Analisis Yuridis Tindak Pidana Narkoba Sebagai Predicate Crime On Money Laundering

(1)

ANALISIS YURIDIS TINDAK PIDANA NARKOBA SEBAGAI

PREDICATE CRIME ON MONEY LAUNDERING

TESIS

Oleh

JUKIMAN SITUMORANG 087005009/HK

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

ANALISIS YURIDIS TINDAK PIDANA NARKOBA SEBAGAI

PREDICATE CRIME ON MONEY LAUNDERING

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora

dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

JUKIMAN SITUMORANG 087005009/HK

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

Judul Tesis : ANALISIS YURIDIS TINDAK PIDANA NARKOBA

SEBAGAI PREDICATE CRIME ON MONEY

LAUNDERING

Nama Mahasiswa : Jukiman Situmorang Nomor Pokok : 087005009

Program Studi : Ilmu Hukum

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) Ketua

(Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH) (Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH, DFM) Anggota Anggota

Ketua Program Studi Dekan Fakultas Hukum

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) (Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum)


(4)

Telah diuji pada Tanggal 15 Maret 2010

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH Anggota : 1. Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH 2. Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH, DFM 3. Prof. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum


(5)

ABSTRAK

Kejahatan penyalahgunaan Narkoba tanpa izin merupakan darah segar yang menghidupi kegiatan bisnis illegal dengan modus mengalihkan, menyembunyikan harta kekayaan hasil tindak pidana narkoba ke lembaga legal dan melakukan pencucian uang melalui lembaga keuangan sehingga dianggap harta kekayaan merupakan harta yang legal. Selanjutnya melalui modus ini pelaku secara terus menerus mendanai kegiatan bisnis haram. Hal ini mensyaratkan bahwa instrumen yang paling dominan dalam tindak pidana pencucian uang biasanya menggunakan perbankan, salah satu alasan penggunaan perbankan sebagai instrumen yang dominan digunakan oleh pelaku didasarkan pada penawaran instrumen keuangan yang paling banyak bila dibandingkan dengan lembaga keuangan lainnya. Harta kekayaan yang didapat dari kejahatan transaksi narkoba biasanya oleh pelaku baik perseorangan maupun korporasi tidak langsung digunakan karena adanya rasa takut maupun terindikasi sebagai kegiatan pencucian uang. Untuk itu biasanya para pelaku selalu berupaya untuk menyembunyikan asal usul harta kekayaan tersebut dengan berbagai cara yang antara lain berupaya untuk memasukkannya ke dalam sistem keuangan (banking system), cara-cara yang ditempuh berupa menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul harta kekayaan tersebut dengan maksud untuk menghindari upaya pelacakan oleh aparat penegak hukum yang biasanya diistilahkan dengan pencucian uang atau yang secara populer dengan sebutan money laundering. Undang-undang tentang pencucian uang (money laundering) yang dianut oleh Negara Indonesia telah mengklasifikasi tentang tindak pidana asa (core crime) yang salah satunya menempatkan penyalahgunaan narkoba ke dalam predicate crime on money

laundering. Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini meliputi penentuan

tindak pidana Narkoba sebagai predicate crime on money laundering, penanggulangan tindak pidana Narkoba melalui rezim anti money laundering dengan menempatkan Narkoba sebagai predicate crime dan hambatan dalam pembuktian

predicate crime dalam penyidikan tindak pidana Narkoba.

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, dimana datanya bersumberkan dari data pustaka (library research). Penelitian ini cenderung menggunakan data sekunder baik berupa bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer yaitu peraturan perundangan yang berkaitan dengan Narkotika dan Psikotropika dan pencucian uang. Bahan hukum sekunder yaitu pandangan para ahli hukum yang dikutip dari literatur yang mendukung kerangka pemikiran dan analisis terhadap obyek penelitian. Analisis untuk data kualitatif dilakukan dengan cara pemilihan pasal-pasal yang berisi kaidah-kaidah hukum yang mengatur tentang tentang tindak pidana Narkoba sebagai predicate crime on money

laundering. Di samping itu untuk melengkapi data skunder, juga didukung dengan

data primer yakni dilakukannya wawancara dengan informan yang dianggap memahami tentang tindak pidana Narkoba dan tindak pidana pencucian uang. Data primer berupa wawancara kepada informan yakni penyidik pada Unit II Satuan


(6)

Narkoba Poltabes Medan dan Puji Tarigan, penyidik pada Unit I Satuan Narkoba Poltabes Medan.

Penempatan tindak pidana Narkoba sebagai core crime di dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Pencucian Uang diharapkan dapat ditanggulanginya berbagai modus yang memanfaatkan lembaga perbankan sebagai tempat transaksi kegiatan illegal yang menghidupi kegiatan peredaran gelap Narkoba, melalui pendekatan rezim anti money laundering tidak saja secara fisik pelaku dapat dideteksi melainkan juga harta kekayaan dari hasil kejahatan asal (core crime) sehingga pelaku pencucian uang yang dilakukan oleh para aktor yang memanfaatkan perbankan sebagai tempat transaksi peredaran gelap Narkoba dapat diminta pertanggungjawabannya, karena dalam prinsip tindak pidana pencucian uang yang utama dikejar adalah uang atau harta kekayaan yang diperoleh dari hasil kejahatan dengan beberapa alasan. Pertama, bila mengejar pelakunya lebih sulit dan berisiko.

Kedua, bila dibandingkan dengan mengejar pelaku maka akan lebih mudah dengan

mengejar hasil dari kejahatan. Ketiga, hasil kejahatan merupakan darah yang menghidupi tindak pidana itu sendiri (live bloods of the crime). Bila hasil kejahatan itu dikejar dan disita untuk negara dengan sendirinya akan mengurangi kejahatan pencucian uang.

Kelemahan pemberantasan tindak pidana narkoba oleh criminal justice sytem khususnya Polri untuk memita pertanggungjawaban pelaku yang mendanai kegiatan penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan terlarang tanpa izin disebabkan oleh sistem pertanggungjawaban pelaku yang dianut oleh KUH Pidana terutama menyangkut adanya prinsip pertanggungjawaban pidana yang dianut oleh KUH Pidana bahwa pada dasarnya yang dapat diminta pertanggungjawabkan adalah kepada diri seseorang pelaku tindak pidana yang harus memenuhi 4 (empat) persyaratan sebagai berikut: Pertama, ada suatu tindakan (commission atau ommission) oleh si pelaku. Kedua, yang memenuhi rumusan-rumusan delik dalam undang-undang.

Ketiga, tindakan itu bersifat “melawan hukum” atau unlawful serta pelakunya harus

dapat dipertanggungjawabkan. Di samping itu, kelemahan pada proses pembuktian tindak pidana Narkoba sebagai predicate crime, misalnya rendahnya penanganan kasus money laundering dengan menempatkan tindak pidana Narkoba sebagai

predicate crime disebabkan terbatasnya penyidik Polri yang menangani kasus ini,

selain itu penyidikan TPPU membutuhkan dana besar, lagi pula cepatnya transaksi keuangan membuat terbentur dengan waktu. Contohnya, transaksi keuangan yang mencurigakan dari Pemantau Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dilakukan penyidikan kemudian berkas dikirim ke Jaksa, sesampai di meja Jaksa berkas dikembalikan dengan isyarat agar dipenuhi terlebih dahulu predicat

crime (tindak pidana aslinya yakni Narkoba), padahal untuk menentukan dan

memproses tindak pidana asal memerlukan koordinasi lebih lanjut, baik tehnis, waktu serta dana.


(7)

ABSTRACT

Illegal drug use supports the illegal business activities with the modus of transferring to and hiding the property obtained through a criminal ACT in a legal institution and do the money laundering through a finance institution that the property is regarded being legal. Then, trough this modus, the actor keeps funding illegal businesses. This indicates that the most dominant instrument in a money laundering activity is banking system compared to the other kinds of finance institutions. The Law on Money Laundering existing in Indonesia has classified the core crime, and one of the classifications is to put drug abuse under the classification of predicate crime on money laundering. The problem to be solved in this study included the determination of the criminal act of drug abuse as predicate crime on money laundering, the prevention of drug abuse through the regime of anti money laundering by deciding drug as predicate crime, and the constraints faced in proving the predicate crime in drug criminal act investigation.

This is a normative legal study whose data were obtained through library research. The data for this study tend to be primary and secondary legal materials. The primary data were in the forms of the regulations of legislation related to Narcotics, Psychotropic and money laundering. The secondary data were the opinions of legal experts quoted from the literatures supporting the framework and analysis of the study object. The analysis for qualitative data was conducted by selecting the articles containing legal norms which regulate the criminal act of drug as predicate crime on money laundering. The secondary data was supported by the primary data obtained through interviewing the informants such as the investigator in Unit I and Unit II of Anti Drug Abuse Unit of Medan Police Department who are regarded to have understood the criminal act of drug abuse and money laundering.

The inclusion of criminal act of drug abuse as core crime in Law No.25/2003 on Money Laundering is expected to be able to prevent various modus which utilize banking institutions as the place for transacting illegal activities supporting the illegal drug distribution through the regime of anti money laundering that not only can the actors be physically detected and asked for their responsibilities but also the property obtained from the core crime can be detected. The money or the property obtained from money laundering activities are the first to be after because, first, chasing the actors is more difficult and risky, second, the property obtained from money laundering is easier to be after than the actors, and third, the property obtained from money laundering is the live blood of the crime. If the property obtained from money laundering is found and confiscated for the state, it will automatically decrease the number of money laundering criminal act.

The weaknesses showed by the criminal justice system, especially the Indonesian Police, in fighting the money laundering criminal act is to ask the actors who fund the drug abuse activities for their responsibilities because the responsibility system of the actors is still based on what included in the Indonesian Criminal Codes


(8)

saying that there are 4 conditions to meet before they are asked for their responsibilities such as, first, there is commission or omission done by the actors, second, it meets the definition of crime concerned in the law, and third, what they have done is unlawful. The weaknesses in the process of proving the drug and money laundering criminal act as predicate crime are among other things the limited number of police officers working on these cases, the investigation needs a big cost, and the quick money transaction brings a limited time to do the investigation. For example, a suspected money transaction is investigated then the files are sent to the public prosecutors, then the public prosecutors return the files to the police head quarters to make sure and label the files predicate crime (even though its original crime is drug use) while to determine and process the predicate crime needs more coordination, technical things, time and funs.


(9)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis Panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan kasih karunia-Nya sehingga Tesis ini dapat diselesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya.

Tesis ini ditulis dalam rangka memenuhi syarat untuk mencapai gelar Magister Humaniora pada Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Univesitas Sumatera Utara, Medan.

