Analisis Interjeksi pada Buku Teks BIPA

Analisis Interjeksi pada Buku Teks BIPA Tingkat Pemula
Septian Cahyo Putro1
Abstrak
Interjection is unique linguistic devices. Unique because it is often
marginalized when it is not rarely cause ambiguity. Ambiguity may occur because
the meaning of interjection is very dependent on the context and the position of
the interjections in a conversation. Interjection almost inseparable in the
activities of teaching speaking skills. In every conversation published in language
teaching textbooks, there is almost certainly interjection tucked in there.
Unfortunately, not found a specific discussion on this matter, even with the
explanation of the meaning of interjection that comes up in conversation. This
problem then encourages researchers to uncover interjections contained in
textbooks BIPA both in terms of quantity, meaning, and classification. Findings
show interjection in the book is quite diverse and are not given an explanation of
its meaning.
Pendahuluan
Interjeksi menurut Moeliono (1988: 243) adalah kata tugas yang
mengungkapkan rasa hati manusia misalnya, sedih, heran, atau jijik. Orang
memakai kata tertentu di samping kalimat yang mengandung makna pokok yang
dimaksud. Frekuensi kemunculan interjeksi dalam bahasa lisan maupun bahasa
tulis cukup tinggi. Namun, bentuk ini sering kali termarjinalisasi dan dianggap

sepele.
Hampir setiap bahasa di dunia memiliki interjeksi. Bahkan, konon interjeksi
adalah bahasa tertua umat manusia. Interjeksi sering ditemukan dalam bahasa
percakapan tapi tidak sedikit juga dalam bahasa tulis. Bahasa Indonesia adalah
salah satu bahasa yang cukup kaya akan interjeksi baik lisan maupun tulisan.
Bentuk interjeksi tulis pada bahasa Indonesia tidak sedikit yang muncul dalam
buku teks bahasa Indonesia bagi penutur Indonesia maupun bagi penutur asing.
Bagi penutur jati bahasa Indonesia mungkin memaknai interjeksi bukanlah hal
yang sulit namun hal ini bisa menjadi masalah serius bagi penutur nonjati—dalam
1

Pengajar bahasa dan mahasiswa S2 Jurusan Linguistik, Universitas Indonesia.

1

2

kasus ini yaitu pemelajar BIPA. Tanpa penjelasan tentang makna dan jenis
interjeksi mereka bisa terjebak dalam ambiguitas makna. Padahal bentuk-bentuk
interjeksi tidak sedikit kemunculannya dalam buku teks BIPA.

Masalah inilah yang membuat peneliti tertarik untuk menganalisis interjeksi
yang terdapat pada buku teks BIPA “Lentera Indonesia 1: Tingkat Pemula”
mencakup jenis, klasifikasi, dan makna interjeksi. Dengan demikian, penulis ingin
mengajukan beberapa pertanyaan dalam penelitian ini yaitu, 1) Apa itu interjeksi?
2) Apa saja interjeksi yang terdapat dalam buku teks BIPA? 3) Bagaimana
mengklasifikasi temuan tersebut? 4) Apa makna temuan interjeksi tersebut?
Pemilihan buku teks tersebut karena buku ini adalah buku resmi dari Pusat
Bahasa Depdiknas yang telah dijadikan acuan bagi penyusunan bahan ajar BIPA
di Universitas Islam Negeri Syarif Hidyatullah Jakarta dan mungkin juga
dijadikan acuan bagi institusi BIPA yang lain. Perannya sebagai buku acuan
mengharuskan buku tersebut untuk melakukan revisi dan perbaikan demi
meningkatkan kualitas materi, karena itulah peneliti berusaha menganalisis satu
bagian penting buku yaitu interjeksi. Pemilihan buku tingkat pemula dilakukan
dengan tujuan menganalisis bentuk-bentuk interjeksi yang muncul pada tingkat
pemula, sehingga pemelajar dapat mengenali interjeksi bahasa Indonesia sejak
awal belajar dengan benar.
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat baik secara teoritis
maupun praktis dalam bidang pengajaran BIPA. Manfaat teoritis penelitian ini
yaitu penelitian ini diharapkan mampu memberikan deskripsi mengenai interjeksi
Bahasa Indonesia yang sering digunakan dalam percakapan dan memberikan

sumbangan bagi pengembangan buku teks BIPA terkait materi interjeksi Bahasa
Indonesia. Sedangkan manfaat praktisknya yaitu menambah khazanah penelitian
tentang interjeksi, membantu pemelajar maupun pengajar BIPA dalam memahami
interjeksi Bahasa Indonesia, memberikan pengetahuan kepada pemelajar BIPA
tentang penggunaan interjeksi yang baik dan benar.
Interjeksi
Interjeksi adalah kategori yang bertugas mengungkapkan perasaan pembicara
dan secara sintaksis tidak berhubungan dengan kata-kata lain dalam ujaran.

