Analisis Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Warga Negara Asing Pelaku Tindak Pidana Narkotika

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pemerintah dalam upaya untuk meningkatkan derajat kesehatan sumber daya
manusia dan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat perlu melakukan upaya
peningkatan di bidang pengobatan dan pelayanan kesehatan, antara lain pada satu sisi
dengan mengusahakan ketersediaan narkotika jenis tertentu yang sangat dibutuhkan
sebagai obat dan di sisi lain melakukan tindakan pencegahan dan pemberantasan
terhadap bahaya penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Meskipun narkotika
sangat bermanfaat untuk pengobatan dan pelayanan kesehatan, namun apabila
disalahgunakan atau digunakan tidak sesuai dengan standar pengobatan, terlebih jika
disertai dengan peredaran narkotika secara gelap akan menimbulkan akibat yang
sangat merugikan perorangan maupun masyarakat khususnya generasi muda. Bahkan
dapat menimbulkan bahaya yang lebih besar lagi bagi kehidupan dan nilai-nilai
budaya bangsa yang pada akhirnya akan dapat melemahkan ketahanan nasional.1
Sejarah penanggulangan bahaya narkotika dan kelembagaannya di Indonesia
dimulai tahun 1971 pada saat dikeluarkannya Instruksi Presiden Republik Indonesia
(Inpres) Nomor 6 Tahun 1971 kepada Kepala Badan Koordinasi Intelijen Nasional
(BAKIN) untuk menanggulangi 6 (enam) permasalahan nasional yang menonjol,


1

Syamsul Hidayat, Pidana Mati Di Indonesia, (Yogyakarta: Genta Press, 2010), hlm. 1

Universitas Sumatera Utara

yaitu pemberantasan uang palsu, penanggulangan penyalahgunaan narkoba,
penanggulangan penyelundupan, penanggulangan kenakalan remaja, penanggulangan
subversi, pengawasan orang asing.
Pada masa itu, permasalahan narkotika di Indonesia masih merupakan
permasalahan kecil dan Pemerintah Orde Baru terus memandang dan berkeyakinan
bahwa permasalahan narkoba di Indonesia tidak akan berkembang karena bangsa
Indonesia adalah bangsa yang agamis. Pandangan ini ternyata membuat pemerintah
dan seluruh bangsa Indonesia lengah terhadap ancaman bahaya narkotika, sehingga
pada saat permasalahan narkotika meledak dengan dibarengi krisis mata uang
regional pada pertengahan tahun 1997, pemerintah dan bangsa Indonesia seakan tidak
siap untuk menghadapinya, berbeda dengan Singapura, Malaysia dan Thailand yang
sejak tahun 1970 secara konsisten dan terus menerus memerangi bahaya narkotika.
Pelaku peredaran dan pengguna narkotika sendiri terdiri dari berbagai lapisan

kalangan masyarakat, mulai dari anak-anak sampai orang dewasa, orang yang tidak
berpendidikan sampai orang yang berpendididkan, public figure, artis, anggota
dewan, aparat penegak hukum saat ini sudah mulai menyalahgunakan narkotika,
bahkan seorang residivis pun berulang kali melakukan peredaran narkotika setelah
keluar dari penjara, dan yang sangat disayangkan lagi saat ini peredaran narkotika
sudah banyak yang di kendalikan dari dalam penjara.
Masalah penyalahgunaan narkotika ini bukan saja merupakan masalah yang
perlu mendapat perhatian bagi negara Indonesia, melainkan juga bagi negara-negara
lain di seluruh dunia. Memasuki abad millenium perhatian dunia internasional

Universitas Sumatera Utara

terhadap masalah narkotika semakin meningkat, salah satu dapat dilihat melalui
Single Convention On Narcotic Drugs pada tahun 1961.2 Masalah ini menjadi begitu
penting mengingat bahwa narkotika itu adalah suatu zat yang dapat merusak fisik dan
mental yang bersangkutan, apabila penggunanya tanpa resep dokter.
Kebijakan penanggulangan tindak pidana penyalahgunaan obat-obatan atau
narkotika merupakan kebijakan hukum positif yang pada hakikatnya bukanlah
semata-mata pelaksanaan undang-undang yang dapat dilakukan secara yuridis
normatif dan sistematik, dogmatik. Selain dengan pendekatan yuridis normatif,

kebijakan hukum pidana juga memerlukan pendekatan yuridis faktual yang dapat
berupa pendekatan sosiologis, historis, bahkan memerlukan pula pendekatan
komprehensif dari berbagai disiplin ilmu lainnya dan pendekatan integral dengan
kebijakan sosial dan pembangunan nasional pada umumnya. 3
Kebijakan penanggulangan tindak pidana penyalahgunaan narkotika tidak bisa
lepas dari tujuan negara untuk melindungi segenap bangsa dan untuk memajukan
kesejahteraan umum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.4
Sebagai warga negara berkewajiban untuk memberikan perhatian pelayanan
pendidikan melalui pengembangan ilmu pengetahuan, selain itu sisi lain yang
menjadi perhatian pemerintah adalah mengenai keamanan dan ketertiban masyarakat

2

Kusno Adi, Kebijakan Kriminal Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika Oleh
Anak, (Malang: UMM Press, 2009), hlm. 30
3
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya
Bakti, 2005), hlm. 22
4
Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan

Pidana Penjara, (Semarang: UNDIP, 1996), hlm. 6

Universitas Sumatera Utara

khususnya yang berdampak dari gangguan dan perbuatan pelaku tindak pidana
narkotika.
Reformulasi kebijakan sanksi khususnya bagi pengguna narkotika kedepan
yaitu dengan menerapkan sanksi tindakan perlu mempertimbangkan jenis atau bentuk
dari sanksi tindakan yang tepat dan bermanfaat dalam rangka menyelamatkan
penyalaguna narkotika bagi pecandu. Untuk menentukan jenis sanksi tindakan
tersebut perlu memperhatikan beberapa hal seperti konvensi negara-negara didunia
mencerminkan paradigma baru untuk menghindari peradilan pidana. (restorative
justice) yang merupakan alternatif yang sering digunakan diberbagai belahan dunia
untuk penanganan pelaku tindak pidana yang bermasalah dengan hukum karena
menawarkan solusi yang komprehensif dan efektif.5
Masalah kebijakan hukum pidana merupakan salah satu bidang yang
seyogyanya menjadi pusat perhatian kriminologi, karena kriminologi sebagai studi
yang bertujuan mencari dan menentukan faktor-faktor yang membawa timbulnya
kejahatan-kejahatan dan penjahat. Kajian mengenai kebijakan hukum pidana (penal
policy) yang termasuk salah satu bagian dari ilmu hukum pidana, erat kaitannya

dengan pembahasan hukum pidana nasional.
Salah satu jalur non penal untuk mengatasi masalah-masalah sosial adalah
lewat kebijakan sosial (social policy). Kebijakan sosial pada dasarnya adalah
kebijakan atau upaya-upaya rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat, jadi

