Hubungan Frekuensi Pemberantasan Sarang Nyamuk Dan Angka Bebas Jentik Dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue Pada Periode Januari-Desember Tahun 2012 Di Kota Medan

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Demam Berdarah Dengue (DBD)
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Haemorrhage Fever
(DHF) adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue dan
ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti yang ditandai dengan demam mendadak dua
sampai tujuh hari tanpa penyebab yang jelas, lemah/lesu, gelisah, nyeri hulu hati,
disertai tanda perdarahan dikulit berupa petechie, purpura, lebam (echymosis),
epistaksis, perdarahan gusi, muntah darah (hematemesis), melena, pembesaran hati
(hepatomegali), trombositopeni, dan jika disertai kesadaran menurun atau renjatan
disebut Dengue Shock Shyndrome (DSS) (WHO dalam Soedarmo (2009)).
Penyakit Demam Berdarah Dengue adalah penyakit yang disebabkan oleh virus
DEN-1, DEN-2, DEN-3 atau DEN-4 yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes
aegypti dan Aedes albopictus yang sebelumnya telah terinfeksi oleh virus dengue dari
penderita DBD (Ginanjar, 2008).
2.2. Etiologi DBD
Nyamuk demam berdarah akan terinfeksi virus dengue saat menghisap darah
dari penderita demam berdarah. Virus dengue termasuk famili Flaviviridae, yang
berukuran kecil sekali, yaitu 35-45 nm. Terdapat 4 jenis virus dengue yang diketahui


Universitas Sumatera Utara

dapat menyebabkan penyakit demam berdarah. Keempat virus tersebut adalah DEN1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4. Jenis virus yang sama hanya dapat menginfeksi satu
kali akibat adanya sistem imun tubuh yang terbentuk. Namun karena jenis serotipe
dari virus dengue ini ada 4, sehingga seseorang bisa kena 4 kali demam berdarah.
Virus dengue ini dapat tetap hidup di alam ini melalui dua mekanisme, yaitu
transmisi vertikal dalam tubuh nyamuk dan transmisi virus dari nyamuk ke tubuh
makhluk seperti manusia (Anies, 2006).
Misalnya seseorang yang telah terinfeksi oleh virus DEN-2, akan mendapatkan
imunitas menetap terhadap virus DEN-2 pada masa yang akan datang. Namun, ia
tidak memiliki imunitas menetap terhadap virus DEN-3 di kemudian hari. Selain itu
ada bukti-bukti yang menunjukkan bahwa jika seseorang yang pernah terinfeksi oleh
salah satu virus dengue, kemudian terinfeksi lagi oleh virus tipe lainnya, gejala klinis
yang timbul akan jauh lebih berat dan sering kali fatal (Ginanjar, 2008).
2.3. Epidemiologi DBD
Epidemi dengue dilaporkan sepanjang abad kesembilanbelas awal dan awal
abad kedua puluh di Amerika, Eropa Selatan, Afrika Utara, Mediterania timur, Asia
dan Australia, dan beberapa pulau di Samudera India, Pasifik selatan dan tengah serta
Karibia. Demam Dengue dan Demam Berdarah Dengue telah meningkat dan menetap
baik dalam insiden dan distribusi sepanjang 40 tahun. Setiap tahun, diperkirakan

terdapat 20 juta kasus infeksi dengue, mengakibatkan kira-kira 24 juta kematian
(WHO, 2012).
Demam Berdarah Dengue (DBD) pertama kali dikenali di di Filipina pada
tahun 1953 (WHO, 2012). Kasus-kasus dilaporkan oleh Quintos dkk. pada tahun

Universitas Sumatera Utara

1954, yaitu pada waktu terdapatnya epidemi demam yang menyerang anak disertai
manifestasi

perdarahan

dan

renjatan.

