T1 712010059 BAB III

III.

KONFLIK SOSIAL YANG TERJADI DI MASYARAKAT PASURUAN

A. Kota Pasuruan
Kota Pasuruan (RKPD Kota Pasuruan tahun 2015) termasuk salah satu kota yang
berada di wilayah Provinsi Jawa Timur. Kota pasuruan terletak di sebelah tenggara ibukota
provinsi, Surabaya yang berjarak sekitar 65 km. Kota Pasuruan merupakan wilayah dataran
rendah dengan ketinggian rata-rata 4 m diatas permukaan air laut. Kota Pasuruan merupakan
salah satu wilayah di Provinsi Jawa Timur yang memiliki luas wilayah dan jumlah wilayah
administratif terkecil, yang terbagi ke dalam 4 kecamatan dan 34 kelurahan dengan luas
wilayah 35,29 km2.
Kota Pasuruan secara geografis berbatasan dengan:
Sebelah Utara

: Selat Madura yang membentang memisahkan wilayah kota dengan

pulau Madura;
Sebelah Timur

: Kecamatan Rejoso kabupaten Pasuruan;


Sebelah Barat

: Kecamatan Kraton; dan

Sebelah Selatan

: Kecamatan Pohjentrek Kabupaten Pasuruan.

Jumlah penduduk menurut Data Statistik Kota Pasuruan tahun 2005 (Majelis Jemaat
GPIB Pniel Pasuruan, 2006: 11-14), sesaat setelah konflik di Kota Pasuruan terjadi,
berjumlah 164.406 jiwa. Jumlah penduduk berdasarkan agama adalah: 92,02% beragama
Islam, 3,75% beragama Kristen Protestan, 2,00% beragama Katholik, 0,91% beragama
Hindu, dan 1,32% beragama Budha. Kota Pasuruan memiliki 88 masjid, 716 surau/langgar,
dan 29 pondok pesantren. Setiap tahunnya jumlah penduduk kota Pasuruan mengalami
peningkatan, terlihat dalam Data Statistik Kota Pasuruan. Jumlah penduduk Kota Pasuruan
(RKPD Kota Pasuruan tahun 2015) pada tahun 2013 tercatat sebanyak 208.322 jiwa, yang
terdiri dari 104.172 jiwa penduduk laki-laki dan 104.150 jiwa penduduk perempuan.
Kota Pasuruan (RKPD Kota Pasuruan tahun 2015) terletak di jalur utama yang
menghubungkan pusat perekonomian Jawa Timur di Kota Surabaya dengan Bali sebagai

pusat budaya dan pariwisata dengan melalui jalur industri di kota dan kabupaten Probolinggo
dan kota maupun kabupaten lain disekitarnya di wilayah Jawa Timur. Hal ini menjadikan
kota Pasuruan sebagai salah satu wilayah yang penting dalam konstelasi perekonomian Jawa
Timur. Perekonomian masyarakat kota Pasuruan didukung oleh beberapa sektor, diantaranya
12

perdagangan, angkutan dan komunikasi, industri, pertanian, jasa, dan lain sebagainya. Posisi
kota Pasuruan yang berada pada jalur strategis, menyebabkan sektor perdagangan
berkembang pesat dan didukung oleh sektor industri yang berkesinambungan. Perekonomian
masyarakat kota Pasuruan terus mengalami peningkatan ke arah yang lebih baik dari tahun ke
tahun.
B. GPIB Pniel Pasuruan
GPIB Pniel Pasuruan (Majelis Jemaat GPIB Pniel Pasuruan, 2006: 57-62) berada di
tengah (membelah) Jalan Anjasmoro dan Jalan Kelud, tepatnya di Jalan Anjasmoro 6,
Pasuruan. Gedung kebaktian GPIB Pniel Pasuruan didirikan oleh Pemerintah Kerajaan
Belanda pada tanggal 15 November 1829. Awal berdirinya gedung gereja (Majelis Jemaat
GPIB Pniel Pasuruan, 2006: 25-28) yang didirikan oleh pemerintahan Kerajaan Belanda pada
tahun 1829 tersebut dijadikan sebagai tempat ibadah oleh orang-orang Belanda yang bekerja
dan tinggal di Kota Pasuruan. Kemudian berlanjut pada tahun 1974 gedung gereja dipakai
sebagai tempat ibadah oleh 3 jemaat, yaitu GKI,GKJW, dan GPIB. Sebagian besar anggota

