Fenomena Freeter Dalam Masyarakat Jepang Dewasa Ini

(1)

FENOMENA

FREETER

DALAM MASYARAKAT JEPANG

DEWASA INI

GENZAI NO NIHON SHAKAI NI OKERU FURIITAA

GENSHOU

SKRIPSI

Skripsi ini Diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatra Utara Medan untuk Melengkapi Salah Satu Syarat Ujian Sarjana

dalam Bidang Ilmu Sastra Jepang

Oleh

MIOCI

NIM : 100722004

DEPARTEMEN SASTRA JEPANG EKSTENSI FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATRA UTARA MEDAN


(2)

FENOMENA

FREETER

DALAM MASYARAKAT JEPANG

DEWASA INI

GENZAI NO NIHON SHAKAI NI OKERU FURIITAA

GENSHOU

Oleh

MIOCI

NIM : 100722004

Pembimbing I Pembimbing II

Drs. Eman Kusdiyana, M.Hum. Drs. Nandi S

NIP. 19600919 1988 031 001 NIP. 19600822 198803 1 002

DEPARTEMEN SASTRA JEPANG EKSTENSI FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATRA UTARA MEDAN


(3)

Disetujui oleh :

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan

Departemen Sastra Jepang Ketua,

Drs. Eman Kusdiyana, M.Hum


(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat ALLAH SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaukan skripsi yang berjudul Fenomena Freeter Dalam Masyarakat Jepang Dewasa ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna dari tata bahasa maupun uraiannya. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan sara yang membangun dari pembaca untuk perbaikan di masa yang akan datang.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis banyak menerima bantuan dan dorongan motivasi dari berbagai pihak. Untuk itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terimakasih yang sebesar-besarnya, terutama kepada :

1. Bapak Dr. Drs. Syahron Lubis, M.A., selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatra Utara.

2. Bapak Drs. Eman Kusdiyana, M.Hum, selaku Ketua Jurusan Sastra Jepang Program S1 Ekstensi Universitas Sumatra Utara, juga selaku dosen pembimbing 1 yang telah memberikan arahan, bimbingan dan masukan hingga penulis dapat mengerjakan skripsi ini dengan benar.

3. Bapak Drs. Nandi S, selaku dosen pembimbing 2 yang telah memberikan arahan, bimbingan dan masukan hingga penulis dapat mengerjakan skripsi ini menjadi sempurna.

4. Bapak dan Ibu dosen Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya : Pak Hamzon Situmorang, Pak Yuddi, Pak Puji, Pak Amin, Pak Erizal, Narita Sensei, Pak Ali, Pak Zulnaidi, Bu Rani, Bu Hani, Bu Adriana, Bu Muhibbah dan


(5)

semua dosen yang tidak tersebutkan satu persatu, terimakasih atas ilmu dan bimbingannya selama ini.

5. Untuk orang tua penulis, Bapak Shoji Naito (Alm.) dan Ibu Zultiti Herawati Sinaga yang telah memberikan dukungan, perhatian, semangat bantuan yang tak terhingga baik dalam bentuk moril dan materi hingga penulis dapat mengerjakan skripsi ini dengan baik sampai selesai.

6. Kepada teman-teman penulis di Departemen Sastra Jepang Ekstensi 2010, Kak Lolo, Indah Cantik, Kak Dewi, Kak Elisabeth, Hanum, terima kasih atas dukungan dan kerjasama kalian selama beberapa tahun menuntut ilmu di Departemen Sastra Jepang Ekstensi. Semoga pertemanan ini tidak sebatas pada masa perkuliahan.

7. Kepada teman-teman penulis Dwi Herawati, Anggi Yulia Harmen, Sona, Heru, Ikbal, Bayu Huzairi, Idham Khaidir, seluruh staf Pegadaian CPP.

Padang Bulan. Terima kasih atas do’a dan motivasi.

Akhir kata penulis berharap kiranya skripsi ini bermanfaat bagi para pembaca, khususnya bagi peneliti yang memiliki bahan terkait dengan isi skripsi ini.

Medan, Juli 2012 Penulis


(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... ii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 6

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan ... 8

1.4 Tinjauan Pustaka Dan Kerangka Teori ... 9

1.5 Tujuan Dan Manfaat Penelitian ... 13

1.6 Metode Penelitian ... 14

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG MASYARAKAT PEKERJA JEPANG ... 15

2.1 Pandangan Masyarakat Jepang Terhadap Pekerjaan ... 15

2.1.1 Karakteristik Pekerja Jepang ... 16

2.1.2 Masyarakat Pekerja Jepang Pasca Resesi Ekonomi .. 18

2.2 Pola Pikir Kaum Muda di Jepang Terhadap Pekerjaan ... 21

2.2.1 Karakteristik Kaum Pekerja Muda Jepang ... 22

2.2.2 Kaum Pekerja Muda Jepang Pasca Resesi Ekonomi . 23 2.3 Pasar Tenaga Kerja di Jepang... 25

2.3.1 Peluang Bekerja di Jepang ... 26


(7)

BAB III FENOMENA FREETER PADA MASYARAKAT

JEPANG ... 30

3.1 Awal Mula Kemunculan Freeter ... 30

3.1.1 Pergeseran Pola Pikir Kaum Muda Jepang Terhadap Etos Kerja ... 36

3.1.2 Dampak Freeter Terhadap Lingkungan Pekerjaan ... 39

3.2 Kehidupan Sosial Freeter ... 41

3.2.1 Pandangan Masyarakat Jepang Terhadap Kelompok Freeter ... 44

3.2.2 Dampak Kemunculan Freeter Dalam Lingkungan Sosial... 45

3.3 Sikap Pemerintah Jepang Terhadap Kelompok Freeter ... 47

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN... 53

4.1 Kesimpulan ... 54

4.2 Saran... 55 DAFTAR PUSTAKA


(8)

ABSTRAK

1950

1970

年 ま

開発

日本

問題

1980

年代後半

い う

経済問題

い い い

経済

い い

証 拠

日本

経済

い い

日本社会

懸念

経済

い い

結果

1990

年代

日本

景気後退

い う い

経験

経済問題

い い い

様々

ま ま

労働市場

う う う

企業

運用

う う

削減

労 働 量

う う う

起因

う い

変化

経験

発生

日本

労働市場

う う う

動向

う う

変化

タイム

労働者

う う

仕事

増加

日本

若者

タイム

労働者

う う

移動

い う

会社


(9)

永 久 的

え い う

会社

移動

い う

労働者

う う

ーター

ー タ ー

い う 言葉

2

音節

英語

えい

単語

"Free"

無料

"Arbeiter"

労働者

う う

合併

形成

い い

一時的

う うい

タイム労働者

う う

15

34

日本

若者

記述

使用

ー ター

言葉

タイム

自分

時間

例え

日本

若者

記述

作成

ーター

言葉

固定

い わ

仕事

日本

若者

時間

ワー

会社


(10)

勤勉

会社

給 得

ータ ー

日本

若者

タイ

選択

会社

無負荷時

結合

自由

ー タ ー

様々

ま ま

え い う

間接的

日本社会

社会生活

い い

え い う あ

日本文化

仕事倫理

年 々

ーター

増 え

日本

経済問題

い い い

社会問題

い い

悪 影 響

あ え い う

信頼

専門家

労 働 力

う う

損失

作品

日本

若 者

う う

後政府

ー タ ー

削減

措置

構造化

う う


(11)

教育

行う

日本全国

市内

全体的

最大実行

う う う

屋台

雇用

サ ービ

う う

使用

会社

インターン

参加

学生

う い

労 働 力

う う

高校生

う う い


(12)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Masyarakat Jepang dikenal akan budaya kerja keras, disiplin dan loyalitas tinggi terhadap perusahaan tempat mereka bekerja. Sejak berakhirnya masa perang dunia kedua, Jepang yang pada awalnya mengalami kekalahan dan krisis disegala bidang termasuk diantaranya meliputi bidang perekonomian, dapat kembali bangkit secara cepat menjadi sebuah bangsa yang maju dan unggul. Hal ini tidak lepas dari peran masyarakatnya yang memiliki kemauan dan komitmen tinggi untuk kembali membangkitkan Jepang dari jurang keterpurukan. Segala kenikmatan dan keberhasilan Jepang sebagai negara maju tidak didapat dengan mudah, melainkan melalui kerja keras, usaha tidak kenal lelah, disiplin dan loyalitas yang dimiliki dari setiap orang Jepang.

Bangsa Jepang merupakan bangsa yang sulit untuk menerima kekalahan, tidak ada kata menyerah bagi bangsa Jepang. Kekalahan bukan berarti mati, mereka berusaha bangkit kembali dan mencari kemenangan dibidang lain. Mereka tidak menerima kekalahan yang dapat merendahkan harga diri. Masyarakat Jepang tidak dapat menanggung malu jika mengalami kegagalan, mereka lebih memilih mati dari pada harus menanggung malu bila mengalami kegagalan (Ann Wan Seng, 2007:8).

Disiplin dalam setiap kegiatan pekerjaan bagi masyarakat Jepang merupakan suatu keharusan. Disiplin dikaitkan dengan harga diri, jika mereka mengalami kegagalan maka pekerja atau individu tersebut yang akan menanggung


(13)

malu, bukan perusahaan atau organisasi tempat mereka bernaung (Ann Wan Seng, 2007:38). Mereka selalu berusaha keras demi perusahaannya, mereka sampai rela meluangkan waktu penuh, hingga meninggalkan keluarga demi memajukan perusahaan.

Pekerja Jepang juga memiliki rasa kesetiaan yang kuat pada perusahaannya. Rasa ini timbul bukan semata-mata dari jumlah upah yang mereka terima, melainkan adanya rasa kebersamaan yang tumbuh dalam sebuah perusahaan atau organisasi. Mereka bekerja sama, saling menutupi kekurangan layaknya sebuah keluarga. Seperti dikutip dari Moer dan Kawanishi dalam buku A Sociology of Work in Japan (2005:58):

Work wa s conceived a s pa rt of a living socia l community which linked the shop floor a nd fa mily life.

Terjemahan :

Pekerjaan dipahami sebagai bagian dari sebuah komunitas sosial yang hidup yang menghubungkan dasar perusahaan dan kehidupan keluarga.

Hal inilah yang menumbuhkan sikap kekeluargaan bagi para pekerja Jepang, komunitas dalam perusahaan dianggap seperti sebuah keluarga, maka pola pikir yang muncul adalah bagaimana memajukan perusahaan agar tidak kalah bersaing dengan perusahaan lain atau bahkan runtuh layaknya mempertahankan keluarga. Bila perusahaan tersebut runtuh maka semua pekerja merasa bertangung jawab untuk mengembalikan kejayaan perusahaan, tidak meninggalkannya begitu saja. Disinilah letak kesetiaan pekerja Jepang terhadap perusahaan tempat mereka mengabdi.


