Gaya Hidup Konsumtif Dalam Fashion (Studi Kasus Pada Para Wanita Berbusana Muslim di Kota Medan Yang Merupakan Pelanggan Butik Labiba Medan Johor)

BAB I
PENDAHULUAN
1.1.

Latar Belakang
Dewasa ini perkembangan dunia

fashion muslim semakin masif di

masyarakat. Hal ini dibuktikan dengan pertumbuhan penjualan busana muslim
yang mengalami kenaikan 8,5% dari tahun sebelumnya. Pertumbuhan ini
melampaui pertumbuhan penjualan busana selain busana muslim yang hanya naik
7% dari tahun 2012. (Kabar Pasar TV ONE, disiarkan tanggal 5 November 2013).
Busana muslim kini telah bertransformasi dari busana “pinggiran” menjadi salah
satu busana populer. Busana muslim masa kini menurut Brenner (dalam Barnard,
Malcolm:Hal. pengantar xii) dianggap sebagai sesuatu yang seratus persen
modern. Jilbabisasi dianggap sebagai tanda globalisasi, suatu identifikasi orang
Islam di Indonesia dengan umat Islam di negara-negara lain di dunia modern.
Berawal dari kemunculan blog islami pada tahun 2008, (Lestari, Diajeng,
2013:23) busana muslim semakin populer di masyarakat Indonesia dengan
lahirnya sebuah kelompok wanita-wanita muslim yang dimotori oleh para

desainer muslim yang gerah dengan stigma negatif yang melekat pada wanita
muslim selama ini (seperti: kuno, ketinggalan zaman, dan termarginalkan dalam
dunia pekerjaan).
Kemunculan para desainer muslimah dengan berbagai kreasinya pun
semakin menambah gairah industri fashion muslim dan puncaknya berhasil
mencuri perhatian masyarakat Indonesia pada akhir tahun 2010, kelompok ini
kemudian

disebut

dengan

Hijabers

Community.

Hijabers

Community


Universitas Sumatera Utara

mengedepankan pakaian yang simple nan trendy untuk menjadi ciri khas
kelompoknya. Padu padan warna dan corak yang beragam semakin mempercantik
tampilan para wanita ini. Selain kelompok/komunitas Hijabers, busana muslim
pun semakin mendapat tempat di area publik melalui salah satu komunitas
Jurnalis Berhijab yang didirikan pada Oktober 2012 yang lalu. Komunitas ini
berisikan para jurnalis wanita yang menggunakan busana muslim dalam
kesehariannya. Jurnalis di sini bisa dari media cetak, elektronik, maupun online.
Adapun tujuan komunitas ini adalah keinginan para anggotanya untuk membuat
opini di masayarakat bahwa menggunakan busana muslim bukanlah halangan
untuk berkiprah khususnya di bidang jurnalistik. Tujuan selanjutnya adalah
mereka ingin bisa tampil rapi dan cantik meski harus mobile karena tuntutan
pekerjaan sebagai jurnalis. (Sintarini, Tri:120)
Indonesia sendiri saat ini menempati urutan pertama negara dengan
penduduk muslim terbanyak di dunia. Ini diperkuat dengan penelitian The Pew
Forum On Religion and Public Life yang dilakukan selama 3 tahun, pada 232

negara, dan dirilis pada tahun 2010. Disebutkan dalam penelitian tersebut bahwa
13% penduduk muslim dunia berada di Indonesia. (www.pewforum.org diakses

pada tanggal 1 November 2013 pukul 14.20 WIB). Pangsa pasar yang besar
diikuti dengan perkembangan busana muslim yang cepat pun turut menarik
perhatian pemerintah Indonesia, yang kemudian mencanangkan Indonesia sebagai
kiblat busana muslim dunia tahun 2014. (www.jakartafashionweek.co.id Diakses
pada tanggal 5 November 2013 pukul 22.03 WIB)
Tren busana muslim di Indonesia sendiri saat ini sedang menjadi sorotan
utama. Terbukti dengan kehadiran busana muslim terbaru karya desainer-desainer

