Pedagang Buku Bekas (Studi Etnografi Asosiasi dan Pedagang Buku Bekas Lapangan Merdeka Kota Medan) Chapter III V

BAB III
ASOSIASI PEDAGANG BUKU

3.1

Peran Asosiasi Pedagang
Asosiasi adalah persatuan antara rekan usaha atau persekutuan dagang

yang mempunyai kepentingan bersama13. Menurut Menurut Herskovtis (dalam
Prof Harsojo 217:1988) Asosiasi bebas yang tidak dibangun atas dasar
kekerabatan, meliputi berbagai bentuk pengelompokan berdasarkan seks, umur
dan dalam arti yang lebih luas, strukur sosial itu juga meliputi relasi sosial yang
mempunyai karakter politik berdasarkan atas daerah tempat tinggal dan status.
Harsojo

(1988:114)

Hidup

dalam


bermasyarakat

berarti

mengorganisasikan berbagai kepentingan, kebutuhan para individu serta
pengaturan sikap manusia yang satu terhadap yang lain dan pemusatan manusia
dalam kelompok tertentu untuk melakukan tindakan bersama. Relasi sosial yang
timbul dari hidup bermasyarakat itu dapat kita lihat sebagai suatu rencana atau
sistem yang dapat disebut struktur sosial. Jadi strukur sosial suatu masyarakat
manusia meliputi berbagai tipe kelompok atau asosiasi dan institusi dalam mana
orang banyak itu mengambil bagian. Dengan perkataan lain asosiasi
sesungguhnya adalah kelompok yang diorganisasikan. Kriteria organisasi yang
menjadi ciri asosiasi adalah:
1. Mempunyai tujuan dan fungsi yang jelas dan tertentu.
2. Ada norma asosiasi.
3. Ada status asosiasi.

13

KBBI


35
Universitas Sumatera Utara

4. Ada otoritas.
5. Percobaan menjadi anggota atau ada sistem calon anggota.
6. Ada sistem hak milik
7. Mempunyai nama atau lambang identitas.
Fungsi asosiasi adalah:
1. Asosiasi dibentuk untuk melakukan tujuan tertentu seperti misalnya
tujuan politik, ekonomi sosial dan kebudyaan.
2. Sering juga bahwa suatu asosiasi mempunyai lebih dari satu fungsi
Dalam kasus pedagang buku bekas Lapangan Medeka terdapat dua
asosiasi yang menaungi pedagang buku bekas Lapangan Merdeka, yakni asosiasi
pedagang buku bekas Lapangan Merdeka dan persatuan pedagang buku bekas
Lapangan Merdeka. Masing masing organisasi ini memeiliki peran dan fungsi
sendiri terhadap anggotanya dalam hal menyikapi kebijakan relokasi Pemko
Medan.

3.1.1


Asosiasi Pedagang Buku Bekas Lapanagan Merdeka (ASPEBLAM)
Asosiasi pedagang buku bekas Lapangan Merdeka adalah salah satu

asosiasi pedagang buku yang menaungi pedagang buku bekas disisi timur
Lapangan Merdeka, ASPEBLAM adalah suatu asosiasi pedagang buku yang
sepakat direlokasi kejalan penggadaian, pada saat penggusuran pedagang buku
sisi timur Lapangan Merdeka berlangsung, seluruh anggota ASPEBLAM
dikoordinir oleh pengurus untuk tidak ikut melakukan perlawanan dengan
pedagang buku yang lain dan segera membereskan buku yang ada dikios dan

36
Universitas Sumatera Utara

memindahkannya kekios yang sudah disediakan dijalan penggadaian. Menurut
Donald, Ketua Aspeblam:
“Kami asosiasi pedagang buku bekas Lapangan Merdeka
(ASPEBLAM) sepakat untuk direlokasi kejalan penggadaian, saya
selagi ketua mempertimbangkan hal ini dengan anggota saya dan
mempunyai kesepakatan untuk bersedia direlokasi dengan landasan

asosiasi pedagang buku bekas Lapangan Merdeka (ASPEBLAM)
percaya akan kebijakan dari pemerintahan Kota Medan merelokasi
pedagang buku ke Jalan Penggadaian untuk kepentingan dan kebaikan
pedagang buku. Kami berpikir bahwasannya mereka yang lebih
paham tentang kebijakan atau memang bidang mereka bicara tentang
kebijakan, kami pedagang buku tidak tau menau akan persoalan
kebujakan pemerintahan Kota Medan, kalau misalnya kami melawan
dan menolak untuk direlokasi pastilah kebijakan dari Pemerintahan
Kota Medan tidak bisa digugat lagi”.
3.1.2

Persatuan Pedagang Buku Bekas Lapangan Merdeka (P2BLM)
Persatuan Pedagang Buku Bekas Lapangan Merdeka (P2BLM) adalah

salah satu Asosiasi Pedagang Buku yang menaungi pedagang buku bekas sisi
timur Lapangan Merdeka P2BLM berperan sebagai wadah atau tempat berkumpul
pedagang buku untuk melakukan konsolidasi atau tempat pedagang melakukan
diskusi antar sesama pedagang. P2BLM juga salah satu asosiasi pedagang buku
bekas yang menolak direlokasi ke Jalan Penggadaian, P2BLM sepakat untuk
melakukan


suatu

gerakan

perlawan

sampai

tuntutan

mereka

terhadap

Pemerintahan Kota Medan direalisasikan.
P2BLM selalu melakukan kegiatan yang bersinggungan dengan penolakan
mereka ke Jalan Penggadaian, beberapa kali melakukan aksi demonstrasi seperti
aksi jalan dari stasiun kereta api menuju ke Kantor Walikota Medan dan DPRD
bahkan tidak hanya sekali, tapi sampai berkali-kali mereka melakukan aksi itu,

melakukan panggung rakyat di Lapangan Merdeka dan setiap minggu melakukan
bersih-bersih disisi timur Lapangan Merdeka dengan mengundang LSM dan

37
Universitas Sumatera Utara

organisasi mahasiswa sekota Medan. Setiap melakukan agenda konsolidasi
P2BLM selalu mengundang LSM yang bergerak dibidang Hukum dan Ham
seperti KontraS Sumut dan pernah juga mengundang Komnas HAM untuk
meminta bantuan mewujudkan aspirasi dari Persatuan Pedagang buku Bekas
Lapangan Merdeka. Senan mengatakan:
”Kami membentuk P2BLM sebagai wadah agar perjuangan
dalam menolak relokasi bisa dilakukan secara teroganisir, jadi
pedagang buku yang tidak sepakat direlokasi ke Jalan Penggadaian
tidak berjuang sendiri-sendiri untuk mewujudkan haknya karena kami
mempunyai tujuan yang sama untuk tidak direlokasi ke Jalan
Penggadaian, maka para pedagang sepakat untuk membentuk
P2BLM”.
Hal ini sama seperti yang dikatakan R. Firth. Asosiasi dibentuk untuk
melakukan tujuan tertentu seperti misalnya tujuan politik, ekonomi sosial dan

kebudyaan14. Jadi terbentuknya P2BLM atas dari kesadaran dan tujuan bersama
antar pedagang buku yang tidak sepakat kebijakan Pemerintahan Kota Medan
merelokasi pedagang buku.

3.2

Dualisme Asosiasi Pedagang
Pedagang buku pada saat berjualan di Titi Gantung memiliki paguyuban

sesama pedagang buku bekas yaitu Asosiasi Pedagang Buku Bekas. Asosiasi
tersebut dibentuk dengan tujuan untuk melakukan perlawanan menolak relokasi
dari Titi Gantung ke sisi Timur Lapangan Merdeka. Pedagang buku direlokasi
dikarenakan Titi Gantung merupakan cagar budaya Kota Medan yang harus dijaga
dan dilestarikan keindahannya.

