Analisis Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Warga Negara Asing Pelaku Tindak Pidana Narkotika

BAB II

PENERAPAN KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP WARGA
NEGARA ASING PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA

A. Pengaturan Hukum Narkotika Bagi Warga Negara Asing Pelaku Tindak
Pidana Narkotika
Secara harafiah narkotika berasal dari bahasa Yunani, dari kata narke, yang
berarti beku, lumpuh, dan dungu.55 Menurut Farmakologi, narkotika adalah “obat
yang dapat menghilangkan rasa nyeri yang berasal dari daerah visceral dan dapat
menimbulkan efek stupor atau efek bingung dalam keadaan masih sadar namun masih
harus di gertak, serta juga dapat menimbulkan adiksi.56 Soedjono menyatakan bahwa
yang dimaksud dengan narkotika adalah sejenis zat, yang bila dipergunakan atau di
masukkan dalam tubuh akan membawa pengaruh terhadap tubuh si pemakai dimana
pengaruh tersebut berupa menenangkan, merangsang, dan menimbulkan khayalan
atau halusinasi.57
Elijah Adams memberikan definisi narkotika adalah terdiri dari zat sintesis
dan semi sintesis yang terkenal adalah heroin yang terbuat dari morfhine yang tidak
dipergunakan, tetapi banyak nampak dalam perdagangan-perdagangan gelap, selain
juga terkenal istilah dihydo morfhine.58 Pengertian narkotika yaitu “merupakan zat
55


Wison Nadack, Korban Ganja Dan Masalah Narkotika, (Bandung: Indonesia Publishing
House, 1983), hlm. 122
56
Wijaya A.W, Masalah Kenakan Remaja Dan Penyalahgunaan Narkotika, (Bandung:
Armico, 1985), hlm. 145
57
Soedjono D, Segi Hukum Tentang Narkotika Di Indonesia, (Bandung: Karya Nusantara,
1977), hlm. 5
58
Wison Nadack, Op. Cit., hlm. 124

Universitas Sumatera Utara

atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintesis maupun semi
sintesis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya
rasa, mengurangi, sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan
ketergantungan.”59
Tindak pidana narkotika diatur dalam Pasal 111 sampai dengan Pasal 148 UU
Narkotika yang merupakan ketentuan khusus, walaupun tidak disebutkan dengan

tegas dalam UU Narkotika bahwa tindak pidana yang diatur di dalamnya adalah
tindak kejahatan, akan tetapi tidak perlu disanksikan lagi bahwa semua tindak pidana
di dalam undang-undang tersebut merupakan kejahatan, alasannya kalau narkotika
hanya untuk pengobatan dan kepentingan ilmu pengetahuan, maka apabila ada
perbuatan diluar kepentingan-kepentingan tersebut sudah merupakan kejahatan
mengingat besarnya akibat yang ditimbulkan dari pemakaian narkotika secara tidak
sah sangat membahayakan bagi jiwa manusia.60
Jenis-jenis narkotika yang disebutkan dalam undang-undang disebutkan
bahwa narkotika digolongkan menjadi narkotika golongan I, narkotika golongan II,
dan narkotika golongan III. 61 Pada lampiran undang-undang narkotika, yang
dimaksud dengan golongan I, antara lain sebagai berikut:62
1.

Papaver adalah tanaman papaver somniferum l, dan semua bagian-bagiannya
termasuk buah dan jeraminya, kecuali bijinya.
59

Sudarsono, Prospek Pengembangan Obat Bahan Alami Bidang Kesehatan , (Bandung: Citra
Aditya Bakti, 2003), hlm. 4
60

G. Supramono, Hukum Narkotika Indonesia , (Jakarta: Djambatan, 2001), hlm. 34
61
Pasal 6 Ayat Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
62
Anonim, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika , (Jakarta: Sinar
Grafika, 2009), hlm. 74

Universitas Sumatera Utara

2.

Opium mentah, yaitu getah yang membeku sendiri, diperoleh dari buah tanaman
papaver somniferum l yang hanya mengalami pengolahan sekadar untuk
pembungkus dan pengangkutan tanpa memperhatikan kadar morfinnya
3. Opium masak terdiri dari:
a. Candu, yakni hasil yang diperoleh dari opium mentah melalui suatu rentetan
pengolahan, khususnya dengan pelarutan, pemanasan dan peragian dengan
atau tanpa penambahan bahan-bahan lain dengan maksud mengubahnya
menjadi suatu ekstrak yang cocok utuk pemadatan.
b. Jicing, yakni sisa-sisa dari candu setelah diisap, tanpa memperhatikan apakah

candu itu dicampur dengan daun atau bahan lain.
c. Jicingko, yakni hasil yang diperoleh dari pengolahan jicing
4. Morfina, adalah alkaloida utama dari opium.
5. Koka, yaitu tanaman dari semua genus erythroxylon dari keluarga
erythoroxylaceae termasuk buah dan bijinya.
6. Daun koka, yaitu daun yang belum atau sudah dikeringkan atau dalam bentuk
serbuk dari semua tanaman genus erythroxylon dari keluarga erythoroxylaceae
yang menghasilkan kokain secara langsung atau melalui perubahan kimia.
7. Kokain mentah, adalah semua hasil-hasil yang diperoleh dari daun koka yang
dapat diolah secara langsung untuk mendapatkan kokaina.
8. Kokaina, adalah metil ester-i-bensoil ekgonia
9. Ekgonina, adalah lekgonina dan ester serta turunan-turunannya yang dapat
diubah menjadi ekgonina dan kokain
10. Ganja adalah semua tanaman genus cannabis dan semua bagian dari tanaman
termasuk biji, buah, jerami, hasil olahan tanaman ganja atau bagian tanaman
ganja termasuk damar ganja dan hashis
11. Damar ganja adalah damar yang diambil dari tanaman ganja, termasuk hasil
pengolahannya yang menggunakan damar sebagai bahan dasar.
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika memuat kebijakan
penal mengenai perbuatan-perbuatan yang dikriminalisasikan oleh undang-undang

tersebut, meliputi:63
1.

2.

Perbuatan tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki,
menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk
tanaman.
Perbuatan tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai,
atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman.

63

Penjabaran Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

Universitas Sumatera Utara

3.

4.

5.
6.

7.

8.

9.
10.
11.

12.

13.

14.
15.
16.
17.


18.

Perbuatan menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau
menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1
(satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon.
Perbuatan memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika
Golongan I bukan tanaman yang beratnya melebihi 5 (lima) gram.
Perbuatan tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor,
mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan I.
Perbuatan memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika
Golongan I yang dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau
melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya
melebihi 5 (lima) gram.
Perbuatan tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual,
membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau
menyerahkan Narkotika Golongan I.
Perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menjadi perantara dalam
jual beli, menukar, menyerahkan, atau menerima Narkotika Golongan I yang
dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5
(lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya 5 (lima) gram.

