Pedagang Buku Bekas (Studi Etnografi Asosiasi dan Pedagang Buku Bekas Lapangan Merdeka Kota Medan)

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang
Kajian ini membahas tentang pedagang buku bekas di Titi Gantung Medan

kehadiran pedagang buku bekas tersebut bermula sekitar tahun 1960-an, yang
dilakukan oleh sekelompok masyarakat yang tinggal di gang Buntu yang
lokasinya dekat dengan Titi Gantung, keberadaan para pedagang buku bekas
tersebut mendapat apresiasi yang positif dari masyarakat luas, terutama para
pelajar dan mahasiswa. Pedagang buku bekas selain menjual selain menjual buku
bekas yang layak dipakai, adakalanya juga menyediakan buku-buku yang tidak
ditemukan di toko-toko buku. Bisnis buku bekas nampaknya menjanjikan
penghasilan yang signifikan bagi para pedagang, sehingga banyak orang yang
menumpukan mata pencaharian pada berdagang buku bekas. Sampai saat ini
pedagang buku bekas telah berkembang dan berjualan sampai ke Jl. Irian Barat,
Jl. Jawa, Jl. Veteran,dan Jl.Sutomo.
Keberadaan pedegang buku bekas di Titi Gantung, mulai terusik pada
tahun 2003, dengan terbitnya ketetapan pemerintah bahwa Titi gantung menjadi
salah satu cagar budaya Kota Medan dengan SK: No. 511.3/5750. B tertanggal 22

Juli 2003. Ketentuan itu mengharuskan pedagang buku bekas di Titi Gantung di
relokasi ke sisi timur Lapangan Merdeka. Namun pedagang buku bekas menerima
ketetapan PEMKO Medan dan mereka bersedia di relokasi, karena sisi Timur

1
Universitas Sumatera Utara

Lapangan Merdeka merupakan pusat kota Medan yang diyakini dapat menulang
omset penjualan mereka1.
Upaya untuk mengembangkan Kota Medan terus dilakukan, termasuk
membangun skybridge yang akan menjadi penghubung

antara lahan parkir

dengan Stasiun Kereta Api. Pedagang buku bekas harus di Relokasi ke jalan
Penggadaian yang lokasinya relatif tidak jauh dengan sisi Timur Lapangan
Medeka. Dari sinilah mulai timbul perlawanan dari para pedagang buku, banyak
dari pedagang buku bekas tidak mau di relokasi.
Pedagang buku menolak relokasi tersebut dengan alasan pasar buku bekas
yang berada di sisi Timur Lapangan Merdeka ini tepat berada di jantung kota

Medan, hal ini menjadi satu keuntungan bagi pedagang buku bekas, karena lokasi
mereka berjualan berada di pusat kota dan dapat dengan mudah diakses oleh
masyarakat luas. Pasar buku bekas ini merupakan salah satu ikon kota Medan
sekaligus tempat favorit masyarakat dalam membeli buku bekas dan murah, yang
tidak dapat ditemukan di gerai-gerai toko buku modern. Pasar buku bekas bukan
hanya sebagai tempat transaksi jual-beli, tetapi sebagai mata rantai dan sirkulasi
ilmu pengetahuan agar tetap terjaga pengetahuan serta kebudayaan.
Pada dasarnya tindakan pemerintah Kota Medan merelokasi pedagang
buku sisi Timur lapangan Merdeka telah melanggar kebijakan yang dibuat oleh
pemerintah sendiri. Pembangunan City Check In, Sky Bridge, dan City Car
seharusnya berlokasi di Kecamatan Medan Timur, sesuai dengan ketentuan pasal
20 angka (4) huruf (e) Peraturan Daerah Kota Medan No. : 13 Tahun 2011
Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Medan Tahun 2011-2013, berbunyi:

1

Sumber dari data Kontras Sumatera Utara SK: No. 511.3/5750. B tertanggal 22 Juli 2003

2
Universitas Sumatera Utara


“Angka (4) Stasiun Kereta Api sebagaimana yang dimaksud pada ayat (2) huruf
meliputi: huruf (e) Stasiun Kereta Api City Check In di Kecamatan Medan
Timur”2.
Para pedagang buku bekas Titi Gantung tergabung dalam asosiasi
pedagang buku bekas yang bertujan untuk mempererat tali silaturahmi antar
sesama pedagang. Namun dalam perjalanannya Asosiasi pedagang buku bekas
terbelah menjadi dua kubu, yakni Asosiasi Pedagang Buku Lapangan Merdeka
(Aspeblam) dan Persatuan Pedagang Buku Bekas Lapangan Merdeka (P2BLM).
Terpecahnya pedagang buku lapangan merdeka menjadi salah satu upaya
pemerintah memecah belah pedagang agar pindah ke Jl. Pegadaian tanpa
melakukan perlawanan demi kepentingan pembangunan nasional. Pemerintah
juga berupaya mengusur paksa dengan mengeluarkan surat pemberitahuan kepada
pedagang agar segera mengemas barang dan pindah kelokasi yang sudah
disediakan Pemko Medan, hal ini menimbulkan penolakan dan gerakan
perlawanan oleh pedagang buku bekas yang tergabung didalam ikatan Persatuan
Pedagang Buku Lapangan Merdeka (P2BLM) terhadap pemerintah Kota Medan
yang diangap Diskriminatif.
Untuk bertahan para pedagang melakukan perlawanan dari kebijakan
pemerintah. Gerakan perlawanan merupakan gerakan untuk memblokir atau

mengeliminasi perubahan dijalan Pegadaian yang notabene lokasi itu merupakan
lahan dari PT. KAI. Penggusuran ini menyebabkan para pedagang khawatir akan
kehilangan sumber mata pencahariannya. Para pedagang memberi tuntutan kepada
Pemko Medan seperti:
2

Sumber diambil dari KontraS Sumatera Utara, Peraturan Daerah Kota Medan No. : 13 Tahun
2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Medan Tahun 2011-2013

3
Universitas Sumatera Utara

a.

b.