jemaat GPIB Pniel Pasuruan adalah anggota ABRI, yang merupakan pindahan dari luar kota
Pasuruan bahkan dari luar Jawa. Kebaktian Minggu, Hari Raya Kristen maupun Hari Besar
Nasional selalu diadakan bersama GKI, GKJW, dan GPIB. Masing-masing jemaat memiliki
majelis dan aktifitas sendiri. Namun dalam hal persoalan Oikumene dibentuk Majelis
Oikumene yang terdiri dari beberapa anggota Majelis masing-masing jemaat. Awalnya setiap
jemaat dapat menjalankan ibadahnya dengan baik. Namun, pada akhirnya terjadi pergesekan,
tepatnya perihal penggunaan rumah jabatan Pendeta dan sulitnya mengatur waktu dan tempat
untuk melakukan kegiatan-kegiatan tambahan di lingkup jemaat. Sehingga pada tahun 1979,
masing-masing jemaat memisahkan diri dan membangun gedung kebaktian. Gedung
kebaktian yang awalnya menjadi tempat ibadah GKI, GKJW, dan GPIB secara otomatis
menjadi hak milik GPIB. Tepat pada tanggal 4 Februari 1979 dilakukan pengukuhan ibadah
minggu oleh jemaat GPIB Pniel Pasuruan. GPIB Pniel Pasuruan melakukan pelayanan yang
bercorak Presbiterial Sinodal, yang diperlukannya koordinasi dan tanggungjawab bersama
antara Pendeta, Penatua dan Diaken.
Jumlah jemaat GPIB Pniel Pasuruan mengalami pertumbuhan setiap tahunnya.
Jumlah jemaat GPIB Pniel Pasuruan tahun 2015 sebanyak 104 keluarga. Jemaat GPIB Pniel
Pasuruan terbagi ke dalam 3 sektor: sektor 1 berjumlah 39 keluarga, sektor 2 berjumlah 33
keluarga, dan sektor 3 berjumlah 32 keluarga. Setiap sektor juga memiliki Penatua dan
13


Diaken, yakni: sektor 1 memiliki 3 Penatua dan 3 Diaken, sektor 2 memiliki 3 Penatua dan 1
Diaken, sektor 3 memiliki 3 Penatua dan 3 Diaken. Sampai saat ini, sebagian besar anggota
jemaat GPIB Pniel Pasuruan merupakan pindahan dari luar kota bahkan luar Jawa, yang
kemudian menetap di Kota Pasuruan.1
Gedung kebaktian GPIB Pniel Pasuruan (Majelis Jemaat GPIB Pniel Pasuruan, 2006:
75-85) telah melakukan 5 kali pembangunan maupun renovasi, yaitu tahun 1975, 1980, 1987,
1991, dan 2002. Situasi keuangan jemaat GPIB Pniel Pasuruan dari awal pengukuhan ibadah
minggu pada tahun 1979 memang dapat dikatakan krisis, tetapi usaha dan semangat yang
dimiliki jemaat GPIB Pniel Pasuruan memampukan untuk melakukan pemugaran gedung
kebaktian agar layak untuk dipergunakan. Terakhir pemugaran dilakukan oleh jemaat GPIB
Pniel Pasuruan adalah tahun 1991, hingga akhirnya gedung kebaktian dihancurkan oleh
oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab pada tanggal 29 Mei 2001. Setelah gedung
kebaktian dihancurkan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab, maka dilakukan
kembali pembangunan gedung kebaktian GPIB Pniel Pasuruan pada tahun 2002 dan selesai
pembangunan pada tanggal 28 November 2004. Setelah gedung kebaktian dihancurkan oleh
oknum-oknum yang tidak bertangungjawab, jemaat GPIB Pniel Pasuruan tetap melaksanakan
ibadah dan kegiatan gereja yang dilakukan di rumah-rumah jemaat secara bergilir.
Konflik yang menghancurkan gedung kebaktian GPIB Pniel Pasuruan, yang terjadi
pada tanggal 29 Mei 2001 telah diselesaikan dengan baik, dengan cara membuat pertemuan
antara presiden K.H Abdurrahman Wahid bersama dengan masyarakat yang terkena konflik

