Diskriminasi Terhadap Masyarakat Burakumin Di Jepang Dewasa Ini

BAB II
GAMBARAN UMUM MENGENAI MASYARAKAT BURAKUMIN
2.1

Sejarah Burakumin
Kata sejarah menunjukkan perkembangan sesuatu dalam proses waktu.

Oleh karena itu sejarah adalah sebuah metode (Situmorang Hamzon 2011:5).
Sejarah

burakumin

artinya

adalah

burakumin

dalam

proses


waktu

perkembangannya. Masyarakat Buraku sendiri merupakan perkembangan dari
kaum terbuang Eta (orang-orang kotor) dan Hinin (bukan manusia). Yang mana
kaum Eta merupakan orang-orang yang memiliki pekerjaan yang dianggap kotor
seperti menguliti hewan, penjagal hewan serta pengurus jenazah. Sementara Hinin
adalah orang-orang yang berstatus rendah karena merupakan gelandangan atau
mantan narapidana. Orang-orang tersebut terkucilkan oleh masyarakat luas.
Istilah Eta sendiri muncul pertama kali pada Zaman Kamakura (11851382). Pada masa itu kaum Eta adalah orang-orang yang bekerja pada pekerjaan
yang dianggap kotor oleh masyarakat Jepang pada umumnya. Mereka hidup di
bawah garis kemiskinan. Jenis pekerjaan yang dilakukan adalah pembantaian
binatang dan pembuangan bangkai, Kitaguchi dan Mclauchlan (1990:80).
Onhuki dan Tierney (1986: 86) mengatakan, dalam jaman pertengahan
istilah Hinin juga digunakan untuk mereka yang dengan sengaja memisahkan diri
dari kehidupan sosial masyarakat. Yaitu para kriminalitas yang dikeluarkan dari
kehidupan sosial, pengemis yang mengemis untuk kebutuhan ekonomi bukannya
untuk agama, serta para biksu yang benar-benar meninggalakan kehidupan
duniawi dan menolak kewajiban sosial seperti membayar pajak.


13
Universitas Sumatera Utara

Adanya istilah burakumin tentu memiliki sejarah yang cukup panjang.
Munculnya istilah ini didasari oleh kepercayaan Shinto dan Buddha yang
berkembang di masyarakat Jepang. Jika merunut kembali sejarah munculnya
kaum Buraku, maka kita akan kembali ke masa Prasejarah di Jepang.
Setelah melewati Zaman Jomon, Jepang memasuki sebuah era dimana
diduga adanya lompatan budaya, yaitu Zaman Yayoi. Hal ini dikarenakan mulai
masuknya berbagai teknologi dari daratan China pada abad ke 3 masehi
(Situmorang Hamzon 2011:8). Tak hanya berbagai jenis kebutuhan pertanian,
aliran kepercayaan di Jepang pun mulai masuk di zaman ini.
Di bawah Pemerintahan Yamato, pada abad ke 6 Jepang sudah membuka
hubungan dengan pemerintahan Korea dan China. Pada masa itu masuklah agama
Buddha dan Konfuchu serta ilmu pengetahuan lainnya yang menjadi dasar imu
pengetahuan bagi Jepang ( Situmurang Hamzon 2011:11).
Agama Buddha yang masuk bercampur dengan kepercayaan asli bangsa
Jepang, yaitu Shinto. Baik Buddha maupun Shinto percaya bahwa menghilangkan
nyawa makhluk hidup, memakan daging, dan melakukan kontak langsung dengan
darah dan kematian adalah kegiatan yang tidak suci atau kotor.

Menurut Donoghue (1977:9-10) ketika agama Buddha masuk ke Jepang,
masyarakat didominasi oleh kehidupan pertanian. Yang mana pekerjaan seperti
penghibur dan pengrajin berada di kelas sosial terendah. Lalu dengan adanya
ajaran Buddha, orang yang berhubungan dengan penyamakan hewan mulai
dianggap tabu dan dipandang rendah.
Pada tahun 701 terjadilah reformasi Taika yang mana pemerintahan
mengikuti sistem dari China yang berpusat pada kerajaan. Pada masa ini

14
Universitas Sumatera Utara

masyarakat Jepang terbagi dalam dua kelas. Yaitu Ryomin (orang-orang baik dan
bebas) dan Senmin (orang-orang miskin dan kelas rendah). Orang-orang Senmin
inilah yang pada umumnya menjadi leluhur masyarakat buraku.
Senmin terbagi lagi dalam lima golongan masyarakat berdasarkan
pekerjaan, yaitu

Ryoto (penjaga makam) , Kanko (petani kerajaan), Kunuhi

(pelayan kerajaan), Shinuhi (pelayan pribadi), dan Gunin (pelayan kuil dan

pribadi) (Shimahara 1971:15). Selain itu ada juga kelompok masyarakat Zakko
yang merupakan semi- Senmin. Yaitu sekelompok masyarakat yang memiliki
status sosial yang lebih tinggi. Zakko memiliki keahlian dalam bidang membuat
pakaian dari kulit, membuat sepatu kulit, memproduksi senjata dan lain-lain.
Selain Zakko, adapula kelompok masyarakat yang disebut dengan Etori.
Kelompok masyarakat ini mengumpulkan elang dan anjing untuk keluarga
kerajaan yang akan digunakan untuk berburu di Departemen of Falconry atau
disebut dengan Takatsukasa yaitu olahraga berburu burung menggunakan elang.
Inoue (1964:17) mengatakan jejak etimologi kaum Eta berasal dari kaum
Etori. Dari Etori menjadi Eto lalu menjadi Eta. Pada tahun 860 Takatsuka
dihapuskan yang juga di pengaruhi kepercayaan Buddha. Kaum Eta tidak lagi
bekerja untuk megumpulkan elang dan anjing melainkan berganti menjadi penjual
daging yang mana kegiatan utamanya adalah menjagal hewan. Ketika menjagal
hewan menjadi hal yang ilegal para penjual daging ini menjadi dibenci dan
dipandang rendah. Beberapa kaum Etori kehilangan pekerjaan dan pindah ke
pemukiman yang sepi dan daerah pinggiran sungai. Dan beberapa yang ekstrim
memilih untuk menjadi pengembara, pemburu, nelayan dan gelandangan. Selain
melakukan tindak kriminal ada juga yang menjalani pekerjaan sebagai penghibur

