Analisis dan Karakterisasi Kitosan Bead Manik dengan Ikatan Silang Glutaraldehida Sebagai Adsorben untuk Menurunkan Kadar Ion Logamcadmium(Cd2+)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

Kitin

Kitin merupakan poli (2-asetamido-2-deoksi-β-(1

4)-D-glukopiranosa) dengan

rumus molekul (C8H13NO5)n yang tersusun atas 47% C, 6% H, 7% N, dan 40% O.
Struktur kitin menyerupai struktur selulosa dan hanya berbeda pada gugus yang
terikat diposisi atom C-2. Gugus pada selulosa adalah gugus hidroksil, sedangkan
pada C-2 kitin adalah gugus N-asetil(-NHCOCH3asetamida).
Seperti yang tampak pada (gambar 2.1) dibawah ini:
CH2OH

CH2OH


O

O

O

O

OH

O
*

OH

R

R

n


Gambar 2.1. Struktur polimer selulosa (R= -OH) dan kitin (R= -NHCOCH3)
(Sugita, 2009)
Di alam, kitin dikenal sebagai polisakarida yang paling melimpah setelah selulosa,
kitin umumnya banyak dijumpai pada hewan avertebrata laut, darat, dan jamur
dari genus mucor, phycomyces, dan saccharomyces (Hirano,1986; Knorr,1991).
Keberadaan kitin di alam umumnya terikat dengan protein, mineral, dan berbagai
pigmen. sebagai contoh, kulit udang mengandung 25-40% CaCO3, dan 15-20%
kitin, tetapi besarnya komponen tersebut masih bergantung pada jenis
udangnya(Altschul,1976). Sebagian besar kelompok Crustacea, seperti kepiting,
udang, dan lobster merupakan sumber utama kitin komersial. Di dunia, kitin yang
diproduksi secara komersial 120 ribu ton pertahun. Kitin yang berasal dari
kepiting dan udang sebesar 39 ribu ton (32,5%)dan dari jamur 32 ribu ton(26,7%)
(Knorr, 1991)

Universitas Sumatera Utara

Spesifikasi Kitin dapat dilihat pada tabel 2.1 berikut:
Tabel 2.1.


Spesifikasi kitin
Ciri – ciri

Parameter
Ukuran partikel

Serpihan dalam bentuk serbuk

Kadar air (%)

≤ 10,0

Kadar abu (%)

≤ 2,0

N-deasetilasi (%)

≥ 15,0


Kelarutan dalam :
-

Air

Tidak larut

-

Asam encer

Tidak larut

-

Pelarut organik

Tidak larut

-


LiCl2/ dimetilasetamida

Sebagian larut

Enzim pemecah

Lisozim dan kitinase
(Sugita, 2009)

2.2.

Kitosan

Kitosan adalah poli-(2-amino-2-deoksi-β-(1 4)-D-glukopiranosa) dengan
rumus molekul (C6H11NO4)n yang dapat diperoleh dari deasetilasi kitin. Kitosan
juga dijumpai secara alamiah di beberapa organisme. Struktur polimer kitosan
dapat dilihat pada gambar (Gambar 2.2.) di bawah ini :
CH2OH


CH2OH

O

O

O

O

OH

NH2

O

OH

NH2


n

Gambar 2.2. Struktur polimer kitosan (Sugita, 2009)

Proses deasetilasi kitosan dapat dilakukan dengan cara kimiawi maupun
enzimatik. Proses kimiawi menggunakan basa, misalnya NaOH, dan dapat
menghasilkan kitosan dengan derajat deasetilasi yang tinggi, yaitu mencapai 8593 % (Tsigos et al., 2000). Namun proses kimiawi menghasilkan kitosan dengan
bobot molekul yang beragam dan deasetilasinya juga sangat acak sehingga sifat
fisik dan kimia kitosan tidak seragam (Martinou et al.,2000)

Universitas Sumatera Utara

2.3.