3

Interjeksi bersifat ekstrakalimat dan selalu mendahului ujaran sebagai teriakan
yang lepas atau berdiri sendiri. Inilah yang membedakannya dari partikel fatis
yang dapat muncul di bagian ujaran manapun, tergantung dari maksud pembicara
(Kridalaksana, 1994: 121).
Sejalan dengan itu, Wedhawati (2006: 417) juga mengungkapkan bahwa
interjeksi adalah kata yang mengungkapkan perasaan pembicara. Di dalam
kalimat keberadaan interjeksi memiliki kedudukan sederajat dengan kalimat.
Interjeksi bukan merupakan bagian integral dari kalimat seperti kategori lain.
Selain muncul sebagai konstituen kalimat, interjeksi juga dapat berada di luar

kalimat. Artinya, interjeksi dapat membentuk kalimat tersendiri seperti pada
contoh berikut: Aduh! Cantik sekali kamu malam ini.
Kridalaksana (1994) berusaha memisahkan definisi antara interjeksi dan
ketegori fatis. Menurutnya, kategori fatis tidak dapat dimasukkan ke dalam jenis
interjeksi. Interjeksi bersifat emotif sedangkan kategori fatis bersifat komunikatif.
kategori fatis terbagi atas dua bentuk. Pertama, berbentuk partikel dan kata fatis,
misalnya ah, ayo, deh, dong, ding, halo, kan, kek, kok, nah, dll. Kedua, berbentuk
frase fatis, misalnya selamat, terima kasih, turut berduka cita, dengan horma, dll.
Sejalan dengan kategori fatis, interjeksi juga terbagi atas dua bentuk. Pertama
bentuk dasar (aduh, aduhai, ai, amboi, asyoi, dll) dan kedua bentuk turunan,
biasanya berasal dari kata-kata biasa atau penggalan kalimat Arab (Alhamdulillah,
astaga, brengsek, buset, dubilah, dll).
Perlu juga menjadi catatan bahwa terdapat beberapa partikel/kata yang dapat
digolongkan interjeksi maupun kategori fatis. Karena bagi Kridalaksana
perbedaan mendasar keduanya bukan pada bentuk namun pada makna
partikel/kata. Memang cukup sulit membedakan kedua jenis ini, karena ada pula
yang berpendapat bahwa sebagai pengungkap perasaan dan keinginan, interjeksi
memiliki arti komunikatif (Wedhawati, 2006: 421). Jika demikian berarti
interjeksi adalah bagi dari kategori fatis. Namun pada tulisan ini, peneliti
berkecenderungan mengikuti pendapat Kridalaksana yang membedakan antara

interjeksi dan kategori fatis.
Hal tersebut sejalan dengan definisi yang diberikan oleh Richard dan Schimdt
(2002: 278) bahwa interjeksi mengindikasikan pernyataan atau sikap emosional

4

seperti terkejut, kaget, senang, dan jijik, tapi tidak memiliki makna referensial.
Interjeksi sering dianggap sebagai bagian ujaran. Dalam definisinya, ia
membandingkan antara interjeksi dan eksklamasi. Eksklamasi adalah ujaran yang
tidak memiliki struktur kalimat yang utuh dan menunjukkan emosi yang kuat,
misalnya Good God! Damn! (Ibid, 189).
Berdasarkan pendapat para ahli tersebut, peneliti menarik beberapa butir
kesimpulan mengenai kriteria interjeksi:
1. Interjeksi bersifat emotif (memperkuat ekspresi perasaan penutur) dengan
demikian eksklamasi adalah bagian dari interjeksi.
2. Interjeksi dapat berdiri sendiri di luar kalimat maupun ekstrakalimat dan

selalu mendahului ujaran berupa kalimat lepas.
3. Interjeksi tidak memiliki makna referensial.
4. Interjeksi dapat berupa partikel atau kata.

