BAB VIII - DOCRPIJM 019863a4e9 BAB VIII8. BAB VIII Aspek Teknis Per Sektor

BAB VIII ASPEK TEKNIS PER SEKTOR

8.1 Pengembangan Permukiman

  Berdasarkan UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, permukiman didefinisikan sebagai bagian dari lingkungan hunian yang terdiri atas lebih dari satu satuan perumahan yang mempunyai prasarana, sarana, utilitas umum, serta mempunyai penunjang kegiatan fungsi lain di kawasan perkotaan atau perdesaan.

  Kegiatan pengembangan permukiman terdiri dari pengembangan permukiman kawasan perkotaan dan kawasan perdesaan. Pengembangan permukiman kawasan perkotaan terdiri dari pengembangan kawasan permukiman baru dan peningkatan kualitas permukiman kumuh, sedangkan untuk pengembangan kawasan perdesaan terdiri dari pengembangan kawasan permukiman perdesaan, kawasan pusat pertumbuhan, serta desa tertinggal.

  Pengembangan Permukiman adalah rangkaian kegiatan yang bersifat multisektor meliputi kegiatan pengembangan permukiman baru dan peningkatan kualitas permukiman lama baik di perkotaan (kecil, sedang, besar dan metropolitan), di perdesaan (termasuk daerah-daerah tertinggal dan terpencil) maupun kawasan-kawasan tertentu (perbatasan, pulau-pulau kecil/terluar)

  Rencana Pembangunan dan Pengembangan Perumahan dan Permukiman di Daerah (RP4D)  Sebagai skenario pelaksanaan koordinasi dan keterpaduan rencana sektor terkait bidang perumahan dan permukiman (pertanahan, perumahan, pembiayaan, prasarana/sarana, dll)  Sebagai payung atau acuan baku bagi seluruh pelaku dan penyelenggara perumahan dan permukiman (pemerintah, swasta, dan masyarakat)  Sebagai cerminan aspirasi / tuntutan masyarakat terhadap perumahan dan permukiman

  Rincian Kegiatan Pembangunan

  1. Pengembangan Kawasan Permukiman Baru  Rincian alokasi lahan (kasiba/lisiba, ijin lokasi developer, dll)  Rencana pengembangan jaringan prasarana dasar (mis. air bersih, sanitasi, drainase, sampah) meliputi lokasi, konstruksi, fungsi dan kapasitas

   Rencana investasi jaringan prasarana  Rencana fasilitas umum

  2. Peningkatan Kualitas Permukiman (yang sudah ada)  Rincian lokasi, yg mencakup luas, penduduk, bentuk penanganan (mis. premajaan,

  KIP, revitalisasi, dll)  Rincian Lisiba BS  Rencana peningkatan dan perluasan prasarana dan sarana (fungsi, kapasitas, dll)  Rencana fasilitas umum (jenis, jumlah, waktu, pihak yang membangun)

8.1.1 Arahan kebijakan dan lingkup kegiatan

  Arahan kebijakan pengembangan permukiman mengacu pada amanat peraturan perundangan, antara lain: a) Undang-Undang No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional.

  Arahan RPJMN Tahap 3 (2015-2019) menyatakan bahwa pemenuhan kebutuhan hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana pendukung bagi seluruh masyarakat terus meningkat, sehingga kondisi tersebut mendorong terwujudnya kota tanpa permukiman kumuh pada awal tahapan RPJMN berikutnya.

  b) Undang-Undang No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman.

  Pasal 4 mengamanatkan bahwa ruang lingkup penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman juga mencakup penyelenggaraan perumahan (butir c), penyelenggaraan kawasan permukiman (butir d), pemeliharaan dan perbaikan (butir e), serta pencegahan dan peningkatan kualitas terhadap perumahan kumuh dan permukiman kumuh (butir f).

  c) Undang-Undang No. 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun.

  Pasal 15 mengamanatkan bahwa pembangunan rumah susun umum, rumah susun khusus, dan rumah susun negara merupakan tanggung jawab pemerintah.

  d) Peraturan Presiden No. 15 Tahun 2010 tentang Percepatan Penanggulangan Kemiskinan.

  Peraturan ini menetapkan salah satunya terkait dengan penanggulangan kemiskinan yang diimplementasikan dengan penanggulangan kawasan kumuh.

  e) Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 14/PRT/M/2010 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Pekerjaan Umum dan Tata Ruang.

  Peraturan ini menetapkan target berkurangnya luas permukiman kumuh di kawasan perkotaan sebesar 10% pada tahun 2014.

  Mengacu pada Permen PU No. 08/PRT/M/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Pekerjaan Umum maka Direktorat Pengembangan Permukiman mempunyai tugas di bidang perumusan dan pelaksanaan kebijakan, pembinaan teknik dan pengawasan teknik, serta standardisasi teknis dibidang pengembangan permukiman. Adapun fungsi Direktorat Pengembangan Permukiman adalah:

  a. Penyusunan kebijakan teknis dan strategi pengembangan permukiman di perkotaan dan perdesaan; b. Pembinaan teknik, pengawasan teknik dan fasilitasi pengembangan kawasan permukiman baru di perkotaan dan pengembangan kawasan perdesaan potensial; c. Pembinaan teknik, pengawasan teknik dan fasilitasi peningkatan kualitas permukiman kumuh termasuk peremajaan kawasan dan pembangunan rumah susun sederhana; d. Pembinaan teknik, pengawasan teknik dan fasilitasi peningkatan kualitas permukiman di kawasan tertinggal, terpencil, daerah perbatasan dan pulau-pulau kecil termasuk penanggulangan bencana alam dan kerusuhan sosial;

  e. Penyusunan norma, standar, prosedur dan kriteria, serta pembinaan kelembagaan dan peran serta masyarakat di bidang pengembangan permukiman; f. Pelaksanaan tata usaha Direktorat.