Universitas Sumatera Utara

papan atas Indonesia seperti Dian Pelangi, Hannie Hananto, Ira Mutiara, Iva
Latifah, Jeni Tjahyawati, Lia Afif, Merry Pramono, Tuti Adip, Feny Mustafa,
Najua Yanti, dan Nieta Hidayani dalam ajang bergengsi Jakarta Fashion Week
2013, Oktober silam yang mendapat porsi lebih dari tahun sebelumnya.
(www.jakartafashionweek.co.id Diakses pada tanggal 5 November 2013 pukul
22.03 WIB). Hal ini seolah menunjukkan eksistensi busana muslim di era global
seperti saat ini. Eksistensi busana muslim khususnya di Indonesia pun
diasumsikan dapat mendobrak hegemoni Barat yang pada akhirnya pada
kelompok dominan akan melahirkan gaya hidup yang eksklusif dan cenderung
konsumtif. Terutama dengan maraknya kemunculan butik-butik yang menjual

busana muslim yang bernilai jual tinggi seperti, Shafira, dan Dian Pelangi.
Sebagai contoh mengapa busana muslim diasumsikan mampu mendobrak
hegemoni Barat adalah penyelenggaraan Miss World Muslimah 2013 yang
berdekatan dengan penyelenggaraan Miss World 2013. Malam puncak
penyelenggaraan Miss World Muslimah sendiri diselenggarakan di Jakarta pada
18 September 2013 yang hanya berjarak beberapa hari dengan Miss World 2013
yang diadakan di Bali. Ajang ini diikuti oleh 6 negara, dan telah 3 kali diadakan.
(www.bbc.co.uk) Kontes kecantikan wanita kini tak lagi menjadi dominasi Barat
dengan gaya busana yang terbuka, dunia fashion muslim pun kini mempunyai
ajang yang sama yaitu Miss Word Muslimah.
Medan yang merupakan salah satu kota besar di Indonesia pun turut menjadi
sasaran berbagai output industri muslim. Hal ini dikarenakan pasar industri
muslim di kota Medan masih terbuka lebar, “pasar” yang dimaksud di sini
pastinya sangat berkaitan dengan jumlah wanita yang berbusana muslim itu

Universitas Sumatera Utara

sendiri. Seperti kata pepatah, “Di mana ada semut, di situ ada gula”. Tercatat
sampai Agustus tahun 2013 penduduk muslim di Kota Medan sendiri mencapai
1.402.176 jiwa. (Data Rumah Ibadah dan Pemeluk Agama Di Lingkungan Kanwil

Kementrian Agama Provinsi Sumatera Utara Tahun 2013). Jumlah pemeluk
agama Islam yang banyak tentunya turut menciptakan kebutuhan-kebutuhan yang
kompleks. Penduduk muslim yang secara kuantitas relatif besar, tingkat
perekonomian yang baik yaitu menurut data BPS pertumbuhan perekonomian
Kota Medan mengalami peningkatan 12,36% pada 2011 (Lihat Medan Dalam
Angka 2012:383.) ditambah dengan keinginan untuk tampil modis dan
fashionable, menjadikan Kota Medan salah satu wilayah di Indonesia yang maju

industri fashion muslimnya. Maraknya desainer dan butik-butik muslim di Kota
Medan dengan kreasi-kreasi yang inovatif pun turut meramaikan persaingan dan
menciptakan warna baru, serta turut mengangkat citra busana muslim menjadi
busana yang prestisius, seperti Labiba, Dian Pelangi, Shafira, dan Gallery plus.
Makna busana sebenarnya bukan hanya sebagai pelindung semata. Busana
sendiri adalah benda yang menutupi tubuh kita, sehingga hal itu bisa dikatakan
sebagai representasi dari diri kita. Busana adalah sistem tanda yang dengan itu
kita dapat menunjukkan status sosial. Fungsi itu bukan hanya berlaku untuk
busana biasa, namun juga terjadi pada busana muslim yang secara harfiahnya
berfungsi untuk menutup aurat pemakainya. Busana muslim dewasa ini banyak
digunakan oleh para wanita baik tua maupun muda sebagai simbol dari kelas
sosialnya, busana muslim yang menurut ajaran-Nya identik dengan kesederhanaan

kini telah menjelma sebagai sebuah komoditi yang menggiurkan. Dari
pengamatan awal yang dilakukan peneliti pada beberapa pelanggan butik Labiba,