15

Universitas Sumatera Utara

dengan bernyanyi, menari dan melawak dari rumah ke rumah. Mereka semua
tinggal di sekitaran sungai, desa yang kosong di sekitar kota. Masyarakat berkasta
tinggi melarang kaum Eta untuk masuk ke daerah mareka.
Pada Zaman Chusei (1192-1603) kelompok masyarakat senmin menjadi
penting karena senmin menjadi pemasok peralatan perang bagi para Shogun yang
merupakan penguasa pada masa ini. Orang-orang Senmin diperbolehkan masuk ke
daerah keshogunan dan dibebaskan dari pajak sampai hampir setengah dari
Zaman Chusei. Setelah perang kekuasaan yang menjadi tanda akhirnya jaman ini,
banyak samurai yang kalah perang mengganti pekerjaan menjadi Senmin. Hal ini
menyebabkan peningkatan yang tinggi pada jumlah Senmin. Ketika dalam masa
perang, mereka ikut bertarung untuk pemerintahan feodal, ketika perang telah usai
mereka menjadi pekerja rendah yang berhubungan dengan pengrajin tembikar,
penyamak, membuat pakaian dari kulit, menggali lubang, dan bekerja di
peternakan hewan. Maka bisa dikatakan bahwa buraku merupakan keturunan dari
sebagian besar Senmin pada masa ini.

2.2


Burakumin Pada Masa Tokugawa dan Restorasi Meiji

2.2.1 Burakumin Pada Masa Tokugawa (1603-1868)
Tokugawa Ieyasu adalah daimyo dari Mikawa. Yaitu sebuah daimyo kecil
yang mampu mengalahkan Toyotami Hideyoshi pada perang Sekigahara pada
tahun 1600. Kemudian menjadi Seiitaishogun pada tahun 1603 dengan pusat
pemerintahan Bakufu di Edo (Situmorang Hamzon 2011: 19)
Pada masa ini menganut sebuah sistem pemerintahan yang disebut dengan
Bakuhantaise. Yaitu sistem Bakufu dan Han yang mana Bakufu bertindak sebagai

16
Universitas Sumatera Utara

pemerintah pusat yang memiliki daerah sendiri. Sementara Han sebagai daerah
administrasi yang diperintah oleh daimyo yang bebas dari campur tangan shogun.
Dalam banyak hal, Era Tokugawa yang berlangsung lama ini adalah salah satu
era yang paling menonjol dalam sejarah bangsa Jepang. Tokugawa berhasil
mempertahankan perdamaian bersenjata di Jepang sampai dengan generasi
terakhir yang berkuasa, dan Tokugawa juga menjalankan suatu pemerintahan
yang terpusat yang secara mengagumkan dapat melaksanakan tujuan-tujuannya.

Benedict Ruth (1979: 66-67) menerangkan bahwa Tokugawa memiliki strategi
menjaga keutuhan pemerintahannya untuk mencegah para daimyo mengumpulkan
kekuatan untuk menentangnya. Tokugawa membiarkan pola feodal yang ada
bahkan mencoba memperkuatnya dan membuatnya menjadi kaku.
Masyarakat Jepang terdiri dari banyak tingkatan dan kedudukan setiap orang
ditetapkan berdasarkan keturunannya. Keluarga Tokugawa memantapkan sistem
ini dan mengatur tingkah laku sehari-hari dari setiap kasta sampai segi terkecil.
Setiap kepala keluarga harus mencantumkan kelasnya serta fakta-fakta yang
diperlukan mengenai status keturunannya. Mulai dari pakaian yang dikenakannya,
makanan yang boleh dibelinya, dan rumah yang secara sah boleh didiaminya
semua diatur berdasarkan pangkat yang diwarisi.
Pada masa ini kelas masyarakat dibagi menjadi empat kasta. Yang urutan
hirarkinya adalah Serdadu, Petani, Tukang, Pedagang. Di bawah tukang dan
pedagang terdapat kaum buangan yaitu Eta dan Hinin.

17
Universitas Sumatera Utara

Dalam bukunya, Benedict Ruth (1979: 68) menuliskan bahwa Eta merupakan
kaum buangan yang jumlahnya terbanyak dan paling terkenal. Mereka adalah

“sampah masyarakat” Jepang, atau lebih tepatnya “yang tidak masuk hitungan”,
sebab panjangnya jalan-jalan yang melalui desa mereka pun tidak dihitung.
Seakan-akan daerah tersebut beserta penduduknya sama sekali tidak ada. Mereka
luar biasa miskinnya, meskipun lapangan pekerjaan mereka terjamin (tukang
membersihkan segala macam kotoran, pengubur mayat dan penyamak), mereka
tetap berada di luar struktur resmi.
Begitu juga dengan kaum Hinin yang merupakan kaum senmin dari era
sebelumnya. Menurut Takagi (1991: 285) orang-orang yang melakukan tindak
kriminal, orang yang melakukan tindak asusila serta yang selamat dari bunuh diri
masuk ke dalam kategori kaum Hinin.
Pekerjaan Eta dan Hinin dibatasi pada jenis pekerjaan yang kotor seperti
tukang daging, pekerjaan yang berhubungan dengan kulit, dan juga pekerjaan
yang berhubungan dengan bambu yaitu membuat kocokan untuk acaran minum
teh yang terbuat dari bambu. Dan juga pekerjaan yang berhubungan dengan
kematian manusia, pembuatan alat-alat militer yang terbuat dari bahan kulit,