Perbuatan tanpa hak atau melawan hukum membawa, mengirim, mengangkut,
atau mentransit Narkotika Golongan I.
Perbuatan yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan,
menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan II.
Perbuatan membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika
Golongan I dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau
melebihi 5 (lima) batang pohon beratnya melebihi 5 (lima) gram.
Perbuatan yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan Narkotika
Golongan I terhadap orang lain atau memberikan Narkotika Golongan I untuk
digunakan orang lain.
Perbuatan penggunaan narkotika terhadap orang lain atau pemberian Narkotika
Golongan I untuk digunakan orang lain mengakibatkan orang lain mati atau cacat
permanen.
Perbuatan perbuatan memiliki, menyimpan, menguasai, menyediakan Narkotika
Golongan II beratnya melebihi 5 (lima) gram.
Perbuatan yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor,
mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan II.
Perbuatan perbuatan memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan
Narkotika Golongan II beratnya melebihi 5 (lima) gram.
Perbuatan yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual,

menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau
menyerahkan Narkotika Golongan II.
Perbuatan perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima,
menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika
Golongan II beratnya melebihi 5 (lima) gram.

Universitas Sumatera Utara

19. Perbuatan yang tanpa hak atau melawan hukum membawa, mengirim,
mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan II.
20. Perbuatan perbuatan membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito
Narkotika Golongan II beratnya melebihi 5 (lima) gram.
21. Perbuatan yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan Narkotika
Golongan II tehadap orang lain atau memberikan Narkotika Golongan II untuk
digunakan orang lain.
22. Perbuatan penggunaan Narkotika terhadap orang lain atau pemberian Narkotika
Golongan II untuk digunakan orang lain mengakibatkan orang lain mati atau
cacat permanen.
23. Perbuatan yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan,
menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan III.

24. Perbuatan perbuatan memiliki, menyimpan, menguasai, menyediakan Narkotika
Golongan III beratnya melebihi 5 (lima) gram.
25. Perbuatan yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor,
mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan III.
26. Perbuatan perbuatan memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan
Narkotika Golongan III beratnya melebihi 5 (lima) gram.
27. Perbuatan yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual,
menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau
menyerahkan Narkotika Golongan III.
28. Perbuatan perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima,
menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika
Golongan III beratnya melebihi 5 (lima) gram.
29. Perbuatan yang tanpa hak atau melawan hukum membawa, mengirim,
mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan III.
30. Perbuatan perbuatan membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito
Narkotika Golongan III beratnya melebihi 5 (lima) gram.
31. Perbuatan yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan Narkotika
Golongan III tehadap orang lain atau memberikan Narkotika Golongan III untuk
digunakan orang lain.
32. Perbuatan penggunaan Narkotika tehadap orang lain atau pemberian Narkotika

Golongan III untuk digunakan orang lain mengakibatkan orang lain mati atau
cacat permanen.
33. Perbuatan yang dilakukan oleh setiap penyalahguna berupa Narkotika Golongan
I bagi diri sendiri; Narkotika Golongan II bagi diri sendiri; dan Narkotika
Golongan III bagi diri sendiri
34. Perbuatan yang dilakukan oleh orang tua atau wali dari pecandu yang belum
cukup umur, yang sengaja tidak melapor.
35. Perbuatan yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan,
menguasai, atau menyediakan prekursor narkotika untuk pembuatan narkotika,
memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan prekursor narkotika
untuk pembuatan narkotika, menawarkan untuk dijual, menjual, membeli,

Universitas Sumatera Utara

36.

37.

38.
39.
40.
41.

42.

43.
44.
45.

menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan
prekursor narkotika untuk pembuatan narkotika, membawa, mengirim,
mengangkut, atau mentransito prekursor narkotika untuk pembuatan narkotika.
Perbuatan yang menyuruh, memberi atau menjanjikan sesuatu, memberikan
kesempatan, menganjurkan, memberikan kemudahan, memaksa dengan
ancaman, memaksa dengan kekerasan, melakukan tipu muslihat, atau membujuk
anak yang belum cukup umur untuk melakukan tindak pidana.
Perbuatan yang menyuruh, memberi atau menjanjikan sesuatu, memberikan
kesempatan, menganjurkan, memberikan kemudahan, memaksa dengan
ancaman, memaksa dengan kekerasan, melakukan tipu muslihat, atau membujuk
anak yang belum cukup umur untuk menggunakan narkotika.
Perbuatan dimana pecandu narkotika yang sudah cukup umur dan dengan
sengaja tidak melaporkan diri.
Perbuatan dimana keluarga dari pecandu narkotika yang dengan sengaja tidak
melaporkan pecandu narkotika.
Perbuatan dari pengurus industri farmasi yang tidak melaksanakan kewajiban.
Perbuatan yang menempatkan, membayarkan atau membelanjakan, menitipkan,
menukarkan, menyembunyikan atau menyamarkan, menginvestasikan,
menyimpan, menghibahkan, mewariskan, dan atau mentransfer uang, harta, dan
benda atau aset baik dalam bentuk benda bergerak maupun tidak bergerak,
berwujud atau tidak berwujud yang berasal dari tindak pidana narkotika dan atau
tindak pidana prekursor narkotika; menerima penempatan, pembayaran atau
pembelanjaan, penitipan, penukaran, penyembunyian atau penyamaran investasi,
simpanan atau transfer, hibah, waris, harta atau uang, benda atau aset baik dalam
bentuk benda bergerak maupun tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud
yang diketahuinya berasal dari tindak pidana narkotika dan/atau tindak pidana
prekursor narkotika.
Perbuatan yang menghalang-halangi atau mempersulit penyidikan serta
penuntutan dan pemeriksaan perkara tindak pidana narkotika dan/atau tindak
pidana prekursor narkotika di muka sidang pengadilan
Perbuatan dari nakhoda atau kapten penerbang yang secara melawan hukum
tidak melaksanakan ketentuan undang-undang.64
Perbuatan dimana penyidik pegawai negeri sipil yang secara melawan hukum
tidak melaksanakan ketentuan undang-undang.65
Perbuatan dimana Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia dan penyidik
BNN yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
87, Pasal 89, Pasal 90, Pasal 91 ayat (2) dan ayat (3), dan Pasal 92 ayat (1), ayat
(2), ayat (3), dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang
Narkotika.

