Penanganan Pemerintah Indonesia Terhadap Pengungsi Ditinjau Dari Prinsip Non Refoulement

BAB II
PENGATURAN PENGUNGSI DI INDONESIA

A. Pengertian Pengungsi
Pengertian atau istilah ‘pengungsi’ secara umum mengalami dinamikanya sendiri. Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa akar kata dari istilah pengungsi adalah ungsi
dan kata kerjanya adalah mengungsi, yaitu “Orang yang mencari tempat yang aman ketika
daerahnya ada bahaya yang mengancam”. Berdasarkan pengertian tersebut, terlihat bahwa
pengungsi terjadi karena adanya bahaya. Misalnya bencana alam (natural disaster) seperti banjir,
gempa, gunung meletus, kekeringan. Mengungsi juga bisa terjadi karena bencana manusia (man
made disaster) seperti konflik bersenjata, pergantian rezim politik, penindasan kebebasan
fundamental, pelecehan hak asasi manusia, dan sebagainya. 43
Terdapat dua pendapat ahli sehubungan dengan pengertian atau batasan dari istilah
pengungsi. Malcom Proudfoot memberikan pengertian pengungsi dalam perspektif pasca Perang
Dunia II. Ia memberi pandangan tentang pengungsi sebagai berikut : “The forced movements,..
were the result of the persecution, forcible deportation, or flight of Jew and political opponents
of the authoritarians governments; the transference of ethnic population back to their homeland
or to newly created provinces acquired by war or treaty; the arbitatry rearrangement of prewar
boundaries of sovereign states; the mass flight of the air and the terror of bombardment from the
air and under the threat or pressure of advance of retreat of armies over immense areas of


43

Achmad Romsan, 2003, Pengantar Hukum Pengungsi Internasional, Sanic Offset, Bandung. Hlm. 35

31
Universitas Sumatera Utara

Europe; the forced removal of populations from coastal or defence areas undrv military
dictation; and the deportation for forced labour to bloster the German war effort”. 44
Menurut pandangan Proudfoot tersebut, pengungsi merupakan suatu kelompok orangorang yang terpaksa pindah ketempat lain akibat adanya penganiayaan, deportasi secara paksa,
atau pengusiran orang-orang dan perlawanan politik pemerintah yang berkuasa. Dapat pula
dalam bentuk pengembalian etnik tertentu ke negara asal mereka atau provinsi baru yang timbul
akibat perang atau perjanjian atau penentuan tapal batas secara sepihak sebelum perang terjadi.
Perpindahan penduduk sipil secara besar-besaran akibat adanya tekanan atau ancaman.
Perpindahan secara paksa penduduk dari wilayah pantai atau daerah pertahanan berdasarkan
perintah militer serta pemulangan tenaga kerja paksa untuk ikut dalam perang.
Sementara itu, Pietro Verri dalam mendefinisikan pengungsi merujuk pada Pasal 1
Konvensi 1951 khususnya pada kalimat ‘applies to many person who has fled the country of his
nationality to avoid persecution or the threat of persecution’. 45 Pada pandangan Pietro Verri
pengungsi merupakan seseorang atau sekelompok orang yang meninggalkan negaranya karena

adanya ketakutan yang tidak terhingga serta adanya kemungkinan atau potensi terjadinya
penyiksaan. Menilik lebih jauh, batasan terminologi pengungsi, hal tersebut beririsan dengan
batasan suaka. Pengungsi dalam pengertian yang umum adalah orang yang dipaksa keluar dari
wilayah negaranya. Paksaan yang dilakukan terhadapnya disebabkan oleh kondisi yang tidak
memungkinkan adanya rasa aman atau jaminan keamanan atas dirinya oleh pemerintah. 46
Terminologi pengungsi menurut Konvensi 1951 adalah seseorang yang oleh karena rasa takut
yang wajar akan dianiaya berdasarkan ras, agama, kebangsaan, keanggotaan pada suatu
44
45
46

Ibid. Hlm. 36
Ibid.
Wagiman, Op Cit., Hlm. 99

32
Universitas Sumatera Utara

kelompok sosial tertentu, atau pandangan politik, berada diluar negeri kebangsaannya, dam tidak
dapat atau, karena rasa takut itu tidak berkehendak berada di dalam perlindungan negaranya.

Dengan istilah lain, refugee adalah pengungsi yang lari ke negara lain yang sudah jelas diatur
statusnya melalui Konvensi 1951 dan Protokol 1967.
Terdapat dua jenis pengungsi, yaitu pengungsi internal (Internal Displaced Person/IDP)
dan pengungsi lintas batas (refugee). Perbedaan keduanya hanya pada wilayah. Pengungsi
internal adalah pengungsi yang keluar dari wilayah tertentu dan menempati wilayah lain tetapi
masih dalam satu daerah kekuasaan satu negara. Sedangkan pengungsi lintas batas merupakan
mereka yang mengungsi ke negara lain.
Istilah-istilah yang berkaitan dengan pengungsi menurut Achmad Romsan 47, yaitu:
1. Migrant Economic (migran ekonomi)
Ia mendefinisikan istilah tersebut dengan “person who, in pursuit of employment or a
better over all standard of living (that is, motivated by economic considerations), leave their
country to take up residence elsewhere”.
Economic migrant adalah orang-orang yang mencari pekerjaan atau penghidupan yang
layak (karena pertimbangan ekonomi) meninggalkan negaranya untuk bertempat tinggal
dimanapun.

47

Achmad Romsan, Op Cit., Hlm. 29-34


33
Universitas Sumatera Utara

2. Refugees Sur Place (pengungsi sur place)
Romsan mendefinisikannya sebagai “A person who was not a refugee when she left her
country, but who became a refugee at a later date. A person becames a refugee sur place due to
circumstances arising in her country of origin during her absence”.
Refugee sur place merupakan seseorang atau sekelompok orang yang bukan pengungsi
sewaktu berada di negaranya namun kemudian menjadi pengungsi karena keadaan di negara
asalnya sewaktu orang atau kelompok orang tersebut tidak berada di negaranya.
3. Statutory Refugees (pengungsi statuta)
Pengertian pengungsi statuta adalah “Persons who meet the definitions of international
instruments concerning refugees prior to the 1951 Convention are usually referred to as
“statutory refugees”.
Statutory refugees adalah orang-orang yang memenuhi kriteria sebagai pengungsi
menurut instrumen-instrumen internasional sebelum tahun 1951. Istilah ini hanya dipakai untuk
membedakan antara “pengungsi sebelum Konvensi 1951” dengan “pengungsi menurut konvensi
1951”.
4. War Refugees (pengungsi perang)
Pengungsi perang adalah “Persons compelled to leave their country of origin as a result

of international or national armed conflicts are not normally considered refugees under the 1951
Conventions of the 1967 Protocol. They do, however, have the protection provided for in other
international instrument, i.e. the Geneva Convention of 1949, et. al. In the case of forces