Mereka

menamakannya


Philippine

haemorrhagic fever untuk membedakannya dengan demam berdarah lainnya.
Kemudian Hammon dkk. berhasil menemukan virus dengue sebagai etiologi penyakit
demam berdarah dengue yang dinamakan virus dengue tipe 3 dan 4. Sampai dengan
tahun 1956 baru dikenal virus tipe 1 dan 2. Pada tahun 1958 meletus epidemi serupa
di Bangkok (Soedarmo, 2009).
Karena epidemi terus berlangsung terus di Thailand dan di negara lain
dikawasan Asia Tenggara dengan nama yang berbeda, simposium WHO di Bangkok
telah merumuskan defenisi perbedaan antara dengue fever syndrome dan dengue
haemorrhage fever sebagai berikut. (i) Dengue Fever Syndrome yang lebih sering
terjadi pada orang dewasa biasanya ditandai oleh demam dan mialgia hebat dan/atau
artalgia dan leukopeni dengan atau tanpa timbulnya ruam. Gejala klinis, seperti nyeri
kepala hebat, nyeri ada pergerakan bola mata, uji tourniquet positif, perubahan rasa,
trombositopeni ringan, timbulnya beberapa petekia spontan sering dijumpai. (ii)
Dengue Haemorrhage Fever terutama menyerang anak dengan manifestasi demam
tanpa mialgia dan artalgia yang menonjol, biasanya penyakit memburuk setelah dua
hari pertama. Uji tourniquet positif dengan atau tanpa timbulnya ruam disertai
beberapa gejala klinis, seperti petekia, purpura, ekimosis, epistaksis, hematemesis,
melena, trombositoeni, perdarahan memanjang, hematokrit meningkat, dan

berhentinya proses maturasi megakariosit. Dengue haermorrhage fever lebih lanjut
dibagi dalam tanpa dan disertai renjatan (Soedarmo, 2009).

Universitas Sumatera Utara

Selama tahun 1960-an dan 1970-an, DHF/DSS secara progressif meningkat
sebagai masalah kesehatan, menyebar dari lokasi primernya di kota-kota besar ke
kota-kota besar yang lebih kecil dan kota-kota negara-negara endemik. Penyakit ini
mempunyai pola epidemik berdasarkan musiman dan siklus, dengan wabah besar
terjadi pada interval 2-3 tahun. Selama periode ini, 1070207 kasus dan 42808
kematian dilaporkan, sebagian besar anak-anak. Selama hampir sepanjang tahun
1980-an, pada negara-negara endemik Cina, Indonesia, Malaysia, Mianmar,
Filippina, Thailand, dan Vietnam, DHF/DSS menyebar secara luas, yang menyerang
daerah pedesaan (WHO, 2012).
Di Indonesia, pertama kali dicurigai di Surabaya pada tahun 1968, tetapi
konfirmasi virologis baru diperoleh pada tahun 1970. Pertama dilaporkan di Jakarta,
Bandung, dan Yogyakarta. Dari tahun 1968 sampai tahun 1972 wabah hanya
dilaporkan di Pulau Jawa. Epidemi pertama di luar Jawa pada tahun 1972 di Sumatera
Barat, Lampung, yang kemudian disusul di Riau, Sulawesi Utara, dan Bali. Pada
tahun 1975, epidemi dilaporkan oleh 20 provinsi. Sampai tahun 1981, provinsi

Timor-Timur merupakan satu-satunya provinsi yang belum melaporkan terdapatnya
kasus Demam Berdarah Dengue (Soedarmo, 2009).
Sejak 1994, seluruh provinsi di Indonesia telah melaporkan kasus DBD dan
daerah tingkat II yang melaporkan terjadinya kasus DBD juga meningkat. Namun
angka kematian menurun tajam dari 41,3% (1968) menjadi 3% (1984) dan sejak
tahun 1991 angka kematian ini stabil di bawah 3%. Menurut Soedarmo Poorwo
Sodarmo, sewaktu terjadi wabah, berbagai tipe virus dengue berhasil diisolasi. Virus
dengue tipe 2 dan tipe 3 secara bergantian merupakan tipe dominan. Di Indonesia