Universitas Sumatera Utara

para pelanggan rela membelanjakan uang yang tidak sedikit untuk mendapatkan
busana muslim yang mewah. Beberapa pelanggan bahkan rela membayar sebuah
busana muslim dengan harga jutaan dan hanya digunakan beberapa kali, demi
tampil fashionable. Para pelanggan tersebut memaknai busana muslim bukan lagi
sebagai kebutuhan, namun lebih kepada apa yang disebut oleh Baudrillard (dalam
Terjemahan Wahyunto:2009) sebagai pencitraan. Tak berhenti sampai busana
saja, dalam rangka menyempurnakan

fashion -nya para pelanggan pun rela

mendatangkan penata jilbab agar tampil lebih istimewa pada acara-acara tertentu.
Pada abad kapitalisme seperti sekarang ini, memang tak heran jika simbolsimbol agama telah dimanipulasi menjadi barang komoditi dengan harga jual
tinggi. Agama saat ini menurut Ibrahim (2011:165) “tidak hanya berubah di
tataran simbolik semata, namun watak dan wajah keberagaman itu sendiri, hal ini
juga mencuatkan kontradiksi.” Kontradiksi internal di dalam keberagaman

manusia modern itu sendiri yang kemudian menjadi incaran industri budaya
konsumsi massa (kontradiksi internal yang dimaksud adalah pertentangan antara
penggunaan busana muslim yang sesuai syari’at dengan penggunaan busana
muslim yang mengikuti tren yang ada). Orang menganggap bahwa spiritualitas
bisa diburu dalam konsumsi massa, oleh karena secara simbolik budaya konsumtif
dianggap menjanjikan kepuasan untuk memenuhi hasrat dengan membangkitkan
alam bawah-sadar manusia untuk memusatkan perhatian pada pemujaan bendabenda, ikon-ikon, dan simbol-simbol modernitas.
Dalam hal ini simbol yang dimaksud adalah busana muslim. Dewasa ini
tidaklah sulit menjumpai wanita berbusana muslim dalam kehidupan sehari-hari.
Hal ini tak ubahnya menjadikan busana muslim seperti peralihan selera mode

Universitas Sumatera Utara

berpakaian saja. (Ibrahim, Idi Subandy, 2011:166) Ada juga fenomena orangorang yang berbondong-bondong menghadiri pengajian walaupun harus
membayar mahal karena biasanya untuk pengajian yang terbilang eksklusif,
sekaligus mengadakan arisan yang nominalnya terhitung cukup besar. Mereka
melakukan itu bukan lagi semata untuk mendapat siraman rohani namun lebih
kepada menampilkan gaya hidup yang bertakwa namun tetap eksis, misalkan
pergi ke pengajian dengan menggunakan busana muslim model terbaru. Maka tak
heran jika dewasa ini beberapa pengajian dijadikan tempat “show off” (Pengajian

ANS dan SJU Medan).
Fenomena tersebut bisa terjadi menurut Ibrahim (2011:167) karena ketika
uang melimpah bertemu dengan semangat keagamaan yang memuncak kemudian
pernyataan tentang ketakwaan perlu dipertegas, dirayakan, dan diarak ke ruang
publik. Pada saat itulah kesadaran keberagamaan ditransformasikan ke dalam
simbol-simbol yang diyakini sebagai representasi kesalehan. Adanya keinginan
dan kebanggaan di kalangan tertentu untuk terlihat taat beragama tetapi juga
sekaligus ingin tetap terlihat cantik dan sensual, atau istilahnya taat beragama
(menggunakan busana muslim) namun tetap stylis atau modis. Inilah yang
akhirnya didengung-dengungkan melalui perantara media massa dan seolah
dijadikan identitas gaya hidup baru sebagian wanita berbusana muslim masa kini.
Penggunaan simbol-simbol keagamaan yang didaur ulang dari produk
budaya populer dijadikan sarana untuk mengekspresikan identitas diri pemiliknya.
Tak heran bila para wanita berbusana muslim masa kini gampang tergoda melihat
aksesoris yang dinilai dapat merepresentasikan dirinya. Busana muslim pun
digunakan sebagai penyampai pesan kepada orang lain. Seiring dengan perubahan