34
Universitas Sumatera Utara

invasion and subsequent occupation, occupying forces may begin to persecute segments of the
populations. In such cases, asylum seekers may meet the conditions of the Convention definition.
War refugees adalah mereka yang terpaksa meninggalkan negara asalnya akibat
pertikaian bersenjata yang bersifat internasional atau nasional yang tidak dianggap pengungsi
biasa menurut Konvensi 1951 atau Protokol 1967. Pengungsi jenis ini mendapat perlindungan
menurut instrumen internasional yang lain, yakni Konvensi-Konvensi Jenewa 1949.
5. Mandate Refugee (pengungsi mandat)
Mandat dipergunakan untuk menunjuk orang-orang yang diakui statusnya sebagai
pengungsi oleh UNHCR sesuai dengan fungsi, wewenang, atau mandat yang ditetapkan oleh
statuta UNHCR. Istilah pengungsi mandat dipergunakan terhadap para pengungsi yang berada di
bawah kewenangan atau mandat UNHCR seperti :
a) Orang-orang yang diakui sebagai pengungsi oleh UNHCR, dimanapun mereka berada,
sebelum berlakunya Konvensi 1951 pada 22 April 1964 dan/sebelum berlakunya

Protokol 1967 pada 4 Oktober 1967,
b) Orang-orang yang diakui sebagai pengungsi oleh UNHCR yang berada di luar negaranegara pihak pada Konvensi 1951 (sesudah mulai berlakunya Konvensi 1951 sejak 22
April 1954) dan/atau Protokol 1967 (sesudah mulai berlakunya protokol ini sejak 4
Oktober 1967).
Pengungsi mandat adalah seseorang yang memenuhi kriteria statuta UNHCR sebagai
pengungsi dan oleh karena nya mendapat perlindungan dari PBB, baik yang bersangkutan berada
di dalam atau di luar negara peserta Konvensi 1951 atau Protokol 1967.

35
Universitas Sumatera Utara

Pengertian lain dari pengungsi mandat adalah seseorang yang mengklaim dirinya pencari
suaka sebagai pengungsi atau bukan, yang diberi status, diberi kartu identitas kepada mereka
yang telah dinyatakan sebagai pengungsi, dan dilakukan terhadap mereka seperti pencegahan
penahanan, pengusiran, atau pengembalian paksa pengungsi ke tempat wilayah pengungsi yang
sedang terjadi persekusi.
6. Statute Refugee (pengungsi statuta)
Pengungsi Konvensi dipergunakan untuk menunjuk pada orang-orang yang berada di
dalam wilayah negara-negara pihak pada Konvensi 1951 (setelah mulai berlakunya Konvensi
1951 sejak 22 April 1954) dan/atau Protokol 1967 (sesudah mulai berlakunya protokol ini sejak

4 Oktober 1967), yang statusnya sebagai pengungsi diakui oleh negara-negara pihak Konvensi
1951 dan/atau Protokol 1967 berdasarkan ketentuan-ketentuan atau kriteria yang ditetapkan oleh
instrumen-instrumen tersebut.
Pengungsi statuta adalah orang-orang yang memenuhi kriteria sebagai pengungsi
menurut instrumen-instrumen sebelum tahun 1951.
7. Internally Displaced Person/IDP’s (pengungsi dalam negeri)
Istilah Internally Displaced Persons/IDP’s digunakan oleh PBB dan UNHCR pertama
kali pada tahun 1972 untuk menunjuk orang-orang di Sudan, yang karena terjadi konflik
bersenjata internal di negara itu terpaksa meninggalkan kampung halamannya untuk pergi ke
tempat-tempat lain yang lebih aman, tetapi masih dalam wilayah negara mereka sendiri. Istilah
ini dipakai sampai pada tahun 1974.

36
Universitas Sumatera Utara

UNHCR mengartikan istilah Displaced Persons/DP’s sebagai orang-orang yang karena
konflik bersenjata internal di negara itu terpaksa meninggalkan kampung halamannya untuk
pergi ke tempat-tempat lain yang lebih aman, tetapi masih di dalam wilayah negara mereka
sendiri. Sejak tahun 1975 UNHCR dan PBB memakai istilah ini untuk merujuk orang-orang
yang meninggalkan kampung halamannya untuk pergi ke tempat lain yang dirasanya aman,

sebagai akibat terjadinya konflik bersenjata di negara asalnya, tetapi yang (sudah) berada diluar
perbatasan negara asalnya. Untuk displaced persons dalam pengertian semula (tetap masih
berada dalam wilayah negara yang sama), dan untuk itu UNHCR memakai istilah Internally
Displaced Persons/IDP’s.
Istilah displaced persons dalam berbagai resolusi Majelis Umum tahun 1975 yang
memberikan hak kepada UNHCR untuk memberikan bantuan dan perlindungan kepada orangorang terlantar (persons displaced) di luar negara asal yang tidak dimasukkan dalam “kondisi
seperti pengungsi”, akibat kejadian-kejadian (kadang-kadang sebagai “bencana buatan manusia”)
yang timbul dalam negara asal mereka.
Istilah internally displaced persons (IDPs) timbul karena adanya bahaya yang
mengancam keselamatan penduduk. Misalnya karena adanya pertikaian bersenjata, atau karena
banyaknya terjadi pelanggaran, pelanggaran hak asasi manusia atau karena terjadinya bencana
alam (natural disaster) seperti banjir, gempa, gunung meletus, kekeringan. Juga karena bencana
buatan manusia (man-made disaster).
8. Stateless Persons (orang-orang tanpa warga negara)
Stateless Persons adalah “persons who either from birth or as result of subsequent
changes in their country of origin are without citizenship”.
37
Universitas Sumatera Utara

Jadi orang yang termasuk stateless persons adalah setiap orang baik sejak kelahiran atau

akibat perubahan di dalam negara asalnya menjadi tanpa kewarganegaraan. Berarti ada dua
penyebab seseorang dapat menjadi tidak bernegara, yaitu sejak lahir atau akibat perubahan dalam
negara asalnya. Upaya internasional dalam rangka mengurangi “stateless persons” sudah ada
yaitu melalui “The Convention on the Reduction of Statelessnes (1961)”.
Pengertian lain dari stateless persons adalah seseorang yang berada diluar negara
kewarganegaraannya atau apabila tidak memiliki kewarganegaraannya, yang disebabkan karena
mempunyai atau pernah mempunyai rasa kecemasan yang berdasar atas persekusi karena alasan
ras, agama, rumpun bangsa, atau opini politik yang dapat atau tidak dapat, berdasarkan
kecemasan

tersebut

tidak

mau

memanfaatkan

perlindungan


pemerintah

negara

kewarganegaraannya. 48
Dengan adanya istilah-istilah yang berkaitan dengan hukum pengungsi maka dapat
mengetahui dan dapat membedakan antara pengungsi itu sendiri dengan istilah-istilah yang
berkaitan dengan hukum pengungsi, karena terkadang masyarakat awam berpandangan
semuanya itu sama pengertiannya.
Dalam Pasal 1 Konvensi 1951 tentang Status Pengungsi, definisi pengungsi secara umum
adalah sebagai berikut : 49
“As a result of events occurring before 1 January and owing to well-founded fear of being
persecuted for reason of race, religion, nationality, membership, of particular social group or
political opinions, is outside the country of his nationality and is unable or, owing to such fear, is

