Pembuatan Biodiesel dari Treated Waste Cooking Oil (TWCO) dengan Katalis Zeolit Alam dan CaO yang Berasal dari Cangkang Telur Ayam: Pengaruh Berat Katalis dan Suhu Reaksi
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 BIODIESEL
Biodiesel (Fatty Acid Methyl Ester ; FAME) merupakan bahan bakar yang
disusun oleh mono-alkil ester dari asam lemak rantai panjang yang diturunkan
dari bahan baku terbarukan, seperti minyak nabati atau lemak hewani [19, 20].
Biodiesel merupakan cairan kuning muda yang jernih dapat digunakan dalam
bentuk murni (B100) atau sebagai campuran dengan bahan bakar diesel dari
petroleum (B5, B20). Petrodiesel merupakan hasil fraksinasi pada pertengahan
proses cracking, yang dikenal dengan “middle distillates”. Viskositas biodiesel
adalah dua kali lebih besar daripada petrodiesel, sehingga biodiesel memiliki sifat
pelumas yang lebih baik. Biodiesel dapat dihasilkan melalui alkoholisis kompleks
(transesterifikasi) dari minyak nabati dan lemak hewani [19]. Metanol adalah
alkohol yang paling banyak digunakan karena lebih murah dan merupakan
senyawa polar dengan rantai pendek [2].
Suatu senyawa (biodiesel) dapat dikomersialkan dan dijual sebagai biodiesel
apabila telah memenuhi standar biodiesel EN 14214:2009 (Inggris) atau ASTM D
6751 (Amerika Serikat). Ketentuan paling penting dalam penentuan biodiesel
adalah kadar ester (minimal 96,5%), bilangan asam (maksimum 0,5 mg KOH/gr).
Kadar ester dipengaruhi oleh kualitas teknologi dan proses yang digunakan, serta
komposisi bahan baku yang digunakan. Selain itu, parameter penting lainnya
berupa kandungan sulfur, fosfor, logam alkali, total kontaminasi, dan asilgliserol
yang tidak bereaksi [21].
8
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.1 Standar Biodiesel Berdasarkan ASTM D 6751/09, EN 14214/03, dan
Pr EN 14214/09 [22-24]
ASTM D EN
Pr EN
No. Parameter
Satuan
6751/09
14214/03 14214/09
1.
Kandungan ester
% w/w
≥96,5
≥96,5
2.
Densitas
kg/m3
860-900 860-900
3.
Viskositas kinematik
mm2/s
1,9-6,0
3,5-5,0
3,5-5,0
≥120
≥101
≤10
≤0,30
≥51
≤0,02
≤500
≤24
≤10
≥51
≤0,02
≤500
≤24
≤No.3
Kelas 1
Kelas 1
H
mg
KOH/g
g
Iodin/10
0g
% w/w
≥3
≥6
≥8
≤0,80
≤0,50
≤0,50
-
≤120
≤120
-
≤12,0
≤12,0
% w/w
-
≤1
≤1
% w/w
≤0,20
≤0,20
≤0,20
% w/w
-
≤0,80
≤0,80
% w/w
% w/w
% w/w
% w/w
≤0,020
≤0,24
≤0,20
≤0,20
≤0,020
≤0,25
≤0,20
≤0,20
≤0,020
≤0,25
mg/kg
≤5,0
≤5,0
≤5,0
mg/kg
≤5,0
≤5,0
≤5,0
mg/kg
S
≤10,0
≤360
o
-
≤10,0
Bergantu
ng pada
kelas
≤2,0
Bergantun
g pada
kelas
4.
Titik nyala
o
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
mg/kg
% w/w
13.
Kandungan sulfur
Residu karbon
Angka Setana
Kadar abu tersulfatasi
Air dan sedimen
Kandungan air
Total kontaminasi
Korosi pada jalur
tembaga
Stabilitas oksidasi
14.
Angka asam
15.
Nilai Iodin
16.
Linolenat metil ester
Metil ester ganda tak
jenuh
Kandungan metanol
Kandungan
monogliserida
Kandungan digliserida
Kadungan trigliserida
Gliserol bebas
Total gliserol
Logam kelompok I
(natrium dan kalium)
Logam kelompok II
(kalsium dan
magnesium)
Kandungan fosfor
Cold soak filterability
12.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
Cold filter plugging
point (CFPP)
≥ 130
≥ 93
(gelas
tertutup)
≤ 15
≤0,05
≥47
≤0,02
≤0,05
-
C
% w/w
% w/w
mg/kg
mg/kg
C
9
Universitas Sumatera Utara
2.2 BAHAN BAKU
2.2.1 Minyak Jelantah
Indonesia merupakan negara produsen dan eksportir kelapa sawit terbesar di
dunia. Produksi minyak kelapa sawit (CPO) di Indonesia mengalami peningkatan
drastic dari 21,39 juta ton pada tahun 2009 menjadi 30,95 juta ton pada tahun
2015. Pasar potensial yang menyerap pemasaran minyak sawit maupun minyak
inti sawit adalah industri fraksinasi/rafinasi (industri minyak goreng), lemak
khusus, margarin, oleokimia, dan sabun mandi [25]. Pada masa sebelum Orde
Baru dan sampai pada awal Pembangunan Jangka Panjang (PJP) I, minyak goreng
yang dikonsumsi masyarakat didominasi oleh jenis minyak goreng asal kelapa,
akan tetapi sejak tahun 1970-an sejajar dengan meningkatnya produksi kelapa
sawit, minyak goreng asal kelapa tergeser oleh minyak goreng asal sawit [26].
Kebutuhan minyak goreng sawit sendiri mencapai 6,58 juta ton pada tahun 2015
[27].
Minyak goreng bekas (jelantah) adalah minyak goreng yang sudah
digunakan beberapa kali pemakaian oleh konsumen. Selain warnanya yang tidak
menarik dan berbau tengi, minyak jelantah juga mempunyai potensi besar dalam
membahayakan kesehatan tubuh. Minyak jelantah kaya akan asam lemak bebas
[28]. Kandungan asam lemak dalam minyak jelantah dapat dilihat pada Tabel 2.2.