18
Universitas Sumatera Utara

tukang sepatu, tukang sapu, penghibur, pengemis serta orang-orang yang memiliki

penyakit menjijiknan digolongkan dalam kaum Eta dan Hinin, Hane (2003: 140).
Secara rinci Hane (2003: 142-143) menjelaskan perlakuan yang diterima
kaum Eta dan Hinin selama masa Tokugawa. Kehidupan kaum ini dibatasi mulai
dari tempat tinggal yang mereka diami adalah daerah khusus yang tidak ingin
ditinggali oleh masyarakat lain pada umumnya, kualitas rumah, mobilitas untuk
keluar masuk daerah, serta bagaimana rambut, bahkan sepatu mereka diatur dan
dijabarkan sebagai berikut:
a. Pada saat bepergian mereka tidak diperbolehkan untuk mengenakan alas
kaki apapun melainkan bepergian dengan telanjang kaki.
b. Mereka tidak diizinkan keluar dari daerah mereka sejak matahari terbenam
hingga matahari terbit. Kecuali pada tahun baru mereka hanya bisa keluar
hingga sekitar jam sembilan malam.
c. Tidak boleh bersosialisasi dengan orang lain yang kelasnya lebih tinggi
kecuali karena ada urusan bisnis. Saat berurusan mereka harus bersikap
sangat sopan.
d. Dilarang memasuki kuil-kuil selain kuil yang didatangi oleh orang-orang
yang bukan Eta dan Hinin. Mereka disediakan kuil tersendiri untuk
menghindari terkena kekotoran yang dibawa kaum Eta dan Hinin.
e. Tidak boleh menikah dengan kaum lain selain kaum Eta dan Hinin.
f. Nyawa mereka hanya dihargai sepertujuh dari nyawa masyarakat lain.

g. Mereka harus berjalan di tepi jalan.
h. Jendela rumah dilarang menghadap ke jalan.

19
Universitas Sumatera Utara

i. Tidak boleh menggunakan payung atau tutup kepala lainnya kecuali saat
hujan.
j. Tidak diperbolehkan makan dan minum di kota
k. Eta dianggap kotor, berbau, vulgar, tidak dapat dipercaya, berbahaya,
makhluk yang bukan manusia dan dianggap sebagai binatang.
Tentang tempat yang ditinggali oleh kaum Eta dan Hinin: “ Eta dan Hinin
banyak tinggal di tempat yang telah ditentukan yaitu dengan kondisinya buruk
seperti yang dijelaskan berikut. Tempat di dekat sungai yang selalu terkena banjir
dan luapan air sungai. Di lereng gunung yang curam dan di dataran tinggi yang
sering terkena resiko tanah longsor dan dengan pengairan yang buruk. Di gunung
yang tinggi di sebelah selatan dan timur yaitu tempat yang hampir tidak mendapat
sinar matahari saat musim dingin.
Serta dalam hal berpakaian pembatasan tersebut meliputi, saat keluar dari
desa, mereka dilarang memakai geta (sejenis sendal) dan zouri (sendal jerami).

Pada musim panas dan dingin pun mereka dibatasi memakai dua warna di kerah
dengan kain katun yaitu warna hijau dan hitam.
Maka bisa dikatakan, Zaman Tokugawa memiliki andil yang besar (selain
pengaruh Shinto dan Buddha) terhadap awal mula pendiskriminasian kaum Eta
dan Hinin. Hal ini juga yang ada pada pikiran masyarakat Jepang yang disurvey
oleh Management and Coordination Agency Policy Office of Regional
Improvement pada tahun 1993. Survey ini dilakukan dengan melakukan interview
pada 60.000 orang buraku dan sebanyak 20.000 orang non buraku. Survey ini
untuk melihat pengaruh dari Dowa Project (project pemerintah untuk membangun
daerah yang ditinggali oleh kaum burakumin yang dilakukan sejak 1969).

20
Universitas Sumatera Utara

Pertanyaan dari survey ini adalah “Apakah asal usul dari distrik Dowa?”
pilih satu dari enam pilihan. Mayoritas responden baik kaum buraku maupun nonburaku memilih “politik” yaitu merujuk pada sistem feodal dibawah pemerintahan
Tokugawa. Dibawah pemerintahan Tokugawa, buraku yang dalam sejarah dikenal
sebagai kaum Eta dan Hinin diposisikan sebagai kelas terendah dibawah yang
terendah, dan menghadapi dikriminasi dari berbagai aspek dalam kehidupan.
Tabel 1. Origin Claims of the Buraku People

Buraku

Ras

Agama

Pekerjaan Kemiskinan Politik

Lainnya

1.3%

1.1%

3.8%

14.5%

70.3%

9.1%

1.5

12.6

9.7

55.1

11.3

Nasional 9.9

2.2.2 Burakumin Pada Masa Restorasi Meiji (1868- 1945)
1868 merupakan tahun besar bagi sejarah perkembangan bangsa Jepang.
Kekuasaan pemerintahan diserahkan kembali dari tangan Tokugawa kepada
Kaisar. Meiji Tenno mengutarakan janji gokajonogoseimon. Tenno meningkatkan
kehidupan ekonomi dan politik dengan cara mencari ilmu ke seluruh dunia.
Kemudian ibukota Edo diubah menjadi Tokyo, dan Kaisar pindah dari Kyoto ke
Tokyo (Situmorang Hamzon 2011: 21).
Dalam bukunya, Ruth Benedict (1979: 83) menganalisa bagaimana
Restorasi Meiji ini mulai berjalan. Pemerintahan memulai restorasi dengan
mencabut hak atas pajak yang didapatkan oleh daimyo dari petani dan pemilik
tanah, 40 persen pajak yang tadinya untuk daimyo diserahkan ke pemerintahan.
Dalam lima tahun berikutnya, semua ketidaksamaan yang sah antara kelas-kelas

