Evaluasi Pengelolaan Hutan Rakyat di Desa Matiti, Kecamatan Dolok Sanggul, Kabupaten Humbang Hasundutan

15

TINJAUAN PUSTAKA

Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM)
Jumlah desa yang berhubungan dengan kawasan hutan saat ini tercatat
sebanyak 31.957 desa (Renstra Kemenhut 2010-1014), yang terdistribusi di dalam
kawasan hutan sebanyak 1.305 desa (4,08%), tepi kawasan hutan sebanyak 7.943
(24,86%) dan di sekitar kawasan hutan sebanyak 22.709 (71,06%). Provinsi
terbanyak untuk desa di dalam kawasan hutan adalah Kalimantan Tengah
(sebanyak 208 desa), dan Jawa Tengah (sebanyak 1.581 desa di tepi kawasan
hutan dan 6.795 desa di sekitar kawasan hutan) (Rahmina dkk., 2011).
Upaya untuk meningkatkan kondisi sosial masyarakat di dalam dan sekitar
hutan yang dilakukan pemerintah antara lain melalui Pembangunan Masyarakat
Desa Hutan (PMDH) oleh para pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan
(IUPHH)/Hak Pengusahaan Hutan (HPH) di luar Pulau Jawa dan Pengelolaan
Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) di Pulau Jawa, serta bentuk pemberdayaan
masyarakat lainnya seperti melalui kegiatan Hutan Kemasyarakatan, Hutan
Rakyat dan Hutan Desa (Rahmina dkk., 2011).
Dari sisi ekonomi, PHBM merupakan pengejawantahan ekonomi
kerakyatan di sektor kehutanan yang diharapkan bisa memberikan kontribusi

untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dari sisi ekologis dan sosial, dari
berbagai kasus di berbagai daerah, kearifan lokal masyarakat dalam pengelolaan
hutan terbukti telah mampu melestarikan hutan di lingkungannya. Oleh karenanya
pengembangan Program PHBM perlu didorong lebih lanjut sebagai salah satu

5
Universitas Sumatera Utara

16

strategi utama untuk mewujudkan pengelolaan hutan lestari di Indonesia
(Rahmina dkk., 2011).
Menurut Rahmina dkk., (2011), secara rinci karakteristik skema-skema
Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) adalah sebagai berikut:

Gambar 1. Skema Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat
Hutan Rakyat
Hutan rakyat adalah hutan yang dibangun di luar kawasan hutan negara
atau berada pada hutan hak. Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan nomor :
P.26/Menhut-II/2005, hutan hak adalah hutan yang berada pada tanah yang telah

dibebani hak atas tanah yang dibuktikan dengan alas titel atau hak atas tanah,
yang lazim disebut hutan rakyat yang di atasnya didominasi oleh pepohonan
dalam suatu ekosistem yang ditunjuk oleh Bupati/Walikota.
Menurut UU No.41/1999, hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh di atas
tanah yang dibebani hak milik. Definisi ini diberikan untuk membedakannya dari
hutan negara, yaitu hutan yang tumbuh di atas tanah yang tidak dibebani hak milik
atau tanah negara. Dari sudut pandang pemerintah mengatakan bahwa

Universitas Sumatera Utara

17

keberhasilan pembangunan hutan rakyat karena ada dukungan progam
penghijauan dan kegiatan pendukung seperti demplot dan penyuluhan. Hutan
rakyat atau hutan milik adalah semua hutan yang ada di Indonesia yang tidak
berada di atas tanah yang dikuasai oleh pemerintah, dimiliki oleh masyarakat,
proses terjadinya dapat dibuat oleh manusia, dapat juga terjadi secara alami, dan
dapat juga karena upaya rehabilitasi tanah kritis (Hardjosoediro, 1980).
Manfaat hutan rakyat menurut Dinas Kehutanan Propinsi Jawa Tengah
(2008) yaitu:

1. Untuk meningkatkan pendapatan petani sekaligus meningkatkan kesejahteraan
hidupnya.
2. Memanfaatkan lahan yang tidak produktif secara maksimal dan lestari agar
menjadi lahan yang subur sehingga akan lebih baik untuk usaha tani tanaman
pangan.
3. Meningkatkan produksi kayu dalam mengatasi kekurangan kayu bakar, kayu
perkakas, bahan bangunan dan alat rumah tangga.
4. Menyediakan bahan baku industri yang memerlukan bahan baku kayu, seperti
pabrik kertas, pabrik korek api.
5. Menambah lapangan kerja bagi penduduk pedesaan.
6. Membantu mempercepat usaha rehabilitasi lahan dan mewujudkan terbinanya
lingkungan hidup sehat dan kelestarian Sumber Daya Alam.
Studi yang berbasis grouded research dilakukan oleh beberapa NGO di
Jawa menyebutkan bahwa hutan rakyat merupakan sebuah pengetahuan asli
Indonesia yang dapat disejajarkan dengan pengetahuan pengelolaan sumberdaya

Universitas Sumatera Utara

18


hutan dalam skala luas yang mengadopsi ilmu kehutanan ilmiah dari Eropa.
Sementar itu, prakarsa eksistensi hutan rakyat didorong oleh kebutuhan
penyeimbangan ekologi lokal serta penyesuaian terhadap kondisi sosial ekonomi
pedesaan terkini (Awang dkk., 2007).
Sebagian besar penulis artikel dan peneliti tentang hutan rakyat sepakat
bahwa secara fisik hutan rakyat itu tumbuh dan berkembang di atas lahan milik
pribadi, dikelola dan dimanfaatkan oleh keluarga, untuk meningkatkan kualitas
kehidupan, sebagai tabungan keluarga, sumber pendapatan dan menjaga
lingkungan. Hutan rakyat adalah hutan yang pengelolaannya dilaksanakan oleh
organisasi masyarakat baik pada lahan individu, komunal (bersama), lahan adat,
maupun lahan yang dikuasai oleh negara. Hutan rakyat tersusun dari satuan
ekosistem kehidupan mulai dari tanaman keras, non kayu, satwa, buah-buahan,
satuan usaha tani semusim, peternakan, barang dan jasa, serta rekreasi alam.
Bentuk dan pola hutan rakyat di Indonesia sebagai inisiatif masyarakat adalah
antara lain hutan rakyat sengon, hutan rakyat jati, hutan rakyat campuran, hutan
rakyat suren (Awang, 2001).
Sasaran pembangunan hutan rakyat menurut Jaffar (1993) adalah lahan
milik dengan kriteria seperti berikut:
1. Areal kritis dengan keadaan lapangan berjurang dan bertebing yang
mempunyai kelerengan lebih dari 30%.

2. Areal kritis yang telah diterlantarkan atau tidak digarap lagi sebagai lahan
pertanian tanaman pangan semusim.

Universitas Sumatera Utara

19

3. Areal kritis yang karena pertimbangan-pertimbangan khusus seperti untuk
perlindungan mata air dan bangunan pengairan perlu dijadikan areal tertutup
dengan tanaman tahunan.
4. Lahan milik rakyat yang karena pertimbangan ekonomi lebih menguntungkan
bila dijadikan hutan rakyat daripada untuk tanaman semusim.
Di dalam hutan rakyat ditanam aneka pepohonan yang hasil utamanya bisa
beraneka ragam. Untuk hasil kayu misalnya, sengon (Paraserianthes falcataria),
jati (Tectona grandis), akasia (Acacia sp.), mahoni (Swietenia mahagoni) dan lain
sebagainya. Sedangkan hasil utamanya getah antara lain kemenyan (Styrax
benzoin), damar (Shorea javanica). Sementara itu hasil utamanya buah antara
lain, kemiri (Aleurites moluccana), kelapa (Cocos nucifera) dan ada juga
mengutamakan bambu (Bamboo sp.) (Darusman dan Suharjito, 1998).
Tantangan dan Permasalahan PHBM

Banyak tantangan yang dihadapi dalam mengembangkan PHBM di
Indonesia. Menurut Ritchie dkk. (2001), diantara kesulitan yang dihadapi dalam
pengelolaan bersama secara kemitraan adalah komunikasi yang efektif antara
mitra non-masyarakat dan masyarakat. Dengan semakin meningkatnya pengakuan
akan pentingnya PHM oleh pemerintah, organisasi pengembangan desa dan pihak
lainnya, serta keinginan politik untuk mengembalikan pengelolaan kepada
masyarakat, maka diharapkan bahwa PHM dapat diarahkan untuk membantu dan
membimbing masyarakat dengan baik dalam rangka memenuhi kebutuhannya.
Bimbingan terhadap mitra non-masyarakat seringkali diberikan berdasarkan
pertimbangan ilmiah dan bersifat global yang mungkin tidak secara cepat dapat