8.1.2 Isu strategis, kondisi eksisting, permasalahan dan tantangan

8.1.2.1 Isu Strategis

  Berbagai isu strategis nasional yang berpengaruh terhadap pengembangan permukiman saat ini adalah: a) Mengimplementasikan konsepsi pembangunan berkelanjutan serta mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim.

  b) Percepatan pencapaian target MDGs 2020 yaitu penurunan proporsi rumahtangga kumuh perkotaan.

  c) Perlunya dukungan terhadap pelaksanaan Program-Program Direktif Presiden yang tertuang dalam MP3EI dan MP3KI.

  d) Percepatan pembangunan di wilayah timur Indonesia (Provinsi NTT, Provinsi Papua, dan Provinsi Papua Barat) untuk mengatasi kesenjangan.

  e) Meminimalisir penyebab dan dampak bencana sekecil mungkin.

  f) Meningkatnya urbanisasi yang berimplikasi terhadap proporsi penduduk perkotaan yang bertambah, tingginya kemiskinan penduduk perkotaan, dan bertambahnya kawasan kumuh.

  g) Belum optimalnya pemanfaatan Infrastruktur Permukiman yang sudah dibangun.

  h) Perlunya kerjasama lintas sektor untuk mendukung sinergitas dalam pengembangan kawasan permukiman. i) Belum optimalnya peran pemerintah daerah dalam mendukung pembangunan permukiman. Ditopang oleh belum optimalnya kapasitas kelembagaan dan kualitas sumber daya manusia serta perangkat organisasi penyelenggara dalam memenuhi standar pelayanan minimal di bidang pembangunan perumahan dan permukiman.

Tabel 8.1 Isu-isu Strategis Sektor Pengembangan Permukiman Skala Kota

  No Isu Strategis Keterangan

  1 Pemerataan pelayanan dan/atau penyediaan infrastruktur permukiman perkotaan untuk mendorong pembangunan di seluruh penjuru kota

  2 Penyediaan infrastruktur pendukung permukiman untuk mendorong perkembangan permukiman-permukiman baru baik di sebelah utara, timur, barat, maupun selatan

  3 Terdapat intensitas pembangunan yang tinggi, terutama di pusat kota

  4 Penataan kawasan permukiman yang berkembang pada wilayah yang tidak sesuai peruntukannya

  5 Penanganan kawasan permukiman yang tidak layak huni

  6 Penyediaan permukiman yang belum mendukung arah pembangunan kota

8.1.2.2 Kondisi Eksisting

  Kebijakan pembangunan wilayah perkotaan dan pedesaan di Indonesia saat ini adalah berupa peningkatan pelayanan bagi penduduk. Kondisi eksisting yang ada saat ini adalah persebaran penduduk tersebar secara tidak merata sehingga mengakibatkan penyediaan prasarana dan sarana menjadi lebih sulit dan lebih mahal.

  Kota Malang merupakan kota dengan orde II. Kota ini memiliki fungsi primer berupa pendidikan, pemerintahan, perdagangan dan jasa serta industri. Struktur Pusat Permukiman Perkotaan Malang diarahkan berpusat di Kota Malang sebagai pusat utama bagi wilayah perkotaan di Kota/Kabupaten Malang serta Kota Batu dan struktur ruangnya menunjukan pola linier yakni Kepanjen-Malang-Batu. Lahan di Kota Malang mayoritas difungsikan sebagai areal permukiman yaitu sebesar 58% dari luasan keseluruhan Kota Malang.

  Pemenuhan kebutuhan rumah di Kota Malang dilakukan oleh pihak swasta melalui pengembang perumahan, masyarakat dan pihak public sector atau pemerintah kota. Salah satu program penyediaan ruamah oleh pemerintah kota Malang yaitu Program 1.000 rumah Pemerintah Kota Malanguntuk Perumahan bagi Pegawai Negeri Sipil dan TNI yang diencanakan akan diimplementasikan pada wilayah Kelurahan Lesanpuro, Tlogowaru, Arjowinangun, Tlogomas, Bandulan, dan Bandungrejosari.

  Berdasarkan dokumen RP4D Kota Malang Tahun 2004, kebutuhan rumah pada tahun 2010 adalah sebanyak 443.286 unit rumah. Sedangkan ketersediaan rumah hanya sebanyak 371.443 unit yang berarti hanya memenuhi 83,79% kebutuhan rumah (backlog 16,21%). Pada tahun 2007 Kondisi rumah tidak layak huni mencapai 1.170 unit rumah sedangkan rumah rawan bencana mencapai 530 unit.

  Kondisi prasarana dan prasarana dasar yang terdapat di Kota Malang pada umumnya baik, penyampaian pelayanan sarana prasarana dasar mikro telah mencakup sebagian kawasan permukiman. Rendahnya kesadaran masyarakat dalam pengelolaan dan pemeliharaan menyebabkan kinerja sarana prasarana tidak berjalan optimal. Rendahnya pengelolaan limbah kota serta pelayanan saluran drainasi menimbulkan ancaman pencemaran bagi lingkungan permukiman juga kualitas sumberdaya air, yang lebih jauh akan berdampak negatip terhadap kualitas kesehatan masyarakat. Kuantitas dan kualitas penyediaan air perpipaan tidak konstan, terkadang keruh. Dilain pihak kualitas pelayanan sumur dangkal kurang terjamin dari pencemaran limbah domestik. Disisi lain kualitas penanganan limbah domestik yang tidak memadai cenderung memperburuk lingkungan permukiman. Daya bayar masyarakat terhadap abonemen yang rendah menyebabkan tidak semua rumah tangga mampu mengakses pelayanan komunal kota. Lokasi permukiman kumuh di Kota Malang sebagian besar berada di tepian Kali Brantas dan daerah sempadan rel kereta api. Kriteria kawasan kumuh didasarkan pada: a) Kualitas sarana prasarana dasar mikro yang rendah, b) Kerawanan kawasan permukiman terhadap bencana alam maupun sumber pencemaran dan, slum areas).

  c) Tidak ada legalitas hak pengelolaan kawasan yang sangat jelas (

Tabel 8.2 Peraturan Terkait Pengembangan Permukiman

  Perda/Pergub/Perwal/Perbup/Peraturan Lainnya No Jenis Produk No. / Amanat Kebijakan Daerah Perihal Pengaturan Tahun

  1 Rancangan Peraturan No. / Strategi

  a) Pembangunan hunian Daerah Kota Malang 2013 Pembangunan vertikal untuk

  Permukiman dan mengantisipasi intensitas Infrastruktur pembangunan yang Perkotaan Kota tinggi; Malang Tahun

  b) Penataan kawasan 2013 - 3032 permukiman yang berkembang pada wilayah yang tidak sesuai peruntukannya, seperti di sempadan sungai dan

  Perda/Pergub/Perwal/Perbup/Peraturan Lainnya No Amanat Kebijakan Daerah Jenis Produk No. / Perihal Pengaturan Tahun

  sempadan rel kereta api; dan c) Penanganan kawasan permukiman yang tidak layak huni.