(14)

Bagi masyarakat Jepang bekerja penuh totalitas bagi sebuah perusahaan merupakan kebanggaan tersendiri bagi mereka. Maka tidak heran jika muncul ungkapan “work is life” (bekerja adalah kehidupan) bagi kalangan pekerja jepang (Blyton, Blunsdon, Reed, Dastmalchian, 2010:140). Hal ini dilakukan demi memajukan perusahaan, hingga mereka rela mengorbankan waktu, tenaga dan pikiran, sampai menyebabkan kematian. Fenomena ini disebut dengan karoshi, yaitu kelebihan bekerja hingga menyebabkan kematian (Pujiastuti 2007:42). Permasalahan ini muncul karena para pekerja tersebut dituntut untuk bekerja semaksimal mungkin bagi perusahaannya, mereka bekerja setiap hari tanpa libur, bahkan mereka bekerja melebihi batas waktu normal bekerja (8 jam) sampai 12 jam dalam sehari. Selain tekanan dalam pekerjaan, mereka juga di gaji rendah. Inilah yang membuat tekanan mental memuncak sampai menyebabkan kematian (Pujiastuti 2007:42).

Sebagai sebuah negara yang berhasil maju pada dekade 1950 hingga 1970an, Jepang tidak luput dari berbagai permasalahan. Mulai dari masalah perekonomian diakhir tahun 1980an, yang ditandai dengan munculnya fenomena gelembung ekonomi, yaitu sebuah istilah dalam siklus ekonomi yang ditandai dengan ekspansi yang cepat diikuti oleh kontraksi, dan sering kali dengan cara yang dramatis (http://adioksbgt.wordpress.com/2010/12/28/economic-bubble/). Munculnya gelembung ekonomi di Jepang, mengakibatkan kekhawatiran berlebihan pada masyarakat Jepang yang mengakibatkan deflasi. Perputaran jumlah uang tertahan pada masyarakat dalam bentuk tabungan dan bunga deposito. Sebagai akibat dari sikap yang terlalu kapitalistik itu, membuat lapangan kerja di Jepang menjadi semakin sempit dan Jumlah pengangguran pun


(15)

kian bertambah (http://michaelorstedsatahi. wordpress.com/2011/08/25/resesi-di-jepang/).

Memasuki awal tahun 1990an, Jepang mulai mengalami resesi, yang diakibatkan dari gelembung ekonomi. Berbagai fenomena seputar permasalahan ekonomi bermunculan. Diantaranya pasar tenaka kerja yang mengalami perubahan secara signifikan akibat dari pengurangan jumlah tenaga kerja untuk memotong biaya operasional oleh perusahaan. Seperti yang dikutip dari buku Socia l Cla ss in Contempora ry ja pa n (2010:90) oleh Ishida dan Slater :

Pa rtly beca use of the economic recession of the 1990s a nd pa rtly beca use of pressures to cut la bor costs, the job ma rket for new gra dua tes and young people dra ma tica lly cha nged during the 1990s a nd ea rly 2000s. The number of pa rt-time jobs increa sed, job turnover ra tes increa sed, a nd the lifelong employment system wa s no longer a ssumed to function for young workers.

Terjemahan :

Sebagian karena resesi ekonomi ditahun 1990-an dan sebagian karena tekanan untuk memotong biaya tenaga kerja, pasar kerja bagi lulusan baru dan orang muda secara dramatis berubah selama 1990-an dan awal 2000-an. Jumlah pekerjaan paruh waktu meningkat, tingkat putar balik pekerjaan meningkat, dan sistem seumur hidup bekerja diasumsikan tidak lagi berfungsi bagi para pekerja muda.

Saat resesi di Jepang berlangsung, tren pasar tenaga kerjapun berubah, banyaknya lowongan pekerjaan sebagai pekerja paruh waktu meningkat. Banyak kaum muda Jepang akhirnya beralih sebagai pekerja paruh waktu. Mereka bekerja tidak menetap dalam satu perusahaan, terkadang berpindah-pindah pekerjaan dari satu perusahaan ke perusahaan yang lain. Para pekerja seperti ini disebut sebagai


(16)

freeter. Freeter merupakan sebuah neologisme dari kontraksi kata bahasa Inggris "free" (bebas) dan kata bahasa Jerman "arbeiter" (pekerja), yang kemudian diartikan sebagai karyawan sementara atau pekerja paruh waktu. Dalam pengertian ini, golongan pelajar dan ibu rumahtangga tidak termasuk kedalam golongan freeter (Ishida, Slater, 2010:91).

Istilah freeter digunakan untuk menggambarkan kaum muda Jepang berusia antara 15 hingga 34 tahun yang mengisi waktu luang mereka dengan bekerja paruh waktu (OECD 2009:18), misalnya di restoran cepat saji atau supermarket. Kelompok masyarakat muda Jepang lebih memilih menjadi freeter daripada pekerja tetap dalam suatu perusahaan dengan alasan yang beragam. Satu diantaranya, mereka menghindari rutinitas dan tekanan yang diberikan oleh perusahaan bila menjadi pekerja tetap. Lagipula untuk menjadi freeter tidak diperlukan kemampuan lebih atau keahlian khusus, karena pada umumnya pekerjaan yang disediakan bagi freeter merupakan pekerjaan umum dalam keseharian, misalnya sebagai penjaga toko, pelayan restoran, buruh pengangkut barang, penyebar brosur dan lain sebagainya.

Indikasi statistik menunjukkan jumlah freeter diawal tahun 2000-an sekitar tiga juta jiwa, dan angka ini terus bertambah hingga pada saat ini (Ishida, Slater, 2010:91). Munculnya kaum freeter menimbulkan beberapa dampak dalam kehidupan masyarakat sosial di Jepang, baik dari sisi positif dan negatifnya. Ini sedikitnya bertentangan dengan budaya Jepang yang terkenal akan kegigihan dan keuletannya. Seperti yang diutarakan Slater (2010:162) :

First, while the pa rticula r young people who end up a s freeter might not embrace the ethos of Japan,…


(17)

Terjemahan :

Pertama, sementara orang-orang muda tertentu yang berakhir sebagai freeter mungkin tidak memeluk etos Jepang,…

Etos Jepang yang dimaksud merupakan budaya kerja masyarakat Jepang terdahulu yang berkarakter disiplin, kerja keras, rajin dan loyalitas tinggi terhadap pekerjaannya.

Berdasarkan uraian diatas penulis merasa tertarik untuk membahas masalah freeter. Timbulnya beberapa permasalahan seperti dalam lingkungan sosial, resesi ekonomi Jepang yang berkepanjangan diawal dekade 1990an, dan beberapa lainnya, menyebakan jumlah freeter melonjak cukup tajam. Hal inilah yang mendasari ketertarikan penulis dalam meneliti fenomena freeter. Yang kemudian penulis tuang dalam skripsi ini dengan mengambil judul “Fenomena Freeter Dalam Masyarakat Jepang Dewasa Ini”.

1.2 Perumusan Masalah

Freeter merupakan fenomena yang terjadi di Jepang yang muncul diakhir tahun 1980an. Di samping itu ada pula perubahan pola pikir kaum muda Jepang terhadap pekerjaan yang melatar belakangi kemunculan freeter. Istilah freeter dibuat untuk menggambarkan masyarakat muda Jepang yang bekerja secara tidak tetap dan berpindah-pindah pekerjaan. Sebagian kaum muda Jepang memandang bekerja sebagai pekerja tetap dengan bekerja keras dan loyal terhadap perusahaan dimana tempat mereka bekerja, hanya akan menghabiskan waktu dan tenaga. Seperti orang tua mereka terdahulu, yang bekerja keras dan loyal pada perusahaan,


(18)

namun tidak mendapatkan gaji yang setimpal dari apa yang telah diberikan. Sebagian masyarakat muda Jepang kemudian beralih memilih bekerja sebagai freeter.

Sebagian kaum muda Jepang lebih memilih menjadi freeter karena tidak memiliki keterikatan dengan perusahaan tempat mereka bekerja, seperti yang dialami para pekerja tetap. Disamping itu, waktu bekerja yang singkat (paruh waktu) juga menjadi pilihan sebagai freeter. Karena banyak dari para kaum muda Jepang yang sangat menekuni hobi mereka seperti cosplay, menonton anime, mengoleksi manga , berolah raga, atau hobi-hobi unik lainnya. Ini menjadi alasan sebagian kaum muda Jepang lebih memilih bekerja sebagai freeter.

Hadirnya golongan freeter dalam masyarakat Jepang saat ini, memiliki berbagai dampak dan perubahan sudut pandang bagi kaum muda Jepang dengan budaya pekerja Jepang sebelumnya. Perubahan pola pikir kaum muda Jepang yang memilih menjadi freeter, memiliki pandangan tersendiri bagi masyarakat Jepang secara umum, dan bagi para masyarakat tua Jepang pada khususnya. Mereka menilai bahwa kaum muda Jepang saat ini mengalami penurunan semangat juang hidup, berpikir menurut ego masing-masing, terlena dalam kesenangan sesaat seperti dalam dunia manga atau anime. Sangat berbeda dengan kaum muda terdahulu yang berpikir maju dan bekerja keras untuk menjadikan perusahaan maju dan menjadi yang terbaik. Yang kemudian hari menjadikan perekonomian Jepang lebih maju lagi. Sebagian kaum pekerja tetap Jepang menilai pola pikir freeter saat ini sebagai penyebab berkurangnya daya saing masyarakat Jepang untuk maju dan berkurangnya semangat bushido yang sudah ada sebelumnya.


(19)

Dari sudut pandang lingkungan sosial dampak yang paling nyata terlihat pada menurunnya angka regenerasi di Jepang. Menurunnya jumlah kelahiran bayi disebabkan oleh keengganan para freeter untuk menikah. Para wanita Jepang juga memandang kaum pria dari golongan freeter tidak siap untuk melanjutkan hubungan kejenjang yang lebih serius seperti dalam pernikahan. Mereka menilai penghasilan seorang freeter tidak cukup untuk membiayai kebutuhan ekonomi keluarga.

Berbagai dampak dan permasalahan dari kemunculan freeter dianggap dapat mengurangi daya saing (dalam hal ini sumber daya manusia) dalam dunia bekerja merupakan hal serius. Untuk itu pemerintah Jepang pun mengambil langkah-langkah untuk menekan jumlah freeter agar tidak terus bertambah. Salah satu langkah yang diambil yaitu dengan memberikan bimbingan mengenai pekerjaan kepada pemuda diusia sekolah menengah, agar mereka lebih mempersiapkan diri saat memutuskan untuk masuk ke dunia kerja.

Dari permasalahan yang muncul mengenai freeter yang dikemukakan diatas, maka dalam bentuk pertanyaan permasalahan tersebut adalah sebagai berikut :

1. Apa yang menyebabkan munculnya freeter?

2. Bagaimana fenomena freeter yang terjadi dalam masyarakat Jepang dewasa ini?

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan

Dalam penulisan skripsi ini penulis membatasi masalah hanya mengenai fenomena freeter yang terjadi dalam lingkungan masyarakat Jepang dan


(20)

khususnya pada pemuda Jepang, dari pertama kali munculnya freeter yang dimulai sejak akhir tahun 1980an dan perkembangannya hingga tahun 2011. Agar pembahasan lebih jelas dan akurat, maka penulis juga menjelaskan tentang pandangan masyarakat Jepang terhadap pekerjaan, pola pikir kaum muda di Jepang terhadap pekerjaan dan bagaimana pasar tenaga kerja di Jepang.

