Korelasi Paparan Sulfur Dioksida Dengan Kadar Protein C-Reaktif, Nilai VEP1, KVP, Rasio VEP1 KVP Dan AEP 25-75% Pada Pekerja SPBU Di Kecamatan Medan Amplas Kota Medan

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sulfur Dioksida
Polutan adalah kandungan alamiah di udara merupakan bagian dari
kehidupan sehari – hari, dan sulit untuk dipisahkan dari udara yang dihirup oleh
pernafasan. Kegiatan manusia juga merupakan salah satu penyebab ketidak
seimbangan didalam mekanisme proses sirkulasi udara yang bersih dan
peningkatan polutan di atmosfir sehingga dapat menyebabkan gangguan
kesehatan (Atash, 2007) .
Polutan di atmosfir dibedakan menurut sumbernya, komposisi kimiawi,
ukuran dan bentuk pelepasan didalam atau diluar ruangan. Pada abad ke-20
persoalan polusi udara berhubungan erat dengan tingginya konsentrasi sulfur
dioksida . Pengawasan terhadap sulfur dioksida dengan konsentrasi 0,25 ppm
terhadap manusia dalam waktu 5 menit akan menyebabkan bronkhokonstriksi,
baik pada orang sehat dan asma. Penderita yang terinhalasi oleh sulfur dioksida
berkaitan dengan ditemuinya TNF-α promoter polymorphism yang diketahui
berhubungan erat dengan asma (Bernstein et al., 2004)
Sulfur dioksida adalah gas tak berwarna dengan aroma yang menyegat dan
bersifat iritatif, berubah menjadi cair bila dalam tekanan rendah dan sangat mudah
larut dalam air. Secara alamiah, sulfur dioksida akan dilepaskan pada keadaan

terjadinya peletusan gunung vulkanik. Namun menurut banyak penelitian bahwa
pelepasan sulfur dioksida ( SO 2 ) terutama adalah berasal dari kontruksi
pembangkit tenaga enerji listrik yang sangat erat kaitannya dengan pembakaran

Universitas Sumatera Utara

bahan bakar hasil sumber daya alam serta emisi kenderaan bermotor. Pelepasan
sulfur dioksida ke lingkungan udara akan menyebabkan konversi menjadi asam
sulfur bila berikatan dengan air (Atsdr.cdc.gov, 2015; Bernstein et al.,2004).

2.1.1. Sifat Dan Struktur Fisikokimiawi Sulfur Dioksida
Terbentuknya sulfur dioksida merupakan

pelepasan ke atmosfer

disebabkan oleh beberapa proses seperti produksi asam sulfur, industri kimia. Di
alam pelepasan bahan organik sebagai gas hydrogen sulfit ( H 2 S ) yang akan
teroksidasi oleh keberadaan

radikal hydroxyl ( HO*). H 2 S di transformasi


menjadi SO 2 dalam tiga tahapan reaksi , yaitu (Jettawana, 2005):
2H 2 S + 2HO*

2H2S* + 2H2O

(1)

2H 2 S + 2O 2

2HO*+ 2SO*

(2)

2SO* + 2O 2

2SO 2 + O 2 *

(3)


2H 2 S + 4O 2

2SO 2 + 2H 2O + O2* (4)

Sifat fisikokimiawi sulfur dioksida lebih berat dari udara dan disebut juga
dengan sulfourous anhydride, sulfur dioxide, sulfurous oxide dan sulfurous acid
anhydride berupa ikatan formulasi kimiawi SO 2 dan struktur kimia O=S=O , dan
berat molekul 64.06 Dalton. Struktur fisik

berupa gas tidak berwarna dengan

densitas 2.927 g/L pada 0˚C dan 760 mmHg. Solubilitas sulfur dioksida dalam air
adalah 23g/100 mL pada 0˚C dan d apat larut dengan pelarut organic seperti asam
asetat, alkohol, kloroform, eter maupun pelarut anorganik sebagai asam sulfur.
Dalam atmosfer SO 2 dapat dikonversi menjadi asam sulfur ( H 2 SO 4 ), sulfur
trioksida (SO 3 ) dan sulfat. Pada reaksi selanjutnya SO 2 bereaksi di atmosfer