Menolak penggusuran pedagang buku Lapangan Merdeka secara
semena mena karena keberadaan pedagang adalah sah/legal dengan
landasan SK Walikota No.510/ 1034/k/2003 dan telah disetujui oleh
DPRD Kota Medan melalui surat No. 646/624 tertanggal 11 Juli

Tahun 2003 perihal persetujuan Revitalisasi Cagar Budaya Titi
Gantung Medan dan pemindahan pedagang buku di Lapangan
Merdeka.
Meminta kepastian alas hukum tempat relokasi kepada Pemerintah
Kota Medan jika harus relokasi maka tidak ada lagi penggusuran di
masa depan3.

Peneliti tertarik dengan pedagang buku bekas lapangan merdeka karena
pedagang buku ini bukan cuma berbicara soal bisnis saja, tapi juga perdagangan
ilmu pengetahuan. Dengan bisa diakses dengan harga yang terjangkau atau relatif
murah dan langka, pedagang buku lapangan merdeka ini juga sudah menjadi
sebuah icon belanja buku murah dikota medan.

1.2 Tinjauan Pustaka
Para pedagang buku bekas merupakan sebuah komunitas yang
keberadaannya mendapat apresiasi yang positif dari sekolompok masyarakat.
Namun, disisi lain kehadiran mereka dianggap menggangu pembangunan Kota
Medan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, masyarakat adalah sejumlah
manusia dalam arti seluas-luasnya dan terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka
anggap sama4. Ralp Linton (1936:91) mengemukakan bahwa masyarakat

adalah setiap kelompok Manusia yang telah cukup lama hidup dan bekerja
sama, sehingga mereka dapat mengorganisasikan dirinya dan berpikir tentang
dirinya sebagai satu kesatuan sosial dengan batasan-batasan. Masyarakat itu
juga dapat diartikan sekelompok manusia yang telah hidup dan bekerja sama
3

Sumber didapat dari data Kontras Sumatera Utara
SK Walikota No.510/ 1034/k/2003 dan telah disetujui oleh DPRD Kota Medan melalui surat No.
646/624 tertanggal 11 Juli Tahun 2003.
4
http://kbbi.web.id/sistem/sistem.

4
Universitas Sumatera Utara

cukup lama sehingga mereka dapat mengatur diri mereka dan mengganggap
diri mereka sebagai suatu kesatuan sosial degan batas-batas yang telah
dirumuskan dengan jelas.
Ada beberapa penjelasan masyarakat yang dikutip oleh Setiadi
(2011:35). Mengutip Maclver (2011:35) menjelaskan masyarakat sebagai

suatu sistem dari kebiasaan dan tata cara dari wewenang dan kerja sama
antara berbagai kelompok, berbagai golongan dan pengawasan tingkah laku
serta kebebasan-kebebasan individu (manusia). Keseluruhan yang selalu
berubah inilah yang dinamakan dengan masyarakat. Masyarakat merupakan
jalinan hubungan sosial dan masyarakat selalu berubah. Mengutip Karl Marx
(2011:35) menjelaskan masyarakat adalah suatu sturktur yang mengalami
ketegangan organisasi maupun perkembangan karena adanya pertentangan
antara kelompok-kelompok yang terpecah secara ekonomi. Menurut Paul B.
Horton (2011:36) pengertian masyarakat adalah sekumpulan manusia yang
relatif mandiri dengan hidup bersama dalam jangka waktu cukup lama,
mendiami suatu wilayah tertentu dengan memiliki kebudayaan yang sama, dan
sebagian besar kegiatan dalam kelompok itu.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Asosiasi adalah Persatuan antara
rekan usaha, persekutuan dagang. Perkumpulan orang yang memiliki kepentingan
bersama, Pembentukan hubungan atau pertalian antara gagasan, ingatan, atau
kegiatan panca indra5. R.Firth (dalam Prof Harsojo 1988:114) Hidup dalam
bermasyarakat berarti mengorganisasikan berbagai kepentingan, kebutuhan para
individu, serta pengaturan sikap manusia yang satu terhadap yang lain dan

5


http://kbbi.web.id/sistem/sistem.

5
Universitas Sumatera Utara

pemusatan manusia dalam kelompok tertentu untuk melakukan tindakan bersama.
Relasi sosial yang timbul dari hidup bermasyarakat itu dapat kita lihat sebagai
suatu rencana atau sistem yang dapat disebut struktur sosial. Jadi strukur sosial
suatu masyarakat manusia meliputi berbagai tipe kelompok atau asosiasi dan
institusi dalam mana orang banyak itu mengambil bagian. Dengan perkataan lain
asosiasi sesungguhnya adalah kelompok yang diorganisasikan. Kriteria Organisasi
yang menjadi ciri asosiasi adalah:
1. Mempunyai tujuan dan fungsi yang jelas dan tertentu.
2. Ada norma asosiasi.
3. Ada status asosiasi.
4. Ada otoritas.
5. Percobaan menjadi anggota atau ada sistem calon anggota.
6. Ada sistem hak milik
7. Mempunyai nama atau lambang identitas.

Fungsi asosiasi adalah:
1. Asosiasi dibentuk untuk melakukan tujuan tertentu seperti misalnya tujuan
politik, ekonomi sosial dan kebudyaan.
2. Sering juga bahwa suatu asosiasi mempunyai lebih dari satu fungsi.