14

R. Firth (dalam Prof Harsojo 114:1988). Pengantar Antropologi. Binacipta.

38

Universitas Sumatera Utara

Mendengar adanya rencana Pemko Medan akan kembali merelokasi,
pedagang buku bekas akhirnya sepakat untuk membentuk organisasi pedagang
buku bekas yaitu Asosiasi Pedagang Buku Bekas Lapangan Merdeka
(ASPEBLAM). ASPEBLAM dibentuk juga berdasarkan paguyuban yang berasal
dari Titi Gantung dan merubah nama karena lokasinya yang juga sudah berbeda
yaitu di sisi timur Lapangan Merdeka. Pedagang menolak direlokasi dengan
alasan Jalan Mandala by Pass bukan merupakan pusat inti Kota Medan dan
lokasinya sangat jauh yang dikhawatirkan akan menurunkan omset penjualan
buku bekas. Sainan mengatakan:
“Di tahun 2012 itu ada respon dari Pemko Medan untuk
merelokasi kami ke Jalan Mandala by Pass, kami tidak menerima
relokasi tersebut. Sejak itulah kami pedagang buku melakukan
musyawarah dan rembukan untuk membentuk kelompok pedagang
buku yang namanya ASPEBLAM yaitu, Asosiasi Pedagang Buku
Bekas Lapangan Merdeka Medan. Itu terbentuk karena adanya Pemko
Medan mau merelokasi kami ke Jalan Mandala. Tujuan dibentuknya
ASPEBLAM yang itu untuk melakukan satu penelitian maksud dan
tujuan Pemko Medan merelokasi apakah itu menguntungkan

pedagang atau tidak”.
ASPEBLAM adalah organisasi yang dibentuk oleh pedagang buku bekas
untuk menolak relokasi yang akan dilakukan Pemerintah Kota Medan dan
memiliki tugas untuk melakukan kajian apakah relokasi tersebut menguntungkan
pihak pedagang atau tidak. Keinginan semua pedagang pada saat akan direlokasi
yaitu, mengambil komitmen untuk tetap bertahan disisi timur Lapangan Merdeka.
Hal ini disepakati pada rapat pedagang buku di Parapat. Hasil

rapat

tersebut memutuskan bahwa pedagang buku akan bertahan dan menolak relokasi
oleh Pemko Medan. Alasan pedagang menolak adalah lokasi tersebut kurang
strategis dan merupakan pinggiran Kota Medan. Pedagang juga mengatakan

39
Universitas Sumatera Utara

karena lahan tersebut merupakan lahan PT. KAI, bukan aset dari Pemko Medan.
Ada kemungkinan kios tersebut menggunakan sistem sewa dan pedagang
dibebankan untuk membayar uang sewa kios sebesar Rp. 850 ribu per tahun.

Setelah mendapatkan hasil keputusan hasil rapat di Parapat, para pedagang
yang awalnya menolak relokasi ketika berada di Medan pengurus menyetujui
untuk direlokasi tanpa memberitahukan kepada anggota pedagang buku bekas
lainnya. Dengan alasan pedagang buku harus mengikuti aturan Pemko Medan.
Karena hal ini sesuai dengan aspirasi anggota ASPEBLAM dan lokasi tempat
yang akan digunakan sudah representatif serta Pemko Medan menyetujui hal
tersebut. Ukuran kios 2x2 meter lebih besar dibandingkan di Lapangan Merdeka.
Ukuran tempat dan lokasi usaha sejajar, berbeda dengan yang ada di Lapangan
Merdeka, kios ada yang bertempat dibelakang dan ada yang berada didepan.
Kesepakatan syarat yang diajukan pengurus adalah :
1) Biaya relokasi dan pembangunan kios di lokasi baru ditanggung oleh
Pemko Medan atau pihak yang ditunjuk Pemko.
2) Perpindahan dilaksanakan secara bersamaan.
3) Lokasi baru bagi pedagang harus sah secara hukum.
Usulan dan syarat disepakati oleh Pemko Medan dan Dinas Perumahan
dan Permukiman agar menyiapkan dengan segera alas hukum lokasi yang akan
ditempati pedagang buku bekas. Kebijakan pengurus yang awalnya menolak dan
tiba-tiba sepakat untuk pindah mulai menimbulkan kecurigaan dan kekecewaan
dari beberapa pedagang buku karena telah mengingkari hasil keputusan dirapat.
Berdasarkan penuturan Bapak Fadli Syahputra sebagai berikut :

“Setelah pulang dari Parapat terjadi perbedaan kebijakan
yang menyatakan kepengurusan rela di relokasi, karena alasan

40
Universitas Sumatera Utara

pengurus sudah sesuai dengan kebijakan pemerintah jadi kita harus
mengikuti pemerintah, kita awalnya bertahan nah kenapa tiba-tiba jadi
kita setuju sama relokasi itu, awalnya disinyalir adalah sesuatu yang
tidak bisa kita pastikan. Yang jelas komitmen itu berubah dari
awalnya bertahan hingga setuju untuk pindah”.

Kesepakatan tersebut ternyata hanya janji-janji belaka, karena Pemko
Medan dianggap mengingkari hasil kesepakatan dengan pedagang. Hal tersebut
dikarenakan tidak kunjung jelas alas hukum lokasi kios yang akan dipakai dan
sudah diberi surat pemberitahuan untuk mengosongkan kios. Hal ini menimbulkan
amarah dan kekecewaan pedagang. Realisasi dari kekecewaan pedagang buku
untuk kembali menolak relokasi yaitu, adanya aksi turun ke jalan dan melakukan
demonstrasi. Aksi tersebut diikuti oleh pedagang buku, agar aspirasi mereka
didengarkan pedagang memblokir Jalan. Stasiun, seputaran Lapangan Merdeka,
Medan. Aksi ini dengan membakar ban bekas serta kayu untuk dibakar. Aksi ini
untuk menolak relokasi ke Jl. Pegadaian dan segera membuat alas hukum bagi
pedagang jika akan di relokasi.
Kecurigaan dan ketidak percayaan anggota terhadap pengurus memuncak
dengan adanya rencana Pemko Medan untuk membangun pondasi di lapangan
merdeka. Bangunan pondasi tersebut harus menghancurkan tempat pedagang
sebanyak 20 kios. Pengurus pada saat itu menyepakati hak tersebut dengan syarat
perusahaan pengembang menyatakan akan membayar ganti rugi biaya harian yaitu
sebesar Rp.50.000, - (lima puluh ribu rupiah) perhari kepada 20 pedagang yang
kiosnya akan dirusak dan apabila pada tanggal tersebut pelaksanaan pembangunan
180 kios belum selesai maka perusahaan akan memberikan tambahan biaya harian

