BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kajian Hasil-Hasil Penelitian Terdahulu - Penerjemahan Buku “Johnny Schweigt” Karya Bernhard Hagemann Dari Bahasa Jerman Ke Dalam Bahasa Indonesia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Hasil penelitian terdahulu yang berkaitan dengan penerjemahan

  diantaranya: Penelitian Lubis (2009) dalam disertasi yang berjudul Penerjemahan Teks

  Mangupa dari Bahasa Mandailing ke dalam Bahasa Indonesia. Penelitian ini

  mengkaji masalah-masalah penerjemahan dalam teks mangupa, sebuah teks budaya Mandailing ke dalam bahasa Inggris. Simpulan penelitian tersebut ialah bahwa bahasa Mandailing dan bahasa Inggris memiliki lebih banyak perbedaan dari pada persamaan dalam struktur bahasa, dan aspek kultural. Karena adanya perbedaan struktur kedua bahasa ditemukan kendala dalam penerjemahan frasa, kata majemuk dan kalimat. Pemakaian banyak kata arkais juga membuat kesulitan penerjemahan, termasuk masalah tenses yang tidak ada dalam bahasa Mandailing. Faktor lain yaitu faktor perbedaan budaya. Sejumlah istilah dan ungkapan budaya Mandailing tidak memiliki padanan dalam bahasa Inggris, sehingga kata-kata tersebut harus dipinjam (tidak diterjemahkan). Beberapa kata memiliki padanan, tetapi nuansa budaya yang melekat pada kata-kata tersebut tidak dapat ditransfer ke dalam bahasa Inggris.

  Penelitian tentang penerjemahan teks untuk menghasilkan suatu terjemahan juga pernah dilakukan oleh Nasution (2011) dalam tesisnya yang berjudul: Penerjemahan Teks Marpokat Haroan Boru dalam Perkawinan Adat

  Mandailing dari Bahasa Mandailing ke dalam Bahasa Inggris. Penerjemahan teks

  ini melalui beberapa proses tahapan yaitu analisis struktur teks, transfer, penulisan draf pertama, analisis draf pertama dan penulisan draf ke dua, evaluasi draf kedua, penulisan draf ketiga, reevaluasi dan penulisan draf akhir. Dari hasil penelitiannya banyak perbedaan dari pada persamaannya seperti sistem pronominal, struktur frasa, pola kalimat, komponen makna, polisemi, sinonim dan antonim, makna generik dan spesifik, metafora, idiom dan eufimisme. Perbedaan yang luas pada budaya kedua bahasa meliputi agama dan kepercayaan, keluarga dan perkawinan, tipe masyarakat, ketimpangan gender, pemakaian bahasa dan sopan santun sosial. Teks ini menerapkan beberapa teknik penerjemahan diantaranya diantaranya teknik penambahan, pengurangan, penyetaraan struktural, generalisasi, penerjemahan makna, penerjemahan literal dan parafrasa.

  Kedua penelitian di atas sangat berkontribusi dalam memberikan tahapan- tahapan melakukan suatu penerjemahan seperti, analisis struktur teks, transfer, penulisan draf pertama, analisis draf pertama dan penulisan draf kedua, evaluasi draf kedua, penulisan draf ketiga, reevaluasi dan penulisan draf akhir.

  Penelitian penerjemahan yang menilai tentang kualitas terjemahan dilakukan oleh Silalahi (2009) dalam disertasinya yang berjudul Dampak Teknik,

  Metode dan Ideologi Penerjemahan Pada Kualitas Terjemahan Teks Medical- Surgical Nursing Dalam Bahasa Indonesia. Dalam penelitian tersebut ditemukan

  bahwa teknik, metode dan ideologi penerjemahan akan mempunyai dampak terhadap kualitas terjemahan. Kualitas terjemahan yang dinilai adalah bagaimana tingkat kesepadanan terjemahan, tingkat keberterimaan terjemahan, serta tingkat keterbacaan terjemahan. Dari penelitian tersebut ditemukan bahwa 338 (64,75%) diterjemahkan secara akurat, 136 (26,05%) kurang akurat, 48 (9,2%) tidak akurat.

  Dari aspek keberterimaan ditemukan 396 (75,86%) berterima, 91 (17,44%) kurang berterima, dan 35 (6,70%) tidak berterima. Sementara itu, 493 (96,29%) tingkat keterbacaan sedang.

  Penelitian lainnya adalah dilakukan oleh Ardi (2010) dari Universitas Sebelas Maret Surakarta. dalam tesisnya yang berjudul Analisis Teknik

  Penerjemahan dan Kualitas Terjemahan Buku “Asal Asul Elite Minangkabau Modern: Respons terhadap Kolonial Belanda Abad ke XIX/XX”. Tujuan

  penelitian tersebut untuk mengidentifikasi dan mendeskripsikan teknik, metode, dan ideologi penerjemahan, serta melihat dampaknya terhadap kualitas terjemahan dari aspek keakuratan (accuracy), keberterimaan (acceptability) serta keterbacaan (readabliity) terjemahan. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif terpancang untuk kasus tunggal. Ini merupakan penelitian holistik yang melibatkan 3 (tiga) jenis sumber data. Sumber data pertama adalah dokumen yang berupa buku sumber dan produk terjemahannya sebagai sumber data objektif..

  Sumber data kedua, diperoleh dari informan yang memberi informasi mengenai keakuratan, keberterimaan dan keterbacaan hasil terjemahan sebagai data afektif.

