Gaya Hidup Konsumtif Dalam Fashion (Studi Kasus Pada Para Wanita Berbusana Muslim di Kota Medan Yang Merupakan Pelanggan Butik Labiba Medan Johor)

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Untuk memberi gambaran perkembangan dunia fashion muslim di
Indonesia, saya akan mengulas sedikit tentang metamorfosa dunia fashion muslim
Indonesia dari tahun ke tahun. Busana muslim era ‘80- awal ‘90-an
diindentifikasikan sebagai pakaian yang kuno, ketinggalan zaman, terlihat tua
(terkesan hanya ibu–ibu saja yang menggunakan jilbab), dan tidak modis
dikarenakan kurangnya pilihan model yang cenderung monoton, belum lagi
kesulitan-kesulitan dalam hal pekerjaan (dimarginalkan dan identik dengan
penundaan promosi jabatan, serta penolakan calon karyawati yang menggunakan
jilbab) (Lestari, Diajeng, 2013:17) menjadi alasan yang sudah lebih dari cukup
untuk membuat seseorang enggan menggunakan jilbab atau busana muslim di
kesehariannya.
Hal ini senada dengan penelitian Suzanne Brenner, (Washburn, E. Karen.
2001:111) ia melakukan penelitian terhadap wanita Yogyakarta, Jawa Tengah
yang menggunakan jilbab. Penggunaan jilbab pada masa Orde Baru menurut
Suzzane Brenner (Washburn, E. Karen, 2001) mendatangkan banyak kerugian
bagi pemakainya. Kerugian-kerugian yang dimaksud itu berupa kerugian ekonomi
dan psikologis. Ditinjau dari sisi psikologi, wanita yang menggunakan jilbab pada
saat itu dicap sebagai perempuan yang “fanatik” terhadap agama, dan itu dianggap

menjadi sesuatu yang aneh. Sedangkan ditinjau sisi ekonomi, wanita yang
menggunakan jilbab sering dimarginalkan dalam dunia kerja. Bagi masyarakat
Jawa pada saat itu, jilbab diasumsikan sebagai tradisi Timur Tengah dan bukan

Universitas Sumatera Utara

merupakan tradisi Islam. Hal ini membuat banyak orang merasa menggunakan
jilbab bukanlah keharusan. Pada saat itu wanita yang menggunakan jilbab selalu
dikaitkan dengan penundaan promosi jabatan dan berbagai stigma negatif lainnya,
hal yang sama juga pernah peneliti alami. Jika merujuk hasil penelitian Brenner,
kerugian-kerugian hanya terdapat pada masa orde baru namun pada kenyataannya
di beberapa wilayah di Jawa Tengah, stigma negatif wanita yang menggunakan
busana muslim ternyata masih kuat melekat pada sebagian masyarakat Jawa. Saat
peneliti hendak mengambil foto untuk ijazah Sekolah Dasar (tahun 2003), pada
saat itu peneliti sempat tidak diperbolehkan foto menggunakan jilbab karena
dianggap akan menyulitkan dalam mencari pekerjaan kedepannya.
Dibawah ini adalah beberapa referensi penelitian yang berkaitan dengan
busana muslim. Diharapkan penelitian tentang gaya hidup konsumtif pada para
pelanggan wanita berbusana muslim butik Labiba di kota Medan ini tidak sama
dengan penelitian-penelitian yang sudah ada sebelumnya, sehingga dapat

menambah wawasan yang baru. Penelitian tentang “Pemaknaan Tren Fashion
Berjilbab Ala Hijabers Oleh Wanita Muslimah Berjilbab” oleh Taruna Budiono
tahun 2013. (http://ejournal-s1.undip.ac.id/ diakses pada tanggal 10 Oktober pukul
17.50). Penelitian ini mengulas tentang konsep fashion dalam hal ini penggunaan
jilbab sebagai komunikasi non verbal yang telah menjadi identitas baru para
muslimah di kota Semarang. Kemunculan jilbab sebagai identitas sosial para
wanita ini diawali oleh para artis ibu kota yang berbondong-bondong
menggunakan jilbab dalam kehidupan sehari-hari. Selain faktor tersebut
kemunculan Hijabers Community dan Dian Pelangi yang tak lain juga berperan
sebagi pendiri Hijabers Community disinyalir sebagai faktor utama para wanita

Universitas Sumatera Utara

pada penelitian ini beralih menggunakan jilbab. Hal ini dikarenakan banyaknya
kegiatan yang dilakukan Hijabers Community, seperti hijab class yang berisi
tutorial cara berjilbab yang modis.
Jilbab masa kini tidak lagi identik dengan antifashion, yang ada kini adalah
jilbab yang fashionable dan jilbab yang tidak fashionable. Jilbab kini dipakai
untuk merepresentasikan identitas diri seorang muslimah, dan di dalamnya
terdapat proses identifikasi. Dalam proses ini dijelaskan bahwa terdapat beberapa

faktor yang mempengaruhinya. Pertama, faktor lingkungan termasuk di dalamnya
lingkungan tempat tinggal, pergaulan, dan lingkungan kerja. Kedua adalah faktor
eksternal yaitu adanya faktor sosial (ingin menunjukkan identitas diri sebagai
muslim seperti wanita lain yang menggunakan jilbab) dan budaya (sudah
terinternalisasinya budaya menggunakan jilbab bagi muslimah karena sosialisasi
sejak kecil). Peneliti disini menjelaskan beberapa tujuan penggunaan jilbab yang
modis seperti berikut :
1.

