IMPLEMENTASI CODE OF CONDUCT FOR RESPONS

Makalah
IMPLEMENTASI CODE OF CONDUCT FOR RESPONSIBLE
FISHERIES DALAM MENANGGULANGI IUU FISHING dan
PENANGKAPAN yang BERLEBIH
Untuk Memenuhi Tugas Hukum dan Peraturan Perikanan dan Kelautan
yang di Ampu oleh Bu Lia

Di Susun Oleh
Catur A Pamungkas
125080600111052

PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN
JURUSAN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN DAN
KELAUTAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2014

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Seperti yang kita ketahuai bersama bahwa didunia ini memiliki
sumberdaya yang sangat melimpah, baik itu sumberdaya manusia maupun
sumberdaya alam. Salah satu sumberdaya bumi yang paling besar adalah dalam
kelautan terutama perikanan. Semua itu diciptakan Tuhan agar dimanfaatkan
manusia untuk kepentingannya. Dewasa ini banyak sekali kegiatan eksploitasi
yang dilakukan terhadap sumberdaya alam, perikanan khususnya. Padahal perlu di
ketahui perikanan yang tidak dikelola umumnya akan berakhir pada tangkap
secara berlebih secara biologis (biological overfished) yang dapat menyebabkan
punahnya suatu sumber daya ikan. Hal ini disebabkan oleh anggapan bahwa
sumber daya ikan itu merupakan milik bersama (common property), yang
menyebabkan akses terbuka (open access) terhadap sumber daya tersebut yang
cenderung meningkatkan tekanan terhadap keseimbangan daya dukung sumber
daya yang tidak terkendali. Populasi ikan yang semula diyakini sebagai tidak
terbatas kemudian dirasakan akan terancam dengan semakin canggihnya armada
dan alat penangkapan ikan, jika tidak dibarengi dengan kebijakan pengelolaan dan
konservasi perikanan yang baik. Pengelolaan perikanan memerlukan input data
yang seakurat mungkin dan semuanya berpangkal pada data hasil tangkapan, baik
jenis, jumlah, ukuran dan sebaran.
pengelolaan perikanan dunia yang ada pada masa kini dinilai tidak

mencerminkan suatu pengelolaan yang terbarukan, karena tidak memperhitungkan
komponen data hasil tangkapan yang dilakukan oleh praktek Illegal, Unreported,
Unregulated Fishing (IUU Fishing). IUU Fishing kemudian menjadi sorotan Food
and Agricultural Organization (FAO) yang bertanggung jawab dalam pengelolaan
sumber daya perikanan global dengan tujuan akhir pada keberlanjutan sistem
perikanan global. Salah satu upaya FAO dalam konteks pencapaian tujuan ini
adalah diterbitkannya Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF).Norma
atau tingkah laku ini bersifat sukarela, namun beberapa bagian dari isinya disusun
berdasarkan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam UNCLOS 1982. Melalui

CCRF diharapkan semakin banyak negara perikanan dunia yang mau
memperbaiki pelaksanaan pengelolaan sumber daya perikanannya sesuai dengan
kemampuan, kebutuhan dan keinginan negara masing-masing tanpa harus merasa
terikat untuk menjalankan ketentuan yang dirasa memberatkan.

1.2 Maksud dan Tujuan
Maksud dari penulisan makalah implementasi code of conduct for
responsible fisheries ini adalah :



Bagaimana




fisheries(CCRF)?
Apa tujuan dari code of conduct for responsible fisheries(CCRF)?
Apa implementasi terhadap Negara maju maupun Negara berkembang?

sejarah

berdirinya

code of

conduct for

responsible

Tujuan dari penulisan makalah implementasi code of conduct for

responsible fisheries ini adalah :


Menjelaskan proses bagaimana sejarah berdirinya code of conduct for



responsible fisheris(CCRF),
Memaparkan apa tujuan dari pendirian dari code of conduct for



responsible fisheries(CCRF),
Menunjukkan implementasi code of conduct for responsible
fisheries(CCRF) di Negara maju dan Negara berkembang, yaitu dalam hal
IUU fishing dan perikanan tangkap.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah pendirian code of conduct for responsible fisheries(CCRF)