1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori 1. Tinjauan Pustaka

Di Jepang makna dari sebuah pekerjaan tidak semata-mata untuk mencari penghasilan dan menafkahi hidup. Pekerjaan memiliki makna tersendiri bagi masyarakat Jepang. Mengambil kutipan dari Edwin O. Reischauer, dalam Blyton (2010:139) :

A job in Ja pan is not merely a contra ctua l a rra ngement for pa y but mea ns identifica tion with a la rger entity in other words, a sa tisfying sense of being part of something big and significant. … There is little of the feeling, so common in the West, of being a n insignifica nt a nd replaceable cog in a grea t ma chine. Both ma na gers and workers suffer no loss of identity but ra ther ga in pride through their compa ny, pa rticula rly if it is la rge a nd fa mous. Compa ny songs a re sung with enthusia sm, a nd compa ny pins a re proudly displa yed in buttonholes.

Terjemahan :

Sebuah pekerjaan di Jepang bukan hanya sebuah kontrak perjanjian untuk pembayaran tetapi berarti identifikasi dengan penambahan entitas - dengan kata lain, kepuasan rasa menjadi bagian dari sesuatu yang besar dan signifikan. ... Ada sedikit perasaan, yang sangat umum di Barat, menjadi seorang penggerak yang tidak signifikan dan dapat digantikan dalam sebuah mesin besar. Diantara manajer dan pekerja tidak merasakan kehilangan identitas melainkan memperoleh kebanggaan melalui


(21)

perusahaan mereka, terutama jika hal itu menjadi besar dan terkenal. Suara perusahaan akan dinyanyikan dengan antusiasme, dan kunci perusahaan dengan bangga ditampilkan terdepan.

Masyarakat Jepang memiliki budaya etos kerja yang sangat baik, penuh disiplin, setia dan pantang menyerah. Budaya etos kerja ini tercermin dari berhasilnya Jepang menjadi salah satu negara maju yang menguasai perekonomian dunia. Etos kerja masyarakat Jepang terbentuk sejak berabad-abad lalu, para pendahulu mereka telah mewariskan nilai etos kerja yang baik. Seorang futurologist Herman Kahn dalam Moer & Hirosuke (2005:3) menungkapkan :

…attached great importance to the Japanese mindset. They alleged that cultura l remna nts or feuda listic va lues such a s group loya lty, a motiva tion to a chieve ba sed on duty and the fea r of sha me or losing fa ce, a nd Confucia n fruga lity a nd a specia l sense of community or na tiona l consensus were the wellsprings of Japan’s economic success.

Terjemahan :

…melekat hal yang sangat penting pada pola pikir masyarakat Jepang. Mereka menduga bahwa sisa-sisa budaya atau nilai-nilai feodal - seperti kesetiaan kelompok, motivasi untuk mencapai berdasarkan tugas dan ketakutan akan malu atau kehilangan muka, dan sikap hemat Konghucu - Dan rasa khusus dari masyarakat atau konsensus nasional yang menjadi sumber dari keberhasilan ekonomi Jepang.

Namun Seiring berjalannya waktu, makna dari sebuah pekerjaan mengalami perubahan bagi sebagian masyarakat Jepang. Hal ini ditandai dari kemunculan istilah freeter. Pada penelitian terdahulu freeter dikaitkan dengan jiwa masyarakat muda Jepang yang ingin hidup dalam kebebasan tanpa ada


(22)

keterikatan dalam pekerjaan pada suatu perusahaan. Seperti yang dikemukakan oleh Gesine Foljanty – Jost (2003:83) :

…“freeter” refers to those people who do not actively seek employment a nd enter society without ta king up fixed employment.

…“freeters” opt for a free-a nd-ea sy lifestyle, supported by ca sua l work with no more tha n 800 Yen income per hour.

Terjemahan :

…"freeter" mengacu kepada orang-orang yang tidak secara aktif mencari pekerjaan dan masuk kedalam masyarakat tanpa mengambil pekerjaan tetap.

…"freeters" memilih gaya hidup bebas dan mudah, didukung oleh pekerjaan kasual dengan tidak lebih dari 800 Yen pendapatan per jam.

Penulis melihat adanya perubahan pola pikir dan cara pandang pada masyarakat muda Jepang terhadap pekerjaan. Masyarakat Jepang merupakan masyarakat pekerja keras, memiliki keuletan dan loyalitas tinggi terhadap perusahaannya. Hal inilah yang mendasari penulis untuk mendalami dan memahami sejauh mana pergeseran makna pekerjaan yang terjadi pada masyarakat muda Jepang hingga memunculkan istilah freeter.

2. Kerangka Teori

Dalam pembahasan skripsi ini penulis menggunakan beberapa konsep mengenai freeter dan pendekatan fenomenologis. Freeter adalah istilah yang banyak digunakan di Jepang untuk menyebut anak muda pekerja non-reguler, dan merupakan kelompok sasaran utama dari berbagai pangsa pasar pekerja muda terhitung sejak tahun 2000-an. Istilah yang merupakan singkatan dari ”freela nce


(23)

Arbeiter” pertama kali muncul diakhir 1980-an, ketika kaum muda menghadapi kesempatan kerja yang berlimpah pada saat gelembung ekonomi (OECD, 2009:55). Sejak tahun 1992, ketika gelembung ekonomi meningkat, tiga kata kunci seperti freeter, parasit tinggal, dan kompetensi sosial telah digunakan untuk menggambarkan fenomena sosial yang luar biasa yang diamati pada kalangan kaum muda Jepang (Foljanty-Jost, 2003:83).

Pendekatan fenomenologis penulis gunakan untuk menafsirkan fenomena atau gejala yang terjadi mengenai freeter dalam masyarakat Jepang, khususnya pada masyarakat muda Jepang yang secara langsung mengalami polemik freeter. Ada empat tahapan yang penulis gunakan dalam pendekatan fenomenologis yaitu dengan membaca arti dari keseluruhan, mengidentifikasi unit-unit arti, menilai signifikansi psikologis unit makna, dan menyintesis arti unit dan menyajikan deskripsi secara struktur (Langdrige, 2007:88). Dengan empat tahapan tersebut penulis mencoba membaca dan memahami freeter melalui konsep-konsep freeter yang telah ada sebelumnya dari beberapa buku dan jurnal, kemudian menentukan beberapa pokok permasalahan yang terpapar dalam ulasan mengenai freeter, memilah beberapa hal penting dan pokok dalam permasalahan yang muncul, hingga pada akhirnya menggabungkan keseluruhan permasalahan pokok dan memaparkan secara jelas dan terperinci kedalam satu pokok pembahasan freeter pada skripsi ini.

Fenomena yang terjadi dalam objek penilitian ini memiliki aspek sejarah didalamnya. Salah satu faktor pencetus munculnya freeter adalah resesi ekonomi Jepang yang berlangsung dalam waktu lama akibat dari kepanikan atas gelembung ekonomi yang terjadi sejak awal tahun 1990an hingga dekade 2000an.


(24)

Dampak dari resesi ekonomi terlihat nyata pada meningkatnya jumlah pengangguran dan beralihnya sistem perekrutan karyawan dengan mengacu pada kinerja, kemampuan dan integritas hingga berubahnya model kerja seumur hidup menjadi bekerja berdasarkan sistem kontrak yang terjadi dibanyak perusahaan Jepang akibat dari kepanikan resesi ekonomi. Hal ini yang kemudian memunculkan freeter yang menjadi opsi lain sebagai pekerja tidak tetap atau paruh waktu yang jumlahnya semakin bertambah dari tahun ketahun.

1.5 Tujuan Dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1.Untuk menjelaskan fenomena freeter dalam masyarakat Jepang dewasa ini. 2.Untuk menjelaskan perubahan pola pikir pekerja Jepang, dari pemikiran

awal tentang kesetiaan dan ketekunan dalam bekerja diperusahaan yang kemudian bergeser ke freeter dengan pemikiran penuh kebebasan tanpa tekanan dan menjelaskan segala dampak sosial dari kemunculan freeter.

2. Manfaat Penelitian

Hasil yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan memiliki manfaat bagi beberapa pihak tertentu, yaitu :

1.Bagi penulis, dapat mengetahui tentang fenomena freeter yang terjadi dalam lingkungan masyarakat muda Jepang, serta faktor-faktor yang menyebabkan munculnya freeter.


(25)

2.Bagi masyarakat luas pada umumnya dan mahasiswa Sastra Jepang pada khususnya, dapat menambah wawasan seputar freeter dan mengetahui bagaimana pola pikir masyarakat Jepang terhadap pekerjaan.

1.6 Metode Penelitian

Dalam setiap penelitian diperlukan adanya landasan metode penelitian yang digunakan sebagai penunjang dalam pencapaian tujuan penelitian. Dalam penelitian skripsi ini penulis menggunakan metode kualitatif. Langdrige (2007:2) mengatakan metode kualitatif adalah metode yang bersangkutan dengan deskripsi naturalistik atau penafsiran dari fenomena, dalam hal ini memiliki arti bagi orang-orang mengalaminya. Melalui metode ini penulis mengumpulkan dan mengolah informasi informasi kemudian dikelompokkan dan dilampirkan dalam bentuk penjelasan-penjelasan. Sedangkan tipe analisis dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif fenomenologis. Yaitu merupakan konsep analisis tentang pengalaman manusia dan cara di mana hal-hal yang dirasakan muncul sebagai suatu kesadaran (Langdrige, 2007:10).

Untuk memenuhi data-data yang diperlukan dalam penulisan skripsi ini penulis melakukan pengumpulan data melalui studi kepustakaan. Yaitu dengan mengumpulkan sumber-sumber berbagai buku dan referensi terkait, berhubungan langsung dengan permasalahan yang akan dipecahkan. Penulis memperoleh data dari sumber pustaka online berupa buku-buku elektronik (ebook) dan situs-situs website yang berhubungan dengan judul skripsi ini.


(26)

BAB II

GAMBARAN UMUM TENTANG MASYARAKAT PEKERJA JEPANG

2.1 Pandangan Masyarakat Jepang Terhadap Pekerjaan

Pekerjaan merupakan hal yang sangat penting bagi masyarakat Jepang. Selain sebagai mata pencarian untuk memenuhi kebutuhan hidup, pekerjaan juga dipandang sebagai suatu identitas diri dalam lingkungan sosial mereka. Ini dapat dilihat dari komunitas ataupun kelompok-kelompok dalam masyarakat Jepang yang terbentuk dari beberapa golongan jenis pekerjaan. Misalnya dalam suatu rumah tangga terdapat kepala rumah tangga yang bekerja pada suatu bidang pekerjaan dalam perusahaan, maka kelompok masyarakat yang terbentuk adalah kelompok masyarakat pekerja kantoran yang hanya berisi orang-orang dari perusahaan itu saja.

Makna pekerjaan bagi masyarakat Jepang bukan hanya sekedar mencari nafkah, dibalik itu ada makna lain yang tersirat. Yaitu pekerjaan sebagai pemberi makna atau arti hidup dalam diri seseorang. Pandangan ini mengacu pada bagaimana orang Jepang bekerja. Bekerja lembur hingga larut malam tidak dijadikan sebagai beban hidup, melainkan dijadikan sebagai hal paling berharga dan menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari (Blyton, 2010:139).

Memilih sebuah pekerjaan di Jepang tidaklah mudah, hal ini dilihat dari sudut pandang orang Jepang yang memiliki pola pikir kesetiaan terhadap sebuah perusahaan dimana tempat mereka bekerja. Mereka harus benar-benar jeli dalam


(27)

mencari sebuah pekerjaan, dikarenakan kelak mereka akan menjalani waktu yang panjang bekerja di perusahaan tersebut.