21
Universitas Sumatera Utara

dihapuskan tanpa prosedur, lambang keluarga dan pakaian khusus yang
menunjukan kasta dan kelas dilarang, bahkan kuncir harus dipotong. Begitu juga
dengan orang buangan diberi persamaan hak, hukum yang melarang pemindahan
atas hak tanah dihapuskan, penghalang-penghalang yang memisahkan satu
wilayah dengan wilayah lainnya ditiadakan serta peniadaan Bhudisme.
Kebijakan-kebijakan pada restorasi Meiji ini tidak diterima begitu saja.
Dalam rentang tahun 1868 hingga 1878 telah terjadi setidaknya 190
pemberontakan agraris. Para petani menentang pendirian sekolah-sekolah, wajib
militer, pengukuran tanah, pemotongan kuncir, pemberian persamaan hak pada
kaum terbuang dan banyak aturan lain yang mengubah cara hidup mereka yang
lama.
Di tahun 1871, pemerintahan Meiji mengeluarkan Emancipation Edict
yang menyatakan bahwa status Eta dan Hinin harus dihapuskan dan selanjutnya
orang-orang ini harus diperlakukan sama baik dalam pekerjaan dan kehidupan
sosial sebagain orang biasa yang baru (Shin Heimin).
Kebebasan pada Restorasi Meiji ini tidak serta merta menghilangkan
hirarki yang ada dalam budaya Jepang. Perubahan-perubahan ini tidaklah
mengacaukan kebiasaan-kebiasaan hirarkis. Kebiasaan itu mendapat tempat dan
kedudukan baru (Ruth Benedict, 1979: 87).
Maka muncullah sistem pembagian kelas masyarakat yang baru yaitu
Shimin Byoudou mengenai empat strata sosial. Keempat kelas tersebut bermaksud
membedakan masyarakat berdasarkan kelas sosial. Dimana kelas teratas diisi oleh
keluarga Kaisar (Kouzoku), bangsawan (Kazoku), samurai (Shizouku) serta kelas
terendah adalah rakyat jelata (Heimin) di mana dalam masa ini kaum eta dan hinin

22
Universitas Sumatera Utara

telah dimasukkan ke dalam kelas heimin, dan disebut sebagai shin heimin atau
orang biasa baru.
Penyamarataan status ini ditolah oleh kaum petani, pedagang dan tukang.
Mereka menolak untuk menjadi satu kelas dengan kaum eta dan hinin sehingga
sering terjadi permusuhan. Meski telah berada dalam satu kelas yang diakui dalam
pemerintahan, kaum eta dan hinin tetap tersisih dan tinggal di desa yang terpencil
(buraku).

2.3

Kepercayaan dan Konsep Kesucian di Jepang
Agama adalah kepercayaan dan ritual yang berkaitan dengan keberadaan

supranatural, kekuasaan, dan kekuatannya. Supranatural disini biasa disebut
dengan nama dewa, Tuhan, atau yang gaib. Agama dapat dipandang sebagai suatu
sistem kepercayaan yang terpadu, yang berhubungan dengan hal-hal yang sakral
yakni hal-hal yang terpisah dan terlarang.
Agama muncul karena orang-orang berusaha untuk memahami keadaaan
dan kejadian yang tidak bisa dijelaskan dengan mengacu pada pengalaman seharihari mereka. Mimpi waktu tidur pada masyarakat primitif dianggap mempunyai
makna dan itu harus diterjemahkan. Usaha ke arah menjelaskan mimpi itu
membuat mereka sadar bahwa ada diri yang lain dalam tubuh mereka. Diri yang
lain itu hadir ketika orang sedang tidur. Ketika diri yang lain waktu tidur dan diri
yang ada waktu sadar itu meninggalkan tubuh, maka orang yang bersangkutan
meninggal dunia. Kepercayaan seperti ini yang melahirkan ide tentang animisme.
Animisme adalah agama primitif yang kemudian bisa berkembang menjadi
politeisme dan monoteisme.

23
Universitas Sumatera Utara

(http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/17140/8/Chapter%20I.pdf.txt).
Menurut Keiichi Yanagawa (1992 : 7) agama didasarkan pada tiga unsur
utama, yaitu:
1. Doktrin yang mengidentifikasi obyek dan sifat keagamaan. Ajaran sentral dari
agama adalah percaya pada Tuhan atau dewa atau roh-roh yang keberadaannya
tidak bisa dilihat manusia.
2. Perkumpulan yang dibentuk oleh orang-orang yang berkepercayaan sama.
Perkumpulan ini bisa berbentuk organisasi agama, gereja, atau jemaah.
3. Ibadah keagamaan dan ajaran keagamaan. Oleh karena itu suatu agama terdiri
atas doktrin, yang pengikutnya harus percaya; organisasi para penganut agama
itu, dan kode ajaran yang memuat tingkah laku yang dikehendaki dari para
pengikutnya.
Masyarakat Jepang kuno telah mempunyai kebiasaan menyembah alam
dan roh leluhur sepanjang sejarah bangsanya. Penyembahan-penyembahan seperti
ini disebut dengan shizenshukyo (agama alam), Shomin shinko (kepercayaan
rakyat), Minkan Shinkou (kepercayaan penduduk). Kepercayaan yang tidak
melembaga namun hidup di tengah-tengah masyarakat Jepang ini dimasuki oleh
sebuah kepercayaan yang telah melembaga dari luar seperti Bukyo (Budha),
Douyou/jukyou (konfuisus). Agama alam, rakyat dan agama yang telah
melembaga ini akhirnya disebut dengan Shinto yaitu sebuah cara untuk bertuhan
(Situmorang Hamzon 2011: 24).
Anezaki Masaharu dalam Situmorang Hamzon mengatakan bahwa
masyarakat beragama Jepang tidak sampai kepada doktrin. Tetapi mereka hanya

24
Universitas Sumatera Utara

sampai kepada melaksanakan acara-acara saja atau ritus-ritus saja sebagai
kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari.
Hal ini juga bisa terlihat pada status keanggotaan masyarakat Jepang
dalam tiap-tiap kepercayaan. Menurut Badan Urusan Kebudayaan di tahun 1997
jumlah masyarakat Jepang yang mendaftar dalam berbagai kelompok keagamaan
adalah 207.758.774 jiwa. Jumlah tersebut merupakan gabungan dari kelompok
Shinto sebanyak

