Pengaruh Terapi Musik Terhadap Tingkat Depresi Antara Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

7

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEPRESI
2.1.1. Definisi
Depresi merupakan satu masa terganggunya fungsi manusia yang berkaitan
dengan alam perasaan yang sedih dan gejala penyertanya, termasuk perubahan pada
pola tidur dan nafsu makan, psikomotor, konsentrasi, anhedonia, kelelahan, rasa
putus asa dan tidak berdaya, serta bunuh diri (Kaplan, 2010).
Kondisi yang ditandai dengan ketidakmampuan berkonsentrasi, perubahan
pola tidur yang parah, menurunnya energi, ketidaknyamanan fisik, mudah tersingung,
serta perasaan sedih , kesal dan tidak berdaya yang ekstrim.
Depresi dapat terjadi pada keadaan normal sebagai bagian dalam perjalanan
proses kematangan dari emosi. Pada keadaan normal, depresi merupakan gangguan
kemurungan (kesedihan, patah semangat) yang ditandai dengan perasaan tidak pas,
menurunnya kegiatan, dan pesimisme menghadapi masa yang akan datang. Pada
kasus patologis, depresi merupakan ketidakmauan ekstrim untuk mereaksi terhadap
rangsang disertai menurunnya nilai diri, delusi ketidakpuasan, tidak mampu, dan
putus asa.

Depresi adalah suatu kondisi yang dapat disebabkan oleh defisiensi relatif
salah satu atau beberapa aminergik neurotransmiter (noradrenalin, serotonin, dopamin)
pada sinaps neuron di SSP (terutama pada sistem limbik) (Maslim, 2002).
Depresi juga merupakan salah satu gangguan mood yang ditandai oleh
hilangnya perasaan kendali dan pengalaman subjektif adanya penderitaan berat.
Mood adalah keadaan emosional internal yang meresap dari seseorang, dan bukan
afek, yaitu ekspresi dari isi emosional saat itu (Kaplan, 2010). Musik dapat

Universitas Sumatera Utara

8

menstimulasi produksi endorphin, opiates tubuh alami, dan dapat mengurangi kadar
kortisol dan noradrenaline, hormone yang terkait dengan stres (Watkins, 1997).
Beck (McDowell & Newel, 1996) mendefinisikan depresi sebagai keadaan
abnormal organisme yang dimanifestasikan dengan tanda simptom-simptom seperti
menurunya mood subjektif, rasa pesimis dan sikap nihilistik, kehilangan kespontanan
dan gejala vegetatif (seperti kehilangan berat badan dan gangguan tidur). Depresi
juga merupakan kompleks gangguan yang meliputi gangguan afeksi, kognisi,
motivasi dan komponen perilaku.

2.1.2 Epidemiologi Depresi
Gangguan depresi mayor (berat) adalah tipe yang paling umum dari gangguan
mood yang dapat didiagnosis, dengan perkiraan prevelensi semasa hidup berkisar
antara 10% hingga 25% untuk wanita dan 5% hingga 12% untuk pria.
a. Jenis Kelamin
Pada pengamatan yang hampir universal, terlepas dari kultur atau negara,
terdapat prevelensi gangguan depresi berat yang dua kali lebih beasr pada wanita
dibandingkan laki-laki. Meski perbedaan hormonal atau atau perbedaan biologis
lainnya yang terkait dengan gender kemungkinan berpengaruh, namun sebuah diskusi
panel yang diselenggarakan oleh American Psychological Association (APA)
menyatakan bahawa perbedaan gender sebagian besar disebabkan oleh lebih
banyaknya jumlah stress yang diahdapi wanita dalam kehidupan kontemporer.
Perbedaan dalam gaya mengatasi masalah juga dapat membantu menjelaskan
mengenai lebih besarnya wanita untuk terkena depresi.
b. Usia
Rata-rata usia onset untuk gangguan depresif berat adalah kira-kira 40 tahun; 50%
dari semua pasien mempunyai onset antara usia 20-50 tahun. Gangguan depresif berat
juga mungkin memiliki onset selama masa anak-anak atau pada lanjut usia, walaupun

Universitas Sumatera Utara


9

hal tersebut jarang terjadi. Beberapa data epidemiologis akhir akhir ini menyatakan
bahawa insiden gangguan depresif berat meningkat pada orang-orang berusia kurang
dari 30 tahun. Jika pengamatan tersebut benar, hal tersebut mungkin berhubungan
dengan meningkatnya penggunaan alcohol dan zat lain pada kelompok usia tersebut.
c. Ras
Prevelensi gangguan mood tidak berbeda dari satu ras ke ras lain. Tetapi, klinisi
cenderung kurang mendiagnosa gangguan moral dan terlalu mendiagnosa skizofrenia
pada pasien yang mempunyai latar belakang rasial yang berbeda dengan dirinya.
d. Status Perkahwinan
Pada umunya, gangguan depresif berat terjadi pada orang yang tidak memiliki
hubungan interpersonal yang erat atau yang bercerai atau yang berpisah.
e. Pertimbangan Sosioekonomi
Tidak ditemukan adanya korelasi antara status sosioekonomi dan gangguan
depresif berat. Namun sumber lain menyatakan orang dengan taraf sosioekonomi
yang lebih rendah memiliki risiko yang lebih tinggi dibanding mereka dengan taraf
yang lebih baik untuk menderita depresi.
2.1.3 Etiologi Depresi

Kaplan menyatakan bahwa faktor penyebab depresi dapat secara buatan dibagi
menjadi faktor biologi, faktor genetik, dan faktor psikososial.
a. Faktor biologi
Disregulasi neuroendokrin. Hipotalamus merupakan pusat pengaturan aksis
neuroendokrin, menerima input neuron yang mengandung neurotransmitter amin
biogenik. Pada pasien depresi ditemukan adanya disregulasi neuroendokrin.