48

www.komnasham.go.id (diakses pada hari minggu 17 Mei 2015, pukul 10.00 WIB)
Convention and protocol relating to the status of refugees, diakses dari http://www.unhcr.org/3b66c2aa10.html
diakses pada hari minggu 17 Mei 2015, pukul 11.00 WIB

49

38
Universitas Sumatera Utara

unwilling to avail himself of the protection of that country of his former habitual residence as a
result of such events, is unable or, owing to such fear, is unwilling to return to it”.
Pasal tersebut memaparkan bahwa “Sebagai akibat dari peristiwa-peristiwa yang terjadi
sebelum 1 Januari 1951, dengan rasa takut yang mendalam akan mengalami persekusi karena
alasan rasial, agama, kebangsaan, keanggotaan pada kelompok sosial tertentu, maupun opiniopini politik yang mereka anut, berada diluar negara asalnya, serta tidak mampu, atau karena
rasa takutnya, menolak memanfaatkan perlindungan yang disediakan oleh negara dimana ia
sebelumnya berasal akibat peristiwa-peristiwa yang telah terjadi, tidak mampu, atau karena rasa
takutnya, menolak kembali kenegara tersebut”.
Konvensi 1951, yang rancangannya dibuat sebagai hasil rekomendasi dari Komisi Hak
Asasi Manusia PBB yang baru saja dibentuk, menjadi petunjuk dalam menyusun standar
perlakuan terhadap pengungsi.
Konvensi menyusun standar minimum bagi perlakuan terhadap pengungsi, termasuk hak
dasar mereka. Konvensi juga menetapkan status hukum pengungsi, dan mencantumkan
ketentuan-ketentuan tentang hak mereka untuk mendapatkan pekerjaan dan kesejahteraan,
mengenai surat keterangan jati diri dan dokumen perjalanan, mengenai penerapan biaya fiskal,
dan mengenai hak mereka untuk memindahkan aset miliknya ke negara lain dimana mereka telah
diterima dengan tujuan permukiman kembali.
Konvensi melarang pengusiran dan pemulangan paksa terhadap orang-orang berstatus
pengungsi. Pasal 33 Konvensi menetapkan bahwa “tidak satupun negara pihak dapat mengusir
atau mengembalikan (memulangkan kembali) pengungsi dengan alasan apapun ke wilayah
perbatasan dimana jiwa atau kemerdekaan mereka akan terancam karena pertimbangan ras,
39
Universitas Sumatera Utara

agama, kewarganegaraan, anggota dari kelompok sosial atau pendapat politik tertentu”. Pasal 34
membahas persoalan naturalisasi dan asimilasi bagi pengungsi. Ketentuan-ketentuan lain
berkenaan dengan masalah hak atas akses terhadap pengadilan, pendidikan, jaminan sosial,
perumahan dan kebebasan untuk bergerak.
Konvensi 1951 ini lebih maju dibandingkan dengan instrumen-instrumen pengungsi
lainnya, misalnya: 50


Pasal 1 yang memuat tentang definisi pengungsi. Definisi ini dirumuskan sangat umum
sekali.



Konvensi ini memuat prinsip non refoulement yang diatur dalam pasal 33.



Konvensi ini menetapkan standar minimum tentang perlakuan terhadap pengungsi,
termasuk hak-hak dasar yang harus dimiliki oleh pengungsi serta kewajiban-kewajiban
yang harus dipatuhi oleh seorang pengungsi.



Konvensi mengatur tentang status yuridis pengungsi, hak untuk mendapatkan pekerjaan
dan kesejahteraan lainnya.



Konvensi ini mengatur tentang Kartu Tanda Pengenal (KTP), dokumen perjalanan, tentang
naturalisasi, serta hal-hal yang berkaitan dengan masalah administrasi lainnya.



Konvensi menghendaki agar negara bekerjasama dengan UNHCR dalam melaksanakan
fungsinya, serta memfasilitasi tugas supervise dalam penerapan konvensi.
Konvensi 1951 hanya dapat bermanfaat bagi orang yang menjadi pengungsi akibat

peristiwa yang terjadi sebelum 1 Januari 1951. Namun tahun-tahun setelah 1951 membuktikan
bahwa pergerakan pengungsi tidak hanya merupakan dampak sementara dari Perang Dunia

50

Achmad Romsan, Op Cit., Hlm. 88

40
Universitas Sumatera Utara

Kedua dan keadaan pasca perang. Sepanjang tahun-tahun terakhir 1950-an dan 1960-an muncul
kelompok-kelompok pengungsi baru, terutama di Afrika. Para pengungsi ini membutuhkan
perlindungan yang tidak dapat diberikan pada mereka karena batas waktu yang ditetapkan oleh
Konvensi 1951.
Dengan diberlakukannya Protokol tanggal 31 Januari 1967 tentang Status Pengungsi,
maka terlihat perubahan pada pemaknaan pengungsi yang tidak hanya terbatas lagi pada
pengungsi yang muncul sebagai akibat dari peristiwa yang terjadi sebelum tanggal 1 Januari
1951, melainkan menjadi pengungsi yang muncul akibat peristiwa yang terjadi sebelum maupun
sesudah tanggal 1 Januari 1951.

B. Sebab-sebab Terjadinya Pengungsi
Latar belakang terjadinya pengungsi dapat dikelompokkan dalam dua jenis, yakni :
1. Pengungsian karena bencana alam (natural disaster). Pengungsian ini pada prinsipnya
masih dilindungi negaranya keluar untuk menyelamatkan jiwanya, dan orang-orang ini
masih dapat minta tolong pada negara dari mana ia berasal.
2. Pengungsian karena bencana yang dibuat manusia (man made disaster). Pengungsian ini
pada prinsipnya pengungsi keluar dari negaranya karena menghindari tuntutan
(persekusi) dari negaranya, orang-orang ini tidak lagi mendapat perlindungan dari
pemerintah dimana ia berasal.

41
Universitas Sumatera Utara

Dari dua jenis pengungsi diatas yang diatur oleh Hukum Internasional sebagai Refugee
Law (hukum pengungsi) adalah jenis yang kedua, sedang pengungsi karena bencana alam itu
tidak diatur dan dilindungi oleh Hukum Internasional.

Prinsip Penentuan Status Pengungsi
Untuk menentukan status pengungsi dapat digunakan kriteria yang terdiri dari
unsur/faktor, yaitu faktor subjektif dan obyektif.
Faktor subyektif adalah faktor yang terdapat pada diri pengungsi itu sendiri (yang
meminta status pengungsi), faktor inilah yang menentukan ialah apakah pada diri orang tersebut
ada rasa ketakutan atau rasa kekhawatiran akan adanya persekusi atau penuntutan, maka jika ada
alasan ketakutan maka dapat dikatakan orang tersebut Eligibility (kelayakan), ketakutan itu
dinilai dari takut terhadap tuntutan negaranya dan terancam kebebasannya.
Faktor objektif adalah keadaan asal pengungsi. Di negara tersebut apakah benar-benar
terhadap persekusi terhadap orang-orang tertentu. Misalnya akibat perbedaan ras. Perbedaan
agama, karena suatu pandangan politik atau yang lainnya. Kalau keadaan tersebut pada
negaranya memang demikian, maka keadaan ini bisa membuat seseorang menjadi Eligibility.
Seseorang tidak dapat dinyatakan sebagai Eligibility ialah :
1) Orang-orang yang melarikan diri keluar negeri, karena alasan ekonomi agar bisa lebih
baik, mereka ini tidak bisa disebut sebagai pengungsi.
2) Kaum Emigran, yaitu kaum yang pindah dari suatu negara ke negara lain tidak bisa
disebut sebagai pengungsi.
42
Universitas Sumatera Utara