  2 Peraturan Daerah Nomor 7 Rencana

  a) Peningkatan Kota Malang Tahun Pembangunan pembangunan 2014 Jangka Menengah infrastruktur dasar di

  Daerah Kota wilayah-wilayah yang Malang Tahun menjadi kantong 2013 - 2018 kemiskinan b) Peningkatan pembangunan dan pemeliharaan sarana pemukiman dan drainase perkotaan

  3 Peraturan Daerah Nomor 4 Rencana Tata

  a) Mengembangkan Kota Malang Tahun Ruang Wilayah kawasan perumahan 2011 Kota Malang dengan menerapkan pola

  Tahun 2010 - 2030 pembangunan hunian berimbang berbasis pada konservasi air yang berwawasan lingkungan; b) Mengembangkan kawasan perumahan formal dan informal sebagai tempat hunian yang aman, nyaman dan produktif dengan didukung sarana dan prasarana permukiman yang memadai;

  c) Mengembangkan perumahan secara vertikal;

  4 Rancanagan Nomor Rencana

  a) Pemenuhan perumahan Peraturan Daerah Tahun Pembangunan Dan dan kawasan permukiman Kota Malang 2014 Pengembangan yang layak huni dan

  Perumahan Dan terjangkau; Kawasan

  b) Pemenuhan perumahan Permukiman Kota dan kawasan permukiman Malang sehat dan aman yang Tahun 2014 - 2034 didukung prasarana, sarana dan utilitas umum

  (PSU);

  c) Perbaikan kualitas permukiman kumuh di Kota Malang;

  Perda/Pergub/Perwal/Perbup/Peraturan Lainnya No Amanat Kebijakan Daerah Jenis Produk No. / Perihal Pengaturan Tahun

  d) Penanganan permukiman liar di Kota Malang; dan e) Penyediaan rumah susun bagi masyarakat, dengan prioritas masyarakat berpenghasilan rendah.

Tabel 8.3 Data Kawasan Kumuh di Kota Malang Tahun 2009

  Jumlah Jumlah Lokasi Kawasan Luas Tipologi No Rumah Rumah Semi Kumuh Kawasan Kawasan Permanen Permanen

  1 Kp. Cipto Mulyo 2,29 Ha Permukiman >60 % <40 % Kel Ciptomulyo Kec Padat Sekitar Sukun Industri

  2 Kp. Embong 8,82 Ha Bantaran <40 % >60 % Brantas Kel Sungai Jodipan Kec Blimbing

  3 Kp Jodipan Kel 47,08 Ha Permukiman >60 % <40 % Jodipan Kec padat sekitar Blimbing rel KA dan sungai

  4 Kws Industri 1,09 Ha Permukiman <40 % >60 % Tempe Sanan Kel Padat, Industri Purwantoro Kec Tempe Blimbing

  5 Kp Betek Kel 4,89 Ha Bantaran >60 % <40 % Penanggungan Kec Sungai Klojen

  6 Kp Kota Lama Kel 40,49 Ha Bantaran >60 % <40 % Polehan Kec Sungai Blimbing

  7 Kp Kebalen Kel 6,76 Ha Bantaran >60 % <40 % Kota Lama Kec Sungai Kedungkandang

8.1.2.3 Permasalahan

  Permasalahan pengembangan permukiman pada tingkat nasional antara lain:

  a) Masih luasnya kawasan kumuh sebagai permukiman tidak layak huni sehingga dapat menyebabkan terjadinya degradasi lingkungan, dan pelayanan infrastruktur yang masih terbatas.

  b) Masih terbatasnya prasarana sarana dasar pada daerah tertinggal, pulau kecil, daerah terpencil, dan kawasan perbatasan. c) Belum berkembangnya Kawasan Perdesaan Potensial.

  Masalah utama dalam bidang perumahan dan permukiman di wilayah perkotaan adalah kebutuhan fasilitas perumahan di perkotaan yang semakin meningkat dari waktu ke waktu. Sementara itu ketersediaan lahan di wilayah perkotaan menjadi semakin langka. Kelangkaan ini telah menyebabkan semakin mahalnya harga lahan di wilayah perkotaan. Adanya kelebihan permintaan terhadap lahan perumahan di wilayah perkotaan ini telah menyebabkan kenaikan harga lahan perumahan yang luar biasa di wilayah perkotaan. Tingginya harga lahan perumahan di wilayah perkotaan telah mendorong masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah untuk tinggal di kawasan pinggiran kota yang jauh dari tempat kerja. Kondisi ini menyebabkan meningkatnya biaya transportasi, waktu tempuh, dan pada akhirnya akan menurunkan mobilitas dan produktivitas masyarakat menengah ke bawah tersebut. Sedangkan sebagian masyarakat tetap berupaya untuk tinggal di kawasan yang tidak jauh dari pusat aktivitas ekononomi, sehingga menyebabkan ketidak-teraturan tata ruang kota dan dapat menumbuhkan kawasan kumuh baru di perkotaan. Hal ini telah menyebabkan kondisi kemasyarakatan di kawasan perkotaan menjadi lebih kompleks berikut permasalahan yang timbul. Terutama dengan bertambahnya jumlah masyarakat kawasan permukiman yang tidak layak huni, kurang sarana

  • – prasarana, dan tidak teratur (kumuh). Permukiman kumuh tersebut cenderung berada pada kawasan yang tidak diperuntukan sebagai kawasan hunian seperti pinggir kali, pinggir rel kereta api, dan areal tidak resmi lainnya. Akibatnya berbagai dampak lingkungan lanjutan seperti banjir, penyakit menular dan keamanan lingkungan menambah tugas pekerjaan rumah bagi pemerintah kota dan pusat.

  Berdasarkan atas hasil kajian data dan informasi yang tercantum dalam dokumen RP4D Kota Malang, maka dapat diketahui bahwa permasalahan-permasalahan pokok aspek perumahan dan permukiman Kota Malang adalah sebagai berikut:

Tabel 8.4 Permasalahan Pokok Aspek Perumahan

  Permasalahan yang Mendesak Permasalahan yang Permasalahan yang Perlu dan Perlu Penangan Cepat Perlu Diantisipasi Ditangani Secara Bertahap  Perkembangan permukiman  kecendrungan  Low Enforcement yang kumuh disepanjang wilayah munculnya pusat-pusat rendah aliran sungai (DAS) Brantas dan kegiatan perekonomian  tidak terkontrolnya pada sempadan rel kereta api di pada sentra kegiatan pengembangan fasilitas

   kecendrungan Kota Malang. penunjang perumahan

   Rendahnya tingkat pelayanan  status tanah

memanfaatkan lahan

 peningkatan perekonomian sarana dan prasarana dasar kosong/permukiman liar pemukiman pada kawasan  pemekaran kawasan penduduk pemukiman kumuh. permukiman baru  kebutuhan perumahan

   Kawasan Daerah Aliran Sungai  menggali kemampuan Brantas kurang tertata. sendiri

  Permasalahan yang Mendesak Permasalahan yang Permasalahan yang Perlu dan Perlu Penangan Cepat Perlu Diantisipasi Ditangani Secara Bertahap  kelengkapan sarana dan sarana permukiman

  Permasalahan lainnya adalah ketersediaan rumah terbatas backlog kebutuhan rumah 16,21%. Sedangkan tiap tahun kebutuhan akan rumah layak terus bertambahnya sejalan dengan pertumbuhan penduduk. Permasalahan backlog kebutuhan rumah akan terus bertambah besar jika tidak pengembangan perumahan tidak dilakukan. Berdasarkan gap analisis berikut akan terlihat kesenjangan antara kebutuhan dan ketersediaan rumah akan semakin besar jika tidak melakukan pengembangan perumahan lima tahun ke depan. Gap analisis mengasumsikan pertumbuhan rumah sejalan dengan pertumbuhan KK (1,8.%).

