Penggunaan Penjaminan Buy Back Guarantie Oleh Developer Terhadap Kredit Pemilikan Rumah (Studi Kasus Di Bank Bukopin Cabang Medan)

BAB II
KEDUDUKAN DAN PERANAN PENJAMINAN BUY BACK GUARANTIE
DALAM TRANSAKSI JUAL BELI UNIT PERUMAHAN
DENGAN FASILITAS KPR

A. Pengertian Buy Back Guarantie
Buy Back Guarantie berasal dari bahasa Inggris atau lebih dikenal dengan
nama Buy back Guarantee yang terdiri dari 2 (dua) suku kata yang jika digabungkan,
secara harafiah berarti jaminan membeli kembali. Menurut Webster Dictionary buy
back memiliki 3 (tiga) pengertian sebagai berikut :33
“An agreement to buy something in return, as by a supplier to buy its
customer’s product;
A sale whereby something sold is repurchased from the buyer by the seller or
original owner;
Finance the buying by a corporation of its own stock in the open market ini
order to reduce the number of outstanding shares.”
Menurut Black’s Law Dictionary guarantie berarti:34
“The assurance that a contract or legal act will be duly carried out;
Guaranty;
Something given or existing as security, such as to fulfill a future engagement
or a condition subsequent;

One to whom a guaranty is made.”
Pengertian buy back yang kedua dari Webster Dictionary lebih mendekati
dengan konsep buy back dalam tesis ini. Sedangkan guarantie dapat berarti penjamin
33

Victoria Neufeldt dan David B. Guralnik, Ed., Webster’s New World College Dictionary
(Revised and Update), Cet.3, (USA: Mac.Millan, 1995), hal.191 dan hal.598.
34
Bryan A. Gardner, Editor in Chief, Black’s Law Dictionary, Cet.7, (USA: West Group,
1999), hal.711.

22

Universitas Sumatera Utara

23

atau jaminan. Dalam transaksi perdagangan umum di masyarakat buy back guarantie
untuk mengkondisikan adanya jaminan dari penjual untuk membeli kembali barang
yang telah dibeli pembeli atau konsumen apabila terjadi kondisi-kondisi tertentu.

B. Latar Belakang Buy Back Guarantie
Munculnya perjanjian buy back guarantie ini di dalam praktik hukum jaminan
merupakan konsekuensi dari sifat terbukanya hukum perikatan pada Buku III BW
yang di dalam Pasal 1338 ayat (1) BW dianut prinsip kebebasan berkontrak (freedom
of contract), yang memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada setiap orang atau
badan hukum untuk membuat dan menentukan sendiri kontraknya, sepanjang tidak
bertentangan dengan perundang-undangan, kesusilaan dan ketertiban umum yang
berlaku.35
Sistem terbuka yang dimiliki Hukum Perjanjian telah memberikan kebebasan
sedemikian rupa sehingga setiap orang berhak dan bebas untuk membuat atau
mengadakan perjanjian yang segala sesuatunya sesuai dengan kehendak para pihak
yang membuat. Untuk itu terbuka kebebasan yang seluas-luasnya (beginsel der
contractsvrijheid) untuk mengatur dan menentukan isi suatu perjanjian, asalkan tidak
melanggar Undang-Undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Bahkan dimungkinkan
untuk mengatur sesuatu hal dengan cara yang berbeda atau menyimpang dari

35

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 1337.


Universitas Sumatera Utara

24

ketentuan yang telah diatur yang terdapat di dalam pasal-pasal hukum perjanjian
(KUHPerdata).36
Prinsip kebebasan berkontrak ini kemudian mendasari lembaga perbankan
dalam menerapkan prinsip prudential banking (prinsip kehati-hatian) pada pengikatan
kredit dan jaminan, sehingga perbankan memerlukan suatu alternatif lembaga
penjaminan yang dianggap lebih cepat dan efisien untuk menyelesaikan kredit
bermasalah atau macet dalam hal terjadi wanprestasi, selain dari penggunaan pranatapranata hukum jaminan yang telah ada dan bersifat eksekutorial.37
Menurut ketentuan Pasal 2 ayat 1 Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia
No. 23/69/KEP/DIR tanggal 28 Februari 1991 tentang Jaminan Pemberian Kredit,
bahwa yang dimaksud jaminan adalah suatu keyakinan bank atas kesanggupan
debitor untuk melunasi kredit sesuai dengan yang diperjanjikan. Dalam pelaksanaan
praktek perkreditan jaminan ini dirasa kurang memuaskan kreditor, kurang
menimbulkan rasa aman dan terjamin bagi pelunasan kredit yang diberikan. Karena
itulah secara kebiasaan muncul suatu bentuk lembaga penjaminan buy back
guarantie.
Dalam kedudukannya sebagai alternatif lembaga penjaminan dari berbagai

bentuk penjaminan yang ada dan dikenal di dalam sistem hukum jaminan seperti hak
tanggungan, fidusia, hipotek dan penanggungan, maka buy back guarantie
36

G. Rai Widjaya, Merancang Suatu Kontrak, (Jakarta: Kesaint Blanc, 2003), hal.33.
Ariadin Nadjamuddin, “Aspek Hukum Akta Buy Back Guarantee dan Implikasinya Bagi
Lembaga Perbankan”, Jurnal Penelitian Hukum, Volume 1 Nomor 3, Mei 2012, hal.412.
37

Universitas Sumatera Utara

25

seharusnya pula dapat memberi kontribusi sesuai maksud diadakannya pranata
hukum penjaminan tersebut, yaitu sebagai instrumen hukum yang dapat memberikan
perlindungan dan kepastian hukum bagi para pihak dalam hal terjadi wanprestasi.38
Perjanjian penjaminan dengan buy back guarantie ini pada awalnya banyak
digunakan dalam pembelian unit kendaraan bermotor (mobil). Jaminan ini biasanya
diberikan oleh pihak dealer (selaku penjual) kepada user (selaku pembeli) dengan
maksud untuk meningkatkan omset penjualan, sekaligus sebagai jaminan kualitas

produk yang akan dibeli konsumen. Bentuk jaminan ini kemudian berkembang pada
sektor property yang banyak digunakan pada pembelian unit rumah dan unit tanah
dan bangunan rumah yang pembangunannya dibiayai oleh bank dengan fasilitas
pinjaman/kredit konstruksi. Cara pembayaran atas pembelian unit tersebut dengan
menggunakan fasilitas pinjaman/kredit dari lembaga perbankan, baik dalam bentuk
fasilitas kredit pemilikan mobil (KPM), kredit pemilikan apartemen (KPA), maupun
kredit pemilikan rumah (KPR).39
Dalam konteks tersebut, developer, konsumen/user dan bank telah terjadi
hubungan hukum satu sama lain yang harus tunduk pada ketentuan-ketentuan
sebagaimana diatur di dalam Pasal 1457-1518 KUHPerdata dan beberapa ketentuan
hukum penjaminan, baik yang diatur di dalam KUHPerdata maupun yang tersebar di
berbagai ketentuan perundang-undangan hukum jaminan. Hubungan hukum tersebut