Adapun judul Tesis ini adalah: “ ANALISIS YURIDIS TINDAK PIDANA NARKOBA SEBAGAI PREDICATE CRIME ON MONEY

LAUNDERING”. Di dalam menyelesaikan Tesis ini, penulis banyak memperoleh

bantuan baik berupa pengajaran, bimbingan dan arahan dari berbagai pihak. Oleh karena itu Penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada yang terhormat para pembimbing : Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH, Sekaligus sebagai Ketua Program Studi Ilmu Hukum, Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH, dan Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH, DFM. Dimana di tengah-tengah kesibukannya masih tetap meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan, petunjuk, dan mendorong semangat penulis untuk menyelesaikan penulisan Tesis ini.

Perkenankanlah juga, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang terlibat dalam penyelesaian studi ini, kepada:


(10)

1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, MSc (CTM), SpA(K) diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan.

2. Dekan Fakultas Hukum Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, atas kesempatan menjadi mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Prof. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum, sebagai Komisi Penguji, Sekaligus sebagai Sekretaris Ilmu Hukum penulis, yang telah meluangkan waktunya dan dengan penuh perhatian memberikan dorongan, bimbingan, saran kepada penulis.

4. Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum., sebagai Komisi Penguji yang telah meluangkan waktunya dan dengan penuh perhatian memberikan dorongan, bimbingan, saran dan masukan yang sangat penting kepada penulis.

5. Orang Tua tercinta yang mendidik dengan penuh rasa kasih sayang dan senantiasa memberi semangat dan dorongan kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan Tesis ini.

6. Istri tercinta Sylvina Lydia Sirait, SE yang penuh rasa kasih sayang dan senantiasa memberi semangat dan dorongan kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan Tesis ini

7. Kepada Abang , Kakak dan Adik Penulis sayangi, atas kesabaran dan pengertiannya serta memberikan Doa dan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan Tesis ini.


(11)

8. Kepada Rekan-rekan di Program Studi Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, Beserta Staff Ilmu Hukum, dan rekan-rekan kerja saya yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Akhirnya penulis berharap semoga Tesis ini dapat memberi manfaat dan menyampaikan permintaan yang tulus jika seandainya dalam penulisan ini terdapat kekurangan dan kekeliruan, penulis juga menerima kritik dan saran yang bertujuan serta bersifat membangun untuk menyempurnakan penulisan Tesis ini.

Medan, Februari 2010

Penulis,


(12)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Jukiman Situmorang

Tempat/Tanggal Lahir : Pematang Siantar, 31 Desember 1974

Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Katolik

Jabatan/ Pekerjaan : Kasat Reskrim Poltabes Medan/ POLRI

Alamat : Komplek Johor Indah Permai I Blok XI No. 18 Jl. Karya Wisata Medan

Pendidikan : SD Negeri 122361 P. Siantar Tamat Tahun 1987 SMP Negeri 7 P. Siantar Tamat Tahun 1990 SMU Negeri 2 P. Siantar Tamat Tahun 1993 Akademi Kepolisian Tamat Tahun 1997

Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian Tamat Tahun 2005 Strata Dua (S2) Sekolah Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara Tamat Tahun 2010


(13)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... iii

KATA PENGANTAR ... v

RIWAYAT HIDUP ...viii

DAFTAR ISI ...……… ix

BAB I: PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 10

C. Tujuan Penelitian ... 10

D. Manfaat Penelitian ... 11

E. Keaslian Penelitian ... 12

F. Kerangka Teori dan Konsepsional ... 13

a. Kerangka Teori ... 13

b. Kerangka Konsepsional ... 21

G. Metode Penelitian ... 23

1. Spesifikasi Penelitian ... 23

2. Sumber Data ... 24

3. Teknik Pengumpulan Data ... 26


(14)

BAB II: PENENTUAN TINDAK PIDANA NARKOBA SEBAGAI

PREDICATE CRIME ON MONEY LAUNDERING ... 28

A. Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba ... 28 B. Tindak Pidana Narkoba Sebagai

(Predicate crime on Money Laundering) ... 40 1. Pola tindak pidana pencucian uang dari harta kekayaan

hasil tindak pidana Narkoba ... 42 2. Hubungan Tindak Pidana Pencucian uang dengan Tindak Pidana

Penyalahgunaan Narkoba ... 44

C. Dampak Dari Tindak Pidana Narkoba sebagai Predicate Crime on

Money Laundering ...………... 47

BAB III: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA NARKOBA MELALUI REZIM ANTI MONEY LAUNDERING DENGAN

MENEMPATKAN NARKOBA SEBAGAI PREDICATE

CRIME ON MONEY LAUNDERING ... 57

A. Pemenuhan Unsur Objektif dan Subjektif (Mens Rea)

Dalam Tindak Pidana Pencucian Uang Sebagai Follow Up Crime

dari Tindak Pidana Narkoba ... 57 B. Penanggulangan Tindak Pidana Narkoba Dengan Menerapkan

Asas Patut Diduga Di dalam Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laundering) ...59


(15)

C. Penanggulangan Tindak Pidana Narkoba Melalui Penegakan Hukum

Money Laundering ... 65

BAB IV: HAMBATAN DAN KENDALA DALAM PEMBUKTIAN PREDICATE CRIME DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA NARKOBA ... 79

A. Hambatan Dalam Pembuktian Tindak Pidana Narkoba Sebagai Predicate Crime on Money Laundering ... 79

B. Kendala yang Dialami Penyidik Polri Dalam Penegakan Hukum Tindak Pidana Narkoba sebagai Predicate Crime on Money Laundering ... 84

C. Alur Proses Penegakan Hukum Tindak Pidana Pencucian Uang Agar Penyidikan Dapat Lebih Efektif ..………. 88

BAB V: KESIMPULAN DAN SARAN ... 97

A. Kesimpulan ... 97

B. Saran ... 101


(16)

ABSTRAK

Kejahatan penyalahgunaan Narkoba tanpa izin merupakan darah segar yang menghidupi kegiatan bisnis illegal dengan modus mengalihkan, menyembunyikan harta kekayaan hasil tindak pidana narkoba ke lembaga legal dan melakukan pencucian uang melalui lembaga keuangan sehingga dianggap harta kekayaan merupakan harta yang legal. Selanjutnya melalui modus ini pelaku secara terus menerus mendanai kegiatan bisnis haram. Hal ini mensyaratkan bahwa instrumen yang paling dominan dalam tindak pidana pencucian uang biasanya menggunakan perbankan, salah satu alasan penggunaan perbankan sebagai instrumen yang dominan digunakan oleh pelaku didasarkan pada penawaran instrumen keuangan yang paling banyak bila dibandingkan dengan lembaga keuangan lainnya. Harta kekayaan yang didapat dari kejahatan transaksi narkoba biasanya oleh pelaku baik perseorangan maupun korporasi tidak langsung digunakan karena adanya rasa takut maupun terindikasi sebagai kegiatan pencucian uang. Untuk itu biasanya para pelaku selalu berupaya untuk menyembunyikan asal usul harta kekayaan tersebut dengan berbagai cara yang antara lain berupaya untuk memasukkannya ke dalam sistem keuangan (banking system), cara-cara yang ditempuh berupa menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul harta kekayaan tersebut dengan maksud untuk menghindari upaya pelacakan oleh aparat penegak hukum yang biasanya diistilahkan dengan pencucian uang atau yang secara populer dengan sebutan money laundering. Undang-undang tentang pencucian uang (money laundering) yang dianut oleh Negara Indonesia telah mengklasifikasi tentang tindak pidana asa (core crime) yang salah satunya menempatkan penyalahgunaan narkoba ke dalam predicate crime on money

laundering. Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini meliputi penentuan

tindak pidana Narkoba sebagai predicate crime on money laundering, penanggulangan tindak pidana Narkoba melalui rezim anti money laundering dengan menempatkan Narkoba sebagai predicate crime dan hambatan dalam pembuktian

predicate crime dalam penyidikan tindak pidana Narkoba.

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, dimana datanya bersumberkan dari data pustaka (library research). Penelitian ini cenderung menggunakan data sekunder baik berupa bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer yaitu peraturan perundangan yang berkaitan dengan Narkotika dan Psikotropika dan pencucian uang. Bahan hukum sekunder yaitu pandangan para ahli hukum yang dikutip dari literatur yang mendukung kerangka pemikiran dan analisis terhadap obyek penelitian. Analisis untuk data kualitatif dilakukan dengan cara pemilihan pasal-pasal yang berisi kaidah-kaidah hukum yang mengatur tentang tentang tindak pidana Narkoba sebagai predicate crime on money

laundering. Di samping itu untuk melengkapi data skunder, juga didukung dengan

data primer yakni dilakukannya wawancara dengan informan yang dianggap memahami tentang tindak pidana Narkoba dan tindak pidana pencucian uang. Data primer berupa wawancara kepada informan yakni penyidik pada Unit II Satuan


(17)

Narkoba Poltabes Medan dan Puji Tarigan, penyidik pada Unit I Satuan Narkoba Poltabes Medan.

Penempatan tindak pidana Narkoba sebagai core crime di dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Pencucian Uang diharapkan dapat ditanggulanginya berbagai modus yang memanfaatkan lembaga perbankan sebagai tempat transaksi kegiatan illegal yang menghidupi kegiatan peredaran gelap Narkoba, melalui pendekatan rezim anti money laundering tidak saja secara fisik pelaku dapat dideteksi melainkan juga harta kekayaan dari hasil kejahatan asal (core crime) sehingga pelaku pencucian uang yang dilakukan oleh para aktor yang memanfaatkan perbankan sebagai tempat transaksi peredaran gelap Narkoba dapat diminta pertanggungjawabannya, karena dalam prinsip tindak pidana pencucian uang yang utama dikejar adalah uang atau harta kekayaan yang diperoleh dari hasil kejahatan dengan beberapa alasan. Pertama, bila mengejar pelakunya lebih sulit dan berisiko.

Kedua, bila dibandingkan dengan mengejar pelaku maka akan lebih mudah dengan

mengejar hasil dari kejahatan. Ketiga, hasil kejahatan merupakan darah yang menghidupi tindak pidana itu sendiri (live bloods of the crime). Bila hasil kejahatan itu dikejar dan disita untuk negara dengan sendirinya akan mengurangi kejahatan pencucian uang.

Kelemahan pemberantasan tindak pidana narkoba oleh criminal justice sytem khususnya Polri untuk memita pertanggungjawaban pelaku yang mendanai kegiatan penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan terlarang tanpa izin disebabkan oleh sistem pertanggungjawaban pelaku yang dianut oleh KUH Pidana terutama menyangkut adanya prinsip pertanggungjawaban pidana yang dianut oleh KUH Pidana bahwa pada dasarnya yang dapat diminta pertanggungjawabkan adalah kepada diri seseorang pelaku tindak pidana yang harus memenuhi 4 (empat) persyaratan sebagai berikut: Pertama, ada suatu tindakan (commission atau ommission) oleh si pelaku. Kedua, yang memenuhi rumusan-rumusan delik dalam undang-undang.

