Hubungan Iklim (Temperatur, Kelembaban, Curah Hujan, Hari Hujan dan Kecepatan Angin) dengan Kejadia Malaria di Kabupaten Tapanuli Tengah Tahun 2010-2014

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Malaria
Menurut Zulkoni (2010), malaria berasal dari kata Italia yaitu mal artinya
buruk dan area artinya udara. Jadi secara harfiah malaria berarti penyakit yang
sering terjadi pada daerah dengan udara buruk akibat lingkungan yang buruk.
Abad ke-19, Laveran menemukan “bentuk pisang” (banana form) dalam
darah seorang penderita malaria. Setelah itu, diketahui bahwa malaria disebabkan
oleh plasmodium yang ditularkan oleh nyamuk (Ross,1897) yang banyak terdapat
di daerah rawa (Sorontou, 2013).
Penyakit malaria telah diekanal sejak tahun 1753 dan 1880. Parasit
penyabab penyakit malaria ditemukan oleh Laveran. Tahun 1883, morfologi
Plasmodium mulai dipelajari, dengan menggunakan larutan metilen biru untuk
mewarnai parasit malaria. Tahun 1885, Golgi menjelaskan siklus hidup
Plasmodium, yakni siklus skizogoni eritrosik yang disebut siklus golgi. Siklus
parasit tersebut dalam tubuh nyamuk dipelajari oleh Ross dan Bignami (1989).
Sorontou (2013) yang mengutip pendapat Manson membuktikan bahwa
nyamuk adalah vektor yang menularkan penyakit malaria. Tahun 1984-1954,
siklus skizogoni praeritrositik Plasmodium diteliti kembali secara mendalam, dan
ditemukan bahwa malaria pada manusia disebabkan oleh empat spesies

Plasmodium, yaitu Plasmodium falciparum, Plasmodium vivax, Plasmodium
ovale, dan Plasmodium malariae.

10
Universitas Sumatera Utara

Plasmodium merupakan jenis genus protozoa parasit. Penyakit yang
disebabkan oleh genus ini dikenal sebagai malaria. Parasit ini senantiasa
mempunyai dua inang dalam siklus hidupnya, yaitu vektor nyamuk dan inang
vertebrata. Sekurang-kurangnya 10 spesies menjangkiti manusia. Spesies lainnya
menjangkiti hewan lain, termasuk burung, reptilia, dan hewan pengerat (Achmadi,
2014).
Menurut Zulkoni (2010), Plasmodium yang dapat menimbulkan penyakit
pada manusia terdapat 4 jenis, yaitu Plasmodium falciparum, Plasmodium vivax,
Plasmodium ovale, dan Plasmodium malariae. Wilayah tropis merupakan daerah
endemik malaria, meskipun penyakit ini dapat dijumpai di daerah-daerah yang
terletak diantara 40o Lintang Selatan dan 60o Lintang Utara. Daerah persebaran
Plasmodium ovale lebih terbatas, yaitu Afrika Timur, Afrika Barat, Filipina dan
Irian Jaya.
2.1.1 Gejala Klinis Malaria

Menurut Sorontou (2013), Gejala klinis utama yang disebabkan oleh
parasit Plasmodium malaria yang menginfeksi manusia adalah demam, anemia,
dan splenomegali.
2.1.1.1 Demam
Demam yang terjadi secara periodik pada infeksi malaria berhubungan
dengan masa pemecahan sejumlah skizon matang yang mengeluarkan merozoit,
kemudian memasuki aliran darah yang disebut sporulasi. Demam mulai timbul
bersamaan dengan

pemecahan skizon darah yang mengeluarkan bermacam-

macam antigen. Antigen tersebut dapat merangsang sel-sel magrofag, monosit

11
Universitas Sumatera Utara

atau limfosit yang mengeluarkan bermacam-macam sitokin, antara lain TNF
(Tumor Necrosis Factor). TNF dapat dibawa aliran darah ke hipotalamus yang
merupakan pusat pengatur suhu dan terjadi demam.
Proses skizoni pada keempat Plasmodium memerlukan waktu yang

berbeda-beda. Skizon setiap kelompok menjadi matang setiap 48 jam pada
malaria vivax (tersiana) dan malaria falciparum sehingga periodisitas demamnya
bersifat tersiana. Skizon menjadi matang setiap 50 jam pada malaria ovale,
sedangkan skizon menjadi matang dengan interval 72 jam pada malaria kuartana
yang disebabkan oleh Plasmodium malariae. Demam pada Plasmodium
falciparum dapat terjadi setiap hari, sedangkan Plasmodium vivax dan
Plasmodium ovale dalam satu hari, dan Plasmodium malariae dalam 2 hari.
Masa tunas intrinsik berakhir dengan timbulnya serangan pertama (firts
attack). Setiap serangan terjadi atas beberapa serangan demam yang timbulnya
secara periodik, bersamaan dengan spoorulasi. Timbulnya demam bergantung
juga pada jumlah parasit (pyrogenic level, fever therhold). Berat infeksi pada
individu ditentukan dengan hitung jumlah parasit (parasite count) pada sediaan
darah. Demam biasanya bersifat intermitten (febris continu). Serangan demam
malaria biasanya dimulai dengan gejala prodormal, yaitu lesu, sakit kepala, tidak
nafsu makan, kadang-kadang diesertai dengan mual dan muntah.

Serangan

demam yang khas terdiri dari beberapa stadium, yaitu :
1. Stadium menggigil, stadium menggigil dimulai dengan perasaan dingin

sekali, hingga menggigil. Penderita menutupi seluruh tubuhnya dengan
baju tebal dan selimut. Nadi penderita cepat, namun lemah, bibir dan jari
tangannya menjadi biru, kulit kering dan pucat, kadang-kadang disertai

12
Universitas Sumatera Utara

muntah. Kejang-kejang sering menyertai gejala ini pada anak. Stadium ini
berlangsung 15 menit sampai 1 jam.
2. Stadium puncak demam, dimulai saat klien merasa dingin sekali,
kemudian berubah menjadi panas sekali. Muka menjadi merah, kulit
kering dan terasa panas seperti terbakar, sakit kepala semakin hebat,
disertai mual dan muntah, nadi penuh dan berdenyut keras. Perasaan haus
sekali, terutama pada saat suhu tubuh naik sampai 41 0C (106 0F) atau
lebih. Stadium ini berlangsung selama 2 samapi 6 jam.
3. Stadium berkeringat, stadium berkeringat ini dimulai dengan penderita
berkeringat banyak sehingga tempat tidurnya basah. Suhu tubuh turun
dengan cepat, kadang-kadang sampai di bawah ambang normal. Penderita
biasanya dapat tidur dengan nyenyak, dan saat terbangun penderita merasa
lemah, meskipun sehat. Stadium ini berlangsung 2 sampai 4 jam. Serangan

demam yang khas ini sering dimulai pada siang hari dan berlangsung 8-12
jam. Setelah itu, terjadi stadium apireksia. Lama serangan untuk gejala
demam ini untuk setiap spesies malaria tidak sama. Gejala infeksi yang
timbul kembali setelah serangan pertama biasanya disebut relaps.
Relaps dapat bersifat: a) Rekrudesensi (relaps jangka pendek) yang timbul
karena parsit dalam darah (daur eritrosit) menjadi banyak. Demam timbul dalam
waktu 8 minggu sesudah serangan pertama hilang; b) Rekurens (relaps jangka
panjang) yang timbul karena parasit dari hati (daur eksoeritrosit) masuk ke dalam
darah dan sendi banyak sehingga demam timbul lagi dalam 24 minggu atau lebih
setelah serangan-serangan pertama hilang. Apabila infeksi malaria tidak
menunjukkan gejala di antara serangan pertama dan relaps, keadaan ini disebut

13
Universitas Sumatera Utara

periode laten klinis, walaupun ada mungkin parasitemia (parasit di dalam darah)
dan parasit tidak dapat ditemukan dalam darah tepi. Akan tetapi, stadium
eksoeritrosit masih bertahan dalam jaringan hati. Serangan demam semakin lama
semakin berkurang beratnya kerana tubuh manusia dapat beradaptasi dengan
adanya parasit di dalam darah dan respons imun (Sorontou, 2013).