102.213.787 (49,2%), Budha 91.583.843 (44,1%), Kristen

3,168.596 (1,5%) dan lain-lain 10.792.548 (5.2%). Berdasarkan angka-angka ini,
hampir dua pertiga dari orang Jepang memilki dua kelompok agama karena
jumlah penduduk Jepang hanya 125.760.000 (1996).
Sebagai kepercayaan asli Jepang yang dianut oleh sebagian besar
masyarakatnya, Shinto berpengaruh besar dalam terciptanya stigma burakumin.
Baik Shinto maupun Budha di dalamnya terkandung konsep kesucian dan
kekotoran. Shinto menekankan kesucian yang harus dijaga dalam jiwa dan tubuh
manusia baik ketika melaksanakan ritual keagamaan maupun dalam kehidupan
sehari-hari. Sementara hal yang termasuk dalam kekotoran adalah hal yang terkait
dengan darah, kotoran, dan kematian. Keyakinan ini juga dianut oleh para
penguasa yang turut menciptakan adanya kelas sosial dalam tatanan kehidupan
bermasyarakat di Jepang. Kaum Eta dan Hinin yang merupakan para pekerja yang
berhubungan langsung dengan darah, daging dan kematian dianggap kotor dan
tercemar.
Keyakinan di atas juga dipengaruhi oleh Buddhisme yang masuk pada
abad ke 6. Saat Budha masuk, Jepang di bawah sistem Kaisar kuno telah memiliki

25
Universitas Sumatera Utara

kelas masyarakat yang berdasarkan hal yang mulia dan tidak mulia. Dari zaman
kuno hingga ke periode Chusei (1192-1603) sistem kemuliaan adalah hal yang
dominan (Kan,1995:13). Sejak periode Chusei ke awal Tokugawa (1603-1867)
pandangan mulia dan tidak mulia bercampur dengan pandangan suci dan tidak
suci. Hingga Budha mampu menggeser pandangan mulia dan tidak mulia tersebut
menjadi pandangan suci dan tidak suci ketika masuk ke masa Tokugawa (Noma
dan Nakaura, 1983: 210). Dibawah sistem Tokugawa orang yang najis atau tidak
suci dihapuskan dalam anggota kelas sosial dan terisolasi dan dianggap di luar
sistem (Kuroda, 1996).

2.4

Perkembangan Pembebasan Burakumin
Zaman Meiji adalah salah satu gerbang awal bagi burakumin untuk keluar

dari diskriminasi. Pembebasan ini tidak terwujud dalam waktu yang singkat dan
menyeluruh. Perubahan pandangan terhadap burakumin harus diikuti oleh semua
unsur masyarakat baik pemerintah, pelaku diskriminasi dan korban diskriminasi.
Seperti yang dikatakan Douglas (1966: 110) jika seseorang tidak memiliki tempat
di sistem sosial maka mereka adalah makhluk marjinal. Semua tindakan
pencegahan terhadap bahaya dan pembebasan harus datang dari orang lain. Dia
tidak bisa membantu dirinya sendiri dari pandangan bahwa mereka adalah hal
yang tidak normal. Meskipun usaha pembebasan tidak sepenuhnya berhasil,
usaha-usaha tersebut dilakukan sejak restorasi Meiji.
2.4.1 Proklamasi Emansipasi Pada Restorasi Meiji (1871)
Jatuhnya masa kejayaan keshogunan 1868 yang mengembalikan masa
kejayaan kaisar turut mengawali perjalanan burakumin menuju manusia bebas.
26
Universitas Sumatera Utara

Gebrakan untuk meninggalkan sistem feodal menuju era yang lebih modern
melahirkan sebuah istilah yang disebut dengan Kaihorei atau proklamasi
emansipasi. Dalam bukunya, Uesegi mengatakan bahwa sebenarnya istilah Kaiho
atau kebebasan tidak pernah muncul sekalipun dalam catatan dokumen sejarah
Jepang. Istilah yang digunakan untuk memaknai keadaan saat restorasi Meiji
adalah Senmin Haishirei yaitu menghilangkan sistem manusia tercela atau
bermakna menghapus sistem dan kelas masyarakat yang tidak didasari pada
konsep hak asasi manusia dan keadilan.
Dikatakan juga bahwa diskriminasi yang terjadi pada zaman Edo merupakan
kehendak penguasa di jaman tersebut dan telah dihapuskan pada masa Kekaisaran
Meiji. Pada masa ini kelas sosial burakumin diangkat menjadi sejajar dengan
heimin, namun mereka diberi julukan Shin-heimin atau rakyat jelata baru.
Meskipun pemerintah menetapkan kesamarataan hak dan status masyarakat,
pandangan masyarakat lainnya terhadap burakumin tidak ikut berubah. Berbagai
penolakan kerap terjadi terutama pada golongan petani yang tidak mau berstatus
sosial sejajar dengan rakyat jelata baru.
Dalam sepuluh tahun pertama di restorasi Meiji, telah terjadi banyak
kerusuhan dalam masyarakat. Atas kerusuhuan tersebut burakumin dijadikan
kambing hitam. Banyak penduduk yang mengalami kesulitan keuangan yang
parah, terutama para petani. Para petani khawatir bahwa pembebasan Eta akan
berarti persaingan untuk tanah dan dalam proses itu mereka akan berakhir dengan
nasib yang sama seperti kaum buraku (Totten, George, dan Wagatsuma, 1972: 3436). Penderitaan kaum buraku tidak bisa berubah dalam waktu singkat, mereka

27
Universitas Sumatera Utara

masih menerima serangan bahkan menganggap penderitaan semakin parah dengan
adanya banyak ancaman dari kelas masyarakat yang lain.
Restorasi Meiji digunakan oleh beberapa burakumin untuk melarikan diri dari
kemiskinan dan diskriminasi dengan menjadi imigran dan bekerja di luar negeri.
Dari akhir 1800 hingga 1930-an ribuan imigran Jepang menetap di di negaranegara seperti Amerika, Brasil dan Peru.