  Sumber data ketiga adalah para penerjemah dan editor ahli sebagai sumber data genetik. Pengumpulan data dilakukan melalui identifikasi teknik dengan pengkajian dokumen, penyebaran kuesioner dan wawancara mendalam. Pemilihan sampel data dilakukan dengan teknik purposif sampling. Hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat 18 jenis teknik penerjemahan dari 731 teknik yang digunakan penerjemah dalam 285 data. Berdasarkan frekuensi penggunaan teknik tersebut adalah: amplifikasi 122 (16,69%), penerjemahan harfiah 86 (11,76%), padanan lazim 84 (11,49%), modulasi 73 (9,99%), peminjaman murni 71 (9,71%), reduksi/implisitasi 61 (8,34%), adaptasi 57 (7,80%), penambahan 37 (5,06%), (2,19%), partikularisasi 15 (2,05%), penghilangan 15 (2,05%), kreasi diskursif 10 (1,37%), deskripsi 9 (1,23%), peminjaman alami 6 (0,82%), dan koreksi 1 (0,14%). Berdasarkan teknik yang dominan terungkap bahwa buku ini cenderung menggunakan metode komunikatif dengan ideologi domestikasi. Dampak dari penggunaan teknik penerjemahan ini terhadap kualitas terjemahan cukup baik dengan rata-rata skor keakuratan terjemahan 3,33, keberterimaan 3,55, dan keterbacaan 3,53. Hal ini mengindikasikan terjemahan memiliki kualitas keakuratan, keberterimaan dan keterbacaan yang baik. Teknik yang paling banyak memberi kontribusi positif terhadap tingkat keakuratan, keberterimaan, dan keterbacaan terjemahan adalah teknik amplifikasi, penerjemahan harfiah, dan padanan lazim. Sementara, teknik penerjemahan yang banyak mengurangi tingkat keakuratan & keberterimaan adalah modulasi, penambahan, dan penghilangan.

  Penelitian Silalahi dan Ardi sangat berkontribusi dalam memberikan pemahaman tentang menilai kualitas terjemahan, khususnya menilai tingkat kesepadanan terjemahan.

  Penelitian penerjemahan yang berkaitan dengan metode penerjemahan sudah pernah dilakukan oleh Hartono (2000) dalam penelitiannya yang berjudul

  Studi Tentang Metode Terjemahan Yang Digunakan Mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Muhammadiyah Malang. Dalam

  penelitian tersebut diketahui bahwa metode terjemahan setia adalah metode yang paling banyak digunakan mahasiswa untuk menerjemahkan teks baik yang berjenis informatif-vokatif (43,10%). Sedangkan metode terjemahan semantik Di samping itu, untuk teks informatif-vokatif tiga mahasiswa (5,17%) menggunakan metode terjemahan komunikatif, sedangkan untuk teks ekspresif 22 mahasiswa (37,93%) menggunakan metode terjemahan semantik. Dengan kata lain, dapat disimpulkan bahwa untuk teks informatif-vokatif mahasiswa menggunakan metode terjemahan yang tidak sesuai dengan jenis teksnya, sedangkan untuk teks ekspresif mahasiswa menggunakan metode terjemahan yang kurang sesuai dengan jenis teksnya. Penelitian tersebut sangat berkontribusi dalam memberikan pemahaman tentang metode penerjemahan yang digunakan dalam menerjemahkan suatu teks.

  Penelitian penerjemahan berkaitan tentang pergeseran (shift) pernah dilakukan oleh Ahmad (2011) dengan judul tesisnya Analisis Terjemahan Istilah-

  Istilah Budaya Pada Brosur Pariwisata Berbahasa Inggris Provinsi Sumatera Utara. Dari hasil penelitian tersebut terdapat 43 pergeseran (shift) pada

  terjemahan istilah-istilah budaya dari BSu ke dalam BSa . Pergeseran (shift) tersebut terdiri atas pergeseran unit (US) sebanyak 27 (62,79%), pergeseran struktur (SS) sebanyak 13 (30,23%), dan pergeseran antar sistem sebanyak 3 (6,98%). Penelitian tersebut sangat berkontribusi dalam memberikan pemahaman tentang pergeseran (shift) yang terjadi pada suatu penerjemahan.

  2.2. Kerangka Berpikir Gambar 2.1.

  Teks Sumber Penerjemahan

  Tahap Penerjemahan Lubis (2009) Teks Sasaran

  Terjemahan buku

  “Johnny schweigt” dalam bahasa Indonesia

  Metode Penerjemahan Newmark (1988)

  Jenis Pergeseran Catford (1965)

  Tingkat Kesepadanan Terjemahan Silalahi (2012) Berdasarkan gambar 2.1. di atas dapat dijelaskan bahwa penelitian ini berorientasi pada proses dan produk Lubis (2009), artinya bahwa peneliti melakukan suatu proses menerjemahkan sebuah buku untuk menghasilkan sebuah terjemahan, kemudian peneliti mendeskripsikan metode penerjemahan yang digunakan dalam menerjemahkan buku tersebut dengan menggunakan teori Newmark (1988) dan jenis pergeseran (shift) yang terjadi dalam penerjemahannya dengan menggunakan teori Catford (1965:73). Terjemahan tersebut dinilai tingkat kesepadanan terjemahan pesan antara TSu dan TSa oleh dua informan kunci dengan menggunakan instrumen pengukur tingkat kesepadan terjemahan menurut Silalahi (2012).

  Kesimpulan Terjemahan bahasa

  Indonesia buku

  “Johnny schweigt”

  Metode harfiah 1310 (85,9%), komunikatif 54 (3,5%), adaptasi 51 (3,3%), kata perkata

  49 (3,2%), setia 48 (3,1%), bebas 16 (1%) pergeseran struktur 1402 (98%), pergeseran unit 24 (1,7%) dan pergeseran kelas 5 (0,3%).