Menjadikan jilbab sebagai batasan dalam bergaul agar terhindar dari
perbuatan negatif

2.

Menunjukkan bahwa seorang wanita yang menggunakan jilbab tetap
bisa aktif berkegiatan meski menggunakan jilbab

3.

Sebagai penanda status sosial karena mengikuti tren yang sedang

berkembang

4.

Jilbab digunakan sebagai sarana untuk mengekspresikan diri
pemakainya

Universitas Sumatera Utara

Dalam penelitian ini dijelaskan bahwa media memiliki peran penting dalam
mengakomodir persepsi masyarakat, terutama media online atau internet. Internet
dianggap memiliki keunggulan yang lebih daripada media cetak dan elektronik.
Keunggulan tersebut adalah kemudahan akses dan bersifat interaktif. Dari
berbagai macam situs yang ada di internet, youtube menjadi yang terfavorit. Ini
tak lepas dari kemudahan mengunduh dan menyimpan konten audio visual yang
diinginkan sehingga video dapat dilihat sewaktu-waktu.
Penelitian selanjutnya berkenaan dengan “Fashion dan Gaya Hidup :
Identitas

dan


Komunikasi”.

Penelitian

yang

dilakukan

oleh

Retno

Hendariningrum dan Edi Susilo tahun 2008 (http://repository.upnyk.ac.id/ diakses
pada tanggal 10 Oktober 2013 pukul 17.53 WIB) ini mengupas tentang fashion
yang sebenarnya telah menjadi alat komunikasi untuk menyampaikan identitas
pemakainya sejak dulu. Gaya berbusana sendiri akan menjadi tolak ukur/awal
penilaian seseorang, karena gaya adalah segalanya. Fenomena fashion dan gaya
hidup di Indonesia sendiri menurut Ibrahim: 2007 dipengaruhi oleh beberapa
faktor. Faktor pertama, masyarakat konsumen/konsumtif akan tumbuh beriringan

dengan sejarah globalisasi ekonomi dan transformasi kapitalisme konsumsi
(menjamurnya mall). Kedua, globalisasi industri media (banyaknya majalah yang
mengeksploitasi kesenangan remaja). Ketiga, mencuatnya gaya hidup alternatif
(tak malu memperlihatkan kekayaannya sekaligus manusia yang bertakwa).
Manusia pun tak ubahnya sedang bermain sandiwara di atas pentas, selalu
ingin menjadi penonton sekaligus yang ditonton. Menurut Chaney, Penampakan
luar merupakan hal utama dalam sebuah gaya, gaya tersebut dimanipulasi
sedemikian rupa hingga menampakkan citra luaran mereka, serta merekayasa

Universitas Sumatera Utara

kesepakatan sekaligus mendapat dukungan. Mereka yang dimaksud di sini adalah
para selebritis, politisi, serta public figure. Masyarakat pun seolah tak bisa
berkutik dan terkungkung diantara panggung sandiwara karena selalu mengimitasi
“idolanya” serta tidak bisa membedakan mana dunia nyata dan mana dunia yang
tidak nyata. Masyarakat kini lebih mementingkan unsur estetika, tak pandang pria
maupun wanita. Ditambah dengan gempuran media dan iklan yang sangat
berpengaruh terhadap pilihan para konsumen masa kini. Padahal iklan itu sendiri
menurut Chaney adalah penampakan luar dengan mendeskripsikan pesan-pesan
komersil yang menyesatkan.

Penelitian ketiga dilakukan oleh Niza Nur Rahmanti (2013 dalam Skripsi
Hijabers Community : Studi tentang Konsumsi dan Komodifikasi Busana Muslim

dalam Komunitas Wanita Muslimah Berhijab di Yogyakarta). Sebagai latar
belakangnya, peneliti mengulas tentang kemunculan pakaian

yang awalnya

berbahan tanah liat, kulit kayu, kulit binatang, dan dedaunan sebagai media untuk
melindungi tubuh mereka. Seiring perkembangan zaman, pada zaman neolithikum
diduga manusia sudah mulai menggunakan serat dari hewan dan tumbuhan
menjadi tekstil. Hal ini berlanjut dari pakaian sebagai pelindung menjadi makna
yang lebih luas yaitu fungsi pakaian sebagai etika dan estetika. Tahun demi tahun
berlalu, perkembangan pakaian sebagai fashion semakin beragam dan memiliki
banyak arti sebagai keindahan, glamour , dan sebagai refleksi status sosial dan
ekonomi seseorang.
Dalam

menggunakan


pakaian,

seseorang

mempunya

beberapa

pertimbangan, salah satunya adalah alasan agama. Dalam Islam mewajibkan
kepada para pemeluknya (wanita) menggunakan hijab atau biasa dikenal jilbab di