Menurut Harsojo (1988:217) Asosiasi bebas yang tidak dibangun atas
dasar kekerabatan, meliputi berbagai bentuk pengelompokan berdasarkan seks,
umur dan dalam arti yang lebih luas, strukur sosial itu juga meliputi relasi sosial
yang mempunyai karakter politik berdasarkan atas daerah tempat tinggal dan
status. Studi ini disebut juga meliputi tentang berprinsip berkelompok berdasarkan

6
Universitas Sumatera Utara

kekerabatan dan organisasi politik. Menurut Radcliffe Brown (dalam Classen
1988) organisasi adalah organisasi yang melaksanakan aktivitas sosial yang
menyangkut penjagaan keteraturan dan stabilitas masyarakat dalam suatu wilayah
tertentu, dengan menggunakan kekuasaan dan kalau perlu kekerasan secara paksa.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Gerakan Sosial adalah tindakan
atau agitasi terencana yang dilakukan sekelompok masyarakat yang disertai

program terencana dan ditujukan pada satu perubahan atau sebagai gerakan
perlawanan untuk melestarikan pola-pola dan lembaga masyarakat yang ada 6.
Turner dan Killian (dalam Suryadi 2007) mendefinisikan gerakan sosial secara
luas sebagai suatu usaha bersama untuk meningkatkan suatu penentangan
perubahan dalam masyarakat di mana usaha tersebut memainkan peran.
Kartodirdjo (dalam Kamaruddin 2012) mengatakan gerakan sosial adalah gerakan
perjuangan yang dilakukan oleh golongan sosial tertentu melawan eksploitasi
ekonomi, sosial, politik, agama dan kultural, oleh kelompok penekan, apakah itu
penguasa ataupun negara.
Zenden dan Heberle (dalam Wahyudi 2005:23) memberikan kriteria
gerakan sosial sebagai berikut :
1. Bertujuan untuk membawa perubahan fundamental terhadap tatanan
sosial, khususnya dalam institusi dasar properti dan hubungan
ketenagakerjaan
2. Suatu kesadaran tentang identitas dan solidaritas kelompok adalah
diperlukan bersamaan dengan kesadaran common sense dan tujuan

6

http://kbbi.web.id/sistem/sistem


7
Universitas Sumatera Utara

3. Gerakan sosial selalu terintegrasi dengan serangkaian ide atau
ideologi
4. Gerakan sosial berisi anggota-anggota kelompok yang sevara formal
diorganisasikan, tetapi gerakan sosialnya itu sendiri adalah bukan
kelompok yang terorganisir
5. Memiliki aturan yang cukup kuat untuk meneruskan eksistensinya,
meski mereka harus merubah komposisi keanggotaannya
6. Gerakan sosial bukan suatu produk, tetapi memiliki durasi.
Suryadi (2007:119) Dalam realitasnya, gerakan sosial yang terjadi di
negara-negara mengalami perubahan, dimana perubahan gerakan sosial itu
dikategorikan dengan istilah gerakan sosial lama dan gerakan sosial baru. Gerakan
Sosial lama dianggap sebagai perlawanan atau perjuangan kelas buruh dalam
menuntut keadilan mereka. Gerakan Sosial baru dianggap sebagai perluasan
makna gerakan sosial lama ke arah perjuangan mengimbangi dominasi kekuasaan
negara dan perwujudan demokratisasi.
Scott (2000:40) mengatakan perlawanan kecil setiap hari dengan penuh
kesabaran, organisasi anonim yang informal dengan koordinasi tahu sama tahu,
berhati-hati, mencuri sedikit demi sedikit, memperlambat kerja, pura-pura sakit,
menghambat, pura-pura menurut, pura-pura tidak tahu, perusakan, berlaku tidak
jujur, mencopet, masa bodoh, membuat skandal, membakar, memfitnah, sabotase,
yang mengakhiri pertentangan secara kolektif.
Kamaruddin (2012:58) Gerakan Sosial lahir pada mulanya sebagai suatu
kelompok orang yang tidak puas terhadap suatu kondisi atau keadaan. Kelompok
itu semula tidak terorganisasi. Dan tidak terarah, serta tidak memiliki perencanaan

8
Universitas Sumatera Utara

yang matang. Orang-orang saling membagi duka, dan mengeluh. Pemimpin dan
organisasi dari kebanyakan gerakan, biasanya muncul tidak lama setelah situasi
kersahan sosial tercipta. Setelah mengalami tahapan penurunan kegiatan kadang
kala gerakan itu sempat menciptakan organisasi permanen, dan seringkali pula
gerakan itu hilang begitu saja tanpa bekas yang berarti.
Menurut Lofland (2003:50), dua aspek empiris gelombang yang perlu
diperhatikan adalah pertama aliran tersebut cenderung berumur pendek antara
lima sampai delapan tahun. Jika telah melewati umur itu gerakan gerakan akan
melemah dan meskipun masih ada akan tetapi gerakan telah mengalami proses
„cooled down‟ .Kedua, banyak organisasi gerakan atau protes yang berubah
menjadi gerakan sosial atau setidaknya bagian dari gerakan-gerakan tersebut
diatas. Organisasi-organisasi ini cenderung selalu berupaya menciptakan gerakan
sosial atau jika organisasinya berbeda maka mereka akan dengan sabar menunggu
pergeseran struktur makro yang akan terjadi (misalnya krisis kapitalis) atau
pertarungan yang akan terjadi antara yang baik dan yang jahat, atau kedua hal
tersebut. Serta menunggu kegagalan fungsi lembaga sentral, kala itulah gerakan
itu bisa dikenali sebagai gerakan pinggiran, gerakan awal dan embrio gerakan.
Martono (2012:227) Gerakan sosial terbentuk melalui serangkaian proses.
Ada beberapa tahap terbentuknya gerakan sosial in. Tahap-tahap tersebut yaitu,
1. Tahap ketidaktenraman karena ketidakpastian dan ketidakpuasan
yang semakin meningkat.
2. Tahap perangsangan, yaitu sebuah tahap yang terjadi ketika
perasaan ketidakpuasaan sudah sedemikian besar, penyebabnya