64
65

Pasal 27, Pasal 28 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
Pasal 88, Pasal 89 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

Universitas Sumatera Utara

46. Perbuatan kepala kejaksaan negeri yang secara melawan hukum tidak
melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.
47. Perbuatan dimana petugas laboratorium yang memalsukan hasil pengujian atau
secara melawan hukum tidak melaksanakan kewajiban melaporkan hasil
pengujiannya kepada penyidik atau penuntut umum.
48. Perbuatan berupa saksi yang memberi keterangan tidak benar dalam pemeriksaan
perkara tindak pidana narkotika dan prekursor narkotika di sidang pengadilan.
49. Perbuatan dimana pimpinan rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, balai
pengobatan, sarana penyimpanan sediaan farmasi milik pemerintah, dan apotek
yang mengedarkan Narkotika Golongan II dan III bukan untuk kepentingan
pelayanan kesehatan, pimpinan lembaga ilmu pengetahuan yang menanam,
membeli, menyimpan, atau menguasai tanaman narkotika bukan untuk
kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan, pimpinan industri farmasi
tertentu yang memproduksi Narkotika Golongan I bukan untuk kepentingan
pengembangan ilmu pengetahuan, atau pimpinan pedagang besar farmasi yang
mengedarkan Narkotika Golongan I yang bukan untuk kepentingan pengetahuan.
Masalah penyalahgunaan narkotika dewasa ini sudah sangat memprihatinkan.
Hal ini disebabkan beberapa hal antara lain karena perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi, maka pengaruh globalisasi, arus transportasi yang sangat maju dan
penggeseran nilai matrialistis dengan dinamika sasaran opini peredaran gelap.
Masyarakat dunia pada umumnya saat ini sedang dihadapkan pada keadaan yang
sangat mengkhawatirkan akibat maraknya pemakaian secara illegal bermacammacam jenis narkotika. Kekhawatiran ini terjadi akibat maraknya peredaran gelap
narkotika yang telah merebak di segala lapisan masyarakat, termasuk di kalangan
generasi muda, dimana hal ini akan sangat berpengaruh terhadap kehidupan bangsa
dan negara pada masa mendatang, sehingga sangat di perlukan aturan hokum yang
jelas mengenai penggunaan narkotika ini.66

66

Paragraf I Penjelasan Umum Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1997
Tentang Narkotika

Universitas Sumatera Utara

Kebijakan hukum pidana merupakan salah satu bidang yang seyogyanya
menjadi pusat perhatian kriminologi, karena kriminologi sebagai studi yang bertujuan
mencari dan menentukan faktor-faktor yang membawa timbulnya kejahatankejahatan dan penjahat. Kebijakan hukum pidana (penal policy) yang termasuk salah
satu bagian dari ilmu hukum pidana, erat kaitannya dengan pembahasan hukum
pidana nasional. Kebijakan hukum pidana meliputi perbuatan apa yang seharusnya
dijadikan tindak pidana dan sanksi apa yang sebaiknya diberikan kepada si pelanggar.
Secara garis besar, kebijakan legislatif (formulatif) dalam penanggulangan kejahatan
meliputi:67
1.
2.

3.

Perencanaan atau kebijakan tentang perbuatan-perbuatan terlarang apa yang akan
ditanggulangi karena dipandang membahayakan atau merugikan.
Perencanaan atau kebijakan tentang sanksi apa yang dapat dikenakan terhadap
pelaku perbuatan terlarang (baik berupa pidana atau tindakan) dan system
penerapannya.
Perencanaan atau kebijakan tentang prosedur atau mekanisme system peradilan
pidana dalam rangka proses penegakan hukum pidana.
Usaha untuk menanggulangi masalah penyalahgunaan dan peredaran gelap

narkotika pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
Tentang Narkotika. Ketentuan tersebut pada pokoknya mengatur narkotika hanya
digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan ilmu pengetahuan.
Pelanggaran terhadap peraturan itu diancam dengan pidana yang tinggi dan berat

67

Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan Dan Pengembangan Hukum
Pidana , (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2008), hlm. 24-23

Universitas Sumatera Utara

dengan dimungkinkannya terdakwa divonis maksimal yakni pidana mati selain
pidana penjara dan pidana denda.68
Sistem pemidanaan dalam hukum pidana, secara garis besar mencakup tiga
permasalahan pokok, yaitu jenis pidana (strafsoort), lamanya ancaman pidana
(strafmaat), dan pelaksanaan pidana (strafmodus).
1.

Jenis pidana (strafsoort)
Menurut KUHP, pidana dibedakan dalam pidana pokok dan pidana tambahan,

terutama sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 10 KUHP. Roeslan Saleh
menjelaskan bahwa urutan pidana ini dibuat menurut beratnya pidana, dan yang
terberat disebut lebih depan. Mengenai pengaturan jenis-jenis pidana dapat dilihat
dalam ketentuan Pasal 10 KUHP yang terdiri dari:
a. Pidana pokok berupa:
1) Pidana mati
2) Pidana penjara
3) Pidana kurungan
4) Pidana denda
b. Pidana tambahan berupa:
1) Pencabutan beberapa hak tertentu
2) Perampasan barang-barang tertentu
3) Pengumuman putusan hakim
Secara rinci dari jenis-jenis pidana yang terdapat dalam Pasal 10 KUHP
tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
1.

Pidana pokok, meliputi:

a.

Pidana mati

68

Syamsul Hidayat, Pidana Mati Di Indonesia , (Yogyakarta: Genta Press, 2005), hlm. 1

Universitas Sumatera Utara

Pidana mati diatur dalam Pasal 11 KUHP, yang menyatakan bahwa pidana
mati dijalankan algojo di atas tempat gantungan (schavot) dengan cara mengikat leher
si terhukum dengan jerat pada tiang gantungan, lalu dijatuhkan papan dari bawah
kakinya.69 Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969, pidana mati
dijalankan dengan menembak mati terpidana.
b.

Pidana penjara.
Pidana penjara merupakan pidana utama diantara pidana penghilangan

kemerdekaan dan pidana ini dapat dijatuhkan untuk seumur hidup atau sementara
waktu. Berbeda dengan jenis lainnya, maka pidana penjara ini adalah suatu pidana
berupa pembatasan kebebasan bergerak dari seorang terpidana, yang dilakukan
dengan menutup orang tersebut di dalam sebuah lembaga permasyarakatan. Andi
Hamzah mengemukakan bahwa pidana penjara disebut juga dengan pidana hilang
kemerdekaan, tetapi narapidana kehilangan hak-hak tertentu, seperti hak memilih dan
dipilih, memangku jabatan publik, dan beberapa hak sipil lain.70
Pidana penjara bervariasi dari penjara sementara minimal 1 (satu) hari sampai
pidana penjara seumur hidup, namun pada umumnya pidana penjara maksimum 15
(lima belas) tahun dan dapat dilampaui dengan 20 (dua puluh) tahun. Roeslan Saleh
menjelaskan bahwa banyak pakar memiliki keberatan terhadap penjara seumur hidup
ini, keberatan ini disebabakan oleh putusan kemudian terhukum tidak akan

69

Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia , (Bandung: Refika Aditama,
2003), hlm. 178
70
Andi Hamzah, Sistem Pidana Dan Pemidanaan Di Indonesia, (Jakarta: Pradnya Paramita,
1993), hlm. 28

Universitas Sumatera Utara

mempunyai harapan lagi kembali dalam masyarakat, padahal harapan tersebut
dipulihkan oleh lembaga grasi dan lembaga remisi, maka dari itu walaupun pidana
penjara sudah menjadi pidana yang sudah umum diterapkan di seluruh dunia namun
dalam perkembangan terakhir ini banyak yang mempersoalkan kembali manfaat
penggunaan pidana penjara.71
c.