5

DS. Dewi, Fatahillah A. Syukur, Mediasi Penal Dalam Penerapan Restorative Justice Di
Pengadilan Anak Indonesia, (Depok: Indie Publishing, 2011), hlm. 4

Universitas Sumatera Utara

identik dengan kebijakan atau perencanaan pembangunan nasional yang meliputi
berbagai aspek yang cukup luas dari pembangunan. Sebaliknya apabila cara
pengendalian lain (social control), yaitu dengan cara menggunakan “kebijakan
sosial” (social policy) tidak mampu mengatasi tindak pidana, maka jalan yang dipakai
melalui kebijakan penal (kebijakan hukum pidana). Dua masalah sentral dalam
kebijakan tindak pidana dengan menggunakan sarana penal (hukum pidana) adalah
masalah perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana, dan sanksi apa yang
sebaiknya diberikan kepada si pelanggar. 6

Penegakan hukum terhadap kejahatan di Indonesia yang mana pemerintah
selaku penyelenggara kehidupan bernegara perlu memberikan perlindungan dan
kesejahteraan masyarakat melalui berbagai kebijakan yang teragenda dalam program
pembangunan nasional. Kebijakan pemerintah ini tergabung dalam kebijakan sosial
(social policy). Salah satu bagian dari kebijakan sosial ini adalah kebijakan
penegakan hukum (law enforcement policy), termasuk di dalamnya kebijakan
legislatif (legislative policy). Sedangkan kebijakan penanggulangan kejahatan
(criminal policy) itu sendiri merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum (law
enforcement policy).7
Pengkajian mengenai penegakan hukum pidana, dapat dilihat dari cara
penegakan hukum pidana yang dikenal dengan sistem penegakan hukum atau

6

Mardjono Reksodiputra, Pembaharuan Hukum Pidana, Pusat Pelayanan Dan Pengendalian
Hukum, (Jakarta: Lembaga Kriminologi UI, 1995), hlm. 23-24
7
Mahmud Mulyadi, Politik Hukum Pidana, (Medan: Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara, 2011), hlm. 6


Universitas Sumatera Utara

criminal law enforcement yang mana bagiannya adalah kebijakan penanggulangan
kejahatan (criminal policy), dimana dalam penanggulangan kejahatan dibutuhkan dua
sarana yakni menggunakan penal atau sanksi pidana, dan menggunakan sarana non
penal yaitu penegakan hukum tanpa menggunakan sanksi pidana (penal). Penegakan
hukum mempunyai sasaran agar orang taat kepada hukum. Ketaatan masyarakat
terhadap hukum disebabkan tiga hal, yakni takut berbuat dosa, takut karena
kekuasaan dari pihak penguasa berkaitan dengan sifat hukum yang bersifat imperatif,
dan takut karena malu berbuat jahat. Penegakan hukum dengan sarana non penal
mempunyai sasaran dan tujuan untuk kepentingan internalisasi.8
Penggunaan upaya hukum, termasuk hukum pidana, sebagai salah satu upaya
untuk mengatasi masalah sosial termasuk dalam bidang kebijakan penegakan hokum,
disamping itu karena tujuannya adalah untuk mencapai kesejahteraan masyarakat
pada umumnya, maka kebijakan penegakan hukum itupun termasuk dalam bidang
kebijakan sosial, yaitu segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan
masyarakat.9
Kebijakan penanggulangan kejahatan atau yang biasa di sebut dengan istilah
politik kriminal yang dapat meliputi ruang lingkup yang cukup luas. Maksudnya
dalam upaya penanggulangan kejahatan dapat ditempuh dengan penerapan hukum

pidana (criminal law application), pencegahan tanpa pidana (prevention without

8

Siswantoro Sunarso, Penegakan Hukum Dalam Kajian Sosiologis, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2004), hlm. 142
9
Muladi, Barda Nawawi Arief, Teori-Teori Dan Kebijakan hukum pidana, (Bandung:
Alumni, 1998), hlm. 148

Universitas Sumatera Utara

punishment), mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan
pemidanaan lewat media masa (influencing views of society on crime and
punishment). Permasalahan sentral dalam kebijakan penal adalah penentuan
perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana (yaitu melalui kebijakan
kriminalisasi), dan sanksi apa yang sebaiknya dijatuhkan kepada sipelanggar (yaitu
melalui kebijakan penalisasi).10
Barda Nawawi Arief dan Muladi menyatakan bahwa hubungan antara
penetapan sanksi pidana dan tujuan pemidanaan adalah titik penting dalam

menentukan strategi perencanaan politik kriminal. Menentukan tujuan pemidanaan
dapat menjadi landasan untuk menentukan cara, sarana atau tindakan yang akan
digunakan.11 Selanjutnya Barda Nawawi Arief menegaskan bahwa politik kriminal
merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan
upaya untuk mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare), oleh karena itu,
tujuan akhir atau tujuan utama dari politik kriminal adalah “perlindungan masyarakat
untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.” 12
Para pelaku tindak pidana narkotika sebagian besar berasal dari warga negara
asing yang berhasil di tangkap pihak kepolisian bekerjasama dengan Badan Narkotika
Nasional, dimana hal ini menunjukkan bahwa Indonesia telah menjadi surga bagi
para pelakunya. Kebijakan penal yang dilakukan oleh kepolisian meliputi

10

Ibid., hlm. 160
Ibid., hlm. 95
12
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Perkembangan
Penyusunan Konsep KUHP Baru, (Jakarta: Kencana Premedia Group, 2014), hlm. 4
11


Universitas Sumatera Utara

pengungkapan dan penyelesaian kasus (sampai di tahap penyidikan) baik yang
dilakukan oleh warga negara Indonesia maupun terhadap pelaku yang berasal dari
warga negara asing. Pelaku tindak pidana narkotika ini memiliki jaringan yang tidak
saling mengenal, oleh sebab itu pengungkapan kasus tindak pidana narkotika ini
memerlukan strategi yang matang dari aparat penegak hukum.
Kelemahan kebijakan legislatif akan berdampak pada para penegak hukum,
yaitu kesulitan mengaplikasikan aturan-aturan tersebut dalam menangani kasus-kasus
tindak pidana narkotika. Perumusan kebijakan kriminalisasi dan kualifikasi tindak
pidana yang kurang jelas, dimana kebijakan kriminalisasi undang-undang tersebut
terfokus untuk kepentingan pengobatan atau tujuan ilmu pengetahuan dan
pengangkutan narkotika (termasuk dalam lintas dan eksport). Kemudian dalam
kualifikasi tindak pidananya hanya mengatur ketentuan perubahan-perubahan sebagai
larangan termasuk ancaman sanksi pidana. Adanya kelemahan-kelemahan seperti
tersebut diatas, maka diadakan perubahan atas undang-undang yang lama, sebagai
penggantinya di keluarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang
Narkotika.
Suatu negara dapat menerapkan hukum terhadap kejahatan yang terjadi di

wilayahnya berdasarkan asas teritorial yang dilihat dari tempat (locus delicti) sebagai
dasar pemberlakuan hukum. Setiap orang (warga negara maupun warga negara asing)
yang mengancam keamanan negara maupun warganya diluar batas-batas wilayah
negara berlaku ketentuan pidana berdasarkan asas personalitas (pasif). KUHP
Indonesia secara tersirat menyatakankan beberapa asas yang menjadi landasan bagi