Universitas Sumatera Utara

10

Disregulasi ini terjadi akibat kelainan fungsi neuron yang mengandung amin biogenik.
Sebaliknya, stres kronik yang mengaktivasi aksis Hypothalamic-Pituitary-Adrenal
(HPA) dapat menimbulkan perubahan pada amin biogenik sentral. Aksis
neuroendokrin yang paling sering terganggu yaitu adrenal, tiroid, dan aksis hormon
pertumbuhan. Aksis HPA merupakan aksis yang paling banyak diteliti (Landefeld et
al, 2004).
Hipersekresi CRH merupakan gangguan aksis HPA yang sangat fundamental
pada pasien depresi. Hipersekresi yang terjadi diduga akibat adanya defek pada
sistem umpan balik kortisol di sistem limpik atau adanya kelainan pada sistem

monoaminogenik & neuromodulator yang mengatur CRH (Kaplan, 2010). Sekresi
CRH dipengaruhi oleh emosi. Emosi seperti perasaan takut dan marah berhubungan
dengan Paraventriculer nucleus (PVN), yang merupakan organ utama pada sistem
endokrin dan fungsinya diatur oleh sistem limbik. Emosi mempengaruhi CRH di
PVN, yang menyebabkan peningkatan sekresi CRH (Landefeld, 2004). Pada orang
lanjut usia terjadi penurunan produksi hormon estrogen. Estrogen berfungsi
melindungi sistem dopaminergik negrostriatal terhadap neurotoksin seperti MPTP, 6OHDA dan methamphetamin. Estrogen bersama dengan antioksidan juga merusak
monoamine oxidase (Unutzer dkk, 2002).
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terdapat kelainan pada amin biogenik,
seperti: 5 HIAA (5-Hidroksi indol asetic acid), HVA (Homovanilic acid), MPGH (5
methoxy-0-hydroksi phenil glikol), di dalam darah, urin dan cairan serebrospinal
pada pasien gangguan mood. Neurotransmiter yang terkait dengan patologi depresi
adalah serotonin dan epineprin. Penurunan serotonin dapat mencetuskan depresi, dan
pada pasien bunuh diri, beberapa pasien memiliki serotonin yang rendah. Pada terapi
despiran mendukung teori bahwa norepineprin berperan dalam patofisiologi depresi
(Kaplan, 2010). Selain itu aktivitas dopamin pada depresi adalah menurun. Hal
tersebut tampak pada pengobatan yang menurunkan konsentrasi dopamin seperti
Respirin, dan penyakit dimana konsentrasi dopamin menurun seperti parkinson,

Universitas Sumatera Utara


11

adalah disertai gejala depresi. Obat yang meningkatkan konsentrasi dopamin, seperti
tyrosin, amphetamine, dan bupropion, menurunkan gejala depresi (Kaplan, 2010).
Kehilangan saraf atau penurunan neurotransmiter. Sistem saraf pusat mengalami
kehilangan secara selektif pada sel-sel saraf selama proses menua. Walaupun ada
kehilangan sel saraf yang konstan pada seluruh otak selama rentang hidup, degenerasi
neuronal korteks dan kehilangan yang lebih besar pada sel-sel di dalam lokus seroleus,
substansia nigra, serebelum dan bulbus olfaktorius (Lesler, 2001). Bukti
menunjukkan bahwa ada ketergantungan dengan umur tentang penurunan aktivitas
dari noradrenergik, serotonergik, dan dopaminergik di dalam otak. Khususnya untuk
fungsi aktivitas menurun menjadi setengah pada umur 80-an tahun dibandingkan
dengan umur 60-an tahun (Kane dkk, 1999)
b. Faktor Genetik
Penelitian genetik & keluarga menunjukkan bahwa angka resiko di antara anggota
keluarga tingkat pertama dari individu yang menderita depresi berat (unipolar)
diperkirakan 2 sampai 3 kali dibandingkan dengan populasi umum. Angka
keselarasan sekitar 11% pada kembar dizigot dan 40% pada kembar monozigot
(Davies, 1999).

Oleh Lesler (2001), Pengaruh genetik terhadap depresi tidak disebutkan secara
khusus, hanya disebutkan bahwa terdapat penurunan dalam ketahanan dan
kemampuan dalam menanggapi stres. Proses menua bersifat individual, sehingga
dipikirkan kepekaan seseorang terhadap penyakit adalah genetik.
c.

Faktor Psikososial
Menurut Freud dalam teori psikodinamikanya, penyebab depresi adalah

kehilangan objek yang dicintai (Kaplan, 2010). Ada sejumlah faktor psikososial yang
diprediksi sebagai penyebab gangguan mental pada lanjut usia yang pada umumnya
berhubungan dengan kehilangan. Faktor psikososial tersebut adalah hilangnya

Universitas Sumatera Utara

12

peranan sosial, hilangnya otonomi, kematian teman atau sanak saudara, penurunan
kesehatan, peningkatan isolasi diri, keterbatasan finansial, dan penurunan fungsi
kognitif (Kaplan, 2010) Sedangkan menurut Kane, faktor psikososial meliputi

penurunan percaya diri, kemampuan untuk mengadakan hubungan intim, penurunan
jaringan sosial, kesepian, perpisahan, kemiskinan dan penyakit fisik (Kane, 1999).
Faktor psikososial yang mempengaruhi depresi meliputi: peristiwa kehidupan
dan stresor lingkungan, kepribadian, psikodinamika, kegagalan yang berulang, teori
kognitif dan dukungan sosial (Kaplan, 2010).
Peristiwa kehidupan dan stresor lingkungan. Peristiwa kehidupan yang
menyebabkan stres, lebih sering mendahului episode pertama gangguan mood dari
episode selanjutnya. Para klinisi mempercayai bahwa peristiwa kehidupan memegang
peranan utama dalam depresi, klinisi lain menyatakan bahwa peristiwa kehidupan
hanya memiliki peranan terbatas dalam onset depresi. Stressor lingkungan yang
paling berhubungan dengan onset suatu episode depresi adalah kehilangan pasangan
(Kaplan, 2010). Stressor psikososial yang bersifat akut, seperti kehilangan orang yang
dicintai, atau stressor kronis misalnya kekurangan finansial yang berlangsung lama,
kesulitan hubungan interpersonal, ancaman keamanan dapat menimbulkan depresi
(hardywinoto, 1999).
Faktor kepribadian. Beberapa ciri kepribadian tertentu yang terdapat pada
individu, seperti kepribadian dependen, anankastik, histrionik, diduga mempunyai
resiko tinggi untuk terjadinya depresi. Sedangkan kepribadian antisosial dan paranoid
(kepribadian yang memakai proyeksi sebagai mekanisme defensif) mempunyai resiko
yang rendah (Kaplan, 2010).