Gejala klinis malaria lainnya adalah badan terasa lemas dan pucat karena
kekurangan darah dan berkeringat, nafsu makan menurun, mual-mual yang
kadang-kadang juga muntah, sakit kepala yang berat dan terus-menerus
khususnya infeksi Plasmodium falciparum, jika gejala menahun terjadi
pembesaran limpa. Pada anak-anak, makin muda usia gejala klinisnya makin
tidak jelas, yang menonjol adalah mencret (diare dan pucat karena anemia karena
adanya riwayat/kunjungan ke/ berasal dari daerah endemis malaria) (Depkes RI,
1999).

2.1.1.2 Anemia
Anemia pada penderita malaria terjadi karena pecahnya sel darah merah
yang terinfeksi maupun yang tidak terinfeksi. Plasmodium falciparum
menginfeksi semua jenis sel darah merah. Anemia dapat terjadi pada infeksi akut
dan kronis. Plasmodium vivax dan Plasmodium ovale yang hanya menginfeksi sel
darah merah muda yang jumlahnya hanya 21/2 dari seluruh jumlah sel darah
merah, sedangkan Plasmodium Malariae menginfeksi sel darah merah tua yang
jumlahnya hanya 1% dari jumlah sel darah merah. Anemia yang disebabkan oleh
Plasmodium ovale, Plasmodium vivax, dan Plasmodium malariae umumnya
terjadi pada keadaan kronis.


14
Universitas Sumatera Utara

Derajad anemia tergantung pada spesies parasit Plasmodium yang
menyebabkannya. Anemia terutama tampak jelas pada malaria kronis. Jenis
anemia yang disebabkan oleh penyakit malaria adalah anemia hemolitik, anemia
hormokrom, dan anemia normositik. Pada serangan akut hemoglobin turun secara
mendadak (Sorontou, 2013).
2.1.1.3 Splenomegali
Limpa

merupakan

organ

retikuloendotelial.

Plasmodium

yang


menginfeksi organ ini dapat difagosit oleh sel-sel makrofag dan limfosit.
Penambahan sel-sel radang ini dapat menyebabkan limpa membesar. Pembesaran
limpa merupakan gejala khas terutama pada malaria kronis. Perubahan pada limpa
biasanya disebabkan oleh kongesti, tetapi kemudian limpa berubah berwarna
hitam karena pigmen yang ditimbun dalam eritrosit yang mengandung parasit
dalam kapiler dan sinusoid hati. Eritrosit yang tampaknya normal dan
mengandung parasit dan granula hemozoid tampak dalam histiosit di pulpa dan
sel epitel sinusoid hati. Pada malaria kronis, jaringan ikat semakin bertambah
sehingga konsistensi limpa menjadi keras (Sorontou, 2013).
2.1.2 Masa Inkubasi
Masa inkubasi adalah rentang waktu sejak sporozoit masuk ke tubuh
manusia sampai timbulnya gejala klinis yang ditandai dengan demam. Masa
inkubasi bervariasi tergantung spesies plasmodium (lihat Tabel 2.1).
Masa prepaten adalah rentang waktu sejak sporozoit masuk ke tubuh
manusia sampai parasit dapat dideteksi dalam sel darah merah dengan
pemeriksaan mikroskopik.

15
Universitas Sumatera Utara


Tabel 2.1 Masa Inkubasi Penyakit Malaria
Jenis Plasmodium
Masa Inkubasi (rata-rata)
P. Falciparum
9-14 hari (12)
P. Ovale
16-18 hari (17)
P. Vivax
12-17 hari (15)
P. Malariae
18-40 hari (28)
P. Knowlesi
10-12 hari (11)
Sumber: Permenkes RI No. 5 Tahun 2013
2.1.3 Cara Penularan Penyakit Malaria
Penularan penyakit malaria terjadi secara alamiah dan tidak alamiah:
1. Penularan secara alamiah, malaria ditularkan oleh nyamuk Anopheles
betina. Jumlah nyamuk Anopheles sebanyak 80 spesies, dan kurang dari 16
spesies menjadi vektor penyebar malaria di Indonesia. Bila nyamuk

Anopheles betina yang berinfeksi malaria yang mengandung sporozoid
menggigit manusia sehat, orang tersebut akan menderita malaria.
2. Malaria bawaan (kongenital) terjadi pada bayi yang baru dilahirkan karena
ibunya menderita malaria dan penularannya melalui plasenta atau tali
pusat. Secara mekanik, penularan terjadi melalui transfusi darah atau
jarum suntik dan hal ini banyak terjadi pada para morfinis. Penularan
peroral atau melalui mulut merupakan cara penularan yang pernah
dibuktikan pada burung dan ayam. Pada umumnya, penularan pada
manusia juga berasal dari masusia lain yang sakit malaria. Baik
asimtomatik maupun simtomatik (Sorontou, 2013).
2.1.4 Pencegahan Malaria
Pencegahan malaria dilakukan terhadap perorangan maupun masyarakat,
dengan cara sebagai berikut:

16
Universitas Sumatera Utara

1. Mengobati penderita dan penduduk yang peka dan pendiam di daerah
endemik
2. Mengobati karier malaria menggunakan primakuin, karena agens tersebut

mampu memberantas bentuk gametosit malaria, akan tetapi hindari
penggunaan obat tersebut secara massal karena efek sampingnya
3. Memberi pengobatan profilaksis pada individu yang akan memasuki
daerah endemis malaria
4. Memberantas nyamuk Anopheles yang menjadi vektor penularannya
menggunakan insektisida
5. yang sesuai, dengan cara memusnahkan sarang nyamuk Anopheles
6. Menghindarkan diri dari gigitan nyamuk dengan menggunakan kelambu
jika tidur, atau menggunakan repelent yang diusapkan pada kulit, jika
berada diluar rumah pada malam hari (Sorontou, 2013).
2.2 Epidemilogi Malaria
Menurut Sorontou (2013), epidemiologi malaria adalah ilmu yang
bertujuan menganalisis berbagai faktor yang berhubungan erat dengan timbulnya
masalah penyakit malaria di masyarakat, terutama yang berkaitan dengan
penjamu, agen, dan lingkungan. Penangggulangannya disertai dengan survailens
penyakit malaria yang lebih mengarah pada pencegahan dan penanggulangan
berbagai faktor yang berkaitan erat dengan timbulnya masalah penyakit malaria di
masyarakat secara umum dan secara khusus, terbatas pada sasaran individu
ataupun lingkungan keluarga saja.

17
Universitas Sumatera Utara

Epidemiologi malaria adalah ilmu yang mempelajari faktor-faktor yang
menentukan distribusi malaria pada masyarakat dan memanfaatkan pengetahuan
tersebut

untuk

menanggulangi penyakit

tersebut.