Universitas Sumatera Utara

dengan HO* untuk membentuk radikal bisulfide ( HSO 3 *) yang akan dapat

bereaksi dengan HO* membentuk H2SO4.
SO 2

+

HO*

HSO 3 *

(5)

HSO 3 * +

HO*

H 2 SO 4

(6)

Bila SO 2 dilarutkan dalam air, akan terbentuk sulfurous acid ( H 2 SO 3 )

reaksi yang tidak stabil dan lemah sehingga akan berubah menjadi bisulfide
( HSO 3 ˉ).
SO 2

+

H2O

HSO 3 -

H+ + HSO 3 H+ +

HSO3-

SO 3 2-

H 2 SO 3

(7)


pKa=1.86

(8)

pKa=7.2

(9)

Selanjutnya SO 2 secara berangsur – angsur teroksidasi menjadi sulfur trioksida (
SO 3 ) yang akan bereaksi dengan air membentuk asam sulfur. (Jetawattna, 2005).

2SO 2 +
SO 3

O2
+

H2O

2SO 3

H 2 SO 4

(10)
(11)

Sulfur dioksida dapat berkombinasi dengan H 2 O 2 membentuk asam sulfur.
SO 2

+

H2O2

H 2 SO 4

(12)

2.1.2. Paparan Sulfur Dioksida Terhadap Manusia
Menurut data EPA National Priorities List 1998, kontaminasi akibat sulfur
dioksida terjadi di 16 negara bagian seluruh Amerika Serikat. Sulfur dioksida
dengan masa hidup diudara sekitar 10 hari teroksidasi dengan cepat secara reaksi

homogen

dan heterogen dan hilang dari udara akibat proses presipitasi dan

Universitas Sumatera Utara

deposit udara dengan tingkat humiditas pada permukaan udara, terutama dalam
bentuk asam sulfur. Masyarakat yang tinggal berdekatan dengan daerah industri,
penduduk yang padat, lalu lintas kenderaan bermotor yang tinggi, pekerja yang
berdekatan dengan emisi kenderaan bermotor merupakan salah satu jalan
menyebabkan terinhalasi oleh sulfur dioksida.

Menurut EPA National Air

Pollutant, sumber terbentuknya sulfur dioksida adalah emisi industri yang
berhubungan dengan proses baja, minyak dan kenderaan bermotor. (International
Agency for Research on Cancer, 1992;
Riordan dan Adeeb., 2004)
Kejadian pencemaran udara dalam pertengahan abad ke-20 yaitu di Meuse
Valley Belgia tahun 1930, Donora Pennsylvania, Amerika tahun 1948 dan

London Fog tahun 1952 menyebabkan negara – negara di Eropa dan Amerika
Utara melahirkan peraturan dan standarisasi untuk pengawasan terhadap
pencemaran udara. Data epidemiologi menunjukkan adanya hubungan polusi
udara terhadap kesehatan manusia (Pope et al., 2004; Lave dan Seskin,1970).
Adanya partikulat matter dalam kandungan udara berhubungan erat dengan
terjadinya gangguan sistem kardiovaskular dan sistem pernafasan manusia. ( Pope
et al., 2004; Brook et al., 2004). Telah ditemui bahwa paparan pencemaran udara
dalam jangka waktu lama dan berkesinambungan akan menyebabkan penyakit
gangguan paru kronis dan penyakit kardiovaskular bahkan menyebabkan
kematian (Pope et al., 2004; Brook et al., 2004; Clancy et al., 2002; Hoek et al.,
2002).

Universitas Sumatera Utara

Jenis polutan dibedakan berdasarkan sumber, komposisi kimia, ukuran dan
bentuk pelepasan material ke lingkungan yaitu (Fortoul et al ., 2008; Bernstein et
al., 2004):
1. Polutan primer, polutan langsung ke lingkungan (atmosfer)
2. Polutan sekunder , polutan berasal dari reaksi kimia dengan polutan
lainnya dan gas

3. Polutan di dalam ruangan ( indoor pollutants), bersumber dari kegiatan
memasak, bahan bangunan, pendingin ruangan, produk pembakaran
termasuk rokok dan agen biologis.
4. Polutan diluar ruangan

