217)

9


29

sebenarnya), mending ibuku mati aja . Jangan sampe lah pokoknya. Fita ki ya sama,
lesbian juga. Di kampung udah pada tahu. Terus kan aku penampilane ya kaya‟
gini. Rambut pendek banget kaya‟ cowok. Terus ibuku ngomong gitu. Untunge
ibuku ki orange kalau belum lihat sendiri ya belum percaya.”10

5.2 Bagian Belakang (back) Identitas Lesbian di Salatiga
Bagian belakang (back) menurut Goffman (1959) merupakan bagian di mana seorang
individu atau sang aktor mempersiapkan dan menyimpan segala hal untuk penyelenggaraan
pertunjukannya di panggung. Dalam kehidupan sehari-hari, beberapa orang menjadikan
rumah atau kantornya sebagai bagian belakang kehidupannya. Rumah dan kantornya
tersebut merupakan tempat di mana mereka mempersiapkan diri untuk tampil „di atas pentas‟
ketika nantinya hadir orang lain yang bekerja, atau pada peristiwa-peristiwa sosial lainnya
(Budyatna,2015:215). Namun bagian belakang yang ditunjukan oleh Ambar adalah ketika ia
berada di luar rumahnya

11


. Begitu pula dengan Rika. Ambar menunjukan bagian

belakangnya ketika ia berada di kontrakan dan juga di tempat kerjanya. Sedangkan Rika
benar-benar menunjukan bagian belakangnya ketika ia berada di kampus atau ketika ia
berkumpul dengan teman-temannya12.
Ketika sebuah pesan komunikasi tentang “konsep diri atau identitas seorang lesbian”
menjadi stimulus bagi pelakunya, maka setiap individu atau sang aktor mampu melahirkan
tanggapan yang beragam. Adanya perbedaan dalam memberikan tanggapan tersebut
disebabkan karena setiap individu memiliki keadaan diri yang berbeda-beda. Sehingga
sebuah pesan pun akan dimaknai berbeda oleh penerimanya bergantung pada karakteristik
penerimanya. Proses pengolahan informasi tersebut dalam komunikasi intrapersonal
meliputi sensasi, persepsi, memori dan berpikir (Rakhmat,2011).
1. Sensasi
Setiap individu memiliki perbedaan dalam mendapatkan atau menerima sensasi.
Perbedaan sensasi tersebut dipengaruhi oleh adanya perbedaan pengalaman atau
lingkungan budaya yang dilalui seseorang. Di samping itu ada pula pengaruh dari
perbedaan kapasitas alat indera yang berbeda. Perbedaan kapasitas alat indera pun

Hasil wawancara dengan informan 1 : Ambar di Depot Es Dhaw‟t pada tanggal 23 April 2017
Hasil observasi pada informan 1 di lingkungan ketja, kontrakan dan tempat-tempat umum

12
Hasil observasi dengan informan 3 di kampus, di lingkungan teman-temannya dan tempat-tempat umum

10

11

30

dapat memengaruhi perbedaan dalam memilih pekerjaan atau jodoh, jenis musik
yang didengarkan, atau hingga pada pilihan kita untuk mendengarkan saluran radio
tertentu.
Proses pengolahan informasi pada tahap sensasi ini mampu membangun konsep
diri atau identitas seseorang. Konsep diri muncul dalam proses komunikasi kita
dengan orang lain. Orang tua Rika merupakan sumber rangsangan yang dapat
membentuk konsep diri Rika ketika kedua orangtuanya menginginkan untuk
memiliki anak laki-laki. Ketika lahir seorang bayi perempuan, yaitu Rika, orang tua
Rika mendidik, mengajarkan serta memfasilitasi Rika layaknya seorang anak lakilaki dengan bermain bola, mobil-mobilan, layang-layang dan mengajarkan beberapa
hal tentang otomotif. Meskipun berpenampilan layaknya anak perempuan pada
umumnya, namun konsep diri yang terbangun dalam dirinya adalah konsep diri
seorang anak laki-laki.
“...dulu tu kan papaku sebenernya pengen punya anak cowok to. Cuma ya
keluarnya aku. Ya karena papaku pengen banget anak cowok, terus aku
ya diajari sama papaku kayak anak cowok. Mainan-mainan yang dikasih
ke aku juga maianan yang biasane buat anak cowok.” 13