Agaknya perlu juga dikedepankan bahwa makna interjeksi sangat dipengaruhi
oleh konteks dan posisinya dalam percakapan. Dengan demikian, sebuah bentuk
interjeksi bisa saja digolongkan kedalam dua jenis berbeda. Misalnya
Kridalaksana (1994: 121) yang memasukkan interjeksi aduh dalam jenis interjeksi
kesedihan dan kesakitan. Bahkan menurut saya, interjeksi aduh bisa digolongkan
dalam jenis interjeksi kekaguman, misalnya ketika seorang wanita melihat bayi
yang begitu lucu, ia mungkin berkata, “aduh, lucunya bayi ini!” Maka sudah
sepatutnya, guru bahasa ketika mengajarkan interjeksi tidak terpisah dari
konteksnya.
Untuk tujuan klasifikasi dan pemaknaan interjeksi, peneliti mengacu pada
jenis-jenis interjeksi yang dikemukakan oleh Alwi, dkk (2000). Menurutnya,
interjeksi berdasarkan perasaan yang diungkapkannya dapat digolongkan menjadi
10 jenis, yaitu:
1. Interjeksi kejijikan (bah, cih, idih)
2. Interjeksi kekesalan (sialan, brengsek)
3. Interjeksi kekaguman/kepuasan (amboi, asyik)
4. Interjeksi kesyukuran (syukur, Alhamdulillah)
5. Interjeksi harapan (insyaAllah)
6. Interjeksi keheranan (aduh, aih, ai, lho)
7. Interjeksi kekagetan (astaga, astagfirullah)

8. Interjeksi ajakan (ayo, mari)
9. Interjeksi panggilan (hai, he, halo)
10. Interjeksi simpulan (nah)

5

Metode Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif. Penelitian deskriptif
adalah penelitian yang cara membahasnya hanya menjabarkan/memberikan
deskripsi data apa adanya. Sedangkan kualitatif berarti penelitian yang
memungkinkan peneliti untuk menggali informasi mengenai sebuah fenomena
secara komprehensif. Sebenarnya peneliti juga menggunakan metode kuantitatif
sederhana, hanya untuk menghitung jumlah interjeksi yang muncul pada buku
teks.
Data yang digunakan dalam penelitian ini sepenuhnya berasal dari buku teks
BIPA untuk tingkat awal yang dipakai dalam penyusunan bahan ajar BIPA di
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dengan demikian, metode
yang paling tepat dalam pengumpulan data adalah metode simak karena cara yang
digunakan untuk memperoleh data dengan menyimak penggunaan bahasa.
Menyimak di sini bukan berarti bahasa lisan saja, namun juga penggunaan bahasa

secara tertulis (Mahsun, 2007: 92). Berkaitan dengan hal itu, teknik simak bebas
libat cakap (SBLC) juga digunakan dalam proses pengumpulan data. Teknik ini
berarti peneliti hanya berperan sebagai pengamat penggunaan bahasa dan tidak
terlibat dalam peristiwa pertuturan yang diteliti (Ibid: 93).
Dalam menganalisis data, metode yang digunakan oleh peneliti adalah metode
padan ekstralingual. Metode ini digunakan untuk menganalisis unsur yang bersifat
ekstralingual, seperti menghubungkan masalah bahasa dengan hal yang berada di
luar bahasa. Penelitian ini bertujuan untuk membagi satuan lingual kata menjadi
berbagai jenis, maka unsur lingual yang berupa referenlah, khusus untuk kata
yang referensial, yang dijadikan analisis dan bertujuan pula mengelompokkan
bunyi-bunyi suatu bahasa, maka unsur ekstralingual (yang digunakan untuk
menghasilkan bunyi-bunyi itulah) yang dijadikan dasar analisis (Ibid, 121—122).

Temuan
Berdasarkan pengumpulan data menggunakan metode kuantitatif, dalam buku
teks “Lentera Indonesia 1” ditemukan 57 bentuk interjeksi yang terbagi menjadi
53 bentuk partikel dan 4 bentuk kata. Bentuk-bentuk ini tersebar dalam beragam

6


bentuk percakapan tertulis yang disajikan dalam buku teks. Dalam buku ini
sebuah percakapan yang sama sering disajikan lebih dari satu kali untuk kegiatan
latihan, sehingga peneliti hanya menghitung percakapan yang disajikan pertama.
Berikut ini adalah tabel distribusi frekuensi interjeksi yang ditemukan peneliti.
Bentuk Interjeksi
(partikel)
Oh
Wow
Wah
Ah
Oh ya
Ha..ha..
Ayo
Aduh

Jumlah

(partikel)
Mmm
Mmh

Mh
Hei
Nah
Oo
Halo
Hai

16
4
15
1
2
1
3
1

Bentuk Interjeksi
(Kata)
Baiklah!
Benar-benar…


Bentuk Interjeksi

Jumlah
1
1
1
1
1
1
3
1

Bentuk Interjeksi
(Kata)
Syukurlah

2
1

1

Pembahasan
Berdasarkan

temuan

interjeksi

di

atas

peneliti

selanjutnya

akan

menggolongkannya ke dalam beberapa jenis sekaligus mengungkap makna
interjeksi tersebut. Peneliti juga akan menampilkan konteks munculnya interjeksi
tersebut dalam wacana. Seluruh wacana diambil dari buku teks yang sama.