Universitas Sumatera Utara

di masyarakat tersebut maka lahirlah berbagai industri pendukung yang berbau

agama. Seperti butik muslimah (Labiba), usaha ini semakin subur karena
ditunjang dengan gaya hidup sosialita kota Medan yang cenderung glamour dan
aktif dalam bersosialisasi dengan komunitasnya. Dari sektor kosmetik muslimah
ada Wardah dan Salon kecantikan London Beauty Center dengan tagline “pilih
kosmetik yang halal”. Industri parfum pun tak ingin ketinggalan dengan
menciptakan variasi parfum non alkohol. Terakhir, industri media cetak, yaitu
majalah atau tabloid muslimah (Annisa) (Ibrahim, Idi Subandy. 2011:168) yang
cenderung mengeksploitasi tentang masalah gaya hidup, cara berbusana, yang
disisipi iklan-iklan yang lebih mengarahkan para wanita berbusana muslim ini ke
arah gaya hidup konsumtif. Minat para wanita berbusana muslim yang tinggi akan
perubahan yang ada menjadikan “pasar” semakin terbuka lebar. Pada tahap inilah
para wanita berbusana muslim tersebut perlahan mulai bergeser dari penonton
menjadi pelaku/pembeli. Ini akan mencapai puncaknya pada saat menjelang
Lebaran. Seperti yang bisa kita lihat sekarang ini, setiap Ramadhan hampir
seluruh media terutama televisi menyiarkan acara dengan menampilkan busana
muslim (para artis menggunakan busana muslim model terbaru) yang kemudian
akan segera diburu “pasar” yang besar tadi.
Media,

baik


cetak

maupun

elektronik

sedikit

banyaknya

telah

mempengaruhi gaya hidup masyarakat khususnya masyarakat kota. Media saat ini
sangat berpengaruh dalam mengkonstruksi persepsi masyarakat akan busana
muslim yang trendi. Dewasa ini, bukanlah hal yang sulit untuk mendapatkan
referensi busana muslim di televisi. Baik sengaja maupun tidak sebenarnya
konsumen telah “dipaksa” mengkonsumsi iklan busana muslim melalui pakaian-

Universitas Sumatera Utara


pakaian yang digunakan oleh artis-artis ibu kota. Ada yang menggunakan busana
muslim hasil produksinya sendiri, ada pula hasil karya desainer-desainer ternama.
Bisa jadi, anda tidak setuju dengan pendapat peneliti karena memang iklan-iklan
tersebut tidak tayang pada waktu khusus seperti iklan produk lain. Tapi coba
amati pakaian yang digunakan oleh Fatin Shinqia pada saat mengikuti ajang XFactor, busana yang digunakan Soimah dan banyak artis lain pada saat Ramadhan
yang lalu dengan tagline dibawahnya (wardrobe : Dian Pelangi), atau gaya busana
muslim atau jilbab para artis yang kemudian ramai diburu orang (jilbab April
Jasmine, jilbab Sazkya Adia Meca dll), itu semua merupakan iklan yang mungkin
tidak kita sadari. Iklan-iklan tersebut menggiring persepsi masyarakat bahwa
dengan menggunakan produk yang sama dengan produk iklan tersebut penonton
atau konsumen akan terlihat lebih modis atau tidak ketinggalan zaman. Hal ini
diperparah dengan adanya gejala kecenderungan demam umum yang melanda
masyarakat, di mana nilai simbolik lebih dominan mengarah pada kecenderungan
penekanan dalam aspek meterial. (Syahputra, Iswandi, 2013:67-68)
Busana, termasuk busana muslim menjadi alat komunikasi non verbal.
Memang tidak ada kata-kata yang tertera secara kasat mata melalui tulisan atau
kata-kata lisan, namun merek atau slogan sudah lebih dari cukup untuk
memperkuat makna busana tersebut. Misalnya dengan membeli pakaian di Labiba
itu sudah cukup membuktikan eksistensinya sebagai orang berada, karena harga
dan kualitasnya yang telah diakui. Busana muslim saat ini dijadikan sebagai
penyampai pesan kepada orang lain yang melihatnya. Ada juga contoh lain,
misalnya dengan menggunakan Kaftan dengan taburan batu swavovsky serta
payetan yang mewah, tanpa diucapkan pun orang akan tahu bahwa ia berasal dari