Universitas Sumatera Utara

virus dengue tipe 3 sangat berkaitan dengan kasus penyakit DBD derajat berat dan
fatal (Ginanjar, 2008).
2.4. Vektor Penular Demam Berdarah Dengue (DBD)
Vektor utama penyakit Demam Berdarah Dengue adalah nyamuk Aedes
aegypti. Dan nyamuk Aedes albopictus dianggap sebagai vektor penting selain Aedes
aegypti. Para ahli berpendapat bahwa Aedes aegypti berasal dari Afrika, terutama
Ethiopia dan mulai memasuki Asia Tenggara pada pertengahan abad ke-19 terutama
di daerah pantai. Kemudian nyamuk ini mulai menyebar pada daerah pedalaman.
Yang kemudian menyebar hampir keseluruh pelosok dunia dimungkinkan oleh

meningkatnya volume perdagangan dengan kapal dan penyebarannya selalu
disebabkan oleh manusia (Soedarmo, 2009).
Mula-mula nyamuk berdomisili di sekitar pelabuhan, selanjutnya menjalar ke
pedalaman terutama melalui sungai atau alat lalu lintas lainnya. Didaerah perkotaan
Aedes aegypti biasanya ditemukan dan hampir selalu menggigit dalam rumah. Aedes
albopictus terdapat di kebun dan pohon-pohon, menggigit terutama diluar rumah dan
peranannya lebih kecil. Di daerah pedesaan Aedes aegypti tidak ada atau sangat
jarang dan Aedes albopictus merupakan vektor utama (Soedarmo, 2009).
2.4.1. Klasifikasi Nyamuk Aedes aegypti
Adapun klasifikasi ilmiah nyamuk Aedes aegypti adalah sebagai berikut:
Kerajaan

: Animalia

Filum

: Arthropoda

Kelas


: Insekta

Ordo

: Diptera

Universitas Sumatera Utara

Famili

: Culicidae

Genus

: Aedes

Spesies

: Aedes aegypti


Aedes aegypti selain membawa virus dengue juga membawa virus demam
kuning (yellow fever) dan chikungunya (Wikipedia, 2013).
2.4.2. Morfologi Nyamuk Aedes aegypti
Nyamuk Aedes aegypti dewasa berukuran kecil dengan dasar warna hitam.
Probosis bersisik hitam, palpi pendek dengan ujung hitam bersisik putih perak.
Oksiput bersisik lebar, berwarna putih terletak memanjang. Femur bersisik putih pada
permukaan posterior dan setengah basal, anterior dan tengah bersisik putik
memanjang. Tibia semuanya hitam. Tarsi belakang berlingkaran putih pada segmen
basal kesatu sampai keempat dan segmen kelima berwarna putih. Sayap berukuran
2,5-3,0 mm, bersisik hitam (Soedarmo, 2009).

Gambar 1. Nyamuk Aedes aegypti dewasa
Sumber: Ditjen PP dan PL, 2008

Universitas Sumatera Utara

2.4.3. Perilaku dan Siklus Hidup Nyamuk Aedes aegypti
Nyamuk Aedes aegypti meletakkan telur pada permukaan air bersih secara
individual. Setiap hari nyamuk Aedes aegypti dapat bertelur rata-rata bertelur 100
butir. Telur menetas dalam satu sampai dua hari menjadi larva. Terdapat empat