2.4.2 Penghapusan Kelas Sosial Dalam Sistem Koseki
Koseki (戸籍) adalah sebuah catatan registrasi keluarga Jepang. Hukum di
Jepang mengharuskan semua rumah tangga Jepang (Ie) melaporkan kelahiran,
pengakuan dari ayah, adopsi, kematian, perceraian, perpindahan, hingga kelas
sosial. Koseki pertama kali dibuat pada tahun 670, penggunaannya hanya dalam
skala lokal. Sementara untuk pencatatan keluarga yang digunakan dalam skala
nasional baru ada pada tahun 1871 yang dikenal dengan Jinsin Koseki. Saat itu
yang menggunakan registrasi keluarga hanya terbatas pada kaum bangsawan,
keluarga samurai, dan orang-orang umum yang terdaftar. Pada tahun 1872
pemerintah membuat undang-undang yang melarang mengubah nama keluarga
dan pada tahun 1875 semua orang harus memiliki nama keluarga.
Masami Degawa dalam tesisnya menjelaskan tujuan utama dari koseki bukan
untuk mengidentifikasi orang dan melegalkan hubungan keluarga. Tapi untuk
mengaktifkan fungsi pemerintah dalam mengontrol keluarga Jepang. Koseki
mencatat data tentang tempat tinggal dan kelas yang asli seperti bangsawan, atau
kelas samurai. Meskipun Eta dan Hinin telah masuk dalam kelas masyarakat jelata
di 1851, sistem Koseki tetap mencatat asal usul mereka.

28
Universitas Sumatera Utara

Sulitnya mengubah pandangan masyarakat terhadap burakumin menjadikan
kelompok masyarakat ini menyembunyikan identitas atau melindungi identitas
mereka agar terhindar dari diskriminasi. Upaya melindungi diri dari diskriminasi
dan agar dapat diterima di masyarakat luas Pada tahun 1923, salah satu organisasi
terbesar bagi orang-orang buraku, Zenkoku-Suiheisha meminta pemerintah untuk
menghapus keterangan asal kelas sosial dalam koseki kaum eta dan hinin. Sebagai
respon terhadap itu pada tahun 1924, pemerintah memutuskan untuk melarang
penggunaan "Eta" dan "Hinin". Namun, penghapusan asal kelas hanya berlaku
pada kaum buraku sehingga asal usul yang berusaha untuk disembunyikan tetap
terlihat dengan adanya kekosongan dalam kolom kelas sosial. Masyarakat umum
berasumsi bahwa jika kolom asal kelas sosial di koseki nya kosong berarti berasal
dari kelas eta dan hinin. Barulah pada tahun 1938 pemerintah benar-benar
menghapus kolom asal kelas sosial pada seluruh koseki.
Setelah kekalahan Jepang pada Perang Dunia II, General Headquarters (GHQ)
meminta pemerintah Jepang untuk menghapuskan sistem Koseki dan membuat
sistem register baru yang hanya mengisi tentang perseorang tanpa merunut asal
usul keluarga. Pemerintah menjawab permintaan tersebut dengan mengatakan
bahwa akan membutuhkan banyak biaya dan sulit untuk mengubah koseki.
Namun,

pemerintah

akan

tetap

mencoba

mengubahnya

saat

keadaan

perekonomian negara kembali pulih (Ninomiya 1995: 41).
Tidak sampai 1966 Koseki pun mengalami perubahan. Bukan perubahan yang
sesuai permintaan (koseki individu). Melainkan dari pencatatan keluarga secara
luas menjadi pencatatan keluarga inti saja. Pada sistem ini, setiap warga Jepang
baik keluarga maupun pribadi yang melakukan perpindahan tempat tinggal tetap

29
Universitas Sumatera Utara

harus meregistrasikan kosekinya, sehingga dalam koseki bukan hanya terlihat
tempat tinggal terbaru namun juga tempat tinggal sebelum-sebelumnya. Dengan
biaya yang murah, semua orang bisa melihat koseki orang lain.
Saat ini fungsi koseki adalah untuk membuktikan status pribadi secara resmi.
Ada beberapa aturan untuk koseki. Pertama. hanya orang yang memiliki nama
keluarga sama yang dapat mendaftar di satu koseki. Kedua, hanya dua generasi
seperti orang tua dan anak yang bisa mendaftar di satu koseki yang sama. Oleh
karena itu, ketika orang-orang menikah, mereka harus menghapus nama mereka
dari koseki keluarga lama dan mendaftar yang baru. Ketiga, alamat yang diberikan
di koseki dapat berubah kapan saja dan sejak tahun 1887. Namun, koseki juga
memiliki lampiran yang menunjukkan rincian riwayat hidup sebelumnya.

2.4.3 Pembangunan Distrik Dowa
Dalam rangka mensejahterakan kehidupan masyarakat buraku, pemerintah
dibantu oleh organisasi buraku menciptakan sebuah proyek pemulihan wilayah
Dowa. Pada tahun 1958, pasca-perang pemerintah menerima tanggung jawab
mereka untuk membantu meningkatkan kesejahteraan hidup buraku. Dowa sendiri
adalah kata yang diciptakan oleh pemerintah yang wilayah ditinggali oleh
komunitas buraku.
Sejak tahun 1969, pemerintah telah menghabiskan lebih dari 100 miliar yen
untuk memperbaiki lingkungan masyarakat mulai dari perumahan pendidikan.
peluang kerja, pertanian, dan usaha kecil.
Pada tahun 1965, organisasi buraku dalam sebuah laporan yang disebut
dengan Laporan Dewan Kebijakan Dowa berusaha memaparkan masalah yang

30
Universitas Sumatera Utara

dihadapi oleh orang-orang dalam kawasan ini selama puluhan tahun kepada
pemerintah.
Dalam laporan tersebut mengatakan bahwa masalah Dowa adalah masalah
sosial yang sangat serius dan menjadi kuburan bagi beberapa kelompok warga
Jepang yang ditempatkan pada kelas sosial terendah baik secara ekonomi, sosial,
dan budaya dalam struktur status sosial yang dimiliki Jepang. Dalam
perkembangan masyarakatnya hal ini menciptakan diskriminasi di masyarakat
Jepang. Hal ini berarti adanya pelanggaran hak asasi manusia dalam masyarakat
kotemporer. Mereka untuk memiliki hak-hak sipil yang mana hak dan kebebasan
tersebut harusnya dilindungi dan dijamin bagi semua masyarakat dalam sebuah
negara modern, Amos (2011: 160).