Pidana kurungan.
Pidana kurungan ini sama halnya dengan pidana penjara, namun lebih ringan

dibandingkan dengan pidana penjara walaupun kedua pidana ini sama-sama
membatasi kemerdekaan bergerak seorang terpidana. Sebagai pembedaan itu dalam
ketentuan Pasal 69 KUHP disebutkan, bahwa perbandingan beratnya pidana pokok
yang tidak sejenis ditentukan menurut urutan di dalam KUHP. 72 Roeslan Saleh
menjelaskan bahwa ”dari urutan dalam Pasal 10 KUHP ternyata pidana kurungan
disebutkan sesudah pidana penjara, sedangkan Pasal 69 (1) KUHP menyebutkan
bahwa perbandingan beratnya pidana pokok yang tidak sejenis ditentukan menurut
urut-urutan dalam Pasal 10, demikian pula jika diperhatikan bahwa pekerjaan yang
diwajibkan kepada orang yang dipidana kurungan juga lebih ringan daripada mereka
yang menjalani pidana penjara.73
Lamanya pidana kurungan sekurang-kurangnya adalah 1 (satu) hari dan
selama-lamanya adalah satu tahun, akan tetapi lamanya pidana tersebut dapat

71

Roeslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia , (Jakarta: Aksara Baru, 1987), hlm 62
Andi Hamzah, Sistem Pidana Dan Pemidanaan Indonesia , (Jakarta: Pradnya Paramita,
1993), hlm. 28
73
Roeslan Saleh, Op. Cit., hlm. 49
72

Universitas Sumatera Utara

diperberat hingga satu tahun empat bulan, yaitu bila terjadi samenloop, recidive dan
berdasarkan Pasal 52 KUHP. Jangka waktu pidana kurungan lebih pendek dari pidana
penjara, sehingga pembuat undang-undang memandang pidana kurungan lebih ringan
dari pidana penjara, oleh karena itu, pidana kurungan diancamkan pada delik-delik
yang dipandang ringan seperti delik culpa dan pelanggaran.
d.

Pidana denda
Pidana denda ini banyak diancamkan pada banyak jenis pelanggaran, baik

sebagai alternatif dari pidana kurungan atau berdiri sendiri. Adapun keistimewaan
yang terdapat pada pidana denda adalah pelaksanaan pidana denda bisa dilakukan
atau dibayar oleh orang lain, pelaksanaan pidana denda boleh diganti dengan
menjalani pidana kurungan dalam hal terpidana tidak membayarkan denda. Hal ini
tentu saja diberikan kebebasan kepada terpidana untuk memilih, dimana dalam pidana
denda ini tidak terdapat maksimum umum, yang ada hanyalah minimum umum.
Sedang maksimum khususnya ditentukan pada masing-masing rumusan tindak pidana
yang bersangkutan.74
2.

Pidana tambahan, meliputi:

a.

Pencabutan hak-hak tertentu.
Menurut Pasal 35 ayat 1 KUHP, hak-hak yang dapat dicabut adalah hak

jabatan pada umumnya atau jabatan tertentu, hak menjalankan jabatan dalam
Angkatan Bersenjata atau Tentara Nasional Indonesia, hak memilih dan dipilih dalam

74

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2002), hlm. 40

Universitas Sumatera Utara

pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum, hak menjadi penasihat
hukum, hak menjadi wali, wali pengawas, wali pengampu, hak menjalankan
kekuasaan bapak, menjalankan perwalian atau pengampuan atas anak sendiri, dan hak
menjalankan mata pencaharian.
b.

Perampasan barang tertentu
Barang yang dapat dirampas melalui putusan hakim ada 2 jenis berdasarkan

KUHP,

yaitu

barang-barang

yang

berasal

atau

diperoleh

dari

suatu

kejahatan,misalnya: uang palsu dari kejahatan pemalsuan uang dan barang-barang
yang digunakan dalam melakukan kejahatan, misalnya pisau yang digunakan dalam
kejahatan pembunuhan atau penganiayaan.75
c.

Pengumuman putusan hakim
Pengumuman hakim ini, hakim dibebaskan menentukan perihal cara

melaksanakan pengumuman itu, dapat melalui surat-kabar, ditempelkan di papan
pengumuman, atau diumumkan melalui media radio atau televisi. Tujuannya adalah
untuk mencegah bagi orang-orang tertentu agar tidak melakukan tindak-pidana yang
dilakukan orang tersebut. Menurut Bambang Poernomo, selain putusan-putusan
pemidanaan, bebas, dan dilepaskan masih terdapat jenis-jenis lain yaitu:76
1.

2.

Putusan yang bersifat penetapan untuk tidak menjatuhkan pidana akan tetapi
berupa tindakan hakim, misalnya memasukkan ke rumah sakit jiwa,
menyerahkan kepada lembaga pendidikan khusus anak nakal dan lain-lainnya.
Putusan yang bersifat penetapan berupa tidak berwenang untuk mengadili
perkara terdakwa, misalnya terdakwa menjadi kewenangan untuk diadili oleh
mahkamah militer.
75
76

Pasal 39 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Bambang Poernomo , Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982), hlm. 15

Universitas Sumatera Utara

3.

4.

Putusan yang bersifat penetapan menolak atau tidak menerima tuntutan yang
diajukan oleh penuntut umum, misalnya, perkara jelas delik aduan tidak disertai
surat pengaduan oleh si korban atau keluarganya.
Putusan yang bersifat penetapan berupa pernyataan surat-surat tuduhan batal
karena tidak mengandung isi yang diharuskan oleh syarat formal undang-undang.
Setelah hakim membacakan putusan yang mengandung pemidanaan maka

hakim wajib memberitahukan kepada terdakwa akan hak-haknya, hak menolak, atau
menerima putusan, atau hak mengajukan banding dan lain-lain. Selain jenis sanksi
yang berupa pidana, dalam hukum pidana positif dikenal juga jenis sanksi yang
berupa tindakan, misalnya:
a.
b.

c.

2.