Transformasi kitin menjadi kitosan secara kimia

2.3.1. penghilangan protein

Deproteinasi kitin merupakan reaksi hidrolisis dalam suasana asam atau basa.
Lazimnya, hidrolisis dilakukan dalam suasana basa dengan menggunakan larutan

NaOH 2-3% pada suhu 63-65oC selama 1-2 jam (Johnson et al,1982). Efisiensi
deproteinasi tidak hanya bergantung pada konsentrasi basa dan suhu, tetapi juga
spesies sumber kitin pada tahap deproteinasi, protein diubah menjadi garam
natrium proteinat yang larut air
Kerangka luar Crustacea mengandung kitin yang berikatan dengan
kalsium karbonat (CaCO3) dan protein (Austin, 1988), terkadang juga dengan
lapisan lilin, kadar protein yang terikat dalam matriks kulit sekitar 30-40% dari
komponen organik totalnya (Johnson et al, 1982). protein terikat secara fisik dan
sebagian lainnya terikat secara kovalen yang kadarnya beragam untuk setiap jenis
crustacea. Austin (1988) menyatakan, bahwa dari jumlah protein total dalam
udang (34%) dengan kontribusi protein yang terikat secara kovalen dan fisik
berturut-turut adalah sekitar 16 dan 18%.

2.3.2. Penghilangan Mineral

Hal yang terpenting dalam tahap penghilangan mineral adalah jumlah asam yang
digunakan (Shadidi et al, 1991). Ion mineral ditentukan melalui destruksi dengan
asam kuat HCl terhadap abu dari endapan yang diperoleh pada tahap pemisahan
mineral, selanjutnya penetapan ion mineral dilakukan menggunakan metode
Spektroskopi Serapan Atom (AAS).


2.3.4. Penghilangan gugus asetil (Deasetilasi)

Kandungan gugus asetil pada kitin secara teoretis ialah sebesar 21,2% (No e t
al.,1989). Deasetilasi secara kimiawi dapat dilakukan dengan menggunakan basa
kuat NaOH atau KOH. Penggunaan KOH ini dapat memutuskan ikatan hidrogen
yang kuat antar rantai kitin (Hirano,1986).

Universitas Sumatera Utara

2.4.

Sifat Fisika-Kimia pada Kitosan

Kitosan merupakan padatan amorf yang berwarna putih kekuningan dengan rotasi
spesifik [ ]

-3 ingga -10 pada kon ent a i a am a etat 2

ito an la ut


pada kebanyakan larutan asam organik (Tabel 2.2.) pada pH sekitar 4,0, tetapi
tidak larut pada pH lebih besar dari 6,5, juga tidak larut dalam pelarut air, alkohol,
dan aseton. Dalam asam mineral pekat seperti HCl dan HNO3, kitosan larut pada
konsentrasi 0,15-1,1 %, tetapi tidak larut pada konsentrasi 10%. Kitosan tidak
larut dalam H2SO4 pada berbagai konsentrasi, sedangkan didalam H3PO4 tidak
larut pada konsentrasi 1% sementara pada konsentrasi 0,1% sedikit larut. Perlu
untuk kita ketahui,bahwa kelarutan kitosan dipengaruhi oleh bobot molekul,
derajat deasetilasi, dan rotasi spesifiknya yang beragam bergantung pada sumber
dan metode isolasi serta transformasinya.

Tabel 2.2. Kelarutan kitosan pada berbagai pelarut asam organik

Konsentrasi asam organik

Konsentrasi asam organik (%)
10

50


>50

Asam asetat

+

±

-

Asam adipat

-

-

-

Asam sitrat

+

-

-

Asam format

+

+

+

Asam laktat

+

-

-

Asam maleat

+

-

-

Asam malonat

+

-

-

Asam oksalat

+

-

-

Keterangan : + larut; - tidak larut;

± larut sebagian

(Sugita, 2009)

Universitas Sumatera Utara

Keterkaitan Sifat Fisik –Kimia pada Kitosan

2.5.