Faktor psikodinamika. Berdasarkan teori psikodinamika Freud, dinyatakan
bahwa kehilangan objek yang dicintai dapat menimbulkan depresi (Kaplan, 2010).
Dalam upaya untuk mengerti depresi, Sigmud Freud sebagaimana dikutip Kaplan
(2010) mendalilkan suatu hubungan antara kehilangan objek dan melankolia. Ia

Universitas Sumatera Utara

13

menyatakan bahwa kekerasan yang dilakukan pasien depresi diarahkan secara
internal karena identifikasi dengan objek yang hilang. Freud percaya bahwa introjeksi
mungkin merupakan cara satu-satunya bagi ego untuk melepaskan suatu objek, ia
membedakan melankolia atau depresi dari duka cita atas dasar bahwa pasien
terdepresi merasakan penurunan harga diri yang melanda dalam hubungan dengan
perasaan bersalah dan mencela diri sendiri, sedangkan orang yang berkabung tidak
demikian.
Kegagalan yang berulang. Dalam percobaan binatang yang dipapari kejutan
listrik yang tidak bisa dihindari, secara berulang-ulang, binatang akhirnya menyerah
tidak melakukan usaha lagi untuk menghindari. Disini terjadi proses belajar bahwa
mereka tidak berdaya. Pada manusia yang menderita depresi juga ditemukan

ketidakberdayaan yang mirip (Kaplan, 2010).
Faktor kognitif. Adanya interpretasi yang keliru terhadap sesuatu, menyebabkan
distorsi pikiran menjadi negatif tentang pengalaman hidup, penilaian diri yang negatif,
pesimisme dan keputusasaan. Pandangan yang negatif tersebut menyebabkan
perasaan depresi (Kaplan, 2010)
2.1.4. Gambaran Klinis
Gejala depresi adalah kumpulan perilaku dan perasaan yang secara spesifik
dapat dikelompokkan sebagai depresi. Namun perlu diingat, setiap orang mempunyai
perbedaan yang mendasar, yang memungkinkan suatu peristiwa atau perilaku
dihadapi secara berbeda antara satu orang dengan yang lainnya. Gejala utama depresi
pada darejat ringan, sedang dan berat adalah efek depresif, kehilangan minat dan
kegembiraan, berkurangnya energy yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah
(rasa lelah yang nyata sesudah kerja sedikit saja) dan menurunya aktivitas. Gejalagejala depresi ini bias kita lihat dari tiga segi, yaitu gejala dilihat dari segi fisik, psikis
dan sosial.

Universitas Sumatera Utara

14

a. Gejala Fisik

Menurut beberapa ahli, gejala depresi yang kehilangan ini mempunyai rentangan
dan variasi yang luas sesuai dengan berat ringannya depresi yang dialami. Gejala fisik
berupa:
1) Gangguan pola tidur (sulit tidur, terlalu banyak atau terlalu sedikit).
2) Menurunnya aktivitas kerja
3) Menurunnya aktivitas fisik.
4) Mudah merasa letih & sakit
5) Menurunnya produktivitas kerja
6) Mudah merasa letih & sakit.
7) Konsentrasi dan perhatian berkurang.
8) Bicara & gerak-geriknya pelan dan kurang hidup.
9) Anoreksia dan menurunnya berat badan.
10) Diare, konstipasi dan muntah.
11) Kehilangan libido, dll.
b. Gejala Sosial
Masalah depresi yang berawal dari diri sendiri pada akhirnya mempengaruhi
linkungan dan pekerjaan atau aktivitas rutin lainnya. Linkungan tentu akan
bereaksi terhadap perilaku orang yang depresi tersebut yang pada umumnya
negative (mudah marah, tersinggung, menyendiri, mudah letih, mudah sakit).
Masalah sosial yang terjadi biasanya berkisar pada masalah interaksi dengan
rekan kerja, atasan atau bawahan. Masalah ini tidak hanya berbentuk konflik,
namun masalah lainnya juga seperti perasaan minder, malu, cemas jika berada di
antara kelompok dan merasa tidak nyaman untuk berkomunikasi secara normal.
Mereka merasa tidak nyaman untuk berkomunikasi secara normal. Mereka
merasa tidak mampu untuk bersikap terbuka dan secara aktif manjalin hubungan
dengan linkungan sekalipun ada kesempatan.

Universitas Sumatera Utara

15

Adapun gejala sosial lainnya:
1) Isolasi.
2) Konsep diri kurang.
3) Menarik diri.
4) Ketergantungan.
c. Gejala Psikis
Adapun gejala psikis yang muncul berupa:
1) Kehilangan rasa percaya diri.
2) Sensitif.
3) Merasa tidak berguna.
4) Perasaan bersalah & terbebani
5) Perasaan sedih, kosong, bosan dan putus asa.
6) Pandangan masa depan yang suram dan pesimistik
7) Gagasan atau perbuatan mengancam jiwa atau bunuh diri, dll.
2.1.5. Klasifikasi
a. Menurut DSM IV (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders
fourth edition)
Gangguan depresi terbagi dalam 3 kategori, yaitu:
1) Gangguan depresi berat (Mayor depressive disorder)
Didapatkan 5 atau lebih simptom depresi selama 2 minggu. Kriteria terebut
adalah:
a) Suasana perasaan depresif hampir sepanjang hari yang diakui sendiri oleh
subjek ataupun observasi orang lain (pada anak-anak dan remaja perilaku
yang biasa muncul adalah mudah terpancing amarahnya).