Universitas Sumatera Utara

kelompok dominan, meski pada beberapa orang busana tersebut dibeli dengan
cara kredit atau mencicil.
Waktu memang telah banyak membawa perubahan khususnya di mode
Islami. Memang tidak selalu negatif karena tak dapat dipungkiri pula
bahwa mode–mode baru telah banyak menarik kaum hawa untuk
menggunakan busana muslim. Tak melulu karena anjuran agama,
melainkan lebih ke arah tren yang sedang banyak digemari di
masyarakat. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya kaum hawa yang
menggunakan busana muslim namun lekukan-lekukan tubuhnya tetap
terlihat dan bahkan sengaja diperlihatkan (dengan memilih pakaian
yang pas di badan dan menggunakan jilbab di atas dada atau yang
sekarang ramai disebut jilboob) sehingga pergeseran fungsi dan makna
pun tak dapat dihindari. Keadaan ini semakin diperparah dengan
masuknya kapitalisme di berbagai lini kehidupan kita, tak terkecuali di
industri fashion muslim yang kemudian dikenal sebagai islamisasi pada
perilaku konsumerisme. (Ibrahim, Idi Subandy, 2011:147)
Dunia fashion muslim pun seolah menjadi lahan basah untuk dikomersilkan
mengingat pasarnya sangat besar khususnya di kota-kota besar dan tak terkecuali
Medan. Hal ini tentunya memicu seseorang untuk menjadi seorang yang
konsumtif, apalagi model busananya juga cepat silih berganti. Perubahan model
busana muslim yang bersifat temporer atau sementara sendiri merupakan salah
satu trik agar produk tersebut dapat terus diproduksi. Selera masyarakat dengan
mudah diubah oleh produsen melalui bantuan media sebagai perantara, maka tak
heran jika busana yang sedang tren bulan ini, tak lagi tren di bulan berikutnya
karena telah digantikan oleh model-model yang baru. Lagi-lagi atas nama fashion,
penonton pun kembali dibuat terkesima dengan model terbaru dan akan terus
seperti itu. Beberapa tokoh postmodernisme pun membahas hal ini, sebut saja
Jean Baudrillard dan Ronald Barthes (Baudrillard, Jean dalam Terjemahan
Wahyunto, 2009) yang menganggap seseorang lebih menilai pakaian karena
makna yang terkandung di dalamnya atau bisa disebut sebagai pencitraan bukan

Universitas Sumatera Utara

hanya sekedar pelindung tubuh dari panas dan hujan semata yang pada akhirnya
memicu tindakan konsumtif di masyarakat. Perlu digarisbawahi di sini bahwa
tindakan konsumtif dalam mengkonsumsi busana muslim tidak hanya berlaku
bagi kelompok dominan saja namun juga bisa terjadi pada kalangan menengah ke
bawah, namun pada penelitian ini peneliti lebih memfokuskan pada kelompok
dominan yang menggunakan busana muslim mewah dengan intensitas acara yang
tinggi yang tentunya memerlukan budget yang tidak sedikit .

1.2.

Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas, maka peneliti

menyimpulkan permasalahan yang akan dijadikan bahan penelitian, adapun fokus
penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana perilaku konsumtif dalam fashion para wanita berbusana
muslim yang merupakan pelanggan butik Labiba yang berkaitan dengan
tuntutan gaya hidup sosialita di Kota Medan ?
2. Bagaimana kontribusi kelompok pada motivasi konsumsi para wanita
berbusana muslim yang merupakan pelanggan butik Labiba dalam
memilih fashion (busana muslim) ?

Universitas Sumatera Utara

1.3.

Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui bagaimana perilaku konsumtif dalam fashion para
wanita berbusana muslim yang merupakan pelanggan butik Labiba
yang berkaitan dengan tuntutan gaya hidup sosialita di Kota Medan.
2. Untuk mengetahui kontribusi kelompok pada motivasi konsumsi para
wanita berbusana muslim yang merupakan pelanggan butik Labiba
dalam memilih fashion (busana muslim).

1.4.

Manfaat Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian diatas, maka manfaat penelitian ini adalah

sebagai berikut :
a. Manfaat Teoritis
Diharapkan dari hasil penelitian ini dapat menambah wawasan dan
kajian ilmu sosial kepada peneliti lain dan khususnya dalam memahami
tentang perilaku konsumtif masyarakat urban kota Medan menyangkut
kebutuhan masyarakat yang berubah-ubah serta kajian tentang ilmu
sosiologi ekonomi dan sosiologi agama yang berkaitan dengan masalah ini
yang berimbas pada munculnya industri pendukung di sektor fashion.
b. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan kemampuan saya dalam
membuat karya ilmiah, khususnya mengenai masalah yang berhubungan

Universitas Sumatera Utara

dengan busana muslim dan gaya hidup konsumtif. Saat ini menjadi
fenomena, di mana busana muslim tidak lagi digunakan sebagai penutup
aurat saja, tapi lebih itu busana muslim yang sedang tren bisa
meningkatkan harga diri seseorang yang memakainya tentunya dengan
tambahan ornamen pendukung lainnya. Selain itu penelitian ini diharapkan
juga dapat menjadi rujukan bagi usaha-usaha yang bergerak di bidang
fashion muslim (butik) untuk memahami kebutuhan konsumennya.