9
Universitas Sumatera Utara

sudah teridentifikasi dan sasaran-sasaran tindak lanjut sudah
diperdebatkan.
3. Tahap formalisasi, sebuah tahap ketika sosok pemimpin telah
muncul, rencana telah disusun, para pendukung telah ditempa,
dan organisasi serta taktik telah dimatangkan.
4. Tahap institusionalisasi atau tahap pelembagaan, tahap ketika
organisasi telah diambil alih dari pemimpin terdahulu, birokasi
telah dibuat dan ideologi serta program telah diwujudkan.
Zande dan James (dalam Suryadi 2007:120) menyederhanakan tipe
gerakan sosial yang berdasarkan basis ideologi :
1. Gerakan-gerakan revolusioner, yaitu gerakan yang mengubah
masyarakat dengan menentang nilai-nilai fundamental. Gerakan
revolusioner mendukung penngantian kerangka nilai yang ada.
Sebagai contoh kelompok nasionaslis hitam yang muncul pada
akhir 1960-an
2. Gerakan-gerakan reformasi yaitu, gerakan yang berusaha untuk
memodifikasi kerangka kerja dari skema nilai yang ada. Gerakan
reformasi mengupayakan perubahan-perubahan yang akan
mengimplementasikan kerangka nilai yang ada secara lebih
memadai sebagai contoh gerakan hak sipil sipil di Amerika
Serikat oleh Marthin Luther King
3. Gerakan-gerakan perlawanan, yaitu gerakan untuk memblokir
atau mendominasi perubahan yang sudah dikembangkan
sebelumnya. Gerakan perlawanan merupakan suatu gerakan

10
Universitas Sumatera Utara

balasan. Sebagai contoh gerakan perlawanan kaum kulit putih
terhadap hak-hak sipil kaum kulit hitam di Amerika Serikat.
4. Gerakan-gerakan ekspresif, yaitu yaitu gerakan yang kurang
konsen dengan perubahan institusional. Gerakan ini berusaha
merenovasi atau memperbaharui orang-orang dari dalam,
seringkali dengan menjanjikan suatu pembebasan di masa depan.
Sebagai contoh adalah gerakan ratu adil.
Moyer (2004:17) Tujuan pergerakan adalah mendidik dan memenangkan
mayoritas publik yang lebih besar dan terus meningkatdan untuk menggerakkan
mayoritas publik menuju kekuatan yang efektif yang membawa masalah sosial.
Hanya dengan menunjukkan kepada masyarakat bahwa pergerakkan menegakkan
nilai-nilai dan pemegang kekuasaan melanggarnya, dapatkah masyarakat
dipengaruhi dan digerakkan ke tingkat kebutuhan yang diperlukan mereka untuk
bertindak.
Dalam kamus besar bahasa Indonesia konflik diterjemahkan sebagai
percekcokkan, perselisihan, atau pertentangan. Pertentangan itu sendiri bisa saja
muncul dalam bentuk ide, gagasan maupun fisik antara dua belah pihak yang
saling bersebrangan7. Istilah “konflik” secara etimologi berasal dari bahasa Latin
“con” yang berarti bersama dan “fligere” yang berarti benturan atau tabrakan.
Dengan demikian, “konflik” dalam kehidupan sosial berarti benturan kepentingan,
keinginan, pendapat, dan lain-lain yang melibatkan antara dua pihak atau lebih.
Chang (dalam Elly M.Setiadi 35:2011) mengatakan pengertian Konflik
dari aspek Antropologi, yakni ditimbulkan sebagai akibat dari persaingan antara

7

http://kbbi.web.id/sistem/sistem

11
Universitas Sumatera Utara

paling tidak dua pihak, di mana tiap-tiap pihak dapat berupa perorangan, keluarga,
kelompok kekerabatan, satu komunitas ataupun satu lapisan kelas sosial
pendukung ideologi tertentu, satu organisasi politik, satu suku bangsa, atau satu
pemeluk agama tertentu. Demikian pihak-pihak yang dapat terlibat dalam konflik
meliputi banyak macam dan bentuk ukuran. Selain itu, dapat pula dipahami
bahwa pengertian konflik secara antropologis tidak berdiri sendiri, melainkan
secara bersama-sama dengan pengertian konflik menurut aspek-aspek lain yang
semuanya itu turut ambil bagian dalam memunculkan konflik sosial dalam
kehidupan kolektif manusia, dengan sederhananya konflik dapat diartikan sebagai
perselisihan atau persengketaan antara dua pihak atau lebih yang memiliki
keinginan untuk saling menjatuhkan atau menyingkirkan atau mengalahkan atau
menyisihkan.
Definisi ini jika kita padukan dengan pandangan Diana Franccis (dalam
Herdensi : 2013) yang meletakan unsur pergerakan dan persinggungan sebagai
aspek tindakan didalam konflik, maka secara sederhana konflik dapat diartikan
sebagai pertarungan yang ditandai oleh pergerakan dari beberapa pihak sehingga
terjadi bersinggungan. Marx (dalam Elly M.Setiadi 364 : 2011) mengatakan
pandangannya tentang konflik sebagai berikut:
1. Masyarakat sebagai arena yang didalamnya terdapat berbagai
bentuk pertentangan.
2. Negara dipandang sebagai pihak yang terlibat aktif dalam
pertentangan dengan berpihak kepada kekuatan yang dominan.
3. Paksaan dalam wujud hukum dipandang sebagai faktor utama
untuk memelihara lembaga-lembaga sosial, seperti milik pribadi,