38
39

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 1238 dan Pasal 1338.
Ariadin Nadjamuddin, Op.Cit., hal. 416

Universitas Sumatera Utara


26

harus dilaksanakan secara jujur dan adil serta memperhatikan keseimbangan hak dan
kewajiban para pihak.
Perjanjian buy back guarantie pada awalnya sama sekali tidak dikenal di
dalam praktek hukum jaminan pada lembaga perbankan, baik untuk jaminan benda
bergerak maupun jaminan benda tidak bergerak, baik sebelum maupun pasca
berlakunya Undang-Undang nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan dan
Undang-Undang nomor 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, oleh karena
ketentuan-ketentuaan normatif hukum jaminan yang diatur di dalam KUHPerdata dan
kedua undang-undang di atas dianggap telah merepresentasikan kepentingan kreditor
atas pengikatan kedua bentuk jaminan kredit tersebut.40 Demikian pula untuk jaminan
perorangan telah banyak digunakan lembaga jaminan penanggungan (borgtocht),
baik dalam bentuk personal guarantie (jaminan perorangan) maupun corporate
guarantie (jaminan badan hukum) sebagaimana diatur dalam Pasal 1820-1850
KUHPerdata.
Kemudian dalam perkembangan praktek hukum penjaminan khususnya di
lembaga perbankan, yang meskipun telah dilakukan pengikatan jaminan secara
sempurna oleh Notaris dan atau Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) sesuai

peraturan perundang-undangan yang terkait hukum jaminan dengan muatan
eksekutorial, namun lembaga perbankan masih menghendaki adanya alternatif

40

Ibid., hal.415.

Universitas Sumatera Utara

27

lembaga penjaminan yang dianggap lebih efektif dan efisien meskipun tidak memiliki
kekuatan eksekutorial dalam hal terjadi wanprestasi.
Hal tersebut kemudian melatarbelakangi lembaga perbankan untuk meminta
alternatif penjaminan kepada pihak ketiga sebagai penjamin atau penanggung, jika
dikemudian hari debitor wanprestasi untuk melaksanakan kewajiban berdasarkan
perjanjian kredit, maka penjamin berdasarkan perjanjian buy back guarantie yang
harus melaksanakan kewajiban tersebut untuk membeli kembali objek jaminan
debitor, baik berupa jaminan benda bergerak maupun jaminan benda tidak bergerak.
Peran penjamin dalam perjanjian buy back guarantie pada konteks ini bukan

sebagai penanggung utang debitor sebagaimana dikenal di dalam borgtocht, tetapi
bertindak sebagai penanggung untuk membeli kembali objek jaminan dari kreditor
atas barang/benda yang pernah dijual kepada debitor yang pembayarannya melalui
fasilitas kredit/pinjaman dari kreditor.
Penjaminan buy back guarantie saat ini banyak digunakan pada pemberian
fasilitas Kredit Pemilikan Rumah (KPR). Lembaga penjaminan ini terjadi oleh karena
proyek (bangunan rumah atau rumah) yang dibiayai oleh bank masih dalam proses
pembangunan oleh developer, sertifikat belum selesai didaftarkan haknya atas nama
developer (masih dalam proses pengurusan pada kantor pertanahan), sehingga belum
dapat dilakukan penandatanganan akta jual beli atas nama pembeli, sedangkan
bangunan rumah atau rumah sudah mau dijaminkan ke bank. Dalam kondisi seperti
ini bank akan menerima jaminan tersebut, meskipun pengikatan jaminan belum dapat
dilakukan dengan sempurna, yaitu membebankan objek jaminan dengan hak

Universitas Sumatera Utara

28

tanggungan. Olehnya itu, diperlukan suatu bentuk ikatan antara bank dengan
developer berupa buy back guarantie, sebagai upaya untuk melindungi kepentingan

kreditor/ Bank.41
Meskipun tidak ada ketentuan-ketentuan yang secara khusus mengaturnya
dibandingkan dengan bentuk perjanjian penjaminan yang telah ada dan lazim dikenal
dalam sistem hukum jaminan, namun buy back guarantie telah berkembang dan
menjadi salah satu syarat dilakukannya pencairan kredit, utamanya fasilitas KPR.
Menurut Legal Bank Bukopin cabang Medan, bahwa tanpa adanya buy back
guarantie dari developer selaku penjamin, bank tidak akan mencairkan fasilitas KPR
debitor ke rekening developer, oleh karena hal tersebut mutlak harus dipenuhi dan
menjadi syarat dalam memo persetujuan kredit dari tim komite kredit. Pencairan KPR
tanpa adanya penjaminan buy back guarantie merupakan salah satu pelanggaran dari
prosedur standar pengikatan jaminan perbankan pada Bank Bukopin cabang Medan.42
Ketentuan di atas tentu saja tidak dapat diterapkan di dalam lembaga buy back
guarantie meskipun penjamin telah melaksanakan kewajiban berdasarkan akta buy
back guarantie. Hal ini disebabkan karena objek penjaminan di dalam buy back
guarantie berbeda dengan objek penjaminan pada perjanjian borgtocht. Pada buy
back guarantie objek penjaminan adalah barang/benda jaminan debitor, bukan utang

41

Hasil wawancara dengan Akbar Yudha Dewanto, Legal Officer PT. Bank Bukopin Tbk

Cabang Medan, tanggal 10 Januari 2014
42
Hasil wawancara dengan Akbar Yudha Dewanto, Legal Officer PT. Bank Bukopin Tbk
Cabang Medan, tanggal 10 Januari 2014

Universitas Sumatera Utara

29

debitor, sedangkan pada borgtocht objeknya adalah utang debitor yang dijamin
pelunasannya oleh penanggung.
Demikian pula di dalam Pasal 1840 KUHPerdata diatur bahwa penanggung
yang telah membayar lunas utangnya, demi hukum menggantikan kreditor dengan
segala haknya terhadap debitor semula. Sehingga, meskipun penjamin telah
melaksanakan kewajiban sesuai ketentuan buy back guarantie namun tidak serta
merta mengakibatkan atau memberikan hak kepada penjamin untuk menggantikan
posisi kreditor utama. Hal ini sering dikenal dengan subrogasi sebagaimana diatur di
dalam Pasal 1400 KUHPerdata.
Perjanjian buy back guarantie tidak terbentuk dalam satu perjanjian tersendiri,
tetapi hanya merupakan perjanjian ikutan atau accesoir dari suatu perjanjian kredit.