41
Universitas Sumatera Utara

tersebut sebanyak 10 kali lipat dari biaya harian yang telah disepakati yaitu
menjadi Rp.500.000, - (lima ratus ribu rupiah) per hari.
Namun, para pedagang 20 kios tersebut hanya menerima biaya harian
selama 21 hari sebanyak Rp. 700.000, (tujuh ratus ribu rupiah) yaitu 19 Desember
2012 s/d 10 Januari 2013, selebihnya yaitu sampai dengan Maret 2013 para
pedagang ini tidak lagi menerima uang harian tersebut. Sampai dengan 18 Maret
2013 dan lokasi berjualan mereka belum kunjung selesai juga dibangun di Jalan
Pegadaian serta alas hukum yang belum jelas. Hal ini berdasarkan penuturan dari
Bapak M. Hasrah Siregar yang kiosnya termasuk dihancurkan di awal
menyatakan :
“Awalnya 20 kios ini akan dijanjikan dengan ganti rugi
Rp.50.000 per hari oleh pihak developer (pengembang) dan dibantu
oleh kepengurusan masa itu. Alasan kami untuk meminta ganti rugi ya
mau makan apa kami, belum lagi anak, istri kami, kalo cuman
segitunya pendapatan kami. Maka dari itu, kami terima kios kami
dihancurkan dengan catatan, apabila sampai dengan 21 hari kios kami
belum selesai dan seluruh pedagang belum juga pindah maka ganti
ruginya 10 kali lipat per hari jadi nya Rp. 500.000,- (lima ratus ribu
rupiah) per hari. Logikanya kan gini gak mungkin kami bisa cari
makan di pegadaian 20 kios ini sedangkan yang rame itu di masih di
Lapangan Merdeka”.
Pedagang yang 20 kiosnya dihancurkan mengadukan nasib mereka kepada
pengurus, tetapi tidak direspon dengan baik. Pedagang dijanjikan oleh pengurus
apabila dalam jangka waktu yang dekat tidak juga dibayar maka pedagang buku
akan melakukan demonstrasi. Hal itu tidak kunjung terjadi, tuntutan ganti rugi
pedagang buku berlalu begitu saja tanpa ada kejelasan dari pihak pengembang.
Berdasarkan kejadian tersebut memicu pedagang buku untuk membuat organisasi
baru, karena merasa aspirasi mereka sudah tidak didengarkan lagi oleh pengurus
ASPEBLAM. Awal pertemuan anggota yang tidak sepakat berawal di Taman Sri

42
Universitas Sumatera Utara

Deli dengan diam-diam tanpa diketahui oleh pengurus ASPEBLAM. Kondisi ini
sesuai dengan pernyataan Bapak Didi Siswanto yang mengatakan bahwa :
“Pengurus ASPEBLAM ini udah gak betul, karena udah
melanggar kesepakatan yang ada di ASPEBLAM itu. Berarti ini ada
udang di balik peyek kan gitu istilahnya kan pada saat itulah kami dan
kawan-kawan yang tidak sepaham dengan aspeblam mengadakan
pertemuan di Taman Sri Deli dengan tujuan membicarakan ketidak
setujuan kami dengan keputusan ASPEBLAM tadi. Itulah awal
mulanya terbentuk (Persatuan Pedagang Buku Bekas Lapangan
Merdeka) P2BLM”.
Kondisi ini sesuai dengan apa yang dikatakan Balridge sebagai fase
pragerakan (premovement stage). Pedagang buku sebagai individu merasakan
adanya tekanan struktur dari Pemko Medan dan dari pengurus ASPEBLAM agar
segera setuju untuk direlokasi. Fase pragerakan ditandai dengan berkumpulnya
beberapa pedagang yang memiliki minat yang sama untuk berkumpul, yang
merasakan kebencian, diskriminasi dan membentuk organisasi P2BLM sebagai
awal gerakan. Terdapat dua penyebab terbentuknya Persatuan Pedagang Buku
Bekas Lapangan Merdeka yaitu :
1) Kecewa dengan kebijakan pengurus ASPEBLAM yang menyetujui
relokasi ke Jalan Pegadaian, Kelurahan Aur, Kecamatan Medan Maimun,
serta mengingkari hasil rapat di Parapat.
2) Anggota menganggap pengurus tidak bertanggung jawab atas ganti rugi
terhadap penghancuran 20 kios awal yang diperuntukkan untuk pondasi
awal sky bridge.
3) Anggota pedagang buku ingin tetap berjualan di sisi timur Lapangan
Merdeka.
Kondisi ini dipertegas dengan pernyataan Ibu Isdawati yang mengatakan
kecewa terhadap pengurus ASPEBLAM dan tidak ada tanggung jawab dari
43
Universitas Sumatera Utara

pengurus untuk mengakomodir suara anggota pedagang buku. Berikut kutipan
pernyataan beliau:
“Pengurus selalu mengambil keputusan sendiri, tidak ada
kompromi dengan anggota. Pengurus semacam punya ambisi dan
membodohi anggota yang lainnya. Seharusnya setiap dia ketemu
dengan siapapun kalo mengambil suatu keputusan dan lain-lain
mereka tidak berhak mengambil keputusan sendiri, harus melalui
keputusan anggota kalau sudah keputusan anggota kan berarti
keputusan yang akurat. ketidak cocokan pemikiran itu yang membuat
kita pecah, karena sebenarnya yang anggota mau bagaimana
organisasi ini berjalan dengan prosedur yang ada tanpa ada embelembel dan maksud tertentu. Karena ada keganjalan-keganjalan dalam
organisasi itu maka kami memisahkan diri. Karena kita positif kalau
kita lihat (pengurus) keluar jalur kita lebih bagus membangun
organisasi yang baru dari hati ke hati bukan dari ambisi. Tidak ada
kecocokan pengurus dan anggota lainnya. Dibentuknya P2BLM itu
adalah wadah yang betul-betul menjalankan wadah organisasi itu yang
sebenarnya”.
Karena tidak adanya kepercayaan anggota ASPEBLAM kepada Pengurus
ASPEBLAM maka dengan kesadaran pedagagang buku yang tidak sepakat
dengan kebijakan ASPEBLAM membentuk suatu organisasi yaitu Serikat
Pedagang Buku Bekas Lapangan Merdeka (SP2BLM).

3.3

Konflik Antar Asosiasi
Munculnya dualisme pedagang (ASPEBLAM dan P2BLM) menyebabkan

konflik antara 2 asosiasi pedagang. Konflik ini berawal dari kebijakan Pemko
Medan yang ingin merelokasi pedagang buku dari sisi timur Lapangan Merdeka
ke Jalan Pengadaian dikarenakan sisi timur Lapangan Merdeka akan dijadikan
lahan parkir dan dibangun skybridge15. Hal inilah yang menjadi akar konflik
antara ASPEBLAM dan P2BLM.

15

Sky bridge adalah jembatan penyebrangan jalan dari sisi Timur Lapangan Merdeka ke stasiun
Kereta Api

44
Universitas Sumatera Utara

Dari awal terbentuknya P2BLM ini adalah salah satu langkah kongkrit
sebuah perlawanan yang dilakukan P2BLM terhadap ASPEBLAM, Yang dari
awalnya pedagang buku hanya dinaungi satu asosiasi ini menjadi terpecah
menjadi

dua kubu, P2BLM asosiasi pedagang yg komitmen menolak untuk

direlokasi ke Jalan Pengadaian, sedangkan ASPEBLAM asosiasi yang bersedia
untuk direlokasi. Bisa ditarik kesimpulan dua ideologi yang berbeda inilah yang
menyebabkan dua asosiasi ini berseteru dalam hal apapun, hal ini sama yg
dikatakan menurut Fisher et al. (2000) adalah hubungan antara dua pihak atau
lebih (individu atau kelompok) yang memiliki sasaran-sasaran yang tidak sejalan,
konflik adalah suatu kenyataan hidup, tidak terhindarkan dan sering bersifat
kreatif. Konflik terjadi ketika tujuan masyarakat tidak sejalan. Berbagai perbedaan
pendapat dan konflik biasanya diselesaikan tanpa kekerasan dan sering
menghasilkan situasi yang lebih baik sebagaian besar atau semua pihak yang
terlibat.
Konflik ini berdampak sampai kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh para
pedagang buku, misalnya P2BLM melakukan aksi untuk Pemko Medan segera
merealisasikan apa yang menjadi kebutuhan P2BLM, disisi lain ASPEBLAM
hanya melihat aksi P2BLM dan tidak ikut terlibat melainkan ada dari beberapa
individu yang dikatakan oleh Fadly :
“Waktu kami (P2BLM) melakukan aksi pada saat kios kami
digusur secara paksa ASPEBLAM tidak ikut bergabung dengan kami
melakukan perlawanan oleh aparat pemerintah, walaupun alat berat
seperti beko(alat berat) pemko yang menjadi lawan kami, P2BLM
tetap berkomitmen untuk menolak direlokasi, dan pada saat itu juga
secara sengaja ada dari beberapa pengurus ASPEBLAM hadir dilokasi
itu namun mereka gak ikut bergabung melakukan perlawanan tapi
malah mengolok-ngolok kami P2BLM dengan kata macem bisa aja
kelen lawan pemerintah, kami P2BLM menganggap ASPEBLAM

45
Universitas Sumatera Utara

sebagai sahabatnya pemko medan yg artinya mereka juga jadi lawan
kami”.

