Penanganan Pemerintah Indonesia Terhadap Pengungsi Ditinjau Dari Prinsip Non Refoulement

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hukum pengungsi internasional adalah bagian dari hukum internasional. Hukum
pengungsi internasional lahir demi menjamin keamanan dan keselamatan pengungsi di negara
tujuan mengungsi. Selain memberikan perlindungan di negara tujuan, pengungsi juga dilindungi
oleh negara-negara yang dilewatinya dalam perjalanan ke negara tujuan mengungsi. 1
Pengungsi dapat terjadi disetiap negara yang diakibatkan oleh kondisi-kondisi yang
membuat seseorang lebih memilih untuk berpindah (mengungsi) dari negara asalnya ke negara
lain. Kondisi-kondisi yang dimaksud, adalah kondisi yang tidak aman bagi seseorang atau
kelompok, apabila tetap berada pada wilayah negara tertentu, jadi demi keamanan dan
keselamatan orang, kelompok tersebut memilih untuk berpindah kewilayah negara yang lebih
aman bagi mereka.
Hukum pengungsi internasional mengatur bahwa tidak semua orang atau kelompok yang
berpindah dari satu wilayah negara ke wilayah negara lainnya dengan serta merta dikategorikan
sebagai pengungsi. Banyak dari orang atau kelompok yang berpindah dari negaranya dengan
cara illegal. Illegal disini maksudnya dengan menjadi imigran gelap atau memasuki wilayah
suatu negara dengan cara yang tidak sesuai dengan aturan hukum internasional. 2

1

2

Jurnal Ilmu Hukum Amanna Gappa Vol.20 No.2 Juni 2012. Hlm 9
Ibid. Hlm 10

2
Universitas Sumatera Utara

Masalah pengungsi dan pemindahan orang didalam negeri merupakan persoalan yang
paling pelik yang dihadapi masyarakat dunia saat ini. Banyak diskusi tengah dilakukan di
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang terus berusaha mencari cara-cara lebih efektif untuk
melindungi dan membantu kelompok yang sangat rentan ini. Sejumlah orang menyerukan
ditingkatkannya kerjasama dan koordinasi antara lembaga pemberi bantuan, sebagian lain
menunjuk pada celah-celah dalam peraturan internasional dan menghimbau disusunnya standarstandar dalam bidang ini lebih jauh lagi.
Bagaimanapun, setiap orang setuju bahwa persoalan ini merupakan masalah multidimensional dan global. Oleh karenanya setiap pendekatan dan jalan keluar harus dilakukan
secara komprehensif dan menjelaskan semua aspek permasalahan, dari penyebab eksodus massal
sampai penjabaran respon yang perlu untuk menanggulangi rentang permasalahan pengungsi,
dari keadaan darurat sampai pemulangan mereka (repatriasi). 3
Dalam perdebatan ini beberapa fakta tetap tidak dapat diingkari. Ketika sejumlah
pemindahan massal masih mungkin untuk dicegah, tidak ada yang sukarela melakukannya.

Tidak ada orang yang menyukai atau memilih menjadi pengungsi. Menjadi pengungsi berarti
menjadi lebih buruk daripada menjadi orang asing. Pengungsi berarti hidup dalam pembuangan
dan tergantung kepada orang lain untuk memperoleh kebutuhan pokok seperti makanan, pakaian,
dan perumahan.Informasi mengenai jumlah pengungsi didunia, pembagian wilayah mereka, dan
penyebab dari eksodus pada umumnya telah ada. Secara kronologis, informasi ini

3

Hak Asasi Manusia dan Pengungsi. Lembar Fakta Nomor 20 (http;//lem_fak-ham_dan_pengungsi.pdf). Diakses
pada hari minggu, 12 April 2015, Pukul 10.00 WIB. Hlm 1-2

3
Universitas Sumatera Utara

menyampaikan bahwa masalah pengungsi telah mengalami perubahan yang drastis dalam jumlah
dan mutu selama lima dasawarsa terakhir. 4
Semenjak pembentukannya, PBB telah bekerja untuk melindungi para pengungsi
diseluruh dunia. Pada 1951, saat kantor Komisi Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk
pengungsi (UNHCR) didirikan, diperkirakan satu juta pengungsi berada dalam mandat UNHCR.
Saat ini jumlah tersebut telah meningkat menjadi sekitar 17.5 (tujuh belas koma lima) juta

pengungsi, disamping 2.5 (dua koma lima) juta pengungsi yang ditangani oleh bantuan PBB dan
perwakilan pekerja untuk pengungsi Palestina di Timur Tengah (UNRWA) dan lebih dari 25 juta
orang mengalami pemindahan di dalam negeri. 5 Pada tahun 1951 hampir seluruh pengungsi
adalah orang Eropa. Saat ini sebagian besar pengungsi berasal dari Asia dan Afrika. Tidak
seperti dahulu, pergerakan pengungsi saat ini lebih banyak terjadi dalam bentuk eksodus massal
daripada pelarian secara individual. 80% (delapan puluh persen) pengungsi saat ini adalah
perempuan dan anak-anak.
Penyebab terjadinya eksodus juga telah berlipat ganda, dan sekarang termasuk karena
bencana alam atau ekologi dan kemiskinan yang amat sangat. Akibatnya, banyak pengungsi saat
ini yang tidak sesuai dengan definisi dalam konvensi sehubungan dengan kedudukan pengungsi.
Hal ini menyangkut korban-korban pengejaran (persecution) karena alasan ras, agama,
kewarganegaraan, anggota dari kelompok sosial atau pandangan politik tertentu. Situasi
pengungsi telah menjadi contoh klasik sifat saling ketergantungan masyarakat internasional,
terbukti bagaimana persoalan pengungsi satu Negara dapat membawa akibat langsung terhadap

4
5

Amanna Gappa. Op Cit., Hlm 10
Ibid.


4
Universitas Sumatera Utara

Negara lainnya. Hal ini juga merupakan contoh saling ketergantungan antara masalah itu. Ada
hubungan yang jelas antara persoalan pengungsi dan masalah hak asasi manusia (HAM).
Pelanggaran-pelanggaran terhadap HAM bukan hanya sebagian diantara penyebab utama
eksodus massal, tetapi juga menghilangkan adanya pilihan pemulangan secara sukarela selama
hal tersebut terjadi. Pelanggaran terhadap hak kelompok minoritas dan pertikaian antar suku
makin banyak menjadi sumber eksodus massal dan pemindahan di dalam negeri. 6 Pengabaian
hak minimum pada pengungsi dan orang-orang yang dipindahkan di dalam negeri merupakan
dimensi lain dari hubungan antara kedua masalah tersebut. Selama dalam proses mencari suaka,
jumlah orang-orang yang menghadapi upaya-upaya pembatasan, yang menyebabkan mereka
tidak mempunyai akses pada wilayah yang aman, semakin bertambah.
Pada sejumlah contoh, pencari suaka dan pengungsi ditahan dan dikembalikan dengan
paksa ke daerah dimana jiwa, kemerdekaan dan keamanan mereka terancam. Beberapa diantara
mereka diserang oleh kelompok bersenjata, atau dimasukkan menjadi anggota angkatan
bersenjata dan dipaksa berperang untuk salah satu pihak atau pihak lainnya dalam pertikaian
sipil. Pencari suaka dan pengungsi juga menjadi korban serbuan berdasarkan ras. Para pengungsi
mempunyai hak yang harus dihormati sebelum, selama dan setelah proses pencarian suaka.