  1407 (92%) terjemahan akurat, 105 (7%) terjemahan kurang akurat dan

  16 (1%) terjemahan tidak akurat.

2.3. Teori Penerjemahan

  Teori penerjemahan sudah ada sejak zaman dahulu. Dokumen-dokumen pemikiran mereka pada pengalaman mereka sebagai penerjemah. Karena di dasarkan pada pengalaman pribadi, pandangan-pandangan yang mereka kemukakan tidak bisa dikatakan sebagai konstruk teoritis bagi penilaian yang sistematis terhadap teori penerjemahan. Dalam perkembangan selanjutnya, pandangan-pandangan itu berubah menjadi konsep umum sebagai pedoman dalam melakukan aktivitas menerjemahkan, teori penerjemahan merupakan pedoman umum bagi penerjemah dalam membuat keputusan-keputusan pada saat dia melakukan tugasnya Nababan (2003:15-16)

  Dalam literatur linguistik, teori terjemahan sering juga disebut ilmu terjemahan (science of translation, Übersetzungwissenschaft). Namun kata ilmu disini berarti teori, metode, teknik dan bukannya ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri, mengingat linguistik terjemahan adalah bagian dari ilmu linguistik atau lebih tepatnya cabang dari linguistik aplikasi/linguistik terapan Moentaha (2009:9).

  Penerjemahan sendiri adalah sebagai disiplin ilmu yang masih relativ baru. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan (Hönigs 1995, dalam Albrecht, 2005:20) dengan menggunakan bahasa Jerman: “Die Übersetzungswissenschaft ist eine relativ junge Disziplin.

  Sie verdankt ihr Entstehen vor allem der Erkenntnis […] dass die Methoden und Modellbildungen der system linguistik und der philologien nicht ausreichen, um die Komplexität der übersetzerischen Tätigkeit zu erfassen […] In den letzten zwanzig Jahren hat sich die Übersetzungswissenschaft als eigenständige Disziplin etabliert. Sie hat sich von der Systemlinguistik und den Philologien emanzipiert; sie integriert zunehmend

  wissenschaftliche Erkenntnisse aus anderen Wissenschaftsbereich en”

  (Ilmu penerjemahan adalah sebuah disiplin ilmu yang relativ baru. Dalam dua puluh tahun terakhir ini. Ilmu penerjemahan menjadi bagian dari ilmu linguistik dan pilologi. Ilmu penerjemahan menjadi ilmu yang terintegrasi dengan disiplin ilmu yang lain).

2.4. Defenisi Penerjemahan

  Kamus

  The New International Webster’s (2002:1428) memberikan

  defenisi bahwa to translate (menerjemahkan), berarti to render into another

  language (menyusun ke dalam bahasa lain); to explain by using another word

  (menjelaskan dengan menggunakan kata-kata lain). Kata translate berasal dari bahasa latin trans artinya melintas dan latun artinya melaksanakan. Sementara itu,

  The Oxford Companion to the English Language (2005:1329) mendefinisikan translate

  sebagai “uraian baru dari satu bentuk bahasa ke dalam bahasa lain” Muchtar (2011:7).

  Dalam bahasa Jerman penerjemahan berarti übersetzen, terjemahan berarti

  die Übersetzung atau das Übersetzen, orangnya atau penerjemah disebut der Übersetzer untuk penerjemah laki-laki dan die Übersetzerin untuk penerjemah

  perempuan. Brockhaus (1957) dalam Stolze (2008:13) yang menggunkan bahasa Jerman menyatakan bahwa penerjemahan adalah

  “die Übertragung von gesprochenem oder g eschriebenem aus einer Sprache in eine andere“ artinya

  penerjemahan adalah mengalihkan pesan dari bahasa tulis atau lisan ke bahasa tulis atau lisan lainnya.

  Ada beberapa catatan yang perlu di kemukakan dalam kaitan dengan istilah

  penerjemahan, terjemahan, penerjemah, dan juru bahasa. Kata dasar terjemah

  dari satu bahasa ke bahasa yang lain. Penerjemahan adalah suatu kegiatan mengalihkan secara tertulis pesan dari teks suatu bahasa (misalnya bahasa Inggris) ke dalam teks bahasa lain (misalnya bahasa Indonesia). Dalam hal ini teks yang diterjemahkan disebut teks sumber (TSu) dan bahasanya disebut BSu, sedangkan teks yang disusun oleh penerjemah disebut teks sasaran (TSa) dan bahasanya disebut bahasa sasaran (BSa). Hasil dari kegiatan penerjemahan yang berupa TSa disebut terjemahan, sedangkan penerjemah adalah orang yang melakukan kegiatan penerjemahan. Ihwal penerjemahan biasanya disebut penerjemahan. Juru bahasa adalah orang yang melakukan kegiatan penerjemahan secara lisan. Dewasa ini sedang disosialisasikan kata penjurubahasaan untuk kegiatan penerjemahan secara lisan (Hoed, 2006:23).

  Catford (1965) menggunakan pendekatan kebahasaan dalam melihat kegiatan penerjemahan dan mendefenisikannya sebagai

  “the replacement of textual material in one language (SL) by equivalent textual material in another language (TL)” mengganti bahan teks dalam BSu dengan bahan teks yang

  sepadan dalam BSa. Newmark (1988) juga memberikan defenisi serupa, namun lebih jelas lagi:

  “rendering the meaning of a text into another language in the way that the author intended the text” menerjemahkan makna suatu teks ke dalam

  bahasa lain sesuai dengan yang dimaksudkan pengarang.