Buy back guarantie terdapat dalam suatu Perjanjian Kerja Sama (PKS) antara bank
dengan developer. Di dalam PKS diatur bahwa buy back guarantie merupakan
kesanggupan developer selaku penjamin untuk membeli kembali tanah/bangunan
rumah yang telah dijual kepada debitor yang dituangkan dalam akta Notaris, yaitu
penjaminan buy back guarantie.43
Dari uraian tersebut di atas, perjanjian buy back guarantie pada awalnya
merupakan kehendak dari penjual yang memberikan jaminan kepada pembeli jika di
kemudian hari terjadi kerugian atau risiko terhadap barang yang dibeli, maka penjual
akan

membeli
43

kembali

barang/benda

tersebut.

Namun

saat

ini

dalam

Ariadin Nadjamuddin, Op.Cit., hal. 416

Universitas Sumatera Utara

30

perkembangannya tidak lagi demikian, justru kreditor lah yang meminta dan
menghendaki adanya perjanjian buy back guarantie. Hal ini didorong oleh prinsip
prudential

banking

yang

selama

ini

diterapkan

oleh

perbankan

untuk

mengefisiensikan upaya lelang yang selama ini digunakan lembaga perbankan untuk
melakukan penyelesaian kredit bermasalah atau macet bila debitor wanprestasi.44
Suatu perjanjian dibuat oleh para pihak untuk suatu maksud dan tujuan
tertentu, demikian pula buy back guarantie. Pemberian buy back guarantie oleh
developer kepada bank didasari oleh adanya penyaluran kredit KPR kepada
konsumen yang dananya diterima langsung oleh developer sebagai pelunasan unit
rumah, sementara pada pihak bank belum dapat mengikat jaminan Hak Tanggungan
atas unit rumah yang dibiayainya. Oleh karena itu, menunggu hingga selesainya
sertipikat atas unit rumah selesai dan dilakukannya akta jual beli, maka bank
memerlukan buy back guarantie dari developer.45 Di pihak developer, selaku pemilik
proyek pembangunan perumahan untuk lebih mencapai sasaran penjualan unit-unit
rumah tersebut kepada para konsumen, developer menjalin kerja sama dengan bank
dalam penyelenggaraan fasilitas KPR.
Bank memberikan fasilitas KPR kepada konsumen perumahan sepanjang
menurut pertimbangan bank, konsumen tersebut memenuhi kriteria yang ditetapkan

44

Hasil wawancara dengan Akbar Yudha Dewanto, Legal Officer PT. Bank Bukopin Tbk
Cabang Medan, tanggal 10 Januari 2014
45
Hasil wawancara dengan Akbar Yudha Dewanto, Legal Officer PT. Bank Bukopin Tbk
Cabang Medan, tanggal 10 Januari 2014

Universitas Sumatera Utara

31

oleh bank. Beberapa alasan/pertimbangan bank meminta developer untuk
memberikan buy back guarantie adalah:46
1. Pembelian unit properti (rumah) oleh konsumen dari developer tidak atau belum
dibayar lunas seluruhnya, sehingga sebagian (besar) harganya akan dilunasi dari
hasil pencairan dana KPR; dan
2. Sertipikat atas unit properti tidak atau belum ada dan/atau bangunannya belum
selesai; dan/atau
3. Hubungan hukum antara developer dan konsumen masih berupa pengikatan jual
beli (Perjanjian Pengikatan Jual Beli/PPJB) dan belum bisa dibuat Akta Jual Beli
di hadapan PPAT yang berwenang.
Selanjutnya pertimbangan hukum yang menjadi dasar dari developer bersedia
memberikan buy back guarantie terhadap suatu KPR adalah:47
1. Sebagian (besar) pembayaran harga pembelian unit properti (rumah) oleh
konsumen akan dilunasi dari hasil pencairan dana KPR dari bank; dan
2. Satu dan lain karena alasan di atas dan pengikatan jual beli antara developer dan
konsumen (pembeli) masih merupakan PPJB, maka:
a. Hak atas tanah secara hukum belum beralih dari developer kepada konsumen;

46

Hasil wawancara dengan Akbar Yudha Dewanto, Legal Officer PT. Bank Bukopin Tbk
Cabang Medan, tanggal 10 Januari 2014
47
Hasil wawancara dengan Akbar Yudha Dewanto, Legal Officer PT. Bank Bukopin Tbk
Cabang Medan, tanggal 10 Januari 2014

Universitas Sumatera Utara

32

b. PPJB sewaktu-waktu dapat dibatalkan oleh developer, apabila konsumen
lalai/wanprestasi/cidera janji berdasarkan ketentuan dalam PPJB; dan
c. Apabila bank mengklaim penjaminan (buy back guarantie) kepada developer
yang mengakibatkan developer harus membayar seluruh utang konsumen
(baik utang pokok, bunga, dan lain-lain) kepada bank, maka kedudukan
developer masih “sangat kuat” dan mudah “menghadapi” konsumen, antara
lain karena developer berhak sewaktu-waktu membatalkan PPJB sehubungan
adanya

klaim

tersebut

dan

melaksanakan

tindakan-tindakan

hukum

selanjutnya.
Dengan penggunaan buy back guarantie, lembaga perbankan dituntut untuk
melakukan penyelesaian yang lebih cepat dan efisien, sehingga lembaga penjaminan
yang telah ada dan bersifat eksekutorial seperti lelang hak tanggungan lebih dihindari
oleh lembaga perbankan. Hal ini juga untuk menjaga performance dan nama baik
debitor agar tidak masuk dalam daftar hitam (black list) Bank Indonesia. Sehingga
saat ini hampir seluruh KPR yang diberikan perbankan harus di back up dengan buy
back guarantie,48 meskipun masih terjadi persepsi dan interpretasi yang berbedabeda, baik Notaris maupun lembaga perbankan terhadap lembaga buy back guarantie.
Perbedaan pandangan tersebut terjadi oleh karena buy back guarantie belum
diatur secara tegas di dalam peraturan perundang-undangan, tetapi muncul

48

Ariadin Nadjamuddin, Op.Cit., hal. 419.