tahapan dalam perkembangan larva yang disebut instar. Perkembangan dari instar
satu ke instar empat memerlukan waktu sekitar lima hari. Setelah mencapai instar
keempat, larva berubah menjadi pupa dimana larva memasuki masa dorman (inaktif,
tidur). Pupa bertahan selama dua hari sebelum akhirnya nyamuk dewasa keluar dari
pupa. Perkembangan telur hingga nyamuk dewasa membutuhkan waktu tujuh sampai
delapan hari, tetapi dapat lebih lama jika kondisi lingkungan tidak mendukung
(Ginanjar, 2008).
Telur Aedes aegypti berwarna hitam seperti sarang tawon, diletakkan satu demi
satu di permukaaan atau sedikit di bawah permukaan air dalam jarak ±2½ cm dari
dinding tempat perindukan. Telur dapat bertahan sampai berbulan-bulan pada suhu 2°C sampai 42°C. Namun, bila kelembapan terlalu rendah, maka telur akan menetas
dalam waktu 4 hari (Soedarmo 2009).
Nyamuk Aedes aegypti betina suka bertelur diatas permukaan air pada dinding
vertikal bagian dalam tempat-tempat yang berisi sedikit air. Air harus jernih dan
terlindung dari cahaya matahari langsung. Tempat air yang dipilih yaitu tempat air
yang di dalam dan dekat rumah dan juga yang tertutup longgar yang mengakibatkan
ruang didalamnya cenderung lebih gelap. Pada umumnya larva nyamuk Aedes
aegypti ditemukan di tempayan, drum, gentong atau bak mandi di rumah keluarga

Universitas Sumatera Utara


yang kurang diperhatikan kebersihannya dan didaerah yang persediaan air minumnya
tidak terdapat secara teratur (Soedarmo, 2009).
Nyamuk Aedes aegypti senang sekali kepada manusia atau bersifat antropofilik
dan hanya nyamuk betina yang menggigit. Nyamuk betina biasanya menggigit
didalam rumah, kadang-kadang di luar rumah, ditempat yang agak gelap. Nyamuk
Aedes aegypti biasanya beristirahat pada malam hari di tempat yang gelap, seperti
pakaian berwarna gelap, kelambu, dan dinding dan dibawah rumah dekat tempat
berbiaknya, biasanya ditempat yang lebih gelap. Nyamuk ini mempunyai kebiasaan
menggigit berulang atau menggigit beberapa orang secara bergantian dalam waktu
singkat (multiple biters). Hal ini karena nyamuk Aedes aegypti sangat sensitif dan
mudah terganggu. Keadaan ini membantu nyamuk ini memindahkan virus dengue ke
beberapa orang sekaligus sehingga ada laporan beberapa penderita Demam Berdarah
Dengue di satu rumah (Soedarmo, 2009).
Nyamuk Aedes aegypti mengalami metamorfosis sempurna, yaitu telur-larvapupa-nyamuk dewasa. Stadium telur, larva, dan pupa hidup didalam air, sedangkan
stadium dewasa hidup beterbangan. Hanya nyamuk betina yang menggigit dan
menghisap darah serta memilih darah manusia untuk mematangkan telurnya
(Hadinegoro dan Satari, 2004).
Nyamuk betina dewasa yang mulai menghisap darah manusia, tiga hari
sesudahnya sanggup menghasilkan telur sebanyak 100 butir (Soedarmo, 2009). Dua
puluh empat jam kemudian nyamuk tersebut menghisap darah lagi, selanjutnya

kembali bertelur. Sedangkan nyamuk jantan tidak bisa mengigit/menghisap darah,
melainkan hidup dari sari tumbuh-tumbuhan. (Hadinegoro dan Satari, 2004).

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2. Siklus hidup nyamuk Aedes aegypti
Sumber: Ditjen PP dan PL, 2008
Nyamuk betina berumur kira-kira 10 hari, waktu itu cukup bagi nyamuk untuk
makan; bagi virus cukup untuk berkembang biak dan selanjutnya menyebarkan virus
ke manusia lain. Saat nyamuk menghisap darah penderita DBD, virus akan turut ikut
ke tubuh nyamuk. Virus yang dihisap akan masuk ke dalam saluran pencernaan,
kemudian sampai di haemoeclom dan kelenjar ludah. Virus memerlukan waktu 8-11
hari untuk berkembang biak dengan baik secara propagatif agar dapat menjadi
infektif. Kemudian nyamuk akan tetap infektif selama hidupnya. Nyamuk Aedes
aegypti mengigit pada pagi hari dan sore hari dengan jarak terbang yang dapat
ditempuh yaitu sejauh 2 kilometer, tetapi kemampuan normalnya kira-kira 40 meter
(Soedarmo, 2009).
Nymuk Aedes aegypti adalah spesies nyamuk tropis

