Identifikasi Drug Related Problems (DRPs) Pada Pasien Kanker Serviks Di Instalasi Rawat Inap Rsup H. Adam Malik Kota Medan

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kanker
Kanker adalah gangguan pertumbuhan dan diferensiasi sel. Proses yang
dihasilkan disebut neoplasia, pertumbuhan sel yang baru disebut neoplasma. Sel
yang mengalami neoplasia cenderung relatif tidak terkoordinasi dan otonom, tidak
terkontrol oleh regulasi sel normal selama pertumbuhan dan pembelahan sel.
Sehingga reproduksi sel menjadi tidak terkontrol oleh sinyal kontrol pertumbuhan
sel normal. Sel yang mengalami neoplasia menjalani siklus sel yang lebih sering
(Porth, 2015).
Pertumbuhan dan perbaikan sel normal terdiri dari dua komponen:
proliferasi dan diferensiasi sel. Proliferasi, atau proses pembelahan sel ditentukan
oleh tingkat proliferasi sel dan kematian oleh apoptosis. Pada Malignant
neoplasma, akumulasi sel neoplastik tidak hanya menyebabkan proliferasi
berlebihan dan tidak terkendali, tetapi juga menghambat proses apoptosis sel. Sel
kanker pertumbuhannya sangat cepat, menyebar dan dapat masuk ke jaringan
didekatnya dan dapat menyebar kebagian tubuh lain (Porth, 2015).
Semua tumor jinak dan ganas terdiri dari dua jenis jaringan yaitu parenkim
atau sel fungsional yang spesifik dari suatu organ atau jaringan dan jaringan ikat
yang membentuk kerangka jaringan penguat atau stroma. Jaringan parenkim yang

terbentuk dari sel-sel yang berubah atau sel neoplastik dari suatu tumor,
menentukan sifat sel dan komponen tumor menentukan nama tumor tersebut.
Komponen jaringan stroma non neoplastik terdiri dari jaringan ikat, matriks

Universitas Sumatera Utara

ekstraseluler dan pembuluh darah. Hal ini penting untuk pertumbuhan karena
membawa suplai darah dan menunjang sel-sel parenkim tumor (Porth, 2015).

Gambar 2.1 Perbedaan Sel Kanker dan Sel Normal
(Sumber:
cancer)

https://www.cancer.gov/about-cancer/understanding/what-is-

2.2 Kanker Serviks

Gambar 2.2 Anatomi Rahim
(Sumber: https://www.cancer.org/cancer/cervical-cancer/prevention-andearly-detection/what-is-cervical-cancer.html )
Kanker serviks atau kanker leher rahim ini, merupakan jenis tumor ganas

yang mengenai lapisan permukaan (epitel) dari leher rahim atau mulut rahim.

Universitas Sumatera Utara

Kanker ini dapat terjadi karena sel-sel permukaan tersebut mengalami
penggandaan dan berubah sifat tidak seperti sel normal (Savitri, 2015).
2.2.1 Epidemiologi
Kanker serviks merupakan kanker yang paling sering ke-2 yang sering
terjadi pada perempuan di negara berkembang dengan perkiraan 445000 kasus
baru tahun 2012 (84% dari kasus baru di seluruh dunia). Pada tahun 2012,
diperkirakan tiap tahun 270.000 perempuan meninggal dunia akibat kanker
serviks. Angka kejadian kanker serviks 85% dari kematian berada di negaranegara berkembang (WHO, 2016).
Di Indonesia kanker serviks menduduki urutan kedua dari 10 kanker
terbanyak berdasarkan data dari Patologi Anatomi tahun 2010 dengan insidens
sebesar 12,7%. Menurut perkiraan Departemen Kesehatan RI saat ini, jumlah
wanita penderita baru kanker serviks berkisar 90-100 kasus per 100.000 penduduk
dan setiap tahun terjadi 40 ribu kasus kanker serviks (Kemenkes, 2015).
2.2.2 Patofisiologi
Kanker serviks adalah tumor ganas yang berasal dari sel epitel skuamosa.
Kanker ini terjadi apabila sel-sel pada serviks berubah dan tumbuh tidak

terkendali. Sel-sel ini bisa berubah dari normal menjadi prakanker dan kemudian
menjadi kanker. Sebelum terjadinya kanker, akan didahului oleh keadaan yang
disebut lesi prakanker atau Cervical Intraephiteal Neoplasia (CIN) (Savitri,
2015).
Saat virus HPV bercampur dengan sistem peringatan yang memicu respon
imunitas, seharusnya ia bertugas menghancurkan sel abnormal yang terinfeksi
oleh virus. Perkembangan sel yang tidak normal pada epitel serviks dapat menjadi