Universitas Sumatera Utara

pembentukan serta pemberlakuan hukum pidana atas suatu peristiwa pidana menurut
tempat yaitu asas teritorial, asas personalitas berdasarkan kewarganegaraan aktif, asas
personalitas berdasarkan kewarga negaraan pasif dan yang terakhir adalah asas
universal. Asas-asas ini merupakan dasar yang di atasnya dapat dilaksanakan
yurisdiksi suatu negara.13
Asas teritorial terdapat dalam Pasal 2 KUHP yang berbunyi “ketentuan
pidana dalam perundang-undangan Republik Indonesia berlaku bagi setiap orang
yang dalam daerah Republik Indonesia melakukan sesuatu tindak pidana.” Asas
teritorial ini melahirkan yuridiksi teritorial, yaitu kedaulatan atau kewenangan suatu
negara yang berdasarkan hukum Internasional untuk mengatur segala sesuatu yang
terjadi dalam batas-batas wilayah negaranya.
Salah satu wujud dari yurisdiksi teritorial suatu negara adalah membuat serta
memberlakukan hukum pidana Indonesia terhadap tindak pidana yang terjadi dalam
wilayah negara Indonesia. Ketentuan ini berlaku bagi warga negara Indonesia sendiri
maupun orang asing yang melakukan suatu tindak pidana.14 Hal ini merupakan dasar
yang diunggulkan bagi pelaksanaan yuridiksi negara. Peristiwa yang terjadi dalam
batas-batas teritorial suatu negara dan orang-orang yang berada di wilayah tersebut
sekalipun untuk sementara, pada lazimnya tunduk pada penerapan hukum lokal.15

13

Moeljanto, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), hlm. 3-5
I Wayan Parthiana, Hukum Pidana Internasional Dan Ekstradisi, (Bandung: Yrama Widya,
2003), hlm. 12-13
15
Rebecca M.M. Wallace, Hukum Internasional, (Semarang: IKIP Semarang Press, 1993),
hlm. 120
14

Universitas Sumatera Utara

Ruang lingkup hukum pidana mencakup tiga ketentuan yaitu tindak pidana,
pertanggungjawaban, dan pemidanaan. Ketentuan pidana yang terdapat dalam
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika digolongkan menjadi
empat kategorisasi tindakan melawan hukum yang dilarang oleh undang-undang dan
dapat diancam dengan sanksi pidana, yakni:16
a.

Kategori pertama, yakni perbuatan-perbuatan berupa memiliki, menyimpan,
menguasai atau menyediakan narkotika dan precursor narkotika.

b.

Kategori kedua, yakni perbuatan-perbuatan berupa memproduksi, mengimpor,
mengekspor, atau menyalurkan narkotika dan precursor narkotika.

c.

Kategori ketiga, yakni perbuatan-perbuatan berupa menawarkan untuk dijual,
menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau
menyerahkan narkotika dan prekursor narkotika.

d.

Kategori keempat, yakni perbuatan-perbuatan berupa membawa, mengirim,
mengangkut atau mentransit narkotika dan prekursor narkotika.
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika mengatur upaya

pemberantasan terhadap tindak pidana Narkotika melalui ancaman pidana pokok
yang terdiri dari pidana mati, pidana seumur hidup, dan pidana penjara, kemudian
diberlakukan pula pidana tambahan seperti denda, serta pencabutan hak-hak tertentu.
Selain pidana tersebut Pasal 146 undang-undang ini juga memberikan sanksi terhadap
warga negara asing yang telah melakukan tindak pidana narkotika ataupun telah

16

Siswanto Sunarso, Politik Hukum Dalam Undang-Undang Narkotika, (Jakarta: Rineka
Cipta, 2012), hlm. 256

Universitas Sumatera Utara

menjalani hukuman atas tindak pidana narkotika, dilakukan pengusiran wilayah
negara Republik Indonesia dan dilarang masuk kembali ke wilayah negara Republik
Indonesia.
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika juga mengatur
mengenai pemanfaatan Narkotika untuk kepentingan pengobatan dan kesehatan serta
mengatur tentang rehabilitasi medis dan sosial, namun dalam kenyataannya tindak
pidana narkotika di dalam masyarakat menunjukkan kecenderungan yang semakin
meningkat baik secara kuantitatif maupun kualitatif dengan korban yang meluas,
terutama di kalangan anak-anak, remaja, dan generasi muda pada umumnya. 17
Tujuan pemidanaan selain memiliki unsur sebagai pencegahan, juga untuk
memperbaiki terpidana, di samping mempertahankan tata tertib hukum. Pidana mati
apabila bertujuan sebagai pembalasan maupun pembelajaran bagi masyarakat atau
agar masyarakat menjadi jera untuk tidak mengulangi atau meniru tindakan yang
melanggar hukum, ternyata maksud dan tujuan itu tidaklah tercapai seperti yang
diharapkan, karena pada kenyataannya kasus tindak pidana pembunuhan dan
kejahatan narkotika tidak menjadi berkurang, bahkan meningkat, sekalipun sudah
terjadi pemidanaan mati yang dijatuhkan terhadap pelaku kejahatan tersebut.
Bentuk-bentuk pemidanaan yang dijatuhkan tidaklah terlepas dari latar
belakang filosofi yang melahirkan teori-teori tujuan pemidanaan, maka apabila
pidana mati dimaksudkan sebagai upaya pembalasan akan mengakibatkan
kecenderungan untuk memuaskan atau dapat saja tidak memuaskan, di mana secara
17

Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

Universitas Sumatera Utara

estetika terpidana harus menerima penderitaan seimbang dengan korbannya.
Sementara itu tujuan pemidanaan yang lain, adalah lebih menitikberatkan sebagai
prevensi dengan maksud agar orang lain jera untuk tidak melakukan kejahatan.18
Perkara tindak pidana narkotika yang dianggap sebagai kejahatan yang paling
serius dan dapat menjadi alat subversi, bahkan akibat yang ditimbulkan dapat
menghancurkan masa depan anak bangsa. Upaya penanggulangan dan pemberantasan
narkotika dan obat-obat terlarang di negara-negara maju sudah mulai dilakukan
dengan meningkatkan pendidikan sejak dini dan melakukan kampanye anti narkotika,
serta penyuluhan tentang bahayanya. Demikian seriusnya penanggulangan masalah
narkotika bagi kehidupan manusia sudah mendorong kerja sama internasional dalam
memerangi kejahatan narkotika tersebut.19
Pemidanaan berupa penjara, hukuman mati maupun denda terhadap warga
negara asing pelaku tindak pidana narkotika saat ini telah banyak dilaksanakan oleh
pengadilan. Salah satu pidana penjara telah diberikan hakim adalah kepada terdakwa
Orjan Robert Elovsson warga negara asing asal Swedia, Naravadee warga negara
asing asal Thailand dan Ataliat Joses Guambe warga negara asing asal Mozambique
oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan diyakini terbukti tanpa hak
melakukan permufakatan jahat mengedarkan narkotika, dan ketiga warga negara
asing tersebut di vonis masing-masing seumur hidup. Terdapat juga warga negara