Universitas Sumatera Utara

20

diterima atau dimengerti oleh masyarakat, dan sebaliknya tidak secara tepat
memahami atau mencerminkan kepentingan masyarakat. Lebih jauh lagi adalah
munculnya

banyak


hambatan

dalam

masyarakat

untuk

secara

efektif

mengekspresikan harapan, kebutuhan, pengetahuan dan keinginan yang ingin
mereka capai dari mitranya.
Contoh lainnya adalah seperti yang terjadi di Aceh. Seperti yang
disebutkan oleh Zakaria (2012) bahwa dalam kaitan upaya pengembangan PHBM
dalam bentuk community logging ini, menjadi perlu untuk mencatat pengalaman
membangun sebuah usaha community logging di Aceh yang pernah dicoba atas
kerjasama Flora and Fauna International (FFI) dengan Perhimpunan Telapak,

Bogor. Inisiatif yang berlangsung hampir sepanjang tahun 2008 lalu.
Bermodalkan pengalaman pengelolaan community logging di Sulawesi Tenggara
dan belakangan di Papua, Perhimpunan Telapak diminta untuk memfasilitasi
kegiatan community logging di mukim Bangkeh, Kecamatan Geumpang,
Kabupaten Pidie. Namun, tanpa alasan yang jelas, dalam rentang waktu yang
hampir satu tahun itu kegiatan dimaksud hanya berkutat pada penyusunan
anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART) sebuah koperasi yang akan
didirikan untuk mewadahi penyelenggaraan kegiatan community logging
dimaksud. Kegiatan‐kegiatan lain yang sebenarnya tidak kalah pentingnya, seperti
penetapan kawasan, jenis tanaman yang akan digunakan, kegiatan pembibitan
tanaman kayu yang hendak ditanam itu, dan hal‐hal yang berkaitan dengan
kegiatan teknis lainnya belum lagi dimulai, atau relatif sangat kecil volumenya.
Kenyataan ini membuat, baik pihak FFI maupun pihak warga mukim Bangkeh

Universitas Sumatera Utara

21

menjadi frustrasi. Akhirnya, kerjasama pembangunan community logging di
mukim Bangkeh ini dihentikan pendanaannya oleh pihak FFI.

Pengembangan dan Penerapan Kriteria dan Indikator (K&I)
Kriteria dan Indikator (K&I) pengelolaan hutan lestari dapat dijadikan alat
komunikasi dan proses belajar yang sangat bermanfaat. K&I yang mudah
diterapkan secara umum atau luas yang dikembangkan di dalam kemitraan
sebenarnya berpotensi untuk menjembatani masyarakat dengan dunia luar, dengan
jalan membawa informasi ilmu pengetahuan dan pandangan dari luar serta
menyebarkan informasi mengenai pandangan, kebutuhan dan keinginan yang
ingin dicapai oleh masyarakat (Ritchie dkk.,2001).
Menurut Ritchie, dkk., (2001) penerapan K&I sebagai alat pemantauan
bertujuan untuk:
1. Memudahkan masyarakat untuk menyusun tujuan pengelolaan hutan lestari;
2. Membantu memahami informasi penting menyangkut dampak pengelolaan;
3. Membantu penilaian dan evaluasi kemajuan dalam mencapai tujuan;
4. Mendorong masyarakat dan mitranya untuk belajar dari dampak negatif dan
positif pengelolaan;
5. Mendorong masyarakat untuk menerapkan strategi dan langkah pengelolaan
berdasarkan pelajaran yang diperoleh dari proses di atas; dan
6. Membimbing

masyarakat


dalam

mengkomunikasikan

pengalaman

pengelolaan mereka kepada stakeholder lainnya (Ritchie dkk.,2001).
Menurut Ritchie dkk. (2001), ada 4 (empat) pedoman prinsip/dasar untuk
menjaga kelangsungan PHML, yaitu:

Universitas Sumatera Utara

22

1. Kesejahteraan masyarakat (kelembagaan) terjamin.
2. Kesejahteraan rakyat terjamin.
3. Kesehatan hutan terjamin.
4. Lingkungan eksternal mendukung PHML.
Penelitian ini menjabarkan prinsip ketiga (kesehatan hutan terjamin) dan prinsip

keempat (lingkungan eksternal mendukung PHML) sebagai acuan evaluasi PHML
di lokasi studi.
Prinsip PHML Ketiga: Kesehatan Hutan Terjamin
Prinsip ini memberikan gambaran bahwa seluruh lansekap ada dalam
kondisi yang baik sebagai hasil dari sistem pengelolaan yang ditetapkan. Prinsip
yang sangat luas ini

ditujukan agar secara umum cukup untuk memperoleh

berbagai cara pandang/pola pikir masyarakat yang berbeda terhadap sumberdaya
yang mereka miliki. Hal tersebut meliputi: kondisi daratan dan perairan, kesehatan
ekologi hutan, kondisi dan pengelolaan bagian lanskap yang digunakan secara
permanen atau sementara untuk budidaya, dan meliputi “praktek terbaik” dengan
berbagai ragam kemungkinan intervensi manusia terhadap hutan termasuk hasil
HHBK (tumbuhan dan satwa), ekstraksi/pemanenan kayu, rotasi perladangan
berpindah, agroforestry dan silvikultur.
Kriteria dan indikator (K&I) yang dapat dipakai dalam prinsip ini antara
lain sebagai berikut:
a. Perencanaan (zonasi dan kawasan dilindungi)
Bagian ini meliputi K&I yang mengakui bahwa lanskap hutan tidaklah
homogen, dan pengelolaannya membutuhkan kepekaan terhadap adanya

Universitas Sumatera Utara

23

perbedaan tipe lahan dan wilayah. Termasuk di dalamnya adalah kawasan
dilindungi dan tempat-tempat sakral. Bagian ini juga berkaitan dengan
keanekaragaman lanskap dan dengan isu batas dan status kepemilikan
lahan.
b. Pengelolaan fungsi ekosistem (daratan, air dan api)
Bagian ini menunjukkan bahwa mengelola lanskap hutan melibatkan lebih
banyak hal dibandingkan dengan mengelola pohon. Melihat kenyataan
bahwa orang yang hidup di hutan bergantung pada sungai, menggunakan
anak sungai untuk transportasi, makan, irigasi dan kesehatan. Daratan, air
dan api tersebut saling berkaitan. Pengelolaan air mempengaruhi tanah
melalui erosi, dan pengelolaan api mempengaruhi tanah melalui kontribusi
abu untuk kesuburan. Pengelolaan sumberdaya inti ini secara aktif
meningkatkan kelestarian.
c. Intervensi produktif 1 (pertanian dan agroforestry)
Adanya kepercayaan yang kuat diantara anggota masyarakat bahwa
pertimbangan pengelolaan hutan secara lestari harus memperhitungkan
kawasan agroforestry dan budidaya di dalam lansekap. Pengelolaan yang
baik pada kawasan ini disertai langkah intensifikasi dan optimasi dianggap
sebagai cara penting untuk mengurangi dampak terhadap sumberdaya
hutan. Di beberapa areal uji, sejumlah besar praktek yang baik untuk
kelestarian telah diidentifikasi, termasuk metode ramah lingkungan/
berdampak rendah (low-impact methods), metode untuk meningkatkan
hasil tanpa

memperluas areal budidaya, optimasi (optimisation),

Universitas Sumatera Utara

24

mengembangkan pertanian menetap di daerah yang cocok, menggunakan
waktu yang tepat untuk praktek musiman, dan pembuahan ternak.
d. Intervensi produktif 2 (HHBK berupa tumbuhan)
Hasil hutan bukan kayu (HHBK) memegang peranan penting untuk
masyarakat yang tergantung pada hutan dan merupakan kekayaan yang
penting bagi ilmu pengetahuan. Hal tersebut terutama berkaitan dengan
praktek pengelolaan dan pemanenan yang baik. Meskipun demikian,
secara jelas akan tidak praktis mengembangkan K&I untuk setiap
intervensi tertentu.
e. Intervensi produktif 3 (HHBK berupa satwa)
Berburu dan memancing merupakan hal penting bagi beberapa masyarakat
yang tergantung pada hutan; produk hewan lainnya, seperti madu, juga
memberikan gambaran yang kuat. Perhatikan bahwa topik memancing
berkaitan dengan pengelolaan air dan seluruh isu HHBK berkaitan dengan
keanekaragaman hayati.
f. Intervensi produktif 4 (kayu)
Pengelolaan dan ekstraksi kayu untuk keperluan domestik penting bagi
seluruh masyarakat yang hidupnya tergantung pada hutan. Disamping itu
pengelolaan dan ekstraksi kayu untuk keperluan pasar juga penting untuk
kebanyakan orang.
g. Kesehatan hutan 1 (keanekaragaman hayati)
Perlakukan terhadap keanekaragaman hayati oleh masyarakat cukup
berbeda dibandingkan dengan apa yang dilakukan dengan pendekatan K&I