Universitas Sumatera Utara

prakanker yang disebut sebagai Cervical Intraephiteal Neoplasia (CIN). Fase
prakanker sering disebut dengan displasia merupakan perubahan premalignant
(prakeganasan) dari sel-sel rahim. Ada tiga pola utama tahap prakanker, dimulai
dengan infeksi pada sel serta berlanjut menjadi intraepithelia neoplasia dan pada
akhirnya berubah menjadi sel kanker serviks (Savitri, 2015).
a. Cervical Intraepithelial Neoplasia I (CIN I), disebut juga Low Grade
Squamous Intraepitheal Lessions (LSILs). Pada tahap ini sudah terjadi
perubahan. Sel yang terinfeksi HPV onkogenik akan membuat partikelpartikela virus baru.
b. Cervical Intraepithelial Neoplasia II (CIN II), disebut juga High Grade
Squamous Intraepitheal Lessions (HSILs). Pada tahap ini, sel-sel semakin

menunjukkan gejala abnormal prakanker.
c. Cervical Intraepithelial Neoplasia III (CIN III), pada tahap ini, lapisan
permukaan serviks atau leher rahim telah dipenuhi sel-sel abnormal
menjadi carsinoma in situ (dini), yaitu keganasan yang masih terlokalisir
dan belum menembus sel barier.
d. Kanker serviks, jika dibiarkan akan menyebar pada jaringan tubuh lain dan
memasuki stadium IV (Savitri, 2015).
2.2.3 Etiologi
Penyebab utama kanker serviks adalah karena terkena virus HPV. Virus
ini disebarkan melalui kontak kulit saat berhubungan seksual. Secara umum,
faktor resiko terjadi kanker serviks diakibatkan karena gaya hidup yang salah.
Faktor resiko kanker serviks antara lain:

Universitas Sumatera Utara

a. Melakukan hubungan seksual sebelum usia 20 tahun, sebelum usia 20
tahun organ reproduksi wanita belum memiliki tingkat kematangan yang
sesuai. Usia yang paling optimal bagi wanita adalah usia 20-35 tahun.
b. Bergonta-ganti pasangan seksual, terlalu sering bergonta-ganti pasangan
seksual dapat meningkatkan resiko terkena HPV. Hal ini dapat

menyebabkan resiko terkena kanker serviks semakin meningkat, resiko
seorang wanita terkena kanker serviks menjadi 10 kali lipat apabila ia
memiliki enam partner seksual atau lebih.
c. Paritas yang tinggi, paritas atau kelahiran yang paling optimal adalah
kelahiran sampai ketiga kali. Semakin banyak proses melahirkan maka
semakin tinggi resiko terkena kanker serviks.
d. Penggunaan kontrasepsi jangka panjang, penggunaan kontrasepsi lebih
dari lima tahun akan meningkatkan resiko terkena kanker serviks sebesar
1,53 kali.
e. Merokok, kebiasaan merokok juga menyumbang pertumbuhan kanker
serviks. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa lendir serviks pada wanita
perokok mengandung nikotin dan zat-zat lain yang juga terkandung dalam
rokok. Hal ini serviks kehilangan daya tahan secara optimal.
f. Riwayat kanker serviks pada keluarga, banyak faktor resiko kanker serviks
disebabkan oleh gaya hidup yang salah. Apabila saudara kandung atau ibu
mempunyai riwayat kanker serviks, maka resiko seseorang untuk terkena
kanker serviks juga lebih besar daripada wanita yang tidak memiliki
riwayat keluarga.

Universitas Sumatera Utara


g. Usia, sebagian besar penderita kanker serviks adalah wanita berusia 40
tahun keatas. Sangat jarang ditemukan wanita berusia di bawah 35 tahun
terkena kanker serviks. Hal ini dikarenakan virus HPV perlu 10-20 tahun
untuk bertransformasi menjadi kanker serviks.
h. Defisiensi nutrisi, kekurangan nutrisi pada tubuh juga dapat menjadi faktor
resiko yang nyata pada wanita untuk terkena kanker serviks. Beberapa
penelitian menyebutkan bahwa defisiensi asam folat juga dapat
meningkatkan resiko dysplasia ringan atau sedang.
i.