Ketiga, tindakan itu bersifat “melawan hukum” atau unlawful serta pelakunya harus

dapat dipertanggungjawabkan. Di samping itu, kelemahan pada proses pembuktian tindak pidana Narkoba sebagai predicate crime, misalnya rendahnya penanganan kasus money laundering dengan menempatkan tindak pidana Narkoba sebagai

predicate crime disebabkan terbatasnya penyidik Polri yang menangani kasus ini,

selain itu penyidikan TPPU membutuhkan dana besar, lagi pula cepatnya transaksi keuangan membuat terbentur dengan waktu. Contohnya, transaksi keuangan yang mencurigakan dari Pemantau Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dilakukan penyidikan kemudian berkas dikirim ke Jaksa, sesampai di meja Jaksa berkas dikembalikan dengan isyarat agar dipenuhi terlebih dahulu predicat

crime (tindak pidana aslinya yakni Narkoba), padahal untuk menentukan dan

memproses tindak pidana asal memerlukan koordinasi lebih lanjut, baik tehnis, waktu serta dana.


(18)

ABSTRACT

Illegal drug use supports the illegal business activities with the modus of transferring to and hiding the property obtained through a criminal ACT in a legal institution and do the money laundering through a finance institution that the property is regarded being legal. Then, trough this modus, the actor keeps funding illegal businesses. This indicates that the most dominant instrument in a money laundering activity is banking system compared to the other kinds of finance institutions. The Law on Money Laundering existing in Indonesia has classified the core crime, and one of the classifications is to put drug abuse under the classification of predicate crime on money laundering. The problem to be solved in this study included the determination of the criminal act of drug abuse as predicate crime on money laundering, the prevention of drug abuse through the regime of anti money laundering by deciding drug as predicate crime, and the constraints faced in proving the predicate crime in drug criminal act investigation.

This is a normative legal study whose data were obtained through library research. The data for this study tend to be primary and secondary legal materials. The primary data were in the forms of the regulations of legislation related to Narcotics, Psychotropic and money laundering. The secondary data were the opinions of legal experts quoted from the literatures supporting the framework and analysis of the study object. The analysis for qualitative data was conducted by selecting the articles containing legal norms which regulate the criminal act of drug as predicate crime on money laundering. The secondary data was supported by the primary data obtained through interviewing the informants such as the investigator in Unit I and Unit II of Anti Drug Abuse Unit of Medan Police Department who are regarded to have understood the criminal act of drug abuse and money laundering.

The inclusion of criminal act of drug abuse as core crime in Law No.25/2003 on Money Laundering is expected to be able to prevent various modus which utilize banking institutions as the place for transacting illegal activities supporting the illegal drug distribution through the regime of anti money laundering that not only can the actors be physically detected and asked for their responsibilities but also the property obtained from the core crime can be detected. The money or the property obtained from money laundering activities are the first to be after because, first, chasing the actors is more difficult and risky, second, the property obtained from money laundering is easier to be after than the actors, and third, the property obtained from money laundering is the live blood of the crime. If the property obtained from money laundering is found and confiscated for the state, it will automatically decrease the number of money laundering criminal act.

The weaknesses showed by the criminal justice system, especially the Indonesian Police, in fighting the money laundering criminal act is to ask the actors who fund the drug abuse activities for their responsibilities because the responsibility system of the actors is still based on what included in the Indonesian Criminal Codes


(19)

saying that there are 4 conditions to meet before they are asked for their responsibilities such as, first, there is commission or omission done by the actors, second, it meets the definition of crime concerned in the law, and third, what they have done is unlawful. The weaknesses in the process of proving the drug and money laundering criminal act as predicate crime are among other things the limited number of police officers working on these cases, the investigation needs a big cost, and the quick money transaction brings a limited time to do the investigation. For example, a suspected money transaction is investigated then the files are sent to the public prosecutors, then the public prosecutors return the files to the police head quarters to make sure and label the files predicate crime (even though its original crime is drug use) while to determine and process the predicate crime needs more coordination, technical things, time and funs.


(20)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Pemikiran tentang berbahayanya praktik pencucian uang dan strategi pemberantasannya, sebetulnya diawali dengan kegagalan internasional dalam upaya pemberantasan peredaran gelap obat bius dengan segala jenisnya. Sebenarnya di sinilah merupakan awal inspirasi yang pada akhirnya melahirkan istilah money

laundering pada tahun 1986 (USA) dan kemudian dipakai secara internasional.

Namun sebenarnya istilah money laundering dalam artian hukum digunakan pertama kali oleh Pengadilan Amerika berkaitan dengan putusan tentang penyitaan atas hasil kejahatan Narkotika yang dilakukan oleh warga Columbia.1 Kekhawatiran internasional terhadap narkotika dan pencucian uang melahirkan suatu kesepakatan yang disebut sebagai International Legal Regime to Combat Money Laundering dan bahkan ada kecenderungan bahwa pencucian uang dilakukan dengan sangat rumit.2

1

US v. S4,255,625.39,Fed.Supp.vol.551, South District of Florida (1982),314,cited by Secretary General of United Nations, dalam Guy Stessens, Money Laundering A New International

Law Enforcement Model, (Cambridge University Press: 2000), hal.83

2

Komisi Kepolisian Nasional, Narkoba sebagai Kejahatan Transnasional, Bahan Pembekalan Sespim Polri Dikreg 48 TP. 2009, hal. 28 bahwa dalam International Narcotics Control

Strategy Report (INCSR) yang dikeluarkan oleh Bureau for International Narcotics and Law Enforcement Affairs, United States Department of State pada bulan Maret 2003, Indonesia ditempatkan

kembali ke dalam deretan major laundering countries di wilayah Asia Pacific bersama dengan 53 negara antara lain seperti Australia, Kanada, Cina, Cina Taipei, Hong Kong, India, Jepang, Macau Cina, Myanmar, Nauru, Pakistan, Filipina, Singapura, Thailand, United Kingdom dan Amerika Serikat.

Predikat major laundering countries diberikan kepada negara-negara yang lembaga dan sistem

keuangannya dinilai terkontaminasi bisnis narkotika internasional yang ditengarai melibatkan uang dalam jumlah yang sangat besar. Lebih jauh, INCSR menyoroti pula beberapa hal yaitu upaya Indonesia dalam memberantas peredaran gelap narkoba yang dianggap masih belum memadai, kenaikan angka penyalahgunaan narkoba di dalam negeri, serta maraknya lalu lintas perdagangan gelap narkoba dari dan ke Indonesia yang melibatkan negara-negara seperti Thailand, Burma,


(21)

Pencucian uang semakin berkembang dan bukan hanya yang berasal dari kejahatan obat bius saja tetapi juga berbagai kejahatan termasuk kejahatan terorganisasi (organized crimes).3 Dalam kaitannya bahwa pencucian uang merupakan tindak pidana dibidang ekonomi (economic crimes), yang pada intinya memberikan gambaran terdapat hubungan langsung bahwa gejala kriminalitas merupakan suatu kelanjutan dari kegiatan dan pertumbuhan ekonomi.4 Selain itu mempertimbangkan pula adanya fenomena bahwa kejahatan pencucian uang bukan permasalahan nasional semata tetapi berdimensi regional maupun internasional

Singapura, Afghanistan, Pakistan dan Nigeria. Kejahatan peredaran gelap narkoba sejak lama diyakini memiliki kaitan erat dengan proses pencucian uang. Sejarah perkembangan tipologi pencucian uang menunjukkan bahwa perdagangan obat bius merupakan sumber yang paling dominan dan kejahatan asal (predicate crime) yang utama yang melahirkan kejahatan pencucian uang. Organized crime selalu menggunakan metode pencucian uang ini untuk menyembu-nyikan, menyamarkan atau mengaburkan hasil bisnis haram itu agar nampak seolah-olah merupakan hasil dari kegiatan yang sah. Selanjutnya, uang hasil jual beli narkoba yang telah dicuci itu digunakan lagi untuk melakukan kejahatan serupa atau mengembangkan kejahatan-kejahatan baru. Perkembangan peredaran obat bius di beberapa negara bahkan telah mencapai titik nadir. Gerard Wyrsch (1990) mengungkapkan bahwa pencucian uang yang berasal dari bisnis narkotika di Amerika Serikat diperkirakan mencapai 100 sampai dengan 300 milyar dollar pertahunnya. Sedangkan di Eropa berkisar antara 300 sampai 500 milyar dollar pertahunnya, suatu angka yang fantastis. FATF (Financial Action Task Force on Money Laundering) dalam annual

report tahun 1995-1996 memperkirakan bahwa dari 600 milyar sampai satu trilyun dollar uang yang

dicuci pertahunnya, sebagian besar berasal dari bisnis haram perdagangan gelap narkoba. Perkiraan jumlah di atas setiap tahun mengalami peningkatan sehingga dikenal istilah narco dollar, sekaligus menunjukkan bahwa persoalan peredaran gelap narkoba merupakan kejahatan internasional (international crime) dan persoalan seluruh negara. Sejarah mencatat pula bahwa kelahiran rezim hukum internasional yang memerangi kejahatan pencucian uang dimulai pada saat masyarakat internasional merasa frustrasi dengan upaya memberantas kejahatan perdagangan gelap narkoba. Pada saat itu, rezim anti pencucian uang dianggap sebagai paradigma baru dalam memberantas kejahatan yang tidak lagi difokuskan pada upaya menangkap pelakunya, melainkan lebih diarahkan pada penyitaan dan perampasan harta kekayaan yang dihasilkan. Logika dari memfokuskan pada hasil kejahatannya adalah bahwa motivasi pelaku kejahatan akan menjadi hilang apabila pelaku dihalang-halangi untuk menikmati hasil kejahatannya. Melihat korelasi yang erat antara kejahatan peredaran gelap narkoba sebagai predicate crime dan kejahatan pencucian uang sebagai derivative-nya, maka sangat jelas bahwa keberhasilan perang melawan kejahatan peredaran gelap narkoba di suatu negara sangat ditentukan oleh efektivitas rezim anti pencucian uang di negara itu.

3

Margaret Samuel, “No cash Alternatives and Money Laundering: An American Model For

Canadian Consumers Protection”, Am. Buss.L.J., vol. 30, (1992), hal. 175.