12
Universitas Sumatera Utara

perbudakan, kapital yang menimbulkan ketidaksamaan hak dan
kesempatan. Kesenjangan sosial terjadi dalam masyarakat karena
bekerjanya lembaga paksaan tersebut yang bertumpu pada caracara kekerasan, penipuan, dan penindasan. Dengan demikian, titik
tumpu dari konflik sosial adalah kesenjangan sosial.
4. Negara dan hukum dilihat sebagai alat penindasan yang digunakan
oleh kelas yang berkuasa (kapitalis) demi keuntungan mereka.
5. Kelas-kelas dianggap sebagai kelompok-kelompok sosial yang
mempunyai kepentingan sendiri yang bertentangan satu sama lain,
sehingga konflik tak terelakkan lagi.
Sebagai mana dikemukakan oleh Ralf Dahendrof (1959:162) bahwa
masyrakat terbagi dalam dua kelas atas dasar pemilikan kewenangan (authority),
yaitu kelas yang memiliki kewenangan (dominan) dan kelas yang tidak memiliki
kewenangan. Menurut Max Weber (1968) Konflik yaitu Hubungan sosial disebut
sebagai konflik apabila sepanjang tindakan yang ada di dalamnya secara sengaja
ditujukan untuk melaksanakan kehendak satu pihak untuk melawan pihak lain‟.
Dengan demikian, konflik merupakan suatu hubungan sosial yang dimaknai
sebagai keinginan untuk memaksakan kehendaknya pada pihak lain8.
Konflik menurut Fisher et al. (2000) adalah hubungan antara dua pihak
atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki sasaran-sasaran yang tidak
sejalan, konflik adalah suatu kenyataan hidup, tidak terhindarkan dan sering
bersifat kreatif. Konflik terjadi ketika tujuan masyrakat tidak sejalan. Berbagai
perbedaan pendapat dan konflik biasanya diselesaikan tanpa kekerasan, dan sering

8

http://guruppkn.com/pengertian-konflik-menurut-para-ahli.

13
Universitas Sumatera Utara

menghasilkan situasi yang lebih baik sebagaian besar atau semua pihak yang
terlibat.
Lewis Coser mengemukakan (dalam Elly : 2011) konflik dapat
menguatkan solidaritas kelompok yang agak longgar. Dalam masyarakat yan
terancam disintegrasi, konflik dengan masyarakat lain bisa menjadi kekuatan yang
mempersatukan. Konflik dengan kelompok lainnya dapat

menghasilkan

solidaritas didalam kelompok tersebut dan solidaritas itu bisa menghantarnya
kepada aliansi-aliansi dengan kelompok lainnya, bisa juga menyebabkan anggotaanggota masyarakat yang terisolasi menjadi berperan secara aktif dan konflik juga
bisa berfungsi untuk komunikasi.
Astra dan Arsana (2012) dalam jurnalnya yang berjudul “Resistensi
Perempuan Bali Pada Sektor Industri Kreatif Di Desa Paksebali, Kecamatanan
Dawan, Kabupaten Klungkung” menjelaskan bahwa perlawanan dilakukan kaum
perempuan untuk menuntut kesetaraan gender. Dalam jurnal ini di jelaskan
resistensi perempuan di Bali merupakan cerminan dari ketidakpuasan terhadap
pembedaan antara laki-laki dan perempuan terhadap pekerjaan. Perlawanan yang
dimaksud adalah yang dilakukan oleh perempuan Bali yang beragama Hindu
dalam mendobrak idealisme budaya patriarki.
Perlawanan juga dilakukan oleh kelompok petani seperti dalam jurnal
Kamaruddin (2012) dengan judul “Pemberontakan Petani UNRA 1943 (Studi
Kasus: Mengenai Gerakan Sosial di Sulawasi Selatan Pada Masa Kependudukan
Jepang)” . Perlawanan petani di sini disebabkan karena dua faktor yaitu penyebab
langsung dan penyebab tidak langsung. Ideologi milliniarisme melatar belakangi
perlawanan dimana tokoh agama sebagai pemimpin pemberontakan mampu

14
Universitas Sumatera Utara

memberikan sugesti kepada rakyat. Jurnal ini lebih kepada mendeskripsikan
faktor-faktor serta peran tokoh petani dalam pemberontakan.
Dalam jurnal “Festival Jogokali Resistensi Terhadap Penggusuran Dan
Gerakan Sosial-Kebudayaan Masyarakat Urban” perlawanan yang dilakukan oleh
masyarakat pinggir sungai dalam menghadapi penggusuran adalah dari diskusi
dengar pendapat hinga aksi turun ke jalan, perlawanan kolektif yang dibangun
dengan menggunakan media kesenian. Masyarakat yang tinggal di dekat sungai
menggelar sebuah festival Jogo (menjaga) Kali (sungai) sebagai salah satu bentuk
gerakan mereka. Festival Jogokali sebagai bentuk perjuangan anti penggusuran
masyarakat miskin urban. Penggunaan media kesenian dan kebudayaan
mendefinisikan dirinya untuk berbicara atas nama atau menyuarakan, suara-suara
terbungkam yang benar-benar tertindas sebagai resistensi simbolik.
Maliki (2010) dalam jurnalnya yang berjudul “Resistensi Kelompok
Minoritas Keagamaan Jemaat Ahmadiyah Indonesia” menjelaskan, mereka
melakukan perlawanan terhadap dominasi dan hegemoni negara dengan cara
menggunakan kelompok intelektual sebagai representasi mereka. Menciptakan
ruang (sphere) yang cenderung bebas dari hegemoni kelompok manapun serta
independen. Membangun jaringan dengan berbagai kelompok dan menjalin kerja
sama dengan pihak Universitas serta memanfaatkan media dalam perlawanan
mereka.
Moyer (2004:17) Tujuan pergerakan adalah mendidik dan memenangkan
mayoritas publik yang lebih besar yang terus meningkat dan untuk menggerakkan
mayoritas publik menuju kekuatan yang efektif yang membawa masalah sosial.
Hanya dengan menunjukkan kepada masyarakat bahwa pergerakan menegakkan