dan jemaat GPIB Pniel Pasuruan. Setelah penyelesaian dilakukan, tidak mudah bagi jemaat
GPIB Pniel Pasuruan membangun gedung kebaktian dengan situasi keuangan yang pada saat
itu kekurangan. Tetapi semangat kesatuan mampu muncul dalam hati jemaat untuk membuat
usaha dan bekerjasama membangun gedung kebaktian kembali. Usaha dan kerjasama jemaat
GPIB Pniel Pasuruan membuahkan hasil yang cukup memuaskan dengan mampu
membangun gedung kebaktian dalam waktu 2,5 tahun setelah konflik terjadi. Keberhasilan
jemaat GPIB Pniel Pasuruan dalam membangun gedung kebaktian dengan cukup singkat
tidak membuat jemaat juga berhasil dalam menyelesaikan semua permasalahan yang dimiliki
jemaat. Jemaat masih harus berusaha membuka diri, membaurkan diri bersama masyarakat
hingga menjadi suatu kesatuan yang utuh, yang disebut dengan integrasi sosial.2

1
2

Wawancara Ibu RG (inisial), 11 November 2015
Wawancara Bapak PG, MS, dan RT (inisial), 13-16 November 2015.

14

Interaksi dan komunikasi bersama masyarakat masih harus dibangun dan ditingkatkan

agar gereja mampu menjalankan tugas dan perannya sebagai terang dunia, seperti terlihat
dalam visi dan misi GPIB (Manuhutu. M. F, Dkk, 2010:16).
Visi : “GPIB menjadi gereja yang mewujudkan damai sejahtera Allah bagi seluruh
ciptaanNya.”
Misi :
1. Menjadi Gereja yang terus menerus diperbaharui dengan bertolak dari Firman Allah,
yang terwujud dalam perilaku kehidupan warga gereja, baik dalam persekutuan,
maupun dalam hidup bermasyarakat.
2. Menjadi gereja yang hadir sebagai conoh kehidupan, yang terwujud melalui inisiatif
dan partisipasi dalam kesetiakawanan sosial serta kerukunan dalam masyarakat,
dengan berbasis pada perilaku kehidupan keluarga yang kuat dan sejahtera.
3. Menjadi Gereja yang membangun keutuhan ciptaan yang terwujud melalui perhatian
terhadap lingkungan hidup, semangat keesaan dan semangat persatuan dan kesatuan
warga Gereja sebagai warga masyarakat.
Jemaat menyadari bahwa GPIB Pniel termasuk gereja Misioner, yang berarti gereja
memberi diri untuk selalu diperbaharui oleh Roh Kudus. Oleh karena itu, GPIB Pniel
diharapkan menjadi sebuah “Persekutuan yang dinamis, proaktif dalam melayani dan
bersaksi, baik di dalam gereja maupun masyarakat serta bagi dunia” sekaligus juga
“Persekutuan yang mewujudkan terciptanya masyarakat yang damai sejahtera menuju
kehadiran Allah di dunia ini”. Untuk mewujudkan gereja yang Misioner, jemaat GPIB Pniel

