Penerapan Universal Precaution Se Belajar Praktik Klinik pada Mahasiswa Tahap Pendidikan Profesi Ners Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kewaspadaan Umum/Universal Precaution
2.1.1. Defenisi
Kewaspadaan universal (Universal Precaution) adalah suatu tindakan
pengendalian infeksi yang dilakukan oleh seluruh tenaga kesehatan untuk
mengurangi resiko penyebaran infeksi dengan didasarkan pada prinsip bahwa
darah dan cairan tubuh dapat berpotensi menularkan penyakit, baik berasal dari
pasien maupun petugas kesehatan (Nursalam & ninuk, 2007).
Kewaspadaan universal (Universal Precaution) merupakan suatu upaya
yang dilakukan untuk melindungi petugas pelayanan kesehatan dari infeksi lewat
darah dan cairan tubuh dan mencegah penularan dari pasien ke pasien dan dari
petugas ke pasien (Tietjen, dkk,2004).
Kewaspadaan universal adalah suatu cara penanganan baru untuk
meminimalkan pajanan darah dan cairan tubuh dari semua pasien, tanpa
memperdulikan status infeksi. Kewaspadaan universal hendaknya dipatuhi oleh
tenaga kesehatan karena ia merupakan panduan mengenai pengendalian infeksi
yang dikembangkan untuk melindungi para pekerja di bidang kesehatan dan para
pasiennya sehingga dapat terhindar dari berbagai penyakit yang disebarkan
melalui darah dan cairan tubuh tertentu. Penerapan Kewaspadaan Umum
diharapakan dapat menurunkan patogen melalui darah dan cairan tubuh lain dari


Universitas Sumatera Utara

sumber yang diketahui maupun tidak diketahui. Penerapan ini merupakan
pencegahan dan pengendalian infeksi yang harus rutin dilaksanakan terhadap
semua pasien dan di semua fasilitas pelayanan kesehatan (Tietjen, dkk, 2004).
Kewaspadaan umum tersebut ditujukan untuk melindungi setiap orang
(pasien, klien, dan petugas kesehatan) apakah mereka terinfeksi atau tidak.
Kewaspadaan baku berlaku untuk darah, tubuh/semua cairan tubuh, sekresi dan
ekskresi (kecuali keringat), luka pada kulit, dan selaput lender, kulit dan membran
mukosa yang tidak utuh. Penerapan ini adalah untuk mengurangi risiko penularan
mikroorganisme yang berasal dari sumber infeksi yang diketahui atau yang tidak
diketahui (misalnya si pasien, benda yang terkontaminasi, jarum suntik bekas
pakai, dan spuit) di dalam sistem pelayanan kesehatan (Tietjen, dkk, 2004).
2.1.2. Tujuan Kewaspadaan Umum
Nursalam (2007), menyatakan bahwa kewaspadaan umum perlu diterapkan
dengan tujuan:
a. Mengendalikan infeksi secara konsisten.
b. Memastikan standar adekuat bagi mereka yang tidak terdiagnosa atau
tidak terlihat seperti risiko.

c. Mengurangi risiko bagi petugas kesehatan dan pasien.
d. Asumsi bahwa risiko atau infeksi berbahaya.
2.1.3. Pelaksanaan Kewaspadaan Umum
Penerapan Kewaspadaan Universal merupakan bagian dari upaya
pengendalian infeksi di sarana pelayanan kesehatan yang tidak terlepas dari peran

Universitas Sumatera Utara

masing-masing pihak yang terlibat di dalamnya yaitu pimpinan termasuk staf
administrasi, staf pelaksana pelayanan termasuk staf penunjangnya dan juga
pengguna yaitu pasien dan pengunjung sarana kesehatan tersebut. Penerapan
Kewaspadaan Umum didasarkan pada keyakinan bahwa darah dan cairan tubuh
sangat potensial menularkan penyakit baik yang berasal dari pasien maupun
petugas kesehatan (Nursalam, 2007).
Penerapan Kewaspadaan Universal (Universal Precaution) didasarkan
pada keyakinan bahwa darah dan cairan tubuh sangat potensial menularkan
penyakit, baik yang berasal dari pasien maupun petugas kesehatan. Prosedur
Kewaspadaan Universal ini juga dapat dianggap sebagai pendukung program K3
bagi petugas kesehatan (Nursalam, 2007).
2.1.4. Komponen Utama Kewaspadaan Umum/Kewaspadaan Baku

Menurut Tietjen (2004) penggunaan pembatas fisik, mekanik, atau kimiawi
antara mikroorganisme dan individu, misalnya ketika pemeriksaan kehamilan,
pasien rawat inap merupakan alat yang sangat efektif untuk mencegah penularan
infeksi. Adapun prinsip utama prosedur Kewaspadaan Universal dalam pelayanan
kesehatan adalah menjaga higiene sanitasi individu, higiene sanitasi ruangan dan
sterilisasi peralatan. Ketiga prinsip tersebut dijabarkan menjadi beberapa kegiatan
pokok seperti:
a.