Dalam beberapa tahun belakangan ini perikanan dunia sudah menjadi
sebuah sektor industry pangan yang berkembang secara dinamis. Beberapa
Negara maritim berusaha keras dalam memanfaatkan peluang ini, yaitu dengan
menanamkan modal dalam armada penangkapan dan pabrik pengolahan modern
sebagai tanggapan dari permintaan internasional. Kemudian pada tahun 1980-an
mulai di disadari bahwa sumberdaya perikanan tidak akan dapat bertahan lama
jika dimanfaatkan secara terus menerus. Untuk itu perlu dilakukan pendekatan
baru pada pengolahan perikanan yang mencakup pertimbangan konservasi dan
lingkungan. Dengan kekhawatiran warga dunia akan sumberdaya perikanan yang
terancam kelestariannya, kemudian Organisasi Pangan Sedunia (FAO) komite
perikanan menggelar sidang ke-19 pada bulan maret 1991 yang mengemban
upaya bagi pengembangan konsep-konsep baru yang mengarah kepada perikanan
yang berkelanjutan dan bertanggung jawab. Kemudian dilanjutkan pada sidang
pada tahun 1992 di cacun, meksiko FAO menyiapkan sebuah tata laksana
internasional yang membahs hal tersebut. Akhirnya sidang ke-27 pada bulan
November 1993 FAO sepakat memajukan pemenuhan mandatnya yang
bertanggung jawab dalam pengelolaan sumber daya perikanan global dengan
tujuan akhir pada keberlanjutan sistem perikanan global. kemudian tata laksana
disetujui dan diterbitkan pada konferensi FAO pada 31 oktober 1995. Dengan
memberikan kelengkapan yang diperlukan dalam upaya-upaya nasional maupun

internasional untuk menjamin keberlangsungan sumberdaya perikanan yang
terbarukan dan sesuai dengan lingkungan.
Sesuai dengan tujuannya, FAO sepenuhnya membantu Negara-negara
anggota dalam pelaksanaan CCRF dan akan melapor ke PBB tentang kemajuan
yang di capai dan mengenai tindakan lebih lanjut yang perlu dilakukan. lebih dari
170 angggota FAO dengan persepsi sama mengenai kondisi perikanan
mengadopsi CCRF (tatalaksana perikanan bertanggung jawab). CCRF masih
bersifat sukarela dan ditujukan kepada stakeholder yang bekerja dan terlibat

dalam perikanan. Karena sifat sukarela tersebut, perlu komitmen stakeholder
untuk menjamin prinsip, tujuan dan tindakan praktis dalam implementasi CCRF.
Berkaitan dengan hal tersebut, CCRF merupakan representasi konsensus global
terhadap isu luas perikanan.
Implementasi CCRF akan dicapai efektif jika pemerintah dapat
mengintegrasikan prinsip dan tujuan CCRF kedalam kebijakan dan aturan
perikanan nasional. Pemerintah juga melakukan konsultasi dengan industri dan
kelompok lainnya untuk menjamin adanya dukungan terhadap perubahan aturan
atau kebijakan perikanan. Disamping itu, pemerintah memberikan upaya
dukungan terhadap industri dan komunitas perikanan untuk mengembangkan tata
kegiatan yang baik dan konsisten untuk mendukung sasaran dan tujuan CCRF.

CCRF menekankan bahwa negara dan stakeholder yang terlibat dalam perikanan
perlu bekerjasama dalam konservasi dan pengelolaan sumber daya perikanan dan
habitatnya guna menjamin pasokan ikan bagi generasi mendatang. Semua pihak
yang terlibat dalam perikanan perlu berjuang untuk mencapai produksi pada level
yang rasional. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan dan kegiatan penangkapan
perlu dirancang untuk mencapai keberlanjutan sumber daya ikan yang berarti
menjamin konservasi sumber daya, kesinambungan pasokan makanan dan
mengurangi kemiskinan.
Pengembangan kebijakan perikanan yang baik, sebagaimana telah
diketahui bersama, memerlukan pembiayaan, keterampilan dan pengalaman yang
mungkin tidak selalu tersedia di masing-masing negara. Dengan demikian, CCRF
mendukung organisasi internasional seperti FAO untuk membantu pengembangan
kapasitas nasional suatu negara untuk meningkatkan kemampuan negara tersebut
mengembangkan dan mengelola perikanan. CCRF tidak sertamerta menjelaskan
secara gamblang bagaimana nelayan, industri dan pemerintah perlu mengambil
langkah yang diperlukan guna mencapai implementasinya. Untuk itu, FAO
mengembangkan pedoman secara rinci pada topik yang berbeda untuk
mendukung implementasi CCRF.