8.1.2.4 Tantangan

  Tantangan pengembangan permukiman pada tingkat nasional diantaranya adalah sebagai berikut:

  1. Percepatan peningkatan pelayanan kepada masyarakat

  2. Pencapaian target/sasaran pembangunan dalam Rencana Strategis Ditjen Cipta Karya sektor Pengembangan Permukiman.

  3. Pencapaian target MDG’s 2015, termasuk didalamnya pencapaian Program-Program Pro

  Rakyat (Direktif Presiden)

  4. Perhatian pemerintah daerah terhadap pembangunan bidang Cipta Karya khususnya

  kegiatan Pengembangan Permukiman yang masih rendah

  5. Memberikan pemahaman kepada pemerintah daerah bahwa pembangunan infrastruktur

  permukiman yang saat ini sudah menjadi tugas pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota.

  6. Penguatan Sinergi RP2KP/RTBL KSK dalam Penyusunan RPI2JM bidang Cipta Karya pada Kabupaten/Kota.

  Tantangan yang dihadapi dalam aspek permukiman adalah Kebijakan pembangunan permukiman yang masih di dasarkan pada mekanisme pasar akan dapat mendorong perkembangan permukiman yang tidak terkendali. Selain itu dalam komponen pembangunan permukiman dan infrastruktur perkotaan yang berkaitan dengan jalan, tantangannya adalah Tingginya tingkat permintaan akan hunian menyebabkan meningkatnya kebutuhan akan infrastruktur permukiman yang layak.

8.1.3 Analisis Kebutuhan Pengembangan Permukiman Analisis kebutuhan merupakan tahapan selanjutnya dari identifikasi kondisi eksisting.

  Analisis kebutuhan mengaitkan kondisi eksisting dengan target kebutuhan yang harus dicapai. Terdapat arahan kebijakan yang menjadi acuan penetapan target pembangunan bidang Cipta Karya khususnya sektor pengembangan permukiman baik di tingkat Pusat maupun di tingkat kabupaten/kota. Di tingkat Pusat acuan kebijakan meliputi RPJMN 2010-2014, MDGs 2015 (pengurangan proporsi rumah tangga kumuh tahun 2020), Standar Pelayanan Minimal (SPM) untuk pengurangan luasan kawasan kumuh tahun 2014 sebesar 10%, arahan MP3EI dan MP3KI, percepatan pembangunan Papua dan Papua Barat, arahan Direktif Presiden untuk program pro-rakyat, serta Renstra Ditjen Cipta Karya 2010-2014. Sedangkan di tingkat kabupaten/kota meliputi target RPJMD, RTRW Kabupaten/Kota, maupun Renstra SKPD. Acuan kebijakan tersebut hendaknya menjadi dasar pada tahapan analisis kebutuhan pengembangan permukiman.

  Kebutuhan pembangunan permukiman dan infrastruktur perkotaan, Kota Malang terdiri atas:

  a.

  Kebutuhan pembangunan di Kecamatan Kedungkandang, meliputi: Kelurahan Arjowinangun, Kelurahan Tlogowaru, Kelurahan Wonokoyo, Kelurahan Bumiayu, Kelurahan Buring, Kelurahan Mergosono, Kelurahan Kotalama, Kelurahan Kedungkandang, Kelurahan Sawojajar, Kelurahan Madyopuro, Kelurahan Lesanpuro, dan Kelurahan Cemorokandang; b. Kebutuhan pembangunan di Kecamatan Sukun, meliputi: KelurahanKebonsari, Kelurahan Gadang, Kelurahan Ciptomulyo, Kelurahan Sukun, Kelurahan Bandungrejosari, Kelurahan Bakalan Krajan, Kelurahan Mulyorejo, Kelurahan Bandulan, Kelurahan Tanjungrejo, Kelurahan Pisangcandi, dan Kelurahan Karangbesuki; c. Kebutuhan pembangunan di Kecamatan Klojen, meliputi: Kelurahan Kasin, Kelurahan Sukoharjo, Kelurahan Kidul Dalem, Kelurahan Kauman, Kelurahan Bareng, Kelurahan Gading Kasri, Kelurahan Oro Oro Dowo, Kelurahan Klojen, Kelurahan Rampal Celaket, Kelurahan Samaan, dan Kelurahan Penanggungan; d. Kebutuhan pembangunan di Kecamatan Blimbing, meliputi: Kelurahan Jodipan, Kelurahan Polehan, Kelurahan Kesatrian, Kelurahan Bunulrejo, Kelurahan Purwantoro, Kelurahan Pandanwangi, Kelurahan Blimbing, Kelurahan Purwodadi, Kelurahan Polowijen, Kelurahan Arjosari, dan Kelurahan Balearjosari; dan e. Kebutuhan pembangunan di Kecamatan Lowokwaru, meliputi: Kelurahan Merjosari, Kelurahan Dinoyo, Kelurahan Sumbersari, Kelurahan Ketawanggede, Kelurahan Jatimulyo, Kelurahan Lowokwaru, Kelurahan Tulusrejo, Kelurahan Mojolangu, Kelurahan Tunjungsekar, Kelurahan Tasikmadu, Kelurahan Tunggulwulung, dan Kelurahan Tlogomas.