15
Universitas Sumatera Utara

nilai-nilai dan pemegang kekuasaan melanggarnya, dapatkah masyarakat
dipengaruhi dan dan digerakkan ke tingkat kebutuhan yang diperlukan mereka
untuk bertindak. Menurut Schiffman dan Kanuk (2000) proses yang dilalui oleh
seseorang dalam mencari, membeli, menggunakan, mengevaluasi, & bertindak
pasca konsumsi produk, jasa maupun ide yang diharapkan bisa memenuhi
kebutuhannya. Lalu menurut, Schiffman & Kanuk Merupakan studi yang
mengkaji bagaimana individu membuat keputusan membelanjakan sumber daya
yang tersedia & dimiliki (waktu, uang & usaha) untuk mendapatkan barang atau
jasa yang akan dikonsumsi. Dan menurut, John C. Mowen & Michael Minor
perilaku konsumen sebagai studi tentang unit pembelian (buying unit) & proses
pertukaran yang melibatkan perolehan, konsumsi berbagai produk, jasa &
pengalaman serta ide-ide9.
Dalam penelitian Andri (2011) penggusuran paksa terhadap hunian
masyarakat oleh negara merupakan fenomena umum yang terjadi di kota-kota
besar di Indonesia saat sekarang. Secara umum, praktik penggusuran paksa oleh
negara memiliki kecenderungan dengan cara-cara seperti, penggunaan hukum
(berupa peraturan-peraturan daerah) sebagai legitimasi untuk melakukan
pengusiran. Dengan dasar ini negara mengeluarkan surat formal ataupun
pernyataan yang menyuruh penduduk meninggalkan lokasi. Dalam praktik
penggusuran, aparat gabungan (Satuan Polisi Pamong Praja, Kepolisian, dan
Tentara Nasional Indonesia) menggunakan cara-cara kekerasan dengan tujuan
melakukan pengusiran secara paksa.

9

http://www.pengertianku.net/2015/03/pengertian-perilaku-konsumen-dan-menurut-para-ahlilengkap.html

16
Universitas Sumatera Utara

Relokasi dalam penelitian Musthofa (2011) mengatakan seharusnya
pemerintah melakukan beberapa langkah sebagai berikut sebelum melakukan
tindakan relokasi
1. Perlunya koordinasi sejak tahap perencanaan, pelaksanaan, sampai dengan
evaluasi
2. Pemilihan Areal Relokasi
3. Hak masyarakat yang akan dipindahkan
4. Kelengkapan fisik lokasi pemukiman kembali
5. Bentuk rumah dan bangunan lain yang relevan
6. Status hak atas tanah.
Sedangkan Relokasi dalam penelitian saya penggusuran secara paksa yang
dilakukan oleh pihak pemerintah kota medan terahadap pedagang buku yang
menolak untuk direlokasi kareana tidak ada kejelasan hak atas tanah kios yang
disediakan oleh Pemerintah Kota Medan.
Pemerintah Kota

Medan menunjukan sikap arogansinya

dengan

menggunakan kuasanya untuk melakukan penggusuran terhadap pedagang buku,
yang seharusnya pihak dari Pemerintah Kota Medan melakukan relokasi dengan
mensosialisakan pembangungan dan menyepakati bersama area relokasi pedagang
buku bekas lapangan merdeka.

1.3 Rumusan Masalah
Keberadaan pedagang belum tersentuh perencanaan yang memadai,
terbuka dan mendapatkan kesetaraan dengan sektor formal. Keberpihakan
pemerintah kepada para pedagang belum terlihat. Hal ini dikarenakan

17
Universitas Sumatera Utara

pembangunan lebih mengutamakan kepentingan golongan ekonomi menengah
keatas. Mereka yang termarjinalkan yaitu pedagang yang bertarung dengan
caranya masing-masing.
Berdasarkan pemaparan di atas, maka yang menjadi perumusan masalah
dalam penelitian ini adalah :
1. Mengapa terjadi perpecahan antara sesama pedagang buku.
2. Mengapa pedagang buku bekas menolak direlokasi ketempat yang
telah ditentukan pemerintah.
3. Bagaimana

peranan

asosiasi

pedagang

buku

menghadapi

Pemerintah Kota Medan.

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah diatas maka tujuan penelitian yang
diharapkan dan dapat diperoleh dari hasil penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui penyebab terjadinya perpecahan antara pedagang
buku
2. Untuk mengetahui alasan pedagang buku bekas Lapangan Merdeka
menolak relokasi.
3. Untuk mengetahui peran asosiasi dalam menghadapi Pemko Medan.
Hasil penelitian diharapkan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan
tentang gerakan perlawanan pedagang buku bekas Lapangan Merdeka terhadap
kebijakan relokasi Pemerintah Kota Medan. Penelitian ini juga diharapkan dapat
memberikan manfaat penelitian sebagai berikut :

18
Universitas Sumatera Utara

1. Menghasilkan karya ilmiah mengenai upaya perlawanan pedagang
buku bekas Lapangan Merdeka terkait kebijakan relokasi Pemerintah
Kota Medan sehingga penelitian ini dapat memberikan peran
terhadap pengembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam
mengetahui kajian gerakan perlawanan.
2. Hasil penelitian ini bisa dipakai sebagai referensi dalam memahami
kehidupan para pedagang buku yang cenderung termarjinalkan
dengan kebijakan Pemerintah Kota Medan.
Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk bahan pijakan bagi para
pengambil kebijakan dalam menentukan kebijakan yang menangani para
pedagang buku bekas yang ada buku bekas dan perlunya rasa kebersamaan agar
tercipta rasa keamanan dan kenyamanan bagi para pedagang buku bekas sebagai
bagian dari anggota masyarakat.