Setelah ditemukannya

insektisida DDT dalam tahun 1936-1939 maka pada tahun 1955-1969
diintensifkan. Namun usaha tersebut hanya berhasil disebagian belahan dunia.
Terbatasnya pengetahuan mengenai biologi parasit, vektor, ekologi manusia dan
lingkungan menjadi hambatan untuk menanggulangi malaria (Harijanto,
2009).Pendekatan epidemiologi malaria menggunakan interaksi antara tiga faktor:
Host (penjamu), agens (plasmodium), dan environment (lingkungan). Host terbagi
atas dua bagian yakni host definitif yaitu nyamuk Anopheles betina sebagai
vektor, dan host intermediated, yakni manusia. Faktor-faktor yang memengaruhi
host intermediated adalah usia, jenis kelamin, ras, sosial, status, riwayat penyakit
sebelumnya, cara hidup, hereditas atau keturunan, status gizi, dan tingkat
imunitas. Faktor tersebut penting diketahui karena memengaruhi risiko untuk
terpajan oleh sumber penyakit atau penyakit (Sorontou, 2013).
2.2.1 Penjamu Perantara (Manusia)
Hal yang terpenting adalah keberadaan gametosit dalam

tubuh manusia

sebagai penjamu perantara, yang kemudian dapat meneruskan daur hidupnya
dalam tubuh nyamuk. Manusia ada yang rentan (susceptible), yang dapat ditulari
dengan malaria, namun terdapat pula yang lebih kebal dan tidak mudah ditulari
malaria. Berbagai bangsa atau ras mempunyai kerentanan yang berbeda-beda atau
faktor ras. Pada umumnya pandangan baru ke daerah endemis, lebih rentan
terhadap malaria daripada penduduk aslinya. Faktor-faktor yang mempengaruhi

18
Universitas Sumatera Utara

penjamu intermediated (manusia) adalah usia, jenis kelamin, ras, sosial ekonomi,
status, riwayat penyakit sebelumnya, cara hidup, hereditas (keturunan), status gizi,
dan tingkat imunitas.
a. Usia, merupakan faktor yang penting bagi manusia untuk terjadinya
penyakit. Penyakit malaria lebih sering menyerang anak-anak dan lanjut
usia, karena mereka lebih rentan terhadap penyakit malaria. Selain itu daya
imunitas anak belum sempurna, sedang pada lanjut usia, daya imunitas
tubuhnya menurun.
b. Jenis kelamin, penyakit malaria dapat menyerang baik laki-laki maupun
perempuan, tanpa terkecuali. Akan tetapi, penyakit malaria yang
menginfeksi ibu hamil, terutama parasit malaria falsiparum dapat
menyebabkan anemia berat dengan kadar hemoglobin yang kurang dari
5%.
c. Ras, pengaruh perbedaan ras terhadap timbulnya penyakit biasanya
disebabkan oleh perbedaan cara hidup, kebiasaan sosial, dan nilai-nilai
sosial serta terkadang keturunan dan daerah tempat tinggal.
d. Riwayat penyakit sebelumnya, bagi mereka yang pernah menderita
penyakit malaria dan tidak berobat sampai sembuh, penyakit malaria ini
akan kambuh atau relaps bila kondisi tubuh menurun.
e. Cara hidup, ini dipengaruhi oleh keadaan sosial ekonomi, tingkat
pendidikan, ras atau golongan etnis. Kebiasaan hidup di luar rumah
mempunyai peluang lebih besar digigit nyamuk Anopheles dibandingkan
di dalam rumah.

19
Universitas Sumatera Utara

f. Sosial ekonomi, keadaan sosial ekonomi erat hubungannya dengan cara
hidup. Apabila keadaan sosial ekonominya cukup, cara memilih sandang,
papan dan panganpun cukup. Dengan demikian individu tersebut tidak
mudah terinfeksi oleh parasit malaria.
g. Hereditas, pengaruh faktor keturunan berkaitan dengan ras atau golongan
etnis.
h. Status gizi, faktor gizi sangat mempengaruhi penderita yang terinfeksi oleh
parasit malaria. Individu yang memiliki gizi baik akan mempunyai daya
imunitas tubuh yang kuat sehingga parasit dapat mati di dalam tubuh.
Sebaliknya, jika gizinya buruk, parasit malaria akan berkembang dengan
cepat di dalam tubuh dan dapat menyebabkan kematian, terutama malaria
berat.
i. Imunitas, faktor imunitas sangat mempengaruhi serangan penyakit
malaria, karena bila imunitasnya baik atau sempurna, penyakit malariapun
tidak akan berkembang.
Faktor manusia lainnya adalah angka kematian yang tinggi akibat
malaria, angka kesembuhan sesudah menderita malaria, status kekebalan
populasi terhadap penyakit ini, dan lingkungan hidup serta cara hidup
penduduk di daerah malaria (Sorontou,2013).
2.2.2 Host Definitif (Nyamuk Anhopeles)
Nyamuk Anopheles hidup terutama di daerah tropik dan subtropik,
namun biasa juga hidup di daerah beriklim sedang dan bahkan di daerah
Antartika. Nyamuk Anopheles jarang ditemukan pada ketinggian dataran lebih

20
Universitas Sumatera Utara

dari 2000-2500 m. Sebagian besar nyamuk

ditemukan di dataran rendah

(Sorontou, 2013).
Faktor yang harus mempengaruhi nyamuk dan harus diperhatikan
adalah tempat berkembang biak nyamuk (breeding places), panjang umur
nyamuk, dan efektivitas sebagai vektor penular, serta jumlah spoorozoit yang
diinokulasi setiap kali menghisap darah penderita donor maupun resipien.
Efektivitas vektor untuk menularakan malaria ditentukan oleh kepadatan vektor
dekat permukiman manusia, kesukaan menghisap darah manusia atau
antropofilik, frekuensi menghisap darah yang bergantung pada suhu, jika suhu
panas

nyamuk

akan

sering menggigit

manusia, lamanya

sporogoni

(berkembanganya parasit dalam nyamuk sehingga menjadi infektif), laman
Nyamuk di seluruh dunia meliputi kira-kira 2000 spesies, sedangkan hidup
nyamuk harus cukup untuk sporogoni dan cara menginfeksinya berdea-beda
tergantung pada spesiesnya. Kebiasaan nyamuk Anopheles betina menggigit
pada waktu senja dan subuh, dengan jumlahnya yang berdeda-beda bergantung
pada spesiesnya (Sorontou, 2013).
Kebiasaan makan dan istirahat nyamuk dapat dibagi menjadi :
1. Endofili, kesukaan nyamuk tinggal dalam rumah atau bangunan
2. Eksofili, kesukaan nyamuk tinggal di luar rumah
3. Endofagi, menggigit dalam rumah atau bangunan
4. Eksofagi, menggigit di luar rumah atau bangunan
5. Antripofili, suka menggigit manusia
6. Zoofili, suka menggigit binatang

21
Universitas Sumatera Utara

Jarak terbang nyamuk terbatas, biasanya tidak lebih dari 2-3 km dari
tempat perindukannya (bleeding place). Apabila kecepatan angin kuat, nyamuk
dapat terbawa sejauh 30 km. Nyamuk dapat tebawa pesawat terbang atau kapal
laut dan menyebarkan penyakit malaria ke daerah yang non endemik
(Sorontou, 2013).
2.2.2.1 Vektor
Nyamuk jenis ini yang dapat menularkan malaria dalah kira-kira 60
spesies. Di Indonesia menurut pengamatan terakhir ditemukan kembali 80
spesies , sedangkan yang ditemukan sebagai vektor malaria adalah 16 spesies
dengan tempat perindukannya yang berbeda-beda. Di Jawa dan Bali Anopheles
sundaicus dan

Anopheles aconitus merupakan vektor utama, sedangkan

Anopheles subpictus dan Anopheles maculatus merupakan vektor sekunder.
Vektor penting yang ditemukan di Sumatera adalah Anhopeles
sundaicus,
sinensis dan

Anopheles maculatus, dan Anopheles nigerrimus, sedangkan
letifer merupakan vektor yang tidak penting.

Anopheles

sundaicus dan Anopheles subpictus banyak terdapat di daerah pantai,
sedangkan Anopheles aconitus dan Anopheles maculatus banyak terdapat di
daerah pedalaman (Sorontou, 2013).
Di dunia terdapat 422 spesies nyamuk dan ada sekitar 67 spesies yang
telah dikonfirmasi memiliki kemampuan menularkan penyakit malaria. Di
Indonesia sendiri telah diidentifikasi ada 90 spesies, dan 22 (ada yang
menyebutnya 16) di antarannya telah dikonfirmasi sebagai nyamuk penular

22
Universitas Sumatera Utara

malaria. Mereka memiliki habitat mulai dari rawa-rawa, pegunungan, sawah,
pantai dll (Harijanto, 2009).
Menurut Achmadi (2005), peran nyamuk sebagai vektor penular
malaria tergantung kepada beberapa faktor antara lain:
1.