Universitas Sumatera Utara

16

b) Kehilangan interes atau perasaan senang yang sangat signifikan dalam
menjalani sebagian besar aktivitas sehari-hari.
c) Berat badan turun secara siginifkan tanpa ada progran diet atau justru ada
kenaikan berat badan yang drastis.
d) Insomnia

atau

hipersomnia

berkelanjutan,

agitasi

atau

retadasi

psikomotorik.
e) Letih atau kehilangan energi, perasaan tak berharga atau perasaan bersalah
yang eksesif.
f) Kemampuan berpikir atau konsentrasi yang menurun
g) Pikiran-pikiran mengenai mati, bunuh diri, atau usaha bunuh diri yang
muncul berulang kali.
h) Distres dan hendaya yang signifikan secara klinis
i) Tidak berhubungan dengan belasungkawa karena kehilangan seseorang.
2) Gangguan distimik (Dysthymic disorder)
Suatu bentuk depresi yang lebih kronis tanpa ada bukti suatu episode depresi
berat (dahulu disebut depresi neurosis). Kriteria DSM-IV untuk gangguan
distimik:
a) Perasaan depresi selama beberapa hari, paling sedikit selama 2 tahun (atau
1 tahun pada anak-anak dan remaja).
b) Selama depresi, paling tidak ada dua hal berikut yang hadir: tidak nafsu
makan atau makan berlebihan, insomnia atau hipersomnia, lemah atau
keletihan, self esteem rendah, daya konsentrasi rendah, atau sulit membuat
keputusan, perasaan putus asa;
c) Selama 2 tahun atau lebih mengalami gangguan, orang itu tanpa gejalagejala selama 2 bulan;
d) Tidak ada episode manik yang terjadi dan kriteria gangguan siklotimia
tidak ditemukan;

Universitas Sumatera Utara

17

e) Gejala-gejala ini tidak disebabkan oleh efek psikologis langsung darib
kondisi obat atau medis;
f) Signifikansi klinis distress (hendaya) atau ketidaksempurnaan dalam
fungsi.
3) Gangguan afektif bipolar atau siklotimik (Bipolar affective illness atau
cyclothymic disorder)
Kriteria:
a) Kemunculan (atau memiliki riwayat pernah mengalami) sebuah sebuah
episode depresi berat atau lebih;
b) Kemunculan (atau memiliki riwayat pernah mengalami) paling tidak satu
episode hipomania;
c) Tidak ada riwayat episode manik penuh atau episode campuran;
d) Gejala-gejala suasana perasaan bukan karena skizofrenia atau menjadi
gejala yang menutupi gangguan lain seprti skizofrenia;
e) Gejala-gejalanya tidak disebabkan oleh efek-efek fisiologis dari substansi
tertentu atau kondisi medis secara umum;
f) Distres atau hendaya dalam fungsi yang signifikan secara klinis.
Sedangkan menurut Carlson, seperti yang dikutip oleh shafii, membagi
depresi pada remaja menjadi tipe primer dan sekunder.
g) Tipe primer : bila tidak ada gangguan psikiatrik sebelumnya, dan tipe
sekunder : bila gangguan yang sekarang mempunyai hubungan dengan
gangguan psikiatrik sebelumnya. Pada gangguan depresi yang sekunder
biasanya lebih kacau, lebih agresif.

Universitas Sumatera Utara

18

b. Jenis-jenis Depresi Berdasarkan Tingkat Penyakit
1) Mild depression/ minor depression dan dysthymic disorder
Pada depresi ringan, mood yang rendah datang dan pergi dan penyakit
datang setelah stressful yang spesifik. Perubahan gaya hidup biasanya
dibutuhkan untuk mengurangi depresi jenis itu. Bentuk depresi yang kurang
parah disebut disitmia (Dystymic disorder). Depresi ini menimbulkan
gangguan mood ringan dalam jangka waktu yang lama sehingga seseorang
tidak dapat bekerja optimal.
2) Moderate depression
Pada depresi sedang mood yang rendah berlansung terus dan individu
mengalami simtom fisik juga walaupun berbeda-beda tiap individu.
Perubahan gaya hidup saja tidak cukup dan bantuan diperlukan untuk
mengatasinya.
3) Severe depression/ major depression
Individu akan mengalami gangguan dalam kemampuan untuk bekerja,
tidur, makan, dan menikmati hal yang mnyenangkan. Penting untuk
mendapatkan bantuan media secepatnya.
c. Jenis-jenis Depresi Berdasarkan Klasifikasi Nosologi
1) Depresi psikogenik
Depresi ini karena pengaruh psikologis individu. Biasanya terjadi
akibat kejadian yang dapat membuat seseorang sedih atau stress berat.
Berdasarkan pada gejala dan tanda-tanda, terbagi menjadi:
a) Depresif reaktif
Merupakan isitlah yang sering digunakan untuk gangguan mood depresif
yang ditandai oleh apati dan retardasi atau oleh kecemasan dan agitasi.
b) Exhaustion depression

Universitas Sumatera Utara

19

Merupakan depresi yang timbul setelah bertahun-tahun masa laten, akibat
tekanan perasaan yang berlarut-larut, goncangan jiwa yang berturut atau
pengalaman berulang yang menyakitkan.
c) Depresi neurotic
Asal mulanya adalah konflik-konflik psikologis masa anak-anak (seperti
perpisahan dengan ibu pada masa bayi, hubungan orang tua-anak yang
tidak menyenangkan) yang selama ini disimpan dan membekas dalam
jiwa penderita.
2) Depresi endogenik
Depresi ini diturunkan, biasanya timbul tanpa didahului oleh masalah
psikologis atau fisik tertentu, tetapi bias juga dicetuskan oleh trauma fisik
maupun psikis.
3) Depresi somatogenik
Pada depresi ini dianggap bahwa factor-faktor jasmani berperan dalam
timbulnya depresi, terbagi dalam beberapa tipe:
a)

Depresi organic
Disebabkan oleh perubahan-perubahan morfologi dari otak seperti
arteriosklerosis serebri, demensia senilis, tumor otak, defisiensi mental,
dan lain-lain.

b)

Depresi simptomatik
Merupakan depresi akibat atau bersamaan dengan penyakit-penyakit
jasmaniah seperti:
(1) Penyakit infeksi: hepatitis, influenza, pneumonia.
(2) Penyakit endokrin: diabetes mellitus, hipotiroid.
(3) Akibat tindakan bedah.
(4) Pengobatan jangka panjang dengan obat-obatan antihipertensi.
(5) Pada fase penghentian kecanduan narkotika, alcohol dan obat
penenang.