Interjeksi keheranan (oh, ah, oh ya)
Interjeksi oh adalah yang terbanyak ditemukan dalam buku ini. pemaknaan

interjeksi ini juga sepertinya tidak begitu menjadi masalah bagi pemelajar
BIPA, karena mereka bisa memadankan makna interjeksi dengan bahasa
Inggris—sebagai bahasa internasional. Kata oh di bahasa Indonesia maupun
bahasa Inggris memiliki makna yang serupa. Baik interjeksi oh maupun oh ya
dapat menyatakan keheranan, selain itu interjeksi oh dan oo juga bisa
menyatakan kepahaman. Misalnya pada wacana berikut:
Billy: Kami mau berwisata.

7

Petugas: Berapa lama?
Billy: Dua minggu.
Petugas: Oh, Anda dapat membuat visa langsung di Bandara SoekarnoHatta.
Lalu bagaimana dengan interjeksi ah? Interjeksi ini menyatakan
penyangkalan terhadap suatu hal yang dinyatakan lawan bicara. Misalnya
pada wacana berikut.
+Wah, hebat ya.
-Ah, biasa saja.
 Interjeksi kekaguman (wah, wow)
Interjeksi wow dan wah juga merupakan bentuk yang banyak ditemukan
dalam buku teks ini. Keduanya memiliki makna mengekspresikan kekaguman
atas suatu hal. Misalnya terdapat pada wacana berikut:
Billy: Jane, lihat kain itu.
Jane: Wah, cantik sekali.
Selain menyatakan kekaguman, interjeksi wah dalam buku ini juga ternyata
ada yang bermakna penyesalan.
+Saya mencari Bu Wati.
-Wah, dia sedang ke luar kota.
Inilah salah satu keunikan interjeksi, susunan huruf yang sama ternyata
maknanya berbeda dipengaruhi konteksnya. Penutur jati tentu tidak akan
masalah dengan hal ini, namun bagi penutur asing ia akan kerepotan kapan
saat yang tepat menggunakan dan memaknai interjeksi semacam ini.
 Interjeksi ajakan (ayo)
Interjeksi jenis ini tidak terlalu bermasalah, karena maknanya cenderung
tetap apapun konteksnya. Interjeksi ayo akan selalu bermakna ajakan
(invitation).
 Interjeksi panggilan (halo, hai, hei)
Interjeksi jenis ini berfungsi untuk memanggil atau menyapa seseorang.
Baik dalam bahasa Inggris maupun bahasa Indonesia interjeksi halo, hai, dan
hei memiliki fungsi serupa.
 Interjeksi syukur (syukurlah)
Interjeksi ini sepadan dengan interjeksi thanks God atau I’m glad that…
dalam

bahasa

Inggris

yang

bermakna

rasa

syukur

atas

suatu

peristiwa/pemberian. Dalam bahasa Indonesia, ungkapan syukur bisa berupa
kata Alhamdulillah yang saat ini telah mengalami perluasan makna (tidak
hanya digunakan oleh umat Islam, tapi umat lain juga) Interjeksi ini
ditemukan dalam wacana berikut:
Billy: Kami sangat senang di Indonesia, terutama di Bali ini.

