Diskriminasi Terhadap Masyarakat Burakumin Di Jepang Dewasa Ini

(1)

要旨 う

現在日本 部落民 対 社会 差別

均質社会 請 求

国 日本 実際 民族 社会

民族 中 日本全国 広 多 少 数

う う

民族

う 部落 民 一 均質 請 求

民族 在

隠 う

う 歴史 通

民族 多数

日本社会

差別 少 数

う う

民族

部落 民 違う

民族 多 少 数

う う

民族 部落 民

部落 里 民 民族 う 来 文 通

部落 民族 小 里 住 民族 民族 追

人々 特 江

否認 構成

民族 日本 封建

制度

準 拠 民族 別 所 住

江 え

否認民族 時 社会 汚 事

人間 認 汚 事 認 仏 教

神道 う

う日本 宗 教

う う

関 死亡


(2)

動物 う

皮膚 外 動物

殺 火葬

炉 墓 管理人 汚

事 認 う

明治時 府 江

否認 差別 廃 う

隷解 う

可決 民族 社会 生活 職 業

民族 平 等

う う

認 部落民 階 級

民族 農民

階 級 う

農民 う

部落 民 階 級

非常 う

拒否

争 発生 一般 社会 部落民 階 級

拒否

部落民 状 態

改 府 生活 環 境

質 高

う 和

うわ 事業

う対策 行 対策 普通

汚 部落民 家

掃除 う

融通 う う

援助 え

平 等 う う

社交 う

部落民 生活 水 準 向 上

う う

水平社 支援

水平社 部落

民 若

公 共 う う

知識人 構造

う う

相識 う

相識 う

府 部落 民

経済 社会 教 育

注意 う

う う

相識 う

発展 前

変わ わ

う 水平社 見守 差別

起 行為


(3)

差別 消え え

う 動 力

社会 部落 民 古

味方 消え

う 日本社会 祖先 神道

信用 う

古 考え方

人 良

部落民 断

差別 職 業

起 会社 面接 戸籍 添付

結婚 前

両 親 う

求 婚 者 う

戸籍 頼

結婚 場合 部落民 告白 求 婚 者

相手 家族 断

起 事件 部落民 性 相手 悪

部落民 書 著者 現在 部落民 社会 家族

子供 部落民 う ン 隠 う


(4)

Daftar Pustaka

Abdurrahman, Dudung. 1999. Metode Penelitian Sejarah. Jakarta: PT Logos

Wacana Ilmu.

Aminuddin. 1990. Sekitar Masalah Sastra : Beberapa Prinsip dan Model Pengembangannya. Malang : Yayasan Asah Asuh Malang

Benedict, Ruth. 1979. Pedang Samurai dan Bunga Seruni . Jakarta: Penerbit Sinar Harapan

Buraku Liberation Research Institute. 1983-1993. Buraku Liberation News. Osaka: Buraku Liberation Research Institute.

Dayakisni Tri, Hudaniah. 2009. Psikologi Sosial. Jakarta : UMM Press

Donoghue. John D. 1957. "An Eta Community in Japan: The Social Persistence of Outcaste Groups" American Anthropologist.

Douglas. Mary. 1966. Purity-Danger –An analy sis of Concepts of pollution and Taboo. Middlesex and Baltimore: Penguin Books.

Inou Kiyoshi. 1964. The Studyof Buraku Problems: History and Theory of

Emancipation. Kyoto: Buraku Mondai Kenkyusho

Koentjaraningrat. 2002. Ilmu Sosial ( Antropologi dan Kebudayaan).

Jakarta : Rineka Cipta.

Kitaguchi, Suehiro. Tran. Alastair McLauchlan. An Introduction to the Buraku Issue: Questions and Answers. Surrey: Japan Library, 1999.


(5)

Modern Japan. New York: Rowman & Littlefield Publishers

Miyazaki. Shigeki. 1999. Kokusaika Jidai no dinken to Dowa Mondai. Tokyo: Akashi shoten.

Neary, Ian. 2009. Burakumin in contemporary Japan“. Japan‘s Minorites: the Illusion of Homogeneity. Ed. Michael Weiner. New York: Routledge Totten, George O. and Hiroshi Wagatsuma. 1972. Emancipation: Growth and

Transformation of a Political Movement“. Japan‘s Invisible Race: Caste in Culture andPersonality. Los Angeles: University of California Press Shimahara, Nobuo. 1971. Burakumin: A Japanese Edication. Hargue: Martinus

Hijhoff

Situmorang, Hamzon. 2011: Telaah Budaya dan Masyarakat Jepang.

Medan: Usu Press

Situmorang, Hamzon. 2013: Minzoku Gaku(Ethnologi) Jepang. Medan: Usu Press

Stet, JE and Burke, Peter J. 2000. Identity Theory and Social Identity Theory. Social Psychological Quarterly

Yanagawa, Keiichi. 1992: Religion and Society in Contemporary Japan. Nanzan Institute for Religion and Culture

http://www.bll.gr.jp/eng.html.

http://www.tofugu.com/2011/11/18/the-burakumin-japans-invisible-race/

http://www.japantimes.co.jp/community/2009/01/20/issues/breaking-the-silence-on-burakumin-2/#.VgkBtdKqqkp


(6)

https://id.wikipedia.org/wiki/Burakumin

http://lib.ui.ac.id/file?file=pdf/abstrak-20157966.pdf

http://www.academia.edu/10357376/_FENOMENA_BURAKUMIN_PENYAKIT _SOSIAL_DARI_POLA_PIKIR_HOMOGEN_MASYARAKAT_JEPANG_

http://belajar-nihongo.blogspot.co.id/2011/06/kaum-eta-sisi-gelap-negeri-jepang.html

http://library.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2011-02-00355-JP%20Bab%202.pdf


(7)

BAB III

PENDISKRIMINASIAN MASYARAKAT BURAKUMIN DI JEPANG DEWASA INI

3.1 Pendiskriminasian Bidang Hubungan Sosial Masyarakat

Tercatat pada Oktober 2015, jumlah penduduk Jepang adalah sebanyak 126,890,000 jiwa. Jumlah ini bertambah sekitar 1 juta jiwa sejak 1996 dimana dalam Hokkaido Minseibu (1993:2) mengatakan bahwa jumlah penduduk Jepang saat itu adalah 125.760.000 termasuk didalamnya tiga kelompok minoritas. Jepang adalah sebuah negara yang homogen terdengar hanya sebagai sebuah mitos karena faktanya terdapat 4% (5.000.000 orang) kelompok masyarakat yang merupakan kaum minoritas termasuk buraku.

Burakumin merupakan kelompok minoritas terbesar yang ada di Jepang. Perbedaan mereka tidak terlihat secara fisik. Menurut survey yang diadakan oleh pemerintah di tahun1955 jumlah kaum buraku sebanyak 892.551 atau sekitar 298.385 kepala keluarga. Terdapat sekitar 4.442 diantaranya tinggal di wilayah Dowa ( Badan Koordinasi dan Manajemen 1995:419).

Hal ini berbeda dengan data yang dimilki oleh Buraku Liberation Research Institute yang mengatakan bahwa jumlah buraku terdiri dari 1.000.000 sampai 3.000.000 orang yang tinggal di 6.000 wilayah Dowa (De Vos 1983: 3).

Burakumin tersebar hampir di seluruh Jepang. Namun sebagian besar menempati wilayah Nishi Nihon atau bagian barat wilayah Jepang terutama ada di daerah Kansai. Lebih dari 10% dari penduduk Osaka, Hyogo, dan Fukuoka adalah burakumin (Smith 1994:199).


(8)

Table 2. Penyebaran Burakumin berdasarkan wilayah tempat tinggal (1987)

Buraku Liberation League dalam Civil Society Report on the Implementation of the ICCPR di tahun 2014 mengungkapkan banyak burakumin yang memilih pindah keluar dari komunitasnya untuk menghindari adanya diskriminasi. Namun, citra dan pandangan negatif terhadap buraku belum hilang bahkan setelah 33 tahun. Selama itu pemerintah telah memiliki langkah-langkah


(9)

khusus untuk menghapusnya sejak 1969-2002. Hingga sekarang pemerintah juga masih aktif melakukan penyadaran terhadap kesamaan hak dan anti diskriminasi terhadap orang-orang buraku.

Menurut Teraki (1997:99), dari sejak munculnya dekrit pembebasan di jaman Meiji hingga hampir tahun 2000 burakumin masih mengalamai diskriminasi meski tidak separah masa lalu. Menurut survey oleh Agen Manajemen dan Koordinasi tahun 1993, dari daerah buraku di 36 prefektur menunjukkan bahwa 33,2% responden mengalami perlakuan tidak menyenangkan hanya karena mereka tinggal di daerah yang dulu didiami oleh burakumin.

Dalam Buraku List Scandal yang tercatat pada tahun 1975 mengungkapkan bahwa citra negatif dari buraku sangat kaku dan sangat tertanam dalam pikiran masyarakat dan muncul juga dalam praktik kehidupan sehari-hari.

Pada tahun 2010 Pemerintah Prefektur Osaka melakukan survei untuk mengetahui sikap warga terhadap masalah Buraku. Pertanyaannya adalah, "Apakah Anda menghindari sebuah rumah yang terletak di distrik Dowa ketika Anda membeli atau menyewa rumah? "55,0% responden menjawab" ya. "Mereka ingin menghindari buraku, beberapa orang calon pembeli rumah akan memastikan ke balai kota yang relevan untuk menanyakan apakah alamat rumah yang akan mereka beli merupakan bagian dari bekas wilayah buraku, atau secara pribadi menggunakan investigator untuk mengetahui apakah rumah yang akan dibeli adalah bagian dari atau dekat dengan buraku. Agen real estate, pengembang perumahan atau pembeli tanah lelang juga akan mencari tahu apakah proyek-proyek pembangunan perumahan atau pembelian tidak berada di atau bekas


(10)

wilayah buraku sehingga mereka dapat menghindari buraku dalam transaksi bisnis mereka.

BLL juga mengungkapkan skandal yang terjadi pada tahun 2014 yang terdapat dalam sebuah artikel di majalah. Majalah tersebut mengangkat latar belakang pribadi seorang pemimpin politik terkemuka, skandal diskriminasi terjadi satu demi satu. Ini dilakukan oleh orang-orang yang mencoba untuk memberikan kerusakan pada tokoh tertentu atau untuk memperoleh lebih banyak keuntungan bisnis dengan mengambil keuntungan dari citra negatif buraku.

3.2 Pendiskriminasian Bidang Pekerjaan

Di bidang pekerjaan, diskriminasi terjadi pada pembatasan-pembatasan bidang pekerjaan. Burakumin pada umumnya dibatasi untuk melakukan perkerjaan seperti yang dilakukannya pada masa lalu. Meskipun mereka telah dibebaskan pada 1871 lalu, diskriminasi masih meluas di jaman modern ini (Weiner, 2004:109).

Menurut Hane (2003:155) selain melakukan pekerjaan di bidang yang sama di masa lalu, ada juga burakumin yang bekerja sebagai guru. Guru adalah salah satu jenis pekerjaan yang diperbolehkan secara tertulis pada Jaman Meiji. Burakumin tidak diizinkan untuk menggeluti pekerjaan dalam bidang pemerintahan atau polisi.

Keterbatasan itu harusnya telah berakhir sejak tahun 1965. Setelahnya burakumin bisa menentukan sendiri jenis pekerjaan mereka sesuai dengan kemampuannya. Yang menjadi masalah slanjutnya adalah tentang kehidupan mereka di dunia pekerjaan. Hampir tidak mungkin bagi burakumin untuk


(11)

mendapatkan posisi jabatan teratas. Banyak perusahaan yang juga memiliki koseki karyawannya secara ilegal. Koseki yang harusnya bukan jadi konsumsi publik digunakan secara tidak baik oleh berbagai oknum hingga dikenal dengan buraku list scandal.