Universitas Sumatera Utara

33

berdasarkan perjanjian (kesepakatan para pihak).49 Hal ini merupakan konsekuensi
dari sifat terbukanya hukum perikatan sebagaimana kehendak dari prinsip kebebasan
berkontrak (freedom of contract) yang diatur di dalam Pasal 1338 KUHPerdata.
C. Bentuk Perjanjian Buy Back Guarantie
Apabila dibandingkan dengan perjanjian penjaminan yang telah ada dan
dinormatifisasi dalam sistem hukum jaminan, yang lazimnya dituangkan dalam
bentuk akta otentik dihadapan Notaris dan atau Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT),
seperti Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT), akta Fidusia dan akta Hipotek,
maka akta-akta jaminan ini mempunyai dasar dan kekuatan hukum eksekutorial yang
tegas dan memberikan implikasi hukum bagi lembaga perbankan dalam hal terjadinya
wanprestasi, oleh karena dasar perundang-undangannya telah ada dan jelas.50 Namun,
terhadap buy back guarantie yang lahir karena perjanjian tidak demikian halnya,
sehingga itikad baik (good faith) para pihak untuk melaksanakan isi atau klausula
akta sangat menentukan maksud diadakannya lembaga penjaminan tersebut sebagai
alternatif penjaminan. Keberadaan akta buy back guarantie dalam hal ini semestinya
tetap dapat mengakomodasi dan berperan untuk memberikan perlindungan hukum
dan preferensi bagi para pihak seperti halnya keberadaan lembaga penjaminan yang
telah ada dan dikenal di dalam sistem hukum jaminan.51
Meskipun dalam kedudukannya sebagai alternatif lembaga penjaminan yang
memiliki kelebihan dan kelemahan, namun bagi penjamin, akta buy back guarantie
49

G. Rai Widjaya, Op.Cit., hal.34.
Hasil wawancara dengan Akbar Yudha Dewanto, Legal Officer PT. Bank Bukopin Tbk
Cabang Medan, tanggal 06 Desember 2013.
51
Hasil wawancara dengan Akbar Yudha Dewanto, Legal Officer PT. Bank Bukopin Tbk
Cabang Medan, tanggal 06 Desember 2013.
50

Universitas Sumatera Utara

34

ini sebenarnya merupakan bentuk tindakan over confidence dan over collateral
lembaga perbankan, oleh karena dengan penggunaan akta jaminan membeli kembali
ini setelah dilakukan pembebanan hak tanggungan atau pengikatan fidusia terhadap
objek/benda jaminan, dapat menimbulkan kekisruhan pelaksanaan dari akta-akta
pengikatan jaminan satu sama lain. Padahal, maksud diadakannya akta buy back
guarantie adalah sebagai alternatif cara penyelesaian kredit bermasalah atau macet
pada saat terjadinya wanprestasi debitor dan penjamin.
Asumsi negatif penjamin atas keberadaan dan penggunaan akta buy back
guarantie ini, dapat berakibat pada pelaksanaan kewajiban penjamin di dalam akta
dalam hal terjadi wanprestasi, oleh karena penjamin beranggapan bahwa bila terjadi
wanprestasi, kreditor cukup melakukan lelang eksekusi barang/benda jaminan
debitor. Kondisi ini tentu saja tidak diharapkan oleh para pihak yang terkait atas
penggunaan akta buy back guarantie, karena keberadaan akta semestinya dapat
memberikan perlindungan, kepastian dan implikasi hukum para pihak khususnya bagi
lembaga perbankan terhadap resiko kerugian dalam pemberian fasilitas pinjaman/
kredit. Oleh karena itu penjaminan buy buck guarantie ini biasanya dibuat secara
terpisah dari perjanjian kredit kepemilikan rumah, dalam arti dibuat secara intern
antara pihak bank dengan pihak developer dalam bentuk perjanjian kerjasama tanpa
diketahui oleh pihak Debitor maupun pihak pemberi hak tanggungan.52

52

Hasil wawancara dengan Akbar Yudha Dewanto, Legal Officer PT. Bank Bukopin Tbk
Cabang Medan, tanggal 06 Desember 2013

Universitas Sumatera Utara

35

Kecenderungan akta buy back guarantie tidak dapat memberikan implikasi
hukum cukup beralasan, oleh karena akta buy back guarantie memang tidak diatur
secara tegas baik di dalam buku II KUHPerdata maupun di dalam buku III
KUHPerdata, seperti halnya lembaga penjaminan lainnya. Apalagi di dalam
KUHPerdata tidak dapat dijumpai sedikitpun adanya ketentuan tentang jaminan
(kewajiban) membeli kembali objek jaminan, melainkan hanya dikenal adanya hak
untuk membeli kembali (Pasal 1519 KUHPerdata). Ketiadaan pengaturan demikian
memberi konsekuensi hukum bahwa penggunaan akta buy back guarantie nantinya
hanya sekedar pelengkap dari berbagai macam akta penjaminan yang sudah ada dan
memiliki kekuatan eksekutorial (seperti APHT, akta Hipotik dan akta Fidusia),
sehingga implikasi hukum terhadap harta benda penjamin dalam hal terjadi
wanprestasi dikhawatirkan dapat melemahkan posisi kreditor dalam pelaksanaan
perjanjian.
Hal ini sangat berbeda pada lembaga penanggungan (borgtocht), sehingga
dalam pelaksanaan akta apakah dimungkinkan untuk menggunakan dan menerapkan
ketentuan-ketentuan borghtocht di dalam Buku III KUHPerdata, khususnya Pasal
1820-1850 KUHPerdata. Atau, jika sebaliknya ketika penjamin telah melaksanakan
kewajiban sesuai kehendak dari penjaminan buy back guarantie, apakah ketentuan
subrogasi di dalam Pasal 1400-1405 KUHPerdata dapat digunakan oleh penjamin
untuk menuntut haknya kepada debitor.
Kebanyakan Notaris juga beranggapan bahwa penggunaan akta buy back
guarantie ini semata-mata hanya memberi dampak sanksi moral terhadap penjamin,