  Masalah utama dalam bidang perumahan dan permukiman di wilayah perkotaan adalah kebutuhan fasilitas perumahan di perkotaan yang semakin meningkat dari waktu ke waktu. Sementara itu ketersediaan lahan di wilayah perkotaan menjadi semakin langka. Kelangkaan ini telah menyebabkan semakin mahalnya harga lahan di wilayah perkotaan. Adanya kelebihan permintaan terhadap lahan perumahan di wilayah perkotaan ini telah menyebabkan kenaikan harga lahan perumahan yang luar biasa di wilayah perkotaan. Tingginya harga lahan perumahan di wilayah perkotaan telah mendorong masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah untuk tinggal di kawasan pinggiran kota yang jauh dari tempat kerja. Kondisi ini menyebabkan meningkatnya biaya transportasi, waktu tempuh, dan pada akhirnya akan menurunkan mobilitas dan produktivitas masyarakat menengah ke bawah tersebut. Sedangkan sebagian masyarakat tetap berupaya untuk tinggal di kawasan yang tidak jauh dari pusat aktivitas ekononomi, sehingga menyebabkan ketidak-teraturan tata ruang kota dan dapat menumbuhkan kawasan kumuh baru di perkotaan. Hal ini telah menyebabkan kondisi kemasyarakatan di kawasan perkotaan menjadi lebih kompleks berikut permasalahan yang timbul. Terutama dengan bertambahnya jumlah masyarakat kawasan permukiman yang tidak layak huni, kurang sarana

  • – prasarana, dan tidak teratur (kumuh). Permukiman kumuh tersebut cenderung berada pada kawasan yang tidak diperuntukan sebagai kawasan hunian seperti pinggir kali, pinggir rel kereta api, dan areal tidak resmi lainnya. Akibatnya berbagai dampak lingkungan lanjutan seperti banjir, penyakit menular dan keamanan lingkungan menambah tugas pekerjaan rumah bagi pemerintah kota dan pusat.

8.1.4 Program-program sektor pengembangan permukiman

  Kegiatan pengembangan permukiman terdiri dari pengembangan permukiman kawasan perkotaan dan kawasan perdesaan. Pengembangan permukiman kawasan perkotaan terdiri dari:

  a) Pengembangan kawasan permukiman baru dalam bentuk pembangunan Rusunawa serta b) Peningkatan kualitas permukiman kumuh dan RSH.

  Sedangkan untuk pengembangan kawasan perdesaan terdiri dari:

  a) Pengembangan kawasan permukiman perdesaan untuk kawasan potensial (Agropolitan dan Minapolitan), rawan bencana, serta perbatasan dan pulau kecil, b) Pengembangan kawasan pusat pertumbuhan dengan program PISEW (RISE), c) Desa tertinggal dengan program PPIP dan RIS PNPM.

  Selain kegiatan fisik di atas program/kegiatan pengembangan permukiman dapat berupa kegiatan non-fisik seperti penyusunan RP2KP dan RTBL KSK ataupun review bilamana diperlukan. Pengembangan Kawasan Permukiman Perkotaan dapat berupa :  Infrastruktur kawasan permukiman kumuh  Infrastruktur permukiman RSH  Rusunawa beserta infrastruktur pendukungnya Sedangkan untuk pengembangan Kawasan Permukiman Perdesaan berupa :  Infrastruktur kawasan permukiman perdesaan potensial (Agropolitan/Minapolitan)  Infrastruktur kawasan permukiman rawan bencana  Infrastruktur kawasan permukiman perbatasan dan pulau kecil  Infrastruktur pendukung kegiatan ekonomi dan sosial (PISEW)  Infrastruktur perdesaan PPIP  Infrastruktur perdesaan RIS PNPM

  Program-program bidang perumahan dan permukiman yang diusulkan dalam lima tahun mendatang di Kota Malang dapat dikelompokkan ke dalam beberapa fokus program, yaitu: a. Perbaikan kampung (KIP Komprehensif, khususnya di sepanjang kawasan DAS Brantas).

  b. Perbaikan Kampung pada kawasan-kawasan yang diindikasikan Kumuh Seperti Kelurahan Jodipan, Kotalama, Mergosono, dan sekitarnya.

  c. Penertiban lokasi permukiman yang statusnya bermasalah/ squatters. Berbagai konsep penyelesaian masalah status ini dapat dikembangkan, misalnya pemulihan, relokasi, ebiarkannya dengan mengenakan biaya sewa atas penenpatan yang dilakukan selama ini.

  d. Peremajaan lingkungan permukiman, khususnya pada lokasi permukiman yang potensial untuk dibenahi dan dikembangkan e. Peremajaan perumahan dengan status darurat nonpermanent

  f. Pembangunan rumah dengan fasillitas KPR-BTN g. Program Kampung Kota sebagai stimulan.

Gambar 8.1 Alur Program Pengembangan Permukiman

8.1.5 Usulan program dan kegiatan

  a. Usulan program dan kegiatan pengembangan permukiman Setelah melalui tahapan analisis kebutuhan untuk mengisi kesenjangan antara kondisi eksisting dengan kebutuhan maka perlu disusun usulan program dan kegiatan. Namun usulan program dan kegiatan terbatasi oleh waktu dan kemampuan pendanaan pemerintah kabupaten/kota. Sehingga untuk jangka waktu perencanaan lima tahun dalam RPI2JM dibutuhkan suatu kriteria untuk menentukan prioritasi dari tahun pertama hingga kelima.

  Usulan program Pembangunan Perumahan dan Pemukiman di Kota Malang yang diusulkan dalam lima tahun mendatang meliputi kegiatan-kegiatan:

  1. Penataan Kawasan Kumuh Sekitar Daerah Aliran Sungai

  2. Penataan kawasan Kumuh Sekitar Rel Kereta Api

  3. Peningkatan Sarana dan Prasarana Permukiman

  b. Usulan pembiayaan pengembangan permukiman Dalam pengembangan permukiman, Pemerintah Daerah didorong untuk terus meningkatkan alokasinya pada sektor tersebut serta mencari alternatif sumber pembiayaan dari masyarakat dan swasta (KPS, CSR).

Tabel 8.5 Usulan Pembiayaan Proyek

  APBD APBD No Program/Kegiatan APBN Masyarakat Swasta CSR TOTAL Prov Kab/Kota (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (9) (10)

  1 Pembangunan

  rusunami (apabila ada lahan yang memungkinkan)

  2 Rehab rumah pada

  bangunan yang sudah tidak layak akan tetapi penghuninya tidak mampu memperbaikinya

  3 Pembangunan

  jalan paving, rabat beton dan aspal untuk kawasan yang belum terjangkau.