Kitosan dalam bentuk terprotonasi menunjukkan kerapatan muatan yang
tinggi dan bersifat sebagai polielektrolit kationik, seperti yang dapat dilihat pada
Gambar 2.3 dan sangat efektif berinteraksi dengan biomolekul bermuatan negatif
dan biomolekul permukaan. Sedangkan dalam bentuk netralnya, kitosan mampu
mengompleks ion logam berat berbahaya seperti Cu, Cr, Cd, Mn, Co, Ph, Hg, Zn,
dan Pd.
CH2OH

CH2OH
O

O

O
O

OH

NH2

+

H

O

O

OH

NH3+

n

n

Gambar 2.3. Kitosan sebagai polielektrolit kationik (Sugita, 2009)
Spesifikasi Kitin dapat dilihat pada tabel 2.3 dibawah ini:
Tabel 2.3. Spesifikasi kitosan
Ciri – ciri

Parameter
Ukuran partikel

Serpihan sampai bubuk

Kadar air (%)

≤ 10,0

Kadar abu (%)

≤ 2,0

Warna larutan

Tidak berwarna

N-deasetilasi (%)

≥ 70,0

Kelas viskositas (cps) :
-

Rendah

< 200

-

Medium

200799

-

Tinggi pelarut organik

8002000
(Sugita, 2009)

Universitas Sumatera Utara

2.6.

Modifikasi Kitosan

Kitosan dapat dimodifikasi, kitosan sebagai adsorben dapat berada dalam berbagai
bentuk, antara lain bentuk butir, serpih, hidrogel, dan membran (film). Kitosan
sebagai adsorben sering dimanfaatkan untuk proses adsorpsi ion logam berat.
Besarnya afinitas kitosan dalam mengikat ion logam sangat bergantung pada
karakteristik makrostruktur kitosan yang dipengaruhi oleh sumber dan kondisi
pada luas permukaannya. Semakin kecil ukuran kitosan akan semakin besar dan
proses adsorpsi pun dapat berlangsung dengan baik. Modifikasi kimia kitosan
menjadi gel kitosan dapat meningkat kapasitas jerapnya, keunggulan ini
disebabkan oleh bentuk butiran gel mempunyai volume pori yang lebih besar
dibandingkan dengan bentuk serpihan. Kitosan dengan bobot molekul tinggi akan
menghasilkan larutan dengan viskositas yang tinggi pula (Rao, 1993)

2.6.1. Glutaraldehida

Glutaraldehida merupakan agen penaut silang kitosan yang paling banyak
digunakan. Glutaraldehida dapat menautsilangkan rantai kitosan melalui reaksi
pembentukan basa Schiff (imina tersubstitusi ,-CH=NR) antara gugus aldehida
glutaraldehida dan guggus –NH2 kitosan. Jumlah tautan silang tersebut meningkat
seiring dengan bertambahnya jumlah glutaraldehida yang ditambahkan. Tautan
silang tersebut telah terbukti dapat menghilangkan stabilitas adsorben kitosan
dalam asam. Namun derajat tautan silang yang terlalu tinggi juga akan
menurunkan jumlah –NH2, sehingga kapasitas adsorpsi maksimumnya juga
menurun. Selain itu reaksi glutaraldehida dan kitosan juga dapat melemahkan
ikatan antara atom nitrogen dan ion logam yang akan dijerap (Osifo et al, 2008).
Struktur kimia glutaraldehida dapat dilihat pada gambar 2.4 berikut;
O

H

O

H

Gambar 2.4. Struktur Kimia Glutaraldehida (Osifo et al.,2008)

Universitas Sumatera Utara

2.7.

Aplikasi Kitosan dalam Bidang Lingkungan

Lingkungan sangat berpotensi tercemar zat organik, anorganik, maupun logam
berat. Keberadaan zat-zat pencemar tersebut akan mengganggu ekosistem yang
ada, termasuk juga manusia. Oleh sebab itu, kelestarian lingkungan dari zat
pencemar harus dijaga dan terus mendapatkan perhatian dari masyarakat sekitar,
yang merupakan elemen dari lingkungan hidup itu sendiri. Salah satu cara yang
dapat digunakan untuk mengurangi zat pencemar pada lingkungan adalah dengan
menggunakan kitosan sebagai adsorben.
Kitosan lazimnya disintesis dari deasetilasi kitin yang berasal dari limbah
kulit udang atau kepiting. Oleh karena itu, penggunaan kitosan sejak awal telah
berperan dalam mengurangi pencemaran lingkungan. Manfaat kitosan dalam
bidang lingkungan adalah untuk menjerap logam berat maupun zat warna yang
banyak dihasilkan dari industri tekstil atau kertas. Logam berat merupakan limbah
yang sangat berbahaya. Hal tersebut dikarenakan logam berat dapat menimbulkan
toksisitas akut pada manusia maupun habitat yang ada di lingkungan perairan.