Universitas Sumatera Utara

36

oleh karena akta ini tidak memiliki kekuatan eksekutorial seperti layaknya APHT dan
akta fidusia. Padahal suatu akta otentik/notaril semestinya tidak boleh hanya memiliki
ikatan dan kekuatan moral saja, tetapi harus dapat berimplikasi pada pemenuhan hakhak dan kewajiban yang terkandung di dalam klausula-klausula akta otentik
sebagaimana maksud dari Pasal 1868 KUHPerdata, terutama implikasinya terhadap
harta kekayaan pemberi jaminan sebagaimana dikehendaki oleh Pasal 1131
KUHPerdata, dan tidak semata-mata hanya berimplikasi pada tanggung jawab moral
belaka.53
Jika ditinjau dari kekuatan hukum pelaksanaan akta, maka akta buy back
guarantie seharusnya mempunyai implikasi hukum sebagaimana halnya dengan
bentuk akta jaminan lainnya. Implikasi hukum ini akan menjadi persoalan ketika
penjamin tidak mau membeli kembali objek jaminan debitor sesuai yang telah
disepakati di dalam akta buy back guarantie.
D. Kedudukan Dan Peran Buy Back Guarantie Dalam Praktek Kredit
Kepemilikan Rumah
Mengingat buy back guarantie adalah perjanjian penjaminan yang lahir dari
sistem terbuka hukum perjanjian yang dianut Buku III KUHPerdata, maka tidak ada
ketentuan-ketentuan yang secara khusus mengaturnya, yang artinya kembali kepada
para pihak yang terlibat bebas untuk mengatur sesuai dengan kehendak mereka.

53

Hasil wawancara dengan Notaris Jensen Ricardo Sitanggang, Notaris PPAT Kota Medan,
tanggal 13 Desember 2013

Universitas Sumatera Utara

37

Buy back guarantie tidak termasuk dalam salah satu perjanjian bernama yang
diatur dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disingkat
KUHPerdata). Buy back guarantie lahir karena kebutuhan praktik dan hal tersebut
adalah dimungkinkan berdasarkan sistim terbuka yang dianut Buku III KUHPerdata
sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata.
Sistem terbuka yang dimiliki Hukum Perjanjian telah memberikan kebebasan
sedemikian rupa sehingga setiap orang berhak dan bebas untuk membuat atau
mengadakan perjanjian yang segala sesuatunya sesuai dengan kehendak para pihak
yang membuat. Untuk itu terbuka kebebasan yang seluas-luasnya (beginsel der
contractsvrijheid) untuk mengatur dan menentukan isi suatu perjanjian, asalkan tidak
melanggar Undang-Undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Bahkan dimungkinkan
untuk mengatur sesuatu hal dengan cara yang berbeda atau menyimpang dari
ketentuan yang telah diatur yang terdapat di dalam pasal-pasal hukum perjanjian
(KUHPerdata).54
Buy back guarantie tidak terbentuk dalam satu perjanjian tersendiri. Buy back
guarantie timbul dalam rangka kerja sama penyaluran KPR oleh bank kepada
konsumen yang membeli unit rumah dari developer. Buy back guarantie terdapat
dalam perjanjian kerja sama pemberian fasilitas KPR, yang dibuat oleh dan antara
developer dan Bank. Unsur utama dalam perjanjian kerja sama pemberian fasilitas
KPR adalah ketentuan mengenai prosedur pemberian KPR oleh bank kepada
54

G. Rai Widjaya, Merancang Suatu Kontrak, (Jakarta: Kesaint Blanc, 2003), hal.33.

Universitas Sumatera Utara

38

konsumen dan ketentuan mengenai jaminan (buy back guarantie).55 Kedua unsur
tersebut diatur dan disesuaikan dengan kesepakatan antara developer dan bank. Bila
dilihat dari aspek namanya, perjanjian tersebut dapat digolongkan dalam perjanjian
tidak bernama karena perjanjian tersebut tidak dapat dimasukkan dalam perjanjian
yang dikenal dalam KUHPerdata yaitu sebagaimana diatur dalam Bab V sampai
dengan Bab XVIII.56
Jika dilihat dari bentuk dan isinya, akta buy back guarantie ini menyerupai
bentuk perjanjian penanggungan (personal guarantie atau coorporate guarantie),
yang di dalam Pasal 1820 BW dikenal sebagai borghtocht, hanya saja subjek hukum
dari buy back guarantie berbeda dengan borghtocht. Oleh karena di dalam borghtocht
yang menjadi penjamin adalah pihak ketiga (personal guarantie dan atau corporate
guarantie) yang awalnya tidak mempunyai hubungan hukum dengan debitor,
sedangkan pada buy back guarantie yang bertindak sebagai penjamin adalah orang
atau badan hukum yang sebelumnya telah mempunyai hubungan hukum dengan
debitor. Buy back guarantie ini banyak dijumpai dalam perjanjian kredit konstruksi,
kredit pemilikan rumah (KPR), kredit pemilikan apartemen (KPA) dan kredit
pemilikan mobil (KPM). Namun, jika ditinjau dari akibat hukum dalam hal terjadi
wanprestasi debitor, maka hak dan kewajiban yang timbul dari perjanjian buy back

55

Hasil wawancara dengan Akbar Yudha Dewanto, Legal Officer PT. Bank Bukopin Tbk
Cabang Medan, tanggal 06 Desember 2013
56
Ariadin Nadjamuddin, Aspek Hukum Akta Buy Back Guarantee Dan Implikasinya Bagi
Lembaga Perbankan, (FH Unhas: Jurnal Penelitian Hukum, 2012), hal.415.