Ada beberapa jenis pekerjaan yang cukup populer di Jepang, diantaranya bekerja sebagai pegawai pemerintahan. Pekerjaan ini dianggap cukup bergengsi di Jepang, maka dari itu banyak kaum muda Jepang yang mempersiapkan diri dengan memilih sekolah dan universitas unggulan, agar dapat melamar bekerja sebagai pegawai negeri dengan beberapa departemen favorit didalamnya. Selain itu pekerjaan yang berdasarkan hobi juga menjadi favorit di Jepang diantaranya, pembuat manga, pekerja entertainment menjadi aktris/aktor, dan beberapa pekerjaan lain yang bersangkutan dengan hobi yang mereka geluti.

Orang Jepang sangat menghargai pekerjaan yang mereka jalani, mereka selalu berusaha bersikap professional dan totalitas dalam setiap tindakan yang diambil dalam pekerjaan. Tidak hanya itu orang Jepang juga cenderung suka menghabiskan waktu mereka untuk bekerja. Mereka lebih memilih berlama-lama di kantor daripada menghabiskan waktu untuk bersantai di rumah. Bahkan dihari liburpun sebagian pekerja Jepang banyak yang menghabiskan waktu untuk bekerja di perusahaannya.

Hal lain yang membentuk opini kuat terhadap masyarakat Jepang terhadap makna sebuah pekerjaan adalah jenis moral dan perasaan yang disadari dalam tiap individu mereka tentang pentingnya menjadi yang terbaik dalam setiap pekerjaan.

2.1.1 Karakteristik Pekerja Jepang

Masyarakat pekerja Jepang memiliki karakter bekerja yang bersifat umum dan memiliki persamaan dengan beberapa bangsa lain di kawasan Asia. Namun


(28)

yang menjadi pembeda dalam karakteristik pekerja Jepang adalah budaya kerja yang terbentuk dan sudah mengakar sejak ratusan tahun. Karakteristik tersebut antara lain tekad kuat, kemauan tinggi, kerja keras, dan memajukan negara Jepang (Ann Wan Seng, 2007:31).

Bekerja merupakan hal yang paling utama bagi masyarakat Jepang. Mereka menyadari pentingnya bangsa Jepang untuk ikut berperan dalam perekonomian dunia. Bangsa Jepang telah menyadari kekurangannya dalam sumber daya alam yang tidak banyak terkandung di tanah Jepang. Namun hal ini tidak lantas membuat bangsa Jepang kalah dalam bersaing dengan bangsa lain. Bangsa Jepang kemudian membentuk suatu kesatuan untuk menyelamatkan bangsanya. Langkah mendasar yang diambi adalah dengan menempa sumber daya manusia Jepang untuk lebih maju dalam mengembangkan produk hasil buatan dalam negeri agar dapat dipasarkan dengan skala internasional.

Di Jepang setiap pekerja mengerjakan segala seuatu sesuai dengan perannya masing-masing, mereka selalu bekerja dalam sebuah tim. Mereka tidak bekerja secara individu melainkan dalam sebuah tim atau grup (Ann Wan Seng, 2007:24). Mereka tidak bersaing dalam satu tim, namun bekerja bersama-sama sesuai perannya, dan saling menghargai teman satu tim lainnya.

Karakter lain dari pekerja Jepang adalah kesetiaan dalam satu pekerjaan. Kesetiaan ini diukur dari pekerja Jepang yang mau mengabdi bekerja seumur hidup pada suatu perusahaan. Dari kesetiaan ini mereka tidak mengharapkan jabatan tinggi, kenaikan gaji ataupun pelayanan ekstra yang diberikan perusahaan sebagai timbal-balik dari kesetiaan itu. Namun ada sebuah nilai lebih dari hidup mereka yang dirasakan sebagai suatu kebanggaan tersendiri bagi tiap individu


(29)

yang melakukannya. Rasa kesetiaan ini mengacu pada semangat Bushido seperti pada kehidupan samurai terdahulu yang sangat setia pada daimyou atau majikannya.

Selain itu karakter kuat yang tertanam dalam diri pekerja Jepang adalah semangat kerja tinggi. Mereka selalu bersemangat dalam melakukan suatu pekerjaan (Ann Wan Seng, 2007:27). Diawali dari sebuah kreatifitas tinggi dan merancang setiap urutan bekerja, kemudian dalam suatu tim mereka bekerja dengan penuh semangat dan percaya diri. Rasa semangat itu datang dengan sendirinya dalam tiap individu pekerja, dengan harapan setiap pekerjaan yang mereka lakukan dapat berguna bagi perusahaan ataupun bangsanya. Mereka tidak mau menyia-nyiakan waktu yang ada, setiap waktu luang selalu digunakan untuk hal positif dengan memunculkan ide-ide baru. Tidak ada waktu untuk bersantai. Semangat kerja tinggi seperti ini merupakan suatu potensi lebih dari pekerja Jepang.

2.1.2 Masyarakat Pekerja Jepang Pasca Resesi Ekonomi

Resesi ekonomi di Jepang berlangsung sejak awal tahun 1990an. Ini ditandai dari runtuhnya harga asset dan deflasi. Pada tahun ini Jepang mengalami suatu fase yang disebut sebagai "dekade yang hilang". Hal ini disebabkan keadaan ekonomi keuangan dan pengembangan potensi yang hilang. Penderitaan ekonomi dan keuangan ini diimbangi dengan ketidakstabilan politik besar (Thomas F. Cargill 2008:16).

Sejak munculnya permasalahan ekonomi dan politik Jepang yang berlangsung dalam kurun waktu panjang (1990-2001) menyebabkan berbagai


(30)

permasalahan sosial dalam masyarakat bermunculan. Dampak yang paling menonjol adalah sistem ketenaga-kerjaan di Jepang yang kemudian berubah. Dari pengelolaan penerimaan pegawai sampai pengendalian pensiun untuk pegawai yang telah lama bekerja.

Resesi pada era 1990an mengakibatkan jumlah pengangguran meningkat, hal ini dilakukan oleh perusahaan-perusahaan di Jepang untuk menekan angka pengeluaran dari pembiayaan gaji pegawai. Pada dasarnya pemberhentian kerja atau istilah PHK sangat jarang dilakukan oleh perusahaan di Jepang. Selama seorang pegawai berkelakuan baik, bekerja sesuai prosedur dan mau membaur dalam lingkungan sosial, sulit bagi sebuah perusahaan untuk mengambil tindakan PHK pada pegawai tersebut. Sebelum resesi terjadi banyak upaya yang dilakukan perusahaan untuk menghindari PHK, diantaranya dengan program transfer pegawai ke perusahaan lain yang masih bernaung dalam satu kelompok perusahaan atau pada anak perusahaan subkontraktor (Thomas F. Cargill 2008:41). Namun resesi ekonomi yang berkepanjangan memaksa perusahaan-perusahaan di Jepang untuk mengambil langkah PHK.

Akibat dari PHK besar-besaran yang terjadi pada massa resesi ekonomi meningkatkan jumlah pengangguran dan perekonomian Jepang pun seperti jalan ditempat. Tidak ada kemajuan dan perubahan yang tampak secara signifikan. Ditambah lagi masalah perpolitikan yang tidak stabil. Membuat keadaan Jepang semakin suram. Untuk mengatasi hal ini dilakukan beberapa perubahan dalam ketenaga-kerjaan oleh perusahaan di Jepang. Sistem bekerja seumur hidup dan pola tingkatan upah senioritas berubah. Banyak perusahaan menggunakan jasa


(31)

tenaga kerja dengan sistem kontrak dan pekerja paruh waktu. Hal ini juga didukung oleh perubahan hukum ketenaga-kerjaan di Jepang.

Pasca resesi ekonomi jasa tenaga kerja kontrak dan tenaga kerja paruh waktu meningkat dari segi jumlah. Hal yang kini diharapkan dari sistem tenaga kerja ini sangat mengutamakan kualitas dari kinerja pekerja. Sebuah survey pada tahun 2004 yang dilakukan oleh Japan Management Association menemukan bahwa 83 persen dari 227 perusahaan yang berpartisipasi telah memperkenalkan sistem manajemen sumber daya manusia berbasis kinerja yang terjadi pada era pasca-gelembung ekonomi (Blyton 2010:126).

Permasalahan sosial lain dalam bidang ketenga-kerjaan yang kemudian muncul pasca resesi ekonomi adalah permaslahan gender. Sebelum permasalahan ekonomi muncul tampak jelas perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan. Dimana perempuan lebih cenderung memilih menghabiskan waktu untuk mengurus rumah tangga dan laki-laki yang berperan sebagai pencari nafkah tunggal dalam sebuah keluarga. Namun pasca resesi ekonomi terdapat perubahan yang cukup mencolok. Banyak wanita Jepang yang memilih menjalani karir sebagai pekerja dan tidak sepenuhnya menjadi ibu rumah tangga. Begitu juga yang dilakukan kaum pria, mereka tidak mempermasalahkan untuk meluangkan sedikit waktu mereka untuk mengurus anak dan masalah rumah tangga. Seperti yang dikemukakan oleh Blyton (2010:126) :

While gender roles in Ja pa n rema in quite clea rly differentia ted in compa rison to those in ma ny Western countries, they have gra dua lly begun to blur, with women increa singly choosing (or desiring) to pursue ca reers ra ther than be full-time housewives, a nd men displa ying more openness to being involved a t home and with child-ra ising.


(32)

Sementara peran gender di Jepang masih cukup jelas dibedakan dibandingkan

dengan yang dibanyak negara Barat, mereka secara bertahap mulai kabur, dengan perempuan semakin memilih (atau mendambakan) untuk mengejar karir daripada menjadi ibu rumah tangga penuh waktu, dan laki-laki menampilkan lebih keterbukaan untuk terlibat di rumah dengan membesarkan anak.

2.2 Pola Pikir Kaum Muda di Jepang Terhadap Pekerjaan

Setiap orang tua di Jepang selalu mengawasi perkembangan pendidikan anaknya dengan harapan ketika anak mereka berhasil lulus melalui universitas unggulan, mereka akan memperoleh pekerjaan yang baik pula. Pola pikir ini menempa kaum muda Jepang menjadi pemuda yang dinamis, penuh semangat dan bercita-cita tinggi. Pemikiran dan motivasi yang baik yang diberikan oleh orang tua terhadap anaknya juga mencerminkan dari keberhasilan orang tua mereka terdahulu. Orang tua yang mau berusaha keras dan giat bekerja akan mewarisi sifat dan semangat juang yang sama kepada anak-anaknya dikemudian hari.

Sebagian besar kaum muda di Jepang menilai sebuah pekerjaan sebagai penentu kesuksesan hidup. Mereka memandang kehidupan sarariman atau kaum pekerja Jeapang sebagai sebuah impian, dengan pola hidup seorang sarariman yang eksklusif dan penuh tantangan. Pola hidup sarariman sering tergambar dalam serial drama televisi di Jepang. Maka untuk mewujudkan impian tersebut. mereka menghabiskan waktu untuk belajar giat agar lulus dari sekolah atau


(33)

universitas dengan hasil yang cukup memuaskan yang nantinya dapat mempermudah mereka dalam mencari sebuah pekerjaan.