2.7.1. Logam Berat

Logam berat didefinisikan sebagai logam yang memiliki densitas atau kerapatan
tinggi dan merupakan pencemar yang banyak dijumpai baik di lingkungan darat
maupun di perairan. Keberadaan logam berat akan membawa pengaruh pada
kehidupan organisme di lingkungan (termasuk manusia), karena sifatnya yang
meracun dan dapat menyebabkan kematian apabila jumlahnya melewati ambang
batas yang ditetapkan. Kandungan logam berat di lingkungan dapat dikurangi
dengan cara menjerapnya, salah satunya dengan menggunakan kitosan. Beberapa
contoh logam berat adalah Hg,Zn,Cd,Cu,Co,Pb dan Cr. Proses penjerapan logam
berat pada kitosan dan modifikasinya berlangsung spontan (Karthikeyan et al,
2004).

Universitas Sumatera Utara

2.7.2. Zat Warna

Pada umumnya zat warna yang masuk ke dalam lingkungan berasal dari limbah
tekstil dan kertas. Zat warna kedua industri tersebut menimbulkan warna yang
sangat pekat walaupun dalam konsentrasi yang rendah,sehingga dampaknya dapat
mengurangi estetika lingkungan, selain itu limbah zat warna bersifat karsinogenik
jika dikonsumsi dan sulit terdegradasi.
Berdasarkan muatannya, zat warna dapat dibedakan menjadi 2, yaitu zat warna
anionik dan kationik. Kedua zat warna tersebut dapat dijerap dengan kitosan dan
modifikasinya (Singh et al.,2008). Zat warna anionik dan asam,zat warna anionik
sebagian

besar

merupakan

senyawaan

azo

yang

mengandung

gugus

sulfonat,sebagaimana diketahui,bahwa zat warna tersebut lebih banyak digunakan
dalam industri tekstil. zat warna kationik. Berbeda dengan zat warna anionik,
muatan positif pada zat warna kationik disebabkan oleh keberadaan garam
kuartener sekunder. Karena muatannya yang positif, zat warna kationik akan
terjerap dengan baik pada kitosan dengan kitosan dengan kondisi netral atau basa
untuk mencegah protonasi pada gugus amino kitosan.

2.7.3. Pestisida

Dua jenis pestisida yang paling penting ialah organoklorin dan organofosforus.
Organoklorin stabil secara kimia dan resisten terhadap penguraian mikrob.
Beberapa

contoh

organoklorin

yang

lazim

menjadi

polutan

ialah

diklorofeniltrikloroetana (DDT) dan turunannya, poliklorinasi bifenil (PCB).
Mikrokapsul kitosan yang terkompleks perak dan tertaut glutaraldehida dan
epiklorohidrin telah digunakan untuk menjerap pestisida metil paration.

Universitas Sumatera Utara

2.7.4. Senyawaan Fenolik

Fenol merupakan polutan organik yang berbahaya bagi organisme perairan dan
manusia walaupun dalam konsentrasi yang rendah, bahkan hanya dalam
konsentrasi 0,005 mg/L saja sudah dapat merubah rasa dan bau pada air
minum,sehingga tidak baik untuk dikonsumsi, manusia yang mengkonsumsi air
yang terkontaminasi fenol akan mengalami beberapa nyeri yang memicu
kerusakan pembuluh kapiler dan berakibat pada kematian, selain itu proses
klorinasi pada air yang tercemar akan berakibatkan pembentukan klorofenol
(Aksu,2005).

2.8.

Kandungan logam berat

I tila “logam” eca a k a membe ikan un u yang me upakan kondukto li t ik
yang baik dan mempunyai konduktivitas panas, rapatan, kemudahan ditempa,
kekerasan dan keelektropositifan yang tinggi. (Connel, 1995) Logam berat (heavy
metal) atau logam (toxic metals) adalah bentuk umum yang digunakan untuk
menjelaskan sekelompok elemen-elemen logam yang kebanyakan tergolong
berbahaya bila masuk ke dalam tubuh mahkluk hidup. Logam berat yang terdapat
baik di lingkungan maupun di dalam tubuh manusia dalam konsentrasi yang
sangat rendah disebut sebagai trace metals. Trace metals seperti Cadmium(Cd),
Timbal (Pb), dan Merkuri (Hg) (Nugroho, 2006).