Universitas Sumatera Utara

39

guarantie ini mirip dengan subrogasi yang dikenal di dalam Pasal 1400 BW, oleh
karena baik di dalam buy back guarantie maupun pada subrogasi terjadi penggantian
hak-hak oleh seorang pihak ketiga/ penjamin yang membayar kepada kreditor,
bedanya adalah, buy back guarantie hanya timbul berdasarkan perjanjian sedangkan
pada subrogasi bisa juga timbul karena undang-undang.57
Lazim terjadi di dalam praktik, buy back guarantie ada di dalam Perjanjian
Kerja Sama Pembiayaan KPR (selanjutnya disebut PKS) antara bank dan developer.
Di dalam praktiknya pula, telah terjadi pengembangan atas penerapan buy back
guarantie yang menurut peneliti adalah kurang tepat. Hal tersebut tercermin dari
penerapan buy back guarantie sebagai penanggungan utang dan menggunakan
ketentuan-ketentuan penanggungan utang untuk menjabarkan buy back guarantie.
Padahal konsep buy back guarantie bukan penanggungan utang. Namun, hal tersebut
sulit dihindari mengingat hubungan hukum yang terjadi antara bank dan debitor
adalah utang-piutang atau pinjam-meminjam yang diatur dalam perjanjian kredit
dan/atau perjanjian pengakuan hutang. Prestasi yang wajib dipenuhi debitor kepada
bank (kreditor) adalah pemenuhan kewajiban pembayaran utang, sehingga demi
kepentingan bank, buy back guarantie dijabarkan sebagai jaminan terhadap
kewajiban pembayaran utang debitor apabila debitor wanprestasi;
Perjanjian kerja sama tersebut biasanya dibuat dalam bentuk akta notaris,
sehingga dengan demikian perjanjian tersebut merupakan akta otentik dan
57

Ibid., hal.417

Universitas Sumatera Utara

40

mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna (volledig bewijs/ full evident).
Pertimbangan hukum yang mendasari pemilihan bentuk formil perjanjian tersebut
adalah kewajiban bank untuk menanggung risiko dalam pemberian KPR. Dengan
risiko tersebut, bank melindungi kepentingannya dalam perjanjian tersebut dengan
membuatnya dalam bentuk notariil sehingga mempunyai kekuatan pembuktian yang
sempurna terutama mengenai jangka waktu, tanggal pembuatan, isi perjanjian,
penandatanganan, tempat pembuatan dan dasar hukumnya.
Sebagai akibat hukum juga yang terdapat dalam suatu akta otentik adalah
apabila ternyata perjanjian tersebut disangkal, maka yang mempunyai kewajiban
untuk membuktikan adalah pihak yang menyangkal. Developer dan bank sepakat
untuk melakukan kerja sama dengan syarat dan ketentuan yang disepakati bersama
sebagaimana tertuang dalam PKS. Syarat dan ketentuan yang ditentukan oleh
developer kepada tiap-tiap bank tentunya tidak sama begitu pula syarat dan ketentuan
yang ditetapkan oleh bank kepada tiap-tiap developer. Sehingga dalam tiap-tiap PKS
terdapat perbedaan baik secara materiil maupun redaksional. Pada umumnya terdapat
beberapa materi ketentuan yang selalu ada dalam PKS adalah sebagai berikut:
1. Fasilitas KPR
Pemberian fasilitas KPR menjadi materi utama dalam perjanjian. Ketentuan
yang mengatur fasilitas KPR dalam perjanjian kerja sama tersebut dapat bagi menjadi
dua bagian, yaitu:
a. Prosedur pemberian fasilitas KPR

Universitas Sumatera Utara

41

Pemberian fasilitas KPR merupakan kewenangan bank sebagai lembaga
keuangan perbankan. Namun dengan adanya kerja sama ini, developer diikutsertakan
dalam proses pemberian fasilitas KPR tersebut. Prosedur tersebut dalam perjanjian
kerja sama ini diatur sebagai berikut:
1) Konsumen dapat mengajukan permohonan fasilitas KPR secara langsung
maupun melalui developer.
2) Developer turut mendukung permohonan tersebut dengan melampirkan suratsurat yang diperlukan termasuk tetapi tidak terbatas PPJB.
3) Pertimbangan atau keputusan dikabulkan atau tidak permohonan konsumen
merupakan keputusan bank sepenuhnya.
b. Ketentuan dalam pemberian fasilitas KPR
Syarat dan ketentuan dalam pemberian fasilitas KPR merupakan kewenangan
bank sepenuhnya. Kalaupun ada negosiasi, tentunya akan melibatkan konsumen
sebagai debitor penerima fasilitas kredit. Akan tetapi dengan perjanjian kerja sama,
syarat dan ketentuan dalam pemberian fasilitas KPR juga merupakan materi yang
dinegosiasikan antara bank dan developer. Syarat dan ketentuan tersebut adalah
sebagai berikut:58
1) plafon (baki debet) fasilitas KPR;

58

Hasil wawancara dengan Akbar Yudha Dewanto, Legal Officer PT. Bank Bukopin Tbk
Cabang Medan, tanggal 03 Januari 2014

Universitas Sumatera Utara

42

2) batas maksimal pemberian fasilitas KPR, misalnya tidak melebihi maksimum
80% (delapan puluh persen) dari harga rumah;
3) jangka waktu pembayaran fasilitas KPR, misalnya maksimum 10 (sepuluh)
tahun;
4) penggunaan dana KPR hanya semata-mata untuk membayar harga rumah kepada
developer; kewajiban membayar bunga, provisi dan biaya administrasi kepada
Bank; pemberian fasilitas KPR akan dijamin dengan Hak Tanggungan atas
rumah;
2. Pernyataan Dan Jaminan Developer
Pemberian fasilitas KPR yang diberikan oleh bank pada akhirnya diterima dan
dinikmati oleh developer. Barang yang akan dijadikan jaminan atas fasilitas KPR
tersebut merupakan rumah

yang dalam kenyataan hukum belum beralih

kepemilikannya. Dengan pertimbangan tersebut, dalam PKS, developer diminta
membuat pernyataan dan jaminan yang meliputi hal-hal sebagai berikut: 59
a. legalitas dan keabsahan tindakan developer sebagai suatu badan hukum;
Dalam setiap aktivitasnya, developer sebagai suatu badan hukum berbentuk
perseroan terbatas terikat dan tunduk pada peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan perseroan terbatas termasuk tetapi tidak terbatas pada Undangundang Nomor 1 Tahun 1992 tentang Perseroan Terbatas dan ketentuan yang diatur