Kaum muda Jepang sudah sangat terbiasa dengan dunia kerja. Mereka ditempa di sekolah maupun dari lingkungan keluarga. Orang tua mereka mengajarkan dan membiasakan diri untuk berpikir bahwa segala sesuatu didapat dari hasil kerja keras. Seperti kehidupan yang mereka jalani yang merupakan hasil dari jerih payah orang tua bekerja hingga mampu menghidupi keluarga dan membiayai pendidikan anak-anaknya. Anak-anak sekolah di Jepang tidak mendapatkan uang saku ekstra dari orang tua mereka. Jika mereka menginginkan sesuatu atau ingin membeli suatu barang yang diidam-idamkan, maka mereka mencari uang saku dengan bekerja paruh waktu dengan bekerja sebagai penjaga toko, kasir swalayan, pelayan restaurant dan lainnya yang dapat mereka kerjakan diluar jam belajar di sekolah. Ditambah lagi pendidikan dan pengalaman yang mereka dapat dilingkungan sekolah yang mengajarkan mereka untuk hiudup mandiri. Disiplin terhadap waktu diterapkan disemua sekolah di Jepang. Dari keselurhan proses ini dengan sendirinya menempa pemuda Jepang sebagai pemuda yang siap untuk bekerja dalam segala kondisi.

2.2.1 Karakteristik Kaum Pekerja Muda Jepang

Kaum pekerja dari kalangan muda Jepang bekerja dengan antusias tinggi. Mereka bersaing untuk menjadi yang terbaik dalam lingkungan tempat mereka bekerja. Kaum muda Jepang banyak diberikan kebebasan untuk berkreatifitas, walaupun pada akhirnya keputusan diambil oleh atasan mereka yang lebih senior dalam perusahaan, namun mereka tidak berhenti menunjukkan inovasi dan ide-ide


(34)

segar yang muncul dari buah pikir mereka. Tidak adanya batasan untuk berkreatifitas membuat pemuda Jepang menikmati setiap pekerjaan mereka.

Disatu sisi ada sebagian kecil kaum muda Jepang yang berpikir diluar dari kebiasaan di Jepang pada umumnya. Pada saat mayoritas kaum muda Jepang berusaha keras dan berjuang keras dalam pekerjaannya, sedang kaum minoritas kaum muda Jepang malah memilih sebaliknya dengan bersantai menghabiskan waktu mereka hanya untuk kepentingan pribadi. Mereka tergolong dalam kelompok “parasite singles” memiliki pola hidup santai dan tidak mau bersaing. Pada umumnya mereka tinggal menetap bersama orang tua walaupun dalam usia produktif. Segala kebutuhan mereka secara finansial masih bergantung pada orang tua. Diperkirakan saat ini jumlah “parasite singles” mencapai lebih dari 10 juta jiwa (Foljanty-Jost, 2003:84).

Penyebab munculnya “parasite singles” diyakini berasal dari keluarga itu sendiri. Ada ketakutan dari orang tua bila anaknya gagal dalam menjalani hidup secara mandiri. Maka orang tua lebih memilih untuk menjaga dan memanjakan anak-anaknya walaupun si anak sudah memasuki usia produktif.

Gambaran dari “parasite singles” ini tidak menjadi acuan terhadap karakteristik awal kaum muda Jepang, melainkan adanya sedikit pergeseran pola hidup dan pikiran sebagian kecil kaum muda Jepang.

2.2.2 Kaum Pekerja Muda Jepang Pasca Resesi Ekonomi

Resesi ekonomi yang melanda Jepang ditahun 1990an merupakan massa suram bagi pasar tenaga kerja Jepang. Untuk menekan angka pengeluaran dari gaji pegawai dan efisiensi jumlah pegawai banyak dari perusahaan Jepang


(35)

melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap karayawan lama yang dinilai tidak produktif. Jumlah penggangguran meningkat tajam. Divisi sumberdaya manusia dari setiap perusahaan merubah sistem ketenaga-kerjaan dengan hanya mencari tenaga kerja berdasarkan kinerja. Calon pegawai yang ingin melamar sebagai pegawai tetap diseleksi dengan ketat. Hal ini semakin mempersulit para pencari kerja dari kaum muda untuk memperoleh pekerjaan yang mereka inginkan. Besarnya persaingan dalam bursa tenaga kerja, meruntuhkan keyakinan dan semangat sebagian kaum muda untuk menjadi pegawai tetap dalam sebuah perusahaan.

Trend dalam mencari pekerjaanpun berubah seiring dampak krisis ekonomi dan permasalahan politik yang berkepanjangan. Kesulitan mencari pekerjaan sebagai pegawai tetap dalam sebuah perusahaan, banyak dari kaum muda Jepang memilih bekerja sebagai pekerja paruh waktu atau pekerja kontrak. Kemudian dari sini pasar tenaga kerja untuk pekerja kontrak dan pekerja paruh waktu meningkat tajam.

Pola kerja kontrak dan bekerja paruh waktu kemudian menjadi gaya hidup kaum muda Jepang. Perusahaan mengambil nilai keuntungan dari hal ini. Dengan meminimalisir pengeluaran perusahaan dalam pembiayaan perekrutan pegawai dan biaya pelahatihan magang untuk pegawai baru. Dari sudut pandang kaum muda pekerja Jepang cara ini dirasa cukup efektif untuk mencari pekerjaan. Bagi pekerja paruh waktu, adanya waktu luang yang tersisa setelah bekerja kemudian dimanfaatkan untuk hal lain. Yang biasa dilakukan adalah dengan menghabiskan waktu melakukan hobi mereka seperti membaca komik, berdandan ala cosplay,


(36)

bermain di game center atau sekedar berkumpul dengan teman-teman di bar-bar yang menyediakan fasilitas karaoke.

2.3 Pasar Tenaga Kerja di Jepang

Sejak krisis ekonomi pada era 1990an berlangsung di Jepang, terdapat perubahan signifikan dari bidang ekonomi salah satu diantaranya dari sisi ketenaga kerjaan yaitu tingkat pengangguran meningkat, pergeseran struktur pasar tenaga kerja dari pekerjaan seumur hidup ke dalam pekerjaan paruh waktu dan kerja jangka pendek (Ishida & Slater, 2010:7). Perubahan ini didasari oleh keputusan perusahaan untuk mengurangi jumlah pengeluaran dalam segi perekrutan, dimana kelompok pekerja tetap lebih banyak menelan biaya dari segi perekrutan hingga massa pensiun.

Pada umumnya tenaga kerja paruh waktu dan pekerja kontrak berasal dari kaum muda Jepang dari lulusan sekolah atau universitas diranking menengah kebawah. Ada sebuah strata sosial dalam masyarakat Jepang yang membedakan kelas pekerja dari universitas unggulan dan universitas non-unggulan. Setiap mahasiswa lulusan universitas unggulan biasanya mendapat kemudahan untuk mendapatkan pekerjaan yang bagus dengan gaji dan tunjangan kerja yang cukup memuaskan, sementara mahasiswa lulusan universitas kelas menengah kebawah dan non-unggulan kalah bersaing dengan mahasiswa lulusan unviversitas unggulan, kemudian mereka masuk kedalam golongan pekerja kontrak dan paruh waktu.

Krisis ekonomi berkepanjangan dan ketidak stabilan perekonomian Jepang, memaksa pemerintah melakukan deregulasi pada bidang pasar tenaga kerja.


(37)

Dengan tujuan mengembalikan perekonomian Jepang dalam massa kejayaan dalam daya saing industri dan menyeimbangkan antara hak dan kewajiban karyawan dalam sebuah perusahaan. Serta pengaturan jasa tenaga kerja pada perusahaan penyalur tenaga kerja ( Mouer & Kawanishi, 2005:111).

2.3.1 Peluang Bekerja di Jepang

Walau Jepang terpuruk dalam krisis ekonomi yang cukup lama, namun pasar tenaga kerja di Jepang cukup menjanjikan, sebagian dikarenakan perubahan sistem perekerutan tenaga kerja perusahaan-perusahaan di Jepang dan beberapa penyebab lain yang satu diantaranya diakibatkan dari daya saing perusahaan Jepang dengan beberapa kompetitor dari negara-negara lain.

Sebagian besar orang Jepang memfokuskan diri untuk bersaing memperoleh pekerjaan yang difavoritkan. Lulusan dari setiap universitas mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya untuk lulus dengan hasil yang baik dan mendapat pekerjaan sesuai dengan yang diharapkan. Menjadi bagian dari sebuah perusahaan terbaik merupakan gengsi tersendiri bagi orang Jepang. Persaingan yang cukup tinggi untuk memperoleh pekerjaan dan berusaha menghindari jatuhnya posisi jabatan dalam perusahaan merupakan gambaran dari situasi peluang bekerja Jepang saat ini ( Mouer & Kawanishi, 2005:99).

Kompetisi persaingan untuk mendapatkan peluang bekerja di perusahaan bonafid dimulai sejak sekolah menengah, mempersiapkan diri untuk masuk universitas ungulan dilakukan dengan cara yang keras, ujian masuk universitas yang harus dilalui terlebih dahulu merupakan jalan yang cukup sulit dan berat. Hingga banyak kaum muda Jepang yang berusaha keras dan belajar dengan giat


(38)

untuk dapat lulus ujian. Ada anggapan dari mereka jika berhasil lulus kesebuah universitas unggulan walaupun dilalui dengan perjuangan keras, namun setelah masuk kedalam dan menjadi bagian dari universitas tersebut maka dengan sendirinya ketika lulus dari universitas tersebut mereka akan mendapat pekerjaan yang baik pula.

Resesi ekonomi yang melanda Jepang merubah sebagian tatanan pola hidup orang Jepang, tidak terkecuali pada perusahaan Jepang yang merasakan imbas dari resesi ekonomi secara langsung. Kebiasaan lama tentang pandangan bekerja dan pekerjaanpun berubah. Gaya hidup sarariiman atau pekerja Jepang berubah. Perusahaan-perusahaan di Jepang mulai mengurangi jumlah pegawai tetap. Perusahaan kini lebih menatap pada sisi efektifitas dan kinerja karyawan, merekapun mempekerjakan karyawan dengan sistem kontrak atau merekrut beberapa pekerja paruh waktu. Dari sini pasar tenaga kerja sebagai pekerja kontrak pun meningkat drastis. Peluang untuk bekerja pada sebuah perusahaan semakin besar. Karena berkurangnya nilai lama etika bekerja perusahaan yang memandang senioritas dan mengabdi seumur hidup pada perusahaan sudah tidak dapat dipertahankan lagi. Kini pola baru yang muncul adalah merekrut pegawai sesuai dengan apa yang dibutuhkan dari tiap divisi dalam sebuah perusahaan. Hingga banyak peluang pekerjaan tercipta yang tidak menutup kemungkinan bagi setiap orang Jepang untuk dapat bekerja dalam sebuah perusahaan besar dengan merujuk pada skill dan kinerja yang dimiliki oleh seorang pegawai itu sendiri. Dalam hal ini persaingan untuk menempati posisi sebagai pekerja tetap semakin berat dirasakan oleh lulusan baru dari universitas maupun dari sekolah menengah,


(39)

karena perusahaan hanya memilih orang-orang yang tepat untuk mengisi tempat sebagai pekerja tetap.