Pasuruan mencoba membenahi diri mulai dari dalam persekutuan jemaat dengan kembali
memahami tugas dan panggilan gereja sebagai “garam dan terang dunia” serta memancarkan
Kasih bagi sesama manusia, yang kemudian membangun dan meningkatkan interaksi
bersama masyarakat. Ketika sebelum konflik terjadi, jemaat GPIB Pniel Pasuruan kurang
berinteraksi bersama masyarakat sekitar, maka sangat terlihat adanya peningkatan pasca
konflik dalam menciptakan integrasi sosial.
GPIB Pniel Pasuruan yang memiliki posisi cukup unik karena berada di tengah
(membelah) Jalan Anjasmoro dan Jalan Kelud, juga dikelilingi oleh beberapa Gereja yaitu
GKJW Pasamuwan Pasuruan, Katholik St. Padova Pasuruan, dan Gereja Bethel Pasuruan.
Beberapa masyarakat ada yang bekerja sebagai tukang becak dan penjual makanan di sekitar
gereja dikarenakan tepat di sebelah kiri GPIB Pniel Pasuruan adalah terminal bis. Sebagian
15

besar masyarakat yang beragama Kristen yang bertempat tinggal disekitar Gereja menjadi
anggota GKJW Pasamuwan Pasuruan dikarenakan masyarakat memiliki suku Jawa, disusul
dengan Katholik St. Padova dan Gereja Bethel yang lebih banyak memiliki jemaat dari
masyarakat setempat daripada GPIB Pniel Pasuruan. Dengan situasi yang seperti itu membuat
GPIB Pniel Pasuruan sedikit ragu untuk bersosialisasi dengan sebagian masyarakat yang
sudah menjadi anggota gereja lain, sehingga membuat GPIB Pniel Pasuruan terlihat sedikit
ekslusif atau menutup diri dari masyarakat. Sedangkan beberapa masyarakat lainnya,

merupakan orang-orang yang beragama Islam dan terdapat 1 pesantren tepat dibelakang
gedung kebaktian GPIB Pniel Pasuruan, yang juga sedikit menutup diri ketika jemaat GPIB
Pniel Pasuruan mencoba membaurkan diri dengan cara membagikan sembako ketika Hari
Besar Islam dan Kristen. Hal itu yang mendukung jemaat GPIB Pniel Pasuruan kurang
berinteraksi, menutup diri terhadap masyarakat dan hanya melakukan kegiatan gereja tanpa
melakukan kegiatan sosial, sebelum konflik terjadi.3
C. Konflik Di Pasuruan
Pada tanggal 29 Mei 2001, sekelompok oknum yang tidak bertanggungjawab
melakukan penyerangan yang berakibat pada hancurnya gedung kebaktian GPIB Pniel
Pasuruan. Menurut majelis GPIB Pniel Pasuruan yang bertugas pada saat terjadinya konflik
dan kerusuhan, peristiwa kerusuhan tersebut terjadi secara tidak terduga. Warga gereja tidak
menduga akan ada sekelompok orang menyerang gereja. Kelompok ini pertama sekali
melakukan kerusuhan terhadap Sekolah Muhamadiyah Pasuruan, kemudian bergerak kembali
dan mencoba merusak sebuah toko meubel bernama Perak Mas namun aksi itu tidak berhasil
karena adanya pembelaan dari masyarakat sekitar toko. Kemudian gerombolan massa
bergerak menuju Gereja Khatolik St. Antonius Padova di Jalan Anjasmoro, namun aksi itu
gagal karena seorang pe-massa mengenal pegawai gereja yang pada waktu itu tengah
bertugas menjaga gereja. Setelah itu massa kembali bergerak menuju GKJW Pasamuwan
Pasuruan yang berjarak tidak jauh dari Gereja Khatolik St. Antononius Padova, lebih
tepatnya berada di samping GPIB Pniel Pasuruan. Massa mencoba menyerang GKJW

Pasuruan yang dimulai dengan pembakaran gorden, namun aksi itu segera digagalkan oleh
masyarakat sekitar, beberapa dari masyarakat segera memadamkan api dan beberapa lagi
berteriak mengatakan bahwa GKJW adalah gereja milik orang suku Jawa. Karena itu, massa

3

Wawancara Bapak PG, MS, dan RT (inisial), 13-16 November 2015.