Dari situs Buraku Liberation dan Hak Asasi Manusia Research Institute menjelaskan apa yang disebut "Buraku Daftar Skandal" yang terungkap pada bulan November 1975. Melalui Liberation League Buraku dan Badan Otoritas Publik, ditemukan bahwa: (a) sedikitnya delapan jenis Daftar Buraku, yang berisi informasi tentang nama dan lokasi, jumlah rumah tangga dan pekerjaan utama masyarakat Buraku, telah diterbitkan; (B) mereka siap dan didistribusikan oleh lembaga investigasi dan detektif swasta, dan; (C) telah terjadi sebanyak 220 pembeli, sebagian besar yang perusahaan swasta yang tujuan utamanya adalah untuk melakukan skrining diskriminatif pelamar kerja.

Akibatnya, Prefektur Osaka dan beberapa kota lainnya memberlakukan peraturan daerah untuk mengatur investigasi latar belakang pribadi yang dilakukan oleh lembaga swasta, yang menyebabkan diskriminasi terhadap orang Buraku. Namun, tidak ada langkah-langkah legislatif yang telah diambil di tingkat nasional dalam hal ini . (http://blhrri.org/blhrri_e/other/008_e.html).

Diskriminasi oleh perusahaan besar tetap terjadi karena mereka lebih memilih karyawan yang berasal dari mayoritas Jepang. Sebagian besar perusahaan masih memerlukan calon karyawan untuk mengirimkan Koseki mereka yang menunjukkan di mana mereka tinggal, tempat kelahiran. dan informasi lain tentang anggota keluarga. Daftar yang mengkompilasi alamat masyarakat buraku telah mulai beredar diperkirakan bahwa. antara 1976 dan 1980. Sedikitnya


(12)

sembilan daftar substansial diproduksi dan dijual dengan harga yang tinggi untuk perusahaan, termasuk perusahaan terkenal dan Bank-Bank besar.

Seperti yang dijelaskan William Wetherall, beberapa daftar yang diterbitkan pada 1930-an oleh pemerintah bersama-sama dengan laporan resmi masalah Buraku. Daftar tersebut telah digunakan untuk menyaring alamat sekarang dan masa lalu dari pelamar dan keluarga mereka untuk mengidentifikasi hubungan mereka dengan buraku, latar belakang dan menggagalkan impian mereka melarikan diri dari belenggu diskriminasi yang secara hukum statusnya telah dihapuskan (1984:36).

Ada tekanan oleh Buraku Liberation League (BLL) untuk membuat

daftar ini ilegal. Daftar ini dibeli tidak hanya oleh perusahaan tetapi juga oleh individu yang ingin memastikan bahwa anak-anak mereka tidak sengaja menikahi orang-orang buraku. sekarang membeli dan mencari latar belakang seseorang merupakan tindakan yang ilegal.

Pada tahun 1980, menurut Statistik Tenaga Kerja tingkat pengangguran rata-rata di Jepang adalah 2,2% tetapi di wilayah buraku itu jauh lebih tinggi: misalnya. di Nagasaki 50%, di Osaka 29%, dan di Kochi 26% (Miyazaki. 1999).

Namun, situasi kerja telah membaik pada tahun 1993. Lebih dari 50% dari orang-orang buraku dipekerjakan dan sekitar 80% dari pemuda memiliki pekerjaan reguler penuh waktu.


(13)

(14)

Menurut Buraku Liberation Research Institute laporan (Oktober 1993) dibandingkan dengan populasi umum ada lebih sedikit pekerja kerah putih dan lebih pekerja kerah biru di antara buraku di setiap prefektur, dan rasio pekerja di bidang manufaktur lebih tinggi di antara buraku. Sebagai contoh. di Kyoto 12,9% dari orang-orang Buraku terlibat dalam administrasi pekerjaan, dari 21,9% dari populasi di Kyoto. Sebaliknya 43,5% dari orang buraku bekerja di bidang manufaktur, merupakan 35,9% dari populasi di Kyoto (Buraku Liberation Research Institute 1993:6).

Pekerjaan pemerintah tidak tertutup untuk Buraku seperti dulu. Buraku yang berpendidikan memegang posisi penting dan menjadi aktif dalam politik. Pada tahun 1993, 9,4% dari orang buraku bekrja pada pemerintah dan

pekerjaan kota seperti tabel di atas.

Pendapatan tahunan dari orang-orang buraku masih tetap sangat rendah dibandingkan dengan rata-rata nasional. Menurut survei yang dilakukan oleh Buraku Liberation Research Institute (1993), di Osaka 15% dari Buraku

orang berpenghasilan kurang dari 1 juta yen per tahun. Merupakan 1% dari populasi umum.

3.3 Pendiskriminasian Dalam Pernikahan

Diskriminasi yang umumnya terjadi dalam dunia pernikahan kaum burakumin adalah penolakan. Penolakan mungkin tidak akan terjadi jika keturunan burakumin menikah dengan sesama burakumin. Namun, yang menjadi masalah adalah sat burakumin menikah dengan non-burakumin.


(15)

Ishikawa Hane (2003:148) mengatakan bahwa pada tahun 1993 berdasarkan survey yang dilakukannya didapatkan bahwa 60% orang tua di Jepang tidak ingin anaknya menikah dengan keturunan burakumin, mereka akan menentangnya. Sementara dari responden berusia muda terdapat 20% responden yang akan membatalkan pernikahan mereka jika diketahui calon istri atau suaminya adalah keturunan burakumin.

Hal ini dapat dilihat bahwa pandangan negatif terhadap burakumin sebagian besar melekat pada golongan orang tua di Jepang. Anak muda pada umumnya tidak peduli dengan sejarah kelam tersebut.

Mucks (2010:38) mengatakan saat ini burakumin banyak yang menyembunyikan status mereka pada masyarakat non-buakumin, keluarga bahkan pada anak-anaknya.

Saat ini mungkin mudah untuk menemukan orang Jepang dan mengajukan pertanyaan dari apakah ada diskriminasi terhadap Burakumin dalam masyarakat modern, ia akan menginformasikan Anda bahwa masyarakat saat ini tidak ada niat buruk terhadap mereka. Tapi begitu ia ditanya tentang bagaiman jika ia memiliki seseorang buraku dalam keluarga, ia cenderung untuk langsung mengubah klaim sebelumnya. Seperti satu ibu rumah tangga berpendidikan di salah satu universitas di Tokyo benar-benar menolak menikahi putrinya dengan seorang pria buraku, alasannya adalah bahwa "mereka" kotor dan mereka tidak benar-benar Jepang (Kristof, 1995).

Oposisi dengan perkawinan antara burakumin dan non-burakumin adalah salah satu sikap negatif utama saat ini. Ada banyak contoh dari mertua menentang pernikahan, biasanya setelah menemukan latar belakang buraku melalui


(16)

investigasi. Generasi muda pada umumnya mengabaikan itu tapi tidak dengan keluarga lainnya. Sebagai hasilnya, awalnya hanya ketidaksetujuan perlahan bisa berubah menjadi diskriminasi parah.

Seperti sebuah contoh pada kehidupan ibu rumah tangga yang berusia 34 tahun dan telah menikah dengan seorang pria non-buraku. Ia tidak pernah menginjakkan kaki di dalam rumah mertuanya selama 16 tahun. Suaminya jadi tidak diakui oleh orang tuanya dan pernikahan mereka tidak terdaftar dalam koseki keluarga mertuanya. Hal yang sama ketika mereka memiliki anak, kelahiran anak-anak tersebut juga tidak dicatat dalam koseki. Namun, saat anak-anak-anak-anaknya ingin sekolah, berdasarkan diskusi keluarga si mertua menyerah dan terdaftar anak-anak sebagai cucu mereka. Hal ini bukan berarti berakhirnya penolakan terhadapnya bahkan setelah kematian ayah mertuanya itu.

Diskriminasi berlanjut pada kakak suaminya, Kakaknya bahkan

terang-terangan mengucapkan hal-hal seperti "Saya tidak pernah bisa menikah karena Anda dan Anda adalah penyebab kekotoran di keluarga ini”. Makian biasanya berlanjut dengan kata-kata sampah dan larangan untuk datang ke rumah keluarga itu lagi (Kitaguchi, 1999: 50).

Hal-hal seperti inilah yang membuat buraku harus menyembunyikan latar belakang dari teman-teman mereka, untuk menghindari prasangka lebih lanjut terhadap mereka dan anak mereka. Contoh ini jelas menunjukkan rasa frustrasi dari kaum burakumin pada umumnya.

Peneliti lainnya mengklaim bahwa sebagian besar orang Jepang tidak tahu mengapa mereka melakukan diskriminasi terhadap Burakumin. Ito Takuya menjelaskan bahwa alasan mengapa mereka tidak dapat menjelaskan perilaku


(17)

diskriminatif mereka adalah karena mereka memproyeksikan mereka sendiri

sebagai “bayangan” ke burakumin. Dalam istilah psikologi Jung, “bayangan”

mengacu pada kompleks ketidaksadaran atau ego. Ada sesuatu dalam diri seseorang yang tidak ingin mengakui hal apapun tentang burakumin (Ito, 2005).

Selama Periode Meiji ketika Emansipasi Edict disahkan, ketika para petani frustrasi oleh kesulitan keuangan, pecahlah kerusuhan dan mereka menjadikan burakumin sebagai sarana dari menghilangkan frustrasi mereka.

Dalam bukunya, Kadooka Nobuhiko membuat sketsa sampel konflik antara ayah dan anak, konflik tersebut mengenai pernikahan anaknya dengan wanita dari masyarakat buraku. Keluarga menghadapi dilema antara cinta dan citra masyarakat. Buku yang berdasarkan hasil wawancara tersebut menunjukkan sebuah dialog sebagai berikut:

Anak : Ayah, saya ingin menikah .

Ayah : Oh, ya! Ini adalah kabar baik! Dengan Hanako bukan? Dia adalah gadis yang baik

Anak : Ya

Ayah : Dia adalah seorang wanita yang baik! Anda beruntung! Anak : Ayah, dan ... saya harus memberitahu Anda, tentang ..." Ayah : Apa:

Anak : Tentang asalnya. Ayah : Apa itu?

Anak : Dia dari masyarakat Buraku. Ayah : Oh, tidak, anakku!


(18)

Ayah : Tidak, itu tidak mungkin! Anak : Kenapa tidak mungkin?

Ayah : Ini akan merusak reputasi keluarga kita! Benar-benar, tidak ada !! Anak : Mengapa merusak keluarga kita?

Ayah : Karena, darah keluarga kami tidak dapat dicampur dengan mereka! Anak : Ini adalah cara kuno pemikiran. Salah keyakinan!

Ayah : Meskipun saya akan mengatakan OK, saudara-saudara kita pasti marah! Ini dapat merusak reputasi mereka,juga. Apa kau mau

menyebabkan kerugian apapun pada pernikahan dan pekerjaan saudara Anda? Anak : Anda tidak bisa memprediksi itu!

Ayah : Tidak ada, masyarakat tidak mudah. Saya tahu orang-orang Buraku melakukan gerakan hak asasi manusia yang kuat, dan saya mendengar beberapa dari mereka yang sangat menantang. Saya tidak ingin keluarga kita untuk terlibat dalam hal-hal yang rumit seperti!

Anak : Yah, beri kami kesempatan, Kami tidak berpikir Anda akan menjadi marah.

Ayah : Siapa orang di bumi ini yang tetap menjaga diskriminasi konyol seperti ini ? saya kesal.

Ayah : Ayah, itu Anda!

Dalam dialog di atas juga terlihat bagaimana terkadang pelaku diskriminasi sendiri tidak sadar bahwa mereka telah melakukannya.maslah dalam rumah tangga bukan hanya berdasarkan penolakan-peolakan pada awal pernikahan namun juga terjadi saat masa kehidupan berumahtangga.