18

Djoko Prakoso, Nurwachid, Studi Tentang Pendapat-Pendapat Mengenai Efektivitas
Pidana Mati Di Indonesia Dewasa Ini, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), hlm. 145
19
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya
Bakti, 2002), hlm. 56

Universitas Sumatera Utara

asing yang di sidang dan di vonis hukuman penjara oleh Pengadilan Negeri Surabaya
karena kasus narkoba, adalah tindak pidana narkotika yang dilakukan oleh Lu Xue
Mei, warga negara asing asal China yang mendapat hukuman 13 tahun penjara karena
terbukti mengedarkan narkoba. Selain itu, penyelundup sabu antar negara tersebut
diwajibkan membayar denda sebanyak satu milliar, dan jika tidak dibayar, bisa
diganti dengan hukuman penjara selama enam bulan.20
Indonesia juga memberlakukan pidana mati bagi bandar narkoba baik yang
berasal dari dalam negeri maupun luar negeri. Kejaksaan Agung telah melakukan
eksekusi hukuman mati tahap pertama terhadap lima terpidana mati kasus narkoba
yang berwarga negara asing. Kelima terpidana mati warga negara asing itu terdiri dari
empat laki-laki dan satu perempuan. Mereka adalah Namaona Denis, Umur 48 Tahun
Warga Negara Malawi, Marco Archer Cardoso Mareira, Umur 53 Tahun, Warga
Negara Brazil, Daniel Enemua, Umur 48 Tahun, Warga Negara Nigeria, Ang Kim
Soei, Umur 62 Tahun, Warga Negara Vietnam, Tran Thi Bich Hanh, Umur 37 Tahun,
Warga Negara Vietnam. Eksekusi terhadap lima terpidana mati itu dilakukan setelah
permohonan grasi mereka ditolak oleh Presiden Joko Widodo pada 30 Desember
2014.21
Tahap kedua pelaksanaan eksekusi mati yang sudah dilaksanakan terhadap
sembilan terpidana mati warga negara asing yakni, Andrew Chan Warga Negara
20

Warga Negara Asing Asal China Pengedar Narkoba Dihukum 13 Tahun,
http://realita.co/index.php?news=WNA-China-Pengedar-Narkoba-Dihukum-13Tahun~3b1ca0a43b79bdfd9f9305b81298296251d23c44fab3e50e73a3e39cdd56d60c, (diakses tanggal
16 April 2015).
21
Kejaksaan
Agung
RI,
Eksekusi
Terpidana
Mati
Narkoba,
http://www.kejaksaan.go.id/search.php?q=eksekusi+mati&x=0&y=0, (diakses tanggal 16 April 2015).

Universitas Sumatera Utara

Australia, Mary Jane Fiesta Veloso Warga Negara Filiphina, Myuran Sukumaran
Warga Negara Australia, Serge Areski Atlaoui Warga Negara Prancis, Martin
Anderson Warga Negara Ghana, Raheem Salami Warga Negara Spanyol, Rodrigo
Gularte Warga Negara Brazil, Sylvester Obiekwe Warga Negara Nigeria, Okwudili
Ayatanze Warga Negara Nigeria.22
Kenyataan di lapangan pemberlakuan kebijakan hukum pidana bagi para
warga negara asing pelaku kejahatan khususnya narkotika memerlukan waktu yang
cukup lama. Hal ini berkaitan dengan perlindungan hak-hak para pelaku kejahatan
dan kurang tegasnya sistem perundang-undangan yang ada, selain itu pelaksanaan
kebiajakan pidana bagi warga negara asing pelaku tindak pidana narkotika juga masih
mengalami pro dan kontra di masyarakat, akan tetapi berdasarkan hukum positif
Indonesia pelaksanaan kebijakan hukum pidana di Indonesia adalah dibenarkan.
Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan tersebut maka penelitian ini diberi
judul “Analisis Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Warga Negara Asing
Pelaku Tindak Pidana Narkotika.”
B. Perumusan Masalah
Perumusan masalah merupakan pertanyaan mengenai objek empirik yang
akan diteliti dan jelas batas-batasnya. Pada penelitian ini adapun yang menjadi
permasalahan adalah sebagai berikut:

22

Ibid.

Universitas Sumatera Utara

1.

Bagaimana penerapan kebijakan hukum pidana terhadap warga negara asing
pelaku tindak pidana narkotika di Indonesia?

2.

Bagaimana pelaksanaan kebijakan hukum pidana terhadap warga negara asing
pelaku tindak pidana narkotika di Indonesia?

3.

Bagaimana hambatan yang terjadi dalam pelaksanaan kebijakan hukum pidana
(khususnya pidana mati) terhadap warga negara asing pelaku tindak pidana
narkotika di Indonesia?

C. Tujuan Penelitian
1.

Untuk mengetahui dan menganalisis mengenai penerapan kebijakan hukum
pidana terhadap warga negara asing pelaku tindak pidana narkotika di Indonesia.

2.

Untuk mengetahui dan menganalisis mengenai pelaksanaan kebijakan hukum
pidana terhadap warga negara asing pelaku tindak pidana narkotika di Indonesia.

3.

Untuk mengetahui dan menganalisis mengenai hambatan-hambatan yang terjadi
dalam pelaksanaan kebijakan hukum pidana (khususnya pidana mati) terhadap
warga negara asing pelaku tindak pidana narkotika di Indonesia.

D. Manfaat Penelitian
Penelitan ini diharapkan dapat memberikan kontribusi baik secara teoretis
kepada disiplin ilmu hukum yang ditekuni oleh peneliti maupun praktis kepada para
praktisi hukum.
1.

Manfaat yang bersifat teoretis adalah diharapkan hasil penelitian ini dapat
menyumbangkan pemikiran dibidang hukum yang akan mengembangkan displin

Universitas Sumatera Utara

ilmu hukum khususnya dalam bidang pelaksanaan hukuman mati bagi terpidana
mati narkotika.
2.

Manfaat yang bersifat praktis adalah bahwa hasil penelitian ini nantinya
diharapkan memberikan jalan keluar yang akurat terhadap permasalahan yang
diteliti dan disamping itu peneltian ini dapat mengungkapkan teori-teori baru
serta pengembangan teori-teori yang sudah ada.23 Secara praktis diharapkan juga
agar penelitian ini dapat menjadi bahan masukan bagi masyarakat, aparat
penegak hukum dan para pihak yang berperan serta yang diharapkan dapat
meningkatkan kesadaran dan perannya dalam setiap pelaksanaan pidana
hukuman mati bagi terpidana narkotika, mengingat narkotika merupakan musuh
paling berbahaya bagi generasi penerus bangsa.