2.3.2 Klasifikasi Gender Dalam Pekerjaan

Bangsa Jepang memiliki pandangan tersendiri terhadap persamaan gender. Terdapat pembeda yang cukup jauh antara kesamaan hak dan kewajiban didalam komunitas masyarakat Jepang terhadap kaum laki-laki dan perempuan. Perempuan Jepang dianggap sebagai kaum yang lemah yang hanya mengurusi urusan rumah tangga. Perlakuan ini terlihat seperti tidak memperbolehkan perempuan mengerjakan pekerjaan laki-laki, tidak boleh ikut dalam berperang atau mengerjakan pekerjaan kasar yang biasa dilakukan kaum pria. Hal ini tergambar dalam pepatah konfusianisme bahwa perempuan muda harus menuruti perintah ayahnya, perempuan dewasa menuruti suaminya, perempuan tua merawat anaknya (Reischauer, 1977:175).

Diskriminasi dalam pekerjaan tampak jelas bagi wanita Jepang. Mereka hanya diberikan waktu sedikit untuk bekerja diluar rumah. Urusan rumah tangga mengurus anak dan lainnya merupakan hal yang utama yang dibebankan pada kaum wanita Jepang. Hal ini membuat wanita Jepang semakin tertekan, hingga pada saat ini banyak dari wanita Jepang yang memutuskan untuk meniti karir terlebih dahulu dari pada memilih untuk menikah. Karena jika mereka sudah menikah, maka mereka tidak dapat menekuni karir dan hanya bergelut dalam rumah tangga, mengurusi anak dan suami.

Perubahan organisasi industri ditahun 1970-an dan 1980-an, terutama perluasan industri jasa, memberikan kesempatan lebih banyak pekerjaan bagi perempuan (Tipton, 2008:209). Hal ini menjadi angin segar bagi perempuan


(40)

Jepang dimana mereka mulai mendapatkan hak unutuk bekerja dan memulai diri unutuk meniti karir. Walaupun pandangan awal bangsa Jepang terhadap perempuan tidak banyak berubah khususnya bagi perempuan yang sudah menikah, mereka tetap harus memprioritaskan rumah tangga dari pada pekerjaan. Kebiasaan ini terlihat dari jarangnya ibu rumah tangga Jepang yang menghabiskan waktu untuk bersantai. Waktu yang tersisa setelah selesai bekerja akan selalu digunakan untuk kepentingan dalam rumah tangga, seperti mengurus rumah dan mempersiapkan segala sesuatu sebelum suami mereka pulang ke rumah.


(41)

BAB III

FENOMENA F REETER PADA MASYARAKAT JEPANG

3.1 Awal Mula Kemunculan F reeter

Freeter merupakan sebuah fenomena di Jepang yang muncul diera tahun 1980an. Freeter atau dalam bahasa Jepang biasa disebut furiitaa merupakan penggabungan dari dua bahasa asing berbeda yaitu “free” dalam bahasa Inggris yang berarti “bebas” dan kata “arbeiter” dalam bahasa Jerman yang berarti “pekerja’. Freeter menggambarkan sebuah situasi dimana seseorang dalam usia produktifnya memilih bekerja sebagai pekerja paruh waktu dan tidak menetap dalam sebuah pekerjaan dalam waktu lama. Golongan freeter ini diantaranya meliputi mereka yang bekerja sebagai paruh waktu atau karyawan sementara, mereka yang menganggur dan mencari pekerjaan paruh waktu atau pekerjaan sementara, dan bagi mereka yang tidak aktif (dengan alasan selain rumah tangga) dan bersedia untuk menerima bekerja paruh waktu atau bekerja sementara (OECD, 2009:55).

Istilah freeter muncul pertamakali di era tahun 1980an sejak munculnya gelembung ekonomi di Jepang. Meningkatnya permintaan tenaga kerja paruh waktu membuat jumlah freeter semakin bertambah dari waktu ke waktu. Istilah freeter mengacu pada orang-orang dalam usia produktif antara 15-35 tahun selain ibu rumah tangga, yang tidak secara aktif mencari pekerjaan dan keinginan tersendiri bagi mereka yang tidak ingin menjadi pegawai tetap dalam sebuah perusahaan. Freeter tidak hanya datang dari mereka yang tidak memiliki kemampuan atau keterampilan khusus dalam suatu bidang namun juga muncul dari lulusan sekolah maupun universitas. Pilihan menjadi freeter sebagian dianggap sebagai gaya hidup yang bebas dan mudah didukung oleh pekerjaan kasual dengan pendapatan tidak lebih dari 800 yen perjam (Foljanty-Jost, 2003:83).


(42)

di Jepang dan beberapa permasalahan sosial dalam lingkup masyarakat Jepang. Berikut penulis akan mencoba menguraikan berbagai sumber permasalahan yang menyebabkan munculnya freeter dari sisi ketenaga kerjaan dan kehidupan sosial dalam masyarakat Jepang.

Dimulai dari sistem ketenaga kerjaan di Jepang yang disadari sebagai salah satu penyebab utama munculnya fenomena freeter. Ada beberapa sistem yang pada awalnya sudah menjadi tradisi ditiap-tiap perusahaan Jepang seperti senioritas dan mengabdi seumur hidup dalam sebuah perusahaan. Sebagai contoh dari sistem tradisi senioritas dan mengabdi seumur hidup seperti, reward yang didapatkan oleh setiap karyawan dalam perusahaan tidak dinilai dari kinerja yang mereka perbuat melainkan dari berapa lama mereka mengabdi dalam perusahaan tersebut. Seorang karyawan tidak dapat dengan mudahnya menaiki posisi jabatan lebih tinggi lagi jika masih ada karyawan lain yang masa pengabdiannya lebih lama. Dari sistem ini disadari mengakibatkan menurunnya daya saing antar karyawan untuk berkembang lebih baik.

Ketika gelembung ekonomi di Jepang muncul diiringi dengan resesi ekonomi yang berkepanjangan memaksa perusahaan-perusahaan Jepang untuk merubah sistem kerja berdasar tradisi senioritas dan mengabdi seumur hidup, yang dianggap sebagai penghambat dari kemajuan sebuah perusahaan menjadi sistem kerja yang berdasarkan kinerja dan kemampuan karyawan. Hal ini menyebabkan jumlah pemutusan hubungan kerja meningkat. Pekerja diusia non-produktif yang dianggap tidak mampu berkontribusi besar pada perusahaan dikurangi dengan PHK, sementara bagi pekerja muda yang tidak berkembang akan dipindahkan keperusahaan lain yang merupakan bagian dari perusahaan korporasi ataupun anak perusahaan. Dari sini angka pengangguran semakin meningkat, namun dilain pihak permintaan atas tenaga kerja baru meningkat untuk mengisi kekosongan dari posisi yang ditinggalkan oleh pekerja terdahulu. Kemudian muncul sebuah sistem baru perekrutan pegawai yang bekerja berdasar kontrak kerja tahunan dan diseleksi berdasarkan kemampuan, kinerja dan penyesuaiaan terhadap kebutuhan


(43)

perusahaan. Para pekerja dengan sistem baru ini kemudian masuk kedalam golongan freeter, dimana mereka bekerja secara paruh waktu dan tidak menetap dengan berpindah-pindah pekerjaan setelah masa periode kontrak berkahir.

Sementara dari sudut pandang sosial masyarakat kemunculan freeter dilandasi dari pemikirna kaum muda Jepang yang seiring berubah. Mereka melihat kebelakang dari apa yang orang tua mereka peroleh saat bekerja menjadi pegawai tetap dan mengabdi seumur hidup bagi perusahaan. Orang tua mereka tidak mendapatkan reward seperti bonus ataupun kemakmuran ekonomi keluarga setelah pensiun, selain pengakuan dan penghargaan diri sebagai pekerja yang baik dan setia yang diberi oleh perusahaan. Mereka menilai apa yang dilakukan oleh orang tua mereka terdahulu merupakan hal yang sia-sia, bekerja meluangkan waktu secara totalitas, lebih mementingkan perusahaan dari pada keluarga namun tidak mendapatkan hasil yang lebih baik setelahnya. Dari sini mereka kemudian beralih dengan hanya memilih bekerja sebagai freeter. Mereka menganggap jika bekerja sebagai freeter mereka memiliki waktu luang lebih untuk diri mereka, disamping itu pula tidak adanya ikatan kerja yang membebani mereka untuk bekerja secara totalitas dan bekerja ekstra keras. Pemikiran yang sama kemudian muncul dari kaum intelektual seperti lulusan dari universitas yang jauh hari mempersiapkan diri untuk menjadi freeter. Pengamatan ini didukung oleh hasil survei terhadap lulusan sekolah tinggi Tokyo Metropolitan, yang menunjukkan bahwa 20% dari lulusan mereka berkeinginan untuk menjadi freeter. Yang disertai oleh pemikiran dan keyakinan pemuda Jepang, misalnya "saya tidak ingin melakukan pekerjaan yang tidak saya sukai", "saya bisa hidup tanpa harus pekerjaan yang mapan hari ini" atau "saya ingin memberikan prioritas kepada apa yang ingin saya lakukan, bukan dari kerja ketika saya masih muda" (Foljanty-Jost, 2003:83).

Masalah sosial dalam lingkungan kaum muda Jepang turut mempengaruhi pilihan mereka menjadi freeter, diantaranya adanya ketakutan tersendiri ketika gagal bersaing


(44)

hidup mandiri jauh dari orang tua, keinginan untuk bebas dan tidak memiliki keterikatan dalam pekerjaan dan krisis kepercayaan diri untuk mampu bersaing dengan orang lain.

Kaum pekerja tidak tetap terkadang juga dianggap sebagai bagian dari freeter namun ada perbedaan mendasar antara pekerja tidak tetap dan freeter. Berikut penggolongan freeter berdasarkan riset yang dilakukan oleh lembaga survey OECD pada tahun 2006 :

1. Mereka yang menikah bagi wanita berusia 25-34 yang merupakan pekerja tidak tetap

2. Siswa sekoolah yang bekerja tidak tetap (1,1 juta untuk kelompok usia 15-34 pada tahun 2006)

3. Laki-laki pekerja tidak tetap selain paruh waktu dan temporer (seperti agen tenaga kerja sementara dan pekerja kontrak, berjumlah sekitar 0,9 juta pada tahun 2006)

4. Orang-orang yang tidak bekerja namun termasuk dalam kategori freeter

Diagram di bawah ini menunjukkan angka pertumbuhan freeter dan pekerja tidak tetap dimulai pada tahun 1987 hingga tahun 2006 :


(45)

Gambar diagram 3.1.a (jumlah dalam hitungan -juta)

(Sumber: Ministry of Internal Affairs and Communications (MIC), (badan survey khusus mengenai ketenaga kerjaan) sampai pada 2001; dan Survei Angkatan Kerja (tabulasi rinci) sejak 2002, (OECD, 2009:56) ).

Singkatnya, freeter dapat dipertimbangkan untuk masuk dalam kategori pekerja tidak tetap serta beberapa pemuda yang tidak bekerja yang bersedia untuk bekerja sebagai pekerja tidak tetap. Dari gambar diagram 3.1.a di atas dapat terlihat peningkatan jumlah freeter yang sudah menembus angka dua juta ditahun 2002 dan kemudian berangsur menurun menuju tahun 2006, ini disebabkan dari adanya perubahan dalam sumber data tahun 2002, hasil dari perbedaan seperti metode survei dan periode referensi.