Tabel 2.2 Komposisi Asam Lemak pada Minyak Jelantah [29]
No.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Komponen
Asam Laurat
Asam Miristat
Asam Palmitoleat
Asam Palmitat
Asam Linolenat
Asam Linoleat
Asam Oleat
Asam Stearat
Asam Arakidonat
Cis 11 Eikosenoat
Rumus Molekul
C12H24O2
C14H28O2
C16H30O2
C16H32O2
C18H30O2
C18H32O2
C18H34O2
C18H36O2
C20H40O2
C20H38O2
%Komposisi
0,4
1,1
1,0
25,8
2,5
29,4
34,6
4,7
0,2
0,3
10
Universitas Sumatera Utara
Bahan baku dalam pembuatan biodiesel harus memiliki biaya produksi yang
rendah dan dapat digunakan pada skala produksi yang besar. Minyak jelantah
adalah minyak nabati yang telah digunakan pada pengolahan bahan pangan dan
tidak dapat digunakan lagi. Minyak jelantah tersedia dalam jumlah yang besar di
seluruh belahan dunia. Minyak jelantah dapat diperoleh dengan biaya setengah
dari minyak goreng yang baru. Penggunaan minyak jelantah sebagai reaktan
biodiesel tidak hanya mengurangi masalah pembuangan limbah minyak jelantah,
tetapi juga menurunkan biaya produksi [5].
2.2.2 Zeolit
Zeolit adalah senyawa padat dan bersifat asam, berupa alumina-silikat yang
berbentuk kristal dan memiliki ukuran pori yang seragam [30-32] dengan rumus
molekul (Mx/n[(AlO2)x(SiO2)y].mH2O). Zeolit juga memiliki sifat – sifat khusus
seperti kemampuan menukar ion, saringan molekul, luas permukaan yang besar,
dan aktivitas katalitiknya, sehingga zeolit menjadi bahan yang banyak dipilih
untuk ragam aplikasi dalam industri, seperti: katalis heterogen, pemisahan,
penukar ion, pemisahan kimiawi, adsorpsi, membrane, dan lain-lain [32-34].
Kinerja zeolit dipengaruhi oleh beberapa parameter, yakni: tipe struktur zeolit,
perbandingan silika terhadap aluminium, dan distribusi aluminium itu sendiri
[32]. Stabilitas termal zeolit bervariasi pada interval suhu yang besar, misalnya
zeolit dengan kandungan silika rendah akan terdekomposisi pada suhu 700 °C
sedangkan zeolit silikat stabil hingga suhu 1.300 °C [35].
Zeolit alam memiliki kemampuan sebagai katalis dalam beberapa reaksi
kimia. Namun, zeolit alam perlu diaktivasi terlebih dahulu agar dapat bekerja
dengan optimal [12]. Secara umum, aktivasi zeolit dilakukan menggunakan
larutan basa kuat ataupun larutan asam kuat. Metode – metode ini memiliki
kekurangan, seperti pengurangan rasio kandungan Si/Al dalam zeolit serta
terjadinya proses dealuminasi [12, 36, 37]. Sebagai katalis, zeolit dapat digunakan
berulang kali, sebanyak 5 kali dengan penurunan konversi yang dapat diabaikan
[30].
Penggunaan mineral sebagai penyangga katalis (catalyst support) bertujuan
untuk meningkatkan luas permukaan kontak dan meningkatkan dispersi area aktif
11
Universitas Sumatera Utara
[38]. Zeolit merupakan senyawa mesoporous yang mengandung ragam logam
oksida serta dapat digunakan untuk menyangga basa dan logam transisi [18, 39].
Katalis tersebar pada permukaan zeolit dan bagian dalam zeolit, sehingga
mempengaruhi kemampuan katalitik dari katalis tersebut. Semakin tinggi rasio
Si/Al pada zeolit, maka stabilitas termal zeolit juga semakin tinggi [13].
Gambar 2.1 Struktur Zeolit Alam [31]
2.2.3 Kalsium Oksida (CaO)
Kalsium oksida (CaO) adalah salah satu logam alkali tanah oksida yang
terbentuk dari kristal ionik dan karakter kation logam dari asam Lewis yang
dimiliki sangat rendah karena nilai elektronegatif yang rendah. Katalis CaO juga
tersedia dalam jumlah besar dan biaya yang murah. Selain itu, CaO dapat
diproduksi dari bahan – bahan limbah / buangan yang mengandung kalsium
karbonat. Penggunaan bahan limbah / buangan tak hanyak meningkatkan
keuntungan dari segi biaya, namun juga terkait dengan daur ulang sumber mineral
alami [9]. Katalis basa heterogen juga dikenal mudah diregenerasi dan tidak
korosif, sehingga penggunaannya lebih aman, hemat, dan ramah lingkungan [40].
Cangkang telur ayam bersifat mesoporous, sehingga memiliki kemampuan
untk membentuk struktur nanoporous [41]. Berdasarkan studi yang dilakukan
oleh Mosaddegh [41], nano-kristalin CaO dapat diperoleh melalui kalsinasi
cangkang telur pada suhu di atas 600 °C, dengan ukuran kristal sebesar 40 nm.
Hal ini didukung oleh kajian Sirisomboonchai [6] bahwa kalsinasi cangkang telur
untuk digunakan sebagai katalis dalam pembuatan biodiesel optimal dilakukan
pada suhu 1000 °C, dengan luas permukaan katalis mencapai 7,33 m2/gram.
12
Universitas Sumatera Utara
Penggunaan senyawa basa padat sebagai katalis [42] seperti CaO dari cangkang
telur / hewan dapat mempermudah tahap pemurnian biodiesel dan pemisahan
katalis dari biodiesel yang diperoleh.
Kemampuan katalis CaO dapat ditingkatkan dengan mengkombinasikan
katalis dengan ragam penyangga, seperti logam oksida, alumina, dan silika. CaO
yang dikombinasikan dengan penyangga (disebut loaded CaO) cenderung
memiliki kinerja katalitik yang lebih baik dibandingkan CaO murni. Sebagai
tambahan, adanya ikatan antara CaO dan penyangga menyebabkan katalis lebih
stabil terhadap pengaruh air dan asam lemak bebas (tidak membentuk sabun
kalsium) [8]. Konversi dan yield yang dicapai dengan penggunaan katalis CaO
dari cangkang telur/hewan juga cukup tinggi, seperti yang dikaji oleh Niju, dkk.
(2014) yang mencapai konversi sebesar 94,52% dan Chen, dkk. (2014) dengan
yield sebesar 92,7% [17, 43].
2.3 PROSES PEMBUATAN BIODIESEL
2.3.1 Pre-Treatment dengan Menggunakan Karbon Aktif
Penggunaan minyak sebagai media penggorengan tidak dapat terhindar dari
serangkaian reaksi kimia yang mampu mempengaruhi kualitas minyak tersebut.
Kualitas minyak menurun sebagai dampak dari terbentuknya asam lemak bebas
(FFA), gliserol, monogliserida, digliserida dan produk oksigenasi yang lain
[44, 45]. Dalam hal ini, asam lemak bebas adalah yang paling tidak diinginkan
[45-47] karena dapat mempengaruhi konversi minyak jelantah menjadi biodiesel.