3) Pindah ke negara lain untuk mendapatkan kenikmatan pribadi.
Untuk menentukan seseorang adalah pengungsi internasional rujukan yuridisnya adalah
Konvensi Wina 1951 tentang Status Pengungsi pada Pasal 1 bagian A poin 2, yang berbunyi :
“sebagai akibat peristiwa-peristiwa yang terjadi sebelum 1 Januari 1951 dan dikarenakan
ketakutan yang beralasan akan disiksa karena alasan-alasan ras, agama, kewarganegaraan,
keanggotaan dari suatu kelompok sosial tertentu atau pendapat politik, ada diluar
kewarganegaraannya dan tidak dapat, atau karena ketakutan tersebut tidak mau memanfaatkan
kesempatan untuk memperoleh perlindungan dari negara yang bersangkutan, atau yang karena
tidak mempunyai kewarganegaraan dank arena berada di luar negara bekas tempat tinggalnya,
sebagai akibat peristiwa-peristiwa tersebut, tidak memungkinkan atau, dikarenakan ketakutan
tersebut, tidak mau kembali kebekas tempat tinggalnya itu”. 51
Dari pasal ini dapat ditarik beberapa poin yang berkaitan dengan status orang, kelompok
yang kemudian dapat dikatakan Pengungsi Internasional. Poin itu adalah karena alasan-alasan
ras, agama, kewarganegaraan, keanggotaan dari suatu kelompok sosial tertentu atau pendapat
politik. Namun poin yang paling menentukan seseorang bisa dikategorikan sebagai pengungsi
adalah mengenai ancaman terhadap jiwa mereka apabila tetap berada di negara asal mereka.
Pasal ini berkaitan dengan jaminan Hak Asasi Manusia.
Prinsip penentuan status seseorang agar dapat disebut sebagai pengungsi diatur secara
yuridis seperti dalam Konvensi 1951 didalam nya juga mengatur tentang ‘The exclusion clauses’
dan ‘The cessasions clauses’. Suatu keadaan dimana seseorang tidak diberikan status sebagai
pengungsi yang termasuk dalam kategori ‘The exclusion clauses’ kalau telah memenuhi kriteria

51

http://www.amankpermahimakassar.blogspot.com (diakses pada hari Jumat 5 Juni 2015 pada pukul, 10.40 WIB)

43
Universitas Sumatera Utara

sebagai pengungsi namun tidak membutuhkan atau berhak untuk mendapatkan perlindungan,
misalnya dalam Konvensi 1951, hal ini berarti bahwa status pengungsi itu sudah ada sebelum
yang bersangkutan dinyatakan secara formal atau resmi. Oleh karena itu, pengakuan seseorang
menjadi pengungsi sebenarnya tidak membuat orang itu menjadi pengungsi tetapi hanya
pengakuan yang menyatakan bahwa statusnya adalah pengungsi.
Penetapan seseorang menjadi pengungsi merupakan proses yang terjadi dalam dua tahap,
yakni :


Penemuan atau penetapan yang menentukan bahwa dari fakta yang ada memang orang
tersebut adalah refugee.



Fakta dihubungkan dengan persyaratan-persyaratan dalam Konvensi 1951 dan Protokol
1967. Setelah itu, dihubungkan apakah yang bersangkutan memang merupakan pengungsi
atau bukan.
Selanjutnya, dengan adanya perbedaan dalam menentukan status pengungsi oleh

beberapa negara, maka Excom No.8 Tahun 1977 52 mengonklusikan beberapa standar dasar yang
perlu ditegakkan agar tercipta prosedur yang adil dan efesien. Standar-standar tersebut yakni :
1. Petugas-petugas yang menangani proses pemberian status suaka harus mempunyai
keterampilan yang memadai, dalam hal ini termasuk pula pemahaman akan prinsip non
refoulement dan segera menyerahkan ke pihak yang berwenang atau memiliki otoritas.
2. Pencari suaka berhak atas informasi yang jelas akan prosedur yang digunakan dan
mendapat semua bantuan yang diperlukan seperti penerjemah beserta hal lainnya.
3. Pencari suaka harus dapat menghubungi pihak UNHCR jika meminta.
52

Excom No. 8 Tahun 1977 yakni Executive Commite on the International Protection of Refugee UNHCR.

44
Universitas Sumatera Utara

4. Pencari suaka berhak mengajukan banding atau permohonan tersendiri jika permohonan
suakanya ditolak.
5. Pencari suaka mendapatkan tempat naungan sementara hingga suakanya selesai diproses,
termasuk selama proses banding atau permohonan lainnya.
Perlindungan pengungsi mempunyai tujuan utama menemukan solusi jangka panjang
bagi para pengungsi agar dapat mengakhiri status kepengungsiannya dan mendapatkan kembali
kehidupan yang normal yang tadinya masih harus memiliki rasa takut dan harus mengungsi
keluar dari negara asalnya. Solusi yang diberikan dapat berupa repatriasi 53, integrasi lokal 54,
ataupun resettlement 55.

Kedudukan dan Hak Pengungsi
Kedudukan sebagai pengungsi tidak berlaku abadi artinya bisa berhenti, persoalan yang
timbul adalah jangan sampai pengungsi itu bisa dirugikan statusnya sebagai pengungsi secara
sewenang-wenang. Oleh karena itu penghentian status pengungsi harus didasarkan pada
ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam konvensi. Adapun yang menjadi hak dan kewajiban
pengungsi adalah sebagai berikut

56

a) Negara-negara peserta konvensi tidak boleh memperlakukan pengungsi berdasarkan
politik diskriminasi baik yang berkenaan dengan ras,agama atau negara asal maupun
warna kulit dan mereka mempunyai kebebasan untuk menjalankan agamanya serta
53

Repatriasi merupakan pemulangan pengungsi secara sukarela dan direitegrasikan ke dalam negara asalnya.
Integrasi lokal merupakan penawaran terhadap pengungsi untuk menetap di negara yang memberikannya suaka.
Hal ini biasa disebut sebagai naturalisasi.
55
Resettlement atau pemukiman kembali merupakan pemukiman kembali pengungsi di negara ketiga yang mau
menerima mereka secara permanen.
56
Sukanda Husin, UNHCR dan Perlindungan Hak Azasi Manusia, Jurnal Hukum No.7 Th. V 1998. Hlm. 32-34
54