  Menurut Bachmann-Medick (1997:V) penerjemahan adalah:

  “Übersetzung bedeutet mehr als nur die Übertragung aus einer Sprache in eine andere oder von einem Ausgangstext in einen Zieltext. Übersetzung impliziert vielmehr einen weiterreichen den Transfer zwischen Kulturen und ist in den verschiedensten Formen am Kontakt und an der Auseinandersetzung zwischen den Kulturen beteiligt

  ”.

  (Penerjemahan berarti pengalihan pesan dari bahasa yang satu ke bahasa yang lain atau dari teks sumber ke teks tujuan atau teks sasaran.

  Penerjemahan berarti juga transfer antar budaya dalam berbagai bentuk perbedaan budaya).

  Selain itu Königs (1979:9) dalam Reiss (1995:20) menyatakan bahwa:

  “Eine Übersetzung ist die adäquate interlinguale Umsetzung ausgangssprachlichen Materials unter Einhaltung zielsprachlicher Syntax, Lexik und stilistischer Normen, eine Umsetzung, deren Adäquatheit von der Kompetenz des Übersetzers bestimmt wird und unter Einfluss performativer Prozesse, psychologischer Strukturierungsmechanismen und Erfahrungen des Übersetzers sowie situationeller Komponenten steht”.

  (Penerjemahan adalah penerapan atau implementasi dari bahasa interlingual dari BSu ke BSa, sintaksis, leksikon dan gaya bahasa sangat terkait dengan kompetensi penerjemah, psikologi, pengalaman penerjemah dan proses penerjemahan serta situasi).

  Apabila semua defenisi di atas dilihat lebih jauh, dapat disimpulkan bahwa: (1) penerjemahan adalah upaya “mengganti” teks dalam BSu dengan teks yang sepadan dalam Bsa, (2) yang diterjemahkan adalah makna sebagaimana yang dimaksudkan pengarang. Upaya dalam mengganti dari teks sumber ke dalam teks sasaran.

2.5. Jenis Penerjemahan

  Jakobson dalam Munday (2001:5) membagi jenis penerjemahan ke dalam 1.

  Intralingual translation atau rewording (Penerjemahan dalam bahasa yang sama yang merupakan interpretasi lambang-lambang, verbal dengan menggunakan lambang-lambang lain dalam bahasa yang sama).

  Penerjemahan dalam bahasa yang sama yang merupakan interpretasi lambang-lambang verbal dengan menggunakan lambang-lambang lain dalam bahasa yang sama contohnya adalah memparafrasekan suatu kata dalam bahasa Indonesia contohnya kata budaya diparafrasekan menjadi cara hidup (way of life) atau pemikiran dan cara pandang yang perwujudannya terlihat dalam bentuk perilaku serta hasilnya terlihat secara material (disebut artefak), yang diperoleh melalui proses pembiasaan dan pembelajaran dalam suatu masyarakat dan diteruskan dari generasi ke generasi Hoed (2006:79).

  2. Interlingual translation atau translation proper.

  Yaitu penerjemahan dari satu bahasa ke dalam bahasa lain, seperti menerjemahkan teks dari bahasa Jerman ke dalam teks bahasa Indonesia, contoh:

  Ich hatte ihn kennen gelernt

  Saya kata kerja bantu nya (dia laki-laki) mengenalnya (saya sudah mengenalnya).

  3. Intersemiotic translation atau transmutation Yaitu penerjemahan dari bahasa tulisan ke dalam media lain seperti dalam sebuah lukisan.

2.6. Proses Penerjemahan

  Proses penerjemahan memegang peranan penting dalam menghasilkan terjemahan yang baik karena penerjemahan yang keliru bukan hanya bisa menimbulkan konsekuensi akademis, tapi juga finansial dan politik antarnegara. Terjemahan buku Saatnya Dunia Berubah! Tangan Tuhan di Balik Virus Flu

  Burung yang ditulis mantan Menteri kesehatan Siti Fadhilah Supari, adalah

  contoh yang menuai protes dari pemerintah Amerika Serikat. Akibat kesalahan terjemahannya buku tersebut terpaksa ditarik dari pasaran. Mantan Menkes Siti Fadhilah Supari akhirnya mengakui terdapat kesalahan fatal dalam penerjemahan buku tersebut. “Saya cek satu persatu dan menemukan kesalahan-kesalahan yang cukup banyak dan penting,” 21/02/2008) dalam Yazid (2009:4).

  Penerjemahan pada hakikatnya adalah pengalihan isi, pesan, dan makna dari BSu ke BSa secara tepat, wajar, dan luwes. Pengalihan pesan tersebut memerlukan proses yang akan menentukan hasil suatu penerjemahan. Proses penerjemahan harus dimengerti dengan baik oleh penerjemah untuk mengambil langkah-langkah dalam menerjemahkan dan mencari solusi yang terbaik atas kesulitan-kesulitan yang dihadapi (Muchtar, 2011:11-12).

  Bila proses penerjemahan lebih diperhatikan, maka pembaca akan mencoba mengetahui kegiatan yang dilakukan oleh penerjemah dalam penerjemahan berarti pembaca mencoba meniti jalan yang dilalui penerjemah.

  “The resulting translated text to be seen as evidence of a transaction, a means of retracing the pathways of the translator’s decision-making procedures.” Pembaca

  akan mengetahui bagaimana penerjemah menganalisis, mentransfer, dan merestrukturisasi teks sumber ke dalam teks sasaran. Bahkan, pembaca dapat mencoba mengetahui alasan apa penerjemah memakai suatu istilah untuk memadankan istilah tertentu. Hal tersebut tidak dapat dilakukan oleh pembaca apabila mereka melihat hasil terjemahan sebagai produk.