  4 Pembangunan

  saluran drainase serta perbaikannya

  5 Perbaikan gorong-

  gorong

  6 Penambahan

  jangkauan pelayanan air bersih dari PDAM

  7 Pembangunan

  sarana dan prasarana limbah

  8 Pembuatan dan

  pemasangan tong sampah untuk setiap rumah dan fasilitas lainnya

  9 Peningkatan

  jangkauan pelayanan pasukan kuning sebagai tenaga pengangkut sampah

  10 Pembangunan

  MCK umum

  11 Pembangunan septick tank

  komunal

8.2 Penataan Bangunan dan Lingkungan

  Penataan bangunan dan lingkungan adalah serangkaian kegiatan yang diperlukan sebagai bagian dari upaya pengendalian pemanfaaatn ruang, terutama untuk mewujudkan lingkungan binaan, baik di perkotaan maupun di perdesaan, khususnya wujud fisik bangunan gedung dan lingkungannya. Visi penataan bangunan dan lingkungan adalah terwujudnya bangunan gedung dan lingkungan yang layak huni dan berjati diri, sedangkan misinya adalah: (1) Memberdayakan masyarakat dalam penyelenggaraan bangunan gedung yang tertib, layak huni, berjati diri, serasi dan selaras, dan (2) Memberdayakan masyarakat agar mandiri dalam penataan lingkungan yang produktif dan berkelanjutan.

8.2.1 Arahan kebijakan dan lingkup kegiatan

  Penataan bangunan dan lingkungan adalah serangkaian kegiatan yang diperlukan sebagai bagian dari upaya pengendalian pemanfaatan ruang, terutama untuk mewujudkan lingkungan binaan, baik diperkotaan maupun di perdesaan, khususnya wujud fisik bangunan gedung dan lingkungannya.

  Kebijakan penataan bangunan dan lingkungan mengacu pada Undang-undang dan peraturan antara lain: a) UU No.1 tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman

  UU No. 1 tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman memberikan amanat bahwa penyelenggaraan penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman adalah kegiatan perencanaan, pembangunan, pemanfaatan, dan pengendalian, termasuk di dalamnya pengembangan kelembagaan, pendanaan dan sistem pembiayaan, serta peran masyarakat yang terkoordinasi dan terpadu. Pada UU No. 1 tahun 2011 juga diamanatkan pembangunan kaveling tanah yang telah dipersiapkan harus sesuai dengan persyaratan dalam penggunaan, penguasaan, pemilikan yang tercantum pada rencana rinci tata ruang dan Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL).

  b) UU No. 28 tahun 2002 tentang Bangunan Gedung UU No. 28 tahun 2002 memberikan amanat bangunan gedung harus diselenggarakan secara tertib hukum dan diwujudkan sesuai dengan fungsinya, serta dipenuhinya persyaratan administratif dan teknis bangunan gedung. Persyaratan administratif yang harus dipenuhi adalah:

  1) Status hak atas tanah, dan/atau izin pemanfaatan dari pemegang hak atas tanah; 2) Status kepemilikan bangunan gedung; dan 3) Izin mendirikan bangunan gedung. Persyaratan teknis bangunan gedung melingkupi persyaratan tata bangunan dan persyaratan keandalan bangunan. Persyaratan tata bangunan ditentukan pada RTBL yang ditetapkan oleh Pemda, mencakup peruntukan dan intensitas bangunan gedung, arsitektur bangunan gedung, dan pengendalian dampak lingkungan. Sedangkan, persyaratan keandalan bangunan gedung mencakup keselamatan, kesehatan, keamanan, dan kemudahan. UU No. 28 tahun 2002 juga mengamatkan bahwa dalam penyelenggaraan bangunan gedung yang meliputi kegiatan pembangunan, pemanfaatan, pelestarian dan pembongkaran, juga diperlukan peran masyarakat dan pembinaan oleh pemerintah.

  c) PP 36/2005 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung Secara lebih rinci UU No. 28 tahun 2002 dijelaskan dalam PP No. 36 Tahun 2005 tentang peraturan pelaksana dari UU No. 28/2002. PP ini membahas ketentuan fungsi bangunan gedung, persyaratan bangunan gedung, penyelenggaraan bangunan gedung, peran masyarakat, dan pembinaan dalam penyelenggaraan bangunan gedung. Dalam peraturan ini ditekankan pentingnya bagi pemerintah daerah untuk menyusun Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL) sebagai acuan rancang bangun serta alat pengendalian pengembangan bangunan gedung dan lingkungan.

  d) Permen PU No. 06/PRT/M/2007 tentang Pedoman Umum Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan Sebagai panduan bagi semua pihak dalam penyusunan dan pelaksanaan dokumen RTBL, maka telah ditetapkan Permen PU No. 06/PRT/M/2007 tentang Pedoman Umum Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan. Dalam peraturan tersebut, dijelaskan bahwa RTBL disusun pada skala kawasan baik di perkotaan maupun perdesaan yang meliputi kawasan baru berkembang cepat, kawasan terbangun, kawasan dilestarikan, kawasan rawan bencana, serta kawasan gabungan dari jenis-jenis kawasan tersebut. Dokumen RTBL yang disusun kemudian ditetapkan melalui peraturan walikota/bupati.

  e) Permen PU No.14 /PRT/M/2010 tentang Standar Pelayanan Minimal bidang Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Permen PU No: 14 /PRT/M/2010 tentang Standar Pelayanan Minimal bidang Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang mengamanatkan jenis dan mutu pelayanan dasar Bidang Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang yang merupakan urusan wajib daerah yang berhak diperoleh setiap warga secara minimal. Pada Permen tersebut dilampirkan indikator pencapaian SPM pada setiap Direktorat Jenderal di lingkungan Kementerian PU beserta sektor-sektornya.

  Lingkup Tugas dan Fungsi Direktorat PBL

  Sebagaimana dinyatakan pada Permen PU No.8 tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian PU, pada Pasal 608 dinyatakan bahwa Direktorat Penataan Bangunan dan Lingkungan mempunyai tugas melaksanakan sebagian tugas pokok Direktorat Jenderal Cipta Karya di bidang perumusan dan pelaksanakan kebijakan, penyusunan produk pengaturan, pembinaan dan pengawasan serta fasilitasi di bidang penataan bangunan dan lingkungan termasuk pembinaan pengelolaan gedung dan rumah negara. Kemudian selanjutnya pada Pasal 609 disebutkan bahwa Direktorat Penataan Bangunan dan Lingkungan menyelenggarakan fungsi:

  h. Penyusunan kebijakan teknis dan strategi penyelenggaraan penataan bangunan dan lingkungan termasuk gedung dan rumah negara; i. Pembinaan teknik, pengawasan teknik, fasilitasi serta pembinaan pengelolaan bangunan gedung dan rumah negara termasuk fasilitasi bangunan gedung istana kepresidenan; j. Pembinaan teknik, pengawasan teknik dan fasilitasi penyelenggaraan penataan bangunan dan lingkungan dan pengembangan keswadayaan masyarakat dalam penataan lingkungan; k. Pembinaan teknik, pengawasan teknik dan fasilitasi revitalisasi kawasan dan bangunan bersejarah/tradisional, ruang terbuka hijau, serta penanggulangan bencana alam dan kerusuhan sosial; l. Penyusunan norma, standar, prosedur dan kriteria, serta pembinaan kelembagaan penyelenggaraan penataan bangunan dan lingkungan; dan m. Pelaksanaan tata usaha Direktorat.