2.8.1

Efek Toksik Kadmium

Kadmium (Cd) belum diketahui fungsinya secara biologis dan dipandang sebagai
xenobiotik dengan toksisitas yang tinggi dan merupakan unsur lingkungan yang
persisten.Keracunan yang disebabkan oleh Cd bisa bersifat akut dan kronis,
keracunan akut Cd sering terjadi pada pekerja di industri yang berkaitan dengan
Cd. Gejala keracunan akut Cd adalah timbulnya rasa sakit dan panas di dada.
Paparan Cd secara akut bisa menyebabkan nekrosis pada ginjal dan iritasi alat
pencernaan, batu ginjal bahkan kematian (Widowati et al, 2008)

Universitas Sumatera Utara

2.9. Spektrofotometri Serapan Atom

Spektrofotometri serapan atom adalah metoda pengukuran kuantitatif
suatu unsur yang terdapat dalam suatu cuplikan berdasarkan penerapan cahaya
pada panjang gelombang tertentu oleh atom – atom bentuk gas dalam keadaan
dasar. telah lama ahli kimia menggunakan pancaran radiasi oleh atom yang
dieksitasikan dalam suatu nyala sebagai alat analisi. fraksi atom – atom yang
tereksitasi berubah secara eksponensial dengan temperatur. tekni ini digunakan
untuk penetapan sejumlah unsur, kebanyakan logam dan sampel yang sangat
beraneka ragam (Walsh , 1955).
2.9.1 Prinsip dan Teori
Spektrofotometri serapan atom didasarkan pada bahwa atom – atom pada suatu
unsur dapat mengabsropsi energi sinar pada panjang gelombang tertentu. banyak
energi sinar yang di absropsi berbanding lurus dengan jumlah atom – atom unsur
yang mengabsropsi. Atom terdiri atas inti atom yang mengandung proton
bermuatan positif

dan neutron berupa pertikel

netral, dimana inti

atom

dikelilingi oleh elektron –elektron bermuatan negatif pada tingkat energi yang
berbeda – beda. Jika energi diabsropsi oleh atom, maka elektron yang berada di
kulit terluar ( electron valensi ) akan tereksitasi dan bergerak dari keadaan dasar
atau tingkat energi yang terendah kekeadan tereksitasi dengan tingkat energi yang
terendah. Jumlah energi yang dibutuhkan untuk memindahkan elektron ke tingkat
energi tertentu dikenal sebagai potensial eksitasi untuk tingkat energi tersebut
(Clark, 1979).
2.9.2

Instrumentasi

Untuk keperluan analisis kuantitatif dengan spektrofotometer serapan atom, maka
sampel harus dalam bentuk larutan. Untuk menyiapkan larutan, sampel harus
diperlukan sedemikian rupa yang pelaksanaannya tergantung dari macam dan
jenis sampel. Yang penting untuk diingat adalah bahwa larutan yang akan
dianalisis haruslah sangat encer.

Universitas Sumatera Utara

Ada beberapa cara untuk melarutkan sampel, yaitu:




Langsung dilarutkan dengan pelarut yang sesuai
Sampel dilarutkan dalam suatu asam
Sampel dilarutkan dalam suatu basa atau dilebur dahulu dengan basa
kemudian hasil leburan dilarutkan dengan pelarut yang sesuai

Metode pelarutan apapun yang akan dipilih untuk dilakukan analisis dengan
spektrofotometer serapan atom, yang terpenting adalah bahwa larutan yang
dihasilkan harus jernih, stabil dan tidak mengganggu zat-zat yang akan dianalisis.
Pelarutan juga dimaksudkan untuk destruksi sampel dimana sampel dimana
biasanya digunakan asam-asam seperti asam nitrat pekat (Rohman, 2007)
Komponen penting yang membentuk spektrofotomter serapan atom diperlihatkan
pada gambar 2.5 dibawah ini.
2.9.3

A

Rangkaian Spektrofotometer Serapan Atom

B

C

D

E

F

Gambar 2.5. Rangkaian ringkas Spektrofotometer Serapan Atom
Keterangan Gambar :
A

= Lampu Katoda Berongga

B

= Nyala

C

= Monokromator

D

= Detektor

E

= Amplifier

F

= Recorder ( Sony.2009)

a.