Penghormatan terhadap HAM merupakan syarat yang penting untuk mencegah dan
menyelesaikan masalah arus pengungsi saat ini.
Oleh karena itu, masalah pengungsi telah menjadi isu internasional yang harus segera
ditangani. Komitmen masyarakat internasional untuk menentang segala bentuk tindakan
pelanggaran HAM berat, baik itu kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, genosida,

6

Ibid.

5
Universitas Sumatera Utara

atau kejahatan lainnya, yang menjadikan cikal bakal lahirnya pengungsi. Sepanjang sejarah
manusia dibelahan bumi manapun selalu terpaksa melarikan diri dari tempat kelahirannya
mencari tempat untuk berlindung dari penganiayaan, kekerasan, maupun konflik bersenjata,
namun baru pada awal abad ke-20 negara-negara menyadari bahwa untuk melindungi pengungsi
dibutuhkan kerjasama global. 7 Maka dalam bentuk penanganannya, masyarakat internasional
berkomitmen untuk memberikan kontribusi terhadap penyelesaian permasalahan yang terkait
dengan pengungsi, ini ditandai dengan berhasil ditandatanganinya Konvensi PBB tentang status

pengungsi “Convention Relating to the Status of Refugees 1951” (Konvensi 1951) oleh beberapa
Negara di Jenewa, Swiss, pada tanggal 2 sampai dengan 25 Juli 1951.
Alasan dihadirkannya Konvensi 1951 oleh PBB oleh karena agar setiap Negara dapat
bertanggung jawab dan menjamin agar hak warganya dihormati, oleh karenanya perlindungan
internasional hanya diperlukan jika perlindungan nasional tidak diberikan atau tidak ada. Pada
saat itu, tanggung jawab utama untuk memberikan perlindungan internasional terletak pada
negara dimana individu mencari suaka.
Setiap negara mempunyai tugas umum untuk memberikan perlindungan internasional
sebagai kewajiban yang dilandasi hukum internasional, termasuk hukum hak asasi internasional
dan hukum kebiasaan internasional. Prinsip non refoulement sebagaimana tercantum dalam pasal
33 Konvensi mengenai Status Pengungsi 1951 merupakan aspek dasar hukum pengungsi yang
melarang negara untuk mengusir atau mengembalikan seseorang ke negara asalnya dimana
kehidupan dan kebebasannya akan terancam, dan oleh karenanya mengikat semua negara yang

7

UNHCR, Pengenalan tentang Perlindungan Internasional, Melindungi Orang-orang Yang Menjadi Perhatian
UNHCR. (Switzerland: Komisaris Tinggi PBB Untuk Urusan Pengungsi, 2005). Hlm. 5

6

Universitas Sumatera Utara

menjadi peserta Konvensi 1951. 8 Namun seringkali dalam keadaan terdesak, para pengungsi
segera memilih untuk meninggalkan negara asalnya dan mencari perlindungan di negara yang
mereka rasa aman tanpa tahu apakah negara tersebut merupakan negara peserta Konvensi 1951
atau bukan. Jadi negara-negara yang menjadi peserta/penanda-tangan Konvensi 1951 mengenai
status pengungsi dan/atau Protokol 1967 mempunyai kewajiban-kewajiban seperti yang tertera
dalam perangkat-perangkat hukum yang diatur dalam Konvensi 1951 (tentang kerangka hukum
bagi perlindungan pengungsi dan pencari suaka).
Akan tetapi dalam praktiknya, banyak negara-negara yang kemudian menangani
pengungsi yang tidak sesuai standar internasional yang sudah diatur dalam Konvensi 1951 dan
Protokol 1967 bahkan melanggar prinsip mengenai larangan pengusiran atau pengembalian (non
refoulement) yang sudah menjadi hukum kebiasaan internasional, sebut saja Negara Thailand,
yang telah melanggar Pasal 33 Konvensi 1951 mengenai prinsip non refoulement yang ia
lakukan kepada para pengungsi Rohingya yang datang ke negaranya, seharusnya Thailand dapat
bercermin

kepada

multikulturalisme


Kanada
yaitu

tetap

ataupun

Australia

membiarkan

yang

tetap

mempertahankan

komunitas-komunitas


budaya

tetap

politik
hidup

berdampingan tanpa kehilangan identitasnya, kehidupan yang saling menghargai keyakinan dan
pandangan budaya masing-masing diutamakan dalam persatuan yang dibentuk.
Berbeda dengan sikap Thailand yang menolak dan mengusir pengungsi Rohingya, pihak
Pemerintah Indonesia justru menerima dan menampung sementara pengungsi tersebut
berdasarkan alasan kemanusiaan, meskipun kondisi dalam negeri Indonesia sendiri tak terlalu
kondusif. Sikap dan tindakan Thailand melakukan pengusiran jelas memperlihatkan tindakan
tidak manusiawi. Bahkan dalam berita menyebutkan bahwa Pemerintah Thailand telah mengirim
8

Wagiman, 2012, Hukum Pengungsi Internasional, Sinar Grafika, Jakarta Timur, Hlm. 120

7
Universitas Sumatera Utara


pulang secara paksa sekitar 1.300 pengungsi muslim Rohingya ke negara asal mereka,
Myanmar. 9 Dapat kita bayangkan, jika banyak negara melakukan hal yang sama seperti yang
dilakukan oleh negara Thailand terhadap pengungsi yang datang ke wilayahnya. Namun disisi
lain negara Thailand tidak dapat dipersalahkan sepenuhnya, ini dikarenakan negara Thailand
adalah salah satu negara yang belum meratifikasi Konvensi 1951 dan Protokol 1967, ini
berbanding terbalik dengan apa yang dilakukan oleh Indonesia.
Indonesia juga termasuk salah satu negara yang belum meratifikasi Konvensi 1951 dan
Protokol 1967. Walaupun Indonesia belum menjadi pihak pada Konvensi 1951 dan Protokol
1967 namun pada praktiknya Indonesia secara konsisten telah menerapkan prinsip ini ketika
menghadapi eksodus pengungsi Vietnam. 10 Indonesia telah banyak membantu para pengungsi
yang telah datang kewilayahnya bahkan menangani para pengungsi tersebut berdasarkan
penanganan sesuai yang diatur dalam Konvensi 1951, beberapa diantara nya yaitu non
diskriminasi terhadap pengungsi yang berasal dari Negara manapun (Article 3 Konvensi 1951),
penyatuan (Article 20 Konvensi 1951), tempat tinggal (Article 21 Konvensi 1951), pendidikan
(Article 22 Konvensi 1951), pertolongan publik (Article 23 Konvensi 1951) serta larangan
pengusiran atau pengembalian ke negara asal (non refoulement /Article 33 Konvensi 1951),
penanganan-penanganan seperti ini sudah dilakukan indonesia mulai dari tahun 1975 hingga saat
ini, didukung pula dengan salah satu pasal dalam konstitusi kita Pasal 28G ayat (2) UUD 1945
yang menyatakan bahwa :

“setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan

9

Thailand Telah Deportasi 1300 Pengungsi Rohingya. SINDOnews.com (diakses pada Minggu, 12 April 2015
pukul 11.31 WIB)
10
Enny Soeprapto, Bijaksanakah RI Menolak Ratifikasi Konvensi PBB tentang Pengungsi? tersedia di
http://www.sinarharapan.co.id/berita/0109/25/lua03.html (diakses pada Minggu, 12 April 2015 pukul 12.00WIB)

8
Universitas Sumatera Utara

derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain.” 11
Pemerintah sampai saat ini belum mengajukan undang-undang untuk meratifikasi
konvensi mengenai status pengungsi. Namun DPR sepenuhnya mendukung Rencana Aksi
Nasional Hak Asasi Manusia 2004-2009 yang dicanangkan pemerintah, termasuk rencana untuk
meratifikasi konvensi mengenai status pengungsi. 12 Perlu proses dalam meratifikasi konvensi
tersebut dan UNHCR menghargai komitmen Indonesia untuk menjunjung tinggi HAM. 13
Indonesia sebagai negara yang strategis dipeta dunia, dapat menjadi “negara penghasil” ataupun
“negara transit” pengungsi dan hingga saat ini tidak pernah ditemukan kasus, Indonesia menjadi
negara tujuan akhir para pengungsi.

B. Permasalahan
Berdasarkan pemaparan diatas maka tersusunlah 3 hal yang menjadi permasalahan dalam
tulisan ini, yaitu :
1. Bagaimana pengaturan pengungsi di Indonesia?
2. Bagaimana tanggung jawab negara mengenai prinsip non refoulement?
3. Bagaimana hambatan yang dialami Indonesia dalam menangani pengungsi?

11

Fandi Ahmad dam Tim Setia Kawan, UUD 1945 Amandemen pertama-keempat “1999-2002”. (Jakarta: Setia
Kawan, 2004). Hlm. 23
12
Tosari Wijaya, DPR Dukung Ratifikasi Konvensi Tentang Pengungsi,
http://www.infoanda.com/followlink.php?lh=WVJTDIxaUIEN (diakses pada Minggu, 12 April 2015 pukul
12.30WIB)
13
Ibid.

9
Universitas Sumatera Utara

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Adapun yang menjadi tujuan pembahasan dalam penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui pengaturan pengungsi di Indonesia
2. Untuk mengetahui tanggung jawab Negara mengenai prinsip non refoulement
3. Untuk mengetahui hambatan yang dialami Indonesia dalam menangani pengungsi
Selain tujuan daripada penulisan skripsi, perlu pula diketahui bersama bahwa manfaat
yang diharapkan dapat diperoleh dari penulisan skripsi ini adalah :
1. Secara teoritis
Memberikan pemahaman akan adanya prinsip-prinsip yang harus ditaati dalam
menangani pencari suaka atau para pengungsi yang sesuai dengan prinsip non
refoulement dan menambah pengetahuan kita bersama dalam mendalami dan
mempelajari hukum internasional secara umum dan hukum pengungsi internasional
secara khusus tentang menangani masalah pengungsi.
2. Secara praktis
Agar skripsi ini dapat menjadi kajian bagi praktisi hukum internasional karena dalam
menangani permasalahan pengungsi harus mematuhi prinsip non refoulement dan
memperhatikan rasa kemanusiaan terhadap pengungsi karena menjadi pengungsi bukan
lah impian dan menjadi keinginan setiap orang. Sehingga kita menjadi lebih kritis
terhadap pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan terhadap prinsip non refoulement.

10
Universitas Sumatera Utara

D. Keaslian Penulisan
Sepanjang ditelusuri dan diketahui di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara bahwa penulisan tentang “Penanganan Pemerintah Indonesia Terhadap Pengungsi Ditinjau
Dari Prinsip Non Refoulement” belum pernah ada ditulis sebelumnya.
Khusus yang terdapat di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, keaslian penulisan
ini ditunjukkan dengan adanya penegasan dari pihak administrator bagian atau jurusan hukum
internasional.

E. Metode Penelitian
Untuk melengkapi penelitian ini agar tujuan dapat lebih terarah dan dapat dipertanggung
jawabkan secara ilmiah, maka metode penelitian yang dipakai sebagai berikut :
1. Jenis Pendekatan
Penelitian dalam skripsi ini adalah penelitian yuridis normatif. Penelitian yuridis normatif
selalu mengambil isu dari hukum sebagai sistem norma yang digunakan untuk memberikan
justifikasi preskriptif tentang suatu peristiwa hukum, sehingga penelitian hukum normatif
menjadikan sistem norma sebagai pusat kajiannya. Sistem norma dalam arti yang sederhana
adalah sistem kaidah atau aturan, sehingga penelitian hukum normatif adalah penelitian yang
mempunyai objek kajian tentang kaidah atau aturan hukum sebagai suatu bangunan sistem yang
terkait dengan suatu peristiwa hukum. Yuridis normatif merupakan pendekatan dengan data
sekunder atau data yang berasal dari kepustakaan.

11
Universitas Sumatera Utara

2. Data Penelitian
Sumber data yang dipergunakan dalam skripsi ini berasal dari Library Research
(penelitian kepustakaan). Meliputi peraturan perundang-undangan, buku-buku, situs internet,
jurnal ilmiah hukum dan bahan lainnya yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini.
3. Teknik Pengumpulan Data
Penulisan skripsi ini menggunakan metode metode library research (penelitian
kepustakaan), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau yang
disebut dengan data sekunder. Adapun data sekunder yang digunakan dalam penulisan skripsi ini
antara lain berasal dari peraturan perundang-undangan, buku-buku, situs internet, jurnal ilmiah
hukum dan bahan lainnya yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini.
Tahap-tahap pengumpulan data melalui studi kepustakaan adalah sebagai berikut :
a. Melakukan penelusuran kepustakaan melalui artikel-artikel media cetak maupun
elektronik, serta dokumen-dokumen pemerintahan.
b. Mengelompokkan data-data yang relevan dengan permasalahan.
c. Menganalisa data-data yang relevan tersebut untuk menyelesaikan masalah yang
menjadi objek penelitian.

4. Analisis Data
Data sekunder yang diperoleh kemudian dianalisis secara kualitatif yaitu dilakukan
dengan menggambarkan data yang dihasilkan dalam bentuk uraian kalimat atau penjelasan. Dari
analisis data tersebut dilanjutkan dengan menarik kesimpulan secara deduktif, yaitu suatu cara

12
Universitas Sumatera Utara

berfikir yang didasarkan pada fakta-fakta yang bersifat umum. Kemudian selain menggambarkan
dan mengungkapkan dasar hukum nya, juga dapat memberikan solusi terhadap permasalahan
yang dimaksud.