  Lingkup tugas dan fungsi tersebut dilaksanakan sesuai dengan kegiatan pada sektor PBL, yaitu kegiatan penataan lingkungan permukiman, kegiatan penyelenggaraan bangunan gedung dan rumah negara dan kegiatan pemberdayaan komunitas dalam penanggulangan kemiskinan seperti ditunjukkan pada Gambar Sumber : Dit. PBL, DJCK, 2012

Gambar 8.2 Lingkup Tugas PBL

  Lingkup kegiatan untuk dapat mewujudkan lingkungan binaan yang baik sehingga terjadi peningkatan kualitas permukiman dan lingkungan meliputi: a. Kegiatan penataan lingkungan permukiman

  • Penyusunan Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL);
  • Bantuan Teknis pengelolaan Ruang Terbuka Hijau (RTH);
  • Pembangunan Prasarana dan Sarana peningkatan lingkungan pemukiman kumuh dan nelayan;  Pembangunan prasarana dan sarana penataan lingkungan pemukiman tradisional.

  b. Kegiatan pembinaan teknis bangunan dan gedung

  • Diseminasi peraturan dan perundangan tentang penataan bangunan dan lingkungan;
  • Peningkatan dan pemantapan kelembagaan bangunan dan gedung;
  • Pengembangan sistem informasi bangunan gedung dan arsitektur;  Pelatihan teknis.
c. Kegiatan pemberdayaan masyarakat di perkotaan

  • Bantuan teknis penanggulangan kemiskinan di perkotaan;  Paket dan Replikasi.

8.2.2 Isu strategis, kondisi eksisting, permasalahan dan tantangan

8.2.2.1 Isu Strategis

  Untuk dapat merumuskan isu strategis Bidang PBL, maka dapat dilihat dari Agenda Nasional dan Agenda Internasional yang mempengaruhi sektor PBL. Untuk Agenda Nasional, salah satunya adalah Program PNPM Mandiri, yaitu Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri, sebagai wujud kerangka kebijakan yang menjadi dasar acuan pelaksanaan program-program penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat. Agenda nasional lainnya adalah pemenuhan Standar Pelayanan Minimal (SPM) bidang Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang, khususnya untuk sektor PBL yang mengamanatkan terlayaninya masyarakat dalam pengurusan IMB di kabupaten/kota dan tersedianya pedoman Harga Standar Bangunan Gedung Negara (HSBGN) di kabupaten/kota.

  Agenda internasional yang terkait diantaranya adalah pencapaian MDG’s 2015, khususnya tujuan 7 yaitu memastikan kelestarian lingkungan hidup. Target MDGs yang terkait bidang Cipta Karya adalah target 7C, yaitu menurunkan hingga separuhnya proporsi penduduk tanpa akses terhadap air minum layak dan sanitasi layak pada 2015, serta target 7D, yaitu mencapai peningkatan yang signifikan dalam kehidupan penduduk miskin di permukiman kumuh pada tahun 2020.

  Global Warming). Agenda internasional lainnya adalah isu Pemanasan Global (

  Pemanasan global yang disebabkan bertambahnya karbondioksida (CO2) sebagai akibat konsumsi energi yang berlebihan mengakibatkan naiknya suhu permukaan global hingga 6.4 °C antara tahun 1990 dan 2100, serta meningkatnnya tinggi muka laut di seluruh dunia hingga mencapai 10-25 cm selama abad ke-20. Kondisi ini memberikan dampak bagi kawasan- kawasan yang berada di pesisir pantai, yaitu munculnya bencana alam seperti banjir, kebakaran serta dampak sosial lainnya.

  Agenda Habitat juga merupakan salah satu Agenda Internasional yang juga mempengaruhi isu strategis sektor PBL. Konferensi Habitat I yang telah diselenggarakan di Vancouver, Canada, pada 31 Mei-11 Juni 1976, sebagai dasar terbentuknya UN Habitat pada tahun 1978, yaitu sebagai lembaga PBB yang mengurusi permasalahan perumahan dan permukiman serta pembangunan perkotaan. Konferensi Habitat II yang dilaksanakan di

  "Adequate Shelter for lstanbul, Turki, pada 3 - 14 Juni 1996 dengan dua tema pokok, yaitu All" dan "Sustainable Human Settlements Development in an Urbanizing World", sebagai kerangka dalam penyediaan perumahan dan permukiman yang layak bagi masyarakat.

  Dari agenda-agenda tersebut maka isu strategis tingkat nasional untuk bidang PBL dapat dirumuskan adalah sebagai berikut: 1) Penataan Lingkungan Permukiman

  a. Pengendalian pemanfaatan ruang melalui RTBL;

  b. PBL mengatasi tingginya frekuensi kejadian kebakaran di perkotaan;

  c. Pemenuhan kebutuhan ruang terbuka publik dan ruang terbuka hijau (RTH) di perkotaan; d. Revitalisasi dan pelestarian lingkungan permukiman tradisional dan bangunan bersejarah berpotensi wisata untuk menunjang tumbuh kembangnya ekonomi lokal; e. Peningkatan kualitas lingkungan dalam rangka pemenuhan Standar Pelayanan

  Minimal;

  f. Pelibatan pemerintah daerah dan swasta serta masyarakat dalam penataan bangunan dan lingkungan. 2) Penyelenggaraan Bangunan Gedung dan Rumah Negara

  a. Tertib pembangunan dan keandalan bangunan gedung (keselamatan, kesehatan, kenyamanan dan kemudahan); b. Pengendalian penyelenggaraan bangunan gedung dengan perda bangunan gedung di kab/kota; c. Tantangan untuk mewujudkan bangunan gedung yang fungsional, tertib, andal dan mengacu pada isu lingkungan/berkelanjutan; d. Tertib dalam penyelenggaraan dan pengelolaan aset gedung dan rumah negara; e. Peningkatan kualitas pelayanan publik dalam pengelolaan gedung dan rumah Negara. 3) Pemberdayaan Komunitas dalam Penanggulangan Kemiskinan

  a. Jumlah masyarakat miskin pada tahun 2012 sebesar 29,13 juta orang atau sekitar 11,96% dari total penduduk Indonesia;

  b. Realisasi DDUB tidak sesuai dengan komitmen awal termasuk sharing in-cash sesuai MoU PAKET;

  c. Keberlanjutan dan sinergi program bersama pemerintah daerah dalam penanggulangan kemiskinan.