Sumber sinar

Sumber sinar yang lazim dipakai adalah lampu katoda berongga. Lampu ini terdiri
atas tabung kaca tertutup yang mengandung suatu katoda dan anoda (Mulja, 1992)

Universitas Sumatera Utara

b.

Tempat sampel

Dalam analisis dengan spektofotometri serapan atom, sampel yang akan dianalisis
harus diuraikan menjadi atom-atom netral yang masih dalam keadaan asas. Ada
berbagai macam yang dapat digunakan untuk mengubah suatu sampel menjadi
uap atom-atom yaitu dengan nyala dan tanpa nyala.
1.

Nyala (flameless)

Nyala digunakan untuk mengubah sampel yang berupa padatan atau cairan
menjadi bentuk uap atomnya, dan juga berfungsi untuk atomisasi.
2.

Tanpa nyala(flameless)

Pengatoman dapat dilakukan dalam tungku dari grafit. Sampel diletakkan dalam
tabung grafit, kemudian tabung tersebut dipanaskan dengan sistem elektris dengan
cara melewatkan arus listrik grafit. Akibat pemanasan ini,maka gas yang akan
dianalisis berubah menjadi atom-atom netral (Rohman, 2007).
c.

Monokromator

Monokromator memisahkan,mengisolasi dan mengontrol intensitas dari radiasi
energi yang mencapai detektor (Haswell, 1991).
d.

Detektor

Detektor dapat diatur sedemikian rupa pada nilai frekuensi tertentu, sehingga tidak
memberikan

respon

terhadap

nilai

emisi

yang

berasal

dari

eksitasi

termal.(Khopkar, 2007).
e.

Read Out

Merupakan suatu alat petunjuk atau dapat juga diartikan sebagai sistem beberapa
pencatat hasil (Khopkar, 2007).

Universitas Sumatera Utara

2.9.4

Gangguan pada SSA dan cara mengatasinya

Gangguan nyata pada SSA adalah seringkali didapatkan suatu harga yang tidak
sesuai dengan konsentrasi sampel yang ditentukan. Penyebab dari gangguan ini
adalah faktor matriks sampel dan faktor kimia karena adanya gangguan molekuler
yang bersifat radiasi.
Sampel dalam bentuk molekul karena disosiasi yang tidak sempurna akan
cenderung mengabsorpsi radiasi dari sumber radiasi. Demikian juga terjadinya
ionisasi atom akan menjadi kesalahan pada SSA oleh karena spektrum radiasi oleh
ion jauh berbeda denga spektrum absorpsi atom netral yang memang akan
ditentukan. Ada beberapa usaha untuk mengurangi gangguan kimia pada SSA
yaitu dengan cara:
1. Menaikkan temperatur nyala agar mempermudah penguraian untuk itu
dipakai gas pembakar campuran C2H2 + N2O yang memberikan nyala
dengan temperatur yang tinggi.
2. Menambahkan elemen pengikat gugus atom penyangga, sehingga terikat
kuat akan tetapi atom yang ditentukan bebas sebagai atom netral. Misalnya
penentuan logam yang terikat sebagai garam, dengan penambahan logam
yang lainnya akan terjadi ikatan lebih kuat dengan anion pengganggu.
3. Pengeluaran unsur pengganggu dari matriks sampel dengan cara eksitasi
(Mulja, 1995).

2.10.

FTIR (Fourier Transform Infra Red)

Pancaran infra merah pada umumnya mengacu pada bagian spektrum
elektromagnetik yang terletak di antara daerah tampak dan daerah gelombang
mikro. Sebagian besar kegunaannya terbatas di daerah antara 4000 cm -1 dan 666
cm-1 (2,5-15,0 µm). Akhir-akhir ini muncul perhatian pada daerah infra merah
dekat, 14290-4000 cm-1 (0,7-2,5 µm) dan daerah infra merah jauh, 700-200 cm-1
(14,3-50 µm) (Silverstein, 1967).