8



Nyoman: Syukurlah, kalian senang berlibur di sini.
Interjeksi simpulan (nah)
Interjeksi ini bermakna menyimpulkan suatu hal. Namun, dalam buku teks

ini mungkin lebih tepat dikatakan bahwa kata nah bermakna penegasan atas
suatu hal, karena posisi kata nah terletak di awal percakapan. Mari kita
perhatikan kemunculannya dalam wacana berikut:
Pemandu: Nah, itu tari Pendet, tari selamat datang.
Billy: Wah. Menarik sekali.
Pemandu ingin menegaskan kepada turis bahwa apa yang ia lihat adalah
sebuah hal yang menarik. Bentuk yang satu ini adalah jenis interjeksi yang
maknanya ditentukan posisinya dalam percakapan. Jika ia berada di akhir
percakapan, mungkin maknanya bisa menyimpulkan suatu hal.
 Interjeksi kekesalan (aduh)
Interjeksi ini berfungsi untuk mengekspresikan kekesalan seseorang atas
dirinya ataupun orang lain. Interjeksi bentuk ini muncul dalam wacana
berikut:
Polisi: Begini Bill. Tadi ada petugas wartel mengantar dompet ini ke sini.
Katanya, dompet ini tertinggal di warnet.
Billy: Benarkah? Aduh saya pasti lupa.
Dalam wacana tersebut Billy alpa akan dompetnya, ia pun mengekspresikan
kekesalannya kepada dirinya dengan kata aduh. Seperti yang telah dijelaskan
di atas, kata ini adalah kata yang dapat menempati beragam jenis interjeksi
karena maknanya sangat tergantung pada konteks.
 Interjeksi kekaguman (benar-benar…)
Ini adalah bentuk interjeksi yang menyatakan sangat atau terlalu. Interjeksi
bentuk ini muncul dalam wacana berikut:
Nyoman: Benar. Uluwatu dikenal dengan pura dan lautnya yang indah.
Billy: Benar-benar mengagumkan. Ombaknya luar biasa.
Penutur berusaha menyatakan ketakjubannya melalui interjeksi ini. Bentuk
inilah yang oleh Richards dan Schmidt (2002) disebut sebagai eksklamasi,
yaitu ujaran yang menunjukkan emosi yang kuat. Dengan demikian, menjadi
jelas bahwa eksklamasi adalah salah satu bentuk interjeksi.
Ada bentuk interjeksi yang tidak dapat digolongkan ke dalam salah satu jenis
di atas, yaitu ha..ha.. Interjeksi ini muncul dalam wacana berikut:
Jane: Bill, nanti kamu panggil saya Made Jane, ya?
Billy: Bagus juga. Ha..ha..

9

Dilihat dari konteksnya, interjeksi ini bermakna kebahagiaan atau kesenangan,
sehingga dapat digolongkan ke dalam jenis interjeksi kebahagiaan. Namun, perlu
juga diperhatikan bahwa kata haha tidak melulu berarti kebahagiaan, bisa saja
berarti cemoohan/pelecehan yang dilakukan seseorang.
Adapula bentuk hmm, mmh, dan mh yang juga tidak dapat digolongkan ke
dalam salah satu jenis di atas. Peneliti sebagai penutur jati dengan mudah
memaknai bahwa interjeksi ini bermakna proses memikirkan sesuatu. Untunglah
bentuk ini tidak terlalu dipengaruhi konteks dan posisi dalam percakapan. Dengan
demikian berarti maknanya cenderung tetap. Sepertinya pemaknaannya juga
serupa dalam bahasa Inggris. Interjeksi bentuk ini muncul dalam wacana berikut:
Jane: Oh ya, saya mau tanya, di mana restoran yang bagus?
Resepsionis: Mmm… Restoran Selera Indonesia saja. Masakannya lengkap
dan enak.
Peneliti juga ingin membahas kata baiklah. Dalam buku teks ini tidak seluruh
kata tersebut, peneliti golongkan ke dalam jenis interjeksi, namun hanya kata yang
kriterianya sesuai dengan apa yang peneliti jelaskan sebelumnya. Misalnya, pada
wacana berikut ini:
Pemandu: Ya, ada. Kalau mau, Anda bisa mengunjungi anjungan Bali.
Sekarang di sana sedang ada tari Pendet.
Billy: Baiklah.
Kata baiklah pada wacana di atas bukanlah merupakan interjeksi karena tidak
bersifat emotif dan tidak mendahului ujaran apapun. Kata tersebut merupakan
kalimat persetujuan atas saran dari penutur. Bandingkan dengan contoh berikut:
Jane: Bagaimana kalau Rp140.000,00?
Penjual: Mh.. Rp150.000,00 saja ya, Bu?
Jane: Baiklah! Saya ambil satu saja.
Pada wacana ini kata baiklah merupakan interjeksi. Ini memang berbentuk
kalimat persetujuan sama dengan wacana sebelumnya, namun kata tersebut
bersifat emotif berbeda dengan kata pada wacana sebelumnya. Selain itu, kata
baiklah mendahului ujaran dan berfungsi menguatkan pernyataan persetujuan dari
penutur.