  Isu strategis PBL ini terkait dengan dokumen-dokumen seperti RTR, skenario pembangunan daerah, RTBL yang disusun berdasar skala prioritas dan manfaat dari rencana tindak yang meliputi a) Revitalisasi, b) RTH, c) Bangunan Tradisional/bersejarah dan d) penanggulangan kebakaran, bagi pencapaian terwujudnya pembangunan lingkungan permukiman yang layak huni, berjati diri, produktif dan berkelanjutan.

8.2.2.2 Kondisi Eksisting

  Untuk tahun 2012 capaian nasional dalam pelaksanaan program direktorat PBL adalah dengan jumlah kelurahan/desa yang telah mendapatkan fasilitasi berupa peningkatan kualitas infrastruktur permukiman perdesaan/kumuh/nelayan melalui program P2KP/PNPM adalah sejumlah 10.925 kelurahan/desa. Untuk jumlah Kabupaten/Kota yang telah menyusun Perda Bangunan Gedung (BG) hingga tahun 2012 adalah sebanyak 106 Kabupaten/Kota. Untuk RTBL yang sudah tersusun berupa Peraturan Bupati/Walikota adalah sebanyak 2 Kabupaten/Kota, 9 Kabupaten/Kota dengan perjanjian bersama, dan 32 Kabupaten/Kota dengan kesepakatan bersama.

  Berdasarkan Renstra Ditjen Cipta Karya 2010-2014, di samping kegiatan non-fisik dan pemberdayaan, Direktorat PBL hingga tahun 2013 juga telah melakukan peningkatan prasarana lingkungan permukiman di 1.240 kawasan serta penyelenggaraan bangunan gedung dan fasilitasnya di 377 kabupaten/kota. Dalam RPI2JM bidang Cipta Karya pencapaian di Kabupaten/Kota perlu dijabarkan sebagai dasar dalam perencanaan.

  Pada dasarnya Kota Malang merupakan kota jasa, yaitu kota yang lebih banyak berfungsi sebagai kawasan transit dan penyedia akomodasi bagi para wisatawan Malang Raya. Salah satu usaha yang dapat dilakukan untuk memunculkan potensi belanja dari Kota Malang itu sendiri yaitu dengan membentuk image/ kesan yang unik kepada masyarakat. Salah satu kesan yang dapat dikembangkan pada pusat perbelanjaan di pusat Kota Malang adalah adanya keberadaan bangunan-bangunan kuno yang masih ada sampai sekarang, walaupun jumlahnya telah berkurang. Keberadaan bangunan-bangunan kuno tersebut merupakan warisan dari kegiatan dan kehidupan masyarakat Eropa yang menetap di Kota Malang pada periode kolonial.

  Bangunan-bangunan yang dapat dikembangkan sebagai kegiatan wisata sejarah adalah bangunan-bangunan yang terletak pada Kawasan Alun-alun Tugu, Kayutangan, dan koridor Jl. Semeru

  • – Jl. Ijen. Pengembangan wisata dapat memanfaatkan keberadaan stasiun kereta api Kota Malang sebagai pintu masuk wisata di Kota Malang. Berikut ini diuraikan mengenai tinjauan historis kawasan-kawasan kuno yang ada:

  A. Kawasan Kayutangan Perkembangan kawasan komersial dan perkantoran di sepanjang koridor Kajoetangan

  Straat pada masa kolonial akan diuraikan dalam dua periode yakni: periode sebelum tahun 1914, dimana Kota Malang masih berstatus sebagai Kabupaten; dan periode 1914-1940, yakni periode dimana Kota Malang mengalami perkembangan yang pesat setelah diresmikan menjadi Kotamadya.

  I. Periode sebelum tahun 1914 Permukiman di sepanjang koridor Kajoetangan Straat merupakan cikal bakal permukiman penduduk Eropa pada periode setelah masuknya Belanda tahun 1767 sampai dengan sebelum tahun 1914, seperti diuraikan dalam buku Stadsgemeente Malang berikut ini:

  “Permukiman Orang Eropa terletak di sebelah Barat Daya (zuidwesten) alun-alun yang meliputi daerah Taloon, Tongan, Sawahan dan sekitarnya) selain itu juga terdapat disekitar Kayutangan, Oro- oro dowo, Tjelaket, Klodjenlor dan Rampal”

  Seperti pada kota-kota kolonial lainnya, pada wilayah Kota Malang juga terlihat pembangunan sarana dan prasarana yang lebih diprioritaskan untuk kepentingan masyarakat Kajoetangan Straat pada

  Eropa. Kesan seperti itu nampak karena pada permukiman di koridor saat itu telah dilengkapi dengan sarana dan prasarana yang cukup memadai, bila dibandingkan dengan pemukiman untuk etnis Cina di Kawasan Pecinan, etnis Arab di Kawasan Kauman, dan terutama bila dibandingkan dengan permukiman pribumi yang cenderung terabaikan.

  Perkembangan Kawasan Kayutangan semakin pesat setelah pada tahun 1878/1879 dibangun rel kereta api menuju ke Surabaya, Pasuruan, dan daerah Jawa Timur lainnya. Jalan ini kemudian menjadi jalan utama Kota Malang dengan didirikannya bangunan-bangunan dengan fungsi pelayanan publik seperti Gereja pertama di Kota Malang, Kantor Pos Telegram

  Societeit Concordia). Telepon, Gedung Serbaguna (

  Sejalan dengan makin pentingnya peran Kawasan Kayutangan, dan mulai dilakukannya aktifitas perdagangan internal Kota Malang, kawasan ini kemudian tumbuh sebagai kawasan komersial pertama di Kota Malang yang ditandai dengan berdirinya kantor- kantor perdagangan kecil meskipun dalam jumlah yang masih relatif terbatas. Secara perlahan terjadi pergeseran guna lahan menjadi semi komersial. Pada tahun 1920, badan jalan raya Kajoetangan Straat diperkeras dengan aspal bersama dengan Jl. Tjelaket dan Jl. Oro-oro Dowo.

  Beberapa bangunan peninggalan Pemerintah Kolonial Belanda dengan fungsi pelayanan publik yang dibangun pada masa itu diantaranya adalah:

  a.

   Gedung Kantor Pos Telegram Telepon (sekarang Bangunan Kantor Telkom)

  Dibangun tahun 1909 oleh Departemen BOW ( Burgelijke Openbare Werken) atau Departemen Pos Telegram Telepon (PTT). Bangunan di sebelah Toko Oen ini telah mengalami beberapa perubahan bentuk dari struktur awalnya. Tetapi masih nampak bahwa struktur bangunan merupakan peninggalan Pemerintah Kolonial Belanda.

  b.

   Toko Oen