2.4.4 Lahirnya Organisasi Buraku
Masa pembebasan telah lahir, budaya barat masuk ke Jepang dan orang
Jepang pergi menuntut ilmu ke berbagai belahan dunia. Paham-paham mulai
masuk dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat Jepang dan mempengaruhi cara
berpikirnya.
Totten dan Wagatsuma, (1972: 43) menyebutkan bahwa intelektual muda
buraku terinspirasi oleh ide-ide Marx dan teori sosialis. Mereka menerima
bantuan dari pemimpin komunis yang aktif dalam penelitian, pertanian dan
pergerakan politik untuk menambah wawasan mereka. Selain itu mereka juga
terpngaruh oleh artikel Sano Manabu yang terbit pada tahun 1921 tentang
Emansipasi Takushu Buraku. Sano Manabu menyatakan bahwa satu-satunya cara

31
Universitas Sumatera Utara

Burakumin untuk mendapatkan kebebasan sejati

adalah dengan bekerjasama

dengan buruh, yang juga menderita oleh sistem kapitalis.
Artikel ini sangat berpengaruh pada aktivis buraku sehingga terbentuklah
sebuah gerakan independen. Tanggal 3 Maret 1922, mereka memulai konferensi
tingkat nasional pertama yang disebut dengan Zenkoku Suiheisha. Konferensi ini
diikuti sekitar 2.000 perwakilan buraku dari seluruh Jepang, Totten dan
Wagatsuma (1972:43)
Dalam konferensi ini ada tiga deklarasi yang dibahas dan disetujui di dalam
forum yaitu:
1. Bahwa Tokushu Burakumin akan memperoleh kebebasan dengan cara
mereka sendiri.
2. Tokushu Burakumin menuntut kebebasan dalam meningkatkan
perekonomian dan pekerjaan seperti mayoritas masyarakat lainnya.
3. Tokushu Burakumin akan peduli terhadap martabat manusia dan mereka
akan merealisasikan nilai-nilai kemanusiaan (Totten dan Wagatsuma, 1972:
43).
Deklarasi Suisheisha tersebut didedikasikan untuk semua kaum buraku yang
sudah merindukan sebuah kebebasan. Tujuan utama dari Suiheisha adalah untuk
mengecam siapa pun yang menghina burakumin dengan kata-kata dan perbuatan
ofensif. Ini berarti bahwa jika ada orang yang mendiskriminasikan burakumin,
para anggota Suiheisha akan menuntutnya untuk meminta maaf secara terbuka
dalam bentuk pernyataan yang diterbitkan di koran atau dalam sebuah pernyataan
yang dicetak lalu akan didistribusikan oleh Suiheisha.
Menurut George O. Totten dan Hiroshi Wagatsuma dalam "69 kasus yang

32
Universitas Sumatera Utara

Dilaporkan (1972: 45)” terdapat pelaku diskriminasi yang menolak untuk
meminta maaf.
Salah satu contoh adalah ketika cabang Suiheisha di Nara mencoba untuk
menghapuskan diskriminasi di sebuah sekolah dasar, di mana anak-anak buraku
tidak diperbolehkan untuk duduk di samping anak-anak non-buraku dan tidak
diperbolehkan untuk menggunakan toilet yang sama. Selain itu tugas untuk
membersihkan sekolah diberikan oleh anak-anak buraku sementara yang nonburaku dibebaskan dari tugas membersihkan sekolah sepulang jam belajar.
Pembersihan. Bahkan beberapa anak buraku tidak diperbolehkan untuk naik ke
sekolah tingkat atas, meskipun nilai mereka sangat baik.
Namun, upaya penghapusan diskriminasi yang telah mendapatkan dukungan
dari seratus anggota buraku ini ditolak oleh kepala sekolah SD tersebut. Hal ini
mengakibatkan perkelahian fisik antara burakumin dan petugas kecamatan. Dalam
bentrokan tersebut mengakibatkan luka-luka pada petugas kecamatan dan pakaian
kepala sekolah yang berusaha untuk melerai telah robek.
Pada akhirnya, sejumlah burakumin mendapat panggilan ke kantor polisi
sementara

guru yang mendiskriminasikan

anak-anak buraku ditugaskan ke

sekolah lain.
Meskipun perjuangan dengan diskriminator seperti contoh di atas umumnya
hanya mendapatkan kemenangna yang kecil, hal tersebut menjadi sebuah motivasi
untuk melakukan gerakan baru.
Dengan tetap menjaga tindakan radikalnya, maka

non-burakumin dan

organisasi lainnya mengubah bahkan menghilangkan pandangan lama mereka
terhadap kaum buraku.