(outdoor pollutants ),bersumber dari

pembakaran dari proses produk – produk industri, kenderaan bermotor,
sulfur dioksida, ozone, nitrit oksida, karbon oksida, specific volatile
Coarse (2,5 - 10μm;

organic compounds dan Partikulat Matter

regulatory standard =PM 10 ), fine PM (0,1-2,5μm; regulatory standard
= PM 2,5 ); ultrafine PM ( 500 mg/l, yaitu 10.000 kali. CRP plasma
diproduksi oleh hepatosit dibawah control transkripsi oleh sitokin IL-6, TNF-α
dan IL-1 meskipun situs lain dari pembentukan lokal CRP dan kemungkinan
sekresi telah dikemukakan. (Kony, 2004).
Waktu paruh plasma CRP adalah sekitar 19 jam dan konstan dibawah
semua kondisi kesehatan dan penyakit, sehingga satu-satunya penentu konsentrasi

CRP yang beredar adalah tingkat sintesis sehingga langsung mencerminkan
intensitas proses patologis yang merangsang produksi CRP. Pada saat stimulus

Universitas Sumatera Utara

terhadap peningkatan produksi benar-benar berhenti, konsentrasi CRP yang
disirkulasi jatuh dengan cepat. Dalam populasi umum dengan subjek acak dan
sehat, nilai rata-rata CRP cenderung meningkat seiring dengan usia. Dalam
populasi umum konsentrasi CRP cenderung stabil untuk setiap individu dan
sesekali terjadi lonjakan bila berkaitan dengan infeksi, peradangan dan trauma.
(Macintyre, 1982).
Nilai CRP dalam sirkulasi pada sebagian besar penyakit lebih
mencerminkan adanya peradangan yang berlangsung dibandingkan dengan
parameter laboratorium respon fase akut lainnya, seperti viskositas plasma dan
tingkat sedimentasi eritrosit. Hal terpenting adalah nilai fase akut CRP tidak ada
menunjukkan variasi diurnal dan tidak terpengaruh oleh makanan. Keadaan gagal
hati merusak produksi CRP, namun obat-obatan sangat sedikit mempengaruhi
nilai CRP. Konsentrasi CRP sangat berguna sebagai petanda biokimia nonspesifik
terhadap peradangan dan memberikan kontribusi dalam (skrining untuk penyakit
organik, pemantauan respon terhadap pengobatan peradangan dan infeksi, dan
deteksi atas kekambuhan infeksi pada individu yang immunocompromised.
(Pepys, 2003).

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.2. : Protein C-Reaktif pada Patogenesis PPOK. LPS: lipoposakarida;
PAH; polyaromatic hydrocarbons, BEC, bronchial epithelial cell; GM-CSF;
granulocyte colony stimulating factor; MPO; myeloperoxidase; M; macropage;
TIMP; tissue inhibitors of metalloproteinase; aAT; al-antitrypsin; VEGF; vascular
endothelial growth factor; END: endothelial cell; CRP : C-Reactive Protein
(Young, Hopkins, dan Eaton, 2009)
2.4.2. Sintesis Protein C-Reaktif
Sitokin diproduksi oleh makrofag sebagai salah satu mekanisme
pertahanan manusia. Sitokin sitokin terdiri dari TNF-α, IL-1β, dan IL-6
mempunyai aktifitas biologis yang luas untuk menolong respon tubuh terhadap
infeksi dan trauma. Salah satu respon yang penting adalah acute phase respons.
Acute phase response protein diproduksi oleh sel hati terhadap diproduksinya
sitokin – sitokin oleh makrfofag disebabkan adanya bakteri. Pada hewan adalah
serum amyloid protein (SAP) dan pada manusia adalah C-reactive protein (CRP),
fibrinogen dan mannose binding lectin (MBL.) Acute phase protein berperilaku
sebagai opsonisasi dan ditambah dengan rekrutment neutrophil yang disintesis
oleh sumsum tulang dengan aktifasi oleh sitokin. Selain itu sitokin juga

Universitas Sumatera Utara

berpengaruh terhadap endothelium sumsum tulang, hypothalamus dalam regulasi
temperature tubuh, sel-sel lemak dan otot dalam mobilisasi enerji untuk
menaikkan temperatur tubuh, dan terhadap sel-sel dendritik menstimulasi migrasi
dan maturasi limfosit pada kelenjar lymph. Gambaran sintesis C-Reactive Protein
dapat terlihat pada gambar di bawah ini (Murphy, 2008; Abbas dan Lichtman,
2007)