E. Keaslian Penelitian
Penelitian yang berjudul “Analisis Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Warga
Negara Asing Pelaku Tindak Pidana Narkotika” adalah hasil pemikiran sendiri.
Penelitian ini menurut sepengetahuan, belum pernah ada yang membuat. Kalaupun
ada seperti beberapa judul penelitian yang diuraikan di bawah ini dapat diyakinkan
bahwa substansi pembahasannya berbeda. Dengan demikian keaslian penelitian ini
dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan ilmiah. Pengujian tentang kesamaan
dan keaslian judul yang diangkat di perpustakaan fakultas hukum universitas
sumatera utara khususnya dilingkungan magister kenotariatan dan magister ilmu

23

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986), hlm. 106

Universitas Sumatera Utara

hukum juga telah dilakukan dan dilewati, namun ada beberapa penelitian tesis yang
memiliki kemiripan dengan judul yang diangkat, antara lain:
1.

Nama

: Anjan Pramuka Putra

Nim

: 067005063

Tahun

: 2008

Judul

: Analisis yuridis Penerapan Sistem Pemidanaan Terhadap pelaku

Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika
2.

Nama

: Elizabeth Siahaan

Nim

: 077005036

Tahun

: 2009

Judul

: Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkotika

Di Sumatera Utara
3.

Nama

: Jukiman Situmorang

Nim

: 087005009

Tahun

: 2010

Judul

: Analisis Yuridis Tindak Pidana Narkotika Sebagai Predicate Crime

Dalam Money Laundering

F. Kerangka Teori Dan Konsepsi
1.

Kerangka Teori
Kerangka teori merupakan landasan dari teori atau dukungan teori dalam

membangun atau memperkuat kebenaran dari permasalahan yang dianalisis.

Universitas Sumatera Utara

Kerangka teori dimaksud adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori,
tesis, sebagai pegangan baik disetujui atau tidak disetujui. 24 Teori berguna untuk
menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi
dan satu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat
menunjukkan ketidakbenarannya. Menurut Soerjono Soekanto, dinyatakan bahwa
keberlanjutan perkembangan ilmu hukum, selain bergantung pada metodologi,
aktivitas penelitian dan imajinasi sosial sangat ditentukan oleh teori.25
Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk memberikan arahan atau
petunjuk dan meramalkan serta menjelaskan gejala yang diamati. Penelitian ini
berusaha untuk memahami mengenai konsep pidana hukuman mati yang diterapkan
bagi terpidana narkotika, dimana konsep pidana hukuman mati diharapkan dapat efek
jera bagi pemakai, pengedar, dan pembuat narkotika.
Teori dalam penulisan tesis ini menggunakan teori tujuan hukum dimana
tujuan hukum harus mewujudkan kepastian hukum, keadilan hukum dan kemanfaatan
hukum. Istilah kepastian hukum dalam tataran teori hukum tidak memiliki pengertian
yang tunggal. Hal ini disebabkan oleh adanya sejumlah pendapat yang berusaha
menjelaskan arti dari istilah tersebut dengan argumen dan perspektif tertentu, baik
dalam pengertian yang sempit maupun luas. Kepastian hukum secara normatif adalah
ketika suatu peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara
jelas dan logis, jelas dalam artian tidak menimbulkan keragu-raguan (multitafsir) dan

24
25

M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu Dan Penelitian, (Bandung: Mandar Maju, 1994), hlm. 80
Soerjono Soekanto, Ibid., hlm. 6

Universitas Sumatera Utara

logis dalam artian menjadi suatu sistem norma, dengan norma lain sehingga tidak
berbenturan atau menimbulkan konflik antara norma satu dengan yang lainnya.
Konflik norma yang ditimbulkan dari ketidakpastian aturan dapat berbentuk
kontestasi norma, reduksi norma atau distorsi norma. Pendapat ini dapat
dikategorikan sebagai pendapat yang berperspektif legal positivism karena lebih
melihat kepastian hukum dari sisi kepastian perundang-undangan. Kepastian hukum
harus diindikasikan oleh adanya ketentuan peraturan yang tidak menimbulkan
multitafsir terhadap formulasi gramatikal dan antinomi antar peraturan, sehingga
menciptakan keadaan hukum yang tidak membawa kebingungan ketika hendak
diterapkan atau ditegakkan oleh aparat penegak hukum.
Gustaf Radbruch pada konsep ajaran prirotas baku mengemukakan bahwa tiga
ide dasar hukum atau tiga tujuan utama hukum adalah keadilan, kemanfaatan dan
kepastian hukum. Keadilan merupakan hal yang utama dari ketiga hal itu tetapi tidak
berarti dua unsur yang lain dapat dengan serta merta diabaikan. Hukum yang baik
adalah hukum yang mampu mensinergikan ketiga unsur tersebut demi kesejahteraan
dan kemakmuran masyarakat.26
Keadilan yang dimaksudkan ini adalah keadilan dalam arti yang sempit yakni
kesamaan hak untuk semua orang di depan pengadilan. Kemanfaatan atau finalitas
menggambarkan isi hukum karena isi hukum memang sesuai dengan tujuan yang mau
dicapai oleh hukum tersebut. Kepastian hukum dimaknai dengan kondisi di mana

26

Ali Ahmad, Menguak Teori Hukum Dan Teori Peradilan, (Jakarta: Kencana, 2009), hlm.

287-288

Universitas Sumatera Utara

hukum dapat berfungsi sebagai peraturan yang harus ditaati.27 Kepastian hukum itu
berkaitan dengan putusan hakim yang didasarkan pada prinsip the binding for
precedent (stare decisis) dalam sistem common law dan the persuasive for precedent
(yurisprudensi) dalam civil law. Putusan hakim yang mengandung kepastian hukum
adalah putusan yang berisi prediktabilitas dan otoritas. Kepastian hukum akan
terjamin oleh sifat prediktabilitas dan otoritas pada putusan-putusan terdahulu.28
Hukum bertugas menjamin adanya kepastian hukum (rechszekerheid) dalam
pergaulan manusia. Dalam tugas itu tersimpul dua tugas lain, yaitu harus menjamin
keadilan serta hukum tetap berguna. Dalam kedua tugas tersebut tersimpul pula tugas
ketiga yaitu hukum menjaga agar masyarakat tidak terjadi main hakim sendiri
(eigenrichting). Dalam penerapan teori hukum tidak dapat hanya satu teori saja tetapi
harus gabungan dari berbagai teori. Berdasarkan teori hukum yang ada maka tujuan
hukum yang utama adalah untuk menciptakan keadilan, kemanfaatan, kepastian
hukum, ketertiban dan perdamaian.29 Fuller memberikan makna yang lebih luas
tentang kepastian hukum. Fuller menjabarkan pendapatnya tentang kepastian hukum,
dengan menyatakan bahwa kepastian hukum selalu berkaitan dengan hal-hal seperti:30
a.
b.
c.
d.

Adanya sistem hukum yang terdiri dari peraturan-peraturan, bukan berdasarkan
putusan sesaat untuk hal-hal tertentu.
Peraturan tersebut diumumkan kepada publik.
Peraturan tersebut tidak berlaku surut.
Dibuat dalam rumusan yang dimengerti oleh umum.
27

Ibid., hlm. 162
Ibid., hlm. 294
29
Ridwan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999),
28

hlm. 22
30

Ahmad Ali, Op. Cit., hlm. 294

Universitas Sumatera Utara

e.
f.
g.
h.