Penempatan di rumah sakit jiwa bagi orang yang tidak dapat dipertanggungjawabkan karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau terganggu penyakit. 77
Bagi anak yang belum berumur 16 tahun melakukan tindak pidana, hakim dapat
mengenakan tindakan berupa mengembalikan kepada orang tuanya, walinya atau
pemeliharanya78 atau memerintahkan agar anak tersebut diserahkan kepada
pemerintah, dimana dalam hal ini anak tersebut dimasukkan kedalam rumah
pendidikan negara yang penyelenggaraannya diatur dalam peraturan pendidikan
paksa.
Penempatan di tempat bekerja negara (landswerkinrichting ) bagi penganggur
yang malas bekerja dan tidak mempunyai mata pencaharian, serta mengganggu
ketertiban umum dengan pengemisan, bergelandangan atau perbuatan asosial.
Lamanya ancaman pidana (strafmaat)
Ada beberapa pidana pokok yang seringkali secara alternatif diancamkan pada

perbuatan pidana yang sama, oleh karena itu, hakim hanya dapat menjatuhkan satu
diantara pidana yang diancamkan itu. Hal ini mempunyai arti, bahwa hakim bebas
dalam memilih ancaman pidana. Sedangkan mengenai lamanya atau jumlah ancaman,
yang ditentukan hanya maksimum dan minimum ancaman, dimana dalam batas-batas

77
78

Pasal 44 Ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Pasal 45 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Universitas Sumatera Utara

maksimum dan minimum inilah hakim bebas bergerak untuk menentukan pidana
yang tepat untuk suatu perkara. Kebebasan hakim ini tidaklah dimaksudkan untuk
membiarkan hakim bertindak sewenang-wenang dalam menentukan pidana dengan
sifat yang subyektif.
Leo Polak menyatakan bahwa “salah satu syarat dalam pemberian pidana
adalah beratnya pidana harus seimbang dengan beratnya delik. Beratnya pidana tidak
boleh melebihi beratnya delik, hal ini perlu supaya penjahat tidak dipidana secara
tidak adil.”79 Berkaitan dengan tujuan diadakannya batas maksimum dan minimum
adalah untuk memberikan kemungkinan pada hakim dalam memperhitungkan
bagaimana latar belakang dari kejadian, yaitu dengan berat ringannya delik dan cara
delik itu dilakukan, pribadi si pelaku delik, umur, dan keadaan-keadaan serta suasana
waktu delik itu dilakukan, disamping tingkat intelektual atau kecerdasannya.
KUHP hanya mengenal maksimum umum dan maksimum khusus serta
minimum umum. Ketentuan maksimum bagi penjara adalah 15 (lima belas) tahun
berturut-turut, bagi pidana kurungan 1 (satu) tahun, dan maksimum khusus
dicantumkan dalam tiap-tiap rumusan delik, sedangkan pidana denda tidak ada
ketentuan maksimum umumnya. Adapun pidana penjara dan pidana kurungan,
ketentuan minimumnya adalah satu hari. Ketentuan undang-undang juga mengatur
mengenai keadaan-keadaan yang dapat menambah dan mengurangi pidana. Keadaan
yang dapat mengurangi pidana adalah percobaan dan pembantuan, dan terhadap dua

79

Djoko Prakoso & Nurwachid, Studi Tentang Pendapat-Pendapat Mengenai Efektivitas
Pidana Mati Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983), hlm. 20

Universitas Sumatera Utara

hal ini, pidana yang diancamkan adalah maksimum pidana atas perbuatan pidana
pokoknya dikurangi sepertiga, seperti ketentuan dalam Pasal 53 ayat (2) dan Pasal 57
KUHP.
Pasal 53 ayat (2) KUHP berbunyi “maksimum pidana pokok terhadap
kejahatan dalam hal percobaan dikurangi sepertiga.” Pasal 57 ayat (1) KUHP
berbunyi “dalam hal pembantuan, maksimum pidana pokok terhadap kejahatan,
dikurangi sepertiga.” Ketentuan yang meringankan juga diatur tentang keadaan
keadaan yang dapat menambah atau memperberat pidana, yaitu perbarengan, recidive
serta pegawai negeri. Pidana penjara dapat ditambah menjadi maksimum 20 tahun,
pidana kurungan menjadi maksimum 1 tahun 4 bulan dan pidana kurungan pengganti
menjadi 8 bulan.80
3.

Pelaksanaan pidana (strafmodus)
KUHP yang berlaku pada saat ini belum mengenal hal yang dinamakan

pedoman pemidanaan, oleh karena itu, hakim dalam memutus suatu perkara diberi
kebebasan memilih jenis pidana (strafsoort) yang dikehendaki, sehubungan dengan
sistem alternatif dalam pengancaman didalam undang-undang. Selanjutnya hakim
juga dapat memilih berat ringannya pidana (strafmaat) yang akan dijatuhkan, sebab
yang ditentukan oleh undang-undang hanya maksimum dan minimum pidana.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka yang sering menimbulkan masalah dalam
praktek adalah mengenai kebebasan hakim dalam menentukan berat ringannya pidana
yang diberikan. Hal ini disebabkan undang-undang hanya menentukan batas
80

Sudarto, Hukum Dan Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1977), hlm. 14

Universitas Sumatera Utara

maksimum dan minimum pidananya saja, sebagai konsekuensi dari masalah tersebut,
akan terjadi hal yang disebut dengan disparitas pidana.
Penggunaan upaya hukum, termasuk hukum pidana, sebagai salah satu upaya
untuk mengatasi masalah sosial termasuk dalam bidang kebijakan penegakan hukum.
Disamping itu karena tujuannya adalah untuk mencapai kesejahteraan masyarakat
pada umumnya, maka kebijakan penegakan hukum itupun termasuk dalam bidang
kebijakan sosial, yaitu segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan
masyarakat.81 Amara Raksasataya mengemukakan policy sebagai suatu taktik dan
strategi yang diarahkan untuk mencapai suatu tujuan. Oleh karena itu, suatu policy
memuat 3 (tiga) elemen yaitu identifikasi dari tujuan yang ingin dicapai, taktik dan
strategi dari berbagai langkah untuk mencapai tujuan yang diinginkan, dan
penyediaan berbagai input untuk memungkinkan pelaksanaan secara nyata dari taktik
atau strategi.82
Indonesia saat ini sedang berlangsung proses pembaharuan hukum pidana.
Pembaharuan hukum pidana meliputi pembaharuan terhadap hukum pidana formal,
hukum pidana materiil dan hukum pelaksaanaan pidana. Ketiga bidang hukum
tersebut bersama-sama atau secara integral diperbaiki agar tidak terdapat kendala
dalam pelaksanaannya. 83 Salah satu yang menjadi pemicu terhadap perubahan hukum