Gambar 2.3 Sitokin TNF-α, IL-β, dan IL-6 mempunyai aktifitas biologis yang luas
dalam respon infeksi tubuh (Murphy, Kenneth, 2008)

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.4. Protein Fase Akut memproduksi molekul-molekul pathogen
(Murphy, 2008)
2.5. Metode Uji Konsentrasi Sulfur Dioksida
Uji Kadar sulfur dioksida (SO 2 ) dengan menggunakan acuan metoda SNI
19-7119.7-2005. Standar ini digunakan untuk penentuan sulfur dioksida (SO 2 ) di
udara ambient, metode uji konsentrasi sulfur ioksida berdasarkan SNI 19-7119-72005, sebagai berikut:
1. Pengambilan contoh uji sulfur dioksida di udara ambient dengan
menggunakan larutan penyerap tetra kloromerkurat (TCM) 0.04M
2. Laju alir / kecepatan alir pada pompa penghisap udara 0,5L/menit
sampai dengan 1L / menit.
3. Sulfur dioksida yang terikat pada larutan penyerap dipreparasi dengan
menggunakan larutan asam sulfamat, larutan formaldehid, dan larutan

Universitas Sumatera Utara

pararosanilin, dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang
gelombang 550 nm.
Istilah dalam pengujian ini meliputi :
1. Udara ambien, udara bebas di permukaan bumi pada lapisan troposfir
yang dibutuhkan dan mempengaruhi kesehatan manusia, mahluk
hidup dan unsur lingkungan hidup lainnya.
2. μg/Nm3, satuan ini dibaca sebagi microgram per normal meter kubik,
notasi N menunjukkan satuan volum hisap udara kering di koreksi
pada kondisi normal (250C,760 mmHg).
3. Midget impringer, botol tempat penyerap contoh uji yang dilengkapi
dengan ujung silinder gelas yang berada di dasar labu dengan
maksimum diameter dalam 1 mm.
4. Larutan induk, larutan dasar konsentrasi tinggi yang digunakan untuk
membuat larutan standar konsentrasi lebih rendah.
5. Larutan standar, larutan dengan konsentrasi yang telah diketahui
untuk digunakan sebagai pembanding di dalam pengujian.
6. Kurva kalibrasi, grafik yang menyatakann hubungan antara
konsentrasi larutan standar dengan hasil pembacaan serapan dan
merupakan suatu garis lurus.
7. Larutan penyerap, larutan yang dapat menyerap analat.
8. Blanko laboratorium, larutan penyerap yang diperlakukan sebagai
control kontaminasi selama preparasi dan penentuan contoh uji di
laboratorium.

Universitas Sumatera Utara

9. Blanko lapangan, larutan penyerap yang diperlakukan sebagai kontrol
kontaminasi selama pengambilan contoh uji.
10. Pengendalian mutu, kegiatan yang bertujuan untuk memantau
kesalahan analisis, baik berupa kesalahan metode, kesalahan manusia,
kontaminasi, maupun kesalahan pengambilan contoh uji dan
perjalanan laboratorium.
2.5.1. Prinsip Uji Konsentrasi Sulfur Dioksida
Gas

sulfur

dioksida

(SO 2 )

diserap

dalam

larutan

penyerap

tetrakloromerkurat membentuk seyawa kompleks diklorosulfonatomerkurat.
Dengan menambahkan larutan pararosanilin dan formaldehid, kedalam senyawa
diklorosulfonatomerkurat maka terbentuk senyawa pararosanilin metal sulfonat
yang berwarna ungu. Konsentrasi larutan di ukur pada panjang gelombang 550
nm (Standarisasi Nasional Indonesia 2005; BLH, 2011).
2.5.2.BahanUji Konsentrasi Sulfur Dioksida
Bahan yang digunakan dalam uji konsentrasi sulfur dioksida terdiri dari (SNI,
2005):
1. Larutan penyerap tetrakloromerkurat ( TCM ) 0,04 M
2. Larutan induk natrium metabisulfit (Na 2 S 2 O 5 )
3.Larutan standar natrium metabisulfit ( Na 2 S 2 O 5 ).
4. Larutan induk iod (I 2 ) 0,1 N
5. Larutan iod 0,01 N
8. Larutan induk natrium tio sulfat (Na 2 S 2 O 3 ) 0,1 N.
9. Larutan Na 2 S 2 O 3 0,01N
10. Larutan asam klorida ( HCL ) 1 M