(19)

Dalam (http://blhrri.org/blhrri_e/other/008_e.html) menyebutkan ketika seorang wanita buraku mencari nasihat atau rehabilitasi layanan untuk diskriminasi mungkin telah menderita pada saat perkawinan karena kekerasan dalam rumah tangga terutama dalam kaitannya dengan asal buraku. Dia tidak bisa mengharapkan untuk diberikan saran atau rehabilitasi oleh spesialis yang mungkin terlatih khusus untuk masalah buraku. Data statistik pada korban pelanggaran hak asasi manusia yang dipublikasikan oleh Departemen Kehakiman tidak termasuk data khusus untuk perempuan korban buraku.

Survei dilakukan pada 11.265 wanita Buraku oleh Buraku Liberation League (BLL) di Saitama, Prefektur Kyoto, Osaka, Hyogo dan Nara prefektur (untuk periode 2006-2010) mengungkapkan bahwa 20,4% dari perempuan itu merupakan korban dari kekerasan dalam rumah tangga.

Survei lain yang dilakukan oleh BLL Osaka pada 2012 untuk mengetahui kondisi kehidupan keluarga single parent buraku mengungkapkan bahwa 321 dari 472, yaitu sebanyak 68,0%, telah menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga. Beberapa dari mereka babak belur oleh suami non-buraku mereka meskipun fakta bahwa mereka telah menikah melawan oposisi yang kuat dari keluarga mereka.


(20)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Dari uraian-uraian yang telah dipaparkan diatas maka kita dapat mengambil beberapa kesimpulan yaitu :

1. Burakumin adalah sebutan untuk kaum Eta dan Hinin yang merupakan salah satu kelompok masyarakat yang mendiami sebuah daerah tertentu yang letaknya jauh dan terasingkan bahkan di lokasi-lokasi berbahaya.

2. Penyebab kaum ini terasingkan adalah adanya konsep kesucian dan kekotoran yang dibawa oleh ajaran Budha dan Shinto dalam masyarakat Jepang. Kaum Eta dan Hinin pada umumnya adalah orang-orang yang bekerja sebagai tukang daging, pemburu binatang, pembuat bahan-bahan dari kulit binatang, pengurus jenazah, pelaku kriminal serta gelandangan. Dalam kedua ajaran agama di atas, barang siapa yang berhubungan dengan kematian, darah dan perilaku kotor adalah sebuah kenajisan yang tidak baik untuk kehidupan. Kekotoran yang melekat pada orang-orang ini dikatakan dapat menular dan membawa dampak buruk bagi orang-orang disekitarnya. Karena alasan inilah

kaum Burakumin mendapatkan perlakuan buruk atau

didiskriminasikan.

3. Pendiskriminasian secara terang-terangan terhadap burakumin mulai terjadi pada masa Tokugawa (1603-1868). Pada masa ini kehidupan


(21)

burakumin ditentukan oleh pemerintah. Mulai dari jenis pakaian, tempat tinggal, makanan serta perilaku mereka. Dalam pembagian kelas masyarakat, burakumin tidak masuk dalam kelas manapun. Bukan hanya berada dalam kelas sosial terendah namun berada di luar kelas sosial masyarakat Jepang pada saat itu.

4. Secara resmi status burakumin dibebaskan pada saat Restorasi Meiji (1868- 1945). Dalam menghadapi era modern burakumin harusnya telah mendapatkan kebebasannya. Namun, hal itu mendapatkan banyak penolakan sehingga secara tidak resmi burakumin tetap menerima perlakuan diskriminasi oelah masyarakat.

5. Dalam rangka pembebasan kaum burakumin kaum intelektual muda nya membentuk sebuah organisasi yang disebut dengan Suiheisha. Organisasi ini terus berkembang dan sedikit demi sedikit berhasil mendapat bantuan dari pemerintah untuk memperbaiki taraf hidup kaum burakumin. Organisasi ini juga berkembang mulai dari pergantian nama, asimilasi bersama partai politik dan kembali menjadi indipenden hingga terakhir menjadi Buraku Liberation League (BLL) yang hingga sekarang aktif memberikan penyuluhan tentang hak asasi manusia, memantau kesejahteraan dan menerima laporan terhadap masyarakat burakumin yang telah membaur dalam masyarakat biasa. 6. Meski telah melewati berbagai usaha penghilangan diskriminasi secara

kasat mata, usaha penghilangan pandangan masyarakat tentang masa burakumin belum menghilang. Hal ini karena masyarakat Jepang masih memegang kepercayaan pada leluhur dan ajaran Shinto.


(22)

7. Meski bisa bekerja di berbagai perusahaan, burakumin yang terlacak asal-usulnya akan sulit mendapatkan posisi yang tinggi atau pemimpin meskipun ia memiliki kemampuan tersebut.

8. Beberapa perusahaan dan orang tua yang masih kolot kerap menyewa detektif, serta penyalahgunaan Koseki untuk memastikan asal usul seseorang.

9. Dalam hal pernikahan, calon menantu yang mengaku atau ketahuan burakumin banyak menerima penolakan dari keluarga pasangannya. Beberapa kasus bahkan, wanita yang ketahuan burakumin menerima perlakuan kasar dari pasangannya.

10.Saat ini, burakumin dianggap sebagai grup yang tidak terlihat keberadaannya dikarenakan masyarakat ataupun media tidak ingin membahasnya karena tidak ingin mendapat cekal dari BLL.

11.Pandangan negatif terhadap burakumin sebagian besar melekat pada golongan orang tua di Jepang. Anak muda pada umumnya tidak peduli dengan sejarah kelam tersebut.


(23)

4.2 Saran

Pemahaman bahwa manusia memilki hak dan kedudukan yang sama adalah hal dasar yang harus sudah mendasar dalam pikiran masyarakat jika ingin menghilangkan segala bentuk diskriminasi yang terjadi pada kaum burakumin.

Peran pemerintah tidak bisa berhenti karena diskriminasi terhadap burakumin bukan lagi dalam hal fisik namun menjadi doktrin. NGO juga harus tetap aktif dalam hal mengubah doktrin yang telah lama tumbuh bersamaan dengan tumbuhnya kepercayaan yang ada di Jepang.

Saat ini burakumin menjadi kaum yang keberadaannya tidak terlihat. Ada dalam sejarah namun tak bisa dilihat dalam masyarakat secara jelas. Hal ini dikarenakan usaha komunitas yang takut tidak diakui, serta masyarakat luas yang tak berani membahasnya karen khawatir akan dipermaslahkan oleh BLL. Seharusnya isu ini bukanlah hal yang tidak boleh diangkat dan didiskusikan bersama-sama. Burakumin harusnya tidak dihilangkan, melainkan diluruskan sejarahnya.

Skripsi ini mempunyai banyak kekurangan, baik dari segi isi, pemahaman konsep, penulisan dan analisis data. Bagi rekan-rekan yang ingin melanjutkan pembahasan tentang burakumin dapat melanjutkan pembahasan dengan melihat perubahan pola pikir masyarakat dalam memandang burakumin untuk mendapatkan hasil yang lebih spesifik.


(24)

BAB II

GAMBARAN UMUM MENGENAI MASYARAKAT BURAKUMIN 2.1 Sejarah Burakumin

Kata sejarah menunjukkan perkembangan sesuatu dalam proses waktu. Oleh karena itu sejarah adalah sebuah metode (Situmorang Hamzon 2011:5).

Sejarah burakumin artinya adalah burakumin dalam proses waktu

perkembangannya. Masyarakat Buraku sendiri merupakan perkembangan dari kaum terbuang Eta (orang-orang kotor) dan Hinin (bukan manusia). Yang mana kaum Eta merupakan orang-orang yang memiliki pekerjaan yang dianggap kotor seperti menguliti hewan, penjagal hewan serta pengurus jenazah. Sementara Hinin adalah orang-orang yang berstatus rendah karena merupakan gelandangan atau mantan narapidana. Orang-orang tersebut terkucilkan oleh masyarakat luas.

Istilah Eta sendiri muncul pertama kali pada Zaman Kamakura (1185-1382). Pada masa itu kaum Eta adalah orang-orang yang bekerja pada pekerjaan yang dianggap kotor oleh masyarakat Jepang pada umumnya. Mereka hidup di bawah garis kemiskinan. Jenis pekerjaan yang dilakukan adalah pembantaian binatang dan pembuangan bangkai, Kitaguchi dan Mclauchlan (1990:80).

Onhuki dan Tierney (1986: 86) mengatakan, dalam jaman pertengahan istilah Hinin juga digunakan untuk mereka yang dengan sengaja memisahkan diri dari kehidupan sosial masyarakat. Yaitu para kriminalitas yang dikeluarkan dari kehidupan sosial, pengemis yang mengemis untuk kebutuhan ekonomi bukannya untuk agama, serta para biksu yang benar-benar meninggalakan kehidupan duniawi dan menolak kewajiban sosial seperti membayar pajak.


(25)

Adanya istilah burakumin tentu memiliki sejarah yang cukup panjang. Munculnya istilah ini didasari oleh kepercayaan Shinto dan Buddha yang berkembang di masyarakat Jepang. Jika merunut kembali sejarah munculnya kaum Buraku, maka kita akan kembali ke masa Prasejarah di Jepang.

Setelah melewati Zaman Jomon, Jepang memasuki sebuah era dimana diduga adanya lompatan budaya, yaitu Zaman Yayoi. Hal ini dikarenakan mulai masuknya berbagai teknologi dari daratan China pada abad ke 3 masehi (Situmorang Hamzon 2011:8). Tak hanya berbagai jenis kebutuhan pertanian, aliran kepercayaan di Jepang pun mulai masuk di zaman ini.

Di bawah Pemerintahan Yamato, pada abad ke 6 Jepang sudah membuka hubungan dengan pemerintahan Korea dan China. Pada masa itu masuklah agama Buddha dan Konfuchu serta ilmu pengetahuan lainnya yang menjadi dasar imu pengetahuan bagi Jepang ( Situmurang Hamzon 2011:11).

Agama Buddha yang masuk bercampur dengan kepercayaan asli bangsa Jepang, yaitu Shinto. Baik Buddha maupun Shinto percaya bahwa menghilangkan nyawa makhluk hidup, memakan daging, dan melakukan kontak langsung dengan darah dan kematian adalah kegiatan yang tidak suci atau kotor.

Menurut Donoghue (1977:9-10) ketika agama Buddha masuk ke Jepang, masyarakat didominasi oleh kehidupan pertanian. Yang mana pekerjaan seperti penghibur dan pengrajin berada di kelas sosial terendah. Lalu dengan adanya ajaran Buddha, orang yang berhubungan dengan penyamakan hewan mulai dianggap tabu dan dipandang rendah.

Pada tahun 701 terjadilah reformasi Taika yang mana pemerintahan mengikuti sistem dari China yang berpusat pada kerajaan. Pada masa ini


(26)

masyarakat Jepang terbagi dalam dua kelas. Yaitu Ryomin (orang-orang baik dan bebas) dan Senmin (orang-orang miskin dan kelas rendah). Orang-orang Senmin inilah yang pada umumnya menjadi leluhur masyarakat buraku.

Senmin terbagi lagi dalam lima golongan masyarakat berdasarkan pekerjaan, yaitu Ryoto (penjaga makam) , Kanko (petani kerajaan), Kunuhi (pelayan kerajaan), Shinuhi (pelayan pribadi), dan Gunin (pelayan kuil dan pribadi) (Shimahara 1971:15). Selain itu ada juga kelompok masyarakat Zakko yang merupakan semi- Senmin. Yaitu sekelompok masyarakat yang memiliki status sosial yang lebih tinggi. Zakko memiliki keahlian dalam bidang membuat pakaian dari kulit, membuat sepatu kulit, memproduksi senjata dan lain-lain.