dan subtropis yang

ditemukan di bumi, biasanya antara garis lintang 35°U dan 35°S, kira-kira
berhubungan dengan musim dingin isoterm 10°C. Aedes aegypti juga dibatasi oleh
ketinggian. Ini biasanya tidak ditemukan diatas 1000 m tapi telah dilaporkan pada
ketinggian 2121 m di India, 2200 m di Kolombia, dimana suhu rerata tahunan 17°C,
pada ketinggian 2400 di Eritania (WHO, 2012).

Universitas Sumatera Utara

2.5. Mekanisme Penularan DBD
Demam berdarah tidak menular melalui kontak manusia dengan manusia,
namun ditularkan melalui nyamuk penyebab demam berdarah. Penularan terjadi
apabila nyamuk Aedes aegypti melakukan gigitan kepada manusia yang pada saat itu
darahnya sedang mengandung virus dengue (viraemia). Penularan ini terjadi karena
setiap kali nyamuk menggigit, sebelum menghisap darah akan mengeluarkan air liur
melalui alat tusuknya, agar darah yang dihisap tidak membeku. Virus yang sampai
kedalam lambung nyamuk akan mengalami replikasi (memecah diri/berkembang
biak), kemudian akan migrasi yang akhirnya akan sampai di kelenjer ludah. Virus
yang berada di lokasi ini setiap saat siap untuk dimasukkan kedalam kulit tubuh
manusia melalui gigitan nyamuk (Anies, 2006).
Melalui gigitan nyamuk yang menembus kulit maka virus memasuki tubuh
manusia. Setelah itu disusul oleh periode tenang selama kurang lebih 4 hari, dimana
virus melakukan replikasi secara cepat dalam tubuh manusia. Apabila jumlah virus
sudah cukup maka virus akan memasuki sirkulasi darah (viraemia), dan pada saat ini
manusia yang terinfeksi akan mengalami gejala panas. Dengan adanya virus dengue
dalam tubuh manusia, tubuh akan memberikan reaksi. Bentuk reaksi ini dapat
berbeda-beda untuk setiap individu, dimana perbedaan reaksi ini memanifestasikan
perbedaan penampilan gejala klinis. Reaksi tubuh manusia terhadap virus dengue
biasanya berupa perdarahan kecil dikulit seperti ruam dan dan terjadi gangguan
pembekuan darah yang menimbulkan perdarahan (Anies, 2006).

Universitas Sumatera Utara

Gambar 3. Mekanisme penularan DBD
Sumber: Depkes, 2005
2.6. Tempat Potensial Penularan DBD
Penularan penyakit DBD dapat terjadi di semua tempat yang terdapat nyamuk
penularnya. Tempat-tempat potensial untuk terjadinya penularan DBD (Depkes,
2005) adalah :
a. Wilayah yang banyak kasus DBD (rawan/endemis)
b. Tempat-tempat umum merupakan tempat berkumpulnya orang-orang yang
datang dari berbagai wilayah sehingga kemungkinan terjadinya pertukaran
beberapa tipe virus dengue cukup besar.
Tempat-tempat umum itu antara lain :
1) Sekolah
Anak murid sekolah berasal dari berbagai wilayah, merupakan kelompok
umur yang paling rentan untuk terserang penyakit DBD.
2) Rumah Sakit/Puskesmas dan sarana pelayanan kesehatan lainnya:
Orang datang dari berbagai wilayah dan kemungkinan diantaranya adalah
penderita DBD, demam dengue atau carier virus dengue.