Universitas Sumatera Utara

12. Larutan asam fosfat (H 3 PO 4 ) 3 M
13. Larutan induk pararosanilin hidroklorida (C 19 H 17 N 3 .HCL) 0,2%
14. Penentuan kemurnian pararosanilin
15. Larutan kerja pararosanilin
16. Larutan formaldehida (HHO) 0,2% v/v
17. Larutan penyangga asetat 1 M (pH = 4,74 )
2.5.3. Pengambilan Contoh Uji
Pengambilan contoh uji terdiri dari pengambilan contoh uji 1 jam, 2 jam
dan 24 jam. Pengambilan contoh ini tergantung dari metode yang digunakan SNI
(Badan Standarisasi Nasional Indonesia, 2005).
Langkah – langkah pengambilan contoh uji adalah sebagi berikut :
1. Susun peralatan pengambilan contoh uji seperti gambar
2. Masukkan larutan penyerap SO 2 sebanyak 10 ml ke masing – masing
boto penyerap. Atur botol penyerap agar terlindung dari hujan dan
senar matahari langsung.
3. Hidupkan pompa penghisap udara dan atur kecepatan alir 0,5 L/menit
sampai 1 L/menit, setelah stabil catat laju alir awal F 1 (L/menit).
4. Lakukan pengambilan contoh uji selama 1 sampai 2 jam dan catat
temperatur dan tekanan udara.
5. Setelah 2 jam, catat laju alir akhir F 2 (L/menit) dan kemudian matikan
pompa penghisap.
6. Diamkan selama 20 menit setelah pengambilan contoh uji untuk
menghilangkan pengganggu.

Universitas Sumatera Utara

2.6.Uji Fungsi Paru
Uji fungsi paru diperlukan dalam survey medis terutama berkaitan dengan
keamanan pekerja-pekerja dan standarisasi administrasi kesehatan kerja. Uji
fungsi paru selalu digunakan disebabkan sangat mudah dan ekonomis. Pada
laboratorium khusus uji fungsi paru beberapa alat dapat digunakan yang
berkenaan dengan pengukuran volume paru, dan analisa pertukaran gas.
Spirometri merupakan salah satu alat yang sangat sederhana, mudah dilakukan
dengan biaya murah serta dapat mengemukakan hasil yang berguna dalam
memperoleh keadaan fungsi paru. (Mottram, 2013).

2.6.1. Spirometri
Spirometri adalah pemeriksaaan fungsi paru yang paling sering dilakukan
karena cepat, aman dan murah. Tujuan pemeriksaan spirometri adalah (Mottram,
2013; Yunus, 2003):
1. Menilai status faal baru yaitu menentukan apakah seseorang memiliki
faal paru normal, hiperinflasi, obstruktif, restriktif, atau gabungan dari
keduanya.
2. Menilai manfaat pengobatan yaitu menentukan apakah suatu
pengobatan memberikan perubahan terhadap nilai faal paru.
3. Evaluasi penyakit yaitu menilai laju perkembangan penyakit terdapat
perbaikan atau perubahan nilai faal paru

Universitas Sumatera Utara

4. Menentukan prognosis yaitu meramalkan kondisi penderita selanjutnya
dengan melihat faal paru yang ada.
5. Menentukan toleransi tindakan bedah, apakah seseorang mempunyai
resiko ringan, sedang atau berat pada tindakan bedah. Untuk
menentukan apakah dapat dilakukan tindakan reseksi paru.