  Penerjemahan juga dapat diartikan sebagai serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh seorang penerjemah pada saat dia mengalihkan amanat dari BSu ke dalam BSa. Proses penerjemahan dapat pula diartikan sebagai suatu sistem kegiatan dalam aktivitas menerjemahkan, kegiatan tersebut terdiri dari 3 tahap yaitu, analisis teks BSu, pengalihan pesan dan restrukturisasi, ketiga tahap dalam proses penerjemahan tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:

  

Gambar 2.2.

Proses Penerjemahan Menurut Suryawinata, 1987:80 dalam Nababan

  Analisis PROSES BATIN Restrukturisasi Transfer

  Teks

  Isi, Teks Isi,

  Bahasa

  Makna Makna Bahasa Padanan

  Pemahaman

  1. Analisis TSu

  Setiap kegiatan menerjemahkan dimulai dengan penganalisaan teks BSu karena penerjemah selalu dihadapkan pada TSu terlebih dahulu. Analisis TSu itu diwujudkan dalam kegiatan membaca. Selanjutnya kegiatan membaca TSu dimaksudkan untuk memahami isi teks. Pemahaman terhadap isi teks mempersyaratkan pemahaman terhadap unsur linguistik dan ekstralinguistik yang terkandung dalam suatu teks.

  2. Pengalihan pesan

  Setelah makna dan struktur BSu dianalisis, maka pesan yang terkandung didalamnya sudah dapat dipahami. Langkah selanjutnya adalah mengalihkan isi, makna, pesan yang terkandung dalam BSu ke dalam BSa. Tahap pengalihan ini bertujuan untuk menemukan padanan kata BSu dalam BSa. Proses pengalihan isi, makna dan pesan kemudian diungkapkan dalam BSa secara lisan atau tertulis. Guna memperoleh terjemahan yang lebih baik yang sesuai dengan tujuan

3. Restrukturisasi

  Pada tahap restrukturisasi atau penyelarasan, seorang penerjemah perlu memperhatikan ragam bahasa untuk menentukan gaya bahasa yang sesuai dengan jenis teks yang diterjemahkan. Selain itu perlu diperhatikan terjemahan ditujukan kepada siapa. Apabila tahap-tahap analisis pemahaman teks, pengalihan isi, makna, pesan dan penyelarasan telah selesai dilakukan, maka dihasilkan sebuah terjemahan.

2.7. Metode Penerjemahan

  Metode dalam konteks penerjemahan adalah prinsip yang mendasari cara kita menerjemahkan yang sudah barang tentu bermuara pada bentuk (jenis) terjemahannya (Hoed, 2006:55). Pengertian penerjemahan yang lebih luas juga dikenal dikalangan para pakar. Sebelum menerjemahkan, seorang penerjemah menentukan dulu siapa calon pembaca terjemahannya dan atau akan digunakan untuk keperluan apa terjemahan itu. Oleh karena itu penerjemahan sering di dasari oleh audience design dan atau need analysis. Pada praktiknya penerjemah memilih salah satu metode yang sesuai dengan untuk siapa dan untuk tujuan apa penerjemahan dilakukan. Ada delapan metode terjemahan yang bisa dipilih, akan tetapi Newmark (1988:45-48) secara garis besar membaginya menjadi dua golongan, yakni yang empat berorientasi kepada BSu (SL emphasis) dan yang empat lagi berorientasi kepada BSa (TL emphasis). Pemilihan metode menghasilkan jenis terjemahan”. Pembagian tersebut dapat dilihat pada gambar berikut ini atau sering disebut juga sebagai diagram V.

  Metode Penerjemahan (V-Diagram) SL Emphasis TL Emphasis

  Word-for-word translation Adaptation Literal translation Free translation Faithful translation Idiomatic translation Semantic Transl. Communicative transl.

  (Sumber: Newmark 1988:45)

  Gambar di atas menunjukkan bahwa pengertian penerjemahan adalah untuk mengungkapkan kembali pesan secara luas, yakni pesan dari TSu ke dalam TSa dengan berbagai metode yaitu (1) word for word translation (Penerjemahan kata demi kata), (2) adaptation (saduran), (3) literal translation (Penerjemahan Harfiah), (4) free translation (penerjemahan bebas), (5) faithful translation (Penerjemahan setia), (6) idiomatic translation (Penerjemahan idiomatik), (7)

  

semantic translation (Penerjemahan semantik), (8) communicative translation

(Penerjemahan komunikatif).

2.8. Pergeseran (Shift)

  Pergeseran (shift) adalah perubahan linguistik yang terjadi antara teks mengelompokkan pergeseran (shift) menjadi 2 kelompok, yaitu: Pergeseran tingkatan (level shift) dan pergeseran kategori (category shift)

  1. Pergeseran Tingkatan (level shift)

  Pergeseran tingkatan (level shift) adalah pergeseran dari satu tataran linguistik ke tataran lainnya.

  Contoh:

  She is my mother’s friend

  Dia (perempuan) teman ibu saya

  Sie ist die Freundin meiner Mutter (dalam bahasa Jerman)

  Dia (perempuan) teman ibu saya

  2. Pergeseran Kategori (Category shift) Pergeseran kategori (Category shifts) dapat dibedakan menjadi:

2.1. Pergeseran Struktur (Structure-shift)

  Pergeseran struktur adalah perubahan yang diakibatkan oleh sistem struktur BSu tidak sama dengan sistem struktur BSa. Contoh: Dalam bahasa Jerman: Kleines Haus: Rumah kecil

  Apabila diterjemahkan secara kata perkata maka terjemahannya menjadi kecil rumah. Akan tetapi terjemahan tersebut tidak mempunyai arti maka diterjemahkanlah menjadi rumah kecil. Hal ini diakibatkan perubahan struktur DM (diterangkan menerangkan) dalam bahasa Jerman dan MD dalam bahasa Indonesia (menerangkan diterangkan) maka artinya menjadi rumah

  2.2. Pergeseran Kelas (Class-shift)

  Pergeseran yang terjadi dalam pergeseran kelas adalah kelas kata tertentu dalam BSu menjadi kelas kata yang lain dalam Bsa.