F. Tinjauan Kepustakaan
Prinsip non refoulement merupakan prinsip dan konsep fundamental dalam sistem
perlindungan internasional bagi para pengungsi dan pencari suaka. Makna utama dari prinsip non
refoulement adalah tidak boleh ada negara yang mengembalikan atau mengirim pengungsi atau
pencari suaka ke suatu wilayah tempat kehidupan dan keselamatan pengungsi atau pencari suaka
tersebut terancam. 14
Non refoulement harus dibedakan dengan pengusiran (expulsion) atau deportasi
(deportation). Pengusiran atau deportasi terjadi ketika warga negara asing dinyatakan bersalah
karena melakukan tindakan yang bertentangan dengan kepentingan negara setempat, atau
merupakan tersangka perbuatan pidana di suatu negara dan melarikan diri dari proses
peradilan. 15
Pada awal pertengahan abad ke-19, konsep suaka dan prinsip non-extradition hanya
sebatas pelanggaran politik. Setidaknya tercatat setelah Perang Dunia Pertama, praktik
internasional mulai menerima gagasan non-return. Baru tahun 1933, terdapat referensi pertama
prinsip pengungsi (internasional) yang menyebutkan ‘should not be returned to their country of
origin’ dalam instrumen internasional.
14

Sigit Riyanto, 2010. Prinsip Non-Refoulement dan Relevansinya dalam Sistem Hukum Internasional, Mimbar
Hukum Volume 22 Nomor 3, Oktober 2010. Hlm. 445
15
Ibid., Hlm. 435-436

13
Universitas Sumatera Utara

Prinsip ini menjadi fundamental terlebih sejak dilembagakan pada Konvensi 1951.
Seperti dalam Pasal 32 Konvensi 1951 16 ayat (1) berbunyi “Para negara peserta tidak dapat
mengeluarkan seorang pengungsi yang secara tidak sah berdiam di dalam wilayah mereka
kecuali atas alasan-alasan keamanan nasional atau ketertiban umum”.
Ayat (2) nya berbunyi “Pengusiran seorang pengungsi tersebut hanya akan dilakukan
menurut keputusan yang dicapai sesuai dengan proses hukum yang semestinya. Kecuali alasanalasan keamanan nasional yang memaksa meminta sebaliknya, pengungsi itu harus
diperkenankan menyampaikan bukti untuk menjelaskan dirinya dan permohonan naik banding
serta diwakili untuk diajukan dihadapan penguasa yang berwenang, atau seorang atau orangorang yang secara khusus ditunjuk oleh penguasa yang berwenang”.
Ayat (3) nya berbunyi “Para negara peserta akan memberikan kepada seorang pengungsi
tersebut suatu jangka waktu yang layak selama itu untuk mencari izin masuk yang sah ke negara
yang lain. Para negara peserta akan menyediakan hak untuk memberlakukan selama jangka
waktu tersebut, upaya-upaya internal seperti yang mereka mungkin anggap perlu”.
Sedangkan dalam Pasal 33 Konvensi 1951 mengatur mengenai larangan pengusiran atau
pengembalian (refoulement). Ayat (1) menyatakan bahwa “Tidak satu pun Negara peserta dapat
mengeluarkan atau mengembalikan seorang pengungsi dalam cara apapun ke perbatasan wilayah
apabila

kehidupan

atau

kebebasannya

terancam

karena

alasan

rasnya,

agamanya,

kewarganegaraannya, keanggotaannya pada suatu kelompok sosial tertentu atau pendapat politik
tertentu”

16

Suakaindonesia.files.wordpress.com (diakses pada Minggu, 12 April 2015 pukul 15.00 WIB)

14
Universitas Sumatera Utara

Ayat (2) menyatakan “Kemanfaatan ketentuan ini, bagaimanapun juga, tidak dapat
dituntut oleh seorang pengungsi dimana terdapat alasan-alasan yang pantas untuk menganggap
sebagai bahaya keamanan dari negara dimana dia dihukum, atau sedang dihukum dengan
putusan terakhir mengenai suatu kejahatan berat terutama sekali, yang merupakan bahaya
terhadap masyarakat negara yang bersangkutan”.
Prinsip non refoulement ini tidak hanya terdapat pada Konvensi 1951, namun juga
tercantum secara implisit maupun eksplisit pada Pasal 3 Konvensi Anti Penyiksaan (Convention
Against Torture), Pasal 45 paragraf 4 Konvensi Jenewa IV (Fourth Geneva Convention) tahun
1949, Pasal 13 pada Konvenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (International Convenant
on Civil and Political Rights) 1966, dan instrumen-instrumen HAM lainnya.
Prinsip inipun telah diakui sebagai bagian dari hukum kebiasaan internasional
(international customary law). Dalam arti, negara yang belum menjadi pihak (state parties) dari
Konvensi 1951 pun harus menghormati prinsip non refoulement ini. Prinsip utama yang
melatarbelakangi perlindungan internasional bagi pengungsi, perangkat-perangkat kuncinya
adalah Konvensi 1951 dan Protokol 1967

17

. Ketentuan-ketentuan yang tercakup di dalamnya

meliputi:
a) Larangan untuk memulangkan pengungsi dan pencari suaka yang beresiko
menghadapi penganiayaan saat dipulangkan (prinsip non refoulement).
b) Persyaratan untuk memperlakukan semua pengungsi dengan cara yang non
diskriminatif.
c) Standar perlakuan terhadap pengungsi.
17

UNHCR, Pengenalan tentang Perlindungan Internasional, Melindungi Orang-orang yang Menjadi Perhatian
UNHCR. (Switzerland: Komisaris Tinggi PBB Untuk Urusan Pengungsi, 2005). Hlm. 5

15
Universitas Sumatera Utara

d) Kewajiban pengungsi kepada Negara tempatnya suaka.
e) Tugas Negara untuk bekerja sama dengan UNHCR dalam melaksanakan fungsifungsinya.
Prinsip non refoulement muncul dari pengalaman dan sejarah internasional ketika
terjadinya kegagalan negara-negara selama Perang Dunia II untuk menyediakan tempat yang
aman untuk pengungsi yang melarikan diri genosida tertentu yang pada saat itu dilaksanakan
oleh rezim Nazi. 18
Dalam perkembangannya, prinsip non refoulement tidak hanya bersifat mengikat bagi
Negara pihak Konvensi 1951 saja, namun telah menjadi Jus Cogens. 19 Sebagai contohnya
kewajiban negara untuk menghormati kedaulatan territorial sesama negara, kewajiban setiap
negara menghormati hak-hak asasi manusia, kewajiban negara untuk tidak melakukan tindakan
agresi terhadap negara lain, dan lain sebagainya. 20 Hal ini berarti negara yang belum meratifikasi
Konvensi 1951 juga harus tunduk pada prinsip ini.
Masyarakat internasional mengenal dua macam karakter norma hukum yang berlaku,
yakni Jus Dispositivum