4

Guiding Principle for Crime Prevention and Criminal Justice in the Context of Development


(22)

(transnasional), sehingga sangat penting untuk ditempatkan pada suatu sentral

pengaturan.5 Hampir semua kejahatan ekonomi dilakukan dengan motivasi mendapatkan keuntungan, maka salah satu cara untuk membuat pelaku jera atau mengurangi tindak pidana yaitu dengan memburu hasil kejahatan agar pelaku tidak dapat menikmatinya dan akhirnya diharapkan motivasi untuk melakukan kejahatan juga sirna: “…this was ineffective and thus asset forfeiture was viewed as the key to

combating such crime. If the criminal is prevented from enjoying the fruits of his labor than these motivations for committing a crime that also disappears).6

Indonesia telah melakukan kriminalisasi terhadap pencucian uang sejak awal tahun 2002 dengan diundangkannya Undang-Undang No.15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (UUTPPU), dan kemudian pada Oktober 2003 diamandemen dengan Undang-Undang No.25 Tahun 2003. Meskipun telah berlaku selama lebih 4 tahun, nampaknya implementasi terhadap ketentuan ini masih jauh dari memuaskan. Ketika diamandemen pada tahun 2003 alasan utamanya lebih pada kelemahan perundangan yang mengakibatkan sulit untuk diterapkan dimana hal ini juga atas desakan Financial Action Task Force (FATF).7

5

United Nations Convention Against Transnational Organized Crime, (Palermo, 2000) khususnya pada Article 3.1.(a) disebutkan bahwa pencucian uang termasuk kejahatan yang lintas batas negara (selain pencucian uang kejahatan lain yang termasuk kriteria ini adalah participation in an

organized criminal group, corruption and obstruction of justice) dengan ciri-cirinya yang disebut

dalam Article 3.2 6

Andrew Haynes, Money Laundering and Changes in International Banking Regulations, J.Int’l Banking Law, (1993), hal 454

7

FATF adalah suatu badan internasional di luar PBB yang anggotanya terdiri dari Negara donor dan fungsinya sebagai Satuan Tugas dalam Pemberantasan Pencucian Uang. FATF ini sangat disegani selain karena keanggotaannya, juga badan ini terbukti mempunyai suatu komitmen yang serius untuk memberantas pencucian uang. Keberadaan FATF berwibawa karena antara FATF dan OECD (Organization for Economic Cooperation Development), menjalin hubungan yang sangat baik


(23)

Desakan internasional pertama kali dikakukan pada Juni 2001 dan setelah melalui beberapa bentuk tekanan dan penilaian FATF akhirnya pada Pebruari 2006 dinyatakan keluar dari monitoring formal FATF.8 Namun demikian ternyata hal ini bukan berarti Indonesia tidak “diawasi” karena pada tahun 2007, FATF kembali melakukan review secara menyeluruh terhadap pembangunan rezim anti pencucian uang di Indonesia termasuk peraturan perundangan yang mendukung penegakannya.9 Bila dipahami bahwa semua tindak pidana ekonomi yang berkaitan dengan aliran dana akan bermuara pada perbuatan pencucian uang, maka seharusnya penerapan UUTPPU terhadap perkara kejahatan ini juga harus banyak. Tetapi pada kenyataannya putusan pengadilan terhadap kejahatan menggunakan aliran dana yang dikaitkan dengan UUTPPU tidak sampai 20 putusan, padahal kejahatan ini yang

terutama dalam hal tukar menukar informasi berkaitan dengan masalah korupsi dan pencucian uang pada negara-negara yang akan mendapatkan bantuan dana.

8

Setelah revisi pada 2003 Indonesia kembali masuk daftar hitam, kali ini karena belum ada bukti bahwa ketentuan tersebut efektif pada tahap implementasi. Selanjutnya pada sidang FATF 23 Juni dan Oktober 2004 Indonesia masih tetap bertahan dalam black list tersebut, alasannya FATF belum mengeluarkan Indonesia dari daftar hitam karena masih menunggu paling tidak ada satu kasus yang diungkap, pada waktu itu kasus bobolnya dana BNI sebesar 1, 7 triliun yang ditengarai terdapat praktik pencucian uang. Atas dasar pengungkapan tersebut akan dinilai keseriusan Indonesia dalam pemberantasan pencucian uang sekaligus akan menunjukan apakah ketentuan anti pencucian uang efektif dalam pemberantasan pencucian uang. Namun ternyata pada sidang berikutnya Februari 2005 Indonesia berhasil keluar dari daftar hitam (NCCT), walaupun belum satu kasus pun diungkap dengan penuntutan pencucian uang. Ada dugaan keluarnya Indonesia karena sebelumnya dilakukan lobi internasional tingkat tinggi yang dilakukan pemerintah Indonesia

9

Sutanto, Peran Polri untuk Meningkatkan Efektivitas Penerapan UU TPPU, Keynote Adress Pada Pelatihan Anti Tindak Pidana Pencucian Uang, (Medan: Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, tanggal 15 September 2005), hal. 6, bahwa Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002, menambahkan beberapa ketentuan tentang tindak pidana asal (core crime) dari predicate crimes yang semula bersifat tertutup menjadi terbuka, dan lebih menekankan peranan PPATK untuk berkerja secara intensif dalam menanggulangi Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Tindakan pemerintah Republik Indonesia untuk menanggulangi dan keluar dari daftar hitam (black list) negara-negara tempat tumbuh suburnya kegiatan pencucian uang, yang dilakukan melalui beberapa upaya-upaya sudah menampakkan hasilnya, dengan dinyatakannya bahwa Indonesia telah keluar dari daftar hitam tersebut


(24)

sampai pada pengadilan khususnya tindak pidana penyalahgunaan Narkoba jumlahnya sangat besar,10 misalnya tindakan kepolisian Polda Metro Jaya dan Poltabes MS yang dilakukan dalam penanggkapan bandar Narkoba dan pengungkapan jaringan peredaran gelap Narkoba. Hal ini seharusnya diajukan ke pengadilan dengan dua dakwaan sekaligus yaitu kejahatan asalnya dan muara uang hasil kejahatan sebagai tindak pidana pencucian uang.

Seharusnya dipahami bahwa kriminalisasi pencucian uang suatu strategi untuk memberantas berbagai kejahatan ekonomi bukan saja melalui upaya penerapan hukum terhadap kejahatan asal tersebut tetapi juga menghadang hasil aliran hasil kejahatan dengan ketentuan anti pencucian tersebut. Pertimbangannya adalah bisnis narkoba menghasilkan keuntungan yang sangat besar dibanding bisnis yang lain, sehingga kejahatan penyalahgunaan narkoba berlangsung terorganisir rapi guna terus untuk mencari korban dan sering menggunakan sistem sel sehingga terputus untuk mengungkap jaringannya.11

Kejahatan penyalahgunaan narkotika dan obat-obat tanpa izin merupakan darah segar yang menghidupi kegiatan bisnis illegal dengan modus mengalihkan, menyembunyikan harta kekayaan hasil tindak pidana narkoba ke lembaga legal dan

10

Sejak lahirnya UU No 15 Tahun 2002 yang kemudian di amandemen menjadi UU No.25 Tahun 2003, penyidikan terhadap kasus Tindak Pidana Pencucian Uang ( TPPU ) dilakukan Polri. Dari 421 STR hasil analisis Suspicius Transaction Report ditemukan 13 kasus yang telah diajukan ke pengadilan, 31 STR setelah dilakukan penyidikan ternyata KTP pelakunya palsu. 10 Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia, Perkembangan dan penanggulangan kejahatan terhadap kekayaan negara dan kejahatan transnasional, bahan pembekalan pasis sespim polri dikreg ke-47 TP. 2008, hal. 14

11

Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia, Perkembangan dan penanggulangan kejahatan terhadap kekayaan negara dan kejahatan transnasional, bahan pembekalan pasis sespim polri dikreg ke-47 TP. 2008, hal. 25


(25)

melakukan pencucian uang melalui lembaga keuangan sehingga dianggap harta kekayaan merupakan harta yang legal. Selanjutnya melalui modus ini pelaku secara terus menerus mendanai kegiatan bisnis haram. Hal ini mensyaratkan bahwa instrumen yang paling dominan dalam tindak pidana pencucian uang biasanya menggunakan perbankan, salah satu alasan penggunaan perbankan sebagai instrumen yang dominan digunakan oleh pelaku didasarkan pada penawaran instrumen keuangan yang paling banyak bila dibandingkan dengan lembaga keuangan lainnya. Pemanfaatan bank dalam pencucian uang dapat berupa:12

a. Menyimpan uang hasil tindak pidana dengan nama palsu;

b. Menyimpan uang di bank dalam bentuk deposito/tabungan/rekening/giro. c. Menukar pecahan uang hasil kejahatan dengan pecahan lainnya yang lebih

besar atau lebih kecil.

d. Menggunakan fasilitas transfer.

e. Melakukan transaksi eksport-import fiktif dengan menggunakan L/C dengan memalsukan dokumen bekerjasama dengan oknum terkait.

f. Pendirian/pemanfaatan bank gelap.

Kelemahan pemberantasan tindak pidana narkoba oleh criminal justice sytem khususnya Polri untuk memita pertanggungjawaban pelaku yang mendanai kegiatan penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan terlarang tanpa izin disebabkan oleh sistem pertanggungjawaban pelaku yang dianut oleh KUH Pidana terutama menyangkut adanya prinsip pertanggungjawaban pidana yang dianut oleh KUH Pidana bahwa pada dasarnya yang dapat diminta pertanggungjawabkan adalah kepada diri seseorang pelaku tindak pidana yang harus memenuhi 4 (empat) persyaratan

12

Edi Setiadi, Hukum Pidana Ekonomi, (Bandung: Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung, 2004), hal. 71


(26)

sebagai berikut:13 Pertama, ada suatu tindakan (commission atau ommission) oleh si pelaku. Kedua, yang memenuhi rumusan-rumusan delik dalam undang-undang.

Ketiga, tindakan itu bersifat “melawan hukum” atau unlawful serta pelakunya harus

dapat dipertanggungjawabkan. Di samping itu, kelemahan pada proses pembuktian tindak pidana Narkoba sebagai predicate crime, misalnya rendahnya penanganan kasus money laundering dengan menempatkan tindak pidana Narkoba sebagai

predicate crime disebabkan terbatasnya penyidik Polri yang menangani kasus ini,

selain itu penyidikan TPPU membutuhkan dana besar, lagi pula cepatnya transaksi keuangan membuat terbentur dengan waktu. Contohnya, transaksi keuangan yang mencurigakan dari Pemantau Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dilakukan penyidikan kemudian berkas dikirim ke Jaksa, sesampai di meja Jaksa berkas dikembalikan dengan isyarat agar dipenuhi terlebih dahulu predicat

crime (tindak pidana aslinya yakni Narkoba), padahal untuk menentukan dan

memproses tindak pidana asal memerlukan koordinasi lebih lanjut, baik tehnis, waktu serta dana.

Harta kekayaan yang didapat dari kejahatan transaksi narkoba biasanya oleh pelaku baik perseorangan maupun korporasi tidak langsung digunakan karena adanya rasa takut maupun terindikasi sebagai kegiatan pencucian uang.14 Untuk itu biasanya

13

Lihat, Romli Atmasasmita, Perbandingan Hukum Pidana, (Bandung: Mandar Maju, 2000), hal. 67.