Universitas Sumatera Utara

Indonesia . Perkembangan hijab (penghalang) diulas dari

era ‘80an dimana

penggunaan jilbab masih sangat jarang. Berlanjut pada era 2000an hingga
sekarang dengan perkembangan yang pesat baik dari segi pengguna ataupun
kreasi jilbab itu sendiri. Kaum kapitalispun menangkap adanya “pasar” dari

antusiasme masyarakat dalam menggunakan busana muslim yang kemudian
lahirlah komodifikasi busana muslim. Dimana semua unsur diciptakan untuk
dapat dijual. Komodifikasi busana muslim semakin diperkuat dengan banyaknya
iklan di media massa dan media sosial yang kemudia mengubah busana muslim
dari nilai guna menjadi nilai tukar atau dilihat sebagai sebuah komoditas
perdagangan.
Penelitian ini mengambil contoh salah satu komunitas pengguna busana
muslim yang ingin menunjukkan bahwa pengguna busana muslim bukanlah
wanita yang menutup diri dari pergaulan seperti Hijabers Community. Hijabers
Community Yogyakarta menurut penulis turut berkontribusi dalam komodifikasi

busana muslim di sekitarnya. Penulis memaknai munculnya Hijabers Community
ini sebagai fenomena pop culture. Hijabers Community adalah sebuah simbol
modernitas dengan menghadirkan desai busana yang cantik dan modis. Peran
media juga sangat penting yaitu menyampaikan makna-makna dari sebuah
komoditas kepada masyarakat. Melalui media, model hijab terbaru akan mudah
diketahui dan diikuti oleh masyarakat. Selain kemunculan Hijabers Community
dan peran media, adanya “iklan berjalan” yaitu tren masyarakat meniru (imitasi)
model-model busana yang masyarakat lihat, salah satunya dari Hijabers
Community.


Selain melahirkan bentuk komodifikasi, Hijabers Communty

Yogyakarta juga turut melahirkan sebuah hubungan ekonomi seperti bazar,

Universitas Sumatera Utara

memiliki usaha di bidang busana muslim yang difasilitasi oleh Hijabers
Community Yogyakarta.

Penelitian terakhir diambil dari skripsi yang dilakukan oleh Suroyya Junaidi
pada tahun 2012 (dalam Skripsi: Komunikasi Organisasi Hijabers Community
Dalam Mengkomunikasikan Jilbab Kepada Masyarakat Urban). Dalam penelitian
ini dijelaskan pentingnya komunikasi dalam suatu organisasi. Penelitian ini
menjelaskan proses perubahan dalam memaknai busana muslim dari zaman Nabi
Muhammad sampai penggunaan busana muslim pada saat ini yang tak berkolerasi
pada ajaranya. Sekarang ini menggunakan busana muslim tak lagi disebabkan
oleh motivasi ajaran agama (Islam). Perubahan di masyarakat ini disebabkan
banyak faktor. Salah satunya adalah media (media cetak dan elektronik. Selain itu,
keberadaan komunitas juga turut berkontribusi dalam perubahan itu sendiri.

Kelompok yang diambil sebagai contoh adalah Hijabers Community di Jogja.
Hijabers Community adalah sebuah organisasi yang dibentuk sebagai wadah

berbagi dan memberikan inspirasi khususnya dalam penggunaan busana muslim.
Komunitas ini banyak menggunakan media sosial dalam berkomunikasi. Media
sosial tersebut antara lain adalah sebagai berikut : facebook, twitter, dan blog dari
Hijabers Community.

Dalam penelitian ini, peneliti banyak mengulas tentang jenis-jenis
komunikasi, ada komunikasi formal dan informal. Terdapat pula pola-pola dalam
komuniaksi seperti : pola lingkaran, pola roda, pola Y, pola rantai, dan pola
bintang. Komunikasi pun terbagi menjadi komunikasi eksternal dan internal.
Komunikasi internal yaitu komunikasi yang di lakukan antar anggota dalam
organisasi atau komunitas yang bersangkutan. Komunikasi eksternal adalah