Sehingga, perlu dilakukan treatment untuk mengurangi impuritas dari minyak
jelantah agar dapat digunakan sebagai bahan baku dalam berbagai aplikasi [45].
Adsorpsi adalah salah satu langkah untuk menurunkan kadar asam lemak
bebas pada minyak, dimana asam lemak bebas tersebut dapat dipisahkan dan
dijual sebagai produk samping. Asam lemak bebas adalah pengganggu dalam
pembuatan biodiesel. Asam lemak bebas dapat bereaksi dengan basa dan berubah
menjadi sabun, serta menurunkan efisiensi biodiesel [48]. Berdasarkan penelitian
yang dilakukan oleh Kheang [45] mengenai pretreatment minyak jelantah dengan
menggunakan berbagai adsorben, terjadi penurunan kadar FFA yang bervariasi
(dari 1,3% menjadi 0,4%) tergantung pada berat adsorben dan jenis adsorben yang
13
Universitas Sumatera Utara
digunakan. Menurut Kheang [45] adsorben yang terbaik adalah silica gel, namun
harganya relatif mahal. Sedangkan, karbon aktif terletak di urutan kedua, dimana
terjadi penurunan kadar FFA (dari 1,3% menjadi 0,5%) dan lebih mudah
diperoleh secara komersil. Pada pemurnian biodiesel, karbon aktif dapat
diregenerasi dan digunakan kembali untuk fungsi pemurnian, dan hasilnya lebih
baik dibandingkan penggunaan silica gel yang diregenerasi dan digunakan
kembali [49].
2.3.2 Transesterifikasi
Ragam metode untuk menghasilkan biodiesel dari berbagai jenis bahan baku
telah dikembangkan. Metode ini diklasifikasikan atas penggunaan/pencampuran
minyak secara langsung dengan bahan bakar diesel, pirolisis, mikro-emulsi, dan
transesterifikasi. Metode yang paling sering digunakan dalam menghasilkan
biodiesel adalah reaksi transesterifikasi minyak nabati dengan alkohol rantai
pendek, biasanya menggunakan metanol [7]. Berikut ini merupakan skema reaksi
transesterifikasi katalitik dari minyak nabati:
Catalyst
Triglycerides
Methanol
Methyl Esters
Glycerol
Gambar 2.2 Skema Reaksi Transesterifikasi dengan Menggunakan Metanol [7]
Transesterifikasi juga dikenal sebagai reaksi alkoholisis, dimana terjadi
penggantian alkohol suatu ester oleh alkohol yang lain, proses ini mirip dengan
hidrolisis, perbedaannya terletak pada molekul yang terlibat pada hidrolisis adalah
molekul air, bukan molekul alkohol. Reaksi transesterifikasi awalnya merupakan
metode yang digunakan untuk membentuk gliserin dalam pembuatan sabun.
Produk samping dari proses tersebut adalah mono-alkil ester yang merupakan
konstituen biodiesel [51]. Tahapan reaksi transesterifikasi adalah sebagai berikut:
14
Universitas Sumatera Utara
Catalyst
Triglycerides
Methanol
Methyl Esters
Diglyceride
Catalyst
Diglyceride
Methanol
Methyl Esters
Monoglyceride
Catalyst
Monoglyceride
Methanol
Methyl Esters
Glycerol
Gambar 2.3 Tahapan Reaksi Transesterifikasi [50]
Ketidaklarutan lemak / minyak terhadap alkohol berpengaruh pada konversi
yang rendah dari trigliserida menjadi produk biodiesel. Sehingga, untuk
meningkatkan laju reaksi dan mencapai rendemen yang lebih baik, digunakan
katalis pada reaksi. Pada metode konvensional, biasanya digunakan katalis
homogen seperti katalis basa (NaOH, KOH, CH3ONA, CH3OK, dan lain – lain)
serta katalis asam (asam sulfat, asam klorida, asam fosfat, dan lain – lain) dalam
pembuatan biodiesel. Untuk pembuatan biodiesel secara komersial, banyak
menggunakan katalis basa [7].
Reaksi transesterifikasi dengan menggunakan katalis homogen yang bersifat
basa memiliki keuntungan, yaitu laju reksi yang sangat cepat (4000 kali lebih
cepat daripada transesterifikasi dengan katalis asam), reaksi dalam fasa cair dan
membutuhkan konsumsi energi yang lebih sedikit, dan katalisnya mudah
diperoleh dengan biaya yang murah. Namun, reaksi ini sensitif terhadap
kandungan asam lemak bebas pada minyak [50]. Jika kadar asam lemak bebas
pada minyak lebih besar daripada 0,5%, maka akan terjadi saponifikasi yang
mengganggu proses pemisahan ester dan gliserin [2]. Pembentukan sabun yang
berlebihan akan menurunkan konversi dan rendemen, sehingga membutuhkan air
dalam jumlah yang besar untuk pemurnian produk [50].
15
Universitas Sumatera Utara
2.3.3 Pemurnian Biodiesel
Transesterifikasi juga dikenal sebagai reaksi alkoholisis, dimana terjadi
penggantian alkohol suatu ester oleh alkohol yang lain, proses ini mirip dengan
hidrolisis, perbedaannya terletak pada molekul yang terlibat pada hidrolisis adalah
molekul air, bukan molekul alkohol [51]. Tingkat kemurnian biodiesel memiliki
pengaruh yang sangat besar terhadap sifat – sifat bahan bakar tersebut, terutama
pada jumlah gliserida dan trigliserida yang terdapat dalam bahan bakar dapat
menyebabkan masalah serius dalam aplikasinya ke mesin penghasil energi. Bahan
bakar harus bebas dari kandungan air, alkohol, gliserin, dan katalis. Sehingga,
perlu dilakukan treatment terhadap lapisan ester pada tahap pembuatan biodiesel
[49, 52].
Adapun beberapa dampak negatif dari kontaminan dalam biodiesel dapat
dilihat pada Tabel 2.3.
16
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.3 Dampak Negatif Kontaminan dalam Biodiesel [53]
No.
1
Kontaminan
Metanol
Dampak Negatif
Pengikisan pada segel karet dan gasket, titik
nyala yag rendah (menimbulkan masalah
pada penyimpanan, transportasi, utilitas, dan
lain – lain), viskositas dan densitas yang
rendah, bersifat korosif terhadap aluminium
dan zinc.