Umur nyamuk
Diperlukan waktu untuk perkembangbiakan gametosit dalam tubuh

nyamuk menjadi sporosoit yakni bentuk parasit yakni bentuk parasit yang siap
menginfeksi manusia sehat. Apabila umur nyamuk lebih pendek dari proses
sporogoni, yakni replikasi parasit dalam tubuh nyamuk (sekitar 5-10 hari),
maka dapat dipastikan bahwa nyamuk tersebut tidak dapat menjadi vektor.
2.

Peluang kontak dengan manusia
Tidak selamanya nyamuk memiliki kesempatan kontak dengan manusia,

apalagi nyamuk di daerah hutan. Namun harus diwaspadai pada nyamuk yang
memiliki sifat zoofilik, meskipun lebih suka menghisap darah binatang, bila
tidak dijumpai ternak juga menggigit manusia. Pada kesempatan inilah nyamuk
yang siap dengan sporozit dengan kelenjar ludahnya, menular ke manusia.
Peluang kontak dengan manusia, merupakan kesempatan untuk menularkan
atau menyuntikkan sporozoit ke dalam darah manusia.
3.

Frekuensi menggigit seekor nyamuk
Semakin sering seekor nyamuk yang mengandung menggigit, maka

semakin besar kemungkinan dia menularkan penyakit malaria.
4.

Kerentanan nyamuk terhadap parasit itu sendiri

23
Universitas Sumatera Utara

Nyamuk yang terlalu banyak parasit dalam perutnya tentu biasanya
melebihi kapasitas perut nyamuk itu sendiri, perut biasanya meletus dan mati
karenanya.
5.

Ketersediaan manusia di sekitar nyamuk
Nyamuk memiliki kebiasaan menggigit di luar maupun di dalam rumah

pada malam hari. Setelah menggigit, beristirahat di dalam rumah maupun di
luar rumah.
6.

Kepadatan nyamuk
Umur nyamuk serta pertumbuhan gametosit di dalam perutnya,

dipengaruhi suhu. Suhu lingkungan yang dianggap kondusif berkisar antara 2530 0C dan kelembaban udara 60-80 %. Kalau kepadatan populasi nyamuk
terlalu banyak, sedangkan ketersediaan pakan misalnya populasi hewan atau
manusia di sekitar tidak ada, maka akan merugikan populasi nyamuk itu
sendiri. Sebaliknya bila pada satu wilayah populasi cukup padat, maka akan
meninggalkan kapasitas vektorial yang kemungkinan nyamuk terinfeksi akan
lebih banyak.
7.

Lingkungan
Faktor lingkungan sangat berperan dalam timbulnya nyamuk sebagai

vektor penular penyakit malaria. Faktor-faktor tersebut antara lain, lingkungan
fisik, seperti suhu udara yang mempengaruhi panjang pendeknya masa
inkubasi ekstrinsik, yakni pertumbuhan fase sporogoni dalam perut nyamuk.
Kelembaban udara yang rendah akan memperpendek umur nyamuk. Hujan
yang diselingi panas semakin baik untuk kemungkinan perkembangbiakannya,
sedangkan pengaruh sinar matahari terhadap pertumbuhan larva nyamuk

24
Universitas Sumatera Utara

berbeda-beda contohnya Anopheles sundaicus lebih suka tempat teduh dan
oleh sebab itu pada musim hujan populasi nyamuk ini berkurang. Faktor lain,
adalah arus air. Adapun variabel lingkungan lainnya adalah lingkungan
kimiawi, sebagai contoh salinitas. Ternyata Anopheles sundaicus memiliki
kadar garam dalam air yang kondusif bagi pertumbuhan antara 12%-18%.
Lingkungan biologik juga berperan dalam perkembangbiakan vektor penular
malaria, misalnya adanya lumut, ganggang berbagai tumbuhan air yang
membuat Anopheles sundaicus dapat berkembang biak (Achmadi,2014).
2.2.3 Agent (Parasit Plasmodium)
Agent adalah spesies parasit Plasmodium yang menyebabkan penyakit
malaria. Spesies penyakit malaria tetap hidup dan berkembang dan harus ada di
dalam tubuh manusia. Penularan malaria bermula dari stadium gametosit dalam
tubuh manusia, yang kemudian dapat membentuk stadium infektif atau sporozoid
di dalam nyamuk. Sifat spesies parasit berbeda-beda dari satu daerah dan daerah
lain. Hal itu dapat mempengaruhi terjadinya manifestasi klinis. Masa infektif
Plasmodium falciparum paling pendek, namun menghasilkan parasitemia paling
tinggi, gejala paling berat, dan masa inkubasi paling pendek.
Gametosit Plasmodium falciparum baru berkembang setelah 8-15 hari
sesudah parasit masuk ke dalam darah. Gametosit Plasmodium falciparum
menunjukkan periodisitas dan efektivitas yang berkaitan dengan kegiatan
menggigit vektor Plasmodium vivax dan Plasmodium ovale. Umumnya, jumlah
parasitemia yang diakibatkannya rendah. Saat ini, telah banyak ditemukan
Plasmodium falciparum yang resisten terhadap klorokuin. Di Indonesia, resistensi
tersebut semakin lama tersebar di banyak daerah (Sorontou, 2013).

25
Universitas Sumatera Utara

Di Indonesia terdapat 4 spesies Plasmodium, yaitu :
1) Plasmodium vivax, memiliki distribusi geografis terluas, termasuk wilayah
beriklim dingin, subtropik. Demam terjadi setiap 48 jam atau setiap hari
ketiga, pada waktu siang atau sore. Masa inkubasinya antara 12-17 hari dan
salah satu gejala adalah pembengkakan limpa atau splenomegali.
2) Plasmodium falciparum, merupakan penyebab malaria tropika, secara klinik
berat dan dapat menimbulkan komplikasi berupa malaria cerebral dan fatal.
Masa inkubasi malaria tropika ini sekitar 12 hari, dengan gejala nyeri kepala,
pegal linu, demam tidak begitu nyata, serta kadang dapat menimbulkan gagal
ginjal.
3) Plasmodium ovale, masa inkubasi 12-17 hari, dengan gejala demam setiap 48
jam, relatif ringan dan sembuh sendiri.
4) Plasmodium malariae, merupakan penyebab malaria quartana yang
memberikan gejala demam setiap 72 jam. Malaria jenis ini umumnya terdapat
pada daerah gunung, dataran rendah pada daerah tropik. Biasanya
berlangsung tanpa gejala, dan ditemukan secara tidak sengaja. Namun malaria
jenis ini sering kambuh.
2.2.3.1 Siklus Hidup Plasmodium
Dalam daur hidupnya Plasmodium mempunyai dua hospes, yaitu
vertebrata dan nyamuk. Siklus seksual yang berbentuk sporozoid di dalam
nyamuk sebagai sporogoni dan siklus aseksual di dalam hospes vertebrata dikenal
sebagai skizoni (Sorontou, 2013).