George Herbert Mead dalam Julia T. Wood (2013) menjelaskan bahwa terdapat
dua perspektif dalam kita mengembangkan konsep diri, yaitu perspektif dari orang
terdekat dan perspektif dari orang lain pada umumnya. Orang terdekat pada
umumnya adalah orang yang mampu memberikan makna tersendiri dan memiliki arti
khusus dalam kehidupan seseorang. Bagi bayi dan atau anak-anak, orang terdekatnya
dapat berasal dari keluarga dan atau pengasuh anak. Awal terbentuknya konsep diri
pada bayi atau anak diawali saat bayi atau anak tersebut mulai berinteraksi dengan
orang terdekatnya sehingga ia dapat belajar tentang bagaimana orang lain
memandang terhadapnya. Umumnya, anggota keluarga merupakan orang pertama
yang dapat memberikanpengaruh pada pembentukan konsep dri seseorang. Seperti
misalnya ayah, ibu, saudara kandung, atau dapat pula pengasuh anak. Berdasarkan
hasil wawancara yang dilakukan peneliti terhadap Ambar, peneliti melihat bahwa
keluarga menjadi salah satu pengaruh yang penting dalam pembentukan konsep

13

Hasil wawancara dengan informan 3 : Rika di UKSW pada tanggal 28 April 2017

31

dirinya sebagai lesbian. Hal ini dapat dilihat dari kepergian ayahnya, yang kemudian
dilanjutkan dengan kehamilan diluar pernikahan yang dialami kakak perempuannya,
serta keponakannya yang menghamili seorang gadis sebelum menikah. Peristiwaperistiwa yang terjadi pada awal perjalanan hidupnya pun menjadi faktor pendorong
sebuah sensasi bagi dirinya dalam memilih pasangan.
“Ya karena aku lebih tertarik sama cewek. ... Soalnya juga pacaran sama
cewek kan nggak beresiko”.14

2. Persepsi
Sensasi dan persepsi memiliki hubungan yang saling memengaruhi karena sensasi
merupakan bagian dari persepsi. Persepsi sendiri merupakan bagian dari pengalaman
seseorang berkaitan dengan suatu objek, peristiwa atau hubungan-hubungan tertentu
yang diperoleh melalui penyimpulan terhadap sebuah informasi dan penafsiran pesan.
Namun dalam penafsiran pesan tersebut juga diperlukan adanya atensi (perhatian),
ekspektasi, motivasi dan memori (Desiderato dalam Rakhmat,2011:50). Selain itu,
dalam persepsi juga terdapat dua faktor yang berperan dalam memengaruhi persepsi
itu sendiri, yaitu faktor fungsional dan faktor struktural.
2.1 Faktor fungsional
Drs. Jalaluddin Rakhmat, M.Sc dalam bukunya yang berjudul Psikologi
Komunikasi menjelaskan bahwa faktor fungsional merupakan salah satu faktor

yang bersifat personal. Dalam hal ini yang dimaksudkan sebagai faktor personal
yaitu dapat berasal dari kebutuhan atau pun pengalaman masa lalu. Secara
fungsional persepsi bersifat selektif. Seperti misalnya kesiapan mental yang
dimiliki satu inividu terhadap sebuah situasi akan berbeda dengan individu yang
lain. Dalam penelitian ini peneliti melihat bahwa kesiapan mental yang
digambarkan oleh Ambar, Alin dan Rika memiliki kesamaan, namun juga
terdapat perbedaan pada sisi tertentu berkaitan dengan identitas yang mereka
bawa dan tunjukan di tengah masyarakat. Hal yang menjadi kesamaan bagi
ketiga informan penelitian ini terletak pada kesiapan mereka dalam menghadapi
komentar yang muncul di tengah masyarakat tentang perbedaan orientasi yang