14

Lihat, Bismar Nasution, Rezim Anti Money Laundering, (Bandung: Books Terrance & Library, 2005), hal. 1, bahwa pencucian uang sebagai suatu kejahatan yang berdimensi Internasional merupakan hal baru di banyak negara termasuk Indonesia. Sebegitu besarnya dampak negatif yang ditimbulkannya terhadap perekonomian suatu negara. Sehingga negara-negara di dunia dan organisasi Internasional merasa tergugah dan termotivasi untuk menaruh perhatian yang lebih serius terhadap


(27)

para pelaku selalu berupaya untuk menyembunyikan asal usul harta kekayaan tersebut dengan berbagai cara yang antara lain berupaya untuk memasukkannya ke dalam sistem keuangan (banking system),15 cara-cara yang ditempuh berupa menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul harta kekayaan tersebut dengan maksud untuk menghindari upaya pelacakan oleh aparat penegak hukum yang biasanya diistilahkan dengan pencucian uang atau yang secara populer dengan sebutan money laundering. Undang-undang tentang pencucian uang (money

laundering) yang dianut oleh Negara Indonesia telah mengklasifikasi tentang tindak

pidana asa (core crime) yang salah satunya menempatkan penyalahgunaan narkoba ke dalam predicate crime on money laundering.

Latar belakang perbuatan pelaku peredaran gelap Narkoba yang mengalihkan dan menyembunyikan harta kekayaan hasil kejahatan melaui sistem keuangan adalah memindahkan atau menjauhkan pelaku dari kejahatan yang menghasilkan proceeds of

crime dari kejahatan yang dilakukan, memisahkan proceeds of crime dari kejahatan

yang dilakukan, menikmati hasil kejahatan tanpa adanya kecurigaan kepada pelaku,

pencegahan dan pemberantasan kejahatan pencucian uang. Hal ini tidak lain kareha kejahatan pencucian uang (money laundering) tersebut baik secara langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi sistem perekonomian, dan pengaruhnya tersebut merupakan dampak negatif bagi perekonomian itu sendiri. Di dalam praktik money laundering ini diketahui bahwa banyak dana-dana potensial yang tidak dimanfaatkan secara optimal karena pelaku money laundering sering melakukan

“steril investment” misalnya dalam bentuk investasi di bidang properti pada negara-negara yang

mereka anggap aman walaupun dengan melakukan hal itu hasil yang diperoleh jauh lebih rendah. 15

Lihat, Bismar Nasution, Hukum Kegiatan Ekonomi I, (Bandung: Books Terrace & Library, 2007), hal. 219 bahwa adanya kerjasama internasional dalam upaya pencegahan dan pemberantasan kejahatan money laundering juga memberikan nilai tambah. Sebab penyelidikan aliran dana tidak terbatas hanya kepada lembaga penyedia jasa keuangan yang beroperasi di wilayah Indonesia saja, tetapi dapat meluas sampai ke lembaga penyedia jasa keuangan di manca negara. Namun perlu menjadi perhatian kita, bahwa penggunaan pranata hukum ini belum tersosialisasi dengan baik. Masih banyak aparatur penegak hukum di tingkat daerah yang belum menguasai atau bahkan tidak mengetahui keberadaan pranata hukum ini.


(28)

serta melakukan reinvestasi hasil kejahatan untuk aksi kejahatan selanjutnya atau ke dalam bisnis yang sah.16 Penanggulangan kejahatan peredaran gelap Narkoba dengan memisahkan proceeds crime dari kejahatan yang dilakukan dan penikmatan hasil kejahatan berupa penempatan tindak pidana Narkoba sebagai core crime.

Penempatan tindak pidana Narkoba sebagai core crime di dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Pencucian Uang diharapkan dapat ditanggulanginya berbagai modus yang memanfaatkan lembaga perbankan sebagai tempat transaksi kegiatan illegal yang menghidupi kegiatan peredaran gelap Narkoba, melalui pendekatan rezim anti money laundering tidak saja secara fisik pelaku dapat dideteksi melainkan juga harta kekayaan dari hasil kejahatan asal (core crime) sehingga pelaku pencucian uang yang dilakukan oleh para aktor yang memanfaatkan perbankan sebagai tempat transaksi peredaran gelap Narkoba dapat diminta pertanggungjawabannya, karena dalam prinsip tindak pidana pencucian uang yang utama dikejar adalah uang atau harta kekayaan yang diperoleh dari hasil kejahatan dengan beberapa alasan. Pertama, bila mengejar pelakunya lebih sulit dan berisiko.

Kedua, bila dibandingkan dengan mengejar pelaku maka akan lebih mudah dengan

mengejar hasil dari kejahatan. Ketiga, hasil kejahatan merupakan darah yang menghidupi tindak pidana itu sendiri (live bloods of the crime). Bila hasil kejahatan itu dikejar dan disita untuk negara dengan sendirinya akan mengurangi kejahatan pencucian uang.17

16

Lihat, Rick Mac Donnel dalam Edi Setiadi, Loc.cit 17


(29)

D. Rumusan Masalah

Untuk menemukan identifikasi masalah dalam penelitian ini maka perlu dipertanyakan apakah yang menjadi masalah dalam penelitian18 yang akan dikaji lebih lanjut untuk menemukan suatu pemecahan masalah yang telah diidentifikasi tersebut. Adapun yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana penentuan tindak pidana Narkoba sebagai predicate crime on money

laundering?

2. Bagaimana penanggulangan tindak pidana Narkoba melalui rezim anti money

laundering dengan menempatkan Narkoba sebagai predicate crime on money laundering?

3. Bagaimana hambatan dan kendala dalam pembuktian predicate crime dalam penyidikan tindak pidana Narkoba?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan permasalah yang telah dikemukakan diatas maka tujuan yang ingin dicapai dari penelitian tesis ini adalah:

18

Lihat, Ronny Kountur, Metode Penelitian Untuk Penulisan Skripsi dan Tesis,(Jakarta: PPM, 2003), hal. 35 bahwa masalah penelitian merupakan suatu pertanyaan yang mempersoalkan keberadaan suatu variabel atau mempersoalkan hubungan antara variabel pada suatu penomena. Variabel merupakan suatu arti yang dapat membedakan antara sesuatu dengan yang lainnya. Untuk membedakan antara manusia dalam wujud pria dan wanita dengan manusia dalam wujud yang lulus SD, SMU atau Sarjana, diberikan suatu arti pada wujud pertama di atas sebagai “jenis kelamin” (variabel Pertama) dan kedua sebagai tingkat pendidikan (variabel kedua). Jenis kelamin dan tingkat pendidikan adalah dua variabel yang berbeda.


(30)

2. Untuk mengetahui penentuan tindak pidana Narkoba sebagai predicate crime on

money laundering.

3. Untuk mengetahui penanggulangan tindak pidana Narkoba melalui rezim anti

money laundering dengan menempatkan Narkoba sebagai predicate crime on money laundering.

4. Untuk mengetahui hambatan dan kendala dalam pembuktian predicate crime dalam penyidikan tindak pidana Narkoba.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini memiliki manfaat teoritis dan praktis sebagai berikut:

1. Secara Teoritis

Manfaat penelitian ini adalah untuk memberikan sumbangan pemikiran dalam pengembangan ilmu hukum khususnya dalam bidang hukum ekonomi khususnya menyangkut tindak pidana Narkoba sebagai predicate

crime on money laundering yang diatur di dalam undang-undang tindak

pidana pencucian uang. Selain itu penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan masukan bagi penyempurnaan pranata peraturan hukum dalam pemberantasan tindak pidana Narkoba.

2. Secara Praktis

Manfaat penelitian ini memberikan masukan kepada aparat penegak hukum dalam sistem peradilan tindak pidana khususnya tindak pidana Narkoba dalam mengambil beberapa tindakan untuk menerapkan


(31)

predicate crime on money laundering, sehingga dapat mengantisipasi

implikasi tindakan yang menghambat pembuktian dalam pemberantasan tindak pidana Narkoba terutama aliran dana peredaran gelap Narkoba, selanjutnya penelitian ini juga diharapkan dapat bermanfaat bagi para pihak yang terkait dengan pemberantasan tindak pidana Narkoba dan tindak pidana pencucian uang dalam mengambil beberapa rangkaian kebijakan, misalnya Penyidik Kepolisian dan Kejaksaan.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan oleh peneliti di perpustakaan Universitas Sumatera Utara, diketahui bahwa penelitian tentang analisis yuridis tindak pidana Narkoba sebaga predicate crime on money laundering belum pernah dilakukan dalam pendekatan dan perumusan masalah yang sama walapun ada beberapa judul tesis yang membahas tentang tindak pidana Narkoba dan money

laundering namun pendekatan yang digunakan sangat berbeda terutama berkaitan

dengan pendekatan lahirnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Narkotika. Jadi penelitian ini adalah asli karena sesuai dengan asas-asas keilmuan yaitu jujur, rasional objektif dan terbuka. Sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah dan terbuka atas masukan serta saran-saran yang membangun sehubungan dengan pendekatan dan perumusan masalah.


(32)

F. Kerangka Teori dan Konsepsional 1. Kerangka Teori

Penanggulangan tindak pidana Narkoba melalui penelusuran harta kekayaan hasil kejahatan di dalam system tindak pidana pencucian uang sebagai suatu kejahatan mempunyai ciri khas yaitu bahwa kejahatan ini bukan merupakan kejahatan tunggal tetapi kejahatan ganda. Hal ini ditandai dengan bentuk pencucian uang sebagai kejahatan yang bersifat follow up crime atau kejahatan lanjutan, sedangkan kejahatan utamanya atau kejahatan asalnya disebut sebagai predicate offense atau

core crime atau ada negara yang merumuskannya sebagai unlawful activity yaitu

kejahatan asal yang menghasilkan uang yang kemudian dilakukan proses pencucian uang. Tujuan pelaku memproses pencucian uang adalah untuk menyembunyikan atau menyamarkan hasil dari predicate offence agar tidak terlacak untuk selanjutnya dapat digunakan, jadi bukan untuk tujuan menyembunyikan saja tapi merubah performance atau asal usulnya hasil kejahatan untuk tujuan selanjutnya dan menghilangkan hubungan langsung dengan kejahatan asalnya. Hal inilah yang menekankan perlunya pendekatan system penanggulangan melalui tindak pidana pencucian uang. Sebelumnya perlu digambarkan tentang pengertian system. Istilah sistem dari bahasa yunani “systema” yang mempunyai pengertian suatu keseluruhan yang tersusun dari sekian banyak bagian whole compounded of several parts.19 Secara sederhana sistem ini merupakan sekumpulan unsur-unsur yang saling berkaitan untuk mencapai tujuan

19

Stanford Optner, System Analysis for Business Management, Prentice Hall, Inc., New York, 1968, hal. 3, dalam Tatang M. Amirin, Pokok-Pokok Teori Sistem, Cet. I. (Jakarta: Rajawali, 1986), hal. 5


(33)

bersama, yang tersusun secara teratur dan saling berhubungan dari yang rendah sampai yang tinggi. Stanford Optner menyebutkan bahwa sistem tersusun dari sekumpulan komponen yang bergerak bersama-sama untuk mencapai tujuan keseluruhan.20 Dalam memahami istilah “sistem” ini ada beberapa penekanan dalam mendefenisikannya sebagai berikut:

1. Penekanan pada adanya “sistem dari suatu proses”, sistem di sini merupakan proses pelaksanaan perencanaan kerja yang terdapat dalam suatu lembaga, dalam hal ini peradilan pidana.