81

Muladi & Barda Nawawi Arief, Teori-Teori Dan Kebijakan hukum pidana , (Bandung:
Alumni, 1998), hlm. 148
82
Ali Masyhar, Op. Cit., hlm. 19
83
Lilik Mulyadi, Kapita Selekta Hukum Pidana, Kriminologi Dan Victimologi , (Jakarta:
Djambatan, 2007), hlm. 38

Universitas Sumatera Utara

pidana adalah kemajuan teknologi dan informasi.84 Sebagai bagian dari kebijakan
hukum pidana, maka pembaharuan hukum pidana hakikatnya bertujuan untuk
menjadikan hukum pidana lebih baik sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam
masyarakat.85
Hakim sebagai pengambil keputusan dapat mempertimbangkan jenis sanksi
pidana apa yang paling sesuai untuk kasus tertentu, dimana untuk memberikan sanksi
pemidanaan yang sesuai, masih perlu diketahui lebih banyak mengenai si pembuat.
Hal ini memerlukan informasi yang cukup tidak hanya tentang pribadi si pembuat,
tetapi juga tentang keadaan-keadaan yang menyertai perbuatan yang dituduhkan.
Penggunaan pidana sebagai sarana untuk mempengaruhi tindak laku seseorang tidak
akan begitu saja berhasil, apabila sama sekali tidak diketahui tentang orang yang
menjadi objeknya. Hal yang paling diinginkan dari pidana tersebut adalah mencegah
si pembuat untuk mengulangi perbuatannya.86
Fungsi sanksi pidana dalam hukum pidana, tidaklah semata-mata menakutnakuti atau mengancam para pelanggar, akan tetapi lebih dari itu, keberadaan sanksi
tersebut juga harus dapat mendidik dan memperbaiki si pelaku. 87 Pidana itu pada
hakikatnya merupakan nestapa, namun pemidanaan tidak dimaksud untuk
menderitakan dan tidak diperkenankan merendahkan martabat manusia. 88 Landasan

84

Yesmil Anwar & Adang, Pembaharuan Hukum Pidana , (Jakarta: Grasindo, 2008), hlm. 1
Tongat, Pidana Kerja Sosial Dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia , (Jakarta:
Djambatan, 2002, hlm. 20
86
Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana , (Bandung: Alumni, 2006), hlm. 86
87
M. Sholehuddin, Op. Cit., hlm. 162
88
Niniek Suparni, Eksistensi Pidana Denda Dalam Sistem Pidana Dan Pemidanaan , (Jakarta;
Sinar Grafika, 1996), hlm. 3
85

Universitas Sumatera Utara

pemikiran

pembaharuan

terhadap

pidana

dan

pemidanaan

bukan

hanya

menitikberatkan terhadap kepentingan masyarakat tetapi juga perlindungan individu
dari pelaku tindak pidana.
Menurut ketentuan peraturan perundang-undang ditentukan bahwa dalam
mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat
yang baik dan jahat dari terdakwa. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka dalam
menentukan berat ringannya pidana

yang akan dijatuhkan, hakim wajib

memperhatikan sifat baik atau sifat jahat dari terdakwa sehingga putusan yang
dijatuhkan sesuai dan adil dengan kesalahan yang dilakukannya. 89
Menurut hukum acara, ditentukan bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan
pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti
yang sah hakim memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar
terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Ketentuan tersebut
adalah untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan dan kepastian hukum bagi
seseorang.90 Perihal penjatuhan pidana, hakim mempunyai kebebasan besar.
Kekuasaan

kehakiman

adalah

kekuasaan

negara

yang

merdeka

untuk

menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, demi
terselenggaranya negara hukum.91

89

Pasal 8 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman
Pasal 183 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
91
Menurut Pasal 1 Butir 1 Undang-Undang 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman
90

Universitas Sumatera Utara

Hakim yang secara khusus menjadi aktor utama dalam menjalankan aktivitas
peradilan untuk memeriksa, mangadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan.
Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan
kehakiman dilarang, dalam arti bahwa hakim dalam memeriksa dan mengadili
perkara tidak boleh dipengaruhi oleh siapapun juga. Dengan demikian hakim dapat
memberi keputusan yang sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.
Meskipun pada asasnya hakim itu mandiri atau bebas, tetapi kebebasan hakim itu
tidaklah mutlak, karena dalam menjalankan tugasnya hakim secara mikro dibatasi
oleh peraturan perundang-undangan, kehendak para pihak, ketertiban umum dan
kesusilaan, yang mana hal itu adalah faktor-faktor yang dapat membatasi kebebasan
hakim.92

B. Kedudukan Hukum Bagi Warga Negara Asing Pelaku Tindak Pidana
Narkotika
Kedudukan warga negara asing sebagai pelaku tindak pidana narkotika dapat
dilihat dalam kaitan pemberlakuan hukum pidana yang bersumber prinsip-prinsip:93
1.

2.

Prinsip teritorialitas adalah prinsip yang menganggap hukum pidana Indonesia
berlaku di dalam wilayah Indonesia, siapapun yang melakukan tindak pidana
dimana prinsip ini ditegaskan dalam Pasal 2 KUHP.
Prinsip nasional aktif dimana prinsip ini dianut dalam Pasal 5 KUHP yang
mengatakan bahwa ketentuan-ketentuan hukum pidana Indonesia berlaku bagi
warga negara Indonesia yang melakukan tindak pidana di luar wilayah negara
Indonesia. Prinsip ini dinamakan nasional aktif karena berhubungan dengan
keaktifan berupa kejahatan dari seorang warga negara.
92

Bambang Sutiyoso & Sri Hastuti Puspitasari, Aspek-Aspek Perkembangan Kekuasaan
Kehakiman Di Indonesia , (Yogyakarta: UII Press, 2005), hlm. 51
93
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Refika Aditama,
2003), hlm. 51-57

Universitas Sumatera Utara

3.

4.

Prinsip nasional pasif dimana prinsip ini memperluas berlakunya ketentuanletentuan hukum pidana Indonesia di luar wilayah Indonesia berdasar atas
kerugian nasional amat besar yang diakibatkan oleh beberapa kejahatan sehingga
siapa saja termasuk orang asing yang melakukannya dimana saja pantas dihukum
oleh pengadilan negara Indonesia.
Prinsip universalitas dimana prinsip ini melihat pada suatu tata hukum
internasional, dimana terlibat kepentingan bersama dari semua negara di dunia,
maka kalau ada suatu tindak pidana yang merugikan kepentingan bersama dari
semua negara ini, adalah layak bahwa tindak pidana dapat dituntut dan dihukum
oleh pengadilan setiap negara, dengan tidak dipedulikan, siapa saja yang
melakukannya dan di mana saja. Prinsip ini dianut dalam Pasal 4 sub 4 KUHP
yang pada intinya menentukan bahwa ketentuan-ketentuan hukum pidana
Indonesia berlaku bagi siapa saja, termasuk orang-orang asing yang di luar
wilayah Indonesia yang melakukan kejahatan yang melibatkan kepentingan
bersama negara di dunia.
Prinsip yang diterapkan pada perkara tindak pidana narkotika oleh warga