45
Universitas Sumatera Utara

kebebasan bagi pendidikan anak-anak mereka ditempat mana mereka ditampung (Pasal 3
dan 4). Ini merupakan hak non diskriminasi.
b) Mengenai status pribadi para pengungsi diatur sesuai dengan hukum dimana mereka
berdomisili. Jika mereka tidak mempunyai domisili, status pribadi mereka diatur oleh
hukum dimana mereka ditempatkan (place of residence). Hak yang berkaitan dengan
perkawinan juga harus diakui oleh negara peserta Konvensi dan Protokol (Pasal 12). Ini
merupakan hak status pribadi.
c) Seorang pengungsi mempunyak hak yang sama dalam hal untuk mempunyai atau
memiliki hak milik baik bergerak maupun tidak bergerak dan menyimpannya seperti
halnya orang lain dan juga dapat mentransfer assetnya ke negara dimana dia akan
menetap (Pasal 13,14 dan 30). Ini merupakan hak kesempatan atas hak milik.
d) Negara peserta Konvensi harus mengakui kebebasan pengungsi untuk berserikat dengan
mendirikan perkumpulan termasuk perkumpulan dagang sepanjang perkumpulan itu
bersifat non-profit dan non-politis (Pasal 15). Ini merupakan hak berserikat.
e) Apabila ada suatu perkara yang dialami oleh para pengungsi dimana mereka ingin
menyelesaikannya melalui badan peradilan, maka dalam ini mereka harus dianggap sama
dengan warganegara lainnya jadi mereka mempunyai kebebasan untuk mengajukan
gugatannya di siding pengadilan dimana mereka ditempatkan bahkan bila diperlukan
mereka harus diberikan bantuan hukum (Pasal 16). Ini merupakan hak berperkara di
pengadilan.
f) Bagi para pengungsi yang telah ditempatkan secara tetap di suatu negara dan telah diakui
menurut hukum, maka mereka mempunyai hak untuk mendapatkan pekerjaan serta
mendirikan suatu perusahaan dagang dan pekerjaan bebas lainnya, dimana pekerjaan

46
Universitas Sumatera Utara

bebas ini harus sesuai dengan ketentuan yang telah diakui, seperti tanda sertifikat,
gunanya adalah mengetahui keahlian untuk ditempatkan pada suatu pekerjaan yang cocok
(Pasal 17, 18 dan 19). Ini merupakan hak atas pekerjaan yang menghasilkan.
g) Setiap pengungsi akan mendapat perlakuan yang sama dengan warganegara lainnya atas
hak memperoleh pendidikan sekolah dasar. Karenanya, setiap pengungsi berhak pula atas
pembebasan biaya pendidikan tertentu termasuk juga hak untuk memperoleh beasiswa
(Pasal 22). Ini merupakan hak atas pendidikan dan pengajaran.
h) Setiap pengungsi diberikan kebebasan yang seluas-luasnya untuk memilih di daerah atau
provinsi mana mereka akan menetap sepanjang pilihan itu masih berada dalam teritorial
negara dimana ia ditempatkan (Pasal 26). Ini merupakan hak kebebasan bergerak.
i) Setiap pengungsi akan dapat menikmati hak-hak atas kesejahteraan sosial, seperti hak
untuk bekerja, perumahan, mendapatkan upah dari pekerjaan yang mereka lakukan (Pasal
20 dan 22). Ini merupakan hak atas kesejahteraan sosial.
j) Setiap pengungsi berhak atas surat-surat identitas dan dokumen perjalanan ke luar dari
teritorial negara dimana dia ditempatkan kecuali karena alasan keamanan dan
kepentingan umum. Dokumen yang dikeluarkan atas perjanjian internasional akan diakui
oleh negara peserta Konvensi (Pasal 27 dan 28). Ini merupakan hak atas tanda pengenal
dan dokumen perjalanan.
k) Dalam hal ini pengungsi telah ditempatkan secara tetap di suatu negara, tidak aka nada
dilakukan tindakan pengusiran ke wilayah dimana kehidupannya akan terancam serta
tidak aka nada penghukuman terhadap pengungsi yang masuk secara tidak sah, kecuali
jika keamanan nasional menghendaki lain, seperti mereka melakukan kekacauan dimana
mereka tinggal (Pasal 31, 32 dan 33). Ini merupakan hak untuk tidak diusir.

47
Universitas Sumatera Utara

Selain dari hak-hak pengungsi yang disebutkan diatas, Konvensi juga telah menggariskan
kewajiban pengungsi sebagaimana tercantum dalam Pasal 2 Konvensi.
“Every refugee has duties to the country in which he finds himself, which require in particular
that he conform to its laws and regulations as well as to measures taken for maintenance of
public order”.
Berdasarkan Pasal 2 diatas setiap pengungsi berkewajiban untuk mematuhi semua hukum
dan peraturan atau ketentuan-ketentuan untuk menciptakan ketertiban umum di negara dimana
dia ditempatkan. Hak Asasi Manusia yang diatur dalam Universal Declaration of Human Rights
diatas merupakan pengaturan umum. Pengaturan yang lebih rinci dapat dilihat di dalam
International Convenant on Economic, Social and Cultural Rights dan International Convenant
on Civil and Political Rights serta protokol-protokol tambahannya.

C. Pengungsi di Indonesia
Banyaknya pengungsi yang masuk ke Indonesia sangat logis, karena lokasi geografis
Indonesia yang sangat strategis. Para pengungsi tersebut sebagian besarnya hendak menuju
Australia, Kanada, Amerika Serikat, Selandia Baru dan Norwegia. Motif terbesar dari para
pengungsi tersebut adalah menghindari persekusi, atau menghindari perang yang terjadi di
negaranya.
Sebagai negara yang mempunyai posisi geografis yang sangat strategis membuat
Indonesia harus menerima konsekuensi sebagai wilayah yang terbuka dengan dunia luar
khususnya yang berbatasan dengan negara terdekat. Salah satu konsekuensinya adalah adanya

48
Universitas Sumatera Utara

dampak konflik, peperangan, atau kekalutan sosial ekonomi yang dialami suatu negara lain baik
yang berbatasan maupun yang tidak berbatasan. Dampak tersebut berupa masuknya ribuan
pencari suaka atau yang biasa disebut asylum seeker yang ingin mendapatkan status pengungsi.
Mereka masuk melalui beberapa perbatasan di wilayah Indonesia, dan Indonesia dijadikan
sebagai negara transit sebelum mereka di tempatkan di tujuan akhirnya yakni Australia misalnya.
Beberapa faktor yang menyebabkan Indonesia dipilih sebagai negara transit diantaranya
adalah pertama, Indonesia memiliki wilayah laut yang luas dan garis pantai yang panjang, namun
tidak didukung oleh aturan hukum yang tegas. Sehingga dengan mudah dimanfaatkan bagi para
pengungsi dan pencari suaka untuk memasuki wilayah Indonesia. Kedua, posisi Indonesia sangat
lemah dalam mengatasi masalah para pencari suaka dan pengungsi dari negara lain karena tidak
memiliki peraturan nasional yang secara khusus membahas masalah tersebut. Ketiga, kurangnya
sarana dan prasarana yang dimiliki dalam penanganan pengungsi dan pencari suaka untuk
mengawasi perairan Indonesia secara intensif. Keempat, keberadaan UNHCR di Indonesia juga
menjadi daya tarik pengungsi. Kelima, kultur atau budaya masyarakat Indonesia dapat dengan
mudah menerima kedatangan dan keberadaan para pengungsi. Keenam, Indonesia telah hidup
rukun dengan berbagai macam suku, agama dan budaya yang beranekaragam.
Keberadaan jumlah pengungsi yang cenderung meningkat inilah yang membuat usaha
penanganan pengungsi terus diperhatikan oleh pemerintah Indonesia. Di sisi lain, Indonesia tidak
memiliki undang-undang khusus atau peraturan hukum nasional mengenai pengungsi maupun
pencari suaka. Namun demikian, hak untuk mencari suaka dijamin di dalam Undang-undang
Dasar Republik Indonesia tahun 1945, Pasal 28G ayat (2) yang berbunyi “setiap orang berhak
untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat manusia dan berhak
memperoleh suaka politik dari negara lain”. Undang-undang HAM No.39 Tahun 1999 Pasal 28
49
Universitas Sumatera Utara