Universitas Sumatera Utara

20

d. Jenis-jenis Depresi Menurut Penyebabnya
Menurut Greg Wilkinson depresi dapat digolongkan sebagai depresi “reaktif”
dan “endogenus”.
1) Depresi Reaktif
Gejala diperkirakan akibat stress luar, seperti kehilangan seseorang atau
kehilangan pekerjaan. Ini merupakan jenis depresi paling umum dan
sungguh merupakan perluasan dari perasaan gundah yang normal.
Umumnya orang yang mengalami depresi reaktif akan merasa muram,
cemas, sering marah dan mudah tersinggung.
2) Depresi Endogenus
Gejalanya terjadi tanpa dipengaruhi oleh factor luar. Seorang psikiater
mendiagnosis seorang pasien menderita depresi endogenus jika mereka
menunjukkan tanda-tanda sedih, menarik diri dan mempunyai beberapa
gejala berikut:
a) Hilangnya hasrat seks.
b) Anoreksia atau kehilangan berat badan.
c) Kelambanan fisik dan mental atau kegelisahan atau agitasi.
d) Bangun pagi-pagi
e) Perasaan bersalah
f) Tidak dapat menikmati apa-apa.
g) Suasana hati paling rendah di pagi hari dan meningkat dengan
berjalannya hari.
h) Suasana hati sedih yang berbeda dari kesedihan biasa.

Universitas Sumatera Utara

21

3) Depresi Primer Dan Sekunder
Depresi primer: depresi yang tidak mempunyai penyebab.
Depresi Sekunder: depresi yang disebabkan penyakit fisik atau psikiatrik
atau kecanduan obat atau alcohol.
e. Jenis-jenis Depresi Menurut Gejalanya
Menurut gejalanya depresi dapat digolongkan sebagai “neurotic” dan “psikotik”.
Namun perbedaannya tidak terlalu jelas seperti yang diinginkan para dokter.
Oleh karena banyak orang yang mempunyai gejala kedua jenis penyakit dan
beberapa jenis depresi (terutama yang endogenus) tidaklah bersifat neurotic
ataupun psikotik.
1) Depresi Neurotik
Biasanya terjadi setelah mengalami peristiwa yang menyedihkan tetapi jauh
lebih berat biasanya. Seringkali didahului oleh trauma emosional seperti
kehilangan orang dicintai. Orang yang menderita depresi neurotic bias
merasa gelisah, cemas sekaligus merasa depresi. Mereka menderita
hipokondria atau ketakutan abnormal seperti agrofobia tetapi mereka tidak
menderita delusi atau halusinasi.
2) Depresi Psikotik
Depresi yang berkaitan dengan delusi atau halusinasi atau keduanya.
3) Psikosis Depresi Manik (disebut juga depresi bipolar)
Merupakan penyakit yang kambuh kembali disertai gangguan suasana hati
yang berat. Orang yang menderita gangguan ini menunjukkan gabungan
depresi dan rasa cemas tetapi kadang-kadang hal ini dapat diganti dengan
perasaan gembira, gairah dan aktivitas secara berlebihan, gambaran ini
disebut “mania”.

Universitas Sumatera Utara

22

f. Jenis-jenis Depresi Menurut Arah Penyakit
Depresi yang terjadi sendiri dan tidak dihubungkan dengan penyakit manic
(lawan dari depresi dan sifat orang itu sangat gembira) disebut sebagai:
1) Depresi “unipolar”
Gangguan depresi yang dicirikan oleh suasana perasaan depresif sahaja.
Penderita dalam jangka waktu yang lama hanya mengalami perasaan sedih
sahaja.
2) Depresi “bipolar”
Dahulunya gangguan ini disebut manic depresif. Tidak seperti gangguan
depresif yang lainnya, gangguan bipolar meliputi lingkaran depresi pada
satu kutub dan gembira berlebihan atau maniak pada kutub lainnya.
Kadang-kadang suasana perasaan tersebut berubah secara drastic dan cepat,
tetapi sebagian besar berlansung secara gradual.
g. Depresi Tersembunyi
Diagnosa depresi tersembunyi (atau atipikal) kadang-kadang dibuat bila mana
depresidianggap mendasari gangguan fisik dan mental yang tidak dapat
diterangkan, misalnya rasa sakit yang lama tanpa sebab yang nyata atau
hipokondria atau sebaliknya perilaku yang tidak dapat diterangkan seperti
wanita lanjut usia yang suka mengutil.
2.1.6. Pengukuran Depresi
1)

Beck Depression Inventory (BDI, BDI-II)
Beck Depression Inventory (BDI, BDI-II), dicipta oleh Dr. Aaron T. Beck,

adalah multiple-choice self-report inventory yang terdiri dari 21 items, instrument
yang digunakan secara meluas untuk mengukur takat keparahan depresi. Kuisioner

Universitas Sumatera Utara

23

versi terkini dibuat untuk individual berumur 13 dan ke atas, dan terdiri dari item
berkaitan dengan simptom depresi. Berdasarkan interpretasi terhadap Beck
Depression Inventory terdapat enam kategori status depresi, yaitu:
Tabel 2.1. Nilai tingkat depresi Beck Depression Inventory

2)

Nilai tes BDI

Tingkat depresi

0-13

Minimal

14-19

Gangguan mood ringan

20-28

Borderlines klinis ringan-sedang

29-63

Berat

Hamilton Depression Rating Scale (HDRS)
Hamilton Depression Scale (HDS atau HAMD), juga dikenal Hamilton
Rating Scale for Depression atau

Hamilton Depression Rating Scale,

dikembangkan oleh Max Hamilton (1960) , adalah tes yang mengukur
keberatan dari gejala depresi pada individu. Tujuannya adalah untuk menilai
keberatan dari penampakan gejala depresi pada anak-anak maupun pada orang
dewasa.
Tergantung dari versi yang digunakan, terdapat 17 atau 21 item wawancara
yang mengandung rating. Versi 17 item HDRS lebih umum digunakan dari
versi 21 item yang mengandung 4 item tambahan yang mengukur gejala yang
berhubungan dengan depresi, seperti paranoia dan obsesi.