21

dan Jus Cogens. Jus Cogens dikategorikan sebagai norma hukum yang

lebih tinggi kedudukannya dari norma Jus Dispositivum. Negara sebagai masyarakat
internasional, dengan alasan apapun tidak dapat menyimpangi norma hukum internasional yang
memiliki karakter sebagai Jus Cogens. Jus Cogens dianggap sebagai norma yang esensial bagi
18

Non-refoulement principles in the international legal system http://burgerawa.wordpress.com/2012/06/17/nonrefoulement-principles-in-the-international-legal-system/ (diakses pada senin, 13 April 2015 pukul 17.00 WIB)
19
Menurut Pasal 53 Konvensi Wina 1969, Jus Cogens adalah norma yang diterima dan diakui oleh masyarakat
internasional secara keseluruhan sebagai norma yang tidak boleh dikesampingkan dan yang hanya dapat diubah oleh
kaidah hukum internasional yang muncul kemudian yang memiliki karakter yang sama. Jus cogens sering juga
disebut norma pemaksa
20
I Wayan Parthiana. 2005. Hukum Perjanjian Internasional Bagian 2. Bandung: Mandar Maju. Hlm. 479
21
Jus Dispositivum adalah norma hukum internasional dimana negara sebagai anggota masyarakat internasional
berdasarkan situasi dan syarat-syarat tertentu dimungkinkan untuk menyimpangi atau melakukan modifikasi
terhadap ketentuan-ketentuan hukum tersebut

16
Universitas Sumatera Utara

sistem hukum internasional, sehingga pelanggaran terhadap norma yang esensial sifatnya ini
dapat mengancam kelangsungan sistem hukum internasional yang berlaku dalam masyarakat
internasional. 22
Dengan mempertimbangkan bahwa non refoulement memiliki karakter sebagai Jus
Cogens, membawa konsekuensi bahwa negara baik secara sendiri-sendiri maupun kolektif tidak
boleh melanggar prinsip tersebut karena prinsip non refoulement merupakan ketentuan hukum
internasional yang telah diakui dan diterima oleh masyarakat internasional.
Dukungan dan kepatuhan terhadap prinsip non refoulement oleh negara-negara dan
organisasi internasional yang relevan telah menegaskan arti penting prinsip ini dalam sistem
hukum internasional pada umum nya. Sifat non-derogable

23

larangan pengusiran yang juga

ditegaskan kembali oleh Pasal VII ayat (1) Protokol 1967 bahkan lebih jauh ditetapkan bahwa
prinsip non refoulement merupakan kemajuan peremptory norm 24 dalam hukum internasional.
Prinsip non refoulement hanya berlaku bagi pengungsi dan pencari suaka. Suaka adalah
penganugerahan perlindungan dalam wilayah suatu negara kepada orang-orang dari negara lain
yang datang ke negara bersangkutan karena menghindari pengejaran atau bahaya besar. Pada
draft yang dibuat UNHCR, suaka diartikan sebagai pengakuan secara resmi oleh negara bahwa
seseorang adalah pengungsi dan memiliki hak dan kewajiban tertentu. 25
Dasar hukum permohonan suaka berdalih adanya rasa takut atau ancaman terhadap
keselamatan

diri

dari

penganiayaan/penyiksaan.

Apabila

membandingkan

dengan

22

Sigit Riyanto. Op Cit., Hlm 442
Non-derogable merujuk pada hal yang tidak boleh dikurangi baik dalam keadaan damai maupun dalam sengketa
bersenjata (menurut Kamus Hukum Indonesia Internasional karangan Dzulkifli Umar dan Utsman Handoyo)
24
Istilah lain untuk Jus Cogens
25
Wagiman. 2012. Pengantar Hukum Pengungsi Internasional. Jakarta: Sinar Grafika. Hlm. 92

23

17
Universitas Sumatera Utara

batasan/definisi pengungsi, alasan tambahan dari permohonan suaka ialah adanya cukup
alasan/bukti bahwa yang bersangkutan terancam keselamatannya karena suatu alasan yang telah
ditentukan oleh hukum internasional. Alasan tersebut mencakup sebab-sebab yang bersifat rasial,
agama, kebangsaan, keanggotaannya dalam suatu kelompok sosial atau kelompok politik.
Disamping itu, yang bersangkutan tidak mendapat jaminan ataupun perlindungan yang
seharusnya di negaranya.

26

Penetapan seseorang menjadi pengungsi sebenarnya merupakan proses yang terjadi
dalam dua tahap, yaitu tahap penemuan atau penetapan yang menentukan bahwa dari fakta yang
ada memang orang tersebut adalah pengungsi dan tahap dimana fakta dihubungkan dengan
persyaratan-persyaratan dalam Konvensi 1951 dan Protokol 1967 setelah itu, dihubungkan
apakah yang bersangkutan memang merupakan pengungsi atau tidak. Penerapan prinsip non
refoulement tidaklah bersifat mutlak atau absolute kepada pengungsi atau pencari suaka.
Pengaturan mengenai pengungsi internasional di Jerman pada tahun 1936 dan pada tahun
1938

memuat

pembatasan

pengaturan

mengenai

hal

‘expulsion’

atau

‘return’

(pengembalian/pemulangan). Aturan tersebut membolehkan atau mengijinkan para negara pihak
dalam perjanjian untuk melakukan ‘expulsion’ atau ‘return’ hanya dengan pertimbangan atau
alasan ‘for reason of national security atau public order’. Pada era ini, skala internasional lebih
fokus pada pengembangan pengaturan administratif untuk memfasilitasi resettlement
(perpindahan) dan relieve (bantuan) pada pemohon suaka. Kebutuhan terhadap prinsip-prinsip
perlindungan bagi pengungsi mulai muncul. Namun demikian pengaturannya masih terbatas.
Instrumen-instrumen yang mengaturnya masih secara samar atau kurang tegas.

26

Ibid., Hlm. 93

18
Universitas Sumatera Utara

Sumber hukum adalah sumber yang tepat untuk mencari asal atau dasar yang digunakan
sebagai aturan hukum internasional. Adapun menurut Pasal 38 ayat 1 Statuta Mahkamah
Internasional adalah :
1) Perjanjian internasional
2) Kebiasaan internasional
3) Prinsip hukum umum
4) Jurisprudensi
5) Ajaran/doktrin para ahli
Untuk menjamin hak-hak pengungsi dapat berjalan dengan baik, serta agar mereka tetap
mendapatkan perlindungan, maka dibuat beberapa instrumen hukum yang mengatur tentang
pengungsi, yaitu :
I.

Konvensi tentang Status Pengungsi 1951 (Convention Relating to the Status of Refugees
1951) dan Protokol tentang Status Pengungsi 1967 (Protocol Relating to the Status of
Refugees 1967). Konvensi 1951 dan Protokol 1967 tersebut mengandung tiga ketentuan
yaitu :
1) Ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan definisi siapa saja yang tidak
termasuk dalam pengertian pengungsi.
2) Ketentuan yang mengatur tentang status hukum pengungsi termasuk hak-hak dan
kewajiban-kewajiban pengungsi di negara dimana mereka menetap.
3) Ketentuan lain yang berkaitan dengan penerapan instrumen pengungsi baik dari
sudut prosedur administratif maupun diplomatik.