juga menjamin bahwa setiap orang berhak mencari suaka untuk memperoleh perlindungan
politik dari negara lain.
Hingga saat ini Indonesia belum meratifikasi Konvensi dan Protokol tentang Status
Pengungsi. Menurut H Sukamta anggota Komisi I DPR Fraksi PKS pemerintah belum
meratifikasi Konvensi tersebut karena adanya pasal-pasal dalam Konvensi yang dinilai
memberatkan pemerintah Indonesia seperti keharusan bagi negara peratifikasi untuk memberikan
kebebasan kepada pengungsi dalam mendapatkan pekerjaan yang menghasilkan upah,
melakukan usaha sendiri seperti pertanian dan mendirikan perusahaan. 57
Pasal yang lain juga menyatakan bahwa pengungsi mempunyai hak untuk mendapatkan
pendidikan dan pemerintah berkewajiban untuk memenuhinya. Pemerintah tentunya mengalami
dilematis, pada satu sisi amanat UUD NRI 1945 menjunjung kebebasan dan perlindungan bagi
para pencari suaka, tapi pada sisi lain juga pemerintah Indonesia akan lebih memprioritaskan
warga negaranya sendiri untuk dipenuhi kebutuhan hidupnya. 58
Sementara itu jika Indonesia mengikatkan diri kepada Konvensi 1951, beberapa pihak
beranggapan bahwa tindakan tersebut hanya akan menambah kewajiban bagi Indonesia,
sementara manfaat dari ratifikasi Konvensi tersebut masih diperdebatkan, memang beberapa
pihak meyakini akan ada beberapa manfaat dari ratifikasi Konvensi tersebut, tetapi letak
keseimbangan antara manfaat yang diperoleh dibandingkan dengan kewajiban yang memang
jelas bertambah juga masih dipertanyakan.

57

Nasional.sindonews.com/read/1001655/17/semangat-konstitusi-dalam-menyikapi-pengungsi-rohingya1431702333 diakses pada hari Jumat 5 Juni 2015, pukul 12.20 WIB
58
Ibid.

50
Universitas Sumatera Utara

Tetapi Indonesia telah meratifikasi beberapa instrumen HAM internasional dan regional,
antara lain:

59



Konvensi Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR)



Konvensi Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (ICESCR)



Konvensi Penghaspusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW)



Konvensi tentang Hak-hak Anak



Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilities (CRPD)



Deklarasi Hak Asasi Manusia ASEAN
Menurut Undang-undang No.37 Tahun 1999 tentang hubungan luar negeri, menyatakan

bahwa pengungsi dan pencari suaka secara khusus diatur oleh Keppres (Keputusan Presiden),
namun sejauh ini belum ada Keppres yang dikeluarkan. Satu-satunya aturan hukum yang
digunakan oleh pemerintah Indonesia, khususnya pejabat imigrasi untuk mengatur soal pencari
suaka dan pengungsi adalah, surat ederan IMI-1489.UM.08.05 yang dikeluarkan oleh Dirjen
Imigrasi pada tahun 2010. Surat edaran tersebut mengatur bahwa setiap imigran yang mencari
suaka tidak akan dideportasi, mereka akan dirujuk ke UNHCR dan diizinkan tinggal (di
Indonesia) selama mereka memiliki sertifikat pengungsi yang dikeluarkan oleh UNHCR. Mereka
juga akan dibebaskan dari rumah detensi dengan persetujuan dari pejabat imigrasi, dan
selanjutnya akan disupport oleh IOM atau UNHCR. Bagi mereka yang ditolak permohonannya
(sebagai pengungsi) oleh UNHCR, akan dimasukkan ke rumah detensi, dikarenakan denda,
dan/atau dideportasi. 60

59
60

Suaka.or.id/public-awareness/human-rights-framework/ diakses pada hari Jumat 5 Juni 2015, pukul 12.35 WIB
Ibid.

51
Universitas Sumatera Utara

Indonesia mulai menghadapi persoalan pengungsi yang serius pada tahun 1975. Beratusratus orang meninggalkan wilayah semenanjung Indocina (Kamboja, Laos, dan Vietnam) untuk
mencari perlindungan di negara-negara lain sebagai akibat dari pergantian rezim di wilayah
tersebut. Kebanyakan dari mereka terutama dari Vietnam, menggunakan jalan laut sampai di
Indonesia. Saat itu, Indonesia tidak terdapat kantor UNHCR. Untuk menjamin penerimaan
terhadap mereka dan tempat tinggal mereka di Indonesia, UNHCR bertindak melalui Misi
Permanen Indonesia di Jenewa dan kantor cabangnya di Bangkok, serta mengirimkan stafnya
untuk misi jangka pendek. Seorang staf ditugaskan untuk jangka waktu panjang dan kantor di
Indonesia dikoordinasikan oleh kantor cabang UNHCR di Kuala Lumpur. Dengan dibukanya
tempat pengungsi di Pulau Galang, sejak tahun 1981 kantor UNHCR di Jakarta menjadi kantor
cabang sendiri.
Masalah pengungsi merupakan masalah yang sangat serius yang dihadapi oleh
masyarakat internasional yang penanggulangannya memerlukan

kerjasama masyarakat

internasional secara keseluruhan. Masuknya para pengungsi ke wilayah Indonesia yang
jumlahnya cenderung meningkat dapat menimbulkan gangguan kehidupan sosial, politik,
keamanan dan ketertiban masyarakat. Apalagi jika keberadaan mereka disusupi oleh kegiatan
terorisme internasional, trafficking in person atau kegiatan kriminal lainnya. 61
Pergerakan dan perpindahan manusia sebagai individu atau kelompok akan mempunyai
dampak, baik yang bersifat positif maupun negatif pada individu atau kelompok penerima.
Pengaruh sosial dan budaya terjadi karena adanya interaksi di antara mereka, baik di lingkungan
pendatang maupun penerima.