Disisi lain penulis melihat suatu pandangan yang sama terhadap
ASPEBLAM pada saat ASPEBLAM melakukan suatu kegiatan maka sebaliknya
juga seperti itu P2BLM mengolok-ngolok ASPEBLAM seperti dua sisi mata uang
yang berbeda tapi mempunyai satu fungsi yg sama, Yusuf mengatakan:
“Pada saat ASPEBLAM melalukan pengemasan buku dikios
sisi timur lapangan merdeka atau membereskan buku mau pindah ke
jalan penggadaian anggota P2BLM yang ada ditempat mencibir
ASPEBLAM sering kali terdengar kata-kata pedagang penghianat,
penjilat pemerintah, padahal kami menganggap kebijakan pemerintah
tidak bisa diganggu gugat lagi, karena keputusan pemerintah mereka
yg lebih tau atau lebih paham. Lagi pula pastilah kebijakan mereloksi
pedagang buku pastinya sudah dipertimbangan dengan matangmatang relokasi ini pasti untuk kebaikan pedaganng buku juga”.
Dan konflik ini berkelanjutan sampai sekarang seperti beranggapan bahwa
masing-masing asosiasi adalah asosiasi yang paling benar menurut pandangan
para pedagang yang ada diasosiasi masing-masing asosiasi. Hal ini berdampak
buruk terhadap P2BLM yg menolak direlokasi dengan adanya perpecahan antara
dua pedagang buku pastilah Pemerintahan Kota Medan mempunyai pemahaman
berbeda lagi dengan menanggapi perpecahan ini, dari Dinas Perumahan dan
Pemukiman, Mukhyar, mengatakan:
“Itu Sainan anggapannya semua kios nanti milik dia itu,
semua lahan dia yang punya, dia yang jamin sama pedagang lain
bahwa itu hak mereka, amanlah itu. Itu dia yang bilang hasil
perjuangan dia itu, kan gak bisa gitu, bisa jadi dijual nanti atas nama
Sainan”.
Melihat pandangan Pemerintahan Kota Medan seperti ini wajar saja
apabila P2BLM berpikir mereka seperti didiskriminasi, Sainan mengatakan :

46
Universitas Sumatera Utara

“Pemerintah khususnya Pemerintahan Kota Medan
seharusnya bijak dalam menanggapi pedagang buku, mereka yang
seharusnya mengayomi masyarakat bukan sebaliknya menjadi akar
konflik dari pedagang buku, karena P2BLM menolak direlokasi kami
dianggap seperti penghalang bagi Pemko Medan
untuk
merealisasikan pekerjaan mereka. Pada hal kami cuma ingin hak kami
sebagai pedagang buku diberikan tempat yang layak dan pemerintah
harus menanggung jawapinya bukan asal gusur dan relokasi saja, kami
pedagang juga punya hak untuk hidup disini”.
Pemerintah adalah simbol dari cerminan suatu negara. Pemerintah
mempunyai kewajiban dan tanggung jawab yang besar terhadap kesejahteraan
rakyatnya, hal ini sangatlah jauh dari apa yang diharapkan oleh P2BLM,
Pemerintahan Kota Medan yang seharusnya menjadi suatu lembaga yang
mengayomi pedagang buku, ini menjadi suatu akar konflik dari perseturuan antara
ASPEBLAM dan P2BLM. Pemerintah Kota Medan seharusnya menanggapi hal
ini secara bijak mereka seharusnya hadir sebagai wadah penengah (seharusnya)
tapi melihat apa yang dilakukan oleh Pemerintahan Kota Medan, Pemerintahan
Kota Medan seperti tidak perduli dengan kondisi konflik yang terjadi antara
ASPEBLAM dan P2BLM. Pemerintahan Kota Medan seperti membuangkan
masalah ini terhadap pedagang buku. Sederhananya saya mengatakan bahwa
Pemko membuang “bola panas” kepada ASPEBLAM dan P2BLM dan mereka
tidak mau terlibat konflik dari pedagang buku seperti buang badan padahal
mereka yang menimbulkan konflik yang terjadi terhadap ASPEBLAM dan
P2BLM.

3.4

Kondisi Pasca Kebijakan Revitalisasi
Kondisi pasca perjanjian antara Pemerintahan Kota Medan dengan para

pedagang buku semakin menimbulkan konflik baru bagi para pedagang buku.

47
Universitas Sumatera Utara

Karena dari awal saja Pemerintahan Kota Medan seperti melemparkan bola panas
ke padagang buku mengambil sikap tidak perduli terhadap permasalahan antar
sesama pedagang dan lebih parahnya lagi Pemerintahan Kota Medan adalah akar
konflik kesesama pedagang buku karena kebijakannya merelokasi pedagang buku
banyak yang menolak dengan anggapan tidak berpihak ke pedagang buku, pasca
merelokasi pedagang buku Pemerintahan Kota Medan akhirnya menyepakati dan
merealisasikan apa yang menjadi kebutuhan pedagang buku membangun kembali
kios pedagang buku disisi timur Lapangan Merdeka dan informasi ini disambut
dengan rasa yang sangat gembira P2BLM karena hampir selama dua tahun
lamanya perjuangan P2BLM yang menghabiskan banyak waktu, tenaga dan
materi sudah terbalaskan dengan direalisasikan apa yang menjadi tuntutan mereka
seperti apa yang dikatakan Frans:
“Saya sangat senang dengan disepakati dan kemudian
direalisasikan oleh pemerintahan kota medan apa yang menjadi
tuntutan kami P2BLM dengan didirikanya kembali kios pedagang
buku disisi timur lapangan merdeka, ini menjadi sebuah balasan yang
sangat adil bgai P2BLM, selama lebih kurang dua tahun lamanya
kami berjuang untuk menolak direlokasi dan meminta kepada pemko
medan untuk membangun kembali kios pedagang buku disisi timur
lapangan merdeka akhirnya terjadi juga, kami P2BLM pun sudah
tidak was-was lagi mencari pekerjaan baru, tidak pusing lagi
memikirkan mau makan apa anak-anak pedagang buku ini,
memikirkan biaya sekolah yg mahal bagaimanalah nasib anak kami
kalau kami tidak berjualan lagi, tapi memang betul tidak ada
perjuangan yang sia-sia selama niatan kita baik, pasti ada aja jalannya
untuk diberikan kebaikan”.
Hal ini sama seperti apa yang dikatakan oleh Turner dan Killian dalam
Suryadi (2007) mendefinisikan gerakan sosial secara luas sebagai suatu usaha
bersama untuk meningkatkan suatu penentangan perubahan dalam masyarakat
dimana usaha tersebut memainkan peran. Dimana usaha para pedagang tersebut