Menurut Mottram 2013 dan Yunus 2003, hasil pemeriksaan spirometri
dapat menunjukkan berbagai pengukuran, pengukuran paling sederhana yang
selalu digunakan untuk evaluasi gangguan pernafasan pada pekerja dan akibat
gangguan lingkungan adalah :
1. Forced vital capacity ( FVC ) atau Kapasitas Vital Paksa
2. Forced expiratory volume pada detik pertama ( FEV 1 ) atau
Volume Ekspirasi Detik Pertama (VEP 1 )
3. Rasio FEV 1 terhadap FVC atau (VEP 1 /KVP)
2.6.2. Persiapan Sebelum Pemeriksaan Spirometri
Sebelum

melakukan

pemeriksaaan

spirometri

penderita

harus

dipersiapkan. Hal – hal yang harus dihindari penderita sebelum melakukan
tindakan spirometri menurut Assosiation Of Respiratory Technicians and
Physiologists/ British Thoracic Society,1994 adalah:
1. Merokok dalam 24 jam
2. Minum alkohol minimal 4 jam
3. Makan terlalu kenyang minimal 2 jam sebelum pemeriksaaan
4. Menggunakan obat – obatan lepas lambat yang mempunyai efek pada
fungsi pernapasan dan obat teopilin selama 24 jam
5. Latihan yang berat minimal 30 menit

Universitas Sumatera Utara

6. Memakai pakaian yang ketat
7. Harus mengerti tujuan dan cara pekmeriksaaan, maka operator harus
memberikan petunjuk yang tepat dan benar serta contoh cara
melakukan pemeriksaaan.
2.6.3. Prosedur Pelaksanaan Spirometri
Untuk memperoleh hasilpemeriksaaan yang tepat, maka penderita
sebaiknya dianjurkan :
1. Melakukan pemeriksaaan dalam keadaan berdiri tegak, dalam kondisi
yang tidak memungkinkan penderita untuk berdiri, maka penderita
boleh duduk.
2. Penderita menghisap udara semaksimal mungkin kemudian meniup
melalui mouhtpiece sekuat – kuatnya dan secepat – cepatnya sampai
semua udara dapat dikeluarkan sebanyak – banyaknya.
3. Pemeriksaaan dilakukan sampai diperoleh 3 nilai yang dapat diterima
dan dua diantaranya harus reproduksibel, dilakukan maksimal dengan
betul.
4. Dilakukan pengukuran tinggi badan, kemudian tentukan besar nilai
dugaan berdasarkan nilai standar paru Pneumobile Project Indonesia.
Kriteria spirometri yang acceptable dan reproducible menurut American
Thoracic Society ( ATS ), adalah pemeriksaan yang dapat diterima adalah yang
memenuhi ke empat ketentuan sebagai berikut (Yunus, F, 2003):
1. Pemeriksaan dilakukan sampai selesai
2. Waktu ekspirasi minimal 3 detik
3. Permulaan pemeriksaan harus cukup baik

Universitas Sumatera Utara

4. Grafik Flow Volume mempunyai puncak grafik
Hal yang menunjukkan bahwa pemeriksaan tidak dilakukan dengan baik
apabila didapatkan :
1. Permulaan ekspirasi yang tidak baik di tandai dengan keragu – raguan
dan permulaan yang lambat.
2. Batuk selama detik pertama manuver akan mempengaruhi nilai VEP1
3. Manuver valsava ( penutupan glotis )
4. Akhir ekspirasi yang cepat. Pada orang normal biasanya 6 detik
5. Terdapat kebocoran
6. Mouthpiece tersumbat oleh lidah atau gigi palsu dan lain - lainnya
Kriteria reprodusibiliti ditentukansetelah didapat 3 manuver yang dapat
diterima dan reproduksibiliti bila nilai terbesar perbedaanya kurang dari 5% atau
kurang dari 100 ml untuk nilai KVP dan VEP 1. (Mottram, 2013; Yunus, F, 2003)
2.6.4. Manuver Spirometri
2.6.4.1.Manuver Kapasitas Vital
Teknik manuver kapasitas vital dapat dilakaukan dengan 2 cara, yaitu (Mottram,
2013):
1. Metode Closed-Circuit
Metode ini digunakan untuk mengukur volume paru static dan
dinamik. Adapun langkah – langkah pada metode ini adalah:
a. Penderita duduk dengan hidung dijepit kemudian bernafas
langsung kedalam alat spirometri.