61

www.academia.edu/3774645/PERANAN_UNHCR_DALAM_MELINDUNGI_PENGUNGSI_DI_INDONESIA
(diakses pada hari Sabtu 6 Juni 2015, pukul 10.00 WIB)

52
Universitas Sumatera Utara

Negara berkepentingan melalui fungsi keimigrasian untuk tetap menjaga kondisi sosial
dan budaya yang ada dalam masyarakat agar pengaruh dari luar tidak merusak struktur sosial
budaya masyarakatnya. Fungsi keimigrasian melalui kebijakan yang diberlakukan oleh
pemerintah harus mampu menyaring serta mengatur hak-hak yang tidak diinginkan. Untuk
mencegah terjadinya hal-hal negatif tersebut, maka penanganan imigran illegal harus dilakukan
dengan baik dengan mengutamakan pengamanan (maximum security) dan penegakan kedaulatan
negara. Cara penanganan tersebut tentu berdasarkan aturan hukum baik nasional maupun
internasional.
Indonesia memiliki suatu sistem hukum nasional yang berdaulat penuh dan berlaku
dalam yurisdiksi seluruh negara. Namun Indonesia dalam konteks relasi internasional tidak dapat
lepas dari hukum internasional. Hukum internasional yang dipahami dan diterima sebagai
keinginan dan komitmen masyarakat internasional menjadi pertimbangan penting saat
menyangkut hubungan dengan negara lain. Hukum internasional tertentu mengingat urgensinya
bagi kepentingan negara dan atau penghormatan terhadap masyarakat nasional dijadikan atau
diadopsi menjadi hukum nasional melalui suatu ratifikasi. 62
Ratifikasi merupakan proses menjadikan suatu instrumen internasional menjadi hukum
nasional. Instrumen internasional secara resmi menjadi bagian dari hukum nasional, oleh
karenanya ia mengikat secara hukum. Oleh karena itu, haruslah dibedakan antara instrumen
internasional dengan instrumen nasional. Instrumen internasional hanya menyatakan keharusan

62

Wagiman, 2012, Hukum Pengungsi Internasional, Sinar Grafika, Jakarta Timur, Hlm. 129

53
Universitas Sumatera Utara

serta cara menyatakan persetujuan suatu negara. Namun pada instrumen nasional ditentukan
otoritas mana yang berwenang untuk menentukan persetujuan pengikatan berikut prosedurnya. 63
Namun, apabila menelusuri lebih jauh tentang konstitusi dan peraturan perundangundangan yang ada, sebenarnya ketentuan pencari suaka dan pengungsi bukannya tidak diatur
sama sekali, berikut sekilas mengenai ketentuan tersebut. 64
Pengaturan Tentang Pencari Suaka dan Pengungsi
No

UUD dan Peraturan Perundang-

Rumusan

Undangan
1

UUD 1945 Pasal 28 G

Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau
perlakuan

yang

merendahkan

derejat

martabat

manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari
negara lain.
2

TAP MPR No.XVII/MPR/1998

TAP MPR ini terdiri dari tiga bagian, salah satu
bagiannya mengakui keberadaan Deklarasi Universal
Hak Asasi Manusia (DUHAM), yang mana dalam
salah satu pasalnya, yaitu pasal 24 mengatur bahwa
“setiap

orang

berhak

mencari

suaka

untuk

memperoleh perlindungan politik dari negara lain”.
3

Undang-undang
2005

tentang

No.12

Tahun Pasal 12 ayat (2): Setiap orang bebas untuk

Pengesahan meninggalkan negara manapun termasuk negaranya.

63

Boer Mauna, 2005, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global, Alumni,
Bandung, Hlm. 115-116
64
PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum Volume 2 Nomor 1 Tahun 2015

54
Universitas Sumatera Utara

Konvensi Hak Sipil dan Politik Pasal 7: Setiap orang tidak boleh dijadikan sasaran
(UU Hak Sipol)
4

penyiksaan atau hukuman yang tidak manusiawi.

Undang-undang No.5 Tahun 1998 Pasal 3: Tidak boleh ada negara yang menolak,
tentang

Pengesahan

Menentang

Konvensi mengembalikan atau mengekstradisi seseorang ke

Penyiksaan

dan negara yang mana terdapat keyakinan/alasan yang

Perlakuan Lain yang Kejam, Tidak kuat bahwa dia akan berbahaya karena menjadi
Manusiawi,

atau

Merendahkan sasaran penyiksaan.

Martabat Manusia (UU CAT)
5

Undang-undang
1999

No.37

tentang Hubungan

Negeri (UU Hublu)

Tahun Pasal 25 ayat (1): Kewenangan pemberian suaka
Luar kepada orang asing berada ditangan Presiden dengan
memperhatikan pertimbangan Menteri.
Pasal 27 ayat (1): Presiden menetapkan kebijakan
masalah

pengungsi

dari

luar

negeri

dengan

memperhatikan pertimbangan Menteri.
6

Undang-undang No.6 Tahun 2011 Pasal
tentang

Keimigrasian

Keimigrasian)

86:

Ketentuan

tindakan

administratif

(UU keimigrasian tidak diberlakukan terhadap korban
perdagangan orang dan penyeludupan manusia.
Pasal 87: (1) Korban perdagangan orang dan
penyeludupan manusia yang berada di wilayah
Indonesia ditempatkan didalam Rumah Detensi
Imigrasi (Rudenim) atau di tempat lain yang
ditentukan.
(2) Korban perdagangan orang dan penyeludupan

55
Universitas Sumatera Utara

manusia sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mendapatkan perlakuan khusus yang berbeda dengan
Deteni pada umum nya.
Pasal 88: Menteri atau pejabat imigrasi yang ditunjuk
mengupayakan agar korban perdagangan orang dan
penyeludupan manusia yang berkewarganegaraan
asing segera dikembalikan ke negara asal mereka dan
diberikan surat perjalanan apabila mereka tidak
memilikinya.
7

Peraturan Dirjen Imigrasi No. IMI- Pada bagian menimbang secara jelas disebutkan
1489.UM.08.05

Tahun

2010 bahwa latar belakang diterbitkan peraturan Dirjen

tentang Penanganan Imigran Ilegal

Imigrasi adalah …bahwa dalam perkembangannya
kedatangan dan keberadaan orang asing sebagai
imigran illegal yang kemudian menyatakan dirinya
sebagai pencari suaka dan pengungsi…
Isi peraturan Dirjen menyangkut penanganan pencari
suaka dan pengungsi.

8

Pasal 206, 221, dan 223 Peraturan Ketentuan-ketentuan yang ada pada PP mengatur
Pemerintah No.31 Tahun 2013 tentang pendetensian pengungsi (imigran illegal)
tentang Keimigrasian

hingga 10 tahun. PP tersebut mengatur bahwa, setelah
10 tahun pendetensian mereka dapat dikeluarkan
dengan kewajiban melaporkan selama enam bulan
sekali dan kewajiban melaporkan ke kantor imigrasi

56
Universitas Sumatera Utara

apabila ada perubahan status dan pekerjaan mereka.