Universitas Sumatera Utara

25

secara ilmiah ataupun komersial konvensional. Topik ini berkaitan dengan
isu perburuan dan HHBK lainnya. Sangat penting untuk menghargai dan
mengenali kontribusi dari bidang agroforestry dan lahan tanaman lainnya
terhadap keanekaragaman hayati.
h. Kesehatan hutan 2 (struktur dan regenerasi)
Struktur hutan, termasuk agroforestry, penting untuk memelihara
lingkungan yang sesuai untuk mendukung keanekaragaman hayati dan
untuk mendukung fungsi ekosistem lainnya seperti kualitas air dan
kesuburan tanah. Konsep stuktural juga memasukkan pola hutan primer
dan sekunder, aspek struktur secara horizontal dan vertikal dan
kemampuan hutan untuk beregenerasi.
i.

Keanekaragaman lanskap (fragmentasi dan mozaik)
Konversi lahan hutan menjadi lahan lain serta kemungkinan resiko yang
ditimbulkan akibat fragmentasi hutan dianggap penting. Isu integritas
lanskap berada di bawah kriteria yang mengakui pentingnya mozaik dari
habitat yang berbeda di dalam lanskap, dan mengaku perlunya konversi
menjadi lahan pertanian sebagai hal yang sensitif untuk seluruh mozaik.
Pemeliharaan suatu mozaik dalam habitat alami menjaga keberadaan jenisjenis yang saling melengkapi secara alami. Diantara berbagai tipe habitat
alami yang ada di dalam suatu wilayah, habitat yang paling jarang
(ekstensifikasinya paling sedikit) dalam lanskap hutan, sangat dilindungi
dari upaya konversi menjadi lahan pertanian (Ritchie dkk., 2001).

Universitas Sumatera Utara

26

Prinsip PHML Keempat: Lingkungan eksternal mendukung PHML
Prinsip ini menangkap ide bahwa dalam upaya pengelolaan secara lestari,
masyarakat didukung oleh badan-badan eksternal seperti pemerintah beserta
lembaganya dan LSM. Di dalam penataan pengelolaan bersama (co-management),
upaya untuk melibatkan kriteria eksplisit yang berhubungan dengan “kesehatan”
hubungan kemitraan antara masyarakat dan mitra pengelolanya mungkin
merupakan suatu gagasan yang baik. Di ketiga lokasi uji, co-management bukan
merupakan isu, dan pada kenyataannya cakupan isu yang berhubungan dengan
badan eksternal sangat bervariasi. Isu tersebut dapat dikelompokkan ke dalam
empat bagian, yaitu:
a. Hubungan dengan pihak ketiga
Hubungan dengan stakeholder lain sangat penting untuk kelestarian
pengelolaan. Di beberapa lokasi uji, titik berat hubungan dengan pihak
ketiga sangat berbeda. Tim di Brazil lebih banyak menangani hubungan
dengan pihak-pihak yang mempekerjakan anggota masyarakat; tim di
Kamerun menangani hubungan dengan pemerintah dan LSM; sedangkan
tim di Indonesia hanya menyebutkan hubungan dengan masyarakat
lainnya. Secara keseluruhan informasi ini menunjukkan diperlukannya
komunikasi yang baik antara masyarakat dengan pihak ketiga.
b. Kebijakan dan kerangka hukum (tidak termasuk status kepemilikan)
Kebijakan dan kerangka hukum pemerintah yang suportif dapat
memberikan kekuatan bagi pengelola hutan untuk berhadapan dengan
pihak ketiga, dan memberikan bantuan praktis untuk menangani konflik

Universitas Sumatera Utara

27

yang sulit. Pengakuan hukum dalam pengelolaan oleh masyarakat
dipandang penting dalam lokasi uji. Partisipasi dalam perencanaan
pengembangan program dan kebijakan menjadi perhatian dalam uji di
Indonesia dan Brazil. Isu ini berkaitan dengan otoritas masyarakat untuk
mengelola, manajemen konflik dan status kepemilikan lahan secara
perorangan.
c.