2. Penekanan pada fungsi komponen-komponen lembaga yang berperan dalam menjalankan proses tersebut ada empat komponen yang masing-masing mempunyai fungsi yang berbeda. Keempat komponen tersebut berturut-turut adalah Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan. Mengingat akan penekanan pertama dari defenisi ini, yaitu sistem dari suatu proses (tahap-tahap), di sini tampak penyebutan komponen-komponen yang menunjukkan adanya suatu urutan. Hal ini semakin jelas apabila dilihat fungsi dari masing-masing komponen tersebut. Kepolisian berfungsi untuk melakukan tugas penyidikan, kejaksaan bertugas untuk melakukan fungsi penuntutan, pengadilan yang diwakili oleh para hakim berfungsi dan bertugas menjatuhkan putusan hukuman dan lembaga pemasyarakatan bertugas untuk menjalankan putusan penghukuman. Urutan-urutan tersebut menunjukkan adanya rangkaian proses yang harus dilalui dari suatu sistem yang bekerja untuk suatu tujuan yang sama agar dapat menghasilkan keluaran (output) yang diharapkan.

3. Penekanan pada cara bagaimana komponen-komponen dari masing-masing lembaga tersebut menjalankan fungsinya. Meskipun masing-masing komponen dari lembaga tersebut dalam menjalankan proses ini merupakan institusi-institusi yang berdiri sendiri, dan mempunyai fungsi yang berbeda-beda, dalam memainkan peranannya masing-masing, kesemua komponen tersebut harus bekerja secara terpadu. Keterpaduan disini merupakan kerjasama diantara komponen-komponen dari lembaga tersebut dalam menjalankankan fungsinya masing-masing, sampai terlaksananya seluruh tahap dari proses tersebut. Kerjasama tadi diharapkan menjadi sesuatu kekuatan yang sinergis untuk mencapai tujuan.

4. Pengertian mengenai sistem peradilan pidana dikaitkan dengan tujuan dari proses, komponen dan cara kerja sistem tersebut. Tujuan disini merupakan tujuan keseluruhan baik tujuan dari proses, tujuan dari pelaksana fungsi-fungsi komponen maupun tujuan dari cara kerja komponen-komponen tersebut. Oleh

20 Ibid


(34)

karena itu tujuan tersebut harus dipahami dengan baik oleh setiap komponen. Peranan yang sangat besar dari semua komponen dalam menjalankan seluruh tahapan proses menyebabkan pemahaman mengenai tujuan ini begitu penting. Tanpa pemahaman yang seragam mengenai tujuan dari mulai proses hingga pelaksanaan dalam menanggulangi kejahatan dari lembaga ini akan sulit dapat dilakukan dengan baik.

Selanjutnya, dari rumusannya maka kejahatan pencucian uang dalam UUTPPU dapat dibedakan dalam dua kriteria yaitu Tindak Pidana Pencucian Uang (Pasal 3 dan 6) dan Tindak Pidana yang berkaitan dengan Pencucian Uang (Pasal 8 dan 9). Pasal 3:

(1) Setiap orang yang dengan sengaja:

a. Menempatkan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana ke dalam penyedia jasa keuangan, baik atas nama sendiri atau atas nama pihak lain;

b. Mentransfer harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dari suatu penyedia jasa keuangan ke penyedia jasa keuangan yang lain baik atas nama sendiri maupun atas nama pihak lain;

c. Membayarkan atau membelanjakan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik perbuatan itu atas namanya maupun atas nama pihak lain; d. Menghibahkan atau menyumbangkan harta kekayaan yang

diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana baik atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain;

e. Menitipkan harta kekayaan yang diketahui atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana baik atas namanya maupun atas nama pihak lain;

f. Membawa keluar negeri harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana; atau

g. Menukarkan atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dengan mata uang atau surat berharga lainnya; dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, dipidana karena tindak pidana pencucian uang dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun dan denda paling sedikit Rp.100 juta dan paling banyak Rp. 15.milyar.


(35)

Unsur obyektif (actus reus) dari pasal 3 sangat luas dan karena merupakan inti delik maka harus dibuktikan. Unsur obyektif tersebut terdiri dari menempatkan, mentransfer, membayarkan atau membelanjakan, menghibahkan atau menyumbangkan, menitipkan, membawa keluar negeri, menukarkan atau perbuatan lain atas harta kekayaan (yang diketahui atau patut diduga berasal dari kejahatan). Sedangkan unsur subyektifnya (mens rea) yang juga merupakan inti delik adalah sengaja, mengetahui atau patut menduga bahwa harta kekayaan berasal dari hasil kejahatan, dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan harta tersebut.

Pasal 6

(1) Setiap orang yang menerima atau menguasai: a. penempatan;

b. pentransferan; c. pembayaran; d. hibah ; e. sumbangan; f. penitipan; atau g. penukaran,

harta kekayaan yang diketahui atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun dan denda paling sedikit Rp. 100 juta dan paling banyak Rp. 15 milyar.

Unsur obyektif pasal 6 adalah menerima atau menguasai: penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran harta kekayaan (yang diketahui atau patut diduga berasal dari hasil tindak pidana). Sedangkan unsur subyektif atau mens reanya adalah mengetahui atau patut menduga bahwa harta kekayaan merupakan hasil tindak pidana. Dalam UUTPPU juga mengatur tentang tindak pidana yang berkaitan pencucian uang yaitu: Penyedia jasa keuangan yang dengan sengaja tidak menyempaikan laporan kepada PPATK sebagaimana dimaksud


(36)

dalam Pasal 13 ayat (1) dipidana dengan pidana denda paling sedikit Rp. 250 juta dan paling banyak Rp. 1 milyar.

Pasal 13 ayat (1) yang ditunjuk oleh Pasal 8 adalah sebagai berikut:

Penyedia Jasa Keuangan wajib menyampaikan laporan kepada PPATK sebagaimana dimaksud dalam Bab V, untuk hal-hal sbb:

a. transaksi keuangan mencurigakan;

b. transaksi keuangan yang dilakukan secara tunai dalam jumlah kumulatif sebesar Rp. 500.000.000,- atau lebih atau mata uang asing yang nilainya setara dilakukan dalam satu kali transaksi maupun beberapa kali transaksi dalam satu hari kerja.

Pasal 9:

Setiap orang yang tidak melaporkan uang tunai berupa rupiah sejumlah Rp. 100 juta atau lebih atau mata uang asing yang nilainya setara yang dibawa ke dalam atau ke luar wilayah Negara R.I. dipidana dengan pidana denda paling sedikit Rp. 100 juta dan paling banyak Rp. 300 juta.

Selanjutnya, di Indonesia pengaturan tentang pencucian uang pada awalnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang tindak pidana pencucian uang (UUTPPU). Mendasari UUTPPU ini money laundering telah dikategorikan sebagai salah satu kejahatan baik yang dilakukan oleh perseorangan maupun korporasi. Perkembangan kejahatan yang telah dilakukan korporasi dewasa ini baik dalam batas suatu negara maupun yang dilakukan melintasi batas wilayah negara lain makin meningkat. Kejahatan tersebut antara lain berupa tindak pidana korupsi, penyuapan (bribery), perbankan, pencucian uang yang dikategorikan sebagai kejahatan white collar crime dan dilakukan oleh tokoh-tokoh intelektual yang berada dibelakangnya. Tokoh-tokoh ini biasanya sulit untuk dilacak dan ditangkap karena


(37)

pada umumnya mereka tidak kelihatan pada tingkat pelaksanaan dari suatu tindak pidana tetapi akan lebih banyak menikmati dari hasil tindak pidana tersebut.21

Adapun sifat ataupun karakter pelaku tindak pidana pencucian uang pada umumnya adalah bahwa pelaku memiliki kekuasaan baik politik maupun ekonomi untuk membuat kabur dari asal usul harta kekayaan yang didapat dari kejahatan tersebut sehingga sulit bagi aparat penegak hukum untuk melakukan penjeratan dan penghukuman serta menerapkan norma hukum dalam bentuk peraturan perundang-undangan bagi pelaku kejahatan pencucian uang didalam sistem peradilan pidana (criminal justice system) yang terdiri dari polisi jaksa dan hakim.22

Pengaturan tentang pencucian uang ini merupakan salah satu dari delapan kejahatan transnasional (narkoba, terorisme, penyeludupan senjata api, perdagangan wanita dan anak, pembajakan di laut, kejahatan ekonomi, kejahatan cyber dan pencucian uang) yang telah disepakati dunia di lingkungan Asia tenggara dimasukkan dalam golongan kejahatan bisnis transnasional yang dapat melintasi batas wilayah dan yuridiksi suatu negara serta penanganannya pun mendapat perhatian. Pada akhir tahun 80-an dan 90-an, negara-negara maju telah mencemaskan terhadap berkembangnya tindak pidana pencucian uang, terlebih lagi pada saat itu ketentuan tentang kerahasiaan bank sangat dilindungi dan sulit ditembus. Berdasarkan pemikiran tersebut maka negara yang tergabung dalam G-7 membentuk badan yang

21

Yunus Husein, Upaya Penanganan Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laundering), makalah disampaikan pada Seminar Nasional Mengenali tindak pidana Pencucian uang, diselenggarakan oleh USU, Medan tanggal 30 Oktober 2002, hal. 4

22 Ibid


(38)

disebut FATF (The Financial Action Task Force) yaitu badan antar pemerintah yang bertujuan mengembangkan dan meningkatkan kebijakan untuk memberantas pencucian uang.23

Lahirnya UUTPU didasari suatu pemikiran bahwa tindak pidana pencucian uang sangat erat kaitannya dengan dana-dana yang sangat besar jumlahnya. Sementara itu, dana-dana tersebut disembunyikan dan disamarkan melalui jasa-jasa keuangan, seperti jasa perbankan, asuransi, pasar modal dan instrumen lain dalam lalu lintas keuangan. Praktek ini secara tidak langsung akan membahayakan dan mempengaruhi, bahkan merusak stabilitas perekonomian nasional yang telah ada.24

Pencucian uang adalah suatu perbuatan memindahkan, menggunakan atau melakukan perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang didapat dari hasil suatu tindak pidana, yang biasanya dilakukan oleh criminal organization, maupun individu yang melakukan tindakan korupsi, perdagangan narkotika, kejahatan kehutanan, kejahatan lingkungan hidup dan tindak pidana lainnya dengan tujuan untuk menyembunyikan, menyamarkan atau mengaburkan asal-usul uang yang berasal dari hasil tindak pidana

23

David P Steward, Internationalizing The War on Drugs; The un Convention on Againts

Illicit Trafic in Narcotic Drugs and Psycotropic substances, Den. J Int : L and Pol’y, vol 18

24

Bismar Nasution, Rezim Anti Money Laundering, Loc.cit, , hal. 1, bahwa pencucian uang sebagai suatu kejahatan yang berdimensi Internasional merupakan hal baru dibanyak negara termasuk Indonesia. Sebegitu besarnya dampak negatif yang ditimbulkannya terhadap perekonomian suatu negara, sehingga negara-negara di dunia dan organisasi Internasional merasa tergugah dan termotivasi untuk menaruh perhatian yang lebih serius terhadap pencegahan dan pemberantasan kejahatan pencucian uang. Hal ini tidak lain karena kejahatan pencucian uang (money laundering) tersebut baik secara langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi sistem perekonomian, dan pengaruhnya tersebut merupakan dampak negatif bagi perekonomian itu sendiri. Di dalam praktik money laundering ini diketahui bahwa banyak dana-dana potensial yang tidak dimanfaatkan secara optimal karena pelaku money laundering sering melakukan “steril investment” misalnya dalam bentuk investasi di bidang properti pada negara-negara yang mereka anggap aman walaupun dengan melakukan hal itu hasil yang diperoleh jauh lebih rendah.