2
Air
Menurunkan panas pembakaran, korosi
pada komponen sistem (saluran bahan bakar
dan pompa injektor), kegagalan pemompaan
bahan bakar, hidrolisis (FFA terbentuk),
pembentukan kristal es yang menyebabkan
timbulnya gel pada sisa bahan bakar,
pertumbuhan bakteri (terhalangnya saluran
saringan mesin), serta pitting pada piston.
3
Katalis
Merusak injektor, korosi pada mesin .
4
FFA
Stabilitas oksidasi yang rendah, korosi pada
mesin.
Gliserida
Kristalisasi, kekeruhan, viskositas yang
tinggi, deposit pada piston dan keran
injektor.
Gliserol
Pengendapan, deposit pada tangki bahan
bakar, kandungan aldehid yang tinggi, emisi
akrolein, fouling pada injektor.
5
6
Setelah proses transesterifikasi dilakukan, dilakukan tahap pemurnian
biodiesel. Umumnya metode yang digunakan adalah metode pencucian basah,
dimana teknik ini dilakukan dengan memasukkan sejumlah air ke dalam biodiesel
mentah untuk selanjutnya diaduk secara perlahan untuk mencegah emulsi. Proses
ini diulangi hingga diperoleh air buangan yang jernih. Hal ini menandakan bahwa
impuritas telah terbuang sepenuhnya [53]. Metode konvensional ini dilaporkan
mengkonsumsi air dalam jumlah yang besar [53-55].
17
Universitas Sumatera Utara
2.4 FAKTOR – FAKTOR YANG MEMPENGARUHI REAKSI
TRANSESTERIFIKASI
2.4.1 Kandungan Air pada Minyak
Waktu reaksi yang singkat cenderung memberikan konversi yang tinggi
melalui penggunaan katalis basa bila dibandingkan dengan katalis asam.
Transesterifikasi dengan katalis basa sangat dipengaruhi oleh kandungan air yang
menyebabkan reaksi parsial (saponifikasi) [56, 57]. Pada transesterifikasi dengan
katalis basa menggunakan minyak dengan kadar asam lemak bebas di atas 1%,
reaksi membutuhkan jumlah katalis yang jauh lebih banyak untuk menetralisasi
asam lemak bebas [58].
2.4.2 Suhu Reaksi
Semakin tinggi suhu reaksi dapat meningkatkan laju reaksi dan menurunkan
waktu reaksi yang dibutuhkan, yang disebabkan oleh penurunan viskositas
minyak. Transesterifikasi biasanya dilangsungkan pada suhu di bawah titik didih
alkohol untuk mencegah evaporasi alkohol [58]. Namun, menurut kajian Berrios,
[2], suhu reaksi transesterifikasi berada pada rentang 60 – 80 °C.
2.4.3 Konsentrasi Katalis
Penggunaan katalis yang banyak dapat meningkatkan konversi trigliserida
menjadi biodiesel. Jika katalis yang digunakan tidak mencukupi, maka konversi
menjadi tidak maksimal [59]. Pada kajian yang dilakukan oleh Margaretha [15]
dengan menggunakan minyak sawit, metanol, dan katalis CaO dari cangkang
Pomacea sp., berat katalis yang digunakan berada dalam interval 1% hingga 5%,
dimana yield tertinggi sebesar 95,61% dapat dicapai pada penggunaan katalis
sebanyak 4%. Sedangkan kajian yang dilakukan oleh Niju [17] dengan
menggunakan minyak jelantah, metanol, dan katalis CaO dari cangkang tiram,
berat katalis yang digunakan berada dalam interval 5% hingga 10%, dimana yield
tertinggi (94,25%) dapat dicapai pada penggunaan katalis sebanyak 7%.
18
Universitas Sumatera Utara
2.4.4 Waktu Reaksi
Secara umum, konversi menjadi ester akan semakin meningkat dengan
bertambahnya waktu reaksi. Reaksi akan berlangsung lambat pada awal reaksi
[60]. Yield akan meningkat hingga mencapai maksimum dan kemudian akan
menurun seiring pengingkatan waktu reaksi. Hal ini disebabkan oleh hidrolisis
ester [3]. Bedasarkan kajian terhadap penggunaan minyak jelantah dan metanol
sebagai bahan baku transesterifikasi menjadi biodiesel, biasanya menggunakan
waktu reaksi 2 jam [6, 17].
2.4.5 Rasio Molar Alkohol dan Minyak
Penggunaan alkohol yang berlebih dapat meningkatkan konversi minyak
atau lemak menjadi ester dalam waktu yang singkat. Sehingga, yield biodiesel
akan meningkat seiring peningkatan konsentrasi alkohol sampai batas tertentu
[58]. Penggunaan katalis CaO dan metanol dikaji oleh beberapa peneliti, seperti
Niju [17] yang mencapai yield 94,25% dengan rasio molar metanol terhadap
minyak sebesar 12 : 1 serta
Sirisomboonchai [6] yang mencapai yield 86%
dengan rasio molar metanol terhadap minyak sebesar 6 : 1.
2.4.6 Kecepatan Pengadukan
Kecepatan
pengadukan
yang
rendah
cenderung
membantu
reaksi
pembentukan sabun. Hal ini disebabkan oleh kecenderungan reverse pada reaksi
transesterifikasi [61]. Adapun pada kajian yang terdahulu, diperoleh data
kecepatan pengadukan yang digunakan berada di atas 500 rpm, dimana pada
kajian yang dilakukan dapat diperoleh biodiesel (FAME >96%) [2, 5, 62, 63].
19
Universitas Sumatera Utara
2.5 ANALISIS EKONOMI
Minyak jelantah adalah limbah rumah tangga dari proses penggorengan
berbagai jenis makanan, digunakan beberapa kali oleh konsumen. Minyak
jelantah memiliki warna yang sudah tidak menarik, cenderung gelap dan keruh,
berbau tengi, dan berpotensi besar dalam membahayakan kesehatan tubuh, serta
tidak dapat digunakan lagi untuk pengolahan pangan. Sehingga, minyak jelantah
dapat dijadikan alternatif bahan baku dalam pembuatan biodiesel, sekaligus
mengurangi biaya produksi melalui pemanfaatan limbah, serta memenuhi
kebutuhan bahan bakar biodiesel dalam negeri yang semakin meningkat.
Dalam penelitian ini digunakan katalis yang berasal dari limbah, yaitu
cangkang telur ayam. Konsumsi telur ayam yang tinggi di Indonesia menjamin
ketersediaan limbah cangkang telur ayam. Oleh karena itu, pembuatan biodiesel
yang menggunakan bahan minyak jelantah dan cangkang telur ayam memiliki
potensi ekonomi yang tinggi dan dapat diperoleh dengan mudah karena tersedia
dalam jumlah berlimpah dalam bentuk limbah.