Selain Zakko, adapula kelompok masyarakat yang disebut dengan Etori. Kelompok masyarakat ini mengumpulkan elang dan anjing untuk keluarga kerajaan yang akan digunakan untuk berburu di Departemen of Falconry atau disebut dengan Takatsukasa yaitu olahraga berburu burung menggunakan elang.

Inoue (1964:17) mengatakan jejak etimologi kaum Eta berasal dari kaum Etori. Dari Etori menjadi Eto lalu menjadi Eta. Pada tahun 860 Takatsuka dihapuskan yang juga di pengaruhi kepercayaan Buddha. Kaum Eta tidak lagi bekerja untuk megumpulkan elang dan anjing melainkan berganti menjadi penjual daging yang mana kegiatan utamanya adalah menjagal hewan. Ketika menjagal hewan menjadi hal yang ilegal para penjual daging ini menjadi dibenci dan dipandang rendah. Beberapa kaum Etori kehilangan pekerjaan dan pindah ke pemukiman yang sepi dan daerah pinggiran sungai. Dan beberapa yang ekstrim memilih untuk menjadi pengembara, pemburu, nelayan dan gelandangan. Selain melakukan tindak kriminal ada juga yang menjalani pekerjaan sebagai penghibur


(27)

dengan bernyanyi, menari dan melawak dari rumah ke rumah. Mereka semua tinggal di sekitaran sungai, desa yang kosong di sekitar kota. Masyarakat berkasta tinggi melarang kaum Eta untuk masuk ke daerah mareka.

Pada Zaman Chusei (1192-1603) kelompok masyarakat senmin menjadi penting karena senmin menjadi pemasok peralatan perang bagi para Shogun yang merupakan penguasa pada masa ini. Orang-orang Senmin diperbolehkan masuk ke daerah keshogunan dan dibebaskan dari pajak sampai hampir setengah dari Zaman Chusei. Setelah perang kekuasaan yang menjadi tanda akhirnya jaman ini, banyak samurai yang kalah perang mengganti pekerjaan menjadi Senmin. Hal ini menyebabkan peningkatan yang tinggi pada jumlah Senmin. Ketika dalam masa perang, mereka ikut bertarung untuk pemerintahan feodal, ketika perang telah usai mereka menjadi pekerja rendah yang berhubungan dengan pengrajin tembikar, penyamak, membuat pakaian dari kulit, menggali lubang, dan bekerja di peternakan hewan. Maka bisa dikatakan bahwa buraku merupakan keturunan dari sebagian besar Senmin pada masa ini.

2.2 Burakumin Pada Masa Tokugawa dan Restorasi Meiji 2.2.1 Burakumin Pada Masa Tokugawa (1603-1868)

Tokugawa Ieyasu adalah daimyo dari Mikawa. Yaitu sebuah daimyo kecil yang mampu mengalahkan Toyotami Hideyoshi pada perang Sekigahara pada tahun 1600. Kemudian menjadi Seiitaishogun pada tahun 1603 dengan pusat pemerintahan Bakufu di Edo (Situmorang Hamzon 2011: 19)

Pada masa ini menganut sebuah sistem pemerintahan yang disebut dengan Bakuhantaise. Yaitu sistem Bakufu dan Han yang mana Bakufu bertindak sebagai


(28)

pemerintah pusat yang memiliki daerah sendiri. Sementara Han sebagai daerah administrasi yang diperintah oleh daimyo yang bebas dari campur tangan shogun.

Dalam banyak hal, Era Tokugawa yang berlangsung lama ini adalah salah satu era yang paling menonjol dalam sejarah bangsa Jepang. Tokugawa berhasil mempertahankan perdamaian bersenjata di Jepang sampai dengan generasi terakhir yang berkuasa, dan Tokugawa juga menjalankan suatu pemerintahan yang terpusat yang secara mengagumkan dapat melaksanakan tujuan-tujuannya.

Benedict Ruth (1979: 66-67) menerangkan bahwa Tokugawa memiliki strategi menjaga keutuhan pemerintahannya untuk mencegah para daimyo mengumpulkan kekuatan untuk menentangnya. Tokugawa membiarkan pola feodal yang ada bahkan mencoba memperkuatnya dan membuatnya menjadi kaku.

Masyarakat Jepang terdiri dari banyak tingkatan dan kedudukan setiap orang ditetapkan berdasarkan keturunannya. Keluarga Tokugawa memantapkan sistem ini dan mengatur tingkah laku sehari-hari dari setiap kasta sampai segi terkecil. Setiap kepala keluarga harus mencantumkan kelasnya serta fakta-fakta yang diperlukan mengenai status keturunannya. Mulai dari pakaian yang dikenakannya, makanan yang boleh dibelinya, dan rumah yang secara sah boleh didiaminya semua diatur berdasarkan pangkat yang diwarisi.

Pada masa ini kelas masyarakat dibagi menjadi empat kasta. Yang urutan hirarkinya adalah Serdadu, Petani, Tukang, Pedagang. Di bawah tukang dan pedagang terdapat kaum buangan yaitu Eta dan Hinin.


(29)

Dalam bukunya, Benedict Ruth (1979: 68) menuliskan bahwa Eta merupakan kaum buangan yang jumlahnya terbanyak dan paling terkenal. Mereka adalah “sampah masyarakat” Jepang, atau lebih tepatnya “yang tidak masuk hitungan”, sebab panjangnya jalan-jalan yang melalui desa mereka pun tidak dihitung. Seakan-akan daerah tersebut beserta penduduknya sama sekali tidak ada. Mereka luar biasa miskinnya, meskipun lapangan pekerjaan mereka terjamin (tukang membersihkan segala macam kotoran, pengubur mayat dan penyamak), mereka tetap berada di luar struktur resmi.

Begitu juga dengan kaum Hinin yang merupakan kaum senmin dari era sebelumnya. Menurut Takagi (1991: 285) orang-orang yang melakukan tindak kriminal, orang yang melakukan tindak asusila serta yang selamat dari bunuh diri masuk ke dalam kategori kaum Hinin.

Pekerjaan Eta dan Hinin dibatasi pada jenis pekerjaan yang kotor seperti tukang daging, pekerjaan yang berhubungan dengan kulit, dan juga pekerjaan yang berhubungan dengan bambu yaitu membuat kocokan untuk acaran minum teh yang terbuat dari bambu. Dan juga pekerjaan yang berhubungan dengan kematian manusia, pembuatan alat-alat militer yang terbuat dari bahan kulit,


(30)

tukang sepatu, tukang sapu, penghibur, pengemis serta orang-orang yang memiliki penyakit menjijiknan digolongkan dalam kaum Eta dan Hinin, Hane (2003: 140).

Secara rinci Hane (2003: 142-143) menjelaskan perlakuan yang diterima kaum Eta dan Hinin selama masa Tokugawa. Kehidupan kaum ini dibatasi mulai dari tempat tinggal yang mereka diami adalah daerah khusus yang tidak ingin ditinggali oleh masyarakat lain pada umumnya, kualitas rumah, mobilitas untuk keluar masuk daerah, serta bagaimana rambut, bahkan sepatu mereka diatur dan dijabarkan sebagai berikut:

a. Pada saat bepergian mereka tidak diperbolehkan untuk mengenakan alas kaki apapun melainkan bepergian dengan telanjang kaki.

b. Mereka tidak diizinkan keluar dari daerah mereka sejak matahari terbenam hingga matahari terbit. Kecuali pada tahun baru mereka hanya bisa keluar hingga sekitar jam sembilan malam.

c. Tidak boleh bersosialisasi dengan orang lain yang kelasnya lebih tinggi kecuali karena ada urusan bisnis. Saat berurusan mereka harus bersikap sangat sopan.

d. Dilarang memasuki kuil-kuil selain kuil yang didatangi oleh orang-orang yang bukan Eta dan Hinin. Mereka disediakan kuil tersendiri untuk menghindari terkena kekotoran yang dibawa kaum Eta dan Hinin. e. Tidak boleh menikah dengan kaum lain selain kaum Eta dan Hinin. f. Nyawa mereka hanya dihargai sepertujuh dari nyawa masyarakat lain. g. Mereka harus berjalan di tepi jalan.


(31)

i. Tidak boleh menggunakan payung atau tutup kepala lainnya kecuali saat hujan.

j. Tidak diperbolehkan makan dan minum di kota

k. Eta dianggap kotor, berbau, vulgar, tidak dapat dipercaya, berbahaya, makhluk yang bukan manusia dan dianggap sebagai binatang.

Tentang tempat yang ditinggali oleh kaum Eta dan Hinin: “ Eta dan Hinin banyak tinggal di tempat yang telah ditentukan yaitu dengan kondisinya buruk seperti yang dijelaskan berikut. Tempat di dekat sungai yang selalu terkena banjir dan luapan air sungai. Di lereng gunung yang curam dan di dataran tinggi yang sering terkena resiko tanah longsor dan dengan pengairan yang buruk. Di gunung yang tinggi di sebelah selatan dan timur yaitu tempat yang hampir tidak mendapat sinar matahari saat musim dingin.

Serta dalam hal berpakaian pembatasan tersebut meliputi, saat keluar dari desa, mereka dilarang memakai geta (sejenis sendal) dan zouri (sendal jerami). Pada musim panas dan dingin pun mereka dibatasi memakai dua warna di kerah dengan kain katun yaitu warna hijau dan hitam.

Maka bisa dikatakan, Zaman Tokugawa memiliki andil yang besar (selain pengaruh Shinto dan Buddha) terhadap awal mula pendiskriminasian kaum Eta dan Hinin. Hal ini juga yang ada pada pikiran masyarakat Jepang yang disurvey oleh Management and Coordination Agency Policy Office of Regional Improvement pada tahun 1993. Survey ini dilakukan dengan melakukan interview pada 60.000 orang buraku dan sebanyak 20.000 orang non buraku. Survey ini untuk melihat pengaruh dari Dowa Project (project pemerintah untuk membangun daerah yang ditinggali oleh kaum burakumin yang dilakukan sejak 1969).


(32)

Pertanyaan dari survey ini adalah “Apakah asal usul dari distrik Dowa?pilih satu dari enam pilihan. Mayoritas responden baik kaum buraku maupun non-buraku memilih “politik” yaitu merujuk pada sistem feodal dibawah pemerintahan Tokugawa. Dibawah pemerintahan Tokugawa, buraku yang dalam sejarah dikenal sebagai kaum Eta dan Hinin diposisikan sebagai kelas terendah dibawah yang terendah, dan menghadapi dikriminasi dari berbagai aspek dalam kehidupan. Tabel 1. Origin Claims of the Buraku People

Ras Agama Pekerjaan Kemiskinan Politik Lainnya

Buraku 1.3% 1.1% 3.8% 14.5% 70.3% 9.1%

Nasional 9.9 1.5 12.6 9.7 55.1 11.3

2.2.2 Burakumin Pada Masa Restorasi Meiji (1868- 1945)

1868 merupakan tahun besar bagi sejarah perkembangan bangsa Jepang. Kekuasaan pemerintahan diserahkan kembali dari tangan Tokugawa kepada Kaisar. Meiji Tenno mengutarakan janji gokajonogoseimon. Tenno meningkatkan kehidupan ekonomi dan politik dengan cara mencari ilmu ke seluruh dunia. Kemudian ibukota Edo diubah menjadi Tokyo, dan Kaisar pindah dari Kyoto ke Tokyo (Situmorang Hamzon 2011: 21).