26
Universitas Sumatera Utara

a. Sporogoni (Seksual)
Menurut Susana (2011), Siklus sporogoni disebut siklus seksual karena
menghasilkan bentuk sporozoit yang siap ditulartkan ke manusia, terjadi di dalam
tubuh nyamuk. Siklus ini juga disebut siklus ekstrinsik karena masuknya
gametosit ke dalam tubuh nyamuk hingga menjadi sporozoit yang terdapat di
dalam kelenjar ludah nyamuk. Gametosid yang masuk ke dalam bersama darah,
tidak dicernakan bersama sel-sel darah lain. Dalam waktu 12 sampai 24 jam
setelah nyamuk menghisap darah, zigot berubah bentuk menjadi ookinet yang
dapat menembus dinding lambung. Di lambung ini berubah menjadi ookista yang
besarnya lima kali lebih besar dari ookinet. Di dalam ookista dibentuk ribuan
sporozoit, dengan pecahnya ookista, sporozoit dilepaskan ke dalam rongga badan
dan bergerak keseluruh jaringan nyamuk. Bila nyamuk sedang menusuk manusia,
sporozoit masuk ke dalam darah dan jaringan, dan mulailah siklus eritrositik.
b. Skizoni (Aseksual)
Sporozoit infektif dari kelenjar ludah nyamuk, dimasukkan ke dalam aliran
darah hospes vertebrata (manusia). Dalam waktu 30 menit memasuki sel
parenkim hati, memulai siklus eksoeritrositik. Pada Plasmodium vivax dan
Plasmodium ovale ada yang ditemukan di dalam sel hati yang disebut hipnosoit.
Hipnosoit ini merupakan suatu fase dari siklus parasit yang nantinya dapat
menyebabkan kumat/kambuh/rekurensi (long term relapse). Plasmodium vivax
dapat kambuh berkali-kali bahkan sampai jangka waktu 3-4 tahun. Sedangkan
Plasmodium ovale dapat kambuh sampai bertahun-tahun apabila pengobatannya
tidak dilakukan dengan baik. Kumat pada Plasmodium falciparum disebut
reksudensi (short term relapse), karena suklus di dalam sel darah merah masih

27
Universitas Sumatera Utara

berlangsung sebagai akibat pengobatan yang tidak teratur. Dalam sel hati parasit
tumbuh menjadi skizon. Pembelahan inti skizon menghasilkan merozoit di
dalam satu sel hati. Siklus eritrositik dimulai pada waktu merozoit hati
memasuki sel darah merah. Merozoit berubah bentuk menjadi tropozoit.
Tropozoit tumbuh menjadi skizon muda yang kemudian matang menjadi skizon
dan skizon matang dan membelah menjadi banyak merozoit. Kemudian sel
darah merah pecah dan merozoit, pigmen dan residu keluar serta masuk ke
dalam plasma darah. Parasit ada yang masuk ke sel darah merah lagi untuk
mengulang siklus skizoni. Beberapa merozoit yang memasuki eritrosit tidak
membentuk skizon, tetapi membentuk gametosit, yaitu stadium seksual. Pada
waktu masuk ke dalam tubuh manusia, parasit malaria dalam bentuk sporozoit
(Susana,2011).

2.2.4 Lingkungan (Environment)
Lingkungan mempunyai pengaruh yang besar terhadap parasit malaria di
suatu daerah. Lingkungan terbagi menjadi lima bagian :
1. Lingkungan Fisik
Lingkungan fisik yang mempengaruhi perkembangan vektor nyamuk
adalah kondisi suhu, udara, musim, kelembaban udara, cuaca hujan, hujan panas,
angin, sinar matahari, arus air dan kondisi geografis serta geologinya. Selain itu,
iklim juga mempengaruhi ada atau tidaknya parasit malaria. Di daerah yang
beriklim dingin, transmisi parasit malaria tidak dapat terjadi, namun transmisi
tersebut terjadi pada musim panas. Masa inkubasi parasit malaria dapat
terpengaruh oleh iklim. Di daerah yang kurang baik untuk biologi vektor,

28
Universitas Sumatera Utara

kemungkinan terjadi infeksi parasit malaria lebih kecil. Daerah pegunungan pada
umumnya bebas malaria. Perubahan lingkungan dapat menyebabkan perubahan
tempat perindukan vektor. Hal ini sangat memengaruhi keadaan malaria dan dapat
berdampak positif atau negatif terhadap keadaan malaria di daerah tersebut. Suhu
udara, kelembaban, dan curah hujan merupakan faktor untuk transmisi penyakit
malaria (Sorontou, 2013).
2. Lingkungan Biologi
Lingkungan biologi terdiri atas ikan pemakan jentik nyamuk atau tumbuhtumbuhan yang berfungsi sebagai biokontrol. Ikan pemakan jentik nyamuk seperti
ikan kepala timah, ikan mujair, ikan mas, ikan nila, dan ikan air tawar lainnya
dapat digunakan biokontrol larva atau jentik nyamuk. Kolam ikan bandeng
merupakan man made breeding palces untuk Anopehles sundaicus, sedangkan
pengolahan sawah yang terus-menerus merupakan man made breeding places
untuk Anopheles aconitus. Selain itu, berbagai aktivitas pembangunan dapat
menyebabkan terjadinya man made breeding places untuk vektor nyamuk,
sehingga keadaan dapat memburuk dengan adanya pembangunan.
3. Lingkungan Sosial Ekonomi
Lingkungan sosial ekonomi meliputi kepadatan penduduk, stratifikasi
sosial (tingkat pendidikan, pekerjaan, dll), nilai-nilai sosial, dan kemiskinan
dapat mempengaruhi perkembangan parasit malaria.
4. Lingkungan Sosial Budaya
Sosial budaya berhungan dengan kebiasaan hidup di luar rumah. Individu
yang memiliki kebiasaan hidup di luar rumah berpeluang digigit nyamuk lebih
tinggi dibandingkan mereka yang tinggal di dalam rumah. Akan tetapi, peluang

29
Universitas Sumatera Utara

untuk digigit pun tinggi bila tempat tinggal atau rumah tersebut tidak memenuhi
syarat kesehatan.
Faktor ini kadang-kadang besar sekali pengaruhnya dibandingkan dengan
faktor lingkungan lainnya. Prinsipnya ialah menciptakan keadaan lingkungan
yang menguntungkan bagi nyamuk dimana adanya kebiasaan hidup yang
membuat tempat perindukan nyamuk seperti membiarkan tergenangnya air di
pekarangan dan jarang membersihkan tempat tinggal (Azwar, A. 2002).
5. Lingkungan Kimia
Aliran air yang diberi insektisida seperti abate memang pada awalnya
membunuh jentik nyamuk. Akan tetapi, jentik yang mampu bertahan dapat
berkembang menjadi spesies nyamuk atau Aedes yang kebal terhadap senyawa
insektisida, suhu, udara, kelembaban, curah hujan merupakan faktor penting untuk
transmisi penyakit malaria.
2.3

Imunologi Parasit Malaria
Menurut Sorontou (2013), imunologi berasal dari kata “imunis” yang

berarti daya tahan tubuh dan “logos” adalah ilmu. Imunologi adalah ilmu yang
mempelajari tentang sistem imunitas dalam tubuh. Sistem imunitas melibatkan
kumpulan sel, jaringan, dan molekul yang aktif dalam kegiatan tubuh. Sistem
tersebut membentuk pertahanan tubuh terhadap infeksi yang menyerang tubuh
atau terhadap bahan yang merugikan tubuh.
Imunitas atau kekebalan pada malaria merupakan keadaan imun atau kebal
terhadap infeksi yang berhubungan dengan proses penghancuran parasit atau
dapat juga terhadap pertumbuhan parasit serta perkembangbiakannya. Secara
umum, dikatakan bahwa imunitas terhadap malaria sangat kompleks karena

30
Universitas Sumatera Utara

melibatkan hampir seluruh komponen sistem imun, baik imunitas spesifik maupun
nonspesifik, imunitas humoral maupun seluler yang timbul secara alami maupun
di dapat sebagai akibat infeksi. Selain itu, imunitas spesifik tampaknya muncul
lambat dan hanya bersifat jangka pendek serta barangkali tidak ada imunitas yang
permanen. Imunitas bawaan atau alamiah dan yang didapat mungkin dihasilkan
pada penderita malaria (Sorontou, 2013).
2.3.1

Imunitas Alamiah
Sebagian besar imunitas alamiah terhadap malaria merupakan mekanisme

nonimunologis berupa kelainan genetik pada eritrosit atau hemoglobin (Hb).
1. Hb S (Sickle cell Trait)
Kelainan ini timbul karena adanya penggantian asam amino valin dengan
asam amino glutamat pada posisi 57 dari rantai hemoglobin. Bentuk
heterozigot dapat mencegah timbulnya malaria berat, namun tidak
melindungi tubuh dari infeksi. Mekanisme perlindungannya belum jelas,
diduga karena eritrosit Hb S yang terinfeksi parasit lebih mudah dirusak di
sistem retikuloendotelial dan/atau penghambatan pertumbuhan parasit
akibat tekanan O2 intraeritrosit rendah serta perubahan kadar kalium
intrasel yang dapat mengganggu pertumbuhan parasit, atau karena adanya
akumulasi bentuk heme tertentu yang toksik bagi parasit.
2. Hb C
Kelainan ini banyak terdapat di negara-negara Afrika Barat dan timbul
akibat pergantian asam amino glutamat dengan lisin pada posisi 6 rantai
hemoglobin. Bentuk homozigot dapat menghambat merozoit keluar dari
eritrosit. Sering pula dijumpai kelainan gabungan Hb S dan Hb C (Hb SC).