20
Universitas Sumatera Utara
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 BIODIESEL
Biodiesel (Fatty Acid Methyl Ester ; FAME) merupakan bahan bakar yang
disusun oleh mono-alkil ester dari asam lemak rantai panjang yang diturunkan
dari bahan baku terbarukan, seperti minyak nabati atau lemak hewani [19, 20].
Biodiesel merupakan cairan kuning muda yang jernih dapat digunakan dalam
bentuk murni (B100) atau sebagai campuran dengan bahan bakar diesel dari
petroleum (B5, B20). Petrodiesel merupakan hasil fraksinasi pada pertengahan
proses cracking, yang dikenal dengan “middle distillates”. Viskositas biodiesel
adalah dua kali lebih besar daripada petrodiesel, sehingga biodiesel memiliki sifat
pelumas yang lebih baik. Biodiesel dapat dihasilkan melalui alkoholisis kompleks
(transesterifikasi) dari minyak nabati dan lemak hewani [19]. Metanol adalah
alkohol yang paling banyak digunakan karena lebih murah dan merupakan
senyawa polar dengan rantai pendek [2].
Suatu senyawa (biodiesel) dapat dikomersialkan dan dijual sebagai biodiesel
apabila telah memenuhi standar biodiesel EN 14214:2009 (Inggris) atau ASTM D
6751 (Amerika Serikat). Ketentuan paling penting dalam penentuan biodiesel
adalah kadar ester (minimal 96,5%), bilangan asam (maksimum 0,5 mg KOH/gr).
Kadar ester dipengaruhi oleh kualitas teknologi dan proses yang digunakan, serta
komposisi bahan baku yang digunakan. Selain itu, parameter penting lainnya
berupa kandungan sulfur, fosfor, logam alkali, total kontaminasi, dan asilgliserol
yang tidak bereaksi [21].
8
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.1 Standar Biodiesel Berdasarkan ASTM D 6751/09, EN 14214/03, dan
Pr EN 14214/09 [22-24]
ASTM D EN
Pr EN
No. Parameter
Satuan
6751/09
14214/03 14214/09
1.
Kandungan ester
% w/w
≥96,5
≥96,5
2.
Densitas
kg/m3
860-900 860-900
3.
Viskositas kinematik
mm2/s
1,9-6,0
3,5-5,0
3,5-5,0
≥120
≥101
≤10
≤0,30
≥51
≤0,02
≤500
≤24
≤10
≥51
≤0,02
≤500
≤24
≤No.3
Kelas 1
Kelas 1
H
mg
KOH/g
g
Iodin/10
0g
% w/w
≥3
≥6
≥8
≤0,80
≤0,50
≤0,50
-
≤120
≤120
-
≤12,0
≤12,0
% w/w
-
≤1
≤1
% w/w
≤0,20
≤0,20
≤0,20
% w/w
-
≤0,80
≤0,80
% w/w
% w/w
% w/w
% w/w
≤0,020
≤0,24
≤0,20
≤0,20
≤0,020
≤0,25
≤0,20
≤0,20
≤0,020
≤0,25
mg/kg
≤5,0
≤5,0
≤5,0
mg/kg
≤5,0
≤5,0
≤5,0
mg/kg
S
≤10,0
≤360
o
-
≤10,0
Bergantu
ng pada
kelas
≤2,0
Bergantun
g pada
kelas
4.
Titik nyala
o
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
mg/kg
% w/w
13.
Kandungan sulfur
Residu karbon
Angka Setana
Kadar abu tersulfatasi
Air dan sedimen
Kandungan air
Total kontaminasi
Korosi pada jalur
tembaga
Stabilitas oksidasi
14.
Angka asam
15.
Nilai Iodin
16.
Linolenat metil ester
Metil ester ganda tak
jenuh
Kandungan metanol
Kandungan
monogliserida
Kandungan digliserida
Kadungan trigliserida
Gliserol bebas
Total gliserol
Logam kelompok I
(natrium dan kalium)
Logam kelompok II
(kalsium dan
magnesium)
Kandungan fosfor
Cold soak filterability
12.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
Cold filter plugging
point (CFPP)
≥ 130
≥ 93
(gelas
tertutup)
≤ 15
≤0,05
≥47
≤0,02
≤0,05
-
C
% w/w
% w/w
mg/kg
mg/kg
C
9
Universitas Sumatera Utara
2.2 BAHAN BAKU
2.2.1 Minyak Jelantah
Indonesia merupakan negara produsen dan eksportir kelapa sawit terbesar di
dunia. Produksi minyak kelapa sawit (CPO) di Indonesia mengalami peningkatan
drastic dari 21,39 juta ton pada tahun 2009 menjadi 30,95 juta ton pada tahun
2015. Pasar potensial yang menyerap pemasaran minyak sawit maupun minyak
inti sawit adalah industri fraksinasi/rafinasi (industri minyak goreng), lemak
khusus, margarin, oleokimia, dan sabun mandi [25]. Pada masa sebelum Orde
Baru dan sampai pada awal Pembangunan Jangka Panjang (PJP) I, minyak goreng
yang dikonsumsi masyarakat didominasi oleh jenis minyak goreng asal kelapa,
akan tetapi sejak tahun 1970-an sejajar dengan meningkatnya produksi kelapa
sawit, minyak goreng asal kelapa tergeser oleh minyak goreng asal sawit [26].
Kebutuhan minyak goreng sawit sendiri mencapai 6,58 juta ton pada tahun 2015
[27].
Minyak goreng bekas (jelantah) adalah minyak goreng yang sudah
digunakan beberapa kali pemakaian oleh konsumen. Selain warnanya yang tidak
menarik dan berbau tengi, minyak jelantah juga mempunyai potensi besar dalam
membahayakan kesehatan tubuh. Minyak jelantah kaya akan asam lemak bebas
[28]. Kandungan asam lemak dalam minyak jelantah dapat dilihat pada Tabel 2.2.