Universitas Sumatera Utara

komunikasi yang dilakukan antara organisasi dengan khalayak ataupun khalayak
kepada organisasi. Dalam komunikasi eksternal biasanya menggunakan media
sebagai perantaranya seperti Pers, Radio, Film dan TV, serta pameran. Media ini
pula yang sering dilakukan oleh Hijabers Community dalam berkomunikasi,
seperti Talk Show, pengajian serta acara amal akustik yang disiarkan melalui
bantuan media. Disampaikan pula pentingnya komunikasi publik yang dilakukan
suatu organisasi dalam mengakomodir persepsi masyarakat sehingga dapat
mendatangkan keuntungan bagi organisasi itu sendiri. Dalam masyarakat urban
sendiri jilbab dimaknai sebagai gaya hidup sehingga tidak dapat dijadikan
penanda

ketaatan

atau

ketakwaan

seseorang,

melainkan

sebagai

tren,

kebudayaan,identitas, alat komunikasi, dan peran media massa yang didalamnya
terdapat peran industri.
Dari keempat penelitian di atas, peneliti pertama melihat jilbab kini bukan
lagi sebagai bumerang bagi para fashionista, ini tak lepas dari peran Hijabers
Community serta, youtube sebagai media sosial yang digandrungi para muslimah

dalam mencari referensi. Selanjutnya penelitian tentang fashion dan gaya hidup,
menjelaskan bahwa fashion sebagai identitas bukanlah hal baru, namun karena
adanya bantuan media termasuk iklan di dalamnya, maka dampaknya lebih besar
dari pada zaman dahulu. Tubuh dan segala aksesorisnya telah dikomersilkan
melalui iklan-iklan yang menurut Chaney adalah sesuatu yang menyesatkan.
Peneliti ketiga mengungkapkan peran komunitas Hijabers Communty sebagai
salah satu faktor pendorong maraknya komodifikasi dalam berbusana muslim
serta melahirkan hubungan ekonomi baik bagi anggota komunitas Hijabers
Community Yogyakarta sendiri, maupun bagi masyarakat yang bukan merupakan

Universitas Sumatera Utara

anggotan komunitas. Penelitian terakhir dilakukan oleh Suroyya, yang juga
membahas tentang komunitas Hijabers Community tapi lebih kepada cara
komunikasi komunitas ini terhadap masyarakat urban sehingga masyarakat lebih
mudah menerima tren busana muslim terbaru tentunya dengan mengandalkan
media sebagai saranana.
Dari penjelasan di atas, peneliti dapat menyimpulkan bahwa penelitian gaya
hidup konsumtif dalam fashion pada para pelanggan butik Labiba di Kota Medan
ini berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya, penelitian sebelumnya
menurut peneliti hanya menjelaskan fashion sebagai identitas, penelitian tentang
komunitas juga lebih banyak mengulas tentang Hijabers Community yang
beranggotakan mayoritas anak muda. Ini berbeda dengan penelitian “Gaya Hidup
Konsumtif Dalam Fashion : Studi kasus Pada Para Wanita Berbusana Muslim di
Kota Medan”. Disini peneliti ingin menunjukkan fenomena perilaku masyarakat
(diwakili oleh pelanggan butik Labiba) yang konsumtif dalam menyampaikan
pesan melalui busana muslim dan menunjukkan eksistensinya sebagai kelompok
dominan di masyarakat khususnya kota Medan. Peneliti dalam hal ini lebih fokus
pada gaya hidup konsumtif yang dilakukan wanita berbusana muslim pelanggan
butik Labiba kota Medan yang menjadi pilihan gaya hidup yang masif terjadi di
Medan saat ini khususnya pada kelompok dominan.

2.1.

Teori Konsumsi
Salah satu tokoh postmodernisme yang mencetuskan teori konsumsi ini

adalah Jean P. Baudrillard. Baudrillard (dalam Terjemahan Wahyunto: 2009)
mengatakan bahwa orang-orang mengkonsumsi objek (dalam nilai gunanya

Universitas Sumatera Utara

sendiri). Objek ini selalu dimanipulasi sebagai pembeda baik secara individu atau
yang mengacu pada kelompok status yang lebih tinggi. (Baudrillard, Jean P,
dalam Terjemahan Wahyunto: 2009:61) Sebagai contoh, kita bisa melihat bahwa
busana muslim saat ini telah dimanipulasi sedemikian rupa menjadi suatu
komoditi yang bernilai jual tingi. Manipulasi ini misalnya dengan banyaknya
model aksesoris yang ada, mulai dari payetan, pita-pita, sampai perhiasan yang
mewah seperti swarovsky misalnya, yang pada akhirnya dapat menaikkan status
sosial pemakainya.
Menurut Eviandaru dkk (2001) perilaku konsumsi bukan lagi semata-mata
urusan rasionalitas ekonomi ataupun irasionalitas psikologis, namun konsumsi
telah menjadi rekayasa politik ekonomi dan kebudayaan yang membuat orangorang merasa “wajib untuk ingin sesuatu tersebut”. Dan inilah yang dimaksud
dengan konsumtif. Para wanita seperti wajib memiliki barang (jilbab atau busana)
seperti yang ia lihat. Meski terkadang tidak dibutuhkan dan relatif mahal, bagi
sebagian kalangan hal itu bukanlah faktor penghambat karena ada juga butik yang
menawarkan sistem kredit.
Hal ini sejalan dengan tujuan konsumsi yaitu menciptakan kebahagian yang
berawal dari tuntutan persamaan (Baudrillard, Jean P, Terjemahan Wayunto,
2009:44) (kaitannya dengan tuntutan persamaan dalam kelompok) serta pembeda
(dengan out group). Produk konsumsi harus mengacu pada segala hal yang
tampak. Misalkan dalam komunitas Hijabers seseorang seolah dituntut seragam
dengan anggota dalam kelompok yaitu mengikuti dresscode yang ada, misalkan
tema kali ini adalah “pinklicious” maka seluruh anggota dituntut menggunakan
busana yang berbau pink, entah itu blus, gamis, aksesoris, atau hanya jilbabnya