1.5.

Defenisi Konsep
1. Busana muslim
Busana Muslim adalah busana yang menutupi hampir keseluruhan
tubuh wanita muslim. Pada umumnya wanita yang menggunakan busana
muslim menggunakan rok panjang, celana panjang, atasan panjang, atau
gamis. Busana muslim pada penelitian ini lebih menekankan pada
penggunaan busana yang trendi, yaitu busana muslim yang mengikuti
perkembangan zaman seperti busana yang lebih beragam baik dari segi
model, warna, maupun bahannya sehingga membuat para wanita
muslimah bisa memadu padankan busana muslim dengan segala situasi.

2. Gaya Hidup
Busana muslim yang trendi kini telah menjelma sebagai gaya hidup
sebagian wanita muslimah masa kini terutama di kota-kota besar (Medan).
Gaya hidup disini diartikan dengan suatu gaya hidup “baru” wanita
berbusana muslim yang glamour , terus mengikuti perkembangan busana

Universitas Sumatera Utara

muslim (tidak ingin ketinggalan zaman), berani mencoba model baru demi
tampil modis, dan cenderung konsumtif (khususnya pada kelompok
dominan). Gaya hidup pada penelitian ini mengacu pada gaya hidup
konsumtif karena para pelanggan butik Labiba (informan) saat ini sangat
mengedepankan simbol-simbol keagamaan (busana muslim) yang dinilai
dapat merepresentasikan ketakwaan serta eksistensinya sebagai wanita
yang modis. Simbol-simbol keagamaan

di sini meliputi perilaku non

verbal, dan objek yang maknanya disepakati bersama. Sebagai contoh

simbol disini adalah merek pada busana muslim atau tempat penjualan
(butik) busana muslim itu sendiri, hiasan-hiasan (swarovsky, payet, pita)
pada busana muslim yang menambah nilai jual busana tersebut. Gaya
hidup yang seperti inilah yang kemudian menjadi identitas diri sebagian
wanita muslim “modern” masa kini.

3. Komunitas/kelompok
Perkumpulan sekelompok orang yang mempunyai kesamaan visi,
misi dan minat. Komunitas/kelompok yang dimaksud dalam penelitian ini
sangat luas. Bisa berupa kelompok pengajian, arisan, atau perkumpulan
teman-teman dengan visi, misi, dan minat yang sama. Dimana
komunitas/kelompok ini pada akhirnya turut berkontribusi terhadap gaya
hidup anggotanya dan tentunya turut berkontribusi pula pada pola
konsumsi para anggotanya. Salah satu komunitas/kelompok yang dinilai
berkontribusi cukup besar terhadap gaya hidup para wanita berbusana
muslim di Kota Medan adalah komunitas/kelompok pengajian eksklusif.

Universitas Sumatera Utara

Komunitas atau kelompok pengajian eksklusif yang dimaksud dalam
penelitian ini adalah kelompok pengajian ibu-ibu (sosialita) dari kelompok
dominan. Komposisi acaranya sendiri tak berbeda jauh dari pengajian pada
umumnya. Yang membedakan biasanya gaya busana yang glamour
terutama untuk acara-acara tertentu (adanya dresscode baik dari warna
sampai model busana seperti: kaftan, blazer, atau busana dengan warna
tertentu).

4. Budaya Konsumerisme
Dapat dikatakan sebagai budaya konsumerisme dalam gaya hidup
konsumtif ketika seseorang mengkonsumsi suatu barang tidak lagi
berorientasi pada nilai guna dari barang itu sendiri melainkan lebih kepada
makna sosial yang terkandung di dalamnya. Konsumsi di sini lebih
mengekspresikan posisi sosial dan identitas kultural seseorang di dalam
masyarakat, dimana masyarakat urban (termasuk para wanita berbusana
muslim) lebih mengkonsumsi suatu barang dikarenakan makna-makna
sosial yang tersembunyi dibaliknya. (Piliang, Yasraf Amir, 2010:416)
Sebagai contoh budaya konsumerisme pada penelitian ini adalah ketika
orang rela mengeluarkan jutaan rupiah demi membeli busana muslim
terbaru yang hanya digunakan untuk beberapa kali acara agar tampil
fashionable , bukan dilihat dari segi utilitasnya. Selain itu, membeli

busana muslim dengan cara mencicil juga merupakan salah satu wujud
budaya konsumtif.

Universitas Sumatera Utara