1.5 Metode Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif dengan menggunakan metode kualitatif
untuk menggambarkan bagaimana kondisi pedagang buku yang berada di lokasi.
Sesuai yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat (2009) penelitian yang bersifat
deskriptif bertujuan untuk menggambarkan secara tepat sifat-sifat individu,
keadaan, gejala atau kelompok tertentu atau untuk menentukan frekuensi atau
penyebaran suatu gejala hubungan tertentu antar gejala lain dalam masyarakat.
Teknik penelitian ini merupakan penelitian yang menggunakan Teknik
Observasi Partisipasi. Teknik yang dilakukan dengan melibatkan peneliti secara
langsung dalam kegiatan di lapangan. Artinya peneliti bertindak sebagai observer

19
Universitas Sumatera Utara

yaitu merupakan bagian yang integral dari objek yang ditelitinya berdasarkan
kenyataan lapangan dan yang dialami informan. Metode ini mampu menggali
informasi yang mendalam dari sumber-sumber yang luas. Dalam penelitian ini
saya juga menggunakan pendekatan emic yakni suatu cara mendekati fenomena
dengan menggunakan konseptual informan agar meminimalisir terjadi kesalahan
dalam mengartikan dan menganalisis data. Metode penelitian dalam hal ini
mencoba menggambarkan bagaimana gerakan perlawanan pedagang buku bekas
ex-sisi timur Lapangan Merdeka Kecamatan Medan Petisah Kota Medan yang
sekarang berjualan di Jalan Pegadaian Kelurahan Aur, Kecamatan Medan
Maimun dan Titi Gantung, Kecamatan Medan Timur.
Di dalam penelitian ini saya juga mengunjungi beberapa tempat yang saya
rasa tepat dan baik untuk mencari dan menggali data terhadap informan yang
mengerti akan kondisi permasalahan konflik relokasi tempat pedagang buku ini.
Lokasi penelitian ini adalah di Jalan Pegadaian Kelurahan Aur, Kecamatan Medan
Maimun dan di Kantor Lembaga Kontras yang menangani permasalahan kasus ini
di Jalan Brigjend Katamso, Kecamatan Medan Maimun. Adapun yang menjadi
alasan peneliti untuk memilih lokasi penelitian ini adalah dikarenakan pedagang
buku bekas terpusat disisi timur Lapangan Merdeka yang sekarang berada di Jalan
Pegadaian Kelurahan Aur, Kecamatan Medan Maimun.
Dalam mengumpulkan data lapangan peneliti akan memperoleh dua jenis
data, yaitu :
1. Data Primer adalah data mentah yang diperoleh peneliti dalam penelitian
lapangan dengan cara wawancara serta observasi partisipasi.

20
Universitas Sumatera Utara

2. Data Sekundar adalah data yang diperoleh peneliti untuk mendukung
penelitiannya dalam yang berasal dari sumber lain seperti sumber internet.
Untuk memperoleh data dilapangan peneliti akan menggunakan beberapa
teknik-teknik pengumpulan data. Teknik pengumpulan data itu berupa
observasi partisipasi dan wawancara.
1.5.1 Observasi Partisapasi (Observe of Partipatory)
Observasi adalah pengamatan secara langsung terhadap objek yang diteliti
untuk mendapatkan gambaran yang tepat mengenai objek penelitian artinya disini
saya ikut terjun kelapangan untuk memahami fenomena yang ada dilapangan.
Dalam penelitian ini, saya langsung mengamati ke sisi timur lapangan merdeka
dan Jalan Pegadaian tempat mereka berdagang sekarang. Data yang diperoleh
melalui observasi ini terdiri dari rincian tentang kegiatan, perilaku, tindakan
pedagang buku secara keseluruhan. Hasil observasi ini kemudian dituangkan
dalam catatan lapangan.
1.5.2 Wawancara
Wawancara (interview) adalah suatu percakapan (proses tanya jawab)
dengan tatap wajah langsung yang memiliki pertanyaan yang sudah terstruktur
dalam sudut pandang informan tersebut (emic view). Proses wawancara dengan
emic view ini akan mendapatkan hasil yang bersifat objektif. Dari proses
wawancara tersebut nantinya peneliti akan mendapatkan keterangan secara lisan
dan akan dituangkan secara tulisan. Kegiatan wawancara ini akan memfokuskan
kepada informan. Pemilihan informan dalam wawancara ini sangatlah penting,
agar informasi yang didapat lebih fokus dan sesuai dengan apa yang peneliti
ingin. Oleh karena itu, peneliti akan memilih beberapa perwakilan pedagang buku

21
Universitas Sumatera Utara

ASPEBLAM, P2BLM dan Pemerintah Kota Medan sebagai pihak yang terkait.
Teknik Wawancara ini digunakan peneliti untuk mendapatkan informasi yang
lebih detail dan mendalam dari hasil observasi partisipasi sebelumnya. Peneliti
akan mencatat beberapa pertanyaan – pertanyaan yang akan ditanyakan kepada
informan dengan gaya bahasa yang tidak membosankan, sehingga informasi yang
lebih jujur dan apa adanya yang akan didapatkan.
1.5.3

Live In
Tinggal bersama objek penelitian ini diharapkan akan mendapatkan data

yang benar-benar jujur adanya. Peneliti akan ikut tinggal bersama salah satu
informan dilingkungan penelitiannya. Teknik ini akan membantu peneliti dalam
memperoses kebenaran dari data maupun informasi dari informan serta lebih
merasakan apa yang sesungguhnya dirasakan oleh objek. Proses Live In tersebut
diperoleh peneliti salah satu pedagang buku bekas lapangan merdeka.
Selanjutnyan peneliti akan menentukan siapa informan yang tepat untuk
mendapatkan data yang sesuai dengan rumusan masalah yang telah ditentukan.
Penting bagi peneliti menentukan siapa informan untuk mendukung hasil
penelitian nantinya. Karena peneliti akan mengamati bagaimana para pedagang
buku menjalankan kegiatannya sehari-hari seperti berjuaan buku, menjalankan
asosiasi dan melakukan perjuangannya. Rapot yang baik akan berdampak bagi
hasil penelitian kita dengan informan. Oleh sebab itu, seorang peneliti haruslah
berusaha mengembangkan rapot yang baik dilapangan. Sikap yang sopan serta
rendah hati adalah salah satu modal dasar peneliti dalam mengembangkan rapot
yang baik nantinya saat melakukan penelitian.