(39)

tersebut. Sehingga harta kekayaan tersebut baik yang berupa uang maupun barang dapat digunakan seolah-olah sebagai harta kekayaan yang sah, tanpa terdeteksi bahwa harta kekayaan tersebut berasal dari kegiatan yang illegal. Adapun yang melatarbelakangi para pelaku pencucian uang melakukan tindakan-tindakan tersebut dengan maksud adalah untuk memindahkan atau menjauhkan para pelaku itu dari kejahatan yang menghasilan proceeds of crime, memisahkan proceeds of crime dari kejahatan yang dilakukan, menikmati hasil kejahatan tanpa adanya kecurigaan terhadap pelakunya, serta melakukan reinvestasi hasil kejahatan untuk aksi kejahatan selanjutnya atau ke dalam bisnis dan usaha yang sah.

Dari latar belakang falsafah dibentuknya Regime Anti Pencucian Uang untuk menanggulangi kejahatan asal yang salah satunya adalah tindak pidana Narkoba, maka dapat dikaji beberapa kendala yang muncul dalam penerapan ketentuan ini di Indonesia. Seperti telah dipahami bahwa suatu keberhasilan dalam penegakan hukum sangat tergantung pada beberapa faktor yaitu bagaimana formulasi undang-undangnya, kualitas penegak hukumnya dan budaya masyarakatnya. Demikian juga yang terjadi di Indonesia, faktor-faktor tersebut ternyata juga mempengaruhi belum optimalnya UUTPPU. Dari ketiga faktor tersebut nampaknya profesionalitas para penegak hukum lebih dominant dibanding dua faktor yang lain. UUTPPU di Indonesia yang walaupun pada hakekatnya mempunyai muatan politis yang diinginkan oleh pembuat undang-undang dan Masyarakat Internasional pada tahap


(40)

bahwa pembuatan hukum (law making) yang kilat atau tergesa-gesa (pragmatis) akan dapat mengakibatkan hukum itu sendiri menjadi tidak efektif yang pada gilirannya pada tingkat pelaksanaan hukum oleh aparat penegak hukum (Polisi, Jaksa, Hakim dan Pengacara) membuat apa yang di inginkan oleh hukum itu tidak dapat tercapai.25 Hal ini didasarkan pada tujuan bahwa:

1. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan

2. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat merasakan bahwa keadilan telah ditegakkan dengan adanya penghukuman terhadap yang bersalah.

3. Mengusahakan adanya efek jera dimana yang bersalah atau yang pernah melakukan kejahatan tidak berhasrat mengulangi kejahatannya lagi.26

2. Kerangka Konsepsional

Dalam penelitian ini terdapat dua variabel yaitu: Pertama: Tindak Pidana Narkoba. Kedua: Predicate Crime on Money Laundering. Dari dua variabel tersebut akan dijelaskan pengertian dari masing-masing sebagai berikut:

1. Tindak pidana ialah perbuatan yang oleh aturan hukum dilarang dan diancam dengan pidana barang siapa yang melanggar larangan tersebut, selanjutnya beliau menyatakan menurut wujudnya atau sifatnya, tindak pidana itu adalah perbuatan-perbuatan yang melawan hukum dan juga merugikan masyarakat dalam arti

25

Allot, Antony, the efectiveness of law, Valparaiso Law Review, (vol. 15 Wiater, 1981) hal 233 dalam Bismar Nasution, Hukum Rasional Untuk Landasan Pembangunan Ekonomi Indonesia , Disampaikan Pada Seminar Nasional Reformasi Hukum dan Ekonomi, sub tema: Reformasi Agraria Mendukung Ekonomi Indonesia diselenggarakan dalam rangka Dies Natalis USU ke-52, Medan, Sabtu 14 Agustus 2004, hal. 4

26

Lihat, Mardjono Reksadi Putro, Hak azazi manusia dalam system peradilan pidana, (Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (lembaga kriminologi) Universitas Indonesia, 1997), hal 84-85


(41)

bertentangan dengan atau menghambat akan terlaksananya tata dalam pergaulan masyarakat yang dianggap baik dan adil. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa suatu perbuatan akan menjadi suatu tindak pidana, apabila perbuatan itu:27 melawan hukum, merugikan masyarakat, dilarang oleh aturan pidana, pelakunya diancam dengan pidana.

2. Tindak Pidana Narkotika adalah suatu perbuatan yang diancam oleh sanksi pidana terhadap pelaku yang menyalahgunakan zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintesis maupun semisintesis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan.

3. Tindak Pidana Psikotropika diartikan sebagai suatu perbuatan yang diancam oleh sanksi pidana terhadap pelaku yang menyalahgunkan zat atau obat baik alamiah maupun sintesis bukan narkotika yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku.

4. Predicate Crime on Money Laundering diartikan sebagai suatu proses untuk menyembunyikan atau menyamarkan harta kekayaan yang diperoleh dari hasil kejahatan asal sebagaimana dirumuskan oleh UUTPPU. Hasil akhir dari proses itu adalah hasil tindak pidana asal menjelma menjadi uang sah.28 Adapun yang

27

Mulyanto dalam Faisal Salam, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, (Bandung: Pustaka, 2004), hal. 84

28

Soewarsono dan Reda Manthovani, Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang di


(42)

melatar belakangi para pelaku pencucian uang (money laundering) melakukan aksinya adalah dengan maksud memindahkan atau menjauhkan para pelaku itu dari kejahatan yang menghasilkan proceeds of crime, memisahkan proceeds of

crime dari kejahatan yang dilakukan, menikmati hasil kejahatan tanpa adanya

kecurigaan kepada pelakunya, serta melakukan reinvestasi hasil kejahatan untuk aksi kejahatan selanjutnya atau kedalam bisnis yang sah.

G. Metode Penelitian 1. Spesifikasi Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, artinya bahwa penelitian ini, menggambarkan, menelaah dan menjelaskan secara analitis tindak pidana Narkoba sebagai predicate crime on money laundering. Pendekatan penelitian ini adalah penelitian hukum normatif,29 yaitu dimaksudkan sebagai pendekatan terhadap masalah dengan melihat dari segi peraturan-peraturan yang berlaku oleh karena itu dilakukan penelitian kepustakaan. Pada penelitian hukum, bahan pustaka merupakan data dasar yang dalam penelitian digolongkan sebagai data sekunder. Data sekunder tersebut mempunyai ruang lingkup yang sangat luas, sehingga meliputi surat-surat pribadi, buku-buku harian, buku-buku, sampai pada dokumen-dokumen resmi yang

29

Lihat, Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1986), hal. 51, bahwa penelitian hukum normatif terbagi atas penelitian terhadap asas-asas hukum, penelitian terhadap singkronisasi hukum, penelitian sejarah hukum, penelitian perbandingan hukum.


(43)

dikeluarkan oleh pemerintah. 30 Pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah meliputi penelitian kepustakaan (library research) untuk mendapatkan konsepsi teori atau doktrin, pendapat atau pemikiran konseptual dan penelitian pendahuluan yang berhubungan dengan objek yang diteliti dapat berupa peraturan perundang-undangan dan karya ilmiah.

2. Sumber Data

Data penelitian ini didapatkan melalui studi kepustakaan, yakni dengan melakukan pengumpulan referensi yang berkaitan dengan obyek penelitian yang meliputi data sekunder yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan (library

research). Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan konsep-konsep, teori-teori dan

informasi serta pemikiran konseptual dari penelitian pendahulu baik berupa peraturan perundang-undangan dan karya ilmiah lainnya. Data sekunder terdiri dari:

1. Bahan hukum primer, antara lain: a. Norma atau kaedah dasar b. Peraturan dasar

c. Landasan utama yang dipakai dalam rangka penelitian ini diantaranya adalah Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 sebagai perubahan dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psilotropika,

30

Soerjono Soekamto dan Sri Mamudji, Peranan dan Penggunaan Perpustakaan Di dalam

Penelitian Hukum,(Jakarta: Pusat Dokumentasi Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1979),


(44)

Undang-undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.

2. Bahan Hukum Sekunder berupa buku yang berkaitan dengan tindak pidana Narkoba dan tindak pidana pencucian uang, hasil-hasil penelitian, laporan-laporan, artikel, hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya yang relevan dengan penelitian ini.

3. Bahan Hukum Tersier atau bahan hukum penunjang yang mencakup bahan yang memberi petunjuk-petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer, sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum, majalah dan jurnal ilmiah, serta bahan-bahan di luar bidang hukum yang relevan dan dapat dipergunakan untuk melengkapi data yang diperlukan dalam penelitian.31

Di samping itu untuk melengkapi data skunder, juga didukung dengan data primer yakni dilakukannya wawancara dengan informan yang dianggap memahami tentang tindak pidana Narkoba dan tindak pidana pencucian uang. Data primer berupa wawancara kepada informan digunakan sebagai data pelengkap dan pendukung dari data skunder. Dengan kerangka teoritis merupakan alat untuk menganalisis data yang diperoleh baik berupa bahan hukum sekunder, pendapat-pendapat atau tulisan para ahli atau pihak lain berupa informasi baik dalam bentuk formal maupun melalui naskah resmi yang dijadikan sebagai landasan teoritis. Adapun informan dalam penelitian ini yakni penyidik dan penyidik pembantu pada Satuan Narkoba Poltabes

31

Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Sebagaimana dikutip dari Seojono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Rajawali Press, 1990), hal. 41.