Universitas Sumatera Utara

saja yang pink, dan hal yang sama juga dijumpai pada pengajian ibu-ibu sosialita
Medan (Pengajian ANS dan SJU). Sedangkan fungsinya sebagai pembeda yaitu
kebalikan dari tuntutan persamaan tersebut. Dengan menggunakan busana muslim
yang seragam membuktikan seseorang adalah anggota dari kelompok tertentu dan
itulah yang membedakannya dengan yang bukan anggota kelompok.
Konsumsi bukan hanya sebagai pemenuhan kebutuhan namun lebih
berhubungan dengan masalah selera, identitas, dan gaya hidup. Konsumsi
dipandang sebagai proses objektifikasi, yaitu proses ekternalisasi dan internalisasi
diri lewat objek-objek sebagai medianya. (Piliang, Yasraf Amir, 2010:146).
Dalam perjalannnya konsumsi telah menciptakan objek-objek dan kemudian
memberikan pengakuan serta menerima nilai ini tersebut. Konsumsi dapat
dipandang sebagai proses menggunakan tanda-tanda yang terkandung di dalam
objek-objek oleh para wanita berbusana muslim dalam rangka menandai relasirelasi sosial. Objek (busana muslim dan aksesorisnya) di sini dapat menentukan
status, prestise, simbol-simbol sosial tertentu bagi para pemakainya, (Piliang,
Yasraf Amir, 2010:146). dan yang tak kalah pentinya adalah fungsi objek untuk
membentuk perbedaan-perbedaan sosial melalui perbedaan-perbedaan pada
tingkat pertanda. (Piliang, Yasraf Amir, 2010:429).
Dewasa ini penampakan luar itu lebih penting dari pada esensi, citra mampu
merubah objek yang fungsinya sama menjadi berbeda. Citra pun mampu
memotivasi seseorang untuk rela berkorban demi mengonsumsi sebuah benda
yang tidak signifikan fungsinya. (Martono, Nanang, 2012). Sebagai contoh,
busana muslim digunakan siapa saja secara nilai gunanya sama, namun menjadi
berbeda ketika ia menggunakan aksesoris mewah. Demi citra sebagai kelompok

Universitas Sumatera Utara

dominan (karena menggunakan busana muslim yang mewah) rela melakukan apa
saja mulai dari pembayaran dengan cara mencicil bahkan sampai rela memotong
uang tabungan demi pakaian yang diinginkan.
Konsumsi dewasa ini khususnya pada masyarakat urban dilihat sebagai
identitas diri. dimana barang-barang yang secara simbolis di konsumsi seseorang
atau suatu kelompok akan dipandang sebagai cerminan akan kepribadian orang
tersebut dan bagaimana hubungannya dengan orang lain yang menempati dunia
simbolis yang sama. Kita ambil contoh busana muslim. Dari sekian banyak model
busana muslim yang ada pernahkan kita berfikir mengapa seseorang tertarik
dengan gaya busananya ? misal ada yang menggunakan busana muslim yang
mewah dengan hiasan-hiasan nan gemerlap. Mereka seolah ingin menampilkan
secara simbolis dengan bantuan busana tersebut bahwa mereka dari kalangan
orang berada karena busana tersebut bisa dibilang relatif mahal. Ada lagi wanita
yang menggunakan busana muslim yang bermodel tumpuk-tumpuk dengan model
jilbab yang rumit namun terlihat eye catching, mereka seolah ingin menunjukkan
kepada orang lain atau kelompok dimana dia berada sebagai seseorang yang
modis dan mengikuti zaman meski dengan berpenampilan seperti itu memelukan
waktu, tenaga, pikiran, dan uang tentunya yang tidak sedikit. Hal ini diperkuat
dengan pernyataan Weber (dalam Damsar: 2009) bahwa konsumsi sebagai
gambaran gaya hidup tertentu dari kelompok status tertentu.
Proses konsumsi sendiri menurut Baudrillard, (dalam Terjemahan
Wahyunto, 2009: 60) dianalisis menjadi 2 aspek yang berbeda, yaitu :
1.