Tabel 2.2 Komposisi Asam Lemak pada Minyak Jelantah [29]
No.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Komponen
Asam Laurat
Asam Miristat
Asam Palmitoleat
Asam Palmitat
Asam Linolenat
Asam Linoleat
Asam Oleat
Asam Stearat
Asam Arakidonat
Cis 11 Eikosenoat
Rumus Molekul
C12H24O2
C14H28O2
C16H30O2
C16H32O2
C18H30O2
C18H32O2
C18H34O2
C18H36O2
C20H40O2
C20H38O2
%Komposisi
0,4
1,1
1,0
25,8
2,5
29,4
34,6
4,7
0,2
0,3
10
Universitas Sumatera Utara
Bahan baku dalam pembuatan biodiesel harus memiliki biaya produksi yang
rendah dan dapat digunakan pada skala produksi yang besar. Minyak jelantah
adalah minyak nabati yang telah digunakan pada pengolahan bahan pangan dan
tidak dapat digunakan lagi. Minyak jelantah tersedia dalam jumlah yang besar di
seluruh belahan dunia. Minyak jelantah dapat diperoleh dengan biaya setengah
dari minyak goreng yang baru. Penggunaan minyak jelantah sebagai reaktan
biodiesel tidak hanya mengurangi masalah pembuangan limbah minyak jelantah,
tetapi juga menurunkan biaya produksi [5].
2.2.2 Zeolit
Zeolit adalah senyawa padat dan bersifat asam, berupa alumina-silikat yang
berbentuk kristal dan memiliki ukuran pori yang seragam [30-32] dengan rumus
molekul (Mx/n[(AlO2)x(SiO2)y].mH2O). Zeolit juga memiliki sifat – sifat khusus
seperti kemampuan menukar ion, saringan molekul, luas permukaan yang besar,
dan aktivitas katalitiknya, sehingga zeolit menjadi bahan yang banyak dipilih
untuk ragam aplikasi dalam industri, seperti: katalis heterogen, pemisahan,
penukar ion, pemisahan kimiawi, adsorpsi, membrane, dan lain-lain [32-34].
Kinerja zeolit dipengaruhi oleh beberapa parameter, yakni: tipe struktur zeolit,
perbandingan silika terhadap aluminium, dan distribusi aluminium itu sendiri
[32]. Stabilitas termal zeolit bervariasi pada interval suhu yang besar, misalnya
zeolit dengan kandungan silika rendah akan terdekomposisi pada suhu 700 °C
sedangkan zeolit silikat stabil hingga suhu 1.300 °C [35].
Zeolit alam memiliki kemampuan sebagai katalis dalam beberapa reaksi
kimia. Namun, zeolit alam perlu diaktivasi terlebih dahulu agar dapat bekerja
dengan optimal [12]. Secara umum, aktivasi zeolit dilakukan menggunakan
larutan basa kuat ataupun larutan asam kuat. Metode – metode ini memiliki
kekurangan, seperti pengurangan rasio kandungan Si/Al dalam zeolit serta
terjadinya proses dealuminasi [12, 36, 37]. Sebagai katalis, zeolit dapat digunakan
berulang kali, sebanyak 5 kali dengan penurunan konversi yang dapat diabaikan
[30].
Penggunaan mineral sebagai penyangga katalis (catalyst support) bertujuan
untuk meningkatkan luas permukaan kontak dan meningkatkan dispersi area aktif
11
Universitas Sumatera Utara
[38]. Zeolit merupakan senyawa mesoporous yang mengandung ragam logam
oksida serta dapat digunakan untuk menyangga basa dan logam transisi [18, 39].
Katalis tersebar pada permukaan zeolit dan bagian dalam zeolit, sehingga
mempengaruhi kemampuan katalitik dari katalis tersebut. Semakin tinggi rasio
Si/Al pada zeolit, maka stabilitas termal zeolit juga semakin tinggi [13].
Gambar 2.1 Struktur Zeolit Alam [31]
2.2.3 Kalsium Oksida (CaO)
Kalsium oksida (CaO) adalah salah satu logam alkali tanah oksida yang
terbentuk dari kristal ionik dan karakter kation logam dari asam Lewis yang
dimiliki sangat rendah karena nilai elektronegatif yang rendah. Katalis CaO juga
tersedia dalam jumlah besar dan biaya yang murah. Selain itu, CaO dapat
diproduksi dari bahan – bahan limbah / buangan yang mengandung kalsium
karbonat. Penggunaan bahan limbah / buangan tak hanyak meningkatkan
keuntungan dari segi biaya, namun juga terkait dengan daur ulang sumber mineral
alami [9]. Katalis basa heterogen juga dikenal mudah diregenerasi dan tidak
korosif, sehingga penggunaannya lebih aman, hemat, dan ramah lingkungan [40].
Cangkang telur ayam bersifat mesoporous, sehingga memiliki kemampuan
untk membentuk struktur nanoporous [41]. Berdasarkan studi yang dilakukan
oleh Mosaddegh [41], nano-kristalin CaO dapat diperoleh melalui kalsinasi
cangkang telur pada suhu di atas 600 °C, dengan ukuran kristal sebesar 40 nm.
Hal ini didukung oleh kajian Sirisomboonchai [6] bahwa kalsinasi cangkang telur
untuk digunakan sebagai katalis dalam pembuatan biodiesel optimal dilakukan
pada suhu 1000 °C, dengan luas permukaan katalis mencapai 7,33 m2/gram.
12
Universitas Sumatera Utara
Penggunaan senyawa basa padat sebagai katalis [42] seperti CaO dari cangkang
telur / hewan dapat mempermudah tahap pemurnian biodiesel dan pemisahan
katalis dari biodiesel yang diperoleh.
Kemampuan katalis CaO dapat ditingkatkan dengan mengkombinasikan
katalis dengan ragam penyangga, seperti logam oksida, alumina, dan silika. CaO
yang dikombinasikan dengan penyangga (disebut loaded CaO) cenderung
memiliki kinerja katalitik yang lebih baik dibandingkan CaO murni. Sebagai
tambahan, adanya ikatan antara CaO dan penyangga menyebabkan katalis lebih
stabil terhadap pengaruh air dan asam lemak bebas (tidak membentuk sabun
kalsium) [8]. Konversi dan yield yang dicapai dengan penggunaan katalis CaO
dari cangkang telur/hewan juga cukup tinggi, seperti yang dikaji oleh Niju, dkk.
(2014) yang mencapai konversi sebesar 94,52% dan Chen, dkk. (2014) dengan
yield sebesar 92,7% [17, 43].
2.3 PROSES PEMBUATAN BIODIESEL
2.3.1 Pre-Treatment dengan Menggunakan Karbon Aktif
Penggunaan minyak sebagai media penggorengan tidak dapat terhindar dari
serangkaian reaksi kimia yang mampu mempengaruhi kualitas minyak tersebut.
Kualitas minyak menurun sebagai dampak dari terbentuknya asam lemak bebas
(FFA), gliserol, monogliserida, digliserida dan produk oksigenasi yang lain
[44, 45]. Dalam hal ini, asam lemak bebas adalah yang paling tidak diinginkan
[45-47] karena dapat mempengaruhi konversi minyak jelantah menjadi biodiesel.