Dalam bukunya, Ruth Benedict (1979: 83) menganalisa bagaimana Restorasi Meiji ini mulai berjalan. Pemerintahan memulai restorasi dengan mencabut hak atas pajak yang didapatkan oleh daimyo dari petani dan pemilik tanah, 40 persen pajak yang tadinya untuk daimyo diserahkan ke pemerintahan. Dalam lima tahun berikutnya, semua ketidaksamaan yang sah antara kelas-kelas


(33)

dihapuskan tanpa prosedur, lambang keluarga dan pakaian khusus yang menunjukan kasta dan kelas dilarang, bahkan kuncir harus dipotong. Begitu juga dengan orang buangan diberi persamaan hak, hukum yang melarang pemindahan atas hak tanah dihapuskan, penghalang-penghalang yang memisahkan satu wilayah dengan wilayah lainnya ditiadakan serta peniadaan Bhudisme.

Kebijakan-kebijakan pada restorasi Meiji ini tidak diterima begitu saja. Dalam rentang tahun 1868 hingga 1878 telah terjadi setidaknya 190 pemberontakan agraris. Para petani menentang pendirian sekolah-sekolah, wajib militer, pengukuran tanah, pemotongan kuncir, pemberian persamaan hak pada kaum terbuang dan banyak aturan lain yang mengubah cara hidup mereka yang lama.

Di tahun 1871, pemerintahan Meiji mengeluarkan Emancipation Edict yang menyatakan bahwa status Eta dan Hinin harus dihapuskan dan selanjutnya orang-orang ini harus diperlakukan sama baik dalam pekerjaan dan kehidupan sosial sebagain orang biasa yang baru (Shin Heimin).

Kebebasan pada Restorasi Meiji ini tidak serta merta menghilangkan hirarki yang ada dalam budaya Jepang. Perubahan-perubahan ini tidaklah mengacaukan kebiasaan-kebiasaan hirarkis. Kebiasaan itu mendapat tempat dan kedudukan baru (Ruth Benedict, 1979: 87).

Maka muncullah sistem pembagian kelas masyarakat yang baru yaitu Shimin Byoudou mengenai empat strata sosial. Keempat kelas tersebut bermaksud membedakan masyarakat berdasarkan kelas sosial. Dimana kelas teratas diisi oleh keluarga Kaisar (Kouzoku), bangsawan (Kazoku), samurai (Shizouku) serta kelas terendah adalah rakyat jelata (Heimin) di mana dalam masa ini kaum eta dan hinin


(34)

telah dimasukkan ke dalam kelas heimin, dan disebut sebagai shin heimin atau orang biasa baru.

Penyamarataan status ini ditolah oleh kaum petani, pedagang dan tukang. Mereka menolak untuk menjadi satu kelas dengan kaum eta dan hinin sehingga sering terjadi permusuhan. Meski telah berada dalam satu kelas yang diakui dalam pemerintahan, kaum eta dan hinin tetap tersisih dan tinggal di desa yang terpencil (buraku).

2.3 Kepercayaan dan Konsep Kesucian di Jepang

Agama adalah kepercayaan dan ritual yang berkaitan dengan keberadaan supranatural, kekuasaan, dan kekuatannya. Supranatural disini biasa disebut dengan nama dewa, Tuhan, atau yang gaib. Agama dapat dipandang sebagai suatu sistem kepercayaan yang terpadu, yang berhubungan dengan hal-hal yang sakral yakni hal-hal yang terpisah dan terlarang.

Agama muncul karena orang-orang berusaha untuk memahami keadaaan dan kejadian yang tidak bisa dijelaskan dengan mengacu pada pengalaman sehari- hari mereka. Mimpi waktu tidur pada masyarakat primitif dianggap mempunyai makna dan itu harus diterjemahkan. Usaha ke arah menjelaskan mimpi itu membuat mereka sadar bahwa ada diri yang lain dalam tubuh mereka. Diri yang lain itu hadir ketika orang sedang tidur. Ketika diri yang lain waktu tidur dan diri yang ada waktu sadar itu meninggalkan tubuh, maka orang yang bersangkutan meninggal dunia. Kepercayaan seperti ini yang melahirkan ide tentang animisme. Animisme adalah agama primitif yang kemudian bisa berkembang menjadi politeisme dan monoteisme.


(35)

(http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/17140/8/Chapter%20I.pdf.txt). Menurut Keiichi Yanagawa (1992 : 7) agama didasarkan pada tiga unsur utama, yaitu:

1. Doktrin yang mengidentifikasi obyek dan sifat keagamaan. Ajaran sentral dari agama adalah percaya pada Tuhan atau dewa atau roh-roh yang keberadaannya tidak bisa dilihat manusia.

2. Perkumpulan yang dibentuk oleh orang-orang yang berkepercayaan sama. Perkumpulan ini bisa berbentuk organisasi agama, gereja, atau jemaah.

3. Ibadah keagamaan dan ajaran keagamaan. Oleh karena itu suatu agama terdiri atas doktrin, yang pengikutnya harus percaya; organisasi para penganut agama itu, dan kode ajaran yang memuat tingkah laku yang dikehendaki dari para pengikutnya.

Masyarakat Jepang kuno telah mempunyai kebiasaan menyembah alam dan roh leluhur sepanjang sejarah bangsanya. Penyembahan-penyembahan seperti ini disebut dengan shizenshukyo (agama alam), Shomin shinko (kepercayaan rakyat), Minkan Shinkou (kepercayaan penduduk). Kepercayaan yang tidak melembaga namun hidup di tengah-tengah masyarakat Jepang ini dimasuki oleh sebuah kepercayaan yang telah melembaga dari luar seperti Bukyo (Budha), Douyou/jukyou (konfuisus). Agama alam, rakyat dan agama yang telah melembaga ini akhirnya disebut dengan Shinto yaitu sebuah cara untuk bertuhan (Situmorang Hamzon 2011: 24).

Anezaki Masaharu dalam Situmorang Hamzon mengatakan bahwa masyarakat beragama Jepang tidak sampai kepada doktrin. Tetapi mereka hanya


(36)

sampai kepada melaksanakan acara-acara saja atau ritus-ritus saja sebagai kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari.

Hal ini juga bisa terlihat pada status keanggotaan masyarakat Jepang dalam tiap-tiap kepercayaan. Menurut Badan Urusan Kebudayaan di tahun 1997 jumlah masyarakat Jepang yang mendaftar dalam berbagai kelompok keagamaan adalah 207.758.774 jiwa. Jumlah tersebut merupakan gabungan dari kelompok Shinto sebanyak 102.213.787 (49,2%), Budha 91.583.843 (44,1%), Kristen 3,168.596 (1,5%) dan lain-lain 10.792.548 (5.2%). Berdasarkan angka-angka ini, hampir dua pertiga dari orang Jepang memilki dua kelompok agama karena jumlah penduduk Jepang hanya 125.760.000 (1996).

Sebagai kepercayaan asli Jepang yang dianut oleh sebagian besar masyarakatnya, Shinto berpengaruh besar dalam terciptanya stigma burakumin. Baik Shinto maupun Budha di dalamnya terkandung konsep kesucian dan kekotoran. Shinto menekankan kesucian yang harus dijaga dalam jiwa dan tubuh manusia baik ketika melaksanakan ritual keagamaan maupun dalam kehidupan sehari-hari. Sementara hal yang termasuk dalam kekotoran adalah hal yang terkait dengan darah, kotoran, dan kematian. Keyakinan ini juga dianut oleh para penguasa yang turut menciptakan adanya kelas sosial dalam tatanan kehidupan bermasyarakat di Jepang. Kaum Eta dan Hinin yang merupakan para pekerja yang berhubungan langsung dengan darah, daging dan kematian dianggap kotor dan tercemar.

Keyakinan di atas juga dipengaruhi oleh Buddhisme yang masuk pada abad ke 6. Saat Budha masuk, Jepang di bawah sistem Kaisar kuno telah memiliki


(37)

kelas masyarakat yang berdasarkan hal yang mulia dan tidak mulia. Dari zaman kuno hingga ke periode Chusei (1192-1603) sistem kemuliaan adalah hal yang dominan (Kan,1995:13). Sejak periode Chusei ke awal Tokugawa (1603-1867) pandangan mulia dan tidak mulia bercampur dengan pandangan suci dan tidak suci. Hingga Budha mampu menggeser pandangan mulia dan tidak mulia tersebut menjadi pandangan suci dan tidak suci ketika masuk ke masa Tokugawa (Noma dan Nakaura, 1983: 210). Dibawah sistem Tokugawa orang yang najis atau tidak suci dihapuskan dalam anggota kelas sosial dan terisolasi dan dianggap di luar sistem (Kuroda, 1996).

2.4 Perkembangan Pembebasan Burakumin

Zaman Meiji adalah salah satu gerbang awal bagi burakumin untuk keluar dari diskriminasi. Pembebasan ini tidak terwujud dalam waktu yang singkat dan menyeluruh. Perubahan pandangan terhadap burakumin harus diikuti oleh semua unsur masyarakat baik pemerintah, pelaku diskriminasi dan korban diskriminasi. Seperti yang dikatakan Douglas (1966: 110) jika seseorang tidak memiliki tempat di sistem sosial maka mereka adalah makhluk marjinal. Semua tindakan pencegahan terhadap bahaya dan pembebasan harus datang dari orang lain. Dia tidak bisa membantu dirinya sendiri dari pandangan bahwa mereka adalah hal yang tidak normal. Meskipun usaha pembebasan tidak sepenuhnya berhasil, usaha-usaha tersebut dilakukan sejak restorasi Meiji.

2.4.1 Proklamasi Emansipasi Pada Restorasi Meiji (1871)


(38)

Gebrakan untuk meninggalkan sistem feodal menuju era yang lebih modern melahirkan sebuah istilah yang disebut dengan Kaihorei atau proklamasi emansipasi. Dalam bukunya, Uesegi mengatakan bahwa sebenarnya istilah Kaiho atau kebebasan tidak pernah muncul sekalipun dalam catatan dokumen sejarah Jepang. Istilah yang digunakan untuk memaknai keadaan saat restorasi Meiji adalah Senmin Haishirei yaitu menghilangkan sistem manusia tercela atau bermakna menghapus sistem dan kelas masyarakat yang tidak didasari pada konsep hak asasi manusia dan keadilan.

Dikatakan juga bahwa diskriminasi yang terjadi pada zaman Edo merupakan kehendak penguasa di jaman tersebut dan telah dihapuskan pada masa Kekaisaran Meiji. Pada masa ini kelas sosial burakumin diangkat menjadi sejajar dengan heimin, namun mereka diberi julukan Shin-heimin atau rakyat jelata baru.

Meskipun pemerintah menetapkan kesamarataan hak dan status masyarakat, pandangan masyarakat lainnya terhadap burakumin tidak ikut berubah. Berbagai penolakan kerap terjadi terutama pada golongan petani yang tidak mau berstatus sosial sejajar dengan rakyat jelata baru.

Dalam sepuluh tahun pertama di restorasi Meiji, telah terjadi banyak kerusuhan dalam masyarakat. Atas kerusuhuan tersebut burakumin dijadikan kambing hitam. Banyak penduduk yang mengalami kesulitan keuangan yang parah, terutama para petani. Para petani khawatir bahwa pembebasan Eta akan berarti persaingan untuk tanah dan dalam proses itu mereka akan berakhir dengan nasib yang sama seperti kaum buraku (Totten, George, dan Wagatsuma, 1972: 34-36). Penderitaan kaum buraku tidak bisa berubah dalam waktu singkat, mereka


(39)

masih menerima serangan bahkan menganggap penderitaan semakin parah dengan adanya banyak ancaman dari kelas masyarakat yang lain.

Restorasi Meiji digunakan oleh beberapa burakumin untuk melarikan diri dari kemiskinan dan diskriminasi dengan menjadi imigran dan bekerja di luar negeri. Dari akhir 1800 hingga 1930-an ribuan imigran Jepang menetap di di negara-negara seperti Amerika, Brasil dan Peru.