2.2 Tujuan code of conduct for responsible fisheries(CCRF)

Secara

umum

dalam

pendirian

code

of

conduct

for

responsible

fisheries(CCRF) adalah untuk membantu Negara-negara anggota dalam mengatasi
beberapa hal sebagai berikut:



Manajemen Perikanan
CCRF mendukung negara agar mempunyai kebijakan penangkapan ikan

yang jelas dan terorganisasi dengan baik guna pengelolaan perikanan. Kebijakan
tersebut perlu dikembangkan bekerjasama dengan semua kelompok yang terlibat
dalam perikanan, termasuk industri, pekerja perikanan, kelompok lingkungan dan
organisasi lain yang berminat terhadap perikanan.Kerjasama antar negara
diperlukan karena sumberdaya perikanan terbagi diantara negara-negara tersebut,
dan CCRF mengarahkan pada pembentukan organisasi perikanan regional atau
menguatkan organisasi yang telah ada.
Manajemen perikanan menjamin kegiatan penangkapan ikan dan
pengolahan dilaksanakan sesuai dengan kaidah untuk meminimalkan dampak
negatif terhadap lingkungan, mengurangi limbah, dan menjaga mutu ikan hasil
tangkap. Nelayan wajib mencatat kegiatan operasi penangkapan mereka dan
pemerintah juga perlu menetapkan prosedur penegakan hukum. Negara perlu
menggunakan informasi sains terbaik yang tersedia dalam menyiapkan kebijakan
serta mempertimbangkan kegiatan penangkapan ikan tradisional. Jika informasi
yang tersedia terbatas, negara perlu bertindak sangat hati-hati dalam menetapkan

batasan perikanan tangkap.
Stakeholder perlu mendukung pandangan mereka terhadap berbagai isu,
terutama kebutuhan komunitas lokal yang menggantungkan kehidupannya pada
kegiatan perikanan. Negara memberikan dukungan pelatihan dan pendidikan
kepada nelayan dan pembudidaya ikan sehingga mereka dapat terlibat dalam
pengembangan dan implementasi kebijakan keberlanjutan perikanan. Guna
melindungi sumber daya perikanan maka penggunaan dinamit, racun dan kegiatan
penangkapan yang merusak dilarang di semua area. Negara perlu menjamin hanya
kapal penangkap ikan yang berijin dioperasikan di Kapal-kapal tersebut

melakukan kegiatan penangkapan ikan secara bertanggungjawab yang didukung
dengan berbagai aturan dan penegakan hukum oleh negara.
Ukuran kapal penangkap ikan perlu sesuai dengan daya dukung guna
menghindari tangkap lebih. Dampak kegiatan penangkapan perlu diketahui dan
dikaji sebelum mengenalkan alat tangkap baru. Metode penangkapan perlu
selektif dan dirancang untuk meminimalkan limbah dan memberikan tingkat
kesempatan lolosnya ikan lebih besar. Alat tangkap perlu meminimalkan hasil
tangkap yang tidak diinginkan atau yang dilindungi. Logistik kapal perlu sesuai
dengan persepsi untuk meminimalisir limbah dan sampah. Pemilik dan awak
kapal perlu menjaga limbah kapal agar tidak menyebabkan polusi. Negara perlu

mengadopsi pedoman pengurangan gas buang yang berbahaya dan bahan yang
merusak ozon seperti yang dipakai dalam sistem refrigerasi, untuk melindungi
kualitas udara. Habitat ikan yang penting seperti mangrove dan karang perlu
dilindungi dari kerusakan dan polusi. Jika kondisi alam mengancam sumber daya
perikanan, negara perlu menyiapkan tindakan pencegahan dan jika perlu
menetapkan tindakan konservasi dan pengelolaan.



Pengembangan Akuakultur

Pengembangan akuakultur perlu mengkonservasi diversitas genetik dan
meminimalisir efek negatif budidaya ikan dari populasi ikan liar. Negara perlu
menetapkan kebijakan dan rencana alokasi sumberdaya secara transparan guna
menghindari konflik antar pemanfaat sumberdaya yang berbeda. Negara perlu
menetapkan kegiatan untuk meyakinkan bahwa mata pencaharian komunitas lokal
termasuk akses dan produktivitas daerah penangkapan tidak berefek terhadap
pengembangan akuakultur, sehingga perlu memulai pengembangan prosedur
pemantauan dan penilaian terhadap efek lingkungan akuakultur. Disamping itu,
perlu penekanan terhadap pemantauan jenis makanan dan pupuk yang digunakan.
Penggunaan bahan kimia serta obat lainnya perlu diminimalkan karena dapat
berdampak negatif terhadap lingkungan, dan yang lebih penting adalah dampak
terhadap keamanan dan kualitas produk akuakultur. Guna meminimalisir penyakit

dari spesies baru, negara perlu menetapkan persetujuan tentang introduksi dan
transfer tanaman dan binatang akuatik dari satu tempat ke tempat lain.