Ekonomi
Lingkungan ekonomi eksternal dimasukkan di tiga lokasi uji sebelumnya,
terutama yang berkaitan dengan pasar yang umumnya digunakan untuk
perdagangan hasil hutan yang dikelola oleh masyarakat. Isu ekonomi
lainnya yang dibahas adalah subsidi, transportasi dan investasi prasarana.

d. Pendidikan dan informasi
Di Indonesia, pendidikan dipandang penting dan dijelaskan secara penuh
sebagai perangkat K&I. Di lokasi uji lain, pendidikan kurang diperhatikan.
Isu ini berkaitan dengan kearifan dan ilmu pengetahuan. Sumber informasi
seperti dokumen, peta dan data sensus secara teratur dijadikan acuan
dalam penguji. Ketersediaan informasi mungkin merupakan isu penting
yang harus dipertimbangkan di dalam haknya masing-masing. Bagian
penting lainnya yang ditemukan oleh tim Indonesia adalah dukungan
“penyuluhan” dalam bentuk pelatihan dan bantuan dalam menerapkan
sistem pengelolaan ladang (Ritchie dkk., 2001).

Universitas Sumatera Utara

28

Standar Verifikasi Legalitas Kayu
Standar Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) adalah sejumlah persyaratan
untuk memenuhi legalitas kayu/produk yang memuat standar, kriteria, indikator,
verifier, metode verifikasi, dan norma penilaian. SVLK memiliki 2 (dua) dimensi
yaitu dimensi Standar atau Alat (tools) untuk menilai dan dimensi Sistem atau
Mekanisme yang harus diikuti. Dengan demikian SVLK merupakan alat dan
mekanisme untuk menilai/memverifikasi legalitas kayu atau produk kayu.
1. Standar V-LK
Standar yang berlaku pada Hutan Negara meliputi 3 prinsip yang harus
dipenuhi unit kelola yaitu :
a. Kepastian areal dan hak pemanfaatan,
b. Memenuhi sistem dan prosedur penebangan dan
c. Pemenuhan aspek lingkungan dan sosial (Amdal).
Sedangkan standar pada Hutan Hak hanya ada satu prinsip yang harus
dipenuhi yaitu kepemilikan kayu dapat dibuktikan keabsahannya sesuai Lampiran
2.3 Peraturan Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan Nomor : P. 8/VIBPPHH/2012. Keabsahan kayu pada hutan hak terdiri :
a. Legalitas kepemilikan areal hutan hak/hutan rakyat dibuktikan dengan
keberadaan sertifikat hak milik/alas titel sesuai ketentuan Badan Pertanahan
Nasional (BPN).
b. Legalitas kayu dan produk kayu dibuktikan dengan kebenaran asal usul kayu
sesuai keabsahan dokumen penatausahaan hasil hutan hak yaitu SKAU,
SKSKB Cap KR, Nota (sesuai Permenhut Nomor P. 51 Tahun 2006 dan

Universitas Sumatera Utara

29

perubahannya), SKAU yang dilampiri DKB/DKO, Nota Angkutan, Nota
Angkutan Penggunaan Sendiri serta dokumen SAP (sesuai Permenhut Nomor
P.30 tahun 2012).
Tabel 1. Standar verifikasi legalitas kayu pada hutan hak berdasarkan Peraturan Direktur
Jenderal Bina Usaha Kehutanan Nomor : P. 8/VI-BPPHH/2012
Standar Verifikasi
No

1

Pedoman Verifikasi

Prinsip

Kriteria

Indikator

Verifier

Kepemilik
-an kayu
dapat
dibuktikan
keabsahan
-nya

Keabsahan
hak milik
dalam
hubungannya
dengan
areal, kayu
dan
perdagangannya.