Sehingga, perlu dilakukan treatment untuk mengurangi impuritas dari minyak
jelantah agar dapat digunakan sebagai bahan baku dalam berbagai aplikasi [45].
Adsorpsi adalah salah satu langkah untuk menurunkan kadar asam lemak
bebas pada minyak, dimana asam lemak bebas tersebut dapat dipisahkan dan
dijual sebagai produk samping. Asam lemak bebas adalah pengganggu dalam
pembuatan biodiesel. Asam lemak bebas dapat bereaksi dengan basa dan berubah
menjadi sabun, serta menurunkan efisiensi biodiesel [48]. Berdasarkan penelitian
yang dilakukan oleh Kheang [45] mengenai pretreatment minyak jelantah dengan
menggunakan berbagai adsorben, terjadi penurunan kadar FFA yang bervariasi
(dari 1,3% menjadi 0,4%) tergantung pada berat adsorben dan jenis adsorben yang
13
Universitas Sumatera Utara
digunakan. Menurut Kheang [45] adsorben yang terbaik adalah silica gel, namun
harganya relatif mahal. Sedangkan, karbon aktif terletak di urutan kedua, dimana
terjadi penurunan kadar FFA (dari 1,3% menjadi 0,5%) dan lebih mudah
diperoleh secara komersil. Pada pemurnian biodiesel, karbon aktif dapat
diregenerasi dan digunakan kembali untuk fungsi pemurnian, dan hasilnya lebih
baik dibandingkan penggunaan silica gel yang diregenerasi dan digunakan
kembali [49].
2.3.2 Transesterifikasi
Ragam metode untuk menghasilkan biodiesel dari berbagai jenis bahan baku
telah dikembangkan. Metode ini diklasifikasikan atas penggunaan/pencampuran
minyak secara langsung dengan bahan bakar diesel, pirolisis, mikro-emulsi, dan
transesterifikasi. Metode yang paling sering digunakan dalam menghasilkan
biodiesel adalah reaksi transesterifikasi minyak nabati dengan alkohol rantai
pendek, biasanya menggunakan metanol [7]. Berikut ini merupakan skema reaksi
transesterifikasi katalitik dari minyak nabati:
Catalyst
Triglycerides
Methanol
Methyl Esters
Glycerol
Gambar 2.2 Skema Reaksi Transesterifikasi dengan Menggunakan Metanol [7]
Transesterifikasi juga dikenal sebagai reaksi alkoholisis, dimana terjadi
penggantian alkohol suatu ester oleh alkohol yang lain, proses ini mirip dengan
hidrolisis, perbedaannya terletak pada molekul yang terlibat pada hidrolisis adalah
molekul air, bukan molekul alkohol. Reaksi transesterifikasi awalnya merupakan
metode yang digunakan untuk membentuk gliserin dalam pembuatan sabun.
Produk samping dari proses tersebut adalah mono-alkil ester yang merupakan
konstituen biodiesel [51]. Tahapan reaksi transesterifikasi adalah sebagai berikut:
14
Universitas Sumatera Utara
Catalyst
Triglycerides
Methanol
Methyl Esters
Diglyceride
Catalyst
Diglyceride
Methanol
Methyl Esters
Monoglyceride
Catalyst
Monoglyceride
Methanol
Methyl Esters
Glycerol
Gambar 2.3 Tahapan Reaksi Transesterifikasi [50]
Ketidaklarutan lemak / minyak terhadap alkohol berpengaruh pada konversi
yang rendah dari trigliserida menjadi produk biodiesel. Sehingga, untuk
meningkatkan laju reaksi dan mencapai rendemen yang lebih baik, digunakan
katalis pada reaksi. Pada metode konvensional, biasanya digunakan katalis
homogen seperti katalis basa (NaOH, KOH, CH3ONA, CH3OK, dan lain – lain)
serta katalis asam (asam sulfat, asam klorida, asam fosfat, dan lain – lain) dalam
pembuatan biodiesel. Untuk pembuatan biodiesel secara komersial, banyak
menggunakan katalis basa [7].
Reaksi transesterifikasi dengan menggunakan katalis homogen yang bersifat
basa memiliki keuntungan, yaitu laju reksi yang sangat cepat (4000 kali lebih
cepat daripada transesterifikasi dengan katalis asam), reaksi dalam fasa cair dan
membutuhkan konsumsi energi yang lebih sedikit, dan katalisnya mudah
diperoleh dengan biaya yang murah. Namun, reaksi ini sensitif terhadap
kandungan asam lemak bebas pada minyak [50]. Jika kadar asam lemak bebas
pada minyak lebih besar daripada 0,5%, maka akan terjadi saponifikasi yang
mengganggu proses pemisahan ester dan gliserin [2]. Pembentukan sabun yang
berlebihan akan menurunkan konversi dan rendemen, sehingga membutuhkan air
dalam jumlah yang besar untuk pemurnian produk [50].
15
Universitas Sumatera Utara
2.3.3 Pemurnian Biodiesel
Transesterifikasi juga dikenal sebagai reaksi alkoholisis, dimana terjadi
penggantian alkohol suatu ester oleh alkohol yang lain, proses ini mirip dengan
hidrolisis, perbedaannya terletak pada molekul yang terlibat pada hidrolisis adalah
molekul air, bukan molekul alkohol [51]. Tingkat kemurnian biodiesel memiliki
pengaruh yang sangat besar terhadap sifat – sifat bahan bakar tersebut, terutama
pada jumlah gliserida dan trigliserida yang terdapat dalam bahan bakar dapat
menyebabkan masalah serius dalam aplikasinya ke mesin penghasil energi. Bahan
bakar harus bebas dari kandungan air, alkohol, gliserin, dan katalis. Sehingga,
perlu dilakukan treatment terhadap lapisan ester pada tahap pembuatan biodiesel
[49, 52].
Adapun beberapa dampak negatif dari kontaminan dalam biodiesel dapat
dilihat pada Tabel 2.3.
16
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.3 Dampak Negatif Kontaminan dalam Biodiesel [53]
No.
1
Kontaminan
Metanol
Dampak Negatif
Pengikisan pada segel karet dan gasket, titik
nyala yag rendah (menimbulkan masalah
pada penyimpanan, transportasi, utilitas, dan
lain – lain), viskositas dan densitas yang
rendah, bersifat korosif terhadap aluminium
dan zinc.
2
Air
Menurunkan panas pembakaran, korosi
pada komponen sistem (saluran bahan bakar
dan pompa injektor), kegagalan pemompaan
bahan bakar, hidrolisis (FFA terbentuk),
pembentukan kristal es yang menyebabkan
timbulnya gel pada sisa bahan bakar,
pertumbuhan bakteri (terhalangnya saluran
saringan mesin), serta pitting pada piston.