19
Universitas Sumatera Utara

II.

Instrumen-instrumen pendukung :
1) The Convention Relating to the Status of Stateless Persons 1954. Konvensi ini
mengatur tentang orang-orang yang tidak memiliki warga negara.
2) The Convention on the Reduction of Statlessness 1961. Konvensi ini mengatur
tentang pengaturan terhadap jumlah orang-orang yang tidak memiliki warga
negara pihak dengan memberikan status kewarganegaraan terhadap anak-anak
mereka yang lahir di negara itu.
3) The Fourth Geneva Convention Relative to the Protection of Civillian Persons in
Time of War 1949. Konvensi ini mengatur tentang perlindungan terhadap
penduduk sipil pada waktu perang.
4) The 1967 United Nations Declaration on Territorial Asylum 1967. Konvensi ini
bertujuan

untuk

memelihara

perdamaian

dan

keamanan

internasional,

mengembangkan hubungan persahabatan antar bangsa-bangsa dan untuk
menyelesaikan masalah-masalah internasional dalam bidang ekonomi, sosial,
budaya atau yang bersifat kemanusiaan.

III.

Instrumen-instrumen Regional
1. Afrika
Pertumbuhan jumlah pengungsi yang melarikan diri dari perang dan pertikaian di
dalam negeri di Afrika, yang dimulai pada 1950, menyebabkan ditetapkannya suatu
perjanjian yang umumnya dianggap sebagai suatu perjanjian regional paling
komprehensif dan signifikan sehubungan dengan amsalah pengungsi. Pada 10
September 1969, Organization of African United (OAU), menetapkan Konvensi
20
Universitas Sumatera Utara

OAU yang mengatur aspek-aspek tertentu pada masalah pengungsi di Afrika. Selain
itu terdapat The African Charter on Human and People’s Rights 1981.
2. Eropa
Dewan eropa telah menetapkan sejumlah instrumen tentang pengungsi. Beberapa
diantaranya yang paling penting adalah :

27

a) Persetujuan Eropa tentang penghapusan visa bagi pengungsi 1959.
b) Resolusi 14 tahun 1967 tentang Suaka Bagi Seseorang Dalam Bahaya
Pengejaran.
c) Persetujuan Eropa tentang Pengalihan Tanggung Jawab Bagi Pengungsi
1980.
d) Rekomendasi tentang Harmonisasi Prosedur Nasional Sehubungan
Dengan Suaka 1981.
e) Rekomendasi tentang Perlindungan Bagi Orang-orang yang Memenuhi
Kriteria Konvensi Jenewa yang Secara Resmi Bukan Pengungsi 1984.
f) Konvensi Dublin 1990 yang mencantumkan kriteria untuk menentukan
negara anggota mana yang bertanggung jawab untuk mempelajari
permintaan suaka, ketika peminta suaka menyampaikan permohonan
suaka kepada suatu negara anggota atau lebih.
3. Amerika
a) Perjanjian Montevideo tentang Hukum Pidana Internasional 1889
b) Konvensi Caracas tentang Wilayah Suaka 1954

27

Hak Asasi Manusia dan Pengungsi, Lembar Fakta No.20, Kampanye Dunia untuk Hak Asasi Manusia

21
Universitas Sumatera Utara

c) American Convention on Human Right 1969
d) Deklarasi Cartagena tentang pengungsi 1984. Konvensi ini mencantumkan
landasan hukum bagi perlakuan terhadap pengungsi dari Amerika Tengah,
termasuk

prinsip

tidak

memulangkan

(non

refoulement),

perlunya

mempersatukan pengungsi, dan melakukan usaha-usaha untuk membasmi
penyebab persoalan pengungsi. 28

Pada umumnya hukum internasional diartikan sebagai himpunan peraturan-peraturan dan
ketentuan-ketentuan yang mengikat serta mengatur hubungan antara negara-negara dan subjeksubjek hukum lainnya dalam kehidupan masyarakat internasional. Menurut Mochtar
Kusumaatmaja, hukum internasional adalah keseluruhan kaidah dan asas yang mengatur
hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara, antara negara dengan negara, dan negara
dengan subyek hukum internasional bukan negara, atau antar subyek hukum internasional bukan
negara satu sama lain 29. Hukum internasional adalah bagian hukum yang mengatur aktivitas
entitas berskala internasional. Hukum internasional sering juga disebut sebagai hukum bangsabangsa, hukum antar bangsa atau hukum antar negara.
Pembahasan persoalan tempat atau kedudukan hukum internasional dalam rangka hukum
secara keseluruhan berdasarkan atas anggapan bahwa sebagai suatu jenis atau bidang hukum,
hukum internasional merupakan bagian dari hukum pada umumnya. Anggapan atau pendirian
demikian tidak dapat dielakkan apabila kita hendak melihat hukum internasional sebagai suatu
perangkat ketentuan dan asas yang efektif yang benar-benar hidup dalam kenyataan dan
28

Ibid.
Frans E. Likadja dan Daniel Frans Bessie. 1988. Desain Instruktur Dasar Hukum Internasional. Jakarta : Ghalia
Indonesia. Hlm. 51

29

22
Universitas Sumatera Utara

karenanya mempunyai hubungan yang efektif pula dengan ketentuan atau bidang hukum lainnya,
diantaranya yang paling penting adalah ketentuan hukum yang mengatur kehidupan manusia
dalam lingkungan kebangsaan masing-masing yang dikenal dengan nama hukum nasional. 30
Di dalam teori hukum internasional, telah berkembang dua pandangan tentang hukum
internasional, yaitu pandangan yang disebut voluntarisme 31 yang mendasarkan berlakunya
hukum internasional dan ada tidaknya hukum internasional ini pada kemauan negara. Pandangan
yang kedua adalah pandangan objekvitis 32 yang menganggap ada dan berlakunya hukum
internasional ini dilepas dari kemauan negara.
Pandangan yang berbeda ini membawa akibat yang berbeda pula, karena sudut
pandangan yang pertama akan mengakibatkan adanya hukum internasional dan hukum nasional
sebagai dua satuan perangkat hukum yang hidup berdampingan dan terpisah, sedangkan
pandangan objekvitis menganggapnya sebagai dua bagian dari satu kesatuan perangkat hukum.
Erat hubungannya dengan apa yang diterangkan tadi ialah persoalan hubungan hirarki antara
kedua perangkat hukum itu, baik merupakan dua perangkat hukum yang masing-masing berdiri
sendiri maupun merupakan dua perangkat hukum yang ada pada hakikatnya merupakan bagian
dari satu keseluruhan tata hukum yang sama.
Dalam perkembangan selanjutnya, muncul dua aliran pandangan utama terkait teori
tersebut, yakni :
1. Aliran pandangan dualisme