Universitas Sumatera Utara

24

Tabel 2.2. Nilai tingkat depresi HDRS

3)

Nilai tes HDRS

Tingkat depresi

0-6

Tak ada depresi

7-16

Depresi ringan

17-24

Depresi sedang

>24

Depresi berat

Montgomery Asberg Depression Rating Scale (MADRS)
MADRS pertama kali diperkenalkan oleh Montgomery dan Asberg. Skala
rating ini terdiri dari butir yang lebih sedikit dari HDRS. MADRS lebih sensitif
terhadap

perubahan

harian

sehingga

baik

untuk

digunakan

dalam

membandingkan pemakaian dua obat atau lebih.
4)

Zung Self Depression Scale
Zung Self Depression Scale adalah suatu skala depresi terdiri dari 20 kalimat
dan penilaian derajat depresinya dilakukan oleh pasien sendiri.
Tabel 2.3. Nilai tingkat depresi Zung Self Depression Scale
Nilai tes ZSDS

Tingkat depresi

25-49

Normal

50-59

Depresi ringan

60-69

Depresi sedang

>70

Depresi berat

Universitas Sumatera Utara

25

2.1.7. Penatalaksanaan
Pada kasus depresi berat diperlukan terapi dan pengobatan yang efektif untuk
mengurangi depresi, namun pada kasus depresi ringan dan sedang dapat
melakukan terapi terhadap diri sendiri untuk mengurangi gejala-gejala depresi.1
a. Obat Antidepresan
Ada beberapa obat antidepresan yaitu:
1) MAOIs (Monoamine Oxidase Inhibitors)
Obat ini menghalangi aktivitas monoamine oxidase, enzim yang
menghancurkan monoamine neurotransmitters norephinefrin, serotonin,
dan dopamin.
2) Tricyclics
Obat

ini

meningkatkan

aktivitas

neurotransmitters

monoamine

norephinefrin dan serotonin dengan menghambat reuptake ke dalam
neuron.
3) SSRIs
Obat ini hanya menghambat reuptake serotonin namun tidak
menghalangi neurotransmiter lain.
b. CBT (Cognitive Behavior Therapy)
Pendekatan CBT memusatkan perhatian pada proses berpikir klien yang
berhubungan dengan kesulitan emosional dan psikologi klien. CBT adalah
terapi yang dikembangkan oleh Beck tahun 1976, dan paling sesuai untuk
gangguan harga diri dan depresi. Sejumlah penelitian telah menunjukkan
keefektifan pendekatan terapi kognitif untuk mengobati penderita depresi.
Salah satu penelitian mengenai pasien yang mengalami depresi tahap
sedang hingga berat, hasilnya menunjukkan bahwa pasien yang dirawat
dengan terapi kognitif mempunyai angka pemulihan yang lebih besar,

Universitas Sumatera Utara

26

angka kegagalan lebih kecil dan angka perbaikan lebih cepat dibanding
pasien yang diobati dengan terapi obat antidepresi saja.
c. Terapi Interpersonal
Terapi interpersonal adalah bantuan psikoterapi jangka pendek yang
berfokus kepada orang-orang dengan perkembangan simtom penyakit
kejiwaan. Jika terapi kognitif berfokus pada persepsi dan reaksi terhadap
persepsi

tersebut,

terapi

interpersonal

menekankan

kepada

terapi

komunikasi.
d. Konseling Kelompok dan Dukungan Sosial
Konseling secara kelompok adalah pelaksanaan wawancara konseling
yang dilakukan antara seorang konselor profesional dengan beberapa pasien
sekaligus dalam kelompok kecil. Kegunaan dukungan sosial kelompok
diantaranya adalah agar pasien merasa ada orang lain yang juga menderita
sehingga dapat mengurangi rasa isolasi.
e. Berolahraga
Keadaan suasana hati yang negatif seperti depresi, kecemasan, dan
kebingungan disebabkan oleh pikiran dan persaan yang negatif pula. Salah
satu cara yang dapat dilakukan untuk menghasilkan pikiran dan perasaan
positif yang dapat menghalangi munculnya mood negatif adalah dengan
berolahraga. Bryan, psikologi olahraga di ACE (American Counsil of
Excercise) mengatakan bahwa olahraga dapat membantu individu
mengatasi stres, depresi ringan dan memperbaiki mood.

Universitas Sumatera Utara

27

f. Diet (Mengatur Pola Makan)
Simtom depresi dapat diperparah oleh ketidakseimbangan nutrisi di
dalam tubuh. Ketidakseimbangan nutrisi yang dapat menyebabkan depresi
semakin parah yaitu:
1)

Konsumsi kafein secara berkala & Konsumsi sukrosa (gula)

2)

Kekurangan biotin, asam folat, vitamin B, vitamin C, kalsium,
tembaga, magnesium atau potasium

3)

Ketidakseimbangan asam amino

4)

Alergi makanan.

g. Terapi Humor
Sudah lama profesional medis mengakui bahwa pasien yang
mempertahankan sikap mental yanng positif dan berbagi tawa merespon
lebih baik terhadap pengobatan. Respon fisiologis dari tertawa termasuk
meningkatnya pernafasan, sirkulasi, sekresi hormon, enzim pencernaan dan
peningkatan tekanan darah.
h. Berdoa
Berdoa merupakan salah satu untuk mengatasi depresi. Doa dapat
mendatangkan ketenangan lahir dan batin serta melepaskan kita dari
ketegangan fisik dan mental kita.
i. Hidroterapi dan Hidrotermal
Hidroterapi adalah penggunaan air untuk pengobatan penyakit. Terapi
hidrotermal adalah penggunaan efek temperatur air misalnya mandi air
panas, sauna, dll. Tubuh bereaksi terhadap stimulus panas dan dingin. Saraf
mengantarkan rangsangan yang dirasakan kulit ke dalam tubuh, dimana
merangsang sistem imun, mempengaruhi hormon stress, meningkatkan
aliran tubuh dan mengurangi rasa sakit.