Cuci Tangan
Mencuci tangan adalah prosedur kesehatan yang paling penting yang dapat

dilakukan oleh semua orang untuk mencegah penyebaran kuman. Mencuci tangan

Universitas Sumatera Utara

adalah tindakan aktif, singkat dengan menggosok bersamaan semua permukaan
tangan dengan memakai sabun, yang kemudian diikuti dengan membasuhnya
dibawah air hangat yang mengalir. Tujuannya adalah untuk membuang kotoran
dan organisme yang menempel dari tangan dan untuk mengurangi jumlah mikroba

pada saat itu (Djojosugito, Roeshadi, Pusponegoro, 2001).
Cuci tangan harus selalu dilakukan dengan benar sebelum dan sesudah
melakukan tindakan perawatan walaupun memakai sarung tangan atau alat
pelindung lain untuk menghilangkan atau mengurangi mikroorganisme yang ada
ditangan sehingga penyebaran penyakit dapat dikurangi dan lingkungan terjaga
dari infeksi. Tangan harus dicuci sebelum dan sesudah memakai sarung tangan.
Cuci tangan tidak dapat digantikan oleh pemakaian sarung tangan. Aspek
terpenting dari mencuci tangan adalah pergesekan yang ditimbulkan dengan
menggosok tangan bersamaan mencuci tangan dengan sabun, dengan air mengalir
dan pergesekan yang dilakukan secara rutin (Tietjen,dkk, 2004).
Sarana mencuci tangan adalah ketersediaan air mengalir dengan saluran
pembuangan atau bak penampungan yang memadai. Penggunaan sabun tidak
membunuh

mikroorganisme

tapi

menghambat


dan

mengurangi

jumlah

mikroorganisme dengan jalan mengurangi tegangan permukaan sehingga
mikroorganisme mudah terlepas dari kulit. Tujuan yang ingin dicapai adalah
penurunan jumlah mikroorganisme pada kulit secara maksimal terutama pada
kuman transien (Tietjen, dkk, 2004).

Universitas Sumatera Utara

b.

Alat Pelindung Diri (APD)
Alat pelindung diri digunakan oleh petugas kesehatan untuk melindungi

diri dari pemaparan patogen yang dapat meningkatkan resiko infeksi saat
melakukan perawatan terhadap pasien. Jenis alat pelindung diri seperti sarung

tangan, masker, respirator, pelindung mata, kap, gaun penutup, gaun bedah
(Tietjen, dkk, 2004).
Perlengkapan pelindung diri yang dipakai oleh petugas kesehatan harus
menutupi semua bagian tubuh petugas mulai dari kepala sampai telapak kaki.
Perlengkapan ini tidak perlu digunakan/dipakai secara bersamaan, tergantung dari
risiko saat melakukan prosedur perawatan dan tindakan medis (Darmadi, 2008).
b.1. Jenis-jenis Alat Pelindung Diri
Alat-alat proteksi diri beraneka ragam bentuknya. Menurut Darmadi
(2008) ada 9 jenis APD, dimana penggolongannya berdasarkan bagian-bagian
tubuh yang dilindunginya:
1.

Sarung tangan
Terbuat dari bahan-bahan lateks atau nitril dengan tujuan:

a.

Mencegah penularan flora kulit petugas kepada penderita, terutama
pada saat melakukan tindakan invasive.


b.

Mencegah risiko kepada petugas terhadap kemungkinan transmisi
mikroba patogen dari penderita.

Universitas Sumatera Utara

2.

Masker
Masker merupakan alat/perlengkapan yang menutup wajah bagian
bawah. Harus cukup lebar karena harus menutup hidung, mulut,
hingga rahang bawah. Masker terbuat dari berbagai bahan antara lain
katun, kasa, kertas, atau bahan sintesis.

3.

Respirator
Respirator adalah masker jenis khusus, terpasang pada wajah, lebih
diutamakan untuk melindungi alat nafas petugas.


4.

Pelindung Mata
Tujuan pemakaian alat ini adalah untuk melindungi mata petugas dari
kemungkinan percikan darah atau cairan lainnya dari penderita.

5.

Tutup Kepala/Kap
Digunakan untuk menutup rambut dan kepala agar guguran kulit
kepala dan rambut tidak jatuh dan masuk ke dalam luka sayatan
jaringan sewaktu tindakan pembedahan. Kap harus cukup besar agar
semua rambut petugas tertutup, khususnya bagi petugas wanita.

6.

Gaun Bedah (operasi)
Gaun ini dipakai untuk mengganti baju harian petugas. Dibuat sedikit
longgar dan terdiri dari dua potong yaitu celana dan baju dengan

panjang lengan 7-10 cm di atas siku dan terdapat lubang leher
berbentuk huruf V.

Universitas Sumatera Utara

7.

Jas Bedah (operasi)
Berbentuk jubah panjang dengan ketinggian dari bawah 10 cm diatas
mata kaki, disertai tali-tali pengikat yang ada di belakang.
Digunakan/dipakai dengan cara menutupi/merangkap gaun bedah.
Terbuat dari kain yang tahan cairan dan cukup ringan. Panjang lengan
jas bedah melebihi pergelangan tangan sehingga ujung lengan yang
terbuka dapat ditutup oleh pangkal sarung tangan.