  Contoh: Pesta tahun diterjemahkan menjadi annual party. Kata tahun adalah nomina, kata annual mempunyai kelas kata adjektiva.

  2.3. Pergeseran Unit (Unit-shift)

  Pergeseran unit terjadi apabila unsur BSu pada suatu unit linguistiknya memiliki padanan yang berbeda unitnya pada BSa.

  Berikut contoh pergeseran dari unit kata menjadi unit klausa dalam bahasa Jerman: interessanter Platz diterjemahkan menjadi tempat yang menarik.

  2.4. Pergeseran antar-sistem (Intra-system shift)

  Pergeseran antar-sistem adalah pergeseran yang terjadi pada kategori grammatikal yang sama. Contoh: Der Chef heiratete

  

seine Sekretärin: Bos menikahi sekretarisnya. Kata menikah dalam

  bahasa Indonesia adalah verba intransitif sedangkan kata heiratete dalam bahasa Jerman adalah verba transitif.

2.9. Budaya dalam Penerjemahan

  Dalam suatu penerjemahan hal yang perlu diperhatikan dalam penerjemahan bukan hanya unsur linguistiknya saja tetapi unsur non linguistik juga. Pendapat ini senada dengan ungkapan Muchtar (2011:55) yang menyatakan bahwa proses pengalihan pesan TSu dipengaruhi oleh budaya penerjemah, yang tercermin dari cara seseorang dalam memahami, memandang dan mengungkapkan pesan. Penerjemahan teks selalu terkait erat dengan masalah budaya. Apa yang dimaksud dengan budaya? Menurut Hoed (2006:79) budaya adalah cara hidup (way of life) atau pemikiran dan cara pandang yang perwujudannya terlihat dalam bentuk perilaku, dan hasilnya terlihat secara material (disebut artefak). Hasil tersebut diperoleh melalui proses pembiasaan dan pembelajaran dalam suatu masyarakat yang diteruskan dari generasi ke generasi.

  Göhring (2002:108) dalam Kuβmaul (2010:41) mengatakan bahwa:

  “Kultur ist all das, was man wissen, beherrschen und empfinden können muss, um beurteilen zu können, wo sich Einheimische in ihren verschidenen Rollen Erwartungskonform oder abweichend verhalten, und um sich selbst Erwartungskonform verhalten zu können, sofern man dies will und nicht etwa bereit ist, die jeweils aus erwartungswidrigem Verhalten entstehenden Konsequenzen zu trage”.

  Budaya adalah semua apa yang orang ketahui, kuasai dan rasakan, yang timbul dari sikap atau perilaku seseorang. Pengalihan pesan dalam proses penerjemahan selalu ditandai oleh perbedaan budaya BSu dan BSa. Perbedaan ini secara langsung akan menempatkan penerjemah pada posisi yang dilematis. Di satu sisi penerjemah harus mengalihkan pesan teks BSu ke dalam teks BSa secara akurat. Di sisi lain dan dalam banyak kasus, penerjemah harus menemukan padanan yang tidak mungkin ada dalam BSa. bi-kultural. Pernyataan ini mengandung pengertian bahwa penerjemahan bukan hanya menerjemahkan bahasa tetapi sekaligus transfer budaya. Konsep bahwa bahasa adalah budaya dan budaya diwujudkan melalui perilaku kebahasaan dapat pula diterapkan dan dikaitkan pada bidang penerjemahan dan dalam penerjemahan kita mengalihkan budaya bukan bahasa. Pendapat ini sejalan dengan pandangan bahwa budaya merupakan suatu terjemahan, bukan kata, frase, klausa, paragraf atau teks yang seharusnya mendapatkan perhatian yang serius dari penerjemah.

  Penerjemahan adalah masalah latar belakang budaya dari penerjemah. Kemampuan menguasai Bsu dan Bsa dengan kuantitas yang sama dan mengetahui perbedaan. Persepsi linguistik kedua bahasa tersebut tidak akan berarti tanpa penguasaan konteks budaya.

  Setiap penerjemah mempunyai budaya. Budaya yang dimiliki penerjemah akan mempengaruhi cara pemahaman makna teks yang akan diterjemahakan, sehingga penerjemah perlu memahami budaya teks yang akan diterjemahkan. Jika penerjemah adalah orang Indonesia dan akan menerjemahkan sebuah teks bahasa Inggris ataupun bahasa Jerman maka diperlukan pemahaman budaya Inggris dan Jerman. Penerjemah tidak dapat memaksakan budaya penerjemah sebagai orang Indonesia kedalam teks bahasa Inggris maupun bahasa Jerman karena bahasa Indonesia dan bahasa Inggris ataupun bahasa Jerman berbeda budayanya.

  Sebaliknya jika penerjemah seorang Indonesia ingin menerjemahkan teks bahasa Inggris ataupun teks bahasa Jerman kedalam bahasa Indonesia maka tetap tersebut dapat dipahami dengan baik, sebagaimana yang dimaksudkan oleh penulis. Penerjemah akan dapat mentransfer makna yang ada dalam teks bahasa Inggris ataupun bahasa Jerman kedalam bahasa Indonesia sesuai dengan budaya Indonesia. Dengan demikian, suatu teks tidak dapat dipahami dengan baik jika budaya teks tersebut tidak dipahami. Teks dengan bahasa yang berbeda akan mempunyai budaya yang berbeda, sehingga penerjemah perlu menyesuaikan teks tersebut sesuai dengan budayanya masing-masing. Berikut beberapa contoh- contoh terjemahan yang harus memperhatikan aspek budaya yang dikutip melalui Robinson (2005:389): 1.