Universitas Sumatera Utara

28

2.2 Terapi Musik
2.2.1. Musik
Musik dan bidang kedokteran memiliki hubungan sejarah yang erat dan
panjang. Sejak jaman Yunani kuno musik digunakan sebagai sarana untuk
meringankan penyakit dan membantu pasien dalam mengatasi emosi yang
menyakitkan seperti depresi, kecemasan, kesedihan, dan kemarahan. Para ahli filsafat,
sejarah, dan ilmuwan dari jaman dahulu hingga sekarang banyak menulis dan
menyatakan bahwa musik memiliki sifat terapeutik.
Musik ternyata bersifat terapeutik dan bersifat menyembuhkan. Musik
menghasilkan rangsangan ritmis yang di tangkap oleh organ pendengaran dan diolah
di dalam sistem saraf tubuh dan kelenjar pada otak yang mereorganisasi interpretasi
bunyi ke dalam ritme internal pendengar. Ritme internal ini mempengaruhi
metabolisme tubuh manusia sehingga prosesnya berlangsung dengan lebih baik.
Metabolisme yang lebih baik akan mengakibatkan tubuh mampu membangun sistem
kekebalan yang lebih baik, dan dengan sistem kekebalaan yang lebih baik tubuh
menjadi lebih tangguh terhadap kemungkinan serangan penyakit (Campbel, 1997).
Musik dikenal melalui penelitian sebagai fasilitas perangsang relaksasi nonfarmasi yang aman, murah, dan efektif. Musik memiliki peran signifikan dalam
merawat pasien dengan kecemasan. Para peneliti mengatakan bahwa musik mampu
menurunkan gejala psikosomatik seperti kecemasan dengan jalan mempengaruhi
proses fisiologis dan psikologis sehingga mampu membuat pasien mengalami
keadaan yang aman dan menyenangkan, tetapi musik tidak seperti obat karena musik
tidak memiliki potensi untuk menyebabkan ketergantungan. Musik yang digunakan
sejak lama untuk mencapai kenyamanan dan relaksasi telah diajukan sebagai salah
satu cara untuk menurunkan kecemasan psikologis dan perilaku individual yang
menunggu perawatan.
Efek positif musik dalam mengurangi kecemasan ditentukan oleh respons tiap
individu pasien terhadap musik yang didengarnya, sehingga dalam hal ini selera

Universitas Sumatera Utara

29

masing-masing pasien memegang peranan yang penting. Pada umumnya musik klasik
popular dengan alunan rileks adalah pilihan yang sering digunakan. Pasien juga dapat
diminta membawa sendiri atau memilih jenis musik yang disukainya.
2.2.2. Definisi Terapi Musik
Terapi musik adalah sebuah terapi kesehatan yang menggunakan musik di
mana tujuannya adalah untuk meningkatkan atau memperbaiki kondisi fisik, emosi,
kognitif, dan sosial bagi individu dari berbagai kalangan usia. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui seberapa besar dampak terapi musik yang berpengaruh pada
perubahan respon fisiologis terhadap kecemasan yang dilihat dari tekanan darah,
respirasi dan nadi. Penelitian ini bermanfaat untuk membantu penyembuhan
pasien/klien. Selain itu, sebagai bahan informasi akurat untuk profesi keperawatan
dan profesi kesehatan lainnya untuk mengimplementasikan terapi musik sebagai
terapi non farmakologi.
Musik yang sesuai dengan selera individu mempengaruhi sistem limbik dan
saraf otonom, menciptakan suasana rileks, aman dan menyenangkan sehingga
merangsang pusat rasa ganjaran dan pelepasan substrat kimia (gamma amino butyric
acid (GABA), enkephalin, dan beta endorphin) yang akan mengeliminasi
neurotransmitter rasa nyeri maupun kecemasan sehingga menciptakan ketenangan
dan memperbaiki suasana hati (mood) pasien.
2.2.3 Desain Intervensi
Terapi musik diaplikasikan melalui pemutar media portable (mp3 player)
dengan 15 menit rakaman musik klasik dimainkan dengan mp3 player. Pemutar
media portable bersama penyuara kuping/ pelantang telinga (headphone) digunakan
untuk tujuan ini.
Kelompok terapi musik diberi paparan musik klasik. Musik klasik (Wolfgang
Amadeus Mozart’s Sonata for Two Pianos in D Major,K.448) dipilih menurut

Universitas Sumatera Utara

30

beberapa penelitian lain tentang manfaat efek neurobiologisnya. Paparan musik
disediakan di tunggal, self-administered sekali sehari di rumah, Pasien diberikan
dengan lingkungan yang nyaman, tanpa gangguan atau faktor penyumbang stres.
2.2.4 Terapi Musik Pilihan
Ada sebuah teori yang mendengarkan sepotong musik tertentu, yang ditulis
oleh Mozart, dapat meningkatkan seberapa baik otak bekerja. Ini mungkin menjadi
pengobatan berguna bagi orang dengan kondisi neurologis, termasuk depresi. Teori
ini telah disebut Mozart Effect. Karya musik yang diyakini dapat membantu adalah
Mozart’s Sonata for two pianos in D Major, K448 (juga dikenal sebagai Mozart
K448).
Istilah Mozart Effect pertama kali digunakan pada tahun 1993, oleh
sekelompok peneliti. Mereka mempelajari apa yang terjadi pada sekelompok siswa,
setelah mereka mendengarkan Mozart K448 selama 10 menit. Para peneliti melihat
bahwa selama sekitar 10 sampai 15 menit setelah mendengarkan musik, mereka
memiliki lebih baik 'spasial-penalaran keterampilan'. Ini berarti mereka tampil lebih
baik dalam tugas-tugas tertentu mereka diberikan, termasuk memotong dan melipat
kertas.
2.2.5 Jalur Terapi
Musik sebagai gelombang suara diterima dan dikumpulkan oleh daun telinga
masuk ke dalam meatus akustikus eksternus hingga membrana timpani. Oleh
membrana timpani bersama rantai osikule dengan aksi hidrolik dan mengungkit,
energi bunyi diperbesar menjadi 25–30 kali (rata-rata 27 kali) untuk menggerakkan
medium cair perilimf dan endolimf. Setelah itu getaran diteruskan hingga organ korti
dalam kokhlea dimana getaran akan diubah dari sistem konduksi ke sistim saraf
melalui nervus auditorius (N. VIII) sebagai impuls elektris.