33
Universitas Sumatera Utara

Organisasi-organisasi yang lebih dekat dengan pemerintah seperti gerakan
Yuwa bahkan mengulurkan tangan untuk membantu Suiheisha dengan memaksa
pemerintah agar memberi dana lebih untuk proyek-proyek yang akan
meningkatkan fasilitas umum di daerah buraku.
Pemerintah juga dipaksa membuka peluang ekonomi yang selama ini hanya
terlihat sebagai mimpi oleh kaum buraku paling terdidik sekalipun. Serta
meningkatkan cakupan keamanan ekonomi untuk burakumin, Totten dan
Wagatsuma (1972: 62).
Pada

tahun 1940 karena kekhawatiran akan Perang Dunia II, Suiheisha

dibubarkan. Namun, para pemimpinnya tidak pernah berhenti berjuang untuk
rencana mereka di masa depan dan pada saat negara-negara sekutu memenangkan
perang.
Hingga pada tahun 1946, bebuah konstitusi baru dikeluarkan di Jepang yang
menyatakan bahwa "semua warga negara adalah sama di bawah hukum dalam
hubungan politik, ekonomi, dan sosial, dan bahwa mereka tidak akan
didiskriminasi karena alasan ras, keyakinan, jenis kelamin, status sosial, atau latar
belakang keluarga, Totten dan Wagatsuma (1972: 69). Yang berarti bahwa dengan
hukum yang baru ini, orang buangan sosial seperti burakumin akan bebas dari
prasangka-prasangka buruk. Di tahun yang sama, para pemimpin tua dari
Suiheisha mereformasi ulang organisasi mereka. Tapi kali ini mereka mengubah
nama menjadi National Commite for Buraku Liberation (Buraku Kaiho Zenkoku
Iinkai) atau disingkat NCBL.
Dalam naungan nama baru, NCBL fokus pada aksi untuk melepaskan
diskriminasi ekonomi dengan meminta bantuan pemerintah untuk memperbaiki

34
Universitas Sumatera Utara

keadaan finansial serta memperbaiki kemiskinan yang dihadapi kaum buraku.
serta mengubah lingkungan kumuh yang ditempati oleh buraku agar menjadi
layak paling tidak seperti perumahan murah yang ada di kota-kota pada
umumnya. NCBL juga meminta agar limbah dan pasokan air harus dibersihkan
secara menyeluruh dan berharap untuk pembangunan yang lebih luas dalam hal
pembibitan, klinik, pusat-pusat kerja dan program kesejahteraan lainnya. Terakhir
mereka mendesak

pemerintah untuk memperbaikan fasilitas pendidikan dan

kemungkinan kerja bagi anak muda buraku serta memberikan pinjaman kepada
industri kecil miliki masyarakat buraku, Totten dan Wagatsuma (1972:74).
Melalui publikasi tentang anti diskriminasi, NCBL semakin kuat dan berjuang
untuk menuntut pemeritah lokal agar memperbaiki kualitas hidup mereka. Untuk
memperluas organisasinya NCBL mengubah nama menjadi Buraku Kaiho Domei
atau Buraku Liberation League (BLL) di tahun 1955 (Asada. 1969: 269).
Namun cara BLL untuk menuntut pernyataan maaf secara terbuka pada pelaku
diskriminasi menimbulkan beberapa kritik, diantaranya Karel Van Wolferen,
seorang jurnalis Belanda yang telah lama tinggal di Jepang. Dia mengatakan, BLL
tidak menempuh jalur hukum untuk penyelesaian diskriminasi (1989: 74).
Ancaman untuk tidak menyudutkan kaum burakumin ini cukup kuat termasuk
saat menghadapi penerbit, penulis, wartawan, editor dan guru. Semua yang
menyinggung burakumin yang bertentang dengan ideologi BLL akan menerima
resiko dipaksa untuk meminta maaf, mereka akan ditahan terlebih dahulu sampai
permintaan maaf itu keluar.
Pada titik ini. BLL menegaskan bahwa permintaan maaf secara terbuka ini
dibenarkan karena ada hukum khusus untuk mengendalikan tindakan diskriminatif

35
Universitas Sumatera Utara

terhadap orang-orang buraku. namun beberapa oknum menggunakan kekerasan
saat menuntut permintaan maaf pada elaku diskriminasi. Hal inilah yang membuat
pemerintah memperingati buraku jika tetap menjalankan tuntutan permintaan
maaf terbuka maka kebebasan brbicara organisasi ini akan dicabut, Karel Van
Wolferen (1989: 342).
Takagi (1991:284) berpendapat bahwa permintaan maaf terbuka ini justru
menjadikan burakumin sebagai pembahasan yang tabu dan takut untuk
dibicarakan sehingga penyelesaian diskriminasinya berjalan lama. Karena siapa
pun yang berani mengkritik cara BLL ini menjadi target untuk 'pengaduan'.
Berdasarkan hal tersebut tidak dapat dipungkiri bahwa media mencoba untuk
menekan isu kontroversial ini.
Hal ini juga yang dikomentari oleh Ian Neary yang tidak menerima bahwa
masalah buraku hanya sisa-sisa feodalisme yang akan hilang dengan
perkembangan kapitalisme. Ia menolak pandangan bahwa solusi terbaik adalah
mengabaikan masalah buraku dengan tidak membahasnya atau melakukan
tindakan khusus, Neary (2009: 71).
Pada tahun 1980 pemerintah menegaskan bahwa permintaan maaf secara
terbuka legal untuk dilakukan, namun tidak untuk tindakan kekerasan yang kerap
dilakukan oleh preman yang berpura-pura menjadi buraku. diikuti dengan adanya
tindakan pemerintah untuk memperbaiki perekonomian buraku pada tahun 1986.
Pemerintah berjanji akan bekerjasama dengan kementerian dan pengacara untuk
menyelesaikan perkara kaum buraku dan wilayah Dowa. Ada juga biaya
tunjangan yang diberikan bagi masyarakat buraku. masyarakat (Manajemen dan
Badan Koordinasi. 1997: 303).

36
Universitas Sumatera Utara

BLL memainkan peran yang sangat penting dalam memperbaiki
kehidupan buraku. Mereka mempercepat dan mempromosikan proyek pemulihan
wilayan Dowa. Dibawah tekanan BLL yang cukup besar pemerintah terpaksa
berpikir serius tentang diskriminasi masyarakat buraku.
Di samping itu. tindakan radikal mereka mungkin telah berkontribusi terhadap
kelanjutan dari masalah buraku sehingga terjadi penghidaran terhadap
pembahasan topik burakumin di dalam masyarakat Jepang yang berlanjut hingga
sekarang.

37
Universitas Sumatera Utara