Infeksi klamidia, infeksi klamidia merupakan salah satu penyakit menular
seksual (PMS) yang dapat menyerang organ reproduksi pria dan wanita.

j.

Lemahnya imunitas, jika seorang wanita terdiagnosis virus Human
immunodeficiecy virus (HIV) maka akan mudah sekali untuk terinfeksi
virus HPV (Savitri, 2015).


2.2.4 Gejala dan Tanda Klinis Kanker Serviks
Gejala dan tanda klinis kanker serviks dapat berupa:
a. Perdarahan dari vagina setelah menopause atau setelah berhubungan
seksual.
b. Rasa sakit selama berhubungan seksual.
c. Keputihan yang tidak seperti biasa.
d. Perdarahan menstruasi yang lebih lama dan lebih sakit dari biasanya.
e. Kelelahan yang berlebih.
f. Nyeri kaki atau bengkak pada kaki.
g. Sakit punggung (Cancer Council Australia, 2015).

Universitas Sumatera Utara

2.2.5 Diagnosis
Tes Pap smear pada saat ini merupakan alat skrining yang dapat
diandalkan. Tes Pap smear direkomendasikan pada saat mulai melakukan aktivitas
seksual atau setelah menikah. Setelah tiga kali pemeriksaan tes Pap smear tiap
tahun, interval pemeriksaan dapat lebih lama (tiap 3 tahun sekali). Bagi kelompok
perempuan yang beresiko tinggi (infeksi HPV, HIV kehidupan seksual yang
beresiko) dianjurkan tes Pap smear setiap tahun pemastian diagnosis dilaksanakan

dengan biopsi serviks (Kampono, 2011).

Gambar 2.3 Tahapan Perubahan Sel yang Normal
(Sumber: https://www.healthed.govt.nz/resource/prevention-cervicalcancer-guide-women-new-zealand)
Diagnosis kanker serviks diperoleh melalui pemeriksaan klinis berupa
anamnesis, pemeriksaan fisik dan ginekologik, termasuk evaluasi kelenjar getah
bening, pemeriksaan panggul dan pemeriksaan rektal. Biopsi serviks merupakan
merupakan cara diagnosis pasti dari kanker serviks, sedangkan tes Pap smear
dan/atau kuret endoserviks merupakan pemeriksaan yang tidak adekuat.

Universitas Sumatera Utara

Pemeriksaan radiologi berupa foto paru-paru, pielografi intravena atau CT-Scan
merupakan pemeriksaan penunjang untuk melihat perluasan penyakit, serta
menyingkirkan adanya obstruksi ureter. Pemeriksaan laboraturium klinik berupa
pemeriksaan darah tep, tes fungsi ginjal, dan tes fungsi hati diperlukaan untuk
mengevaluasi fungsi organ serta menentukan jenis pengobatan yang akan
diberikan (Kampono, 2011).
2.2.6 Stadium Kanker Serviks
Stadium kanker serviks ditentukan berdasarkan pada sejauh mana kanker

menginvasi atau menyebar bagian tubuh lain. Kanker serviks memiliki empat
stadium, semakin besar angka stadium, maka semakin akut kanker serviks yang
diderita. Kanker serviks sendiri biasanya menyebar di area jaringan panggul atau
kelenjar getah bening. Kanker serviks juga dapat menyebar pada bagian tubuh lain
misalnya paru-paru, hati, atau tulang. Kanker yang menyebar pada organ tubuh
lain itu memiliki sifat yang sama dengan kanker serviks. Mereka bukan
dikategorikan kanker paru-paru atau kanker tulang (Savitri, 2015).

Gambar 2.4 Stadium Kanker Serviks
(Sumber:https://www.kkh.com.sg/HealthPedia/Pages/GynaecologicalCanc
ersCervical.aspx)

Universitas Sumatera Utara

Klasifikasi Stadium menurut International Federation of Gynecology and
Obstetrics (FIGO) seperti pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Klasifikasi Stadium Kanker Serviks Menurut FIGO
Stadium
Deskripsi
0


Karsinoma in situ (karsinoma preinvasif)