14

Hasil wawancara dengan informan 1 : Ambar di Angkringan pada tanggal 30 April 2017

32

mereka miliki. Ketiga informan tersebut mengaku bahwa dalam berinteraksi di
tengah masyakat mereka cenderung cuek15.
“Ya nggak tahu pada piye. Nek aku kan santai. Sing penting aku
koyo’ ngene. Meh konconan monggo, ora yo ra masalah. Aku sih santai
orange.”16
“Nggak gimana-gimana mbak. Ya pada biasa aja. Aku juga biasa aja,
kan juga pada tahu mbak kalo aku sukanya yang tomboy-tomboy
gitu.”17
“..Yo .... mbuh ya.. Aku sih luweh. Sing penting kan aku emang kaya‟
gini. Meh piye?”18

2.2 Faktor Struktural
Faktor struktural merupakan faktor yang berasal dari sifat stimulus tersebut
serta efek-efek yang ditimbulkannya pada sistem saraf individu. Seorang individu
mampu mengorganisasikan stimulus berdasarkan konteksnya. Sehingga meskipun
stimulus yang diterimanya tidak lengkap, namun seorang individu tetap mampu
memberikan interpretasi yang konsisten dengan rangkaian stimulus yang
dipersepsikan (Rohim,2009). Seperti halnya stimulus yang diterima oleh Ambar,
yaitu berupa peristiwa-peristiwa pada masa awal hidupnya tentang laki-laki yang
kemudian mengubah daya tariknya secara seksual. Begitu pun hal yang terjadi
dengan Rika ketika sejak sebelum lahir kedua orang tuanya menginginka bayi
laki-laki namun yang lahir adalah bayi perempuan dan kemudian dididik layaknya
anak laki-laki. Stimulus-stimulus ini menjadi pendorong munculnya perbedaan
orientasi seksual bagi informan dalam penelitian ini.
Penolakan terhadap perbedaan orientasi seksual yang diterima sebagai
feedback orang lain terhadap para informan dalam penelitian ini pun menjadi

stimulus bagi informan dalam membentuk persepsi mereka. Rika yang pernah
ketahuan oleh kedua orangtuanya saat memiliki hubungan dengan sesama
perempuan akhirnya dituntut kedua orangtuanya untuk menjadi normal, menjalani
hidup yang normal. Namun di sisi lain, kehidupan normal yang diketahui oleh

15

Cuek = bersikap acuh atau tidak mempedulikan
Hasil wawancara dengan informan 1 : Ambar di Depot Es Dhaw‟t pada tanggal 23 April 2017
17
Hasil wawancara dengan informan 2 : Alin di Depot Es Dhaw‟t pada tanggal 23 April 2017
18
Hasil wawancara dengan informan 3 : Rika di Food Court Kampoeng Kemiri pada tanggal 9 Juni 2017
16

33

Rika adalah kehidupan sebagai lesbian yang memang selama ini ia jalani.
Sehingga pada akhirnya ia melakukan penyimpulan untuk mengurangi
keterbukaan identitasnya sebagai lesbian di rumahnya.
“...Di sidang gitu, dimarahin blablablaa.. Diomongin „kamu tu
harus hidup yang normal‟. Lha aku nggak tahu, hidup yang normal tu
yang kayak gimana. Maksudnya dari kecil pun aku tahunya aku suka
19
sama cewek gitu lho. ...”