3
Katalis
Merusak injektor, korosi pada mesin .
4
FFA
Stabilitas oksidasi yang rendah, korosi pada
mesin.
Gliserida
Kristalisasi, kekeruhan, viskositas yang
tinggi, deposit pada piston dan keran
injektor.
Gliserol
Pengendapan, deposit pada tangki bahan
bakar, kandungan aldehid yang tinggi, emisi
akrolein, fouling pada injektor.
5
6
Setelah proses transesterifikasi dilakukan, dilakukan tahap pemurnian
biodiesel. Umumnya metode yang digunakan adalah metode pencucian basah,
dimana teknik ini dilakukan dengan memasukkan sejumlah air ke dalam biodiesel
mentah untuk selanjutnya diaduk secara perlahan untuk mencegah emulsi. Proses
ini diulangi hingga diperoleh air buangan yang jernih. Hal ini menandakan bahwa
impuritas telah terbuang sepenuhnya [53]. Metode konvensional ini dilaporkan
mengkonsumsi air dalam jumlah yang besar [53-55].
17
Universitas Sumatera Utara
2.4 FAKTOR – FAKTOR YANG MEMPENGARUHI REAKSI
TRANSESTERIFIKASI
2.4.1 Kandungan Air pada Minyak
Waktu reaksi yang singkat cenderung memberikan konversi yang tinggi
melalui penggunaan katalis basa bila dibandingkan dengan katalis asam.
Transesterifikasi dengan katalis basa sangat dipengaruhi oleh kandungan air yang
menyebabkan reaksi parsial (saponifikasi) [56, 57]. Pada transesterifikasi dengan
katalis basa menggunakan minyak dengan kadar asam lemak bebas di atas 1%,
reaksi membutuhkan jumlah katalis yang jauh lebih banyak untuk menetralisasi
asam lemak bebas [58].
2.4.2 Suhu Reaksi
Semakin tinggi suhu reaksi dapat meningkatkan laju reaksi dan menurunkan
waktu reaksi yang dibutuhkan, yang disebabkan oleh penurunan viskositas
minyak. Transesterifikasi biasanya dilangsungkan pada suhu di bawah titik didih
alkohol untuk mencegah evaporasi alkohol [58]. Namun, menurut kajian Berrios,
[2], suhu reaksi transesterifikasi berada pada rentang 60 – 80 °C.
2.4.3 Konsentrasi Katalis
Penggunaan katalis yang banyak dapat meningkatkan konversi trigliserida
menjadi biodiesel. Jika katalis yang digunakan tidak mencukupi, maka konversi
menjadi tidak maksimal [59]. Pada kajian yang dilakukan oleh Margaretha [15]
dengan menggunakan minyak sawit, metanol, dan katalis CaO dari cangkang
Pomacea sp., berat katalis yang digunakan berada dalam interval 1% hingga 5%,
dimana yield tertinggi sebesar 95,61% dapat dicapai pada penggunaan katalis
sebanyak 4%. Sedangkan kajian yang dilakukan oleh Niju [17] dengan
menggunakan minyak jelantah, metanol, dan katalis CaO dari cangkang tiram,
berat katalis yang digunakan berada dalam interval 5% hingga 10%, dimana yield
tertinggi (94,25%) dapat dicapai pada penggunaan katalis sebanyak 7%.
18
Universitas Sumatera Utara
2.4.4 Waktu Reaksi
Secara umum, konversi menjadi ester akan semakin meningkat dengan
bertambahnya waktu reaksi. Reaksi akan berlangsung lambat pada awal reaksi
[60]. Yield akan meningkat hingga mencapai maksimum dan kemudian akan
menurun seiring pengingkatan waktu reaksi. Hal ini disebabkan oleh hidrolisis
ester [3]. Bedasarkan kajian terhadap penggunaan minyak jelantah dan metanol
sebagai bahan baku transesterifikasi menjadi biodiesel, biasanya menggunakan
waktu reaksi 2 jam [6, 17].
2.4.5 Rasio Molar Alkohol dan Minyak
Penggunaan alkohol yang berlebih dapat meningkatkan konversi minyak
atau lemak menjadi ester dalam waktu yang singkat. Sehingga, yield biodiesel
akan meningkat seiring peningkatan konsentrasi alkohol sampai batas tertentu
[58]. Penggunaan katalis CaO dan metanol dikaji oleh beberapa peneliti, seperti
Niju [17] yang mencapai yield 94,25% dengan rasio molar metanol terhadap
minyak sebesar 12 : 1 serta
Sirisomboonchai [6] yang mencapai yield 86%
dengan rasio molar metanol terhadap minyak sebesar 6 : 1.
2.4.6 Kecepatan Pengadukan
Kecepatan
pengadukan
yang
rendah
cenderung
membantu
reaksi
pembentukan sabun. Hal ini disebabkan oleh kecenderungan reverse pada reaksi
transesterifikasi [61]. Adapun pada kajian yang terdahulu, diperoleh data
kecepatan pengadukan yang digunakan berada di atas 500 rpm, dimana pada
kajian yang dilakukan dapat diperoleh biodiesel (FAME >96%) [2, 5, 62, 63].
19
Universitas Sumatera Utara
2.5 ANALISIS EKONOMI
Minyak jelantah adalah limbah rumah tangga dari proses penggorengan
berbagai jenis makanan, digunakan beberapa kali oleh konsumen. Minyak
jelantah memiliki warna yang sudah tidak menarik, cenderung gelap dan keruh,
berbau tengi, dan berpotensi besar dalam membahayakan kesehatan tubuh, serta
tidak dapat digunakan lagi untuk pengolahan pangan. Sehingga, minyak jelantah
dapat dijadikan alternatif bahan baku dalam pembuatan biodiesel, sekaligus
mengurangi biaya produksi melalui pemanfaatan limbah, serta memenuhi
kebutuhan bahan bakar biodiesel dalam negeri yang semakin meningkat.
Dalam penelitian ini digunakan katalis yang berasal dari limbah, yaitu
cangkang telur ayam. Konsumsi telur ayam yang tinggi di Indonesia menjamin
ketersediaan limbah cangkang telur ayam. Oleh karena itu, pembuatan biodiesel
yang menggunakan bahan minyak jelantah dan cangkang telur ayam memiliki
potensi ekonomi yang tinggi dan dapat diperoleh dengan mudah karena tersedia
dalam jumlah berlimpah dalam bentuk limbah.
20
Universitas Sumatera Utara