Sebagai proses Signifikasi dan komunikasi

Universitas Sumatera Utara

Konsumsi (produk busana muslim) dijadikan alat pertukaran dan
setara dengan bahasa. Busana muslim seperti yang telah saya jelaskan
di atas, bahwa busana muslim itu memiliki pesan yang ingin
disampaikan

kepada

orang

lain.

Busana

muslim

dalam

implementasinya menunjukkan pola komunikasi non verbal, yang bisa
ditangkap oleh orang yang melihatnya.
2.

Sebagai proses klasifikasi dan deferensiasi sosial
Dalam hal ini masih berkaitan dengan premis sebelumnya bahwa
manusia tidak pernah mengkonsumsi suatu produk sendiri, produk
tersebut selalu dimanipulasi dalam artian yang lebih luas maknanya.
Produk busana muslim telah di manipulasi sebagai penanda status
sosial yang mana seseorang masuk dalam golongan bawah, menengah,
atau atas. Selain itu busana muslim juga di jadikan simbol dalam hal
deferensiasi sosial atau pembeda. Setiap agama pasti memiliki simbol
keagamaan yang berbeda antara satu dan yang lainnya. Dalam Islam,
busana muslim atau penggunaan jilbab adalah salah satu wujud simbol
tersebut. Dengan menggunakan simbol keagamaan tersebut dapat
meningkatkan perasaan keterikatan dan kesatuan antara pemeluk
agama yang sama. Selain menjadi pemersatu dan identitas. Simbol
tersebut juga berfungsi sebagai pembeda antara pemeluk agama Islam
dengan agama yang lainnya.

Universitas Sumatera Utara

2.1.1. Pandangan Bourdieu
Seperti yang telah dijelaskan di atas tentang konsep teori konsumsi untuk
pencitraan. Selanjutnya peneliti akan menggunakan konsep Pierre Bourdieu
tentang Habitus, Modal (capital), dan Ranah (Field). Pierre Bourdieu Memiliki 3
pokok pikiran utama dalam memandang suatu masalah, yaitu :
1.

Habitus
Habitus adalah produk sejarah yang terbentuk setelah manusia lahir

dan berinteraksi dengan masyarakat dalam ruang dan waktu tertentu.
Habitus merupakan hasil pembelajaran lewat pengasuhan, aktivitas
bermain, dan juga pendidikan dalam masyarakat dalam arti luas dan
bekerja di bawah alam bawah sadar manusia. Habitus merupakan sifat
yang tercipta karena kabutuhan (1984:372 dalam Bourdieu, Pierre,
Terjemahan Oleh Pipit Maizer, 2005:15) terutama kaitannya dengan
habitus kelas. Pada habitus kelas ini harapan-harapan (atau ketiadaan
harapan) dalam kaitannya dengan bentuk modal, secara erat diimbangi
dengan berbagai kemungkinan objektif. Habitus secara erat dihubungkan
dengan modal karena sebagian habitus tersebut berperan sebagai
pengganda berbagai jenis modal dan ia menciptakan sebentuk modal
(simbolik).
Dalam penelitiannya pada gaya hidup struktur kelas di Perancis,
Bourdieu (Bourdieu, Pierre, Terjemahan Oleh Pipit Maizer, 2005:149)
menjelaskan bahwa selera, produksi suatu gaya hidup (makanan),
berkaitan dengan konsep yang dimiliki masing-masing kelas, khususnya
pada peran sosial yang dimainkan tubuh di dunia berkaitan dengan kelas

Universitas Sumatera Utara

sosial. Dalam penelitian Bourdieu di Perancis mengulas tentang gaya
hidup makan kaum menengah dan kelas dominan yang menunjukan kelas
sosialnya, dimana kaum menengah banyak mengkonsumsi makanan
berpengawet dan jarang minum alkohol (dikarenakan harganya yang
mahal), maka kelas dominan lebih banyak mengkonsumsi daging, buah,
sayur, dan minuman beralkohol. Pemikiran Bourdieu ini dapat
diaplikasikan dalam penelitian ini, dimana para wanita berbusana muslim
di Kota Medan (informan) ini mempunyai habitus atau kebiasaan yang
didapat dari interaksinya dengan kelas dominan, yaitu menggunakan
busana muslim yang modis, trendi, dan mahal untuk menunjukkan
prestise atau kelas sosial mereka. Informan ingin menunjukkan dengan
menggunakan busana muslim (modal) yang mahal (kaftan, baju berpayet
mewah, bermerek dan trendi) mereka termasuk kelompok dominan.
2.