31
Universitas Sumatera Utara

3. Hb E
Kelainan ini merupakan varian Hb yang paling umum dijumpai di dunia
dan banyak terdapat di Asia Tenggara. Hb E terjadi karena mutasi tunggal,
yaitu asam amino glutamin diganti dengan lisin pada posisi 26 dari rantai
globin. Mekanisme perlindungannya belum jelas, mungkin karena eritrosit
Hb E yang terinfeksi Plasmodium lebih mudah difagositosis oleh sistem
imun.
4. Talasemia
Talasemia

merupakan

kelainan

herediter

yang

mekanisme

perlindungannya belum jelas, mungkin karena eritrosit penderita talasemia
bila terinfeksi plasmodium lebih banyak mengekspresikan antigen pararit
dipermukaan selnya sehingga dapat mengikat eritrosit penderita talasemia
yang banyak mengandung Hb F yang kurang menyokong pertumbuhan
parasit.
5. Defisiensi Glucose-6 Phosphat Dehydrogenase (G6PD)
Enzim G6PD adalah enzim yang memberi perlindungan tubuh manusia
terhadap malaria dan hal ini banyak tampak pada wanita yang heterozigot.
Akan tetapi, mekanisme perlindungannya belum jelas, mungkin karena
parasit harus beradaptasi untuk tumbuh pada dua populasi eritrosit dengan
defisiensi enzim G6DP dan eritrosit dengan enzim normal yang dapat
mengganggu pertumbuhan parasit.
6. Ovalositosis Herediter
Merupakan kelainan bentuk sitoskeleton eritrosit yang diturunkan secara
autosomal dominan untuk memberi perlindungan tubuh terhadap malaria.

32
Universitas Sumatera Utara

Mekanisme perlindungan tubuh terjadi karena membran eritrisit
ovalositosis yang kaku lebih tahan terhadap masuknya merozoit.
2.3.2

Imunitas Nonspesifik
Psorozoit yang masuk ke dalam darah dapat berhadapan dengan sistem

kekebalan tubuh, pertama dengan respon imunitas nonspesifik dan selanjutnya
dilakukan oleh respon imunitas spesifik. Respon imunitas nonsepsifik penting
karena merupakan pertahanan pertama dalam memberikan perlawanan terhadap
infeksi, terutana dilaksanakan oleh beberapa sel sistem kekebalan atau imun,
sitokin dan limpa.
1. Leukosit Polimorfonuklear (PMN) atau Neutrofil
Neutrofil atau PMN adalah jenis leukosit yang bekerja dengan cara
fagositosis langsung terhadap parasit. Aktivitasnya dapat meningkat bila
dirangsang oleh sitokin IFN-γ dan TNF-α yang dihasilkan oleh makrofag
dan limfosit T helper. Neutrofil dan fagosit lainnya membunuh parasit
dengan cara mengelaurkan radikal bebas baik berupa O2 dependent seperti
superoksida ataupun O2 independent seperti nitrit oksida (NO).

2. Sitokin
Sitokin yang berperan aktif menghambat pertumbuhan parasit atau
sitostatik dan membunuh parasit atau sitotoksik, atau berfungsi sebagai
faktor pertumbuhan bagi sel efektor sistem imun lainnya adalah sebagai
berikut: TNF-α , IL-1, IL-2, IL-4, IL-6, IL-8, IL-10, dan IL-12.

33
Universitas Sumatera Utara

3. Komplemen
Komplemen adalah protein yang bekerja dengan antibodi untuk
mengopsonisasi eritrosit yang terinfeksi parasit sehingga kadarnya dapat
menurun sesuai dengan keparahan penyakit. Komplemen terutama
diaktifkan melalui jalur klasik pada malaria.
4. Limpa
Limpa merupakan organ pertama dan terpenting yang melindungi tubuh
terhadap malaria. Limpa berfungsi sebagai tempat filtrasi eritrosit yang
terinfeksi parasit dan mengalami deformitas serta eritrosit yang terikat
pada antibodi dan komplemen yang untuk selanjutnya dihancurkan oleh
makrofag. Selain itu, limpa merupakan tempat untuk mempertahankan
antigen parasit dengan sistem imun, dan diduga limpa adalah tempat
utama pengaturan sistem imun untuk menentukan bagian komponen
imunitas yang diaktifkan, seperti menagktifkan subset limfosit Th-1 atau
Th-2.

2.3.3

Imunitas Spesifik
Tanggapan sistem imun spesifik terhadap infeksi malaria mempunyai

beberapa ciri khusus, yaitu spesies spesifik, strain spesifik, dan spesifik terhadap
stadiun siklus parasit.
1. Spesies Spesifik
Dahulu Plasmodium vivax digunakan sebagai terapi demam untuk
pengobatan neurosifilis. Ternyata penderita yang pernah terinfeksi
Plasmodium vivax masih dapat terinfeksi P.falciparum, namun tahan

34
Universitas Sumatera Utara

terhadap infeksi ulang dengan Plasmodium vivax. hal ini menunjukkan
bahwa kekebalan terhadap malaria bersifat spesies spesifik. Akan tetapi,
hasil

penelitian di

Vanuatu

dan Thailand menunjukkan bahwa

kemungkinan adanya imunitas silang antara Plasmodium vivax dan
Plasmodium falciparum. infeksi Plasmodium vivax di masa anak-anak
dapat menimbulkan respon kekebalan yang dapat melindungi tubuh
terhadap malaria berat, jika terinfeksi Plasmodium falciparum (protective
parsial).
2. Strain atau Varian Spesifik
Berdasarkan percobaan individu yang pernah terinfeksi oleh strain parasit
akan kebal bila terpajan ulang dengan strain homolog, namun jika terpajan
dengan strain heterolog, dapat terjadi infeksi walaupun mungkin lebih
ringan. Demikian pula individu yang sudah kebal disuatu daerah endemis
masih dapat jatuh sakit bila ia bepergian ke daerah endemis lainnya karena
mungkin orang tersebut terinfeksi oleh Plasmodium pembawa galur-galur
yang berbeda, sehingga orang tersebut terkena sakit di daerah baru itu.
3. Imunitas Spesifik Terhadap Siklus Hidup Plasmodium
Kekebalan tubuh pada stadium aseksual ekstraeritrosit berbeda dengan
stadium eritrositer, demikian pula dengan stadium seksual. Kekebalan
terhadap stadium sporozoit atau merozoit bukan berarti tubuh kebal juga
terhadap stadium gametosit, demikian sebaliknya. Kekebalan spesifik ini
timbul karena parasit menghasilkan antigen yang berbeda-beda pada
masing-masing siklus yang selanjutnya dapat merangsang produksi jenis