59

Hasil wawancara dengan Akbar Yudha Dewanto, Legal Officer PT. Bank Bukopin Tbk
Cabang Medan, tanggal 03 Januari 2014

Universitas Sumatera Utara

43

dalam anggaran dasar perseroannya. Sebagai suatu badan hukum, developer
direpresentasikan dengan Direksi yang mewakili perseroan baik di dalam maupun di
luar pengadilan. Dalam membuat dan melaksanakan perjanjian kerja sama ini,
developer tidak melanggar ketentuan perundang undangan dan tidak bertentangan
dengan anggaran dasar perseroan. Hal ini menunjukkan bahwa kausa yang halal
dalam perjanjian kerja sama tersebut telah dipenuhi.
b. Tanggung Jawab Developer Sebagai Penjual Rumah;
Dalam proses pemberian fasilitas KPR dibutuhkan peran serta developer.
Oleh karenanya dalam perjanjian tersebut developer menyatakan peran sertanya
sebagai kewajiban developer. Peran serta developer tersebut sebagai berikut:60
1) mengusulkan para calon debitor untuk memperoleh fasilitas KPR dari bank;
2) bertindak sebagai penghubung antara bank dan debitor;
3) memberi bantuan kepada bank dalam mengawasi dan memonitor ketaatan dan
pelaksanaan Perjanjian kredit antara konsumen dan bank;
4) membantu bank menghadirkan debitor dalam pengikatan kredit dan jaminan;
5) mengurus dan menyelesaikan penerbitan dokumen legalitas tanah;
Developer juga menyatakan bahwa developer adalah pemilik yang sah dan
mempunyai hak yang penuh atas unit rumah yang akan dijual kepada konsumen, dan
tidak ada pihak lain yang turut memiliki atau mempunyai hak apapun juga terhadap

60

Hasil wawancara dengan Akbar Yudha Dewanto, Legal Officer PT. Bank Bukopin Tbk
Cabang Medan, tanggal 03 Januari 2014

Universitas Sumatera Utara

44

unit

rumah

tersebut

ataupun

bagian

daripadanya

belum

pernah

dijual,

dipindahtangankan/dialihkan haknya atau dijaminkan/dipertanggungkan dengan cara
bagaimanapun kepada orang/pihak lain (kecuali dapat diroya sebagian/roya parsial
berdasarkan surat pelepasan hak dari bank), tidak tersangkut dalam perkara/sengketa
dan juga tidak berada dalam suatu sitaan. Pernyataan ini berkaitan dengan ketentuan
jual beli sebagaimana diatur dalam KUHPerdata Buku III Bab V tentang Jual Beli.
Dalam hal penandatanganan perjanjian utang piutang dahulu dari penandatanganan
akta jual beli rumah dan pada saat penandatanganan tersebut konsumen belum
memberikan perjanjian penjaminan dalam bentuk APHT maka:61
1) penandatanganan Akta Jual Beli atas rumah hanya akan dilaksanakan oleh
developer dan konsumen bersamaan dengan penandatanganan APHT oleh
konsumen dan bank;
2) penandatanganan Akta Jual Beli dan APHT hanya akan ditandatangani di
hadapan pejabat berwenang yang sama; dan
3) penandatanganan Akta Jual Beli antara developer dan konsumen tidak akan
dilakukan/tidak pernah akan terjadi bilamana pada saat yang bersamaan dengan
penandatanganan Akta Jual Beli ternyata debitor tidak mau menandatangani
APHT atas rumah yang digunakan untuk menjamin fasilitas KPR;
3. Jaminan Buy Back Guarantie

61

Hasil wawancara dengan Akbar Yudha Dewanto, Legal Officer PT. Bank Bukopin Tbk
Cabang Medan, tanggal 03 Januari 2014

Universitas Sumatera Utara

45

Ketentuan buy back guarantie merupakan bagian yang penting dalam
perjanjian kerja sama pemberian fasilitas KPR, yang diatur dalam ketentuan buy back
guarantie diantaranya adalah sebagai berikut:62
a. Jangka Waktu Berlakunya Buy back Guarantie;
Selama Akta Jual Beli dan APHT atas Rumah belum ditandatangani oleh
konsumen, developer dengan ini wajib bertanggung jawab sepenuhnya dan mengikat
diri sebagai penjamin atas pembayaran seluruh jumlah uang yang terutang oleh
debitor kepada bank. Buy back guarantie akan berakhir dengan sendirinya apabila
AJB dan APHT ditandatangani oleh konsumen. Buy back guarantie juga akan
berakhir bila setelah pemberitahuan tertulis dari developer kepada bank untuk
diadakan penanda tanganan AJB, ternyata bank belum siap untuk mengadakan
penandatanganan APHT. Dalam praktek kredit kepemilikan rumah di Bank Bukopin
Tbk Cabang Medan jangka waktu buy back guarantie tersebut berlaku sampai dengan
kredit kepemilikan rumah tersebut selesai atau dilunasi debitor.
b. Kewajiban Pembayaran Yang Dijamin
Kewajiban pembayaran konsumen sehubungan dengan KPR yang diterimanya
adalah meliputi utang pokok, bunga, provisi, bunga denda dan/atau biaya-biaya
lainnya berdasarkan fasilitas KPR yang diterimanya, baik dalam mata uang Rupiah
ataupun mata uang lainnya, jumlah-jumlah uang mana besarnya akan ditentukan
sendiri oleh bank.
62

Hasil wawancara dengan Akbar Yudha Dewanto, Legal Officer PT. Bank Bukopin Tbk
Cabang Medan, tanggal 03 Januari 2014