negara asing adalah prinsip teritorialitas. Wirjono menyatakan bahwa “ketentuanketentuan hukum pidana Indonesia berlaku bagi siapa saja yang melakukan tindak
pidana di dalam wilayah negara Indonesia.”94 R. Soesilo menyatakan bahwa tiap
orang berarti siapa juga, baik warga negara sendiri, maupun warga negara asing,
dengan tidak membedakan kelamin atau agama, kedudukan atau pangkat, yang
berbuat peristiwa pidana dalam wilayah hukum Indonesia.95
Ketentuan perundang-undangan yang mengatur masalah narkotika telah
disusun dan diberlakukan bahkan disertai dengan ancaman pidana yang serius, namun
demikian kejahatan yang menyangkut masalah narkotika ini masih terus berlangsung.
Dalam beberapa kasus telah banyak bandar dan pengedar narkotika tertangkap dan
mendapatkan sanksi berat berupa pidana mati. Putusan Makamah Konstitusi
94

Ibid., hlm. 51
R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya
Lengkap Pasal Demi Pasal, (Bogor: Politea, 1976), hlm. 29
95

Universitas Sumatera Utara

menyatakan bahwa penerapan sanksi pidana mati bagi para pelaku tindak pidana
narkotika tidak melanggar hak asasi manusia, akan tetapi justru para pelaku tersebut
telah melanggar hak asasi manusia lain, yang memberikan dampak terhadap
kehancuran generasi muda di masa yang akan datang.
Pasal 136 UU Narkotika memberikan sanksi berupa narkotika dan prekursor
narkotika serta hasil-hasil yang diperoleh dari tindak pidana narkotika baik itu aset
bergerak atau tidak bergerak maupun berwujud atau tidak berwujud serta barangbarang atau peralatan yang digunakan untuk tindak pidana narkotika dirampas untuk
negara. Pasal 146 UU Narkotika juga memberikan sanksi terhadap warga negara
asing yang telah melakukan tindak pidana narkotika ataupun menjalani pidana
narkotika yakni dilakukan pengusiran wilayah negara dan dilarang masuk kembali ke
wilayah negara. Pasal 148 UU Narkotika menyatakan bahwa “bila putusan denda
yang diatur dalam undang-undang ini tidak dibayarkan oleh pelaku tindak pidana
narkotika maka pelaku dijatuhi penjara paling lama dua tahun sebagai pengganti
pidana denda yang tidak dapat dibayar.”
C. Penerapan Pemidanaan Bagi Warga Negara Asing Pelaku Tindak Pidana
Narkotika Menurut Ketentuan KUHP Dan Undang-Undang Narkotika
Masalah penegakan hukum merupakan masalah yang sangat penting dalam
rangka menciptakan tata tertib, ketentraman, dan keamanan dalam kehidupan suatu
masyarakat. Hukum pada dasarnya berfungsi untuk memberikan perlindungan
terhadap kepentingan manusia, sehingga hukum harus dijunjung tinggi dalam rangka
menciptakan tatanan masyarakat yang tertib dan damai. Demikian halnya bagi warga

Universitas Sumatera Utara

negara asing yang melakukan penyalahgunaan narkotika, hukum juga wajib untuk
diberikan dan ditegakkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, sehingga dapat
menegakkan keadilan bagi tegaknya supremasi hukum.
Struktur penegakan hukum mempunyai peranan masing-masing dalam
menjalankan fungsi hukum, seperti polisi yang diberi wewenang oleh negara untuk
memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada warga negaranya
serta penegakan hukum yang tertuju pada terciptanya keamanan dan ketertiban
masyarakat. Jaksa yang diberi wewenang oleh negara untuk melakukan penuntutan
terhadap seseorang atau badan hukum yang diduga melawan hukum, yang bertujuan
agar terciptanya suatu hukum formil, dan hakim yang diberi wewenang oleh negara
untuk mengadili suatu perkara yang melawan hukum dan memutus sesuai dengan hak
asasi manusia, dan mempuyai tujuan dari putusan tersebut.
Pengadilan adalah lembaga yang berwenang untuk memerikasa, mengadili,
dan memutus suatu perkara termasuk perkara bagi warga negara asing berdasarkan
asas bebas, jujur, dan tidak memihak di sidang pengadilan menurut cara yang diatur
dalam undang-undang. Fungsi hakim dalam mengadili suatu perkara maka hakim
mempunyai kedudukan bebas dan bertanggungjawab terhadap segala urusan dalam
peradilan oleh pihak-pihak lain dilarang kecuali dalam hal diperkenankan oleh
undang-undang. Hakim adalah harapan para justiabelen (pencari keadilan) oleh
karena itu mereka harus membaca jiwa yang terkandung di dalam teks-teks hukum.96

96

Satjipto Rahardjo, Dalam Jagat Ketertiban Hukum Progresif, (Jurnal Konstitusi Mahkamah
Konstitusi RI Volume 6, 2009), hlm. 12

Universitas Sumatera Utara

Penjatuhan pidana merupakan perwujudan pidana dalam bentuk konkrit
dimana penjatuhan pidana hanya dapat dilakukan oleh hakim yang memeriksa
perkara pidana yang bersangkutan. Untuk mengambil keputusan, hakim harus
mempunyai pertimbangan yang bijak supaya putusan tersebut sesuai dengan azas
keadilan.97 Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa “kekuasaan kehakiman identik
dengan kekuasaan untuk menegakkan hukum atau kekuasaan penegakan hukum.” 98
Sedangkan Mochtar Kusumaatmadja, mengemukakan bahwa:99
“Hakim dalam memerikasa dan memutus perkara, bebas dari campur tangan
masyarakat, eksekutif, maupun legislatif. Dengan kebebasan yang dimilikinya
itu, diharapkan hakim dapat mengambil keputusan berdasarkan hukum yang
beralaku dan juga berdasarkan keyakinannya yang seadil-adilnya serta
memberikan mamfaat bagi masyarakat.”
Mengingat peranan penting pengadilan dalam rangka penegakan hukum dan
keadilan maka terciptanya pengadilan yang merdeka, netral (impartial judge),
kompeten, dan berwibawa yang mampu menegakkan wibawa hukum, pengayom
hukum, kepastian hukum dan keadilan merupakan condition sine qua non atau
persyaratan mutlak dalam sebuah negara yang berdasarkan hukum.
Suatu bagian penting dari hukum pidana yang tampaknya masih kurang
mendapat perhatian adalah bagian mengenai pemidanaan (sentencing atau
straftoemeting). Padahal segala pengaturan mengenai hukum pidana ini pada