48
Universitas Sumatera Utara

berhasil memainkan perannya dengan mendominasi dan mengawal relokasi
pedagang buku sisi timur Lapangan Merdeka sampai tujuan mereka tercapai.
Karena adanya kesepakatan perjanjian dengan Pemerintahan Kota Medan
dan direalisasikannya bangunan kios pedagang buku disisi timur Lapangan
Merdeka maka P2BLM tidak melakukan sikap perlawanan lagi dengan
Pemerintahan Kota Medan. Mereka hanya tinggal mengawal kinerja Pemerintah
Kota Medan untuk segera menyelesaikan bangunan kios pedagang buku, namun
hal ini ternyata tak semudah apa yang dibayangkan P2BLM, setelah pihak
P2BLM mempertanyakan terkait bangunan kios pedagang buku sisi timur
Lapangan Merdeka, Pemerintahan Kota Medan melakukan konfirmasi ke
pedagang buku. Pada saat itu Pemerintahan Kota Medan mengatakan hanya
bersedia membangun kios pedagang buku berjumlah 180 kios. Seperti apa yang
dikatakan bapak Gunawan:
“Pemerintahan Kota Medan akan merevitalisasi pedagang
buku dengan membangun kios pedagang buku sisi timur Lapangan
Merdeka berjumlah 180 kios. Jumlah kios yang dibangun
Pemerintahan Kota Medan sesuai dengan jumlah para pedagang
pemilik kios yang terdaftar di Pemerintahan Kota Medan, dan
Pemerintah Kota Medan juga membangun fasilitas lainya seperti
mushola dan kamar mandi”.
Revitalisasi memang sudah menjadi kewajiban dan tanggung jawab
Pemerintahan Kota Medan terhadap pedagang buku, tapi akan lebih baik lagi
ketika Pemerintah Kota Medan lebih bijak dalam menanggapi suatu kondisi
misalnya langsung mengambil sikap akan merevitalisasi pedagang buku sisi timur
Lapangan Merdeka dan menyelesaikan konflik yang terjadi antara ASPEBLAM
dan P2BLM, bukan menjadi akar masalah bagi para pedagang.

49
Universitas Sumatera Utara

3.4.1 Perspektif ASPEBLAM Pasca Revitalisasi
Revitalisasi yang dilakukan oleh Pemerintahan Kota Medan sangatlah
menguntungkaan

bagi

pedagang

buku

(ASPEBLAM).

Pedagang

buku

(ASPEBLAM) berjumalah 120 pedagang dan secara keseluruhan pedagang buku
(ASPEBLAM) adalah pemilik kios, artinya secara keseluruhan pedagang buku
(ASPEBLAM) mempunyai hak kepemilikan kios disisi timur Lapangan Merdeka
setiap individunya. Dari awal pedagang buku (ASPEBLAM) mempercayai
kebijakan Pemerintah Kota Medan, ASPEBLAM meyakini apa yang dilakukan
oleh Pemerintah Kota Medan pastilah mempunyai pertimbangan yang matang dan
tentunya untuk kepentingan bersama, Donald mengatakan:
“Apa yang dilakukan oleh Pemko Medan tentang relokasi
dan revitalisasi adalah kebijakan yang sangat bijak. Dari awal
ASPEBLAM mempercayai kebijakan yang dilakukan oleh Pemko
Medan terkait pedagang buku pasti untuk kepentingan bersama, sudah
terbukti sekarang ASPEBLAM tidak pernah menolak direlokasi ke
pengadaian toh Pemko Medan merevitalisasi juga, P2BLM itu ribut
supaya dapet kiosnya orang itu. Orang itukan gak semuanya pemilik
kios, mana semua orang itu terdaftar di Pemko Medan, sibuk berjuang
sama-sama diri sendiri aja selamat uda syukur. Kami dikios yang baru
gak mau diganggu gugat, prosedurnya kan sudah ada, pedagang yang
terdaftar di Pemko Medan yang berhak memiliki kios, kan sudah jelas
ASPEBLAM dapet 120 kios dari 180 kios yang dibangun disisi timur
Lapangan Merdeka, orang itu yang gak dapat ya orang itulah yg
berurusan dengan Pemko Medan, jangan diganggu-ganggunya kios
kami ASPEBLAM”.
ASPEBLAM sangat mengapresiasi apa yang dilakukan oleh Pemko
Medan.

Revitalisasi

adalah

bentuk

kongkrit

Pemko

Medan

untuk

memperjuangkan rakyatnya dan tetap menjaga cagar budaya Kota Medan, karena
sudah menjaga keadaan pedagang buku bekas disisi timur lapangan merdeka.

50
Universitas Sumatera Utara

3.4.2 Perspektif P2BLM Pasca Revitalisasi
Revitalisasi sangat dikecewakan oleh pihak dari P2BLM, karena kalau
dijumlahkan pedagang buku ASPEBLAM dan P2BLM itu berjumlah 244 orang.
Sementara jumlah pedagang buku yang ada di P2BLM berjumlah 124 orang. Dari
124 orang itu tidak semuanya pedagang buku terdaftar di Pemko Medan, karena
dari 124 hanya 80 orang yang terdaftar di Pemerintahan Kota Medan. 124
pedagang buku yang ada di P2BLM terdiri dari pemilik kios, penyewa kios dan
agen buku. Sementara pedagang yang ada di ASPEBLAM adalah pedagang yang
secara keseluruhan pemilik kios dan tentunya sudah pasti pedagang buku
ASPEBLAM terdaftar di Pemerintahan Kota Medan.
Revitalisasi yang dilakukan Pemerintahan Kota Medan menjadi babak
baru yang menimbulkan pergesekan atau konflik baru antara P2BLM dan
SP2BLM. Konflik babak baru ini bukan pertarungan berbeda ideologi lagi seperti
yang penulis jelaskan sebelumnya, bukan lagi perbedaan pandangan antara
pedagang yang sepakat melakukan relokasi dan tidak sepakat atau menolak
relokasi, tapi melainkan pergesekan atau konflik yang diakibatkan merebutkan
kios yang telah dibangun oleh Pemerintahan Kota Medan, P2BLM dalam
pandangannya revitalisasi yang dilakukan Pemerintah Kota Medan sudah benar
namun dari beberapa anggota P2BLM sangat mengecawakan, seperti apa yang
dikatakan Benuk:
“Saya sangat kecewa sama Pemerintah Kota Medan,
merevitalisasi kok kayak gitu hanya sebagian aja yang dapat (pemilik
kios) jadiin kami anggota P2BLM yang dari awal memperjuangkan
menolak direlokasi dan memperjuangkan kios tetap ada di sisi timur
Lapangan Merdeka, seharusnya kami yang berjuang ini
dipertimbangkan sama Pemko Medan, hampir dua tahun kami
berjuang untuk kios ini, tapi sikitpun tidak dipertimbangkan orang itu
(ASPEBLAM) tidak menolak direlokasi tidak juga ikut berjuang

51
Universitas Sumatera Utara

untuk direlokasi kami berjuang melawan Kota Medan orang itu jualan,
coba pikirkanlah hampir dua tahun orang awak berjuang orang itu
enak-enak jualan, orang itu yang dapat kede (kios)”.
Pemko Medan seharusnya mempertimbangkan juga pedagang buku yang
berjuang untuk berjualan kembali disisi timur Lapangan Merdeka, karena mereka
juga salah satu cagar budaya yang ada di Kota Medan. Kehadiran mereka
sangatlah berperan terhadap masyarakat menegah kebawah untuk meraih
pendidikan murah, dimana lagi masyarakat Kota Medan dapat pendidikan yang
terjangkau selain buku bekas.