Universitas Sumatera Utara

Salah satu hasil kemajuan instrumentasi IR adalah pemrosesan data
seperti Fourier Transform Infra Red (FTIR). Teknik ini memberikan informasi
dalam hal kimia, seperti struktur dan konformasional pada polimer dan
polipaduan, perubahan induksi tekanan dan reaksi kimia. Dalam teknik ini
padatan diuji dengan cara merefleksikan sinar infra merah yang melalui tempat
kristal sehingga terjadi kontak dengan permukaan cuplikan. Sensitivitas FTIR
adalah 80-200 kali lebih tinggi dari instrumentasi dispersi standar karena
resolusinya lebih tinggi (Kroschwitz, 1990).

Teknik pengoperasian FTIR berbeda dengan spektrofotometer infra
merah. Pada FTIR digunakan suatu interferometer Michelson sebagai pengganti
monokromator yang terletak di depan monokromator. Interferometer ini akan
memberikan sinyal ke detektor sesuai dengan intensitas frekuensi vibrasi molekul
yang berupa interferogram (Bassler, 1986).

Interferogram juga memberikan informasi yang berdasarkan pada
intensitas spektrum dari setiap frekuensi. Informasi yang keluar dari detektor
diubah secara digital dalam komputer dan ditransformasikan sebagai domain, tiaptiap satuan frekuensi dipilih dari interferogram yang lengkap (fourier transform).
Kemudian sinyal itu diubah menjadi spektrum IR sederhana. Spektrofotometer
FTIR digunakan untuk :
1. Mendeteksi sinyal lemah.
2. Menganalisis sampel dengan konsentrasi rendah.
3. Analisis getaran (Silverstein, 1967).

Universitas Sumatera Utara

2.11

Reaksi Ikat Silang

Ikatan silang merupakan ikatan yang menghubungkan rantai polimer yang
satu dengan rantai polimer yang lain di mana ikatan tersebut berupa ikatan
kovalen atau ionik. Reaksi ikat silang memberikan pengaruh yang besar baik
dalam sifat kimia maupun sifat mekanik dari polimer (Nicholson, 2006).
Pembentukan ikat silang dilakukan dengan penambahan suatu agen pengikat
silang ke dalam larutan bahan yang akan dimodifikasi (Berger et al, 2004).

Ikatan silang dapat terjadi dengan dua cara, yaitu dengan membentuk
ikatan kovalen dan dengan membentuk ikatan ionik. Dalam reaksi pembentukan
ikatan silang kovalen, agen pengikat silang yang umum digunakan adalah
dialdehid, contohnya glioksal dan glutaraldehid (Monteiro et al, 1999).

Akan tetapi, kedua agen pengikat silang tersebut bersifat toksik.
Glutaraldehid bersifat neurotoksik, sedangkan glioksal bersifat mutagenik.
Meskipun hasil modifikasi tersebut dimurnikan sebelum pemberian, keberadaan
dialdehid bebas yang tidak ikut bereaksi tidak seluruhnya dapat dihilangkan dan
dapat memberikan efek toksik.

Agen pengikat silang kovalen lainnya yang dapat digunakan untuk
membentuk reaksi ikat silang dengan kitosan telah banyak diteliti sebagai
alternatif pilihan. Di samping dialdehid, asam oksalat dan genipin terbukti dapat
digunakan sebagai agen pengikat silang. Akan tetapi, sampai saat ini belum ada
data yang lengkap mengenai biokompatibilitas dari senyawa-senyawa tersebut.

Kebanyakan agen pengikat silang yang membentuk ikatan kovalen dapat
menginduksi toksisitas jika sebelum pemberian masih terdapat sisa dari pereaksi.
Untuk mengatasi masalah toksisitas yang terjadi tersebut, dapat dilakukan reaksi
ikat silang ionik. Kitosan bersifat polikationik dalam lingkungan asam. Sifat ini
menyebabkan terjadinya interaksi dengan komponen bermuatan negatif (anionik),
baik berupa ion-ion maupun molekul (Shu et al, 2002).

Universitas Sumatera Utara