  Penjualan Vicks Cough Drops di Jerman mengalami kesulitan. Orang- orang Jerman melafalkan huruf V sebagai F, yang mengubah nama perusahaan itu menjadi istilah prokem untuk perilaku seks.

  2. Puffs Tissue menghadapi masalah yang sama di Jerman, di mana nama perusahaan tersebut berarti rumah pelacuran.

  3. Slogan Pepsi “Pepsi Adds life” (Pepsi menambah semangat) di protes di Cina, karena terjemahan slogan itu menjanjikan: “Pepsi brings your

  Ancestors back from the Grave (Pepsi membangkitkan leluhur Anda Dari

  Kuburnya)”. Para pemasar segera meluncurkan terjemahan baru, “Baishi Kele”, yang secara harfiah artinya “One Hundred Things to be Happy

  About (Seratus alasan untuk bersenang- senang)”.

  4. Coca cola menghadapi persoalan serupa di Cina. Karena “Coca cola” sebenarnya tidak bermakna apa-apa, mereka memutuskan tidak dengan suku kata yang bunyinya sama. Sayangnya, karakter yang mereka pilih berarti

  “Bite the Wax Tadpole (Gigitlah kecebong lilin)”. Jadi,

  mereka memikirkan persoalan itu dengan hati-hati, kemudian tampil dengan sederet suku kata berbunyi sama, “Kekau Kele”, yang secara harfiah artinya “Palatable and Happy” (enak di lidah dan menyenangkan)” atau “Happiness in the Mouth (Kesenangan di mulut)”.

2.10. Penilaian Mutu Terjemahan

  Menilai mutu terjemahan berarti mengkritik karya terjemahan. Guna menjadi seorang kritikus karya terjemahan, seseorang harus menguasai kriteria- kriteria tertentu. Kritikus karya terjemahan harus menguasai BSu dan BSa dengan baik, mengetahui perbedaan persepsi lingustik BSu dan BSa, dan akrab dengan konteks estetika dan budaya BSu dan BSa. Lalu, siapakah yang berhak menilai mutu suatu karya terjemahan? Jawabnya adalah setiap orang berhak menilai mutu karya terjemahan asalkan dia mempunyai kemampuan seperti yang telah disebutkan di atas (Nababan, 2003:83).

  Penilaian mutu terjemahan difokuskan pada produk, bukan proses penerjemahan. Artinya bahwa yang dinilai adalah hasil terjemahan. Penilaian terhadap mutu terjemahan dibedakan menjadi dua yaitu umum dan khusus. Penilaian umum didasarkan pada metode penerjemahan semantik dan komunikatif, yang secara relatif dapat diterapkan pada segala jenis terjemahan. Cara khusus adalah khusus bagi suatu jenis teks tertentu misalnya teks hukum yang ungkapan-ungkapannya sangat khusus dan tertentu atau puisi, yang Machali juga mengatakan bahwa tidak ada penerjemahan yang sempurna. Teks Bsa sedikit pun tidak ada kehilangan informasi, pergeseran makna, transposisi, ataupun modulasi, sehingga penerjemahan yang “paling bagus” harus diartikan sebagai “hampir sempurna” Berikut adalah rambu-rambu penilaian terjemahan secara umum menurut Machali (2009:156).

Tabel 2.1. Rambu-Rambu Penilaian Terjemahan Menurut Machali Kategori Nilai Indikator

  Penyampaian wajar, hampir tidak terasa seperti terjemahan; tidak ada kesalahan ejaan; Terjemahan hampir 86-90 tidak ada kesalahan/penyimpangan tata sempurna (A) bahasa; tidak ada kekeliruan penggunaan istilah Tidak ada distorsi makna; tidak ada terjemahan harfiah yang kaku; tidak ada

  Terjemahan sangat 76-85 kekeliruan penggunaan istilah; ada satu-dua bagus (B) kesalahan tata bahasa/ejaan (untuk bahasa

  Arab tidak boleh ada kesalahan ejaan) Tidak ada distorsi makna; ada terjemahan

  61-75 harfiah yang kaku, tetapi relatif tidak lebih Terjemahan Baik

  (C) dari 15% dari keseluruhan teks, sehingga tidak terlalu terasa seperti terjemahan; kesalahan tata bahasa atau idiom relatif tidak lebih dari 15% dari keseluruhan teks. Ada baku/umum. Ada satu-dua kesalahan tata ejaan (untuk bahasa arab tidak boleh ada kesalahan ejaan) Terasa sebagai terjemahan; ada distorsi makna; ada beberapa terjemahan harfiah yang kaku, tetapi relatif tidak lebih dari 25%. ada

  Terjemahan cukup beberapa kesalahan idiom dan/tata bahasa, 46-60 tetapi relatif tidak lebih dari 25% keseluruhan teks. Ada satu-dua penggunaan istilah yang

  (D) tidak baku/tidak umum dan/atau kurang jelas.

  Sangat terasa sebagai terjemahan; terlalu banyak terjemahan harfiah yang kaku (relatif 20-45

  Terjemahan buruk lebih dari 25% dari keseluruhan teks); distorsi (E) makna dan kekeliruan penggunaan istilah lebih dari 25% keseluruhan teks.

  Catatan: 1.

  Nilai dalam kurung adalah nilai ekuivalen.