Universitas Sumatera Utara

3) Tempat umum lainnya seperti: hotel, pertokoan, pasar, restoran, tempattempat ibadah dan lain-lain.
4) Pemukiman baru di pinggiran kota
Penduduk pada lokasi ini umumnya berasal dari berbagai wilayah, maka
kemungkinan diantaranya terdapat penderita atau carier yang membawa
tipe virus dengue yang berlainan dari masing-masing lokasi awal.
2.7. Patofisiologi DBD
Peningkatan akut permeabilitas vaskular yang mengarah ke kebocoran plasma
ke dalam ruang ekstravaskular, sehingga menimbulkan hemokonsentrasi dan
penurunan tekanan darah merupakan patofisiologi primer DBD dan DSS. Penurunan
volume plasma lebih dari 20% terjadi pada kasus-kasus berat, hal ini didukung
dengan penemuan efusi pleura, hemokonsentrasi, dan hipoproteinemi pada post
mortem. Tidak terjadi lesi destruktif yang menetap pada vaskuler menunjukkan
kelainan vaskuler hanya bersifat sementara yang diakibatkan oleh suatu mediator
respon tubuh. Tiga faktor yang terlibat dalam perubahan hemostasis pada DBD dan
DSS adalah perubahan vaskuler, trombositopeni, dan kelainan koagulasi (Soegijanto,
2008).
Trombositopeni yang dihubungakan dengan meningkatnya megakariosit muda
dalam sumsum tulang dan pendeknya masa hidup trombosit menimbulkan dugaan
meningkatnya destruksi trombosit. Trombosit terbukti menurun, mungkin disebabkan
proses imunologis dengan terdapatnya kompleks imun dalam peredaran darah.
Trombositopeni hebat dan gangguan fungsi trombosit dianggap sebagai penyebab

Universitas Sumatera Utara

utama terjadinya perdarahan pada penderita demam berdarah dengue (Soedarmo,
2009).
2.8. Patogenesis DBD
Terdapat beberapa teori untuk menjelaskan terjadinya demam berdarah dengue.
Salah satu dari teori tersebut yaitu teori immune enhancement yang menjelaskan
adanya antibodi nonnetralising yang mengikat virus dengue sehingga virus dengan
mudah diterima di reseptor sel monosit-makrofag. Antibodi nonnetralising
diakibatkan oleh infeksi pertama virus dengue dari serotipe yang berbeda dari infeksi
kedua (Soegijanto, 2008).
Patogenensis Demam Berdarah Dengue hingga saat ini tidak diketahui secara
pasti karena kesukaran mendapatkan model binatang percobaan yang dapat
dipergunakan untuk menimbulkan gejalan klinis seperti yang terjadi pada manusia.
Demam Berdarah Dengue dapat terjadi apabila seseorang setelah terinfeksi dengue
pertama kali kemudian mendapat infeksi berulang dengan tipe virus yang berlainan
merupakan the secondary heterologous infection hypothesis atau the sequential
infection hypothesis yang dianut oleh sebagian besar sarjana (Soedarmo, 2009).
Hipotesis tersebut mengatakan bahwa respon antibodi anamnestik yang akan
terjadi dalam beberapa hari mengakibatkan profilerasi dan transformasi limfosit imun
dengan menghasilkan titer tinggi antibodi IgG anti dengue sebagai akibat infeksi
kedua tipe virus dengue yang berlainan pada seorang penderita dengan kadar antibodi
anti dengue yang rendah. Replikasi virus dengue juga terjadi di dalam limfosit yang
bertransformasi

akibat

terdapatnya

virus

dalam

jumlah

banyak.