Masruchin Ruba’i, Mengenal Pidana Dan Pemidanaan Di Indonesia , (Malang: IKIP
Malang, 1994), hlm. 63
98
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum Dan Kebijakan Penanggulangan
Kejahatan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001), hlm. 27
99
Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi Dan Perkembangan Hukum Dalam Pembangunan
Nasional, Lembaga Penelitian Hukum Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, (Bandung: Bina
Cipta, 1986), hlm. 319-320
97

Universitas Sumatera Utara

akhirnya akan berpuncak kepada pemidanaan yang dapat merenggut kemerdekaan
seseorang, harta bendanya, bahkan jiwanya. Hakim dalam menjatuhkan putusan
pidana, bebas menentukan berat ringannya hukuman yang akan dijatuhkan, akan
tetapi kebebasan ini dalam menentukan pidana harus dipahami benar makna
kejahatan, penjahat (pembuat kejahatan), dan pidana.100
Upaya mendapatkan suatu keputusan yang adil, majelis hakim melakukan
musyawarah, musyawarah tersebut diadakan antara anggota majelis hakim. Para
anggota majelis hakim saling bertukar pikiran atas dasar surat dakwaan dan segala
sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang, dan kemudian para anggota
majelis hakim masing-masing mengambil kesimpulan atas perkara yang sedang
disidangkan tersebut. Dalam prakteknya, musyawarah antara anggota majelis hakim
ini tidak selalu alot dan saling mempertahankan argumentasinya, sebab pada saat
pemeriksaan di sidang masing-masing anggota majelis hakim sudah memiliki
kesimpulan sendiri. Jadi, dalam musyawarah itu sebenarnya saling mendengarkan
pendapat dan pada gilirannya saling menyepakati pendapat anggota majelis hakim
yang secara materiil dan formil sudah ditemui akurasi kebenaran dan keadilannya. 101
Hal-hal yang sering memberikan indikasi penerapan undang-undang narkotika
tidak konsisten oleh majelis hakim adalah apabila putusan yang diambil sanksinya
sangat jauh dari apa yang diterapkan dalam undang-undang narkotika. Padahal

100

Eddy Djunaedi Kamasudirdja, Bebarapa Pedoman Pemidanaan Dan Pengamatan
Narapidana , (Jakarta: Bina Aksara, 1996, hlm. 80
101
Feby DP Hutagalung, Efektifitas Upaya Rehabilitasi Terhadap Pengguna Narkotika ,
Jurnal, (Malang: Universitas Brawijaya, 2013), hlm. 22

Universitas Sumatera Utara

sebenarnya indikasi semacam ini lahir dari suatu proses pemahaman yang kurang
menyeluruh atas sistem peradilan yang ada dan ketentuan-ketentuan yang ada dalam
KUHAP. Sebab sangat jelas digariskan bahwa hakim tidak dibenarkan mejatuhkan
pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti
yang sah, dan hakim dari alat bukti tersebut memperoleh keyakinan bahwa suatu
tindak pidana narkotika benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah
melakukannya.
Barda Nawawi Arief menyatakan “apabila pengertian pemidanaan diartikan
secara luas sebagai suatu proses pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim, maka
dapatlah dikatakan bahwa sistem pemidanaan mencakup keseluruhan ketentuan
perundang-undangan yang mengatur bagaimana hukum pidana itu ditegakkan atau
dioperasionalkan secara konkret sehingga seseorang dijatuhi sanksi (hukum
pidana).”102 Artinya semua aturan perundang-undangan mengenai hukum pidana
substantif, hukum pidana formal dan hukum pelaksanaan pidana dapat dilihat sebagai
satu kesatuan sistem pemidanaan.
Penjatuhan pidana merupakan perwujudan pidana dalam bentuk konkrit
dimana penjatuhan pidana hanya dapat dilakukan oleh hakim yang memeriksa
perkara pidana yang bersangkutan. Untuk mengambil keputusan, hakim harus
mempunyai pertimbangan yang bijak supaya putusan tersebut sesuai dengan azas
keadilan.103 Ketentuan pidana yang tercantum dalam semua undang-undang khusus di

102
103

Ibid., hlm. 129
Masruchin Ruba’i, Op Cit., hlm. 63

Universitas Sumatera Utara

luar KUHP merupakan bagian khusus (sub sistem) dari keseluruhan sistem
pemidanaan, dengan demikian, sistem pemidanaan dalam undang-undang khusus di
luar KUHP harus terintegrasi dalam (konsisten dengan) aturan umum ( general rules),
namun dalam undang-undang khusus di luar KUHP tersebut dapat membuat aturan
khusus yang menyimpang atau berbeda dengan aturan umum.104
Penyalahgunaan narkotika dalam hal ini perlu dilakukan upaya pencegahan
untuk mengurangi tindak kejahatan penyalahgunaan narkotika tersebut, yang tidak
terlepas dari peranan hakim sebagai salah satu aparat penegak hukum yang tugasnya
mengadili tersangka atau terdakwa, dimana yang dimaksud dengan mengadili adalah
“serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara
pidana berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak pada sidang pengadilan
dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam hukum acara pidana, yaitu memeriksa
dengan berdasarkan pada bukti-bukti yang cukup, dimana pada tahap ini tersangka
dituntut, diperiksa dan diadili oleh hakim dinamakan terdakwa.”105
Penerapan pidana terhadap pelaku tindak pidana narkotika di lembaga
peradilan diputuskan menurut ancaman pidana yang ditentukan didalam UndangUndang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2009 Tentang Narkotika sebenarnya sudah cukup memadai untuk melakukan
pemberantasan tindak pidana narkotika karena disamping memiliki ancaman pidana

104

Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana , (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003),

105

Hartono Hadisoeprapto, Pengantar Tata Hukum Indonesia , (Yogyakarta: Liberty, 1999),

hlm. 136
hlm. 127

Universitas Sumatera Utara

yang lebih besar bila dibandingkan dengan Undang-Uundang Nomor 22 Tahun 1997
Tentang Narkotika, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika juga
memiliki ancaman pidana minimum sehingga para penegak hukum seperti jaksa dan
hakim tidak bisa menuntut dan menjatuhkan pidana kurang dari batas minimum yang
sudah ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.
Penerapan kebijakan hukum pidana terhadap warga negara asing dapat dilihat
dalam kasus bali nine, dimana baru-baru ini pemerintah telah melaksanakan
penerapan kebijakan hukum pidana terhadap kasus penyelundupan narkoba oleh
sembilan warga asing berkebangsaan Australia. Pada tanggal 17 April 2005 sembilan
warga Australia ditangkap di Bandara Ngurah Rai, dengan tuduhan berupaya
menyelundupkan lebih dari 8 (delapan) kilogram heroin keluar dari Indonesia. Martin
Stephens, Renae Lawrence,