Modal (Capital)
Bourdieu Mendefenisikan modal mencakup hal-hal material ( yang

dapat

memiliki nilai simbolik) dan berbagai “atribut tak tersentuh”,

namun memiliki signifikansi secara kultural misalnya : prestise, status,
otoritas (yang dirujuk sebagai modal simbolik), serta modal budaya
(yang didefinisikan sebagai selera bernilai budaya dan pola-pola
konsumsi). Modal menurut Bourdieu dianggap sebagai basis dominasi
oleh sebagian kalangan meski tak selalu diakui demikian oleh partisipan.
Modal bersifat dapat ditukar, apalagi yang menyangkut modal simbolik
sebab dalam bentuk inilah bentuk-bentuk modal yang berbeda dipersepsi
dan dikenali sebagai sesuatu yang legitimit. (Bourdieu, Pierre,

Universitas Sumatera Utara

Terjemahan Oleh Pipit Maizer, 2005:17)

Dimana bagi yang tidak

mempunyai modal hanya akan menjadi penonton. Dalam penelitian ini
modal di sini adalah busana muslim yang trendi, modis, bermerek, dan
mahal. Dengan mengkonsumsi busana muslim seperti itu diharapkan
dapat menunjukkan prestise dan status ekonomi penggunanya, sedangkan
bagi yang tidak mempunyai modal tersebut baik modal ekonomi (uang)
maupun simbolik (busana muslim) maka mereka hanya akan menjadi
penonton saja yang jika dikaitan dengan penelitian ini selanjutnya dalam
hubungannya dengan posisi informan di kelompoknya akan dikucilkan.
3.

Ranah (Field)
Ranah atau field bukan ikatan intersubjektif antar individu, namun

semacam hubungan yang terstruktur dan tanpa disadari mengatur posisiposisi individu atau kelompok dalam tatanan masyarakat yang terbentuk
secara spontan. Habitus memungkinkan manusia hidup dalam keseharian
mereka secara spontan dan melakukan hubungan dengan pihak-pihak di
luar dirinya. Dalam proses interaksi dengan pihak luar itu, terbentuklah
ranah, jaringan relasi posisi-posisi objektif. Ranah mengisi ruang sosial,
dimana dalam ruang sosial tersebut terdiri dari beragam ranah yang
memiliki sejumlah hubungan terhadap satu sama lain. Dalam ruang sosial
ini, individu dan habitusnya berhubungan dengan individu lain dan
berbagai realitas sosial yang menghasilkan tindakan-tindakan sesuai
ranag dan modal yang dimiliki. (Bourdieu, Pierre, Terjemahan Oleh Pipit
Maizer, 2005:xix-xx). Singkatnya, ranah merupakan tempat dimana
habitus dan modal di “pertarungkan”, tentunya mereka yang memiliki

Universitas Sumatera Utara

modal dan habitus yang lebih banyak akan dapat mengubah atau
mempertahankan struktur dari pada yang tidak memiliki modal.
(Bourdieu, Pierre, Terjemahan Oleh Pipit Maizer, 2005:xxi). Field atau
ranah dalam penelitian ini adalah kelompok keagamaan atau kelompok
sosial.
Dari konsep yang di tawarkan oleh Bourdieu tersebut dapat ditarik
kesimpulan yaitu; Habitus mendasari ranah yang merupakan jaringan relasi
antarposisi-posisi objektif dalam tatanan sosial yang hadir terpisah dari kesadaran
individual. Ranah mengisi ruang sosial, yang mengacu pada keseluruhan konsepsi
tentang dunia sosial. Sedangkan praktik adalah produk dari relasi antara habitus
dengan ranah, yang keduanya merupakan produk sejarah. Dalam ranah inilah ada
pertaruhan kekuatan antar orang yang memiliki modal. Konsep modal dari
Bourdieu lebih luas daripada sekadar modal material, yakni bisa juga berupa
modal ekonomi, modal sosial, modal intelektual maupun modal kultural. Sehingga
secara ringkas Bourdieu menyatakan rumus generatif yang menerangkan praktik
sosial dengan persamaan: (Habitus x Modal) + Ranah = Praktik. Rumus ini
menggantikan setiap relasi sederhana antara individu dan struktur dengan relasi
antara habitus dan ranah yang melibatkan modal. (Vera, Nawiroh, 2010, dalam
http://academia.edu/ diakses pada tanggal 20 Agustus 2014 pukul 16.12)

2.2.