Universitas Sumatera Utara

b. Setelah beberapa kali bernafas untuk memperoleh titik volume
ekspirasi, titik yang diperoleh berfungsi sebagai acuan pemeriksaan
berikutnya.
c. Penderita diminta untuk melakukan ekspirasi lambat dan merata
d. Dengan maneuver yang sama setelah isnpirasi maksimum
penderita diminta untuk menghembuskan napas secepat dan sekuat
mungkin untuk mengukur kapasitas vital paksa (KVP).
2. Metode Open – Circuit.
Metode ini digunakan untuk mengukur volume paru static dan dinamik
berguna untuk menentukan kapasitas vital. Langkah – langkah yang
dilakukan pada metode ini adalah Penderita menarik napas secara
maksimal

kemudian

mouthpiece

dipasang,

selanjutnya

napas

dikeluarkan secara perlahan – lahan dengan usaha yang merata sampai
mencapai titik ekspirasi maksimal untuk memperoleh Kapasitas Vital
Lambat ( KVL ) dan napas dikeluarkan sekuat dan secepat mungkin
untuk mendapatkan KVP (Mottram, 2013).
2.6.4.2. Manuver Kapasitas Vital Paksa
Manuver ini memerlukan dua langkah yaitu inspirasi dalam untuk
memperoleh Kapasitas Paru Total, kemudian diikuti oleh ekspirasi maksimum
sekuat dan secepat mungkin kedalam spirometri hingga batas V R (Volume
Residual). Pengukuran KVP dimulai dari titik awal ekspirasi maksimum sampai
ke titik dimana penderita tidak dapat mengeluarkan udara lagi. Waktu yang
diperlukan untuk menghembuskan KVP secara keseluruhan pada individu adalah
4 – 6 detik (Mottram, 2013).

Universitas Sumatera Utara

2.6.4.3. Manuver Volume Ekspirasi Paksa Berdasarkan Waktu ( Forced
Expiratory Volume Timed)
Volume ekspirasi paksa berdasarkan waktu adalah volume maksimum
udara yang dapat dikeluarkan dalam periode waktu spesifik. Periode waktu yang
paling sering digunakan adalah 1 detik. Periode waktu lainnya yang biasa
digunakan adalah 0,5 detik, 2 detik dan 3 detik. Persentase VEP yang dikeluarkan
selama periode waktu ini adalah sebagai berikut : VEP 0,5 = 60%; VEP 1 = 83%;
VEP 2 = 94%; VEP 3 = 97%. Pada individu dewasa normal dapat mengeluarkan
lebih 70% dari KVP dalam detik pertama dan rasio ini menurun sesuai dengan
pertambahan usia (Mottram, 2013; Gold ).
VEP 1 adalah merupakan variabel spirometri penting. VEP 1 adalah volume
ekspirasi paksa dalam satu detik pertama. Akan lebih mudah menganggap VEP 1
sebagai rata-rata kecepatan aliran udara dalam detik pertama dari maneuver
kapasitas paksa. VEP 1 menurun secara langsung sesuai dengan beratnya gejala
klinis obstruksi saluran napas. Demikian juga VEP 1 meningkat apabila pengobatan
obstruksi saluran napas berhasil. Penurunan VEP 1 berdasarkan waktu dapat
ditemukan pada penyakit paru obstruksi maupun penyakit paru restriksi. Pada
kelainan penurunan VEP 1 terjadi KV rendah yang berhubungan dengan penyakit
tersebut (Mottram, 2013).
2.6.5. Cara Penilaian Hasil Spirometri
Sebagian besar spirometer elektronik dapat menghasilkan dua tipe grafik
yaitu kurva arus per selalu menggunakan rasio VEP1 / KVP untuk menentukan
adanya kelainan obstruksi. Sedangkan tingkat derajat obstruksi dengan
menggunakan persen prediksi VEP 1 . Jika rasio VEP 1 / KVP diatas nilai batas