16

yang sudah kalap namun aksi mereka selalu digagalkan beralih menyerang GPIB Pniel yang
berada tepat di samping GKJW.4
Kerumunan massa masuk ke gereja dengan melewati tembok pembatas antara GKJW
Pasamuwan Pasuruan dengan GPIB Pniel Pasuruan. Ada seorang dari massa yang merupakan
hadjah mencoba menghalangi massa, karena beliau memiliki pemahaman bahwa rumah
ibadah tidak boleh dirusak, tetapi alasan tersebut dirasa tidak masuk akal oleh kebanyakan
massa dan didukung pula oleh situasi massa yang telah emosi, maka suasana menjadi kacau
dan berlajut pada aksi anarkis. Setelah memasuki kawasan gedung kebaktian GPIB Pniel
Pasuruan, massa naik ke atas atap dengan membawa bensin yang dibungkus dalam plastik
dan menaruhnya di atas plafon gedung, sedangkan massa yang berada di bawah menumpuk

kursi kemudian membakarnya, sehingga kebakaran besar terjadi yang melahap habis gedung
gereja GPIB Pniel. Selain membakar gedung, sebelumnya massa juga sempat menjarah
barang-barang inventaris gereja, seperti buku dan sound system. Massa menutup jalan masuk
dengan membawa senjata tajam dan tidak peduli dengan aparat yang menjaga pada saat itu,
sehingga mobil pemadam kebakaran tidak dapat masuk.5 Pasca konflik, beberapa jemaat
GPIB Pniel Pasuruan merasa terkejut, shock, sedih, dan takut. Jemaat GPIB Pniel Pasuruan
kaget dan menyesal karena gedung kebaktian yang mereka jadikan untuk ibadah telah hangus
terbakar. Kejadian tersebut mengakibatkan trauma bagi sebagian warga gereja untuk menetap
tinggal di daerah Pasuruan, sehingga ada sebagian warga gereja yang pindah tempat tinggal
untuk sementara ke daerah lain hingga situasi kembali tenang.
Ketika terjadi kerusuhan yang mengakibatkan gereja GPIB Pniel Pasuruan terbakar,
masyarakat setempat tidak berusaha menolong atau mencegah massa merusak gedung GPIB
Pniel Pasuruan. Salah satu hal yang melatarbelakangi tindakan tersebut adalah karena
kurangnya interaksi dan komunikasi dari pihak gereja GPIB Pniel terhadap masyarakat dan
ditambah pula ketakutan dari masyarakat karena massa semakin brutal. Tetapi, setelah
konflik terjadi, ada penyesalan yang terjadi di dalam masyarakat sekitar GPIB Pniel
Pasuruan. Masyarakat merasa menyesal karena tidak dapat menolong saat gedung gereja
GPIB Pniel Pasuruan akan dibakar yang berakibat pada hancurnya gedung kebaktian GPIB
Pniel Pasuruan.6


4

Wawancara Bapak PG, MS, dan RT (inisial), 13-16 November 2015.
Wawancara Ibu DN dan Bapak BM (inisial), 17 November 2015.
6
Wawancara Ibu DN dan BA (inisial), 17 November 2015.
5

17

Akhirnya konflik berhasil diselesaikan dengan damai tepat tiga hari setelah konflik
terjadi, dengan cara mengadakan pertemuan antara Bapak K.H Abdurrahman Wahid, yang
pada saat terjadinya konflik menjabat sebagai presiden Republik Indonesia, bersama dengan
pejabat pemerintahan kota Pasuruan dan masyarakat yang terkena konflik. Setelah diadakan
pertemuan, maka komunikasi, interaksi, dan saling peduli antara jemaat GPIB, GKJW,
Khatolik, dan masyarakat semakin lebih baik.7

7

Wawancara Bapak PG, MS, dan RT (inisial), 13 dan 16 November 2015.

18