Hal

ini

Universitas Sumatera Utara

mengakibatkan terbentuknya kompleks antigen-antibodi (virus-antibody complex)
yang selanjutnya akan mengaktivasi sistem komplemen (Soedarmo, 2009).
Menurut Roitt yang dikutip Soedarmo (2009) komplemen ialah suatu sistem
dalam sirkulasi darah yang terdiri dari 11 komponen protein dan beredar dalam
bentuk tidak aktif serta labil terhadap suhu panas. Pelepasan C3a dan C5a akibat
aktivasi C3 dan C5 menyebabkan meningginya permeabilitas dinding pembuluh
darah dan menghilangnya plasma melalui endotel dinding itu. Pada penderita dengan
renjatan berat, volume plasma akan berkurang dan berlangsung selama 24-48 jam.
Renjatan yang tidak ditanggulangi secara adekuat akan menimbulkan anoksi jaringan,
asidosis metabolik, dan kematian.
2.9. Manifestasi Klinis DBD
Manifestasi klinis infeksi virus dengue pada manusia berbeda-beda. Hal itu
dipengaruhi oleh daya tahan tubuh dan faktor-faktor yang mempengaruhi virulensi
virus. Oleh karena itu, infeksi virus dengue dapat menyebabkan keadaan yang
bermacam-macam, mulai dari tanpa gejala (asimtomatik), demam ringan tidak
spesifik (undifferentiated ferible illness), Demam Dengue, atau yang lebih berat
Demam Berdarah Dengue (DBD), dan Dengue Shock Syndrome (DSS) (Hadinegoro
dan Satari, 2004).
Kasus demam berdarah dengue ditandai dengan empat manifestasi klinis, yaitu
demam tinggi, perdarahan, terutama perdarahan kulit, hepatomegali, dan kegagalan
peredaran darah (circulatoty failure) (Soedarmo, 2009).

Universitas Sumatera Utara

Gambar 4. Manifestasi infeksi virus dengue
Sumber : WHO, Geneva, 1997

Berdasarkan kriteria WHO (1997), terdiri dari kriteria klinis dan kriteria
laboratoris, hal ini memberi pedoman dalam menegakkan diagnosis DBD:
A. Kriteria Klinis
1. Demam tinggi mendadak, tanpa sebab yang jelas, berlangsung terusmenerus selama 2-7 hari.
2. Terdapat manifestasi perdarahan ditandai dengan:
-

uji tourniket positif

-

petekia, epistaksis, ekimosis atau purpura dan perdarahan gusi

-

hematemesis atau melena

3. Hepatomegali
-

Syok: ditandai nadi ceapat dan lemah serta penurunan tekanan nadi,
hipotensi, gelisah, kaki dan tangan dingin.

B. Kriteria Laboratoris
1. Trombositopenia (≤ 100.000/µl)

Universitas Sumatera Utara

2. Hemokonsentrasi (kadar Ht ≥ 20% dari normal)
Dua gejala klinis pertama ditambah dengan dua gejala laboratoris sudah
cukup untuk menegakkan diagnosis DBD.
2.10. Klasifikasi DBD
Demam Berdarah Dengue diklasifikasikan menjadi empat tingkat keparahan,
dimana derahjat III dan IV dianggap DSS. Adanya trombositopenia dengan disertai
hemokonsentrasi membedakan derajat I dan II DHf dari Demam Dengue. Klasifikasi
demam berdarah dengue (WHO, 2012) yaitu:
a. Derajat I:
Demam disertai dengan gejala konstituonal non-spesifik; satu-satunya
manifestasi perdarahan adalah tes tourniket positif dan/atau mudah memar.
b. Derajat II:
Perdarahan spontan selain manifestasi pasien Derajat I, pada umumnya
perdrahan di kulit dan atau perdarahan lainnya.
c. Derajat III:
Gagal sirkulasi dimanifestasikan dengan nadi cepat dan lemah serta
penyempitan tekanan nadi atau hipotensi, dengan adanya kulit dingin dan
lembab serta gelisah.
d. Derajat IV:
Syok hebat dengan tekanan darah atau nadi tidak terdeteksi.