1.1.1 Pemilik
hutan hak
mampu
menunjuk-kan
keabsahan
haknya.

a. Dokumen
kepemilikan/
penguasaan
lahan yang
sah (alas
titel/dokumen
yang diakui
pejabat yang
berwenang)

Metode Verifikasi

Periksa:
a. Sertifikat Hak
Milik, Leter B,
Girik, atau Leter
C, atau
b. Sertfikat HGU
atau Sertifikat
Hak Pakai, atau
c. Surat atau
dokumen lainnya
yang diakui oleh
BPN dengan cara
mengkonfirmasi
ke BPN.

b. Dokumen
legalitas
pemegang
HGU yang
sah yang
mencakup
Akte
Perusahaan,
SIUP, TDP,
NPWP,
dokumen
lingkungan,
dokumen K3
serta
KKB/Peratur
an
Perusahaan
yang relevan.
c. Peta/sketsa
areal hutan
hak dan

Norma
Penilaiaan
Memenuhi:
Dokumen
tersedia,
lengkap, dan
absah, dapat
berupa:
a. Sertifikat Hak
Milik, Leter B,
Girik, atau Leter
C, atau
b. Sertfikat
HGU atau
Sertifikat Hak
Pakai, atau
c. Surat atau
dokumen
lainnya yang
diakui oleh BPN
dengan cara
mengkonfirmasi
ke BPN.

Periksa keabsahan
dan kelengkapan
dokumen legalitas
pemegang HGU.

Memenuhi :

1. Periksa
keberadaan

Memenuhi:

Kelengkapan
dan keabsahan
dokumen
legalitas
pemegang HGU
dipenuhi
seluruhnya.

Tersedia

Universitas Sumatera Utara

30

batasbatasnya di
lapangan.

peta/sketsa lokasi.
2. Periksa
kejelasan tanda
batas areal hutan.

peta/sketsa
lokasi serta
terdapat tandatanda jelas
(dapat berupa
patok, ataupun
pematang, atau
tanaman pagar).

1.1.2 Unit
kelola (baik
individu
maupun
kelompok)
mampu
membuktikan
dokumen
angkutan kayu
yang sah.

Dokumen
angkutan
hasil hutan
yang sah

Periksa keabsahan
dokumen
angkutan hasil
hutan yang sah

Memenuhi:

1.1.3
Unit Kelola
menunjukan
bukti
pelunasan
pungutan
pemerintah
sektor
kehutanan
dalam hal
pemungutan
atas tegakan
yang tumbuh
sebelum
pengalihan
hak atau
penguasaan.

Bukti
pembayaran
hak negara
berupa
PSDH/DR
dan pengganti
nilai tegakan.

Periksa
kelengkapan,
keabsahan dan
keberadaan bukti
pembayaran DR
dan PSDH serta
pengganti nilai
tegakan.

Memenuhi:

Dokumen
angkutan hasil
hutan yang sah
diterbitkan oleh
pejabat/petugas
yang berwenang

Unit kelola
dapat
menunjukan
bukti setor
PSDH dan DR
serta pengganti
nilai tegakan
sesuai dengan
tagihan.

2. Sistem V-LK
Sistem atau mekanisme V-LK meliputi tahapan penyampaian permohonan
verifikasi, rencana verifikasi, penunjukan manajemen representatif, pelaksanaan
verifikasi, tata cara verifikasi, norma penilaian dan sertifikasi, re-sertifikasi.
Ada beberapa manfaat penerapan SVLK yaitu :
1. Dengan kepemilikan S-LK, maka kayu dijamin berasal dari sumber yang
legal, jika industri pengolahan kayu ingin agar produk kayu masuk ke pasar
international maka dengan mendapatkan bahan baku yang berasal dari sumber

Universitas Sumatera Utara

31

yang legal, maka produk industri akan masuk pasar tanpa hambatan terutama
self endorsement (pengesahan sendiri) terkait dengan PEB (Pemberitahuan
Eksport Barang).
2. Pemilik kayu yang berasal dari sumber yang legal akan memiliki posisi tawar
yang kuat terutama dalam penentuan harga jual karena tidak ada pilihan lain
selain membeli bahan baku yang legal.
3. Penerapan SVLK disamping merupakan pemenuhan standar, kriteria,
indikator dan norma penilaian, atau sebagai alat untuk memastikan bahwa
industri kayu mendapatkan sumber bahan baku dengan cara legal tetapi lebih
dari itu adalah upaya untuk menerapkan tata kelola pemerintahan yang
akuntabel dan transparan, menyelamatkan hutan dari pembalakan liar,
menekan laju deforestasi, juga menekan merosotnya cadangan karbon.
4. Melalui penerapan SVLK Hutan Hak memberikan pengalaman pembelajaran
pada proses Verifikasi Legalitas Kayu (V-LK) sampai dengan kepemilikan
Sertifikat