(45)

Medan yakni Risman Purba, penyidik pada Unit II Satuan Narkoba Poltabes Medan dan Puji Tarigan, penyidik pada Unit I Satuan Narkoba Poltabes Medan.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan teknik dokumentasi. Metode ini penulis lakukan tidak lain hanya mengumpulkan bahan-bahan melalui kepustakaan, yakni berupa buku-buku, putusan-putusan pengadilan jurnal, dokumen-dokumen serta sumber-sumber teoritis lainnya sebagai dasar penyelesaian pokok masalah dalam tesis ini. Keseluruhan data ini kemudian digunakan untuk mendapatkan landasan teoritis berupa bahan hukum positif, pendapat-pendapat atau tulisan para ahli atau pihak lain berupa informasi baik dalam bentuk formal maupun melalui naskah resmi. Di samping dalam rangka mendukung bahan hukum positif diperlukan juga wawancara dengan informal dengan teknik pengumpulan data melalui wawancara langsung dengan terlebih dahulu merumuskan pertanyaan-pertanyaan terhadap informan yang selanjutnya penulis tuangkan ke dalam penelitian setelah terlebih dahulu memverifikasi terhadap jawaban-jawaban informan. Wawancara dengan informal dilakukan dengan cara menunjuk secara langsung informan yang mengetahui terhadap permasalahan.


(46)

4. Analisis Data

Seluruh data yang sudah diperoleh dan dikumpulkan selanjutnya akan ditelaah dan dianalisis secara kualitatif. Analisis kualitatif ini dilakukan dengan cara pemilihan pasal-pasal yang berisi kaidah-kaidah hukum yang mengatur tentang tindak pidana Narkoba sebagai predicate crime on money laundering, kemudian membuat sistematika dari pasal-pasal tersebut sehingga akan menghasilkan klasifikasi tertentu sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini. Data yang dianalisis secara kualitatif akan dikemukakan dalam bentuk uraian yang sistematis dengan menjelaskan hubungan antara berbagai jenis data, selanjutnya semua data diseleksi dan diolah kemudian dianalisis secara deskriptif sehingga selain menggambarkan dan mengungkapkan diharapkan akan memberikan solusi atas permasalahan dalam penelitian dalam tesis ini.


(1)

bahwa untuk menyatakan salah atau tidaknya pelaku ditentukan oleh putusan Pengadilan, selama belum ada Putusan Pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat maka tersangka belum dinyatakan sebagai subjek yang bersalah. Rendahnya penanganan kasus money laundering ini, karena terbatasnya penyidik Polri yang menangani kasus ini, selain itu penyidikan TPPU membutuhkan dana besar, lagipula cepatnya transaksi keuangan membuat terbentur dengan waktu. Contohnya, transaksi keuangan yang mencurigakan dari Pemantau Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan( PPATK ) dilakukan penyidikan kemudian berkas dikirim ke Jaksa, sesampai di meja Jaksa berkas dikembalikan dengan isyarat agar dipenuhi terlebih dahulu predicat crime (tindak pidana aslinya), padahal untuk melakukan tindak pidana asal memerlukan koordinasi lebih lanjut, baik tehnis, waktu serta dana. Dilihat dari segi waktunya terbatas sesuai dengan limit waktu penahanan, disisi lain analisis PPATK yang berkaitan dengan tindak pidana membutuhkan waktu paling cepat 2 bulan.Itu dilema hukum yang dihadapi Polri.

B. Saran

1. Di dalam predicate crime on money laundering hendaknya undang-undang pencucian uang harus secara tegas menyebutkan bahwa tidak pidana Narkoba yang terkait dengan tindak pidana pencucian uang hanya terpokus terhadap orang yang memproduksi dan pengedar bukan pemakaian karena Undang-Undang


(2)

Narkotika dan Psikotropika telah mengklasifikasi pelaku menjadi memproduksi, mengedarkan dan pemakai.

2. Diharapkan adanya pengaturan di dalam undang-undang pencucian uang bahwa apabila harta kekayaan hasil kejahatan (predicate crime) khusunya penyalahgunaan Narkoba tidak dapat dibuktikan hartanya tersebut sebagai harta kekayaan yang diperoleh bukan berasal dari kejahatan penyalahgunaan Narkoba sebagai predicate crime, maka langsung dapat disita dan/atau langsung dianggap terbukti berasal dari kejahatan.

3. Agar kendala dan hambatan dalam penanggulangan tindak pidana pencucian uang dapat diatasi, diharapkan adanya keterpaduan sistem peradilan pidana khususnya dalam penanganan tindak pidana pencucian uang dengan melibatkan lembaga PPATK sebagai lembaga intelijen keuangan untuk membantu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang terutama memberikan hasil analisis dan informasi keuangan lainnya kepada aparat penegak hukum. Di samping itu, PPATK juga dapat memenuhi informasi yang diminta oleh penyidik lainnya yang dapat dipakai dalam rangka penyelidikan, penyidikan dan penuntutan, melalui mekanisme tukar-menukar informasi. Ketentuan yang mengatur mengenai proses hukum (hukum acara) tindak pidana pencucian uang dapat dibentuk dan menjadi kunci sukses dalam menindak lanjuti setiap hasil analisis PPATK untuk dapat diajukan dalam sidang pengadilan, sehingga pelaku tindak pidana tidak bisa menghindar dari ancaman hukuman dan hasil tindak


(3)

DAFTAR PUSTAKA A. Buku

Arief, Barda Nawawi, Sari Kuliah Perandingan Hukum Pidana, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002

Atmasasmita, Romli, Perbandingan Hukum Pidana, Bandung: Mandar Maju, 2000 Garnasih, Yenti, Kriminalisasi Terhadap Pencucian Uang (Money Laundering),

Jakarta: Universitas Indonesia, Fakultas Hukum Pascasarjana, 2003

Kountur, Ronny, Metode Penelitian Untuk Penulisan Skripsi dan Tesis,Jakarta: PPM, 2003

Manthovani, Reda, Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang di Indonesia, Jakarta: CV Malibu, 2004

Nasution, Bismar, Rezim Anti Money Laundering, Bandung: Books Terrance & Library, 2005

---, Hukum Kegiatan Ekonomi I, Bandung: Books Terrace & Library, 2007

Salam, Faisal, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Bandung: Pustaka, 2004 Setiadi, Edi, Hukum Pidana Ekonomi, Bandung: Fakultas Hukum Universitas Islam

Bandung, 2004

Stessens, Guy, Money Laundering A New International Law Enforcement Model, Cambridge University Press: 2000.

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press), 1986

---dan Sri Mamudji, Peranan dan Penggunaan Perpustakaan Di dalam Penelitian Hukum,Jakarta: Pusat Dokumentasi Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1979

---dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: Rajawali Press, 1990


(4)

Sudarto, Hukum Pidana I, cetakan ke II, Semarang: Yayasan Sudarto d/a Fakultas Hukum Undip, 1990

Suparmono, Gatot, Hukum Narkoba di Indonesia, Jakarta: Djambatan, 2001

B. Makalah, Jurnal, Intenet

Arief, Barda Nawawi, Kebijakan Penanggulangan Narkoba Dengan Hukum Pidana, Makalah pada Seminar di Fakultas Hukum, Universitas Gunung Djati, Cirebon, tanggal 19 Mei 2000.

Andrew Haynes, Money Laundering and Changes in International Banking Regulations, J.Int’l Banking Law, 1993

Chaikin, David A., “Money Laundering: An Investigatory Perspective”, Crim. L. Forum, vol. 2. No. 3, (Spring, 1991)

David A.Chaikin, Money Laundering: An Investigatory Perspective, Crim. L. Forum, vol. 2. No. 3, Spring, 1991

David P Steward, Internationalizing The War on Drugs; The un Convention on Againts Illicit Trafic in Narcotic Drugs and Psycotropic substances, Den. J Int : L and Pol’y, vol 18

Guiding Principle for Crime Prevention and Criminal Justice in the Context of Development and a New Economic Order, yang diadopsi oleh Seventh Crime Congress, Milan, 1985

Harkrisnowo, Harkristuti, Kriminalisasi Pemutihan Uang (Money Laundering), Tinjauan Terhadap Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002, Makalah pada Rangkaian Lokakarya Terbatas Hukum Kepalilitan dan Wawasan Hukum Bisnis Lainnya, Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum-Pusdiklat Mahkamah Agung RI, 2003

Husein, Yunus, Penanganan tindak pidana pencucian uang di Indonesia, http://www.google.co.id, diakses tanggal 4 Pebruari, 2010

---, Upaya Penanganan Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laundering), makalah disampaikan pada Seminar Nasional Mengenali tindak pidana Pencucian uang, diselenggarakan oleh USU, Medan tanggal 30 Oktober 2002

---, Penanganan tindak pidana pencucian uang di Indonesia, http://www.google.co.id, diakses tanggal 4 Pebruari, 2010


(5)

---, dalam paper pendukung Delegasi RI pada Forthy-Seventh Session of The Comisión on Narcotic Drugs, yang diselenggarakan di Wina, 15-22 Maret 2004. http://www.google.co.id, diakses tanggal 25 Januari 2010 ---, “Money Laundering,” Bahan Kuliah Kapita Selekta Hukum

Perbankan, Nopember 2002. Lihat juga Money Laundering Control Act (Title/Section) 18/1956, 18/1961, 19/1590, 21/848, 33/1251, 33/1401, 33/1901, 42/6901.

Komisi Kepolisian Nasional, Narkoba sebagai Kejahatan Transnasional, Bahan Pembekalan Sespim Polri Dikreg 48 TP. 2009

Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia, Perkembangan dan penanggulangan kejahatan terhadap kekayaan negara dan kejahatan transnasional, bahan pembekalan pasis sespim polri dikreg ke-47 TP. 2008 Margaret Samuel, “No cash Alternatives and Money Laundering: An American

Model For Canadian Consumers Protection”, Am. Buss.L.J., vol. 30, 1992.

Nasution, Bismar, Rezim Anti Money Laundering Untuk Memberantas Kejahatan Di Bidang Kehutanan, Disampaikan Pada Seminar, Pemberantasan Kejahatan Hutan Melalui Penerapan Undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang, yang diselenggarakan atas kerjasama Program Magister Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Sumatera Utara dengan Pusat Pelapor dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Medan, tanggal 6 Mei 2004 Purwoko, Sunu W., Money Laundering, Praktek Dan Pemberantasannya, Karyawan

PT Bank Ekspor Indonesia (Persero), BEI NEWS Edisi 7 Tahun II, Oktober-Desember 2001

Rajaguguk, Erman, Anti Pencucian Uang: Perbandingan Hukum, Jakarta: Yayasan Pengembangan Hukum Binis, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 16 Nopember 2001

Sutanto, Peran Polri untuk Meningkatkan Efektivitas Penerapan UU TPPU, Keynote Adress Pada Pelatihan Anti Tindak Pidana Pencucian Uang, (Medan: Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, tanggal 15 September 2005

Sunaryadi, Amin, Tindak Pidana Pencucian Uang Implikasinya Bagi Profesi Akuntan, Media Akuntansi, Ed. 29/Th. IX (Oktober-November 2002) Steward, David P, Internationalizing The War on Drugs; The un Convention on

Againts Illicit Trafic in Narcotic Drugs and Psycotropic substances, Den. J Int : L and Pol’y, vol 18


(6)

C. Peraturan Perundang-undangan

Kitab Undang-undang Hukum Pidana

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Narkotika

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psilotropika

Undang-undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1997 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs And Psychotropic Substance, 1988