2.4.2 Penghapusan Kelas Sosial Dalam Sistem Koseki

Koseki (戸籍) adalah sebuah catatan registrasi keluarga Jepang. Hukum di Jepang mengharuskan semua rumah tangga Jepang (Ie) melaporkan kelahiran, pengakuan dari ayah, adopsi, kematian, perceraian, perpindahan, hingga kelas sosial. Koseki pertama kali dibuat pada tahun 670, penggunaannya hanya dalam skala lokal. Sementara untuk pencatatan keluarga yang digunakan dalam skala nasional baru ada pada tahun 1871 yang dikenal dengan Jinsin Koseki. Saat itu yang menggunakan registrasi keluarga hanya terbatas pada kaum bangsawan, keluarga samurai, dan orang-orang umum yang terdaftar. Pada tahun 1872 pemerintah membuat undang-undang yang melarang mengubah nama keluarga dan pada tahun 1875 semua orang harus memiliki nama keluarga.

Masami Degawa dalam tesisnya menjelaskan tujuan utama dari koseki bukan untuk mengidentifikasi orang dan melegalkan hubungan keluarga. Tapi untuk mengaktifkan fungsi pemerintah dalam mengontrol keluarga Jepang. Koseki mencatat data tentang tempat tinggal dan kelas yang asli seperti bangsawan, atau kelas samurai. Meskipun Eta dan Hinin telah masuk dalam kelas masyarakat jelata di 1851, sistem Koseki tetap mencatat asal usul mereka.


(40)

Sulitnya mengubah pandangan masyarakat terhadap burakumin menjadikan kelompok masyarakat ini menyembunyikan identitas atau melindungi identitas mereka agar terhindar dari diskriminasi. Upaya melindungi diri dari diskriminasi dan agar dapat diterima di masyarakat luas Pada tahun 1923, salah satu organisasi terbesar bagi orang-orang buraku, Zenkoku-Suiheisha meminta pemerintah untuk menghapus keterangan asal kelas sosial dalam koseki kaum eta dan hinin. Sebagai respon terhadap itu pada tahun 1924, pemerintah memutuskan untuk melarang penggunaan "Eta" dan "Hinin". Namun, penghapusan asal kelas hanya berlaku pada kaum buraku sehingga asal usul yang berusaha untuk disembunyikan tetap terlihat dengan adanya kekosongan dalam kolom kelas sosial. Masyarakat umum berasumsi bahwa jika kolom asal kelas sosial di koseki nya kosong berarti berasal dari kelas eta dan hinin. Barulah pada tahun 1938 pemerintah benar-benar menghapus kolom asal kelas sosial pada seluruh koseki.

Setelah kekalahan Jepang pada Perang Dunia II, General Headquarters (GHQ) meminta pemerintah Jepang untuk menghapuskan sistem Koseki dan membuat sistem register baru yang hanya mengisi tentang perseorang tanpa merunut asal usul keluarga. Pemerintah menjawab permintaan tersebut dengan mengatakan bahwa akan membutuhkan banyak biaya dan sulit untuk mengubah koseki. Namun, pemerintah akan tetap mencoba mengubahnya saat keadaan perekonomian negara kembali pulih (Ninomiya 1995: 41).

Tidak sampai 1966 Koseki pun mengalami perubahan. Bukan perubahan yang sesuai permintaan (koseki individu). Melainkan dari pencatatan keluarga secara luas menjadi pencatatan keluarga inti saja. Pada sistem ini, setiap warga Jepang baik keluarga maupun pribadi yang melakukan perpindahan tempat tinggal tetap


(41)

harus meregistrasikan kosekinya, sehingga dalam koseki bukan hanya terlihat tempat tinggal terbaru namun juga tempat tinggal sebelum-sebelumnya. Dengan biaya yang murah, semua orang bisa melihat koseki orang lain.

Saat ini fungsi koseki adalah untuk membuktikan status pribadi secara resmi. Ada beberapa aturan untuk koseki. Pertama. hanya orang yang memiliki nama keluarga sama yang dapat mendaftar di satu koseki. Kedua, hanya dua generasi seperti orang tua dan anak yang bisa mendaftar di satu koseki yang sama. Oleh karena itu, ketika orang-orang menikah, mereka harus menghapus nama mereka dari koseki keluarga lama dan mendaftar yang baru. Ketiga, alamat yang diberikan di koseki dapat berubah kapan saja dan sejak tahun 1887. Namun, koseki juga memiliki lampiran yang menunjukkan rincian riwayat hidup sebelumnya.

2.4.3 Pembangunan Distrik Dowa

Dalam rangka mensejahterakan kehidupan masyarakat buraku, pemerintah dibantu oleh organisasi buraku menciptakan sebuah proyek pemulihan wilayah Dowa. Pada tahun 1958, pasca-perang pemerintah menerima tanggung jawab mereka untuk membantu meningkatkan kesejahteraan hidup buraku. Dowa sendiri adalah kata yang diciptakan oleh pemerintah yang wilayah ditinggali oleh komunitas buraku.

Sejak tahun 1969, pemerintah telah menghabiskan lebih dari 100 miliar yen untuk memperbaiki lingkungan masyarakat mulai dari perumahan pendidikan. peluang kerja, pertanian, dan usaha kecil.

Pada tahun 1965, organisasi buraku dalam sebuah laporan yang disebut dengan Laporan Dewan Kebijakan Dowa berusaha memaparkan masalah yang


(42)

dihadapi oleh orang-orang dalam kawasan ini selama puluhan tahun kepada pemerintah.

Dalam laporan tersebut mengatakan bahwa masalah Dowa adalah masalah sosial yang sangat serius dan menjadi kuburan bagi beberapa kelompok warga Jepang yang ditempatkan pada kelas sosial terendah baik secara ekonomi, sosial, dan budaya dalam struktur status sosial yang dimiliki Jepang. Dalam perkembangan masyarakatnya hal ini menciptakan diskriminasi di masyarakat Jepang. Hal ini berarti adanya pelanggaran hak asasi manusia dalam masyarakat kotemporer. Mereka untuk memiliki hak-hak sipil yang mana hak dan kebebasan tersebut harusnya dilindungi dan dijamin bagi semua masyarakat dalam sebuah negara modern, Amos (2011: 160).

2.4.4 Lahirnya Organisasi Buraku

Masa pembebasan telah lahir, budaya barat masuk ke Jepang dan orang Jepang pergi menuntut ilmu ke berbagai belahan dunia. Paham-paham mulai masuk dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat Jepang dan mempengaruhi cara berpikirnya.

Totten dan Wagatsuma, (1972: 43) menyebutkan bahwa intelektual muda buraku terinspirasi oleh ide-ide Marx dan teori sosialis. Mereka menerima bantuan dari pemimpin komunis yang aktif dalam penelitian, pertanian dan pergerakan politik untuk menambah wawasan mereka. Selain itu mereka juga terpngaruh oleh artikel Sano Manabu yang terbit pada tahun 1921 tentang Emansipasi Takushu Buraku. Sano Manabu menyatakan bahwa satu-satunya cara


(43)

Burakumin untuk mendapatkan kebebasan sejati adalah dengan bekerjasama dengan buruh, yang juga menderita oleh sistem kapitalis.

Artikel ini sangat berpengaruh pada aktivis buraku sehingga terbentuklah sebuah gerakan independen. Tanggal 3 Maret 1922, mereka memulai konferensi tingkat nasional pertama yang disebut dengan Zenkoku Suiheisha. Konferensi ini diikuti sekitar 2.000 perwakilan buraku dari seluruh Jepang, Totten dan Wagatsuma (1972:43)

Dalam konferensi ini ada tiga deklarasi yang dibahas dan disetujui di dalam forum yaitu:

1. Bahwa Tokushu Burakumin akan memperoleh kebebasan dengan cara mereka sendiri.

2. Tokushu Burakumin menuntut kebebasan dalam meningkatkan perekonomian dan pekerjaan seperti mayoritas masyarakat lainnya. 3. Tokushu Burakumin akan peduli terhadap martabat manusia dan mereka akan merealisasikan nilai-nilai kemanusiaan (Totten dan Wagatsuma, 1972: 43).

Deklarasi Suisheisha tersebut didedikasikan untuk semua kaum buraku yang sudah merindukan sebuah kebebasan. Tujuan utama dari Suiheisha adalah untuk mengecam siapa pun yang menghina burakumin dengan kata-kata dan perbuatan ofensif. Ini berarti bahwa jika ada orang yang mendiskriminasikan burakumin, para anggota Suiheisha akan menuntutnya untuk meminta maaf secara terbuka dalam bentuk pernyataan yang diterbitkan di koran atau dalam sebuah pernyataan yang dicetak lalu akan didistribusikan oleh Suiheisha.


(44)

Dilaporkan (1972: 45)” terdapat pelaku diskriminasi yang menolak untuk meminta maaf.

Salah satu contoh adalah ketika cabang Suiheisha di Nara mencoba untuk menghapuskan diskriminasi di sebuah sekolah dasar, di mana anak-anak buraku tidak diperbolehkan untuk duduk di samping anak-anak non-buraku dan tidak diperbolehkan untuk menggunakan toilet yang sama. Selain itu tugas untuk membersihkan sekolah diberikan oleh anak-anak buraku sementara yang non-buraku dibebaskan dari tugas membersihkan sekolah sepulang jam belajar. Pembersihan. Bahkan beberapa anak buraku tidak diperbolehkan untuk naik ke sekolah tingkat atas, meskipun nilai mereka sangat baik.

Namun, upaya penghapusan diskriminasi yang telah mendapatkan dukungan dari seratus anggota buraku ini ditolak oleh kepala sekolah SD tersebut. Hal ini mengakibatkan perkelahian fisik antara burakumin dan petugas kecamatan. Dalam bentrokan tersebut mengakibatkan luka-luka pada petugas kecamatan dan pakaian kepala sekolah yang berusaha untuk melerai telah robek.

Pada akhirnya, sejumlah burakumin mendapat panggilan ke kantor polisi sementara guru yang mendiskriminasikan anak-anak buraku ditugaskan ke sekolah lain.

Meskipun perjuangan dengan diskriminator seperti contoh di atas umumnya hanya mendapatkan kemenangna yang kecil, hal tersebut menjadi sebuah motivasi untuk melakukan gerakan baru.

Dengan tetap menjaga tindakan radikalnya, maka non-burakumin dan organisasi lainnya mengubah bahkan menghilangkan pandangan lama mereka terhadap kaum buraku.


(45)

Organisasi-organisasi yang lebih dekat dengan pemerintah seperti gerakan Yuwa bahkan mengulurkan tangan untuk membantu Suiheisha dengan memaksa pemerintah agar memberi dana lebih untuk proyek-proyek yang akan meningkatkan fasilitas umum di daerah buraku.

Pemerintah juga dipaksa membuka peluang ekonomi yang selama ini hanya terlihat sebagai mimpi oleh kaum buraku paling terdidik sekalipun. Serta meningkatkan cakupan keamanan ekonomi untuk burakumin, Totten dan Wagatsuma (1972: 62).

Pada tahun 1940 karena kekhawatiran akan Perang Dunia II, Suiheisha dibubarkan. Namun, para pemimpinnya tidak pernah berhenti berjuang untuk rencana mereka di masa depan dan pada saat negara-negara sekutu memenangkan perang.

Hingga pada tahun 1946, bebuah konstitusi baru dikeluarkan di Jepang yang menyatakan bahwa "semua warga negara adalah sama di bawah hukum dalam hubungan politik, ekonomi, dan sosial, dan bahwa mereka tidak akan didiskriminasi karena alasan ras, keyakinan, jenis kelamin, status sosial, atau latar belakang keluarga, Totten dan Wagatsuma (1972: 69). Yang berarti bahwa dengan hukum yang baru ini, orang buangan sosial seperti burakumin akan bebas dari prasangka-prasangka buruk. Di tahun yang sama, para pemimpin tua dari Suiheisha mereformasi ulang organisasi mereka. Tapi kali ini mereka mengubah nama menjadi National Commite for Buraku Liberation (Buraku Kaiho Zenkoku Iinkai) atau disingkat NCBL.