35
Universitas Sumatera Utara

antibodi spesifik atau mengaktifkan komponen kekebalan seluler
(Sorontou, 2013).
2.4. Iklim
Iklim adalah rata-rata keadaan cuaca dalam jangka waktu yang cukup
lama, minimalnya 30 tahun yang sifatnya tetap. Klimatologi ataupun ilmu yang
mempelajari tentang iklim, tidak terlepas dari meteorologi, sehingga kadangkadang meteorologi dianggap sama dengan klimatologi. Meteorologi atau ilmu
cuaca menekankan pada proses fisika yang terjadi di atmosfer, misalnya hujan,
angin, dan suhu (Kartasapoetra, 2004).
Menurut Lakitan (2002), beberapa faktor berperan menentukan perbedaan
iklim antara wilayah yang satu dengan wilayah lainnya di muka bumi. Faktorfaktor yang dominan perannya adalah:
1. Posisis relatif terhadap garis edar matahari (posisi lintang),
2. Keberadaan lautan atau permukaan air lainnya,
3. Pola arah angin,
4. Rupa permukaan daratan bumi, dan
5. Kerapatan dan jenis vegetasi.
Iklim beserta unsurnya hal penting untuk diperhatikan dan dipelajari
dengan sebaik-baiknya, karena pengaruhnya sering menimbulkan masalah yang
berat bagi manusia serta makhluk hidup. Masalah tersebut merupakan tantangan
bagi manusia dimana ia harus berusaha untuk mengatasinya dengan menghindari
atau memperkecil pengaruh yang tidak menguntungkan manusia. Manusia tidak
mungkin mengalahkan hukum alam, kita hanya mampu berusaha untuk
menghindar atau meperkecil pengaruhnya, yaitu dengan jalan bersahabat dan

36
Universitas Sumatera Utara

melalui penyelidikan untuk mengetahui yang dikehendakinya, sehingga
penyesuaian dan pendekatan dapat dilakukan (Kartasapoetra, 2004).
Perubahan iklim menyebabkan terjadinya kondisi–kondisi ekstrim yang
lebih dikenal dengan El Nino. Dibeberapa wilayah yang spesifik kejadian El NinoSouthern Oscillation (ENSO) bisa menyebabkan gangguan pada suhu dan curah
hujan dalam rentang waktu 2 sampai 7 tahun (WHO, 2003).\
Seperti yang telah diterangkan sebelumnya, bahwa iklim diperhitungkan
dari keadaan faktor – faktor cuaca seperti suhu udara, kelembaban udara relatif,
curah hujan, kecepatan angin, dan ketinggian permukaan air laut. Berikut kita
bahas mengenai unsur – unsur yang berperan penting dalam penentuan iklim baik
secara global atau hanya pada wilayah tertentu.
2.4.1 Unsur- Unsur Iklim
2.4.1.1 Temperatur (suhu)
Kita mengetahui bahwa udara adalah campuran dari miliaran atom yang
tak terhitung jumlahnya. Masing - masing molekul tersebut memiliki ukuran dan
karakterisitik tersendiri. Molekul tersebut setiap waktu bergerak dan melesat
bebas dan saling bertumbukan antara satu sama yang lain. Bertumbuknya molekul
tersebut akan menghasilkan sebuah energi. Suhu yang terbentuk di udara
merupakan hasil dari energi yang terjadi dari pertumbukan molekul – molekul di
udara (Ahren, 2009).

37
Universitas Sumatera Utara

Menurut Kartasapoetra (2004), faktor-faktor yang mempengaruhi
suhu dipermukaan bumi, antara lain:
1. Jumlah radiasi yang diterima per tahun, per hari, dan per musim.
2. Pengaruh daratan atau lautan
3. Pengaruh ketinggian tempat
4. Pengaruh angin secara tidak langsung, misalnya angin yang membawa
panas dari sumbernya secara horizontal.
5. Pengaruh panas laten, yaitu panas yang disimpan dalam atmosfer
6. Penutup tanah, yaitu tanah yang ditutup vegetasi yang mempunyai
temperatur yang lebih rendah daripada tanah tanpa vegetasi.
7. Tipe tanah, tanah gelap indeks suhunya lebih tinggi
8. Pengaruh sudut datang sinar matahari. Sinar yang tegak lurus akan
membuat suhu lebih panas daripada yang datangnya miring.
Menurut Ahren (2009), Kita mengetahui bahwa suhu udara kadang
dirasakan berbeda antara satu daerah dengan daerah yang lain. Tubuh manusia
sangat sensitif dengan keadaan suhu dilingkungannya. Untuk menjaga kestabilan
suhu, tubuh kita memanfaatkan makanan menjadi panas yang dikenal dengan
metabolisme. Untuk menjaga suhu tubuh tetap konstan, panas tersebut kita
produksi dan kita serap sesuai dengan panas yang kita lepaskan. Tubuh manusia
melepaskan panas dengan memancarkan sinar infra merah ke lingkungan
sekitarnya.
2.4.1.2 Kelembaban (Humanity)
Kelembaban udara adalah banyaknya uap air yang terkandung dalam
massa udara pada saat dan tempat tertentu yang dinyatakan dalam persen (%)

38
Universitas Sumatera Utara

(Hermansyah, 2008). Alat yang digunakan untuk mengukur kelembaban udara
adalah psychrometer atau hygrometer.
Kelembaban udara mempunyai beberapa istilah yaitu :
a. Kelembaban mutlak atau kelembaban absolute, yaitu massa uap air persatuan
volume udara dinyatakan dalam satuan gram/ m3.
b. Kelembaban spesifik yaitu perbandingan antara massa uap air dengan massa
udara lembab dalam satuan volume udara tertentu, dinyatakan dalam g/kg.
c. Kelembaban nisbi atau lembaban relative, yaitu perbandingan antara tekanan
uap air actual (yang terukur) dengan tekanan uap air pada kondisi jenuh,
dinyatakan dalam % (Kartasapoetra, 2008).
2.4.1.3 Curah Hujan
Kita telah mengetahui bersama, bahwa cuaca berawan tidak selalu
mengindikasikan akan terjadi hujan. Pada bagian sebelumnya telah kita
membahas mengenai pembentukan awan yang berawal karena adanya penguapan
(evaporasi) dari air yang ada di permukaan bumi kemudian menjadi awan dengan
proses kondesasi di udara. Awan yang terbentuk terdiri dari butiran uap air.
Butiran awan yang masih sedikit, terlalu ringan untuk bisa mencapai permukaan
bumi. Untuk jatuh sebagai butiran air, awan tersebut membutuhkan proses
kondensasi terlebih dahulu.
Menurut Lakitan (2002) mengutip pendapat Mori dkk membagi tingkatan
hujan berdasarkan intensitasnya, yaitu :
1. sangat lemah (kurang dari 0,02 mm/menit),
2. lemah (0,02-0,05 mm/menit),
3. sedang (0,05-0,25 mm/menit),

39
Universitas Sumatera Utara

4. deras (0,25-1,00 mm/menit) dan
5. sangat deras (lebih dari 1,00 mm/menit).
Menurut Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika berdasarkan
analisis curah hujan bulanan maka distribusi hujan bulanan diklasifikasikan
sebagai berikut :
1. rendah (0-100 mm)
2. menengah/ sedang (101-200 mm)
3. tinggi (201-400 mm)
4. sangat tinggi (400- >500 mm)
Pola curah hujan di wilayah Indonesia dipengaruhi oleh keberadaan
Samudra Pasifik di sebelah timur laut dan Samudra Indonesia di sebelah barat
daya. Kedua samudra ini merupakan sumber udara lembab yang akan
mendatangkan hujan di wilayah Indonesia. Keberadaan benua Asia dan Australia
yang mengapit kepulauan Indonesia mempengaruhi pola pergerakan angin. Arah
angin sangat penting perannya dalam mempengaruhi pola curah hujan.
Antara bulan Oktober sampai Maret, angin muson timur laut akan
melintasi garis ekuator dan mengakibatkan hujan lebat, sedangkan antara bulan
April sampai September angin akan bergerak dari arah tengggara melintasi benua
Australia sebelum sampai ke wilayah Indonesia dan angin ini sedikit sekali
mengandung uap air (Lakitan, 2002).
2.4.1.4 Kecepatan Angin
Menurut Oktavia, L (2015) yang mengutip pendapat Tyasyono Angin
adalah gerak udara yang sejajar dengan permukaan bumi. Udara bergerak dari