52
Universitas Sumatera Utara

BAB IV
PERJUANGAN ASOSIASI DAN PEDAGANG BUKU

4.1

Kebijakan Pemerintah Kota Medan terhadap Pedagang Buku
Pemerintah Kota (Pemko) Medan merelokasi pedagang buku yang masih

bertahan disisi timur Lapangan Merdeka. Hal ini dilakukan untuk melanjutkan
pembangunan Sky Bridge yang sudah terlantar hampir satu tahun, dimana Sky
Bridge akan menjadi penghubung antara lokasi parkir dengan City Check In yang
terletak di Stasiun Kereta Api Medan. Pemko mengatakan “Sky Bridge itu kan
proyek dan kepentingan nasional, jadi harus diutamakan, relokasi pedagang buku
adalah harga mati”.
Dampak dari pembangunan City Check In ini, bakal menggusur para
pedagang buku yang berdagang di Lapangan Merdeka Medan dengan alasan
pembangunan nasional. Dengan alasan pembangunan para pedagang buku dipaksa
direlokasi menuju Jalan Pegadaian. Pembangunan ini dilaksanakan berkaitan
dengan adanya proyek pembangunan jalur Kereta Api ke Bandara Kuala Namu
termasuk adanya proyek jalan tol. Program pembangunan ini tepat berada pada
lokasi berjualan pedagang buku bekas disisi Timur Lapangan Merdeka. Lokasi
sisi timur Lapangan Merdeka tersebut dekat dengan lokasi stasiun Kereta Api
Medan, maka sudah dipastikan dibutuhkan lahan parkir yang luas.
Pada tahun 2012, Pemko Medan melalui Dinas Pemukiman dan
Perumahan sebagai pelaksana teknis berencana merelokasi kembali pedagang
buku bekas dan buku murah disisi Timur Lapangan Merdeka. Pemko Medan
menjelaskan kepada pedagang bahwa pada kawasan tersebut akan dibangun

53
Universitas Sumatera Utara

proyek sky bridge, city check in dan lahan parkir yang akan terintegrasi dengan
Bandara Kuala Namu. Pembangunan ini menggunakan lahan dengan panjang 244
meter dan lebar 39 meter yang saat itu masih berdiri kios pedagang buku. Hal ini
seperti yang dikatakan Pak Chairul Abidin dari Dinas Perumahan dan
Permukiman Kota Medan :
“Karena adanya bandara Kuala Namu dibangun, jadi dari
Kota Medan lah pusat Kota untuk akses ke Bandara Kuala Namu
salah satu alternatif roda transportasi itu kan di kereta api. Ada pihak
dari kementerian dan program dari pusat meminta untuk terintegrasi
sarana transportasi tadi dimohon ke pihak Pemko Medan untuk segera
dibangun jembatan penyeberangan sekaligus city check in. City check
in itu kita mau ke bandara Kuala Namu jadi sebelum ke Kuala Namu
kita bisa check in keberangkatan dulu itu sebenarnya tujuan pertama.
Untuk menghubungkan kan diperlukan areal parkir yang mau
berangkat ke kuala namu atau untuk menurunkan penumpang jadi
integrasinya itu disitu”.
Pihak dari kementrian menginstruksikan kepada Pemko Medan agar
dengan segera menyelesaikan proyek Sky bridge, city check in dan lahan parkir, di
karenakan Bandara Kuala Namu International akan segera dioperasikan. Program
pembangunan tersebut merupakan program dari pusat dan harus terintegrasi
semua sarana transportasi untuk mendukung Bandara Kuala Namu. Sinergitas
transportasi pembangunan nasional menjadi dasar bagi pihak Pemerintah Kota
Medan wajib melaksanakan program tersebut disisi timur Lapangan Merdeka.
Lokasi tersebut merupakan tempat berjualan pedagang buku bekas. Pemerintah
memiliki design lokasi relokasi yaitu, masterplan untuk merelokasi pedagang
buku awalnya ke Jalan Mandala dan merupakan tanah dari PT. KAI. Program
pembangunan tersebut terkendala dengan keengganan pedagang buku untuk
pindah kelokasi tersebut. Terdapat beberapa alternatif lokasi yang juga ditawarkan

54
Universitas Sumatera Utara

kepada pedagang buku seperti ke Taman Budaya, Perisan hingga ke Jalan
Pegadaian.
Pedagang buku tidak ingin pindah ke Jalan Mandala dikarenakan lokasi
tersebut jauh dari pusat inti kota. Tidak seperti di Lapangan Merdeka yang
merupakan pusat kota dan lokasi di Jalan Mandala sulit untuk dijangkau
masyarakat. Penolakan relokasi ini ditanggapi sebagai hal yang wajar dalam
proses pembangunan. Mengenai aspek legalitas hukum mengapa pedagang buku
yang notabene berjualan buku sah secara hukum direlokasi dari sisi timur
Lapangan Merdeka harus direlokasi, pihak dari Dinas Perkim menyatakan semua
ada aturan dan landasan. Pemerintah melakukan pendekatan dengan cara
sosialisasi dengan surat peringatan sebanyak 3 kali dan melakukan pertemuan
untuk mengakomodasi keinginan pedagang. Keinginan untuk pindah ke Jalan
Pegadaian adalah merupakan keinginan dari pihak pedagang melalui organisasi
Asosiasi Persatuan Pedagang Buku Bekas Lapangan Merdeka (ASPEBLAM).
ASPEBLAM dikatakan sebagai pedagang yang menurut dan mengikuti kemauan
pemerintah. Pedagang yang bertahan dan menolak relokasi diberikan label negatif
oleh pihak pemerintah. Stigmatisasi ini bertujuan untuk mendiskreditkan
Persatuan Pedagang Buku Bekas Lapangan Merdeka (P2BLM) terisolasi secara
sosial. Kekerasan kultural yang termasuk didalamnya adalah steriotip mengenai
gerakan perlawanan pedagang buku bahwa ketua dari P2BLM hanya ingin
mendapatkan kios yang banyak untuk keuntungan secara pribadi.

55
Universitas Sumatera Utara

4.1.1

Kepentingan Dinas Perumahan Dan Permukiman
Pada tahun 2012, Pemko Medan melalui Dinas Perkim sebagai pelaksana

teknis berencana merelokasi kembali pedagang buku bekas dan buku murah disisi
Timur Lapangan Merdeka. Pemko Medan menjelaskan kepada pedagang bahwa
pada kawasan tersebut akan dibangun proyek sky bridge, city check in dan lahan
parkir yang akan terintegrasi dengan Bandara Kuala Namu. Pembangunan ini
menggunakan lahan dengan panjang 244 meter dan lebar 39 meter yang saat itu
masih berdiri kios pedagang buku. Hal ini seperti yang dikatakan Pak Chairul
Abidin dari Dinas Perumahan dan Pemukiman Kota Medan :
“Karena adanya bandara Kuala Namu dibangun, jadi dari
Kota Medan lah pusat Kota untuk akses ke Bandara Kuala Namu
salah satu alternatif roda transportasi itu kan dikereta api. Ada pihak
dari kementerian dan program dari pusat meminta untuk terintegrasi
sarana transportasi tadi dimohon ke pihak Pemko Medan untuk segera
dibangun jembatan penyeberangan sekaligus city check in. City check
in itu kita mau ke Bandara Kuala Namu jadi sebelum ke Kuala Namu
kita bisa check in keberangkatan dulu itu sebenarnya tujuan pertama.
Untuk menghubungkan kan diperlukan areal parkir yang mau
berangkat ke Kuala Namu atau untuk menurunkan penumpang jadi
integrasinya itu disitu”.
Pihak dari kementerian menginstruksikan kepada Pemko Medan agar
dengan segera menyelesaikan proyek sky bridge, city check in dan lahan parkir,
dikarenakan Bandara Kuala Namu International akan segera dioperasikan.
Pedagang berjualan berdasarkan aset Pemko berdasarkan Pemerintahan Walikota
sebelumnya yaitu, Bapak Drs. Abdillah. Program pembangunan tersebut
merupakan program dari pusat dan harus terintegrasi semua sarana transportasi
untuk mendukung Bandara Kuala Namu. Sinergitas transportasi pembangunan
nasional menjadi dasar bagi pihak Pemerintah Kota Medan wajib melaksanakan
program tersebut di sisi timur Lapangan Merdeka. Lokasi tersebut merupakan