Dalam naungan nama baru, NCBL fokus pada aksi untuk melepaskan diskriminasi ekonomi dengan meminta bantuan pemerintah untuk memperbaiki


(46)

keadaan finansial serta memperbaiki kemiskinan yang dihadapi kaum buraku. serta mengubah lingkungan kumuh yang ditempati oleh buraku agar menjadi layak paling tidak seperti perumahan murah yang ada di kota-kota pada umumnya. NCBL juga meminta agar limbah dan pasokan air harus dibersihkan secara menyeluruh dan berharap untuk pembangunan yang lebih luas dalam hal pembibitan, klinik, pusat-pusat kerja dan program kesejahteraan lainnya. Terakhir mereka mendesak pemerintah untuk memperbaikan fasilitas pendidikan dan kemungkinan kerja bagi anak muda buraku serta memberikan pinjaman kepada industri kecil miliki masyarakat buraku, Totten dan Wagatsuma (1972:74).

Melalui publikasi tentang anti diskriminasi, NCBL semakin kuat dan berjuang untuk menuntut pemeritah lokal agar memperbaiki kualitas hidup mereka. Untuk memperluas organisasinya NCBL mengubah nama menjadi Buraku Kaiho Domei atau Buraku Liberation League (BLL) di tahun 1955 (Asada. 1969: 269).

Namun cara BLL untuk menuntut pernyataan maaf secara terbuka pada pelaku diskriminasi menimbulkan beberapa kritik, diantaranya Karel Van Wolferen, seorang jurnalis Belanda yang telah lama tinggal di Jepang. Dia mengatakan, BLL tidak menempuh jalur hukum untuk penyelesaian diskriminasi (1989: 74).

Ancaman untuk tidak menyudutkan kaum burakumin ini cukup kuat termasuk saat menghadapi penerbit, penulis, wartawan, editor dan guru. Semua yang menyinggung burakumin yang bertentang dengan ideologi BLL akan menerima resiko dipaksa untuk meminta maaf, mereka akan ditahan terlebih dahulu sampai permintaan maaf itu keluar.

Pada titik ini. BLL menegaskan bahwa permintaan maaf secara terbuka ini dibenarkan karena ada hukum khusus untuk mengendalikan tindakan diskriminatif


(47)

terhadap orang-orang buraku. namun beberapa oknum menggunakan kekerasan saat menuntut permintaan maaf pada elaku diskriminasi. Hal inilah yang membuat pemerintah memperingati buraku jika tetap menjalankan tuntutan permintaan maaf terbuka maka kebebasan brbicara organisasi ini akan dicabut, Karel Van Wolferen (1989: 342).

Takagi (1991:284) berpendapat bahwa permintaan maaf terbuka ini justru menjadikan burakumin sebagai pembahasan yang tabu dan takut untuk dibicarakan sehingga penyelesaian diskriminasinya berjalan lama. Karena siapa pun yang berani mengkritik cara BLL ini menjadi target untuk 'pengaduan'. Berdasarkan hal tersebut tidak dapat dipungkiri bahwa media mencoba untuk menekan isu kontroversial ini.

Hal ini juga yang dikomentari oleh Ian Neary yang tidak menerima bahwa masalah buraku hanya sisa-sisa feodalisme yang akan hilang dengan perkembangan kapitalisme. Ia menolak pandangan bahwa solusi terbaik adalah mengabaikan masalah buraku dengan tidak membahasnya atau melakukan tindakan khusus, Neary (2009: 71).

Pada tahun 1980 pemerintah menegaskan bahwa permintaan maaf secara terbuka legal untuk dilakukan, namun tidak untuk tindakan kekerasan yang kerap dilakukan oleh preman yang berpura-pura menjadi buraku. diikuti dengan adanya tindakan pemerintah untuk memperbaiki perekonomian buraku pada tahun 1986. Pemerintah berjanji akan bekerjasama dengan kementerian dan pengacara untuk menyelesaikan perkara kaum buraku dan wilayah Dowa. Ada juga biaya tunjangan yang diberikan bagi masyarakat buraku. masyarakat (Manajemen dan Badan Koordinasi. 1997: 303).


(48)

BLL memainkan peran yang sangat penting dalam memperbaiki kehidupan buraku. Mereka mempercepat dan mempromosikan proyek pemulihan wilayan Dowa. Dibawah tekanan BLL yang cukup besar pemerintah terpaksa berpikir serius tentang diskriminasi masyarakat buraku.

Di samping itu. tindakan radikal mereka mungkin telah berkontribusi terhadap kelanjutan dari masalah buraku sehingga terjadi penghidaran terhadap pembahasan topik burakumin di dalam masyarakat Jepang yang berlanjut hingga sekarang.


(49)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

Satu hal yang dunia sadari saat berbicara tentang kehidupan sosial masyarakat Jepang adalah tentang homogenitas. Menurut hasil penelitian Columbia University, bahwa konsep sosial-kultural homogen ini telah dicitrakan oleh publik figur Jepang sendiri. Masyarakat Jepang pada umumnya pun sepakat dengan pemikiran bahwa masyarakat Jepang adalah masyarakat homogen yang memilki identitas nasional yang kuat, bahkan hanya sedikit memilki perbedaan etnis atau ras. Pada umumnya dikatakan tidak memiliki keragaman etnis atau ras.

Pengakuan atas rasa homogen ini tentu menutup kemungkinan adanya etnis-etnis lain yang hidup dalam masyarakat Jepang. Meskipun sedikit, Jepang bukannya tidak memiliki perbedaan etnis dalam masyarakatnya. Ada beberapa etnis seperti ketururnan Korea di Jepang, Ainu di Hokkaido, serta Burakumin yang tersebar di seluruh Jepang. Sehingga bisa dikatakan beberapa etnis tersebut merupakan masyarakat minoritas.

Namun, homogenitas yang terkandung dalam masyarakat Jepang menjadikannya alasan utama atas terjadinya penghindaran terhadap pembahasan tentang diskriminasi terhadap kaum minoritas di Jepang.

Dari ketiga etnis yang berbeda yang telah disebutkan tadi, peneliti hanya akan membahas satu diantaranya yaitu kaum Burakumin. Burakumin merupakan kelompok minoritas yang jumlahnya cukup besar dibanding etnis berbeda lainnya. Burakumin (部落民) berasal dari kata buraku (desa) dan min (penduduk). Secara harfiah kedua suku kata berarti penduduk desa atau orang-orang pemukiman kecil.


(50)

Yang mana penduduk desa ini merupakan gabungan dari orang-orang terbuang terutama Eta dan Hinin. Dimana kaum ini memiliki pemukiman yang terpisah dari kasta lain saat jepang masih menganut sistem feodal.

Kaum burakumin merupakan masyarakat terbuang pada zaman feodal. Burakumin tidak masuk dalam kasta manapun dari empat kasta yang ada di zaman Tokugawa.Yaitu terdiri dari orang-orang memilki jenis pekerjaan yang dianggap kotor oleh masyarakat Jepang pada masa itu. Pengkategorian jenis pekerjaan kotor ini berhubungan dengan kepercayaan asli masyarakat Jepang yaitu ajaran Shinto dan Budha. Dikatakan bahwa jenis pekerjaan yang berhubungan dengan kematian dan darah, menguliti hewan, tukang jagal hewan, kremator dan penjaga makam merupakan pekerjaan kotor dan tidak baik.

Burakumin yang pada dasarnya tidak memiliki perbedaan ras, etnis , dan linguistik diharuskan menempati wilayah khusus dan memakai pakaian khas yang berguna sebagai penanda status sosial mereka.

Istilah Burakumin ini telah dihapuskan secara legal saat Jepang masuk di Era Restorasi Meiji pada 1896. Sejak itu dikeluarkan dekrit bahwa semua kaum di Jepang harus diperlakukan sama seperti masyarakat pada umumnya. Namun secara nyata hal ini tidak benar-benar terjadi pada Burakumin.

Steriotif terhadap kaum ini susah dihilangkan. Burakumin tetap bekerja pada bidang pekerjaan yang tidak bersih. Masyarakat Jepang belum sepenuhnya menerima kaum buangan ini masuk kedalam masyarakat pada umumnya. Meski nama kaum ini berubah seiring zaman, sistem Koseki (register rumah tangga) membuat burakumin mudah teridentifikasi.


(51)

Hal ini ternyata masih berlaku di Jepang hingga dewasa ini. Menurut Teraki (1997:99), dari sejak munculnya dekrit pembebasan di jaman Meiji hingga hampir tahun 2000 burakumin masih mengalamai diskriminasi meski tidak separah masa lalu. Menurut survey oleh Agen Manajemen dan Koordinasi tahun 1993, dari daerah buraku di 36 prefektur menunjukkan bahwa 33,2% responden mengalami perlakuan tidak menyenangkan hanya karena mereka tinggal di daerah yang dulu didiami oleh burakumin. Diskriminasi di bidang pernikahan mencapai 24,2%, kehidupan masyarakat 23,6 %, pekerjaan 21,2%, dan kehidupan sekolah 16,3%.

Pendiskriminasian terhadap masyarakat burakumin seperti yang telah diuraikan di atas menarik untuk dibahas sehingga penulis membahasnya dalam bentuk skripsi dengan judul “Diskriminasi Terhadap Masyarakat Burakumin di Jepang Dewasa Ini”

1.2 Perumusan Masalah

Berbicara tentang kaum yang terdiskriminasikan dalam konsep masyarakat yang dikenal homogen merupakan suatu topik yang menarik. Masyarakat Jepang pada umumnya sepakat dengan pemikiran bahwa masyarakat Jepang adalah masyarakat homogen yang memilki identitas nasional yang kuat, bahkan hanya sedikit memilki perbedaan etnis atau ras.

Seiring dengan munculnya semangat Era Restorasi Meiji, kaum burakumin pun dibebaskan dari diskriminasi. Namun, hal ini belum berjalan sepenuhnya. Salah satu kaum minoritas terbesar di Jepang ini masih disoroti oleh beberapa media dunia dalam hal diskriminasi. Pendiskriminasi terhadap burakumin di


(52)

Jepang dewasa ini meliputi beberapa aspek kehidupan seperti jenis pekerjaan, hubungan sosial dengan masyarakat lain, serta hubungan pernikahan.

Meskipun saat ini keturunan burakumin bisa bekerja dimana saja, namun posisi jabatan yang tinggi tidak bisa mereka duduki. Demikian juga pendiskriminasian dalam hal pernikahan. Yang paling toleran adalah wilayah Kansai (kecuali Osaka, Kyoto, Hyogo, dan Hiroshima). Keluarga kolot tidak memperbolehkan anak mereka menikah dengan keturunan burakumin. Mereka bisa saja menyewa jasa penyelidikan asal-usul untuk mengetahui asal-usul calon menantu mereka. Di Jepang penyelidikan seperti ini adalah hal biasa, walau sekarang adalah hal ilegal. Di Kansai saat ini 60%-80% keturunan burakumin menikah dengan non-burakumin, pada tahun 1960an hanya 10%.

Sementara itu di Osaka, Kyoto, Hyogo dan Hiroshima, stigma masih ada. Burakumin dianggap biang kemelaratan, pengangguran dan kriminal. Cap ini diperkuat dengan adanya pandangan negatif tentang Yakuza yang ternyata memiliki hubungan erat dengan masyarakat burakumin. Menurut David E. Kaplan dan Alec Dubro dalam bukunya Yakuza: The Explosive Account of Japan's Criminal Underworld (Reading, Massachusetts: Addison-Wesley Publishing Co., 1986 anggota Yamaguchi-gumi atau Yakuza terbesar 70% nya adalah burakumin. Berdasarkan hal tersebut di atas, penelitian akan merumuskan masalah dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut :

1. Bagaimana sejarah masyarakat Burakumin di Jepang?

2. Bagaimana pendiskriminasian masyarakat Burakumin dalam kehidupan sehari- hari di Jepang dewasa ini?


(53)

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan

Dari permasalahan yang telah dikemukakan di atas sebelumnya, maka penulis menganggap perlu adanya pembatasan ruang lingkup dalam pembahasan. Hal ini dilakukan agar masalah tidak menjadi terlalu luas sehingga penulis dapat lebih terfokus dan terarah dalam pembahasan terhadap masalah.