Tidak boleh ada peraturan yang saling bertentangan.
Tidak boleh menuntut suatu tindakan yang melebihi apa yang dapat dilakukan.
Tidak boleh sering diubah-ubah.
Harus ada kesesuaian antara peraturan dan pelaksanaan sehari-hari.
Fungsi teori tujuan hukum disini adalah untuk menjamin setiap pelaksanaan

pidana hukuman mati bagi terpidana mati narkotika, mengingat pidana mati sebagai
efek pembuat jera bagi pemakai, pengedar, dan pembuat narkotika, yang jika di
edarkan di wilayah hukum Indonesia. Kepastian hukum juga mengisyaratkan bahwa
setiap pelaku tindak pidana narkotika yang dijatuhi hukuman mati oleh hakim, maka
pelaksanaan hukuman pidana mati sudah pasti diberikan kepada terpidana mati
narkotika.
Teori dalam penulisan tesis ini menggunakan teori sistem hukum yang di
dalamnya terdapat asas-asas hukum yang terpadu yang membentuk tertib hukum
terhadap hukum pidana di Indonesia. Asas-asas hukum itu terdapat dalam hukum
pidana dan hukum acara pidana Indonesia. Salah satu asas hukum dalam hukum
pidana adalah asas legalitas, yaitu tidak ada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali
atas kekuatan aturan pidana dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada
sebelum perbuatan itu dilakukan.31
Sesudah perbuatan dilakukan ada perubahan dalam peraturan perundangundangan, maka yang dipakai adalah aturan yang paling ringan sanksinya bagi
terdakwa.32 Selain asas legalitas terdapat asas tiada pidana tanpa kesalahan untuk

31
32

Pasal 1 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Pasal 1 Ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Universitas Sumatera Utara

menjatuhkan pidana kepada orang yang telah melakukan tindak pidana, harus
dilakukan bilamana ada unsur kesalahan pada diri orang tersebut.33
Pengertian mengenai hukum banyak dikemukakan oleh para ahli hukum. Satu
sama lain memiliki perbedaan dan sampai sekarang tidak ada satu pengertian hukum
yang disepakati oleh semua pihak, karena masing-masing mempunyai perspektif yang
berbeda. Secara garis besar pengertian hukum dapat dikelompokkan menjadi tiga
yaitu:
a.

b.

c.

Hukum dilihat sebagai perwujudan nilai-nilai tertentu, maka metode yang
dipergunakan bersifat idealis, metode ini selalu berusaha menguji hukum yang
harus mewujudkan nilai-nilai tertentu.
Hukum dilihat sebagai suatu sistem peraturan-peraturan yang abstrak, maka
perhatian akan terpusat pada hukum sebagai suatu lembaga yang benar-benar
otonom yang bisa dibicarakan sebagai subyek tersendiri terlepas dari kaitannya
dengan hal-hal di luar peraturan tersebut. Cara pandang ini akan menggunakan
metode normatif analitis.
Hukum dipahami sebagai alat untuk mengatur masyarakat, maka metode yang
digunakan adalah sosiologis. Metode ini akan mengkaitkan hukum kepada usahausaha untuk mencapai tujuan dan dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan
kongkrit masyarakat. Pusat perhatiannya tertuju pada efektifitas dari hukum.34
Komponen yang terdapat pada bagian struktur yaitu kelembagaan yang

diciptakan oleh sistem hukum dengan berbagai macam fungsinya dalam rangka
mendukung bekerjanya sistem hukum, komponen substansi adalah luaran dan sistem
hukum, termasuk di dalamnya norma-norma itu sendiri baik berupa peraturanperaturan, keputusan-keputusan yang semuanya digunakan untuk mengatur tingkah
laku manusia adapun budaya atau kultur hukum adalah nilai-nilai dan sikap-sikap

33

Fully Handayani, Pengantar Hukum Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2011), hlm.

34

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996), hlm. 6

59-61

Universitas Sumatera Utara

yang merupakan pengikat sistem itu serta menentukan tempat sistem itu di tengahtengah budaya bangsa sebagai keseluruhan.35
Lawrence M. Friedman mengemukakan teori bahwa beroperasinya suatu
sistem hukum dalam masyarakat atau efektivitas hukum sangat ditentukan oleh tiga
komponen dasar. Tentang hal itu, Friedman mengatakan, “a legal system in actual
operation is a complex organism in which structure, substance, and culture
interact.”36 Sistem hukum tersebut dapat memainkan peranan sebagai pendukung dan
penunjang dalam setiap usaha untuk merealisasikan tujuan pembangunan, sehingga
dapat dikatakan sistem bukum yang efektif adalah sistem hukum yang mendukung
terealisasinya tujuan yang dicapai dalam pembangunan. 37
Fungsi teori sistem hukum pada penelitian ini adalah untuk melihat peranan
sistem hukum dari tiap-tiap sistem hukum negara yang berbeda baik dalam sistem
negara hukum civil law maupun common law dalam pelaksanaan pidana hukuman
mati bagi terpidana mati narkotika. Selain itu teori sistem hukum juga akan
menganalisis sejauh mana peranan kebijakan pemerintah dalam menegakkan sistem
aturan hukum pidana yang dianut masing-masing negara.
Penelitian ini juga menggunakan teori efektivitas hukum menurut Soerjono
Soekanto, hal tersebut didasarkan atas pertimbangan babwa parameter efektivitas
hukum lebih sistematis, praktis serta lebih mudah diamati dalam penelitian, sehingga

35

Esmi Warasih, Pengaruh Budaya Hukum Terhadap Fungsi Hukum, (Semarang: Badan
Penerbit Universitas Diponegoro, 2011), hlm. 134
36
Ibid.
37
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

secara garis besar lebih memudahkan peneliti dalam melakukan penelitiannya. Lon L.
Fuller mengkonsepsikan hukum sebagai sarana untuk mencapai tujuan tertentu.
Untuk dapat mewujudkan tujuannya, hukum harus memenuhi persyaratanpersyaratan tertentu atau disebut sebagai delapan prinsip legalitas, yaitu sebagai
berikut:38
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Harus ada peraturannya lebih dahulu
Peraturan itu harus diumumkan secara layak
Peraturan itu tidak boleh berlaku surut
Perumusan peraturan-peraturan itu harus jelas dan terperinci, ia harus dapat
dimengerti oleh rakyat
Hukum tidak boleh meminta dijalankannya hal-hal yang tidak mungkin
Diantara sesama peraturan tidak boleh terdapat pertentangan satu sama lain
Peraturan-peraturan harus tetap, tidak boleh sering diubah-ubah
Harus terdapat kesesuaian antara tindakan-tindakan para pejabat hukum dan
peraturan-peraturan yang telah dibuat.
Dias mengajukan lima syarat yang harus dipenuhi untuk mengefektifkan

sistem hukum sebagai berikut:39
a.
b.
c.
d.

e.