8.

Apron atau celemek
Merupakan alat pelindung pada posisi terluar dan dipasang pada
tubuh petugas bagian depan. Terbuat dari bahan karet atau plastik

dengan tali penggantung pada leher petugas, serta adanya tali yang
diikat ke belakang setinggi pinggang petugas. Penggunaan apron atau
celemek untuk mengantisipasi kemungkinan adanya percikan darah
atau cairan lainnya dari penderita.

9.

Alas kaki
Digunakan untuk melindungi kaki dari perlukaan, bersentuhan dengan
cairan yang menetes atau benda yang jatuh. Alas kaki dapat berupa
sepatu bot/sandal dari bahan kulit atau karet dengan catatan harus
bersih dan telah melalui proses dekontaminasi.

c.

Keselamatan Menggunakan Jarum suntik
Keselamatan menggunakan jarum suntik sebaiknya menggunakan tiap-tiap

jarum dan spuit hanya sekali pakai, tidak melepas jarum dari spuit setelah


Universitas Sumatera Utara

digunakan tidak menyumbat, membengkokkan, atau mematahkan jarum sebelum
dibuang dan membuang jarum dan spuit di wadah anti bocor (Tietjen,dkk, 2004).
Perlu diperhatikan dengan cermat ketika menggunakan jarum suntik atau
benda tajam lainnya. Setiap petugas kesehatan bertanggung jawab atas jarum dan
alat tajam yang digunakan sendiri, yaitu sejak pembukaan paking, penggunaan,
dekontaminasi hingga kepenampungan sementara yang berupa wadah alat
tusukan. Untuk menjamin ketaatan prosedur tersebut maka perlu menyediakan
alat limbah tajam atau tempat pembuangan alat tajam di setiap ruangan, misalnya
pada ruang tindakan atau perawatan yang mudah dijangkau oleh petugas.
Menurut Tietjen (2004) apabila jarum dan spuit sekali pakai tidak
tersedia dan perlu memasang kembali penutup jarum, maka gunakan metode
penutupan “satu tangan” dengan cara:
c.1. Tempatkan penutup jarum pada permukaan rata dan kokoh
kemudian angkat tangan anda.
c.2. Kemudian dengan satu tangan memegang spuit, gunakan jarum
untuk menyekop tutuo tersebut dengan penutup di ujung jarum, putar spuit
tegak lurus sehingga jarum dan spuit mengarah ke atas.
c.3. Akhirnya, dengan sumbatan yang sekarang ini menutup ujung
jarum sepenuhnya, peganglah spuit ke arah atas dengan pangkal dekat pusat
(dimana jarum itu bersatu denagn spuit dengan satu tangan dan gnakan tangan
lainnya untuk menyegel tutup dengan baik).

Universitas Sumatera Utara

d.

Sterilisasi Alat
Pengelolaan alat kesehatan dapat mencegah penyebaran infeksi melalui alat

kesehatan yang digunakan, atau menjamin alat tersebut selalu dalam kondisi steril
dan siap pakai. Pemilihan pengelolaan alat tergantung pada kegunaan alat dan
berhubungan dengan tingkat risiko penyebaran infeksi (Nursalam, 2007).
Menurut Nystrom (1981) yang dikutip Tietjen (2004), dekontaminasi
adalah langkah pertama dalam mensterilkan instrumen bedah/tindakan, sarung
tangan dan peralatan lainnya yang kotor (terkontaminasi), terutama jika akan
dibersihkan

dengan

tangan

misalnya,

merendam

barang-barang

yang

terkontaminasi dalam larutan klorin 0,5% atau disinfektan lainnya yang tersedia
dengan cepat dapat membunuh HBV dan HIV. Dengan demikian, menjadikan
instrumen lebih aman ditangani sewaktu pembersihan. Setelah instrumen barangbarang lain didekontaminasi, kemudian perlu dibersihkan, dan akhirnya dapat
disterilisasi atau didisinfeksi tingkat tinggi. Proses yang dipilih untuk pemrosesan
akhir bergantung pada apakah instrumen ini akan bersinggungan dengan darah
atau duh tubuh, sekresi atau ekskresi pasien.
2.1.5. Kewaspadaan Berdasarkan Penularan
Kewaspadaan ini dimaksudkan hanya untuk pasien yang diketahui atau
sangat dicurigai telah terinfeksi oleh patogen yang ditularkan lewat kontak
langsung khususnya penyakit Hepatitis B, dan patogen enterik, herpes simplex,
infeksi kulit atau mata. Dalam hal ini jika ada proses infeksi pada pasien tanpa
diketahui diagnosisnya, pelaksanaan kewaspadaan berdasarkan penularan, secara

Universitas Sumatera Utara

empirik

harus

dipertimbangkan

sampai

diagnosis

definitif

dibuat

(Tietjen,dkk,2004).

Universitas Sumatera Utara