56
Universitas Sumatera Utara

tempat berjualan pedagang buku bekas. Pemerintah memiliki design lokasi
relokasi yaitu, masterplan untuk merelokasi pedagang buku awalnya ke Jalan
Mandala dan merupakan tanah dari PT. KAI. Program pembangunan tersebut
terkendala dengan keengganan pedagang buku untuk pindah kelokasi tersebut.
Terdapat beberapa alternatif lokasi yang juga ditawarkan kepada pedagang buku
seperti ke Taman Budaya, Perisan hingga ke Jalan Pegadaian.
Pedagang buku tidak ingin pindah ke Jalan Mandala dikarenakan lokasi
tersebut jauh dari pusat inti kota. Tidak seperti di Lapangan Merdeka yang
merupakan pusat kota dan lokasi di Jalan Mandala sulit untuk dijangkau
masyarakat. Penolakan relokasi ini ditanggapi sebagai hal yang wajar dalam
proses pembangunan. Mengenai aspek legalitas hukum mengapa pedagang buku
yang notabene berjualan buku sah secara hukum direlokasi dari sisi timur
Lapangan Merdeka harus direlokasi, pihak dari Dinas Perkim menyatakan semua
ada aturan dan landasan. RTRWK bisa dirubah dengan persetujuan anggota
dewan. Ini sesuai dengan pernyataan Pak Mukhyar :
“Sky bridge udah dibuat di perda kita dibangun disitu
masalahnya sekarang harus menelusuri Bapeda. Masterplan kereta api
orang tu bangunnya dimana kadang-kadang masterplan kami disini,
kereta api disini kan kami harus bersinergi jadi bukan kitab suci yang
tidak bisa dirubah, tiap saat bisa berubah namanya produk manusia,
siapa bilang RTRWK gak bisa dirubah, ya boleh boleh aja. Kita kan
harus ikuti orang itu kereta api. Saya sekedar melanjutkan, di dalam
buku perdanya kami bangun disitu, kalo gak kami bangun ngelanggar
perda, APBD Kota Medan yang harus kita kerjakan dibahas di
anggota dewan. Kalo dia gak tau berarti kan dia gak baca”.
Dinas Perkim tidak ingin menjawab pertanyaan secara detail landasan
hukum pembangunan sky bridge yang seharusnya di Jalan. Jawa, Kecamatan
Medan Timur karena bukan merupakan bagian tugas dari mereka, Dinas Perkim

57
Universitas Sumatera Utara

ditegaskan hanya sebagai pelaksana teknis. Pemerintah melakukan pendekatan
dengan cara sosialisasi dengan surat peringatan sebanyak 3 kali dan melakukan
pertemuan untuk mengakomodasi keinginan pedagang. Keinginan untuk pindah
ke Jalan Pegadaian adalah merupakan keinginan dari pihak pedagang melalui
organisasi Asosiasi Persatuan Pedagang Buku Bekas Lapangan Merdeka
(ASPEBLAM). ASPEBLAM dikatakan sebagai pedagang yang menurut dan
mengikuti kemauan pemerintah. Pedagang yang bertahan dan menolak relokasi
diberikan label negatif oleh pihak pemerintah. Stigmatisasi ini bertujuan untuk
mendiskreditkan Persatuan Pedagang Buku Bekas Lapangan Merdeka (P2BLM)
terisolasi secara sosial. Kekerasan kultural yang termasuk didalamnya adalah
stereotip mengenai gerakan perlawanan pedagang buku bahwa ketua dari P2BLM
hanya ingin mendapatkan kios yang banyak untuk keuntungan secara pribadi. Ini
sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Pak Muhkyar:
“Itu Sainan anggapannya semua kios nanti milik dia itu,
semua lahan dia yang punya, dia yang jamin sama pedagang lain
bahwa itu hak mereka, amanlah itu. Itu dia yang bilang hasil
perjuangan dia itu, kan gak bisa gitu, bisa jadi dijual nanti atas nama
Sainan”.
Penggusuran secara

paksa dilakukan untuk mempercepat

proses

pembangunan tersebut. Dinas Perkim menyatakan tidak bisa lagi melakukan
penggusuran secara paksa karena melanggar Hak Asasi Manusia.

Batalnya

penggusuran secara paksa untuk menjadi kekondusifan masyarakat karena
berkaitan dengan Pemilu Legislatif untuk menjaga keamanan masyarakat Kota
Medan dan dipilih dengan cara negosiasi. Pada saat proses pembangunan pekerja
proyek pembangunan dipukul oleh pedagang buku. Ini sesuai dengan apa yang
dikatakan pejabat pembuat komitmen, Pak Mukhyar :

58
Universitas Sumatera Utara

“Kita ajaklah berembuk, kan jamannya pemilu legislatif suasana
politik kan memanas, jadi lurah, camat, Dinas Perkim, Satpol PP kan
menjaga suasana tetap kondusif. Berapa kali kita mau menggusur gak
jadi. Pedagang yang mukuli pekerja yang disitu dipukulin perempuan
yang mukul diadu kepolisi asin ceritanya. Indonesia kan ini boleh
petugas dipukuli tapi coba masyarakat dipukuli, ini orang gak tau hak
dan kewajiban pada saat sedang dibangun. pakar-pakar hukum kita
membela itu. Datang satpol pp digusur disorot media dibilang
pemerintah kejam kan jadi dilema kita antara hak dan kewajiban”.
4.2

Reaksi Pedagang Buku
Dalam bab ini peneliti akan menjelaskan tentang bagaimana reaksi

pedagang buku (P2BLM) menghadapi kebijakan yang dilakukan Pemerintah Kota
Medan. Pedagang buku (P2BLM) pada fase ini mempunyai sikap perlawanan
terhadap kebijakan Pemerintah Kota Medan, pedagang buku (P2BLM)
beranggapan kebijakan yang dilakukan Pemerintah Kota Medan tidak bijak dalam
mengambil keputusan, pemerintah seharusnya memberikan fasilitas dan wadah
untuk mensejahterakan khususnya pedagang buku (P2BLM), artinya yang
diinginkan pedagang buku hanyalah kebijakan yang dilakukan Pemerintahan Kota
Medan untuk kepentingan bersama bukan hanya milik dari segelintir pihak. Frans
mengatakan:
“Saya pedagang buku sadar akan posisi saya sebagai
masyarakat Kota Medan haruslah mengikuti peraturan yang
diberlakukan oleh Pemerintah Kota Medan, kami (P2BLM) pun
sebenarnya takut menolak kebijakan dari Pemko Medan yang ingin
merelokasi kami, pemko medan punya kuasa untuk membuat apa saja
sedangkan pedagang buku pedagang buku (P2BLM) kami cuma
rakyat biasa yang ingin memperjuangkan hak kami sebagai
masyarakat, mau tidak mau kami harus memperjuangkan hak kami
sebagai pedagang buku (P2BLM), pedagang buku (P2BLM) juga
punya hak untuk melangsungkan hidup, bagaimana kalau pedagang
buku tidak berjualan lagi, sementara jualan buku adalah satu-satunya
mata pencarian kami”.

59
Universitas Sumatera Utara

Ini sama yang dikatakan oleh Ralp Linton bahwa masyarakat adalah
setiap kelompok manusia yang telah cukup lama hidup dan bekerja sama,
sehingga mereka dapat mengorganisasikan dirinya dan berpikir tentang
dirinya sebagai satu kesatuan sosial dengan batasan-batasan, penulis
beranggapan pedagang buku adalah suatu kelompok yang telah lama bersama sama berjualan buku, sehingga mereka mempunyai kesadaran untuk
membentuk suatu asosiasi, asosiasi ini dibentuk untuk menjadi suatu wadah
bersosialiasi antar sesama pedagang buku dan juga menjadi suatu wadah yang
mengayomi pedagang buku untuk memperjuangkan hak-haknya.
Reaksi pedagang buku (P2BLM) dalam menanggapi kebijakan Pemerintah
Kota Medan adalah

menolak untuk direlokasi sebelum adanya revitalisasi.