Pembahasan dalam penelitian ini akan dimulai dengan sejarah munculnya pembuangan kelompok masyarakat ke dalam suatu pemukiman khusus yang kemudian dikenal dengan nama Burakumin. Selanjutnya pembahasan akan lebih difokuskan pada pendiskriminasian terhadap masyarakat burakumin dalam kehidupan sehari-hari.

Pembuangan kelompok masyarakat ini memiliki keterkaitan dengan Agama Shinto yang menimbulkan pembuangan masyarakat berdasarkan jenis pekerjaan.Burakumin yang merupakan para pekerja yang berhubungan dengan darah dan kematian ini memiliki status rendah yang mengharuskan mereka hidup dalam diskriminasi oleh masyarakat dari semua kasta yang ada dalam jaman Tokugawa.

Hal ini ternyata masih berlaku di Jepang hingga dewasa ini. Menurut Teraki (1997:99), dari sejak munculnya dekrit pembebasan di jaman Meiji hingga sekarang burakumin masih mengalamai diskriminasi meski tidak separah masa lalu.

Untuk mendukung pembahasan ini, penulis juga akan membahas tentang sejarah kehidupan burakumin di masa feodal, latar belakang terjadinya diskriminasi terhadap kaum burakumin yang memiliki keterkaitan terhadap agama Shinto, serta bagaimana kehidupan burakumin di Jepang dewasa ini.


(54)

1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori

1.4.1 Tinjauan Pustaka

Jika dikatakan diskriminasi adalah pembedaan perlakuan terhadap seseorang atau kelompok yang biasanya dikarenakan adanya perbedaan dalam hal ras atau etnis maka, itulah yang dialami oleh burakumin di masa lalu. Burakumin adalah sebutan untuk orang Jepang yang merupakan keturunan kaum terbuang, terutama Eta, Hinin dan Kawaramono. Secara harafiah burakumin berarti "Orang-orang pemukiman kecil" dimana hal ini merujuk pada pemukiman kaum Eta yang terpisah dari kasta lain dalam masyarakat feodal.

Istilah Burakumin ini secara de jure (legal) ada hingga dihapuskannya sistem kasta di tahun 1871 seiring semangat persamaan di Era Restorasi Meiji (mulai 1869), namun secara de facto hingga sekarang diskriminasi terhadap Burakumin masih ada.

Jika diuraikan secara sederhana, beginilah usaha pembebasan diskriminasi yang terjadi pada burakumin:

- Dalam daftar warga ditulis kyu-eta (mantan eta), lalu diganti shin-heimin (warga baru) dan terakhir pada 1900an tokushu-buraku (pemukiman khusus). Sekarang sudah tidak dipakai lagi.

- Diskriminasi dalam pekerjaan. Walau saat ini keturunan burakumin bisa bekerja dimana saja, namun posisi jabatan yang tinggi tidak bisa mereka duduki.

- Diskriminasi dalam pernikahan. Yang paling toleran adalah wilayah Kansai (kecuali Osaka, Kyoto, Hyogo dan di Hiroshima). Keluarga kolot tidak


(55)

memperbolehkan anak mereka menikah dengan keturunan burakumin. Menyewa jasa penyelidikan asal-usul adalah hal biasa di Jepang, walau sekarang adalah hal ilegal. Di Kansai saat ini 60%-80% keturunan burakumin menikah dengan non-burakumin. Pada tahun 1960-an hanya 10%.

- Tetapi di Osaka, Kyoto, Hyogo dan Hiroshima, stigma masih ada. Burakumin dianggap biang kemelaratan, pengangguran dan kriminal.

- Anggota Yakuza, 60% adalah Burakumin menurut pengakuan seorang mantan anggota intelijen jepang Mitsuhiro Sugnuma. Anggota Yamaguchi-gumi (Yakuza terbesar) 70% nya adalah Burakumin, menurut David E. Kaplan dan Alec Dubro dalam bukunya Yakuza: The Explosive Account of Japan's Criminal Underworld (Reading, Massachusetts: Addison-Wesley Publishing Co., 1986).

1.4.2 Kerangka Teori

Dari perumusan masalah yang telah dikemukakan maka, dibutuhkan berbagai teori untuk mengupas semua fakta untuk mendapatkan sebuah hasil. Kerangka teori menurut Koenjtaraningrat (1976:1) berfungsi sebagai pendorong proses berfikir deduktif yang bergerak dari bentuk abstrak ke dalam bentuk yang nyata. Dalam penelitian suatu kebudayaan masyarakat diperlukan satu atau lebih teori pendekatan yang sesuai dengan objek dan tujuan dari penelitian ini.

Dalam hal ini, penulis menggunakan pendekatan diskriminatif, pendekatan sosiologi, dan juga teori identitas untuk meneliti tentang burakumin.Untuk permasalahan Teori-teori ini juga akan disandingkan dengan beberapa sistem dan


(56)

konsep tradisional yang berlaku dalam budaya masyarakat Jepang seperti agama Shinto dan sistem feodal.

Sebagaimana diutarakan oleh Fulthoni, et.al (2009:8), pada dasarnya diskriminasi adalah pembedaan perlakuan. Diskriminasi adalah perlakuan yang tidak adil dan tidak seimbang yang dilakukan untuk membedakan terhadap perorangan, atau kelompok, berdasarkan sesuatu, biasanya bersifat kategorikal, atau atribut-atribut khas, seperti berdasarkan ras, kesukubangsaan, agama, atau keanggotaan kelas-kelas sosial. Istilah tersebut biasanya untuk melukiskan, suatu tindakan dari pihak mayoritas yang dominan dalam hubungannya dengan minoritas yang lemah, sehingga dapat dikatakan bahwa perilaku mereka itu bersifat tidak bermoral dan tidak demokratis.

Berdasarkan definisi tersebut, maka diskriminasi dapat diartikan sebagai sebuah ketidakadilan dalam bermasyarakat yang terbentuk oleh prasangka dan sentimen sosial dan bertujuan lebih jauh untuk menghindari adanya kepemilikan sumber daya serta akses-akses tertentu. Diskriminasi dapat terjadi dengan dibentuknya prasangka pada individu atau kelompok tertentu, kemudian berlanjut dengan terbentuknya cap buruk (stigma/ stereoype).

Diskriminasi terjadi ketika keyakinan atas cap buruk dan prasangka itu sudah berubah menjadi aksi. Diskriminasi adalah tindakan memperlakukan orang lain tidak adil hanya karena dia berasal dari kelompok sosial tertentu. Diskriminasi dalam prakteknya dapatdikategorikan ke dalam diskriminasi berdasarkan jenis dan diskriminasi menurut tipe. Diskriminasi menurut jenis adalah yang terbagi menjadi (a) diskriminasisuku/etnis, ras, agama, (b) diskriminasi jenis kelamin, (c)


(1)

Disetujui oleh :

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan

Medan, April 2016 Departemen Sastra Jepang Ketua,

Drs. Eman Kusdiyana, M.Hum NIP. 19600919 1988 03 1 001


(2)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang senantiasa menyertai penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini guna memperoleh gelar Sarjana Sastra di Departemen Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara. Adapun yang menjadi judul skripsi ini

adalah “DISKRIMINASI TERHADAP MASYARAKAT BURAKUMIN DI

JEPANG DEWASA INI”.

Selama proses penelitian dan penulisan skripsi ini, penulis banyak menerima bantuan baik moril, materi dan ide dari berbagai pihak. Oleh sebab itu pada kesempatan kali ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih, penghargaan dan penghormatan kepada :

1. Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A, selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Drs. Eman Kusdyana, M.Hum, selaku Ketua Departemen Sastra Jepang Universitas Sumatera Utara dan selaku Pembimbing II, yang selalu memberikan waktu dan tenaga sedemikian besarnya untuk membimbing, memeriksa serta memberikan saran – saran kepada penulis dalam rangka penyempurnaan skripsi ini hingga selesai.

3. Bapak Prof. Hamzon Situmorang, M.S., Ph.D. selaku Pembimbing I, yang selalu memberikan waktu dan pemikirannya dalam membimbing, mengarahkan serta memberikan saran – saran kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini hingga selesai.


(3)

4. Bapak dan Ibu dosen, serta Staf Pegawai di Departemen Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara yang dengan penuh kesabaran telah memberikan ilmu yang berguna bagi penulis serta dukungan dalam menyelesaian skripsi ini.

5. Terima kasih yang tidak terhingga kepada Ayahanda Darlis dan Ibunda Rosmani yang selalu memberi dukungan baik moril maupun materil dan selalu mendoakan sampai penulis dapat menyelesaikan studinya dan dapat menyelesaikan skripsi ini. Terimakasih untuk sabar menunggu dan mengerti dalam proses menyelesaikan studi ini. Dan juga untuk Abangnda tersayang Reki Rusnandar, Ayuk Selvi serta yang tersayang Aditya Pratama.

6. Seluruh keluarga besar penulis yang telah memberikan dukungan dalam segala hal sampai berakhirnya studi ini.

7. Seluruh keluarga besar Aotake yang senantiasa memberikan dorongan dan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, untuk adik-adik yang senantiasa bertanya kapan skripsi ini akan selesai.

8. Seluruh rekan-rekan seperjuangan Sastra Jepang 2011, yang berjuang bersama dan saling membantu dalam mengingatkan, memberikan masukan, serta semangatnya.

9. Serta kepada Keluarga Besar Pers Mahasiswa SUARA USU yang menjadi wadah lain untuk belajar selama menjadi mahasiswa.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, baik dari isi maupun uraiannya. Oleh karena itu, penulis mengharapkan masukan kritik dan saran yang membangun. Akhir kata, semoga


(4)

skripsi ini nantinya dapat berguna dan bermanfaat bagi penulis, pembaca khususnya mahasiswa/ mahasiswi Jurusan Sastra Jepang Universitas Sumatera lainnya.

Medan, 26 April 2016

Penulis, RENTI ROSMALIS


(5)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 3

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan ... 5

1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori ... 6

1.4.1 Tinjauan Pustaka ... 6

1.4.2 Kerangka Teori ... 7

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 10

1.5.1 Tujuan... 10

1.5.2 Manfaat Penelitian... 11

1.6 Metode Penelitian ... 11

BAB II GAMBARAN UMUM MENGENAI MASYARAKAT BURAKUMIN 2.1Sejarah Burakumin ... 13

2.2Burakumin Masa Tokugawa dan Restorasi Meiji ... 16

2.2.1 Burakumin Pada Masa Tokugawa ... 16

2.2.2 Burakumin Pada Masa Restorasi Meiji (1868- 1945) ... 21

2.3Kepercayaan dan Konsep Kesucian di Jepang ... 23

2.4Perkembangan Pembebasan Burakumin Sejak Perang Dunia II... 26

2.4.1 Proklamasi Emansipasi Pada Restorasi Meiji (1871) ... 27


(6)

2.4.3 Pembangunan Distrik Dowa ... 30 2.4.4 Lahirnya Organisasi Buraku ... 31

BAB III PENDISKRIMINASIAN MASYARAKAT BURAKUMIN DI JEPANG DEWASA INI

3.1 Pendidkriminasian Bidang Hubungan Sosial Masyarakat ... 38 3.2 Pendiskriminasian Bidang Pekerjaan ... 41 3.3 Pendiskriminasian Dalam Pernikahan ... 45

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan... 51 4.2 Saran ... 54 DAFTAR PUSTAKA