Universitas Sumatera Utara

46

c. Pelaksanaan Buy back Guarantee
Buy back guarantee akan diklaim oleh bank apabila konsumen/debitor telah
melalaikan kewajiban kepada BANK untuk membayar angsuran fasilitas KPR
sebanyak 3 (tiga) kali angsuran berturut-turut atau apabila fasilitas KPR yang telah
diberikan kepada konsumen tidak dijamin dengan rumah karena akibat/alasan yang
disebabkan oleh developer menjadi tidak dapat dibebani Hak Tanggungan. Dalam
waktu 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak bank memberitahukan secara tertulis kepada
developer bahwa telah terjadi salah satu sebab tersebut di atas maka developer wajib
membayar jumlah uang tersebut kepada bank.63
4. Syarat dan Ketentuan Buy Back Guarantie
Buy back guarantie diberikan oleh developer kepada bank dengan melepaskan
hak-hak utama, hak-hak istimewa serta exceptie-exceptie yang oleh Undang-Undang
diberikan kepada seorang penjamin, antara lain:
a. Hak untuk memperjuangkan apa yang wajib dibayar kepada debitur utama, tetapi
debitur utama tak diperkenankan memperjumpakan apa yang harus dibayar
kreditur kepada penanggung utang (Pasal 1430 KUHPerdata);
b. Hak untuk memberikan jaminan gadai atau hipotik sebagai ganti seorang
penanggung (Pasal 1830 KUHPerdata);
c. Hak untuk terlebih dahulu menyita dan menjual barang kepunyaan debitor untuk
melunasi hutangnya (Pasal 1831 KUHPerdata);

63

Hasil wawancara dengan Akbar Yudha Dewanto, Legal Officer PT. Bank Bukopin Tbk
Cabang Medan, tanggal 03 Januari 2014

Universitas Sumatera Utara

47

d. Hak untuk mengajukan permohonan di hadapan hakim untuk menyita dan
menjual lebih dahulu barang kepunyaan debitor (Pasal 1833 KUHPerdata);
e. Hak untuk menuntut supaya kreditor terlebih dahulu membagi piutangnya, dan
mengurangkannya sebatas bagian masing-masing penanggung hutang yang terikat
secara sah (Pasal 1837 KUHPerdata);
f. Hak untuk menggunakan segala tangkisan yang dapat dipakai oleh debitur utama
dan mengenai utang yang ditanggungnya sendiri (Pasal 1847 KUHPerdata);
g. Hak untuk dibebaskan dari kewajibannya bila atas kesalahan kreditor ia tidak
dapat lagi memperoleh hak hipotek dan hak istimewa kreditor itu sebagai
penggantinya (Pasal 1848 KUHPerdata);
h. Hak untuk dibebaskan dari tanggungannya, sekalipun barang itu kemudian harus
diserahkan oleh kreditur kepada orang lain berdasarkan putusan Hakim untuk
kepentingan pembayaran utang tersebu, apabila kreditor secara sukarela
menerima suatu barang tak bergerak atau barang lain sebagai pembayaran utang
pokok (Pasal 1849 KUHPerdata), dan
i. Hak memaksa debitur untuk membayar utangnya atau membebaskan penanggung
dari tanggungannya, dalam hal adanya penundaan pembayaran sederhana yang
diizinkan kreditur kepada debitur (Pasal 1850 KUHPerdata).
Developer selanjutnya berjanji dan mengikat diri kepada/terhadap bank
selama developer tidak/belum membayar dengan penuh dan dengan sebagaimana
mestinya seluruh jumlah uang yang wajib dibayar oleh developer kepada bank
berdasarkan buy back guarantie ini, maka developer tidak akan menjalankan hak-

Universitas Sumatera Utara

48

haknya untuk disubrogasi dalam kedudukan bank (kreditor) terhadap konsumen
(debitor).
Dalam hal konsumen lalai melakukan kewajibannya atau wanprestasi, bank
akan meminta pelaksanaan jaminan buy back guarantie kepada developer. Dalam
waktu 3 (tiga) hari sejak surat pemberitahuan bank, developer wajib membayar
seluruh kewajiban pembayaran konsumen.
Dengan adanya pembayaran kewajiban konsumen/pelaksanaan buy back
guarantie, maka bank wajib menyerahkan seluruh dokumen kredit konsumen
termasuk tetapi tidak terbatas perjanjian kredit, akta pengakuan utang dan perjanjian
jaminan. Bersamaan dengan pembayaran buy back guarantee oleh developer kepada
bank, kedua belah pihak membuat dan menandatangani perjanjian subrogasi.
5. Peranan Buy Back Guarantie Dalam Perjanjian Kredit Pemilikan Rumah
Buy back guarantie merupakan suatu penjaminan atas pembelian kembali unit
apartemen yang dibeli oleh konsumen, yang di dalam praktek karena adanya
hubungan

hukum

utang-piutang

antara

bank

dan

debitor

KPR,

bentuk

pengembangannya dijabarkan sebagai jaminan atas pelunasan KPR yang diberikan
oleh bank kepada debitor.
Apabila terjadi klaim, pembayaran kepada bank dianggap oleh developer
sebagai pembelian kembali unit rumah milik konsumen dan oleh bank dianggap

Universitas Sumatera Utara

49

sebagai pelunasan utang debitor KPR. Sehingga dengan adanya buy back guarantie
bank memperoleh kepastian atas pelunasan KPR.64
Buy back guarantie yang diberikan oleh developer kepada bank dalam PKS
KPR bertujuan untuk memfasilitasi atau mempermudah konsumen dalam mencari
sumber dana guna melunasi harga unit apartemen yang dibelinya.
Fasilitas kredit yang dapat diberikan buy back guarantie oleh developer
adalah hanya fasilitas KPR. Dengan demikian lembaga buy back guarantie tidak
dapat diberikan atas jenis kredit lain seperti Kredit Modal Kerja (KMK), Kredit
Investasi dan lain sebagainya.
Jenis fasilitas KPR yang dapat diberikan buy back guarantie tersebut adalah
fasilitas KPR yang pencairan dananya digunakan untuk pelunasan harga pembelian/
pengikatan (KPR murni) bukan KPR/KPR refinancing, KPR pembiayaan
pembangunan di atas tanah kavling, KPR renovasi atau KPR penambahan/
pengembangan bangunan atau bentuk lainnya.
Apabila pembayaran atas pembelian unit rumah sudah dilunasi oleh
konsumen sendiri, apalagi sertipikat hak atas tanah sudah selesai atau hubungan
hukum antara developer dan debitor sudah bisa dilakukan dengan perbuatan hukum
jual beli dengan akta jual beli di hadapan PPAT yang berewenang, maka lembaga buy
back guarantie sudah tidak diperlukan dan tidak relevan lagi bagi developer maupun
pihak bank.

64

Hasil wawancara dengan Akbar Yudha Dewanto, Legal Officer PT. Bank Bukopin Tbk
Cabang Medan, tanggal 03 Januari 2014

Universitas Sumatera Utara