I

Karsinoma serviks terbatas di uterus (ekstensi ke korpus uterus
dapat diabaikan)
Karsinoma invasif didiagnosis hanya dengan mikroskop. Semua lesi
yang terlihat secara makroskopik, meskipun invasi hanya
superfisial, dimasukkan ke dalam stadium IB
Invasi stroma tidak lebih dari 3,0 mm kedalamannya dan 7,0 mm
atau kurang pada ukuran secara horizontal
Invasi stroma lebih dari 3,0 mm dan tidak lebih dari 5,0mm

IA

IA1
IA2
IB
IB 1

IB 2
II
IIA
IIA1
IIA2
IIB
III
IIIA
IIIB
IV
IVB

Lesi terlihat secara klinik dan terbatas di serviks atau secara
mikroskopik lesi lebih besar dari IA2
Lesi terlihat secara klinik berukuran dengan diameter terbesar 4,0
cm atau kurang
Lesi terlihat secara klinik berukuran dengan diameter terbesar lebih
dari 4,0 cm
Invasi tumor keluar dari uterus tetapi tidak sampai ke dinding
panggul atau mencapai 1/3 bawah vagina
Tanpa invasi ke parametrium
Lesi terlihat secara klinik berukuran dengan diameter terbesar 4,0
cm atau kurang
Lesi terlihat secara klinik berukuran dengan diameter terbesar lebih
dari 4,0 cm
Tumor dengan invasi ke parametrium
Tumor meluas ke dinding panggul/atau mencapai 1/3 bawah vagina
dan/atau menimbulkan hidronefrosis atau afungsi ginjal
Tumor mengenai 1/3 bawah vagina tetapi tidak mencapai dinding
panggul
Tumor meluas sampai ke dinding panggul dan/atau menimbulkan
hidronefrosis atau afungsi ginjal
Tumor menginvasi mukosa kandung kemih atau rektum dan/atau
meluas keluar panggul kecil (true pelvis)
Metastasis jauh (termasuk penyebaran pada peritoneal, keterlibatan
dari kelenjar getah bening supraklavikula, mediastinal, atau para
aorta, paru, hati, atau tulang)
(Kemenkes RI, 2015)

Universitas Sumatera Utara

2.2.7 Penatalaksanaan Kanker Serviks
2.2.7.1 Operasi
Operasi merupakan salah satu pengobatan yang paling efektif bagi kanker
serviks, dengan catatan stadium kanker serviks pasien berada pada stadium awal.
Dengan melakukan operasi, pasien bisa langsung sembuh dalam jangka waktu
pendek. Metode operasi juga memiliki beberapa kekurangan, misalnya lingkup
pengangkatan yang luas dan gangguan fungsi buang air kecil pasca operasi
(Savitri, 2015).
Tindakan pembedahan dapat dilakukan pada kanker serviks sampai
stadium IIA dan dengan hasil pengobatan selektif radiasi, akan tetapi mempunyai
keunggulan dapat meninggalkan ovarium pada pasien usia pramenopause. Kanker
serviks dengan diameter lebih dari 4 cm menurut beberapa peneliti lebih baik
diobati dengan kemoradiasi daripada operasi. Histerektomi radikal mempunyai
mortalitas kurang dari 1%. Morbiditas termasuk kejadian fistel (1% sampai 2%),
kehilangan darah, atonia kandung kemih yang membutuhkan katerisasi
intermitten, antikolinergik atau alfa antagonis (Kampono, 2011).
2.2.7.2 Radioterapi
Radioterapi adalah metode pengobatan penyakit (maligna) dengan
menggunakan sinar pengion yang berasal dari sumber radioaktif atau mesin linear
accelator. Tujuannya adalah untuk merusak sel tumor pada serviks serta
mematikan parametrial dan nodus limfa pada pelvik. Bagi pasien dengan stadium
serviks tingkat IIB, III, IV sebaiknya diobati dengan terapi radiasi. Tingkat
keberhasilan terapi ini bergantung pada banyak aktor, antara lain sensitivitas