Universitas Sumatera Utara

2.11. Komplikasi DBD
Komplikasi DBD antara lain (Hadinegoro dan Satari, 2004):
1. Enselopati dengue
Hal ini terjadi sebagai komplikasi syok yang berkepanjangan dengan perdrahan.
Gangguan metabolik seperti hipoksemia, hiponatremia, atau perdarahaan, dapat
menjadi penyebab terjadinya enselopati. Enselopati DBD bersifat sementara,
maka kemungkinan dapat juga disebabkan oleh trombosis pembuluh darah otak
sementara sebagai akibat dari koagulasi intravaskular yang menyeluruh. Pada
enselopati dengue, kesadaran pasien menurun menjadi apatis atau somnolen,
dapat disertai atau tidak kejang, dan dapat terjadi pada DBD/DSS.
2. Kelainan Ginjal
Pada umumnya terjadi gagal ginjal pada fase terminal sebagai akibat dari syok
yang tidak teratasi dengan baik. Untuk mencegah gagal ginjal maka setelah
syok diobati dengan menggantikan volume intravaskular, penting diperhatikan
apakah syok telah teratasi dengan baik. Untuk mengetahui apakah syok telah
teratasi, diuresis merupakan parameter yang penting dan mudah dikerjakan.
Diuresis diusahakan > 1 ml/kg berat badan/jam. Oleh karena itu bila syok yang
belum diatasi dengan baik, sedangkan volume cairan telah dikurangi dapat
terjadi syok berulang.
3. Udem paru
Komplikasi yang mungkin terjadi akibat pemberian cairan yang berlebihan.
Pemberian cairan pada hari sakit ketiga sampai kelima sesuai panduan yang
diberikan biasanya tidak akan menyebabkan udem paru oleh karena

Universitas Sumatera Utara

perembasan plasma masih terjadi. Apabila cairan yang diberikan berlebih
(kesalahan terjadi bila hanya melihat penurunan hemoglobin dan hematokrit
tanpa memperhatikan hari sakit), maka akan terjadi rearbsorbsi plasma dari
ruang ekstravaskular, pasien akan mengalami distres pernafasan, disertai
sembab pada kelopak mata, dan ditunjang gambaran udem paru pada foto
rontgen dada.
2.12. Penatalaksanaan DBD
Pada dasarnya pengobatan DBD bersifat suportif, yaitu mengatasi kehilangan
cairan plasma sebagai akibat peningkatan permeabilitas kapiler dan sebagai akibat
perdarahan. Fase kritis pada umumnya mulai terjadi pada hari ketiga sakit. Penurunan
jumlah trombosit sampai

Dokumen yang terkait

Hubungan Kondisi Perumahan dengan Angka Kejadian Demam Berdarah Dengue di Wilayah Kerja Puskesmas Kotabaru Kecamatan Keritang Kabupaten Inderagiri Hilir Riau Tahun 2012

1 59 132

Gambaran Klinis Penderita Demam Berdarah Dengue Pada Anak Di RSUP H. Adam Malik Medan

3 57 83

Prevalensi Demam Berdarah Dengue Di Kota Medan Berdasarkan Data Di Dinas Kesehatan Kota Medan Tahun 2011

2 59 116

Gambaran Penderita Demam Berdarah Dengue Pada Anak Di RSUP. H. Adam Malik Medan Tahun 2008-2010

0 54 72

Hubungan Frekuensi Pemberantasan Sarang Nyamuk Dan Angka Bebas Jentik Dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue Pada Periode Januari-Desember Tahun 2012 Di Kota Medan

0 10 108

Hubungan Frekuensi Pemberantasan Sarang Nyamuk Dan Angka Bebas Jentik Dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue Pada Periode Januari-Desember Tahun 2012 Di Kota Medan

0 0 15

Hubungan Frekuensi Pemberantasan Sarang Nyamuk Dan Angka Bebas Jentik Dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue Pada Periode Januari-Desember Tahun 2012 Di Kota Medan

0 0 2

Hubungan Frekuensi Pemberantasan Sarang Nyamuk Dan Angka Bebas Jentik Dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue Pada Periode Januari-Desember Tahun 2012 Di Kota Medan

0 0 4

Hubungan Frekuensi Pemberantasan Sarang Nyamuk Dan Angka Bebas Jentik Dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue Pada Periode Januari-Desember Tahun 2012 Di Kota Medan

0 0 3

Hubungan Frekuensi Pemberantasan Sarang Nyamuk Dan Angka Bebas Jentik Dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue Pada Periode Januari-Desember Tahun 2012 Di Kota Medan

0 0 12