Gaya Hidup
Gaya hidup adalah istilah menyeluruh yang meliputi citra rasa seseorang

dalam fashion, mobil, hiburan dan rekreasi, bacaan dan hal-hal lainnya. Gaya
hidup sendiri menbicarakan tentang pola yang berlangsung dalam kehidupan

Universitas Sumatera Utara

sehari-hari. Gaya hidup dibangun guna memperlihatkan identitas sekaligus
pembeda, (Piliang, Yasraf Amir, 2010:237) dimana dalam praktik sosial perlu
mekanisme dalam proses pembedaan sosial itu sendiri. Melalui suatu gaya hidup,
masyarakat dibedakan melalui kelompok-kelompok gaya hidup yang masingmasing membangun identitas kelompoknya dalam rangka membedakan identitas
dengan kelompok lainnya. Gaya hidup sendiri sangat dipengaruhi oleh intensitas
interaksi seseorang terhadap gaya hidup tertentu, dan hal ini akan berdampak
buruk jika seseorang berinteraksi dengan gaya hidup negatif (misalnya: gaya
hidup konsumtif) namun ia memiliki pertahanan diri (ideologi) yang lemah.
Gaya hidup sering dihubungkan dengan kelas sosial ekonomi masyarakat
serta menunjukkan citra seseorang. Misalnya pemilihan busana muslim bagi para
muslimah di kota-kota besar (menggunakan busana muslim yang mewah dan
trendi menjadi nilai tambah dan tentunya dapat meningkatkan citra pemakainya
terlebih jika busana tersebut keluaran produsen-produsen yang branded),
pemilihan aksesoris tambahan (seperti penggunakan jilbab yang bertabur batu
swarovsky atau payet dan pita buatan tangan).
Dalam hal merek, merek tidak hanya dimaknai sebagai sebuah nama singkat
semata, namun lebih dari itu merek dapat merepresentasikan sifat, makna, arti,
dan isi dari yang bersangkutan. Membeli merek sepertinya sudah menjadi gaya
hidup masyarakat urban, termasuk para wanita berbusana muslim, tak sulit untuk
mendapatkan barang-barang muslimah yang bermerek (branded), misalkan merek
Labiba, Shafira, atau Dian Pelangi maka konsumen tak segan untuk membelinya.
Penyebutan merek itu sendiri seolah menjadi gengsi tersendiri, tak heran jika
sekarang sering kita jumpai jilbab atau hijab dengan merek yang dijahit (di luar)

Universitas Sumatera Utara

yang mana dengan mudah dapat dilihat oleh orang lain. Bahkan merek itu sendiri
menurut Sobur (2004) kini telah menjelma sebagai sebuah harapan dari berbagai
macam harapan yang dimunculkan oleh produsen untuk memenuhi kebutuhan
konsumen, dimana konsumen mengharapkan barang-barang yang berkelas,
berkualitas, dan bernilai uang pantas sebagai cerminan gaya hidup pemakainya.
Berikut adalah 3 sifat Gaya Hidup menurut Piliang (2010:323) :
1. Gaya Hidup sebagai pola, yaitu sesuatu yang dilakukan secara
berulang-ulang
2. Yang mempunyai massa, tidak ada gaya hidup personal suatu gaya
hidup pasti memiliki pengikut
3. Mempunyai daur ulang, artinya ada masa kelahiran, tumbuh,

puncak, surut dan mati.
Dengan kata lain gaya hidup identik dengan sesuatu yang relatif lama
bertahan di masyarakat. Gaya hidup disini tidak dapat berdiri sendiri, ia
membutuhkan sistem tanda dan citra suatu objek sebagai medianya. Sebagai
contoh adanya kelompok gaya hidup muslimah tertentu yang berbicara melalui
busananya yang dilakukan berulang-ulang sehingga mereka memiliki pengikut
fanatik yang cenderung meniru/imitasi. Merujuk pada sifat ketiga yang mana
setiap awal ada akhirnya, seiring berjalannya waktu gaya hidup itupun akan
tergantikan dengan gaya hidup yang baru dikemudian hari.
Menyambung teori sebelumnya, konsumsi dan gaya hidup adalah dua hal
tak bisa dilepaskan. Gaya konsumsi yang telah sarat dengan manipulasi simbolsimbol tersebut yang akhirnya melahirkan gaya hidup konsumerisme atau

Universitas Sumatera Utara

konsumtif. Gaya hidup yang lebih mengutamakan makna simbolik ini lebih
didasarkan atas dorongan nafsu atau hasrat belaka ketimbang fungsi utilitasnya.
(Piliang, Yasraf Amir, 2010:145). Gaya hidup konsumerime sendiri telah banyak
mendapatkan kritikan dari Adorno, (Piliang, Yasraf Amir, 2012:87) menurutnya
konsumsi disini adalah wujud penipuan massa. Bagaimana citra-citra yang
dikonstruksikan melalui sebuah produk yang kemudian digunakan sebagai alat
untuk mengendalikan selera massa konsumen yang diatur oleh para produsen.
(Piliang, Yasraf Amir, 2010:152). Para wanita berbusana muslim yang menjadi
konsumen produk-produk itu pun seakan menjadi penonton serta pengguna yang
pasif, karena konstruksi yang telah diciptakan tersebut.

Universitas Sumatera Utara