Universitas Sumatera Utara

31

Impuls elektris musik masuk melalui serabut saraf dari ganglion spiralis Corti
menuju ke nukleus koklearis dorsalis dan ventralis yang terletak pada bagian atas
medulla. Pada titik ini semua sinap serabut dan neuron tingkat dua diteruskan
terutama ke sisi yang berlawanan dari batang otak dan berakhir di nukleus olivarius
superior. Setelah melalui nukleus olivarius superior, penjalaran impuls pendengaran
berlanjut ke atas melalui lemniskus lateralis kemudian berlanjut ke kolikulus inferior,
tempat semua atau hampir semua serabut ini berakhir. Setelah itu impuls berjalan ke
nukleus genikulata medial, tempat semua serabut bersinap, dan akhirnya berlanjut
melalui radiasio auditorius ke korteks auditorius, yang terutama terletak pada girus
superior lobus temporalis.
Dari korteks auditorius yang terdapat pada korteks serebri area 41, jaras
berlanjut ke sistem limbik, melalui cincin korteks serebral yang disebut korteks
limbik. Korteks yang mengelilingi struktur subkortikal limbik ini berfungsi sebagai
zona transisional yang dilewati sinyal yang dijalarkan dari sisi korteks ke dalam
sistem limbic dan juga ke arah yang berlawanan. Dari korteks limbik, jaras
pendengaran dilanjutkan ke hipokampus, tempat salah satu ujung hipokampus
berbatasan dengan nuklei amigdaloid. Amigdala yang merupakan area perilaku
kesadaran yang bekerja pada tingkat bawah sadar, menerima sinyal dari korteks
limbic lalu menjalarkannya ke hipotalamus.
Di hipotalamus yang merupakan pengaturan sebagian fungsi vegetatif dan
fungsi endokrin tubuh seperti halnya banyak aspek perilaku emosional, jaras
pendengaran diteruskan ke formatio retikularis sebagai penyalur impuls menuju serat
saraf otonom. Serat saraf tersebut mempunyai dua system saraf yaitu sistem saraf
simpatis dan sistem saraf parasimpatis. Kedua sistem saraf ini mempengaruhi
kontraksi dan relaksasi organ-organ. Relaksasi dapat merangsang pusat rasa ganjaran
sehingga timbul ketenangan. Sebagai ejektor dari rasa rileks dan ketenangan yang
timbul, midbrain akan mengeluarkan gamma amino butyric acid (GABA), enkephalin,
beta endorphin. Zat tersebut dapat menimbulkan efek analgesia yang akan
mengeliminasi neurotransmitter rasa nyeri pada pusat persepsi dan interpretasi

Universitas Sumatera Utara

32

sensorik somatik otak. Musik dalam hal ini berfungsi sebagai sebuah intervensi
untuk mengurangi tingkat kecemasan pasien dalam berbagai situasi klinis dan juga
terbukti memperbaiki suasana hati (mood).
2.2.6 Hubungan Terapi Musik Dengan Depresi
Terapi musik telah ditemukan memiliki banyak hasil signifikan untuk pasien
dengan gangguan depresi mayor. Satu studi menemukan bahwa mendengarkan musik
lembut penenang hanya 30 menit sehari selama dua minggu meningkatkan skor
depresi global secara signifikan dan meningkatkan nilai sub-skala depresi pada
individu. Seperti banyak disebutkan dalam penelitian lain, efek yang terlihat menjadi
kumulatif selama periode waktu yang diteliti - yaitu, pengobatan yang lebih lama
menyebabkan peningkatan perbaikan depresi. Studi lain menunjukkan bahwa pasien
PDK mampu untuk lebih mengekspresikan keadaan emosional mereka sambil
mendengarkan musik sedih dibandingkan saat mendengarkan musik dalam marah,
atau musik menakutkan. Para penulis menemukan bahwa terapi ini membantu pasien
untuk mengatasi hambatan verbal dalam mengekspresikan emosi yang dapat
membantu terapis dalam berhasil membimbing pengobatan.
Studi-studi lain telah memberikan persepsi tentang interaksi fisiologis antara
terapi musik dan depresi. Musik telah menunjukkan secara signifikan mengurangi
kadar hormon stres kortisol, yang menyebabkan mempengaruhi peningkatan suasana
hati (mood), dan fungsi kognitif. Sebuah studi juga menemukan bahwa musik dapat
menyebabkan perubahan/peralihan dalam aktivitas lobus frontal (yang diukur dengan
EEG) pada remaja depresi. Musik terbukti merubah aktivitas dari lobus frontal kanan
ke kiri, sebuah fenomena yang terkait dengan pengaruh positif dan suasana hati.
Musik menawarkan cara yang sederhana dan elegan untuk mengobati
anhedonia, hilangnya kesenangan dalam kegiatan sehari-hari. Musik telah digunakan
untuk mengobati sejumlah gangguan mental termasuk depresi, skizofrenia, dan
bipolar disorder. Stimulus musikal, seperti yang digunakan dalam penelitian ini,

Universitas Sumatera Utara

33

dapat digunakan untuk mengobati depresi dalam hubungannya dengan bentuk-bentuk
terapi. Sejumlah neuropeptida, termasuk dopamin, yang terlibat dalam memproduksi
sensasi menyenangkan yang meningkatkan emosi positif dan mengurangi depresi
(Burgdorf & Panksepp, 2006). Selain itu, rendahnya tingkat dopamin di otak (Nestler
dkk., 2002) dan rendahnya jumlah reseptor dopamin (Gotlib, Joorman, Kecil, &
Hallmayer, 2008) merupakan dua penyebab utama depresi. Musik Mozart
meningkatkan neurotransmisi dopaminergik, dan mengatur dan / atau mempengaruhi
berbagai fungsi otak, dan mungkin, karena itu, efektif untuk menghilangkan gejala
pada sejumlah penyakit yang melibatkan disfungsi dopaminergik (Sutoo & Akiyama,
2004), termasuk depresi.

Universitas Sumatera Utara