Universitas Sumatera Utara

bawah yang masih normal maka spirometri adalah normal. Kelainan hasil
pemeriksaan yang ditunjukkan oleh spirometri paling sering adalah adanya
obstruksi saluran napas yang digambarkan oleh berkurangnya kecepatan aliran,
menurunnya rasio VEP 1 / KVP dan VEP 1 (Mottram, 2013).
Spirometri dapat menggambarkan dua pola dasar yaitu kelainan obstruktif
dan retriktif. VEP1 merupakan pemeriksaan yang dapat menunjukkan kelainan
obstruktif pada saluran napas. Sedangkan KVP dan KV digunakan untuk
memonitoring penyakit restriktif dan kelemahan neuromaskular (Mottram, 2013;
Gold W.M., 2002).
Batas normal nilai spirometri sangat luas yaitu 80% - 120% dari nilai
prediksi, hal ini bermanfaat untuk membandingkan nilai spirometri sebelum dan
sesudahnya. Pada keadaan saluran napas dan jaringan paru dalam keadaan normal
maka VEP 1 > 80% dari prediksi, KVP > 80% dari prediksi dan rasio VEP 1 /KVP >
70%.
Acuan kerja menurut The American Thoracic Society – European
Respiratory Society (ATS-ERS) terhadap standarisasi uji faal paru untuk
klasifikasi derajat penilaian adalah (Mottram, 2013; Gold W.M., 2002):
Tabel 2.2. Derajat Gangguan Fungsi Paru
Keparahan

Persen Prediksi VEP1

Ringan

> 70%

Sedang

60-69%

Sedang Berat

50-59%

Berat

35-49%

Sangat Berat

< 35%

Universitas Sumatera Utara

2.7. Metode Pemeriksaan Protein C-Reaktif
Prinsip pemeriksaan C-Reactive Protein adalah dengan mengaggap Creactive protein sebagao antigen yang akan ditentukan dengan menggunakan
antibody spesifik (antibody anti – CRP). C-Reactive Protein merupakan antigen
yang larut

dengan suatu antisera yang spesifik dalam

Dokumen yang terkait

Hubungan Berat Badan Lahir Rendah dengan NIlai Faal Paru VEP1 dan KVP

0 57 91

Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian KVP pada Operator SPBU di Kecamatan Ciputat Tahun 2014

1 14 141

PERBEDAAN NILAI RERATA VEP1 Perbedaan Nilai Rerata Vep1 % Prediksi Dan Vep1/ Kvp% Antara Orang Dengan Indeks Massa Tubuh Normal Dan Di Atas Normal Di Universitas Muhammadiyah Surakarta.

0 2 16

PERBEDAAN NILAI RERATA VEP1 Perbedaan Nilai Rerata Vep1 % Prediksi Dan Vep1/ Kvp% Antara Orang Dengan Indeks Massa Tubuh Normal Dan Di Atas Normal Di Universitas Muhammadiyah Surakarta.

0 4 12

Korelasi Paparan Sulfur Dioksida Dengan Kadar Protein C-Reaktif, Nilai VEP1, KVP, Rasio VEP1 KVP Dan AEP 25-75% Pada Pekerja SPBU Di Kecamatan Medan Amplas Kota Medan

0 0 20

Korelasi Paparan Sulfur Dioksida Dengan Kadar Protein C-Reaktif, Nilai VEP1, KVP, Rasio VEP1 KVP Dan AEP 25-75% Pada Pekerja SPBU Di Kecamatan Medan Amplas Kota Medan

0 0 2

Korelasi Paparan Sulfur Dioksida Dengan Kadar Protein C-Reaktif, Nilai VEP1, KVP, Rasio VEP1 KVP Dan AEP 25-75% Pada Pekerja SPBU Di Kecamatan Medan Amplas Kota Medan

0 0 9

Korelasi Paparan Sulfur Dioksida Dengan Kadar Protein C-Reaktif, Nilai VEP1, KVP, Rasio VEP1 KVP Dan AEP 25-75% Pada Pekerja SPBU Di Kecamatan Medan Amplas Kota Medan Chapter III V

0 0 31

Korelasi Paparan Sulfur Dioksida Dengan Kadar Protein C-Reaktif, Nilai VEP1, KVP, Rasio VEP1 KVP Dan AEP 25-75% Pada Pekerja SPBU Di Kecamatan Medan Amplas Kota Medan

0 2 9

Korelasi Paparan Sulfur Dioksida Dengan Kadar Protein C-Reaktif, Nilai VEP1, KVP, Rasio VEP1 KVP Dan AEP 25-75% Pada Pekerja SPBU Di Kecamatan Medan Amplas Kota Medan

0 0 38