Universitas Sumatera Utara

tumor terhadap radiasi, efek samping yang timbul pengalaman dan radioterapis
serta penderita yang kooperatif (Savitri, 2015).
Metode radioterapi harus disesuaikan dengan tujuannya yaitu pengobatan
kuratif atau paliatif. Pengobatan kuratif berarti mematikan sel kanker serta sel
yang telah menjalar ke sekitarnya atau metastasis ke kelenjar getah bening
panggul, dengan tetap mempertahankan sebanyak mungkin kebutuhan jaringan
sehat di sekitar. Radioterapi dengan dosis kuratif hanya akan diberikan pada
penderita stadium I sampai IIIB. Apabila sel kanker sudah keluar kerongga
panggul, maka radioterapi hanya bersifat paliatif yang diberikan secara selektif
pada stadium IVA. Terapi penyinaran efektif untuk mengobati kanker invasif
yang masih terbatas pada daerah panggul (Savitri, 2015).
2.2.7.3 Kemoterapi
Kemoterapi merupakan pengobatan menggunakan obat-obatan untuk
mencapai kanker manapun dalam tubuh. Ketika kanker serviks telah menyebar le
organ tubuh yang lain, kemungkinan kemoterapi menjadi pilihan utama.
Kemoterapi merupakan metode pengobatan yang bersifat sistemik dengan
menggunakan obat-obat sitotoksik/antikanker dalam terapi kanker. Kemoterapi
bekerja membunuh dengan cepat sel-sel yang membelah. Sel ini termasuk sel
kanker yang terus membelah dan membentuk sel baru serta sel sehat yang
pembelahannya cepat seperti pada sel tulang, saluran pencernaan, sistem
reproduksi dan folikel rambut (Savitri, 2015).
Kemoterapi terutama diberikan sebagai gabungan radio-kemoterapi ajuvan
atau untuk terapi paliatif pada kasus residif. Kemoterapi yang paling aktif adalah

Universitas Sumatera Utara

cisplatin. Jenis kemoterapi lainnya yang mempunyai aktivitas yang dimanfaatkan
dalam terapi adalah ifosfamid dan paclitaxel (Kampono, 2011).
2.2.8 Prognosis
Angka survival rate (tingkat kesembuhan) kanker serviks adalah 5 tahun,
berdasarkan AJCC tahun 2010 seperti Tabel 2.2.
Tabel 2.2 Angka Survival Rate Kanker Serviks
Stadium
0
I
IA
IIA
IIB
IIIA
IIIB
IVA
IVB

2.3

Tingkat Kesembuhan dalam 5 Tahun
93%
93%
80%
63%
58%
35%
32%
16%
15%
(Kemenkes RI, 2015)

Drugs Related Problems

2.3.1 Definisi
Drug related problems adalah kejadian yang tidak diinginkan atau resiko
yang dialami oleh pasien terkait terapi obat serta hal-hal lainnya yang dapat
menghambat atau mengganggu tercapainya tujuan terapi yang diinginkan. Setiap
masalah DRPs yang terjadi, keberhasilan terapi dapat terganggu dan tidak dapat
terpenuhi. Oleh karena itu, perlu untuk menyelesaikan masalah DRPs agar tujuan
terapi dapat tercapai (Cipolle, et al., 2004).
2.3.2 Klasifikasi
Menurut Cipolle (2004), klasifikasi DRPs dibagi menjadi 7 kategori.
Kategori DRPs pertama kali didefinisikan, dijelaskan dan dikembangkan pada

Universitas Sumatera Utara

tahun 1990 oleh kelompok riset di Peters Institute of Pharmaceutical Care
University Minnesota. Untuk memahami ketujuh kategori DRPs, perlu
mengetahui kategori dasar dari DRPs. Kategori DRPs mendefinisikan serangkaian
masalah yang mungkin disebabkan oleh obat/atau yang dapat diselesaikan dengan
terapi obat. Oleh karena itu DRPs menggambarkan ruang lingkup tanggung jawab
praktisi Pharmaceutical Care. Dua kategori pertama merupakan DRPs terkait
dengan indikasi. Kategori ketiga dan keempat berhubungan dengan efektifitas.
Kategori kelima dan keenam dari DRPs berhubungan dengan keselamatan.
Kategori ketujuh berkaitan dengan kepatuhan pasien. Berikut ketujuh DRPs
kategori Cipolle:
a. Pasien menerima terapi obat yang tidak diperlukan karena pasien tidak
memiliki indikasi klinis pada saat itu.
b. Pasien membutuhkan terapi obat tambahan untuk mengobati atau
mencegah berkembangnya penyakit baru pada pasien.
c. Pasien menerima produk obat yang tidak efektif untuk menghasilkan
respon yang diinginkan
d. Pasien menerima dosis yang terlalu rendah untuk menghasilkan respon
yang diinginkan.
e. Pasien menerima obat yang dapat menyebabkan adverse drug reaction.
f. Pasien menerima dosis terlalu tinggi sehingga dapat menimbulkan efek
yang tidak diinginkan.
g. Pasien tidak patuh menggunakan terapi obat yang diterima.
Adapun kasus masing-masing kategori DRPs yang mungkin terjadi menurut
Cipolle dapat dilihat pada Tabel 2.3:

Universitas Sumatera Utara

Tabel 2.3 Jenis DRPs dan Penyebab yang Mungkin Terjadi Menurut Cipolle
Jenis DRPs
Penyebab DRPs
Obat tanpa a. Tidak ada indikasi medis yang valid untuk terapi obat yang
indikasi
digunakan saat itu.
b. Banyak produk obat yang digunakan untuk kondisi medis yang
hanya memerlukan terapi obat tunggal.
c. Kondisi medis lebih tepat diobati tanpa terapi obat.
d. Terapi obat digunakan untuk mencegah adverse drug reaction
yang berkaitan dengan pengobatan lain.
e. Penyalahgunaan obat, penggunaan alkohol, merokok.
Perlu
a. Kondisi medis yang membutuhkan terapi inisiasi obat.
tambahan
b. Terapi obat pencegahan diperlukan untuk mengurangi resiko
obat
berkembangnya penyakit baru.
c. Kondisi medis yang memerlukan farmakoterapi lanjutan untuk
memperoleh sinergisme atau efek tambahan.
Obat tidak a. Obat yang digunakan bukan obat yang paling efektif untuk
efektif
masalah medis yang dialami.
b. Kondisi medis yang sulit disembuhkan dengan produk obat.
c. Bentuk sediaan produk obat yang tidak tepat.
d. Produk obat tidak efektif terhadap indikasi medis yang dialami.
Dosis
a. Dosis terlalu rendah untuk menghasilkan respon yang
terlalu
diinginkan.
rendah
b. Interval dosis yang terlalu jarang untuk menghasilkan respon
yang diinginkan.
c. Interaksi obat menurunkan jumlah zat aktif yang tersedia.
d. Durasi obat terlalu singkat untuk menghasilkan respon yang
diinginkan.
Adverse
a. Produk obat menyebabkan reaksi yang tidak diinginkan dan
drug
tidak berhubungan dengan dosis.
reaction
b. Produk obat yang aman diperlukan terkait dengan faktor resiko.
c. Interaksi obat menyebabkan reaksi yang tidak diinginkan yang
tidak berhubungan dengan dosis.
d. Regimen dosis yang diberikan atau diganti sangat cepat.
e. Produk obat yang menyebabkan reaksi alergi.
f. Produk obat yang kontraindikasi terhadap faktor resiko.
Dosis
a. Dosis terlalu tinggi.
terlalu
b. Frekuensi pemakaian obat terlalu singkat.
tinggi
c. Durasi obat terlalu lama.
d. Interaksi obat terjadi karena hasil reaksi toksik obat.
e. Dosis obat yang diberikan terlalu cepat.
Kepatuhan a. Pasien tidak mengerti dengan intruksi pemakaian
pasien
b. Pasien memilih untuk tidak memakai obat.
c. Pasien lupa untuk memakai obat.
d. Harga obat yang terlalu mahal bagi pasien.
e. Pasien tidak dapat menelan atau memakai sendiri obat secara
tepat.
f. Obat tidak tersedia bagi pasien.
(Cipolle, et al., 2004)

Universitas Sumatera Utara

Dalam publikasi Strand dan Hepler pada pelayanan farmasi, mereka juga
mengenalkan beberapa kategori DRPs. Dalam pendekatan ini, masalah dan
penyebab tidak dipisahkan. Menurut Strand, et al., (1990) klasifikasi DRPs dibagi
menjadi 8 kategori:
Strand, et al., (1990) mengklasifikasikan DRPs menjadi 8 kategori besar:
a. Pasien mempunyai kondisi medis yang membutuhkan terapi obat pasien tidak
mendapatkan obat untuk indikasi tersebut.
b. Pasien mempunyai kondisi medis dan menerima obat yang mempunyai
indikasi medis valid.
c. Pasien mempunyai kondisi medis tetapi mendapatkan obat yang tidak aman,
tidak paling efektif, dan kontraindikasi dengan pasien tersebut.
d. Pasien mempunyai kondisi medis dan mendapatkan obat yang benar tetapi
dosis obat tersebut kurang.
e. Pasien mempunyai kondisi medis dan mendapatkan obat yang benar tetapi
dosis obat tersebut lebih.
f. Pasien mempunyai kondisi medis akibat dari reaksi obat yang merugikan.
g. Pasien mempunyai kondisi medis akibat interaksi obat- obat, obat – makanan,
obat – hasil laboratorium.
h. Pasien mempunyai kondisi medis tetapi tidak mendapatkan obat yang
diresepkan.
Pada tahun 1998, sekelompok ahli spanyol telah sepakat mendefinisikan
dan menguraikan kategori DRPs, yang selanjutnya direvisi pada tahun 2002.
Dalam sistem terakhir, potensi masalah dikeluarkan dan definisi berfokus pada
hasil klinis negatif bukan masalah kesehatan dari pasien pada umumnya. Dengan