40
Universitas Sumatera Utara

daerah bertekanan udara tinggi ke daerah bertekanan udara rendah. Angin diberi
nama sesuai dengan dari arah mana angin datang.
Angin merupakan gerakan atau perpindahan massa udara dari suatu tempat
ke tempat lain secara horizontal. Massa udara adalah udara dalam ukuran yang
sangat besar yang mempunyai sifat fisik (temperatur dan kelembaban) yang
seragam dalam arah yang horizontal. Sifat massa udara ditentukan oleh:
1. Daerah atau tempat dimana massa udara terjadi. Jika berasal dari daerah
yang banyak air maka massa udara bersifat lembab. Bila berasal dari
daerah kering bersifat kering,
2. Jalan yang dilalui oleh massa udara. Bila melalui massa udara yang basah
maka akan bersifat semakin lembab karena akan mengisap air dari daerah
yang dilaluinya, dan
3. Umur dari massa udara, artinya waktu yang diperlukan mulai dari
terbentuk sampai berubah menjadi bentuk lain.
2.5 Perubahan Iklim
Istilah perubahan iklim (climate change) dan pemanasan global (global
warming) merupakan dua hal yang harus kita pahami dalam arti yang berbeda.
Menurut Wolrd Meteorological Organization (WMO), periode minimal dalam
pengukuran perubahan iklim adalah 3 dekade, atau 30 tahun (Miller & Spoolman,
2010; Harvey, 2000; WHO, 2003).
Menurut Miller dan Spoolman (2010), poin penting yang sering diteliti
sekarang terkait masalah perubahan ilkim baik itu secara global, regional maupun
lokal adalah mengenai curah hujan dan suhu rata – rata. Terdapat beberapa faktor
yang berperan dalam menyebabkan perubahan iklim. Faktor-faktor tersebut antara

41
Universitas Sumatera Utara

lain terdapatnya variasi radiasi yang dilepaskan matahari, perubahan orbit bumi,
perubahan bentang alam, dan perubahan konsentrasi beberapa gas di atmosfer
bumi (Aquado & Burt, 2001).
Atmosfer berfungsi menjaga kestabilan suhu permukaan bumi. Perubahan
iklim tersebut dipicu karena mulai berubahnya konsentrasi beberapa gas dalam
atmosfer. Gas – gas yang beperan dalam proses perubahan iklim tersebut lebih
sering dikenal dengan istilah green house gases (Miller & Spoolman, 2010). Isu
climate change sering diarahkan kepada peningkatan komposisi karbon dioksida
(CO2) dan gas rumah kaca lainnya. CO2 merupakan gas yang efektif menyerap
radiasi dan gelombang panas yang dilepaskan oleh matahari. Karbon monoksida
hanyalah salah satu gas yang berperan dalam penyerapan radiasi dan gelombang
panas matahari. Gas lain yang berperan yang bersifat gas rumah kaca adalah gas
methana (CH4), N2O, CFC. (Aquado & Burt, 2001). Sekitar 30% energi matahari
yang dilepaskan ke bumi akan di pantulkan kembali ke angkasa luar, sedangkan
20% akan diserap dan 50% dari solar energy tersebut akan diserap oleh
permukaan bumi (Oesgher, 1993). Gambar 2.1 berikut menjelaskan bagaimana
proses energi matahari yang sampai ke permukaan bumi, dan kembali dipantulkan
baik kembali ke angkasa atau kembali lagi kepermukaan bumi akibat
terperangkap efek gas rumah kaca.

42
Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.1 Efek Gas Rumah Kaca; Sumber : Kidd & Kidd (2006).
Dari gambar 2.1 di atas jelas terlihat bahwa gas rumah kaca tersebut
kembali memantulkan energi matahari kembali ke permukaan bumi. Beberapa gas
di dalam atmosfer termasuk uap air (H2O), karbon dioksida, gas metana, dan
nitrogen oksida berperan dalam memberikan panas pada bumi. Gas – gas dan uap
air tersebut akan menyerap dan melepaskan panas radiasi matahari sehingga
memainkan peran penting dalam perubahan suhu dan iklim di bumi. Radiasi
matahari yang pancarkan ke bumi ada sebagian yang diserap dan dipantulkan
kembali. Radiasi matahari tersebut akan diserap oleh molekul – molekul gas
rumah kaca (Miller & Spoolman, 2010).
Tingkat gas rumah kaca yang lebih tinggi menghasilkan suhu lebih tinggi .
Perbedaan antara tingkat karbon dioksida tinggi dan rendah tidak seperti
diungkapkan di beberapa dekade mendatang karena akan menjelang akhir abad
kedua puluh satu. tahun 2010-an , suhu rata-rata global diperkirakan akan
meningkat 0,5-1,0 0C ( 0,9-1,8 0 F ) terlepas dari konsentrasi karbon dioksida itu

43
Universitas Sumatera Utara

sendiri. Ada perbedaan yang jauh lebih tinggi suhu pada akhir abad untuk
konsentrasi yang berbeda ( Silver, J. 2008) .
Menurut Kurniawan (2012) yang mengutip pendapat Milller & Spoolman,
2010; Kidd & Kidd, 2006, aktivitas manusia seperti pembakaran bahan bakar
fosil, membuka hut

Dokumen yang terkait

Hubungan Iklim (Temperatur, Kelembaban, Curah Hujan, Hari Hujan dan Kecepatan Angin) dengan Kejadia Malaria di Kabupaten Tapanuli Tengah Tahun 2010-2014

3 20 127

Hubungan Iklim (Curah Hujan, Kecepatan Angin, Kelembaban, dan Temperatur Udara) Terhadap Kejadian DBD di Kota Medan tahun 2010-2014

1 6 140

Hubungan Iklim (Temperatur, Kelembaban, Curah Hujan, Hari Hujan dan Kecepatan Angin) dengan Kejadia Malaria di Kabupaten Tapanuli Tengah Tahun 2010-2014

0 0 16

Hubungan Iklim (Temperatur, Kelembaban, Curah Hujan, Hari Hujan dan Kecepatan Angin) dengan Kejadia Malaria di Kabupaten Tapanuli Tengah Tahun 2010-2014

0 0 2

Hubungan Iklim (Temperatur, Kelembaban, Curah Hujan, Hari Hujan dan Kecepatan Angin) dengan Kejadia Malaria di Kabupaten Tapanuli Tengah Tahun 2010-2014

0 0 9

Hubungan Iklim (Temperatur, Kelembaban, Curah Hujan, Hari Hujan dan Kecepatan Angin) dengan Kejadia Malaria di Kabupaten Tapanuli Tengah Tahun 2010-2014

0 0 5

Hubungan Iklim (Temperatur, Kelembaban, Curah Hujan, Hari Hujan dan Kecepatan Angin) dengan Kejadia Malaria di Kabupaten Tapanuli Tengah Tahun 2010-2014

0 0 6

Hubungan Iklim (Curah Hujan, Kecepatan Angin, Kelembaban, dan Temperatur Udara) Terhadap Kejadian DBD di Kota Medan tahun 2010-2014

0 0 15

Hubungan Iklim (Curah Hujan, Kecepatan Angin, Kelembaban, dan Temperatur Udara) Terhadap Kejadian DBD di Kota Medan tahun 2010-2014

0 0 2

Hubungan Iklim (Curah Hujan, Kecepatan Angin, Kelembaban, dan Temperatur Udara) Terhadap Kejadian DBD di Kota Medan tahun 2010-2014

0 0 8