Integrasi Perikanan kedalam Manajemen Wilayah Pesisir

Proses perencanaan pemanfaatan dan akses sumber daya pesisir perlu
mempertimbangkan keberadaan nelayan, kehidupan serta opini mereka di lokasi
tersebut. Jika wilayah pesisir mempunyai berbagai manfaat, kegiatan perikanan
diupayakan menghindari konflik diantara nelayan dan pemanfaat sumber lainnya.
Jika konflik tidak dapat dihindari maka perlu menetapkan prosedur yang
transparan guna solusi konflik. Negara dengan wilayah pesisir berdampingan
perlu kerjasama diantara mereka untuk menjamin adanya manajemen dan
konservasi yang baik.


Pasca Panen dan Tanggungjawab Perdagangan

Negara perlu mendukung rakyatnya untuk makan ikan dan meyakinkan bahwa
ikan dan produk perikanan lainnya aman dan sehat. Supervisi dan penegakan
hukum oleh negara terhadap standar mutu perlu ditetapkan untuk melindungi
kesehatan konsumen dan untuk mencegah masalah komersil. Selanjutnya, negara
perlu kerjasama dalam menentukan tindakan sanitari dan program sertifikasi.
Metode proses, transportasi, dan penyimpanan ikan perlu pendekatan ramah
lingkungan. Limbah proses pasca panen perlu diminimalisir, hasil tangkap
sampingan perlu dimanfaatkan sebaik mungkin, air dan energi perlu dikelola
secara hati-hati. Produksi dan produk pengolahan bernilai tinggi perlu didukung
karena akan berdampak terhadap nelayan. Peraturan perdagangan mengenai ikan
dan produk ikan harus sederhana, jelas dan konsisten dengan aturan internasional.
Nelayan, organisasi lingkungan dan kelompok konsumen perlu diajak konsultasi
secara periodik dalam meninjau dan memformulasi aturan perdagangan.


Riset Perikanan

Negara harus menyadari bahwa kebijakan perikanan bertanggungjawab
memerlukan basis sains. Sehingga negara perlu menyediakan fasilitas dan
mendukung pelatihan. Negara perlu memantau kondisi ikan dan habitatnya dan
melihat perubahan yang terjadi. Data tentang efek alat tangkap yang berbeda
terhadap ikan tujuan tangkap perlu dikumpulkan. Kegiatan riset secara khusus
penting jika merencanakan untuk introduksi alat tangkap komersil atau teknik

penangkapan. Negara perlu menjalin kerjasama dalam upaya riset internasional.
Informasi saintifik yang mendukung penangkapan perlu disediakan terhadap
organisasi perikanan regional dan didistribusikan kepada semua negara terkait
secepat mungkin.
2.3 Implementasi di Negara maju
Fenomena yang disebut sebagai perverse assistance telah terbukti terjadi
di beberapa negara maju sekalipun. Sebagai contoh, pada tahun 1981 pemerintah
Selandia Baru menyadari bahwa susbsidi yang mereka berikan ke sektor
perikanan justru menyebabkan industri perikanan yang overcapitalized dan telah
menyebabkan economic overfishing dimana armada yang makin banyak justru
menghasilkkan produksi perikanan yang makin sedikit. Permasalahan ini terjadi
juga di Indonesia, dimana program motorisasi atau yang dikenal dengan istilah
revolusi biru (blue revolution) misalnya, justru menimbulkan