3. Memori
Memori memiliki peranan penting dalam memengaruhi persepsi maupun berpikir.
Memori sendiri merupakan sistem yang sangat terstruktur dan berperan dalam
merekam fakta-fakta yang ada. Fakta-fakta yang terekam ini mampu menjadi
pengetahuan dalam membimbing perilaku seseorang. Pada saat duduk di bangku
SMP, Ambar mengetahui bahwa saat ia melihat seorang perempuan dan perempuan
tersebut tersenyum padanya, ia merasa sangat gembira. Pengetahuan akan perasaan
tersebut membimbingnya untuk semakin tertarik dengan perempuan.
“Sejak SMP kayaknya. Dulu tu aku suka lihat cewek-cewek yang
menurutku cantik gitu. Lha terus kalau pas pada tahu kalau tak liatin
pada senyum. Pas disenyumin tu rasane gimana ,,,,, gitu. Langsung
seneng banget pokoke.”20

Rika pun mengetahui sejak ia kecil atau balita, ia memiliki ketertarikan dengan
perempuan dan bermula saat ia tertarik pada babysitter -nya. Hingga saat ini pun ia
masih mengingat dengan jelas sosok babysitter -nya tersebut. Alin yang sejak duduk
di bangku SD juga lebih sering bermain dengan teman laki-laki. Saat Alin ikut
menggoda anak-anak perempuan yang melintas di depan mereka, ia mengetahui
bahwa ia lebih tertarik untukmenggoda anak-anak perempuan yang terlihat tomboy.
Hal tersebut membentuk perilakunya dalam memilih pasangan (di samping faktorfaktor lain yang dapat memengaruhi perbedaan orientasi seksual yang dimilikinya).
Otak manusia dianalogikan sama dengan sebuah komputer. Dalam teori
pengolahan informasi (Information theory), informasi mula-mula disimpan di
sensory storage (gudang penyimpanan inderawi), kemudian masuk ke memori

jangka pendek (STM/short-term memory). Apanlia informasi tersebut dapat

19
20

Hasil wawancara dengan informan 3 : Rika di Food Court Kampoeng Kemiri pada tanggl 9 Juni 2017
Hasil wawancara dengan informan 1 : Ambar di Depot Es Dhaw‟t pada tanggal 23 April 2017

34

dipertahankan di STM, maka informasi akan disimpan dan masuk sebagai memori
jangka panjang (Long-term memory). Memori jangka panjang inilah yang umumnya
kita kenal sebagai ingatan.
4. Berpikir
Berpikir merupakan proses keempat atau terakhir yang berperan dalam
memengaruhi penafsiran kita terhadap stimulus. Berpikir yang kita lakukan
merupakan suatu proses yang melibatkan sensasi, persepsi dan memori kita. Di
samping itu, berpikir juga melibatkan penggunaan lambang, visual atau pun grafis.
Tujuan dari berpikir itu sendiri sebenarnya dilakukan agar kita dapat memahami
realitas dalam pengambilan keputusan, pemecahan masalah, dan menghasilkan
sesuatu yang baru.
Menentukan sebuah keputusan dapat memengaruhi atau menentukan masa depan
seseorang. Seperti halnya ketika seorang perempuan memutuskan bahwa memang ia
memiliki ketertarikan dengan sesama perempuan, maka keputusan yang dibuatnya
tersebut pun menjadikannya sebagai seorang lesbian. Ketika Rika menyatakan bahwa
ia tidak dapat percaya dengan siapa pun, hal tersebut memengaruhi hal yang berkaitan
dengan hubungan yang lebih intim yaitu dengan pasangannya.
“...aku membayangkannya jangka panjang. Misalnya temen masuk ke
kamarku ya nggak apa-apa, main. Nah kalau nikah kan setiap waktu,
tiap hari. Jadi aku harus cari orang yang nggak bakalan nyentuh barangbarangku ... dan aku juga bilang mbek pacarku sekarang kalau misalnya
nikah besok aku bakal bangun rumah yang kamarnya sendiri-sendiri.
Kamu nggak boleh masuk kamarku, tapi kalau aku masuk kamarmu
boleh. Aku nggak tau sih perasaannya dia kayak apa pas aku ngomong
gitu. Jadi mungkin orang susah nerima aku kayak gitu.”21

Pun ketika Ambar ditanyai tentang menikah oleh ibunya yang notabene tidak
mengetahui bahwa ia adalah seorang lesbian, maka ia memutuskan untuk mengatakan
bahwa ia akan menikah ketika semua keinginannya sudah tercapai.
“Yo aku bilang we, nek kepengenku wes kabeh , wes terlaksana, gek aku
mikirke nikah. ...”22