Lembaga Internasional yang Menangani Pengungsi
Gambaran umum mengenai perkembangan perlindungan pengungsi internasional yang
dilakukan oleh lembaga internasional adalah sebagai berikut 65:
1. Liga Bangsa-Bangsa
Lembaga ini dibentuk pada tahun 1921 dan berakhir pada tahun 1946. Meskipun lembaga
ini tidak berusia lama, tetapi justru banyak melahirkan instrumen-instrumen hukum mengenai
perlindungan para pengungsi. Selama periode Liga Bangsa-Bangsa, banyak badan dibentuk yang
dimaksudkan untuk membantu Komisi Agung Pengungsi. Seperti, The Nansen International
Office for Refugees (1931-1938), The Office of The High Commissioner for Refugee (19311938), The Office of The High Commissioner of The League of Nations for Refugees (19391946), dan Intergovermental Committee for Refugees (1938-1947).
2. UNRRA (United Nations Relief and Rehabilitation Administration)
Lembaga ini dibentuk pada tahun 1943, yang mempunyai tujuan untuk memukimkan
kembali (resettlement) para pengungsi ke negara mereka yang terlantar akibat Perang Dunia II.
Mandat UNRRA awalnya hanya enam bulan saja tetapi kemudian diperpanjang karena kerja
UNRRA semakin sulit mengingat terdapat 12.000.000 etnis Jerman dari Blok Timur yang tidak
ingin dipulangkan.
3. IRO (The International Refugee Organitation)
65

Achmad Romsan, 2003, Pengantar Hukum Pengungsi Internasional, Sanic Offset, Bandung. Hlm.62-69

57
Universitas Sumatera Utara

Lembaga ini didirikan pada tanggal 15 Desember 1946 dalam Resolusi 62 (1) dari
Majelis Umum PBB. Dari lembaga-lembaga yang lain (Liga Bangsa-Bangsa dan UNRRA), IRO
merupakan lembaga internasional pertama yang menangani masalah pengungsi secara
komprehensif. Hal ini terlihat dari registrasi, penentuan status pengungsi, repatriasi, sampai ke
penempatan kembali pengungsi. Tujuan IRO adalah merepatriasi para pengungsi, tetapi karena
perkembangan politik pasca perang Eropa tujuan tersebut beralih menjadi mengusahakan
penempatan para pengungsi. Selain itu IRO juga telah mengembangkan ukuran standar yang
berkaitan dengan migrasi dalam jumlah besar dan hanya akan dapat dicapai melalui usaha
koordinatif dalam kerangka badan internasional.
Dengan perkembangan dan perubahan keadaan maka dibentuklah lembaga khusus yang
menangani pengungsi di wilayah tertentu, seperti pengungsi Rusia, Jerman dan pengungsi
Palestina. Badan yang menangani pengungsi Rusia adalah Office of The High Commissioner for
Russian Refugees, untuk menangani pengungsi Jerman maka dibentuk High Commissioner for
Refugees Coming From Germany yang dibentuk pada tahun 1931.
Sedangkan untuk menangani pengungsi Palestina pada tahun 1950 dibentuklah UNRWA
(United Nations Relief and Works Agency for Palestine Refugees in the Near East). Lembaga ini
dibentuk mempunyai tujuan khusus yaitu menaggulangi masalah-masalah pengungsian, meliputi
masalah perlindungan terhadap para pengungsi dan mencari solusi agar masalah pengungsi tidak
berlarut-larut, memberikan perlindungan dan bantuan pada para pengungsi. Lembaga ini telah,
dan masih memberikan bantuan sisi kebutuhan para pengungsi berupa penyediaan bahan-bahan
pokok untuk kebutuhan makanan dan sekolah-sekolah untuk pendidikan, juga sebagian bantuan
kesehatan.

58
Universitas Sumatera Utara

Adapun lembaga-lembaga internasional yang menangani pengungsi antara lain :
a) UNHCR (United Nations High Commissioner for Refugees)
Lembaga ini mempunyai wewenang khusus untuk melindungi pengungsi. Selain itu
UNHCR juga mempunyai tugas dan wewenang dalam menangani pengungsi. Tugas, wewenang,
serta fungsi UNHCR tercantum dalam statuta UNHCR.
Tugas UNHCR terdapat dalam statuta UNHCR bab kedua. Tugas UNHCR yaitu 66:


To promote the conclusions and ratification of international conventions, supervising
their application and proposing amandements



To promote meansures to improve the situation of refugees and reduce the number
requiring protection



To assist efforts to promote voluntary repatriation or local settlement



To promote the admission of refugees to territories of states



To facilitate the transfer of refugees assets



To obtain from Governments information concerning refugee numbers and conditions,
and relevant laws and regulations



To keep in touch with Governments and intergovernments organizations



To establish contact with private organizations



To facilitate the coordination of their efforts.
Kewenangan UNHCR yaitu :

66

Ibid., Hlm. 39-40

59
Universitas Sumatera Utara

 Meningkatkan skala operasi UNHCR yaitu menemukan solusi bagi para pengungsi yang
masih belum mendapatkan tempat tinggal.
 Semakin luasnya ruang lingkup aktifitas UNHCR yaitu memfasilitasi pemukiman bagi
para pengungsi, memberikan bantuan secara materi seperti papan dan pangan, kesehatan
pendidikan dan bantuan lainnya.
 Meningkatkan jumlah pelaku internasional yang memberikan bantuan bagi perlindungan
dan bantuan bagi pengungsi.
b) ICRC (International Committee of the Red Cross) membantu dalam menangani korban
perang.
c) World Food Programme (WPP) bertugas memberikan bantuan pangan, termasuk ke kampkamp pengungsi.
d) United Nations Children Fund (UNICEF) bertugas mempromosikan hak anak melalui
program-program yang terfokus pada kesehatan, gizi, pendidikan, pelatihan dan pelayanan
sosial untuk anak, serta kegiatan-kegiatan yang melengkapi upaya UNICEF atas nama
pengungsi anak.
e) World Health Organization (WHO) yang bertugas mengarahkan dan mengkoordinir tugas
kesehatan internasional dan aktif berkampanye tentang imunisasi dan kesehatan reproduksi.
f) United Nations Development Programme (UNDP) mempunyai tugas mengkoordinir semua
kegiatan pembangunan PBB termasuk mengawasi kegiatan pembangunan jangka panjang
menyusul terjadinya darurat pengungsi serta membantu proses integrasi pengungsi ke negaranegara suaka atau reintegrasi ke negara asal.

60
Universitas Sumatera Utara

g) Joint United Nations Programme on HIV/AIDS (UNAIDS) bertugas memimpin kegiatan
advokasi global melawan epidemi ini, menjadi ujung tombak inisiatif perawatan dan bantuan
bagi penderita-penderitanya.
h) Office of the United Nations High Commissioner for Human Rights (OHCHR) yang bertugas
mengkoordinir gerakan PBB untuk hak asasi manusia serta memberikan tanggapan terhadap
pelanggaran berat hak asasi manusia.
Kebutuhan untuk menciptakan dan mewujudkan tanggung jawab untuk melindungi
pengungsi tidak dapat terpenuhi bila tidak ada kerjasama. Untuk itu dalam rangka pemenuhan
kebutuhan tersebut telah dilakukan upaya untuk membina kerjasama antara lembaga-lembaga di
atas. Selain untuk melindungi pengungsi kerjasama tersebut penting guna mengatasi masalah
pengungsi.

D. Konsep Tentang Hak Asasi Manusia
Meskipun tidak menggunakan istilah fundamental human rights (hak asasi manusia yang
asasi) atau human rights and fundamental freedoms (hak manusia dan kebebasan asasi)
sebagaimana yang kita kenal sejak 1945, melainkan istilah rights (hak) atau liberties
(kebebasan), atau droits de l’homme et du citoyen (hak manusia dan warga negara), konsep hak
asasi dan kebebasan fundamental, yang di Indonesia dikenal sebagai hak asasi manusia dengan
akronimnya HAM. Seb