Universitas Sumatera Utara

kata lain, klasifikasi ini tampaknya fokus pada perilaku pasien. Klasifikasi DRPs
menurut Konsesus Granada adalah:
a. Indikasi

: Pasien tidak menggunakan obat-obat yang dibutuhkan, pasien

menggunakan obat yang tidak dia butuhkan.
b. Efektifitas : Pasien menggunakan obat yang salah.
c. Obat

: Pasien menggunakan dosis, interval, ataupun durasi lebih rendah

dari yang dibutuhkan.
d. Keamanan : Pasien menggunakan dosis, interval, ataupun durasi berlebih dari
yang dibutuhkan, pasien menggunakan obat yang dapat menyebabkan reaksi
yang tidak diinginkan (Consesus Committee, 2002)
Klasifikasi PCNE asli diciptakan pada tahun 1999 oleh praktik farmasi
konferensi kerja PCNE dalam upaya untuk mengembangkan sistem klasifikasi
standar untuk masalah, penyebab, dan intervensi sebagai sistem klasifikasi PCNE.
Drug related problems adalah suatu peristiwa atau keadaan melibatkan terapi obat
yang benar-benar atau berpotensi mengganggu hasil kesehatan yang diinginkan.
Klasifikasi DRPs menurut Pharmaceutical Care Network Europe (PCNE) seperti
pada Tabel 2.5:
Tabel 2.4 Jenis DRPs dan Penyebab yang Mungkin Terjadi Menurut PCNE
Kode V7.0 Domain Primer
Masalah (Problems)
P1
Efektivitas pengobatan
Ada (potensial) masalah dengan
berkurangnya efek dari farmakoterapi
P2
Reaksi obat merugikan
Pasien mendapatkan efek samping, atau
kemungkinan mendapatkan efek samping,
dari kejadian obat merugikan
P3
Lain-lain
Penyebab (Causes)
C1
Pemilihan obat
Penyebab DRP dapat berhubungan dengan
pemilihan Obat

Universitas Sumatera Utara

Tabel 2.4 (Lanjutan)

Rencana intervensi
(Planned
Interventions)

Intervensi diterima
(Intervention
Acceptance)
DRP Status (Status
of the DRP)

Kode V7.0 Domain Primer
C2
Bentuk sediaan obat
Penyebab DRP dapat berhubungan dengan
pemilihan bentuk sediaan obat
C3
Pemilihan
Penyebab DRP dapat Bberhubungan dengan
jadwal pemberian dosis
C4
Durasi pengobatan
Penyebab DRP dapat Berhubungan dengan
durasi pengobatan
C5
Pemberian obat
Penyebab DRP dapat berhubungan dengan
logistik resep dan proses pengeluaran
C6
Penggunaan obat/proses
Penyebab DRP dapat berkaitan dengan cara
pasien mendapatkan obat dari profesional
kesehatan atau perawat, tidak berhubungan
dengan instruksi dosis yang tepat (pada
label)
C7
Pasien
Penyebab DRP dapat berhubungan dengan
kepribadian dan tingkah laku pasien
C8
Lain-lain
I0
Tidak ada intervensi
I1
Pada tingkat peresepan
I2
Pada tingkat pasien
I3
Pada tingkat pengobatan
I4
Lain-lain
A1
Intervensi diterima
A2
Intervensi tidak diterima
A3
Lain-lain
O0
Status masalah tidak diketahui
O1
Masalah diselesaikan
O2
Masalah sebagian diselesaikan
O3
Masalah tidak diselesaikan
(PCNE, 2016)

Universitas Sumatera Utara