Mudah tidaknya makna aturan-aluran hukum itu untuk ditangkap dan dipahami
Luas tidaknya kalangan di dalam masyarakat yang mengetahul isi aturan-aturan
hukum yang bersangkutan
Effisien dan effekif tidaknya mobilisasi aturan-aturan hukum
Adanya mekanisme penyelesaian sengkela yang tidak hanya harus mudah
dihubungi dan dimasuki oleh setiap warga masyarakat akan tetapi juga harus
cukup effektif menyelesaikan sengketa-sengketa, dan
Adanya anggapan dan pengakuan yang merata di kalangan warga masyarakat
bahwa aturan-aturan dan pranata-pranata hukum itu memang sesungguhnya
berdaya kemampuan yang effektif.
Menurut Soerjono Soekanto, masalah mengefektifkan hukum apabila

dibubungkan dengan berlakunya hukum sebagai kaedah, maka hukum harus dapat

38
39

Esmi Warasih, Op. Cit., hlm. 126-127
Ibid., hlm. 135

Universitas Sumatera Utara

berlaku secara yuridis, sosiologis dan filosofis.40 Hal itu disebabkan apabila hukum
hanya berlaku secara yuridis, maka kemungkinan besar kaedah tersebut merupakan
kaedah mati (dode regel), dan jika hukum hanya berlaku secara sosiologis, maka
kaedah tersebut menjadi aturan pemaksa (dwangmaatregel), dan apabila hukum
hanya berlaku secara filosofis, maka kemungkinan hukum tersebut hanya merupakan
hukum yang dicita-citakan.41
Selanjutnya Soerjono Soekanto mengemukakan teorinya agar hukum dapat
berfungsi dalam masyarakat yang dipengaruhi oleh paling sedikitnya empat faktor
yakni hukum atau peraturan itu sendiri, petugas yang menegakkannya, fasilitas yang
diharapkan mendukung pelaksanaan hukum, dan warga masyarakat yang terkena
ruang lingkup peraturan tersebut.42
Menurut Selo Soemardjan, efektivitas hukum berkaitan erat dengan faktorfaktor sebagai berikut:43
a.

b.

c.

Jangka waktu penanaman hukum, yaltu panjang atau pendeknya jangka waktu
dimana usaha-usaha menanamkan itu dilakukan dan diharapkan memberikan
hasil.
Usaha-usaha menanamkan hukum di dalam masyarakat, yaitu penggunaan tenaga
manusia, alat-alat, organisasi dan metode agar warga-warga masyarakat
mengetahui, menghargai, mengakui dan mentaati hukum.
Reaksi masyarakat yang didasarkan pada sistim nilai-nilai yang berlaku. Artinya
masyarakat mungkin menolak atau menentang atau mungkin mematuhi hukum
karena compliance, identification, internalization atau kepentingan-kepentingan
mereka terjamin pemenuhannya.

40

Soerjono Soekanto, Kegunaan Sosiologi Hukum Bagi Kalangan Hukum, (Bandung:
Alumni, 1979), hlm. 46-47
41
Ibid., hlm. 47
42
Ibid.
43
Ibid., hlm. 45

Universitas Sumatera Utara

Satjipto Rahardjo mengemukakan adanya beberapa komponen penting dalam
kaitannya agar masyarakat menjadi sadar akan manfaat dan produk hukum yang
diintroduksikan kepadanya yaitu peraturan hukumnya sendiri yang kemudian
dikomunikasikan dalam masyarakat, aktivitas dari para pelaksana, dan proses
pelembagaan (institutionalization) dan internalisasi hukumnya.44
Efektivitas hukum sangat mensyaratkan adanya komunikasi hukum agar
hukum dapat berlaku dan diterima oleh masyarakat, sebagaimana pendapat Lawrence
M. Friedman, “a legal act (rule, doctrine, practice), whatever functions it serves, is a
message”.45 Soerjono Soekanto menambahkan dua syarat selain satu syarat yang
telah disebutkan di atas, yaitu syarat bahwa subjek bukum harus dapat melakukan
atau tidak melakukan hal-hal yang diatur oleh hukum dan disposisi untuk berperilaku,
yaitu hal-hal apa yang menjadi pendorong manusia untuk berperilaku, perhitungan
untung rugi, agar hubungan dengan sesama atau dèngan penguasa tetap terpelihara,
hukum tersebut sesuai dengan hati nurani atau karena tekanan-tekanan tertentu.46
2.

Konsepsi
Konsepsi adalah salah satu bagian yang terpenting dari teori, peranan konsepsi

dalam penelitian ini untuk menghubungkan teori dan observasi, antara abstraksi dan
kenyataan. Konsep diartikan sebagai kata yang menyatukan abstraksi yang
digeneralisasikan dari hal-hal khusus yang disebut defenisi operasional.47 Maka

44

Satjipto Rahardjo, Hukum Dalam Perspektif Sosial, (Banding: Alumni, 1981), hlm. 87
Soerjono Soekanto, Op. Cit., hlm. 17
46
Ibid., hlm. 19
47
Samadi Suryabrata, Metodelogi Penelitian, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), hlm. 3
45

Universitas Sumatera Utara

dalam penelitian ini disusun berberapa defenisi operasional dari konsep-konsep yang
akan digunakan agar tidak terjadi perbedaan pengertian yakni:
a.

Kebijakan adalah rangkaian konsep dan asas yang menjadi pedoman dan dasar
rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak.
Istilah ini dapat diterapkan pada pemerintahan, organisasi dan kelompok sektor
swasta, serta individu. Kebijakan berbeda dengan peraturan dan hukum. Jika
hukum dapat memaksakan atau melarang suatu perilaku, misalnya suatu hukum
yang mengharuskan pembayaran pajak penghasilan, kebijakan hanya menjadi
pedoman tindakan yang paling mungkin memperoleh hasil yang diinginkan.
Kebijakan atau kajian kebijakan dapat pula merujuk pada proses pembuatan
keputusan-keputusan penting organisasi, termasuk identifikasi berbagai alternatif
seperti prioritas program atau pengeluaran, dan pemilihannya berdasarkan
dampaknya. Kebijakan juga dapat diartikan sebagai mekanisme politis,
manajemen, finansial, atau administratif untuk mencapai suatu tujuan eksplisit.

b.

Kebijakan hukum pidana merupakan salah satu bidang yang seyogyanya menjadi
pusat perhatian kriminologi, karena kriminologi sebagai studi yang bertujuan
mencari dan menentukan faktor-faktor yang membawa timbulnya kejahatankejahatan dan penjahat. Kebijakan hukum pidana (penal policy) yang termasuk
salah satu bagian dari ilmu hukum pidana, erat kaitannya dengan pembahasan
hukum pidana nasional. Kebijakan hukum pidana meliputi perbuatan apa yang
seharusnya dijadikan tindak pidana dan sanksi apa yang sebaiknya diberikan
kepada si pelanggar.

Universitas Sumatera Utara

c.