10

Dalam buku ini dijelaskan mengenai bentuk eksklamatif. Namun, penjelasan
tersebut agaknya kurang lengkap, karena bentuk eksklamatif dalam buku ini
hanya dijelaskan untuk mengekspresikan kekaguman dan keterkejutan (Mustakim,
2008: 120). Sehingga menjadi rancu perbedaan antara interjeksi dan eksklamatif.
Bentuk eksklamatif diberi contoh berupa kata alangkah, betapa, atau bukan main
serta berupa partikel wah dan wow.
Selain penjelasan mengenai bentuk ekslamatif, dalam buku ini juga dijelaskan
interjeksi ajakan (mari, ayo, yo, marilah, ayolah). Ajakan berarti mengharapkan
respon dari petutur untuk melakukan sesuatu bersama atau berdasarkan saran
penutur (Ibid, 90). Distribusi penggunaan interjeksi ajakan juga dijelaskan dengan
rinci, misalnya penggunaan marilah ditujukan untuk membuat ajakan lebih
sopan/hormat.
Simpulan
Interjeksi yang ditemukan dalam buku “Lentera Indonesia 1” cukup banyak
jumlahnya. Tidak seluruh interjeksi adalah bentuk yang ambigu dan sulit
dipahami maknanya oleh penutur nonjati—dalam hal ini pemelajar BIPA—karena
maknanya yang cenderung tetap tidak dipengaruhi oleh konteks serta
kedekatannya dengan bahasa pertama pemelajar atau bahasa Inggris. Sehingga,
pemelajar bisa memadankannya secara langsung.
Namun, terdapat beberapa interjeksi yang maknanya sangat bergantung pada
konteks dan posisinya, sehingga dapat menimbulkan ambiguitas bagi pemelajar
BIPA. Bentuk-bentuk inilah yang seharusnya menjadi fokus pengajaran bagi guru
BIPA. Pemelajar perlu diajarkan cara untuk memaknai interjeksi dengan
memahami konteks dan posisinya dalam percakapan/wacana.
Buku ini belum memberikan penjelasan secara detail mengenai keseluruhan
interjeksi yang sering muncul dalam percakapan sehari-hari, meski begitu buku
ini telah menyajikan pembahasan mengenai eksklamatif dan interjeksi ajakan
yang sedikit banyak memperkenalkan siswa untuk memasuki ranah interjeksi.
Daftar Pustaka
Anton Moeliono, dkk. 1988. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka.

11

Arditya Khresnadi. 2014. Interjeksi dalam Komik “Les Schtroumpfs” Karya Peyo.
Skripsi Fakultas Bahasa dan Seni. UNY. Yogyakarta.
Harimurti Kridalaksana. 1994. Kelas Kata dalam Bahasa Indonesia. Jakarta:
Gramedia.
Hasan Alwi, dkk. 2000. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (edisi ketiga).
Jakarta: Balai Pustaka.
Mahsun. 2007. Metode Penelitian Bahasa. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Mustakim & Sugiyono. 2008. Lentera Indonesia 1: Penerang untuk Memahami
Masyarakat dan Budaya Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa.
Richards, Jack C. & Richard Schmidt. 2002. Longman Dictionary of Language
Teaching and Applied Linguistics (3rd edition). Malaysia: Longman.
Wedhawati, dkk. 2006. Tata Bahasa Jawa Mutakhir. Yogyakarta: Kanisius.

Dokumen yang terkait

FREKWENSI PESAN PEMELIHARAAN KESEHATAN DALAM IKLAN LAYANAN MASYARAKAT Analisis Isi pada Empat Versi ILM Televisi Tanggap Flu Burung Milik Komnas FBPI

10 189 3

SENSUALITAS DALAM FILM HOROR DI INDONESIA(Analisis Isi pada Film Tali Pocong Perawan karya Arie Azis)

33 290 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

Analisis Penyerapan Tenaga Kerja Pada Industri Kerajinan Tangan Di Desa Tutul Kecamatan Balung Kabupaten Jember.

7 76 65

Analisis tentang saksi sebagai pertimbangan hakim dalam penjatuhan putusan dan tindak pidana pembunuhan berencana (Studi kasus Perkara No. 40/Pid/B/1988/PN.SAMPANG)

8 102 57

Analisis terhadap hapusnya hak usaha akibat terlantarnya lahan untuk ditetapkan menjadi obyek landreform (studi kasus di desa Mojomulyo kecamatan Puger Kabupaten Jember

1 88 63

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22