30

Mochtar Kusumaatmaja. 1977. Pengantar Hukum Internasional cetakan kedua. Bandung: Putra Abardin. Hlm. 39
Voluntarisme berasal dari bahasa Latin ‘vluntas’ yang berarti kehendak, diperkenalkan pertama kali oleh
Toennies pada tahun 1883. Paham ini menyatakan kehendak adalah kunci untuk segala yang terjadi.
32
Teori ini menghendaki adanya suatu norma hukum yang merupakan dasar terakhir. Kelzen dianggap bapak dari
mazhab wina yang mempengaruhi teori objektivis ini
31

23
Universitas Sumatera Utara

Menurut teori dualisme, hukum internasional dan hukum nasional, merupakan dua sistem
hukum yang secara keseluruhan berbeda. Hukum internasional dan hukum nasional merupakan
dua sistem hukum yang terpisah, tidak mempunyai saling hubungan superioritas atau
subordinansi. Bahwa ketentuan hukum internasional memerlukan transformasi menjadi hukum
nasional sebelum berlakunya dalam lingkungan hukum nasional. Akibat yang penting dari teori
ini bahwa kaidah-kaidah dari perangkat hukum yang satu tidak mungkin bersumber atau
berdasarkan perangkat hukum yang lain, dengan kata lain tidak aka nada persoalan hierarki
antara kedua perangkat hukum itu. Dengan demikian ketentuan hukum internasional
memerlukan transformasi menjadi hukum nasional sebelum dapat berlaku dalam lingkungan
nasional. 33
2. Aliran pandangan monoisme
Paham monoisme didasarkan atas pemikiran kesatuan dari seluruh hukum yang mengatur
hidup manusia. Dalam rangka pemikiran ini hukum internasional dan hukum nasional
merupakan dua bagian dari satu kesatuan yang lebih besar yaitu hukum yang mengatur
kehidupan manusia. Akibat pandangan monoisme ini ialah bahwa antar kedua perangkat
ketentuan hukum ini mungkin ada hubungan hirarki. Persoalan hirarki antara hukum nasional
dan hukum internasional inilah yang melahirkan beberapa sudut pandangan yang berbeda dalam
aliran monoisme, yaitu 34 :


Aliran Monoisme Dengan Primat Hukum Nasional

33

Melda Kamil Ariadno. Kedudukan Hukum Internasional dalam Sistem Hukum Nasional Volume 5 Nomor 3
April 2008. Hlm. 509
34
Ibid., Hlm. 510

24
Universitas Sumatera Utara

Dalam pandangan ini, hukum internasional merupakan lanjutan hukum nasional belaka,
atau tidak lain dari hukum nasional untuk urusan luar negeri atau auszeres staatsrecht.
Pandangan yang melihat kesatuan antara hukum nasional dan hukum internasional dengan
primat hukum nasional ini pada hakikatnya menganggap bahwa hukum internasional itu
bersumber pada hukum nasional. Alasan utama anggapan ini ialah bahwa tidak ada satu
organisasi diatas negara-negara yang mengatur kehidupan negara-negara di dunia ini, dan dasar
hukum internasional yang mengatur hubungan internasional terletak dalam wewenang negara
untuk mengadakan perjanjian internasional, jadi wewenang konstitusional negara.


Aliran Monoisme Dengan Primat Hukum Internasional
Menurut paham monoisme dengan primat hukum internasional, hukum nasional itu

bersumber pada hukum internasional yang menurut pandangannya merupakan suatu perangkat
ketentuan hukum yang hirarkis lebih tinggi. Menurut paham ini hukum nasional tunduk pada
hukum internasional dan pada hakikatnya kekuatan mengikatnya berdasarkan suatu
pendelegasian wewenang dari hukum internasional. Hukum nasional memang mempunyai
kedaulatan penuh, akan tetapi hal ini semata-mata mencerminkan bahwa suatu negara akan
mempunyai kewenangan dengan hukum internasional sebagai pembatasnya.

Setiap negara mempunyai tanggung jawab untuk melindungi orang-orang yang berada di
wilayahnya, baik warga negaranya maupun orang asing yang sedang berada di wilayah
kedaulatannya. Bentuk perlindungan tersebut salah satunya adalah perlindungan hukum dimana
negara tersebut berkewajiban untuk memenuhi hak-hak hukum yang melekat pada subyek
hukum individu tersebut.
25
Universitas Sumatera Utara

Sekali sebuah negara mengakui keberadaan orang asing diwilayahnya, negara tersebut
masuk kedalam sebuah kewajiban atas perlakuan secara baik terhadap individu orang asing
tersebut dan beserta kepentingannya. Kewajiban ini berhubungan dengan penerimaan aktivitas
orang asing tersebut. Negara bertanggung jawab juga atas tindakannya yang berimplikasi pada
orang asing tersebut (seperti eksproriasi atas harta benda orang asing tersebut) atau atas tindakan
normal atau non aksi dalam respon terhadap tindakan individual (seperti perlindungan atas
tindakan kriminal).
Dasar tanggung jawab negara adalah terletak pada konsep tanggung jawab negara
terhadap orang asing. Tanggung jawab sebuah negara terhadap orang asing di wilayahnya pada
era hukum internasional modern bercirikan pada pengakuan dan pemberian pengakuan pada
individu dengan tidak memperhatikan kewarganegaraannya. Setiap individu ditempatkan pada
kedudukan serta memiliki hak-hak dasar yang harus dihormati dimanapun individu itu berada.
Maka, negara dituntut untuk menghormati norma-norma dasar Hak Asasi Manusia, dan pada sisi
lain pelanggaran suatu negara terhadap norma-norma dasar tersebut dapat dijadikan sebagai
dasar gugatan. 35
Setiap individu memiliki hak asasi yang diakui secara internasional. Termasuk mereka
yang merupakan anggota dari suatu bangsa minoritas yang tidak memiliki kedaulatan teritorial
sekalipun. Untuk mencapai hal ini, dibentuklah sebuah prinsip federasi yaitu principle consistent
with both the diversity of communities and the need to relax the political energies and tensions
bound up with national sovereignty. 36 Disebutkan lebih lanjut bahwa “a federal arrangement
would require the renunciation, not of one’s own tradition and national past, but of the binding

35
36

Wagiman. 2012. Hukum Pengungsi Internasional, Jakarta : Sinar Grafika. Hlm. 63
Prinsip tersebut digagas oleh Arendt. Lihat http://harison86.wordpress.com/tag/hukum-pengungsi-internasional/