Pedagang buku menolak untuk direlokasi karena tempat yang disediakan oleh
pihak Pemerintah Kota Medan dianggap tidak efektif untuk pedagang berjualan
buku, lokasi yang disediakan oleh Pemerintah Kota Medan sangatlah susah
diakses oleh pembeli buku (konsumen) kemudian lokasi yang disediakan oleh
Pemerintah Kota Medan bukan lahan milik Pemerintah Kota Medan melainkan
lahan dari PT. KAI (Kereta Api Indonesia), jarak tempuh dari lokasi sebelumnya
disisi timur Lapangan Merdeka berjarak +1 km kalau berjalan kaki bisa memakan
waktu 15 menit sedangkan kalau menaiki kendraaan hanya sekitar 5 menit. Hal ini
dijadikan salah satu landasan pedagang buku (P2BLM) untuk menolak direlokasi
dan meminta pemerintah Kota Medan merevitalisasi pedagang buku, Pemerintah
Kota Medan terlihat seperti ingin menggusur pedagang buku secara halus dengan
cara direlokasi ketempat lain tetapi lokasi tersebut bukan milik dari Pemerintah
Kota Medan, penulis melihat hal ini dilakukan untuk melepaskan tanggung jawab

60
Universitas Sumatera Utara

Pemerintah Kota Medan terhadap pedagang buku, apabila terjadi suatu
pembangunan kembali dilokasi relokasi pedagang buku, Pemerintah Kota Medan
sudah bisa melepaskan tanggung jawabnya karena lokasi yang ditempati
pedagang buku bukan lahan milik Pemerintah Kota Medan. Pedagang buku juga
sama beranggapan seperti itu, Sainan mengatakan:
“Dari awal Pemerintah Kota Medan menyosialisasikan
kebijakan Pemerintah Kota Medan kepedagang buku, kami pedagang
buku yang tidak sepakat untuk disuruh pindah mempunyai sikap
bertahan disisi timur Lapangan Merdeka. Karena kami yakin kami
pasti tidak akan digusur kami legal disini ada surat ijinnya kok, DPRD
juga dulu mengeluarkannya sampai rapat parnipura, berarti kamikan
sah disini. Kemudian Pemerintah Kota Medan merelokasi kami ke
Jalan Pengadaian dan sepengatahuan kami lokasi itu bukan lahan dari
Pemerintah Kota Medan itu punya PT. KAI, akes pembeli buku juga
kesana minim berjalan kaki jauh naik kereta harus putar arah karena
satu jalan, makanya juga kami menolak untuk direlokasi kesana, tapi
kalau sementara ya gak papa yang penting kami pedagang
dikembalikan kesisi timur Lapangan Merdeka. Kemudian kami
pedagang buku ini seperti ingin dibola-bola sama Pemko padahal
kami legal disini, seharusnya yang dipertanyakan keberadaan Centre
Point kan disana seharusnya lahan parkirnya kenapa kami yang
digusur, Pemko harus bertanggung jawab sama pedagang buku karena
kami legal disini jangan buang badan kami yang dibola-bola”.
Namun reaksi penolakan relokasi pedagang buku (P2BLM) itu tidak
disambut baik oleh pihak pemerintahan kota medan, banyak tindakan-tindakan
yang mengancam keselamatan pedagang buku pada saat proses penggusran
berlangsung, penulis melihat adanya sikap arogansi yang dilakukan pemerintahan
kota medan terhadap pedagang buku (P2BLM) yang menolak direlokasi sampai
pemerintah kota medan bersedia merevitalisasi pedagang buku (P2BLM).

4.3

Tindakan Diskriminasi Penghancuran Kios Terhadap Pedagang Buku
Pada hari Kamis, tanggal 19 September 2013 telah terjadi peristiwa

pengrusakan dan pengancaman (intimidasi) yang diduga dilakukan oleh Supriadi

61
Universitas Sumatera Utara

dan kawan-kawan yang mengaku disuruh Pemko Medan. Oknum yang
mengklaim disuruh oleh Pemko Medan ini membawa martil, cangkul dan
sejumlah alat berat lainnya. Pada hari itu pedagang buku seperti biasa sedang
membuka aktifitas transaksi jual beli buku disisi timur Lapangan Merdeka. Saat
pedagang buku memulai usaha mereka, terdapat sekelompok orang yang bernama
Supriadi dengan membawa cangkul, martil dan alat berat lainnya masuk kelokasi
kios pedagang buku. Pedagang pada saat itu mengira bahwa mereka adalah
pekerja proyek bangunan sky bridge yang lokasinya bersebelahan dengan kios
pedagang buku.
Sekitar pukul 11.36 wib, tiba-tiba Supriadi menyuruh kawan-kawan
merusak salah satu kios pedagang buku, dimana peristiwa pengrusakan tersebut
membuat para pedagang terkejut dan panik lalu beramai-ramai mendatangi salah
satu kios yang dirusak tersebut, sehingga sejumlah orang yang diperintah oleh
Supriadi tersebut berhenti menghancuri kios. Para pedagang menanyakan kenapa
kalian (Supriadi dan kawan-kawan) merusak kios, lantas dijawab para perusak
tersebut bahwa mereka melakukan pengrusakan karena disuruh oleh Supriadi dan
mereka juga menyampaikan bahwa Supriadi sebagai koordinator lapangan yang
memberi perintah untuk menghancurkan kios.
Para pedagang yang tergabung dalam Persatuan Pedagang Lapangan
Merdeka (P2BLM) menemui Supriadi yang juga berada ditempat kejadian perkara
dan mengatakan kenapa dan/atau apa dasar kalian untuk merusak kios pedagang
buku, lalu dijawab Supriadi atas dasar perintah Pemko, lalu kembali ditanya salah
seorang pedagang kalau memang benar ini atas dasar suruhan Pemko mana bukti
surat perintah tugas untuk menghancurkan kios ini, Supriadi tidak bisa menjawab.

62
Universitas Sumatera Utara

Para pedagang kemudian meminta kepada Supriadi dan kawan – kawan supaya
menghentikan pengrusakan.
Sekitar pukul 12.10 wib, Supriadi dan kawan-kawan selanjutnya
mengambil posisi mundur dan menghentikan aksi penghancuran kios milik Yuan
Pasaribu, begitupun dikarenakan sikap yang sangat tidak manusiawi (melakukan
pengrusakan) yang dilakukan para perusak menimbulkan perasaan yang sama dari
para pedagang untuk mempertahankan hak untuk mencari kehidupannya dan
selanjutnya para pedagang tetap mengawasi serta berjaga untuk menghindari aksi
pengrusakan susulan.
Sekitar Pukul 14.17 WIB, Supriadi dan kawan - kawan

kembali

melakukan penghancuran salah satu kios, sehingga membuat para pedagang
secara spontan mendatangi dan menghadang lalu meminta kepada Supriadi dan
kawan-kawan agar supaya menghentikan pengrusakan, lalu salah seorang suruhan
Supriadi memerintahkan kepada kawan-kawanya untuk masuk kedalam proyek
yang bersebelahan dengan kios para pedagang buku bekas Lapangan Merdeka
Medan. Terjadi bentrok dengan aksi saling dorong antara pedagang buku dengan
oknum yang mengaku dari Pemko Medan. Kejadian tersebut beradasarkan
pernyataan F