dampak

overcorwded bagi nelayan khususnya di pantai utara Jawa dan nasib mereka tidak
lebih baik dari sebelumnya.
Apabila kapasitas tangkap suatu negara pantai mendekati suatu titik yang
memungkinkan negara itu untuk menangkap seluruh jumlah tangkapan yang
diperbolehkan dari ZEE-nya, maka negara pantai dan negara lain yang
berkepentingan harus bekerja sama dalam menetapkan pengaturan yang adil atas
dasar bilateral, sub-regional, atau regional untuk memperbolehkan peran serta
negara-negara berkembang tak berpantai di sub-regional atau regional yang Sudah
lebih dari 15 tahun sejak terbitnya CCRF, namun hingga kini masih banyak
perikanan di dunia termasuk di negara kita yang belum dikelola dengan baik.
Sejalan dengan itu akhir-akhir ini muncul perkembangan global tentang
sertifikasi hasil tangkapan yang dikembangkan oleh ahli-ahli perikanan di negaranegara maju dan diterapkan terhadap ikan-ikan maupun produk perikanan yang
diekspor ke beberapa negara maju. Upaya ini tidak lain dimaksudkan untuk
mendorong diterapkannya pengelolaan yang baik terhadap perikanan di mana
ikan-ikan tersebut berasal Sebagai

contoh Uni Eropa telah menetapkan

sertifikasi hasil tangkapan yang bertujuan agar kan-ikan yang masuk ke Uni Eropa
bebas dari hasil kegiatan IUU fishing karena bukan rahasia umum bahwa IUU

fishing merupakan salah satu penyebab gagalnya pengelolaan perikanan.
Disamping itu tidak sedikit negaranegara maju yang menerapkan sertifikasi hasil
tangkapan yang dikembangkan oleh badan swasta yang independen, sebagai
contoh sertifikasi dari Marine Stewardship Council atau MSC yang mendorong
ditegakkannya pengelolaan perikanan di negara pengekspor agar ikan-ikan yang
diekspor dikelola dengan baik. Suatu kelebihan dari konsep sertifikasi MSC
adalah bila suatu perikanan gagal memperoleh sertifikasi MSC, maka akan
ditindak lanjuti dengan penyusunan program FIP (Fisheries Improvement
Programme) yang merupakan tindak lanjut menuju proses perbaikan dalam
rangka memperkuat pengelolaan perikanan agar pada saatnya nanti dengan proses
perbaikan ini sertifikat dapat diperoleh.
2.4 Penerapan di Negara Berkembang
Indonesa merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, dimana dua pertiga
dari total wilayahnya merupakan wlayah laut, dengan jumlah pulau sebanyak
17.508 pulau dan panjang garis pantai 81.000 km. Didalam laut yang luas itu
terkandung potensi lestari sumber daya ikan (MSY) jutaan ton, belum lagi potensi
sumber daya alam yang lain, khususnya yang bersifat non hayati seperti
sumberdaya mineral, yang terkandung di dasar laut nusantara.Sewaktu kapalkapal ikan masih menggunakan layar dan alat-alat perikanan yang sederhana,
nelayan pada umumnya berpendapat bahwa ikan tidak akan habis karena
merupakan sumber daya yang mampu berkembang biak sehingga mampu
mengimbangi tekanan penangkapan. Namun dengan kemajuan zaman dimana
kapal-kapal ikan semakin modern dan dilengkapi alat-alat penangkapan yang
canggih yang dapat mendeteksi keberadaan dari pergerakan ikan, kemampuan
penangkapan ikan menjadi sangat efisien. Terlebih lagi kalau jumlah kapal ikan
makin meningkat, sumber daya ikan semakin meningkat pula. Hal ini yang
mendorong perlunya upaya pengelolaan perikanan yang benar sebagaimana
digariskan dalam CCRF. Pada saat ini negara-negara di dunia dalam
pembangunan perikanannya berusaha mengikuti petunjuk-petunjuk yang telah
digariskan oleh CCRF.