22
Universitas Sumatera Utara

1.6 Pengalaman Penelitian
Lokasi penilitian ini berlokasi didaerah sekitar pedagang buku berjualan
yaitu disisi Timur Lapangan Merdeka, Jalan Pegadaian dan juga Titi Gantung,
akan tetapi peneliti tidak menutup kemungkinan untuk melakukan penelitian
ditempat lain yakni ditempat pedagang buku meakukan kegiatan asosiasi misalnya
rapat dan hal yang lain yang tidak bisa ditentukan tempatnya tapi biasanya
pedagang buku melakukan kegiatan asosiasi di Jalan Brigjen Katamso Gang
Bunga di

Kantor Komisi Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS)

Sumatera Utara, karena KontraS yang mengadvokasi pedagang buku. Awal
penulis melakukan penelitian pada tahun 2013 karena kebetulan penulis pada saat
itu menjadi salah satu pengurus HMI Komisariat FISIP USU dan organisasi
tersebut bersifat sebagai organisasi perjuangan sehingga memiliki perspektif
bersama dengan para pedagang buku untuk melakukan sebuah perjuangan. Pada
tahun 2013 bulan Juni peneliti mendapatkan undangan untuk menghadiri diskusi
yang diadakan pedagang buku di Kantor KontraS untuk melakukan konsolidasi.
Dalam konsolidasi tersebut terdapat beberapa LSM dan organisasi mahasiswa
yang hadir pada konsolidasi saat itu. Disaat itulah penulis mengenal dari beberapa
pedagang buku yang sebelumnya belum mengenalinya sperti Ketua P2BLM ,
Senan. Anggota sering memanggil ketua dengan bahasa Bang Haji, namun ada
juga para pengurus pedagang buku lainnya dan anggota dari P2BLM yaitu ada
Bang Fadly, Bang Frans, Bang Ferry, Bang Benuk, Kak Aida dan beberapa orang
lainnya. Setelah beberapa kali melakukan konsolidasi bersama pedagang buku
peneliti akhirnya mengenali pedagang buku dengan cukup dekat bahkan bisa
menganggap seperti saudara sendiri saling membantu antara satu sama lain. Sejak

23
Universitas Sumatera Utara

saat itu setelah pulang kuliah hampir setiap hari penulis bermain kelokasi
pedagang buku berjualan di Sisi Timur Lapangan Merdeka. Karena hampir setiap
hari berjumpa dengan pedagang buku terkadang timbul juga rasa segan karena
setiap datang pasti ada saja yang ditawarkan oleh mereka misalnya makanan
seperti gorengan dan kue walaupun seadany,a tetapi tidak bisa memakannya
karena melihat kondisi pedagang buku yang mau direlokasi pada saat itu
perekonomiannya sangat menurun karena adanya wacana relokasi. Pedagang
bukupun pada itu merasa takut untuk berjualan karena terkadang adanya teror dari
orang yang tidak dikenal.

Pedagang

buku

juga

tidak

menghentikan

perjuangannya yang terlihat dengan setiap satu minggu sekali pedagang buku
P2BLM

melakukan konsolidasi di Lapangan Merdeka untuk melakukan

pelebaran sayap perjuangan untuk meminta bantuan LSM dan organisasi
mahasiswa untuk ikut mendukung pedagang buku melakukan perlawanan kepada
Pemerintah Kota Medan untuk menolak direlokasi. Sehingga pada puncaknya
pada tangal 19 September 2013 Pemerintah Kota Medan melakukan penggusuran
secara paksa. Pada malam harinya tanggal 18 September 2013 peneliti bersama
beberapa pedagang buku dan organisasi mahasiswa lainnya yang ikut berjuang
bersama pedagang buku tidur dikios pedagang buku disisi Timur

Lapangan

Merdeka untuk mengawal para pedagang buku agar tidak ada terjadinya tindakan
diskriminasi yang dilakukan oleh pihak Pemerintah Kota Medan terhadap
pedagang buku pada saat sebelum terjadinya penggusuran karena pada malamnya
sudah terdengar isu dari Kapolda menurunkan pasukan sabara sekitar 1000
personel. Melihat angka yang tidak sedikit seperti itu membuat kami berspekulasi
ini sebenarnya melakukan relokasi atau melakukan penggusuran paksa melihat

24
Universitas Sumatera Utara

jumlah pedagang buku secara keselurahan tidak lebih dari 300 pedagang. Pada
tanggal 19 september 2013 benar adanya 1000 personel polisi sabara yang datang
kelokasi dengan 3 mobil water canon dan 2 alat berat untuk merubuhkan
pedagang buku. Pada saat itu dialog terjadi antara pedagang buku yang melakukan
perlawanan dan pihak Pemko Medan. Ketika melakukan dialog pihak pemko juga
tidak berhenti sembari menghancurkan kios pedagang buku dengan kondisi
seperti itu banyak para pedagang yang menangis bahkan jatuh pingsan melihat
kondisi kiosnya dihancurkan. Saat sampai pada saat sore hari akhirnya pihak dari
Pemko Medan, KontraS dan P2BLM mempunyai kesepakatan pedagang buku
akan direvitalisasi. Karena adanya kesepakatan revitalisasi, pedagang buku
bersedia direlokasi untuk sementara waktu menunggu pembangunan dari pihak
Pemko Medan selesai. Peneliti dihari berikutnya membantu pedagang buku untuk
memindahkan buku dari kios sisi Timur Lapangan Merdeka kekios Jalan
Pegadaian. Dihari-hari berikutnya peneliti selalu mengikuti perkembangan
pedagang buku seperti terlibat dalam konsolidasi, aksi dan mediasi. Peneliti juga
tidak hanya ikut terlibat dalam hal perjuangan dengan pedagang buku namun
peneliti juga sering diundang ke acara-acara yang bersifat kekeluargaan seperti
buka bersama dan pesta keluarga. Sampai peneliti hampir selesai menulis skripsi
ini peneliti tetap menjaga komunikasi bahkan sempat beberapa kali bertemu
dengan pedagang buku. Kedekatan peneliti dengan P2BLM berdampak tidak
leluasanya peneliti mengambil data ke ASPEBLAM sehingga peneliti hanya
mendapatkan data yang umum saja dari ASPEBLAM.

25
Universitas Sumatera Utara