26
Universitas Sumatera Utara

authority which tradition and past have always claimed”. Masih mengutip dari sumber yang
sama, prinsip federasi ini searus dengan pemikiran Jurgen Habermas bahwa post-traditional
national identity yang artinya a political identity capable of renouncing any kind of chauvinism
and reflexively acknowledging its own partiality in a world of many nations and communities. 37
Tanggung jawab negara yang bersifat eksternal diatur oleh standar-standar internasional.
Hal itu juga sangat bergantung pada hukum internasional sepanjang dan sejauh mana tindakan
atau kelalaian suatu negara dianggap sah atau tidak sah. Negara memiliki kewenangan penuh
untuk menolak masuknya orang asing kewilayah mereka. Oleh karena itu, negara yang warganya
orang asing yang ditolak itu tidak memiliki hak menuntut terhadap negara yang telah menolak
warganya tersebut.hukum internasional mengakui yurisdiksi suatu negara yang melakukan
tindakan tersebut. Terdapat dua hal fundamental negara. 38 Pertama, hak untuk menjalankan
yurisdiksi didalam wilayahnya sendiri yang sifatnya bebas dari pengawasan negara lain. Kedua,
hak suatu negara melindungi warga negaranya diluar negeri.
Berkenaan dengan perlakuan orang asing, terdapat dua pendapat bagaimana
memberlakukan orang asing. Pertama, Standar Minimal Internasional, dimana negara
berkewajiban untuk memberlakukan orang asing lebih istimewa dari warga negaranya sendiri
dari sehi hukum maupun penegakan hukumnya, yaitu perlindungan efektif menurut hukum
internasional. Kedua, Standar Minimal Nasional, dimana perlakuan terhadap orang asing tidak
berbeda atau sama saja sebagaimana halnya memperlakukan warga negaranya. 39

37

Ibid.
Syahmin, 1996. Hukum Internasional Publik: Dalam Kerangka Studi Analitis 3, Jakarta: Bina Cipta. Hlm. 317322
39
Wagiman. Op Cit., Hlm 65
38

27
Universitas Sumatera Utara

Pada prinsipnya setiap negara bebas untuk menentukan siapa yang termasuk warga
negara dan orang asing. Persoalan kewarganegaraan merupakan persoalan dalam negeri suatu
negara yang berkaitan dengan perlindungan keamanan negara, kepentingan ekonomi, sosial dan
perlindungan hak asasi yang bersumber kepada kepentingan nasional tersebut. Untuk mengetahui
siapa orang asing dalam suatu negara harus diketahui siapa termasuk warga negara karena untuk
orang asing selalu bertitik tolak pada kewarganegaraan negara itu.
Sudah sejak lama hukum internasional mengatur mengenai perlindungan atas hak-hak
kemanusiaan yang dituangkan dalam berbagai perjanjian. Sekalipun perjanjian itu tidak secara
langsung menciptakan hak-hak kemanusiaan bagi individu, telah menciptakan kewajibankewajiban tertentu kepada negara dalam hubungannya dengan perlakuan terhadap penduduk,
baik warga negara maupun orang asing. Sekalipun yang menjadi peserta perjanjian tersebut
adalah negara, tidak berarti bahawa hak-hak yang diberikan oleh hukum internasional itu adalah
milik negara. Sebaliknya, yang lebih dapat diterima adalah bahwa hak kemanusiaan itu dimiliki
individu karena kodratnya, atau manusia dianggap subjek dalam hubungan antara negara dan
manusia sebagaimana dianut oleh kaum positivis. 40
Setiap orang secara asasi memiliki perlindungan. Prinsip perlindungan itu sendiri erat
kaitannya dengan aspek keimigrasian pada segi diizinkannya seseorang masuk ke wilayah suatu
negara, sekalipun tidak menggunakan dokumen resmi seperti paspor dan visa. Kondisi demikian
bisa terjadi mengingat dalam kondisi yang tidak dimungkinkan (bukan dalam keadaan normal).
Hukum internasional secara prinsipil mengatur tentang perlakuan terhadap orang asing.
Setidaknya terdapat beberapa alasan. Pertama, adanya keyakinan bahwa manusia tanpa
memandang asalnya serta dimanapun keberadaannya mempunyai hak atas perlindungan hukum.
40

Yudha Bhakti Ardhiwisastra. 2013. Hukum Internasional: Bunga Rampai. Bandung: Alumni. Hlm.12

28
Universitas Sumatera Utara

Kedua, adanya mobilitas perhubungan penduduk yang semakin tinggi diantara warga negara
yang satu dengan lainnya dalam berbagai bidang kebutuhan dan kehidupan manusia merupakan
suatu kenyataan yang tidak dapat dihindari. Ketiga, perlunya memelihara hubungan baik antar
negara sangat penting bagi setiap negara agar warga negaranya yang berada diluar negeri
diperlakukan secara wajar. Artinya warga negaranya dapat hidup aman dan tentram diluar
negaranya. 41
Adapun perlakuan terhadap orang asing meliputi perlindungan atas hak-hak kemanusiaan
bagi setiap individu. Hukum internasional juga telah mengatur kewajiban-kewajiban kepada
negara dalam hubungannya dengan perlakuan terhadap penduduk, baik warga negara maupun
orang asing. Perjanjian internasional yang telah memberikan hak-hak tertentu kepada orang
perorangan, maka hak-hak itu harus diakui dan memiliki daya laku pada hukum internasional
juga. 42

G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan menjadi salah satu metode yang dipakai dalam melakukan
penulisan skripsi ini, hal ini bertujuan untuk mempermudah dalam menyusun serta
mempermudah pembaca untuk memahami dan mengerti isi dari skripsi ini. Adapun sistematika
skripsi ini sebagai berikut :

41
42

Wagiman. Op Cit., Hlm. 67
Ibid., Hlm. 68

29
Universitas Sumatera Utara

BAB I : Pendahuluan
Yaitu menguraikan tentang Latar Belakang, Permasalahan, Tujuan dan Manfaat
Penulisan, Keaslian Penulisan, Metode Penelitian, Tinjauan Kepustakaan, dan
Sistematika Penulisan.
BAB II : Tinjauan Umum Mengenai Pengungsi di Indonesia
Yaitu menguraikan tentang Pengertian Pengungsi Secara Umum, Pengertian Pengungsi
Secara Yuridis, Sebab-sebab Terjadinya Pengungsi, Kriteria Pengungsi Internasional,
Pengaturan Pengungsi di Indonesia, dan Konsep Tentang Hak Asasi Manusia.
BAB III : Tanggung Jawab Negara Mengenai Prinsip Non Refoulement
Yaitu menguraikan tentang Pengertian Prinsip Non Refoulement, Prinsip Non
Refoulement Sebagai Ius Cogens, Pengecualian Penerapan Prinsip Non Refoulement,
dan Tanggung Jawab Negara Berkaitan Dengan Prinsip Non Refoulement.
BAB IV : Hambatan yang Dialami Indonesia Dalam Menangani Pengungsi
Yaitu menguraikan tentang Hubungan Indonesia dan Konvensi 1951 Tentang Status
Pengungsi, dan Upaya Indonesia Dalam Menerapkan Prinsip Non Refoulement
Berkaitan Dengan Pengungsi di Indonesia.
BAB V : Penutup
Yaitu menguraikan Kesimpulan dan Saran dari pembahasan yang sudah di paparkan
mengenai penanganan pemerintah Indonesia terhadap pengungsi ditinjau dari prinsip
non refoulement.

30
Universitas Sumatera Utara