Legalitas

Kayu

(S-LK)

secara

berlanjut,

memungkinkan

anggota/kelompok/ gabungan/asosiasi/koperasi hutan hak (hutan rakyat) dapat
mandiri dalam kelola kelembagaan, mandiri dalam kelola kawasan untuk
menjamin legalitas areal/kawasan, legalitas kayu dan legalitas peredaran
secara berkelanjutan serta mandiri dalam kelola usaha terutama untuk
melindungi kepentingan anggota agar terhindar dari kemungkinan adanya
praktek ijin, terutama untuk menghindari tebang butuh mengupayakan dana
talangan untuk tebang tunda.

Universitas Sumatera Utara

32

Gambaran Umum Objek Penelitian
Koperasi Serba Usaha (KSU) Hutan Mas mengelola hutan rakyat di tiga
desa yaitu Desa Matiti I, Matiti II dan Sosor Tambok. Koperasi ini berdiri pada
tanggal 17 April 2012 dengan akta pendirian dari notaris No. 06 tanggal 9 Juli
2012. Dasar hukum yang digunakan dalam pembentukan Koperasi Serba Usaha
Hutan Mas adalah Peraturan Menteri Kehutanan RI No. P.30/ MENHUT-II/2012
tentang penatausahaan hasil hutan yang berasal dari hutan hak dan UU No. 5
tahun 1990, tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
KSU Hutan Mas merupakan unit usaha yang pertama kali menerapkan
Standar Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) di Provinsi Sumatera Utara. KSU
Hutan Mas lulus sertifikasi SVLK pada Maret 2013 yang didanai oleh program
Multistakeholders Forestry Programme (MFP) atas dukungan SSS Pundi Sumatra
dan Komunitas Peduli Hutan Sumatera Utara (KPHSU). Keberhasilan
mendapatkan SVLK ini merupakan suatu jawaban atas tantangan permintaan
pasar global yang menginginkan kayu dari sumber yang legal. Disamping itu,
manfaat penerapannya adalah untuk menyelamatkan hutan dari pembalakan liar,
menekan laju deforestasi, juga menekan merosotnya cadangan karbon.
Adapun visi dari Koperasi Serba Usaha Hutan Mas adalah membangun
hutan lestari menuju masyarakat mandiri dan sejahtera. Misi dari Koperasi Serba
Usaha Hutan Mas adalah memberdayakan ekonomi masyarakat di dalam dan di
sekitar hutan, pemanfaatan potensi sumber daya hutan, secara maksimal dengan
tetap memperhatikan fungsi hutan di segi sosial, ekonomi dan ekologi, konservasi
sumber daya hutan dan hayati serta ekosistemnya, pengembangan usaha-usaha

Universitas Sumatera Utara

33

ekonomi

produktif

dengan

memanfaatkan

seluruh

potensi

yang

ada,

pemberantasan kebodohan, ketertinggalan dan kemiskinan dan lain sebagainya.
Koperasi Serba Usaha Hutan Mas ini terletak pada ketinggian 330-2075
mdpl. Suhu rata-rata berkisar antara 20-22°C, curah hujan 2400-2500 mm. Jarak
dari ibukota provinsi 230 km, jarak dari ibukota kabupaten 4,5 km, jarak dari
ibukota kecamatan 4,5 km.
Hutan rakyat yang dikelola oleh KHS Hutan Mas memiliki lahan seluas 47
Ha yang tersebar di tiga desa. Pertanian kopi merupakan salah satu komoditi
unggulan di Kabupaten Humbang Hasundutan terutama di Desa Matiti I, Desa
Matiti II dan Desa Sosor Tambok. Potensi perkebunan kemenyan di kabupaten ini
seluas 5235 Ha yang tersebar di beberapa kecamatan terutama di ketiga desa di
atas. Kemenyan merupakan salah satu komoditi unggulan yang umumnya
digunakan sebagai wewangian dan sesajen. Perikanan air tawar juga
dikembangkan di tiga desa ini. Kegiatan ini ditekuni sebagai pekerjaan sambilan
yang di samping menghasilkan ikan konsumsi, KSU Hutan Mas juga
memproduksi bibit yang berasal dari indukan yang berkualitas.

Universitas Sumatera Utara