Pidana mati adalah hukuman atau sanksi yang diatur dalam Pasal 10 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) membedakan dua macam pidana
pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok berupa hukuman mati,
hukuman penjara, hukuman kurungan, hukuman denda. Sedangkan pidana
tambahan berupa pencabutan beberapa hak yang tertentu, perampasan barang
yang tertentu, dan pengumuman keputusan hakim. Dengan demikian, maka
pidana mati di dalam hukum positif di Indonesia merupakan merupakan pidana
pokok.

d.

Pelaku tindak pidana adalah (dader) menurut doktrin adalah barang siapa yang
melaksanakan semua unsur-unsur tindak pidana sebagai mana unsur-unsur
tersebut dirumuskan didalam undang-undang menurut KUHP sebagaimana diatur
dialam Pasal 55 ayat (1) KUHP.

e.

Warga negara asing adalah seseorang yang tinggal di suatu negara dengan status
kewarganegaraan asing.

f.

Narkotika adalah adalah singkatan dari narkotika dan obat atau bahan berbahaya.
Selain narkotika, istilah lain yang diperkenalkan khususnya oleh Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia adalah Napza yang merupakan singkatan dari
narkotika, psikotropika, dan zat adiktif. Semua istilah ini, baik narkotika ataupun
napza, mengacu pada kelompok senyawa yang umumnya memiliki risiko
kecanduan bagi penggunanya. Narkotika sebenarnya adalah senyawa-senyawa
psikotropika yang biasa dipakai untuk membius pasien saat hendak dioperasi

Universitas Sumatera Utara

atau obat-obatan untuk penyakit tertentu. Namun kini persepsi itu disalahartikan
akibat pemakaian di luar peruntukan dan dosis yang semestinya.

G. Metode Penelitian
1.

Jenis dan Sifat Penelitian
Penelitian dalam pelaksanaannya diperlukan dan ditentukan alat-alatnya,

jangka waktu, cara-cara yang dapat ditempuh apabila mendapat kesulitan dalam
proses penelitian. Penelitian harus dilakukan secara metodelogis, sistematis, dan
konsisten. Metodelogis yang dimaksud berarti sesuai dengan metode atau cara
tertentu, sistematis adalah berdasarkan pada suatu sistem, dan konsisten berarti tidak
adanya hal-hal yang bertentangan dengan suatu kerangka tertentu.48
Metode penelitian yang digunakan dalam penulian tesis ini adalah metode
penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif yaitu metode atau cara
meneliti bahan pustaka. Penelitian hukum normatif adalah penelitian yang ditujukan
untuk mendapatkan hukum objektif (norma hukum), yaitu dengan mengadakan
penelitian terhadap masalah hukum.49
Penelitian ini menggunakan data sekunder untuk menganalisis hubungan
hukum atau peraturan yang berkaitan dengan penerapan kebijakan hukum pidana
terhadap warga negara asing pelaku tindak pidana narkotika. Adapun sifat penelitian
yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis dengan menguraikan
48

Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001),

hlm. 42
49

Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1995), hlm. 12

Universitas Sumatera Utara

permasalahan secara sistematis dan kompeherensif. Tujuan penelitian deskriptif
analitis adalah menggambarkan secara tepat, sifat individu, suatu gejala, keadaan atau
kelompok tertentu.50 Pada penelitian ini digunakan metode pendekatan normatif yang
secara deduktif yang dimulai dari analisis terhadap pasal-pasal yang mengatur hal-hal
yang menjadi permasalahan yang diteliti. Metode pendekatan ini digunakan dengan
mengingat permasalahan yang diteliti berdasarkan pada peraturan perundangundangan dalam hal hubungan antara yang satu dengan yang lainnya serta kaitannya
dengan penerapannya dalam praktek.
2.

Sumber Data
Dalam penelitian hukum normatif data yang dipergunakan adalah data

sekunder yang diperoleh dari penelitian kepustakaan (library research) yang
bertujuan untuk mendapatkan konsep-konsep, teori-teori dan informasi-informasi
serta pemikiran konseptual, baik berupa peraturan perundang-undangan dan karya
ilmiah lainnya.51 Data sekunder yang digunakan dalam penelitian dan penulisan tesis
ini terdiri dari:
a.

Bahan hukum primer yaitu dokumen peraturan yang mengikat dan ditetapkan
oleh pihak yang berwenang. Dalam penelitian ini diantaranya Kitab UndangUndang Hukum Pidana, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, UndangUndang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, Undang-Undang Nomor 22

50

Koentjorodiningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta: Gramedia Pustaka,
1997), hlm. 42
51
Johnny Ibrahim, Teori Dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Surabaya:
Bayumedia, 2006), hlm. 192

Universitas Sumatera Utara

Tahun 1997 Tentang Psikotropika, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
Tentang Kekuasaan Kehakiman.
b.

Bahan hukum sekunder yaitu semua dokumen yang merupakan bacaan yang
relevan seperti buku-buku, seminar-seminar, jurnal hukum, majalah, koran karya
tulis ilmiah dan beberapa sumber dari internet yang berkaitan dengan materi yang
diteliti.

c.

Bahan hukum tersier yaitu semua dokumen yang berisi tentang konsep-konsep
dan keterangan keterangan yang mendukung bahan hukum primer dan bahan
hukum sekunder, seperti kamus, ensklopedia dan sebagainya.

3.

Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara studi kepustakaan (library

reseacrh). Studi kepustakaan (library reseacrh) adalah serangkaian usaha untuk
memperoleh

data

dengan

jalan

membaca,

menelaah,

mengklarifikasi,

mengidentifikasi, dan dilakukan pemahaman terhadap bahan-bahan hukum yang
berupa peraturan perundang-undangan serta buku-buku literatur yang ada
relevansinya dengan permasalahan penelitian. Hasil dari kegiatan pengkajian tersebut
kemudian dibuat ringkasan secara sistematis sebagai inti sari hasil pengkajian studi
dokumen. Tujuan dari pelaksanaan teknik dokumentasi ini adalah untuk mencari
konsepsi, teori, pendapat atau penemuan yang berhubungan dengan permasalahan
penelitian.52

52

Edy Ikhsan, Mahmul Siregar, Metode Penelitian Dan Penulisan Hukum Sebagai Bahan
Ajar, (Medan: Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara), 2009, hlm. 24

Universitas Sumatera Utara

4.

Analisis Data
Pengolahan, analisis dan konstruksi data penelitian hukum normatif dapat

dilakukan dengan cara melakukan analisis terhadap kaidah hukum dan kemudian
konstruksi dilakukan dengan cara memasukkan pasal-pasal ke dalam kategorikategori atas dasar pengertian-pengertian dari sistem hukum tersebut.53 Data yang
telah dikumpulkan selanjutnya akan dianalisis dengan analisis data kualitatif, yaitu:
a.

b.
c.

d.

Mengumpulkan bahan hukum, berupa inventarisasi peraturan perundangundangan yang terkait dengan penerapan kebijakan hukum pidana terhadap
warga negara asing pelaku tindak pidana narkotika.
Memilah-milah bahan hukum yang sudah dikumpulka