21
22

Hasil wawancara dengan informan 3 : Rika di Food Court Kampoeng Kemiri pada tanggal 9 Juni 2017
Hasil wawancara dengan informan 1 : Ambar di Angkringan pada tanggal 28 April 2017

35

Namun sejatinya ia sendiri pun sebenarnya hanya tidak ingin ibunya mengetahui
keadaan bahwa ia adalah seorang lesbian. Drs. Jalaluddin Rakhmat, M.Sc pun
menyebutkan beberapa poin bahwa:
Setiap keputusan selalu memiliki tanda-tanda umum seperti misalnya (1)
keputusan tersebut merupakan hasil dari berpikir dan hasil usaha
intelektual, (2) keputusan yang dibuat melibatkan pilihan-pilihan dari
berbagai alternatif, (3) keputusan selalu melibatkan sebuah tindakan
nyata,meskipun pelaksanaannya dapat ditangguhkan atau dilupakan.

Setiap informan memiliki permasalahan yang berbeda-beda berkaitan dengan
perbedaan orientasi seksual yang mereka miliki. Pada kasus yang dialami Ambar,
keluarganya tidak mengetahui adanya perbedaan orientasi seksual yang dimilikinya.
Sehingga keluarganya beranggapan bahwa Ambar adalah perempuan heteroseksual. Di
sisi lain, Ambar pun sangat tidak menginginkan keluarganya untuk mengetahui
perbedaan orientasi seksualnya sehingga ia merasa perlu berusaha untuk menikah
dengan laki-laki sesuai keinginan ibunya.
“...Aku sih cuma pengen menuhi kepengene ibuku. Cuma sampe saiki
yo angel sih. Nek aku mikire ya aku nggak bisa selamanya „menggok‟
gini terus. Suk mben yo kudu „lurus‟ meneh.”23

Pada kasus yang dialami Rika pun berbeda. Ketika orangtuanya terpaksa
mengetahui bahwa Rika adalah seorang lesbian, maka kedua orangtuanya menuntut
Rika untuk berubah dan hidup „normal‟. Sedangkan Rika sendiri tidak dapat
memahami dengan pasti kehidupan normal seperti apa yang memang diinginkan oleh
kedua orangtuanya. Setelah adanya permasalahan tersebut, Rika pun berusaha
berubah walaupun pada akhirnya ia tidak bisa. Sedangkan kedua orangtuanya hanya
mengetahui bahwa sejauh ini Rika masih dalam proses untuk berubah.
Sedangkan bagi Alin, yang menjadi permasalahan baginya bukan karena
keluarganya yang menolak perbedaan orientasi seksual yang dimilikinya. Namun
lebih kepada melanjutkan silsilah keluarganya karena ia adalah anak tunggal.
Dari hasil proses yang terjadi secara intrapersonal tersebut, setiap informan dalam
penelitian ini memiliki cara masing-masing dalam menunjukan dan menjaga
identitasnya. Adanya panggung belakang atau bagian belakang (back) dalam teori
dramaturgi yang dikemukakan oleh Erving Goffman (1959) menunjukan bahwa
23

Hasil wawancara dengan informan 1 : Ambar di Angkringan pada tanggal 28 April 2017

36

Ambar dan Rika sebagai butchy akan lebih nyaman menunjukan identitasnya sebagai
lesbian ketika mereka berada di lingkungan kerja dan lingkungan kampus atau
dengan kata lain di depan teman-temannya. Mereka lebih percaya diri untuk
mengungkapkan identitasnya sebagai seorang lesbian dengan penampilan tomboy
mereka. Berbeda dengan Alin yang baik keluarga maupun lingkungan sosialnya
sudah mengetahui perbedaan orientasi yang dimilikinya. Sehingga Alin tidak perlu
bermain peran dalam panggung depan atau pun belakang.

37