Sejak awal gelembung ekonomi dimulai hingga masa resesi yang berkepanjangan menyebabkan meningkatnya jumlah freeter, berikut diagram peningkatan jumlah freeter berdasarkan studi The Japan Institute of Labor pada tahun 2001 (Mouer & Kawanishi, 2005:124) :

T

abel 3.1.b Jumlah freeter pada bulan Agustus 2000

Kemunculan freeter sudah dirasakan sejak tahun 1982 dengan angka 500.000 jiwa, 790.000 pada tahun 1987 dan meningkat hingga satu juta jiwa lebih pada tahun 1992, hingga tahun 2000 diperkirakan jumlah freeter mencapai 1.930.000 jiwa lebih.

Usia Pria Wanita

(belum menikah)

Total (x 10.000)

15–24 45 53 98

25–34 38 57 95


(46)

Table 3.1.b diatas menunjukkan jumlah dan kategori freeter berdasarkan usia dan gender juga termsauk pria yang sudah menikah (Mouer & Kawanishi, 2005:123).

3.1.1 Pergeseran Pola Pikir Kaum Muda Jepang Terhadap Etos Kerja

Pasca perang dunia kedua berakhir Jepang dapat kembali bangkit dari keterpurukan dengan cepat. Hingga pada dekade 1970an Jepang berhasil masuk dalam persaingan dunia dari segala bidang diantaranya bidang ekonomi. Jepang terlihat begitu menonjol dibandingkan negara-negara lain di kawasan Asia. Kebangkitan Jepang yang begitu cepat ini tidak luput dari pemikiran dan semangat orang Jepang yang ingin keluar dari zona keterpurukan pasca perang dunia kedua. Namun semua keberhasilan yang mereka peroleh dalam kemajuan bidang ekonomi tidak diraih dengan mudah. Semua didapat dari hasil perjuangan keras dan giat masyarakat JEpang untuk mengembalikan harga diri bangsa. Segala kesenangan, kemewahan dan kekayaan negara didapat dari hasil disiplin ketat, usaha tanpa kenal lelah, dan semangat kerja keras yang telah diwarisi turun-temurun oleh pendahulu mereka sebelumnya (Ann Wan Seng, 2006:8).

Terdapat banyak pola pikir orang Jepang untuk maju yang diwarisi oleh pola pikir orang Jepang terdahulu. Seperti terlihat semangat kerja tinggi, disiplin dan loyalitas tinggi yang merupakan aplikasi dari semangat juang bushido pada era samurai. Walaupun pada jaman modern ini samurai sudah tidak ditemukan namun semangat juang hidup mereka masih tertanam dalam masing-masing orang Jepang hingga saat ini. Pola pikir dan semangat bushido umumnya diterapkan pada setiap pekerja Jepang. Ini terlihat dari keuletan, disiplin kerja dan loyalitas para pekerja dalam tiap-tiap perusahaan Jepang. Setiap apa yang menjadi ketentuan dalam dalam perusahaan tidak pernah dilanggar, bahkan mereka dapat bekerja dengan lebih banyak menghabiskan waktu bagi perusahaannya dari pada keluarga. Apa yang menjadi permasalahan perusahaan merupakan permasalahan yang dipikul bersama oleh setiap pekerja. Dalam hidup mereka bekerja totalitas bagi perusahaan merupakan kebanggan tersendiri yang kemudian akan


(47)

dipandang dalam lingkungan mereka. Mereka selalu memberikan yang terbaik untuk perusahaan dimana mereka bekerja. Mereka bekerja melebihi batas waktu yang ditentukan dari 8 jam bekerja menjadi 12 jam bekerja dalam satu hari. Mereka rela kerja lembur walaupun tidak mendapatkan gaji ekstra dari hasil lembur mereka. Semata-mata hanya untuk memajukan perusahaan. Akibat dari hal ini tidak jarang dari pekerja Jepang ditemui dalam keadaan stress berat dengan tekanan mental yang memuncak hingga menyebabkan kematian. Fenomena ini disebut sebagai karoshi, yaitu kematian yang diakibatkan karena terlalu banyak bekerja. Diantara yang menyebabkan munculnya ka roshi adalah stress berlebihan karena tuntutan bekerja sepanjang hari dalam satu minggu, dengan jumlah jam kerja yang banyak namun penghasilan yang mereka peroleh tidak sebanding dengan apa yang mereka perbuat kemudian menjadi beban mental yang berat hingga akhirnya jatuh sakit dan mati (Pujiastuti 2007:42). Walaupun tanpa ada paksaan dari perusahaan namun sebagian dari para pekerja Jepang masih mengaplikasikan hal ini sebagai kebanggaan dan kepuasan tersendiri apabila berhasil mengangkat harkat dan martabat perusahaan.

Namun sejak terjadinya gelembung ekonomi yang diikuti dengan resesi ekonomi di Jepang pada akhir tahun 1980an mengakibatkan struktur kerja di perusahan-perushaan Jepang bergeser dengan mengikuti pola ekonomi neo-liberal yang terjadi diseluruh dunia. Perubahan permintaan tenaga kerja diperkuat oleh strategi perusahaan yang dirancang untuk mempertahankan margin keuntungan selama menghadapi masa kesulitan ekonomi (Ishida & Slater, 2010:162). Hal ini kemudian memunculkan kepanikan bagi para pekerja Jepang karena banyak perusahaan beralih merekrut pekerja paruh waktu. Dengan kemungkinan adanya pemutusan hubungan kerja secara massal atau transfer pekerja ke perusahaan lain.

Sementara itu banyaknya permintaan bagi pekerja paruh waktu memberikan kesempatan yang besar bagi para fresh graduate untuk mengisi lowongan-lowongan yang


(48)

tetap bagi fresh graduate dari SMU ataupun Universitas semakin kecil, dikarenakan keputusan perusahaan-perusahaan Jepang yang memilih mengurangi pengeluaran perusahaan dalam perekrutan pegawai tetap dan memilih pekerja paruh waktu dengan alas an pengendalian resesi ekonomi.

Salah satu sudut pandang dari hal ini terfokus pada kaum muda yang kemudian lebih memilih untuk keluar dari pandangan pekerja tetap dengan beralih menjadi pekerja paruh waktu. Muncul pemikiran dari kaum muda Jepang untuk tidak mengikuti apa yang orang tua mereka perbuat bagi perusahaannya. Sebagian kaum muda Jepang memandang bekerja sebagai pekerja tetap dengan bekerja keras dan loyal terhadap perusahaan dimana tempat mereka bekerja, hanya akan menghabiskan waktu dan tenaga. Seperti orang tua mereka terdahulu saat bekerja keras mengorbankan seluruh waktu dan kesenangan pribadi untuk memulihkan perekonomian Jepang pasca perang dunia kedua, dengan kerja mengabdi seumur hidup dan penuh totalitas pada perusahaan, namun tidak mendapatkan gaji yang setimpal dari apa yang telah diberikan. Beragam spekulasi muncul mengenai pergeseran pola pikir kaum muda Jepang, sebagian menilai pilihan menjadi pekerja paruh waktu muncul karena adanya keinginan kuat dari pemuda Jepang untuk hidup bebas tanpa tekanan dan mencari kesenangan diri sendiri semata-mata dilakukan untuk mengejar mimpi sendiri dan bukan impian perusahaan. Disaat pemikiran terhadap pekerja paruh waktu dimunculkan untuk menanggulangi permasalahan resesi ekonomi dan fleksibilitas dunia ketenaga kerjaan di Jepang, pekerja paruh waktu kemudian berubah sebagai gaya hidup baru kaum muda Jepang. Dengan anggapan dari pemuda Jepang bahwa tidak ada pelajaran penting yang dapat diperoleh dari bekerja sebagai pekerja tetap dengan pengorbanan dan tanggung jawab kolektif (dalam kehidupan berkelompok) yang

diperlukan untuk membuat mereka

bertanggung jawab dalam lingkungan sosial masyarakat Jepang dewasa. Apa yang dilakukan penuda Jepang saat ini berbeda jauh dengan para pendahulu mereka. Hingga muncul anggapan sebagian kaum muda Jepang yang memilih hidup sebagai freeter atau


(49)

pekerja paruh waktu dirasakan tidak memeluk etos kerja Jepang (Ishida & Slater, 2010:162).

3.1.2 Dampak F reeter Terhadap Lingkungan Pekerjaan

Seiring bentuk perubahan dalam perekrutan tenaga kerja pada perusahaan Jepang yang lebih memilih pekerja tidak tetap dalam perusahaannya mengakibatkan timbulnya berbagai permasalahan sosial dalam lingkungan pekerjaan. Freeter yang juga termasuk kedalam golongan pekerja tidak tetap juga tidak terlepas dalam mengalami suatu permasalahan dalam lingkungan kerja. Berbagai permasalahan sosial yang timbul diantaranya meliputi kesenjangan sosial antara pekerja tetap dan karyawan konrak atau pekerja tidak tetap. Pekerja tidak tetap mendapatkan upah yang lebih sedikit dibandingkan pekerja tetap juga kurangnya jaminan kesehetan dan tunjangan setelah habis masa kontrak. Ketidak samaan penghasilan antara pekerja tetap dengan pekerja tidak tetap membuat kesenjangan kehidupan dalam pekerjaan semakin terlihat jelas (Cargill & Sakamoto, 2008:246), seperti terlihat pada diagram dibawah ini :


(50)

Gambar 3.1.2.a : Perbedaan gaji pekerja tetap dan pekerja tidak tetap rata-rata perjam. Sumber : The Labor Market Policy Research Commission (2005) (Cargill & Sakamoto, 2008:249).

Ditambah lagi dengan pola pikir pekerja tidak tetap yang datang dari golongan freeter dimana terdapat kurangnya tingkat persaingan dan hanya berpikir untuk memajukan kehidupannya sendiri daripada memajukan kepentingan perusahaan, menimbulkan permasalahan tersendiri dalam dunia bekerja. Seperti tidak adanya daya saing antar pekerja untuk mencapai target yang ditetapkan perusahaan.

Umumnya diperusahaan Jepang saat ini masih mempertahankan pekerja inti mereka sebagai pekerja seumur hidup dengan mendapatkan tunjangan dan fasilitas yang sepadan dari perusahaan. Pekerja inti ini meliputi tingkat manajer dan jabatan tinggi diatas pekerja biasa. Pekerja seumur hidup masih menjadi tolak ukur kesuksesan seorang pekerja di Jepang. Hal ini terlihat dari kecukupan yang mereka dapatkan secara finansial, bonus gaji, tunjangan kesehatan dan jaminan sosial (Cargill & Sakamoto, 2008:246).

Walaupun permintaan akan tenaga kerja tidak tetap baik dari golongan freeter maupun pekerja kontrak meningkat, namun langkah ini semata-mata diambil untuk menanggulangi permasalahan perusahaan dari segi penghematan biaya pengeluaran. Tidak dipungkiri jika resesi ekonomi Jepang yang berlangsung lama turut mempengaruhi perubahan restrukturisasi perusahaan dalam ketenaga kerjaan.

3.2 Kehidupan Sosial F reeter

Freeter merupakan bagian dari masyarakat Jepang yang datang dari golongan muda berusia 15 hingga 34 tahun. Keputusan sebagian kaum muda Jepang untuk memilih hidup sebagai freeter dilandasi pemikiran akan kebebasan. Kebebasan dalam menentukan jalan hidup dan tidak terkekang dengan kehidupan pekerjaan seumur hidup yang


(51)

mengabdi dalam sebuah perusahaan menjadi pandangan hidup baru bagi kaum muda Jepang.