Sebagai tindak lanjut dari diratifikasinya konvensi tentang Code of Conduct
for Responsible Fisheries Pemerintah telah melakukan berbagai kebijakan yang
berhubungan dengan CCRF khususnya dibidang perikanan tangkap antara lain
(Manggabarani 2006);
1. Larangan penggunaan penangkapan ikan jenis trawl. SK. Dirjen Perikanan
Nomor 340 tahun 1997.
2. Ketentuan tentang ukuran mata jaring, melarang purse seine yang
menggunakan ukuran mata jaring lebih kecil dari 2 inci pada bagian sayap dan
kurang dari 1 inci pada bagian Kantong.
3. Pengaturan tentang jalur penangkapan ikan, melalui SK. Menteri Pertanian No.
392/Kpts/IK. 120/4/99.
4. Pengaturan pemasangan rumpon
5. Perlindungan species ikan dan biota air. Pelarangan penangkapan
beberapa jenis sumber daya ikan yang sudah dalam kondisi langka atau terancam
punah, seperti : Trochus (Trochus niloticus), beberapa jenis penyu, kima
(Pinctada sp.), beberapa jenis arwana (Schlerophagus spp), ikan duyung, dll.
SK.Mentan No. 375/Kpts/IK.250/5/1995 tentang pelarangan penangkapan ikan
napoleon wrasse (Cheilinus undulatus ruppef).
6. Pengawasan penangkapan ikan. Kep. Menteri KP No. Kep. 02/MEN/2002
menetapkan Pedoman Pelaksanaan Pengawasan Penangkapan Ikan.
7. Penetapan potensi sumberdaya ikan dan jumlah tangkapan yang diperbolehkan
(JTB).
Mengamati apa yang telah dilakukan oleh pemerintah Republik Indonesia,
rupanya telah banyak hal yang telah dilakukan dalam mewujudkan penangkapan
ikan yang ramah lingkungan. Namum demikian kenyataan dilapangan hampir
benbanding terbalik dengan kebijakan yang telah dibuat. Beberapa contoh dapat
dikemukakan adalah penggunaan jenis-jenis alat tangkap di indonesia termasuk
Sulawesi Selatan yang menyerupai trawl seperti cantrang, katrol, paddereng,
parenreng masih saja kita temukan beroperasi di wilayan pantai (Sudirman, dkk

2005; Sudirman dkk 2008). Namum demikian beberapa alasan pokok antara lain
adalah kurangnya kesadaran dan komitmen para stakeholder dalam memjaga
kelestarian sumberdaya perairan, penegakan hukum yang masih lemah,
pengawasan yang masih lemah yang antara lain disebabkan karena masih
kurangnya tenaga pegawai serta sarana pendukung dibanding dengan luas perairan
laut yang harus diawasi.

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang didapat dari berbagai sumber yang di kumpulkan,
kemudian dapat disimpulkan isi dari makalah ini adalah:


Code of conduct for responsible fisheries(CCRF) berdiri karena desakan
Negara-negara

maju

yang

menginginkan

tatalaksana

perikanan

bertanggung jawab yang masih bersifat sukarela dan ditujukan kepada


stakeholder yang bekerja dan terlibat.
Tujuan dari Code of conduct for responsible fisheries(CCRF) ada 6, yaitu
Pengelolaan Perikanan, Operasi Penangkapan, Pengembangan Akuakultur
Integrasi Perikanan kedalam Pengelolaan Kawasan Pesisir, Penanganan



Pasca Panen dan Perdagangan, Penelitian Perikanan.
Iplementasi Code of conduct for responsible fisheries(CCRF) terhadap
Negara maju dan Negara berkembang dalah dalam bidang IUU dan
pelanggaran perikanan tangkap.

3.2 Saran
Saran yang di ambil dari penulisan makalah ini adalah dimana sumberdaya
perikanan di dunia semakin menipis untuk itu perlu adanya kesadaran dari
berbagai pihak dan lembaga pemerintah untuk mengatasinya dan saling
mendukungnya demi terlaksanakannya Code of conduct for responsible
fisheries(CCRF).

Daftar Pustaka
Chairjah, 2005. LAPORAN AKHIR PENELITIAN TENTANG ASPEK
HUKUM PEMANFAATAN ZONA EKONOMI EKSKLUSIF DALAM
RANGKA PENINGKATAN PENDAPATAN NELAYAN INDONESIA.
PPPHN, Jakarta.
Kkp, 2014. Sekilas Mengenai CCRF. http://www.kkp.go.id. Di akses pada tanggal
9 mei 2014.
Pangemanan, 2011. IMPLEMENTASI CODE OF CONDUCT FOR
RESPONSIBLE FISHERIES DALAM MENANGGULANGI ILLEGAL,
UNREPORTED, UNREGULATED FISHING DI ZONA EKONOMI
EKSKLUSIF INDONESIA. Tondano, Sulawesi tengah.
Purwinto, 2012. Kajian usulan pembentukan lembaga pengelola perikanan tuna
yang berkelanjutan dan bertanggungjawab. WWF-Indonesia
Sudirman, 2008. MENUJU PARADIGMA PENANGKAPAN IKAN RAMAH
LINGKUNGAN SEBAGAI IMPLEMENTASI DARI SUSTAINABLE
FISHERIES DEVELOPMENT. Universitas Hasanudin, Makassar.