Ada beberapa hal yang mempengaruhi pemilihan kaum muda untuk menjadi freeter diantaranya keluarga, pendidikan dan pasar tenaga kerja (Honda, 2005:12). Dari segi keluarga faktor pemikiran dan kemampuan finansial orang tua dalam keluarga sangat mempengaruhi masa depan dari anak mereka. Permasalahan yang sering muncul ketika orang tua dalam hal ini ayah sebagai pencari nafkah utama dalam keluarga menghadapi permasalahan PHK, pemotongan gaji, sakit ataupun kematian secara langsung mempengaruhi finansial keluarga sampai berimbas pada ketidak mampuan mereka untuk membiayai pendidikan anak. Anak-anak merekapun terpaksa harus putus sekolah dan membantu perekonomian keluarga dengan bekerja paruh waktu hingga menghadapi pilihan sebagai freeter.

Disamping itu terdapat pula sebagian pola pikir orang tua di Jepang yang tidak memberikan motivasi yang baik bagi anak-anak mereka. Orang tua yang pada masa mudanya juga menghadapi permasalahan yang sama dengan tidak mendapatkan pekerjaan yang baik berimbas pada anak-anak mereka. Tidak jarang ditemui sebagian dari orang tua yang menginginkan anaknya untuk berpikir realistis terhadap masa depan mereka dengan membandingkan kemampuan finansial keluarga hingga anak-anak mereka terpaksa harus putus sekolah dan beralih mencari pekerjaan.

Permasalahan lain datang dari segi pendidikan. Beberapa contoh seputar permasalahan pendidikan antara lain kurangnya informasi tentang universitas di kota bagi siswa sekolah menengah yang berasal dari daerah yang berjarak cukup jauh dari universitas tujuan. Terkadang jurusan dan spesifikasi kejuruan yang telah diambil tidak mewakili apa yang mereka inginkan hingga banyak dari mahasiswa yang kemudian tidak mau melanjutkan studi lebih jauh lahi. Kegagalan dipertengahan jalan ini menggiring mereka menjadi freeter di kota tempat mereka menimba ilmu.


(1)

muda yang ter-registrasi sebagai pencari kerja. Dari 40.000 peserta yang mengikuti langkah-langkah atau skema yang telah diterapkan pemerintah Jepamg untuk menekan angka freeter dan pengangguran, 80% diantaranya berhasil mendapatkan pekerjaan tetap. Total subsidi yang dikeluarkan pemerintah Jepang selama tahun anggaran 2006 sekitar 9.7 trilyun Yen, dan 5.7 trilyun Yen pada tahun anggran 2007 (OECD, 2009:115).

Langkah-langkah yang diambil pemerintah Jepang ini tampak sebagai keseriusan untuk menanggulangi permasalahan yang muncul akibat bekembangnya jumlah freeter. Secara perlahan namun pasti pemerintah Jepang mulai menunjukkan agresifitasnya untuk menekan jumlah freeter baik melalui program terpadu dan menyeluruh hingga penggunaan media massa seperti televisi dan media cetak sebagai sarana yang paling efektif dalam memperlancar program-program yang dijalankan oleh pemerintah.


(2)

BAB IV

KESIMPULAN DAN DARAN

4.1 Kesimpulan

Dari penelitan yang penulis lakukan dalam pembahasan skripsi mengenai fenomena freeter ini, penulis mengambil beberapa kesimpulan diantaranya sebagai berikut :

1. Freeter muncul sebagai sebuah dilema dalam masyarakat Jepang sebagai imbas dari resesi ekonomi Jepang yang berkepanjangan.

2. Adanya pergeseran pola pikir kaum muda Jepang terhadap pekerjaan dan memaknai nilai kehidupan, yang ditandai dengan kemunculan freeter sebagai sebuah istilah yang menggambarkan kaum muda Jepang yang memilih kehidupan bebas tanpa tekanan atas beban hidup dalam bekerja dan mengabdi seumur hidup pada perusahaan.

3. Freeter menjadi pilihan gaya hidup sebagian kaum muda Jepang yang ingin bebas tanpa ada beban dan ikatan dari perusahaan tempat mereka bekerja. Kebebasan yang diperoleh digunakan untuk menyalurkan bakat atau hobi kesenangan dalam bidang lain diluar pekerjaan mereka.

4. Berbagai dampak atas kemunculan freeter secara tidak langsung mempengaruhi kehidupan sosial masyarakat Jepang dengan munculnya suatu golongan yang dianggap tidak menganut sikap dan etos kerja budaya bangsa Jepang.

5. Berkurangnya angka kelahiran di Jepang merupakan andil dari kemunculan dan berkembangnya freeter. Banyak dari para freeter dari


(3)

kalangan pria yang tidak mau menikah dikarenakan pemikiran akan menghidupi sebuah keluarga tidaklah cukup dari penghasilan seorang freeter. Para wanita Jepang juga enggan menjalin hubungan serius dengan pria freeter mereka menganggap pria dari golongan freeter hanya memikirkan kepentingannya sendiri dan tidak memiliki keseriusan untuk menjalin hubungan ke jenjang pernikahan.

6. Semakin berkembangnya jumlah freeter dari tahun ke tahun memiliki dampak yang buruk bagi perekonomian dan menimbulkan permasalahan sosial di Jepang, salah satu diantaranya berkurangnya daya saing masyarakat muda Jepang terhadap pekerjaan yang berujung pada berkurangnya tenaga kerja professional yang handal. Untuk itu pemerintah menagambil langkah-langkah untuk menekan dan mengurangi jumlah freeter. Salah satu langkah yang diambil yaitu mengadakan penyuluhan tentang dunia kerja dimulai sejak usia sekolah, dan dilakukan secara menyeluruh baik dikawasan kota hingga kedaerah-daerah diseluruh Jepang. 7. Pemerintah Jepang berhasil mengurangi jumlah freeter. Ini terlihat dari

suksesnya program-program yang dibuat pemerintah. Dari 40.000 partisipan yang mengikuti program penyuluhan kerja, 80% diantaranya telah mendapatkan pekerjaan tetap diberbagai perusahaan.

4.2 Saran

Setelah penulis membaca dan menganalisa permasalahan seputar fenomena freeter yang terjadi di Jepang, penulis berpendapat bahwa fenomena munculnya freeter sebagai sebuah kegelisahan dan kepanikan masyarakat muda


(4)

Jepang dalam memandang masa depan. Dari berbagai penyebab yang mengakibatkan munculnya freeter peneliti telah merangkum dan mencoba memberikan saran dalam menyelesaikan permasalahan freeter. Karena permasalahan yang dimunculkan oleh freeter memiliki dampak yang luas dari segi kehidupan sosial maupun perekonomian Jepang. Setiap langkah yang diambil pemerintah Jepang yang bertujuan untuk mengurangi jumlah freeter harus didukung oleh masyrakat Jepang itu sendiri. Karena tanpa adanya dukungan dari masyarakat Jepang kemungkinan untuk mengurangi jumlah freeter akan menjadi lebih sulit. Beberapa bentuk dukungan yang bisa diberikan seperti para orang tua yang mau mengarahkan anak-anaknya untuk mencari pekerjaan tetap dan tidak memilih freeter sebagai tujuan atau pola hidup.

Bagi pembaca dan mahasiswa pembelajar bahasa Jepang khususnya penulis memberikan saran untuk dapat mengambil nilai positif dari fenomena freeter ini. Misalnya penggunaan waktu luang untuk hal-hal yang positif dengan menyalurkan atau mengembangkan minat dan bakat pada bidang yang disukai. Sebagai pemuda yang kemudian hari akan memasuki dunia kerja dan miniti karir sabaiknya kita dapat tetap mengutamakan profesionalitas dalam pekerjaan dimanapun kita berada dan apapun posisi yang akan kita tempati nantinya.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Ariga, Kenn, Giorgio Brunello & Yasushi Ohkusa. 2000. Internal Labor Markets in Ja pa n. New York : Cambridge University Press.

Blomström, Magnus, Jennifer Corbett, Fumio Hayashi, & Anil Kashyap. 2003. Structura l Impediments to Growth in Ja pa n. Chicago : The University Of Chicago Press.

Blyton, Paul, Betsy Blunsdon, Ken Reed, & Ali Dastmalchian. 2010. Ways of Living : Work Communty a nd Lifestyle Choice. London : Palgrave Macmillan.

Cargill, Thomas.F. & Takayuki Sakamoto. 2008. Japan Since 1980. New York : Cambridge University Press.

Dore , Ronald & Mari Sako. 1998. How the Japanese Learn to Work : Second edition. London : Routledge.

Dore, R.P. 2005. City Live in Japan : A Study of a Tokyo Ward. London : Routledge.

Foljanty-Jost, Gesine. 2003. Juvenile Deliquency in Japan: Reconsidering the “Crisis”, Vol.18. Boston : Brill Leiden.

Hart , Robert.A & Seiichi Kawasaki. 1999. Work and Pay in Japan. New York : Cambridge_University_Press.

Ishida, Hiroshi & David H.Slater. 2010. Social Class in Contemporary Japan : Strutures, Sorting a nd Stra tegies. New York : Routledge.

Jackson, Paul & Reima Suomi. 2002. eBusiness and Workplace Design. London : Routledge.

Langdrige, Darren. 2007. Phenomenological Psychology : Theory Research and Method. Edinburgh : Pearson Education Limited.

Luu, Philip. 2010. The Impact of Globalization on Post World War II Japan. XULAneXUS : Xavier University of Louisiana’s Undergraduate Research Journal. Scholarly Note. Vol. 7, No. 2. p. 32-38.

Mathews, Gordon & Bruce White. 2004. Japan’s Changing Generations : Are young people crea ting a new society? . London : RoutledgeCurzon

Mouer, Ross & Kawanishi Hirosuke. 2005. A Sociology of Work in Japan. New York : Cambridge University Press.


(6)

OECD. 2009. Jobs For Youth : Japan. OECD.

Plath, David W. 1983. Work and Lifecourse in Japan. New York : State University of New York Press

Pujiastuti, Y. Sri, T.D. Haryo Tamtomo, N. Suparno. 2007. IPS Terpadu Jilid 3A : Untuk SMP da n Mts Kela s IX Semester I. Jakarta : Penerbit Erlangga. Seng, Ann Wan. 2006. Rahasia Bisnis Orang Jepang, (Alih Bahasa, Widyawati

O). Jakarta : Penerbit Hikmah.

Tipton, Elise.K. 2008. Modern Japan : A Social and Political History, 2nd Edition. New York : Routledge.

Yuki, Honda. 2006. The Transformation of the Youth Labor Market and the Reemergence of the Issue of Educa tiona l Credentia ls. Social Science Japan : Kakusa - Economic Inequality. Tokyo : The Information Center for Social Science Research on Japan Institute of Social Science University of Tokyo.

REFERENSI INTERNET

http://adioksbgt.wordpress.com/2010/12/28/economic-bubble/ (Diakses Tanggal 29 November 2011, Pukul 10.00 WIB)

http://michaelorstedsatahi. wordpress.com/2011/08/25/resesi-di-jepang/ (Diakses Tanggal 29 November 2011, Pukul 10.15 WIB)