2. Istilah “wajar” dapat dipahami sebagai “wajar dan komunikatif”.

  Rambu-rambu penilaian di atas cocok untuk menilai suatu teks secara keseluruhan seperti teks-teks terjemahan yang dilakukan oleh mahasiswa sehingga dan buruk.

  Penilaian mutu terjemahan yang dikemukakan Silalahi (2012:72-75) menggunakan tiga kuesioner. Kuesiner pertama disebut Accuracy Rating

  Instrument, yang dimanfaatkan untuk menentukan tingkat kesepadanan

  terjemahan. Kuesioner kedua disebut Acceptability Rating Instrument yang digunakan untuk mengukur tingkat keberterimaan terjemahan. Kuesioner ketiga disebut Readability Rating Instrument, yang digunakan untuk mengukur tingkat keterbacaan terjemahan. Secara keseluruhan untuk menilai suatu mutu terjemahan haruslah menggunakan ketiga kuesioner di atas, namun karena keterbatasan peneliti, peneliti hanya menilai tingkat kesepadanan terjemahan yang dilakukan oleh informan kunci.

  Informan kunci menilai tingkat kesepadanan terjemahan dari segi tata bahasa yang terdiri dari tingkat keakuratan terjemahan, terjemahan kurang akurat dan terjemahan tidak akurat. Tingkat keakuratan terjemahan merujuk pada terjemahan yang tidak mengalami distorsi makna. Terjemahan kurang akurat merujuk pada terjemahan yang sebagian besar makna BSu sudah dialihkan secara akurat ke dalam BSa. Namun, masih terdapat distorsi makna atau terjemahan makna ganda (taksa) atau ada makna yang dihilangkan, yang mengganggu keutuhan pesan. Terjemahan tidak akurat merujuk pada terjemahan yang makna BSu dialikan secara tidak akurat ke dalam BSa atau dihilangkan (deleted).

  Berikut adalah instrumen pengukur tingkat kesepadanan yang digunakan dalam penelitian.

  Instrumen Pengukur Tingkat Kesepadanan Terjemahan

Skala Defenisi Kesimpulan

  Makna kalimat BSu dialihkan secara 3 akurat ke dalam BSa, sama sekali tidak Akurat terjadi distorsi makna Sebagian besar makna kalimat BSu sudah dialihkan secara akurat ke dalam BSa. Namun, masih terdapat distorsi

  2 Kurang Akurat makna atau terjemahan makna ganda (taksa) atau ada makna yang dihilangkan, yang menganggu keutuhan pesan Makna kalimat BSu dialihkan secara 1 tidak akurat ke dalam BSa atau Tidak Akurat dihilangkan (deleted)

  Sumber: Silalahi (2012:73)

  Tabel di atas menggunakan skala 1 sampai 3, semakin tinggi skor yang diberikan informan kunci, maka semakin bagus terjemahan yang dihasikan.

  Sebaliknya, semakin rendah skor yang diberikan terhadap terjemahan, maka semakin tidak bagus terjemahan yang dihasilkan.

2.11. Kalimat

  Kalimat adalah kata atau kumpulan kata yang mempunyai maksud tertentu kalimat yang hanya terdiri atas satu subjek atau satu predikat dan kalimat majemuk adalah kalimat yang terjadi dari dua kalimat atau lebih yang dipadukan menjadi satu (Qodratilah, 2011:209).

  Kalimat efektif adalah kalimat yang dapat mengungkapkan gagasan pemakainya secara tepat dan dapat dipahami secara tepat pula (Sugono, 2011:91).

  Dalam wujud lisan, kalimat diucapkan dengan suara naik turun, dan keras lembut, disela jeda, dan diakhiri dengan intonasi akhir. Sedangkan dalam wujud tulisan berhuruf latin, kalimat dimulai dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda titik. (.), tanda tanya (?) dan tanda seru (!). Sekurang-kurangnya kalimat dalam ragam resmi, baik lisan maupun tertulis, harus memiliki sebuah subjek (S) dan sebuah predikat (P). Kalau tidak memiliki kedua unsur tersebut, pernyataan itu bukanlah kalimat melainkan hanya sebuah frasa. Itulah yang membedakan frasa dengan kalimat.

2.11.1. Kalimat tunggal Kalimat tunggal adalah kalimat yang hanya mempunyai satu pola kalimat.

  contoh: aku pergi latihan teater besama teman-teman di taman kota selong.

  2.11.2. Kalimat majemuk Kalimat majemuk adalah kalimat yang mempunyai dua pola kalimat atau lebih. Setiap kalimat majemuk mempunyai kata penghubung yang berbeda, sehingga jenis kalimat tersebut dapat diketahui dengan cara melihat kata penghubung yang digunakannya. Jenis-jenis kalimat majemuk adalah:

2.11.2.1 Kalimat majemuk setara

  Kalimat majemuk setara yaitu penggabungan dua kalimat atau lebih kalimat tunggal yang kedudukannya sejajar atau sederajat.

  Berdasarkan kata penghubungnya (konjungsi), kalimat majemuk setara terdiri dari lima macam, yakni:

  Konjungsi Jenis

  Penggabungan : dan penguatan/Penegasan: bahkan Pemilihan : atau di lanjutkan pada sebuah kalimat majemuk yang kedua Berlawanan :

  (sedangkan) urutan waktu : kemudian, lalu, lantas Contoh: 1.

  Juminten pergi ke pasar. (kalimat tunggal 1) 2. Norif berangkat ke bengkel. (kalimat tunggal 2)

   Juminten pergi ke pasar sedangkan Norif berangkat ke bengkel. (kalimat majemuk)

  

 Norif berangkat ke bengkel sedangkan Juminten pergi ke pasar. (kalimat

  majemuk)

  2.11.2.2. Kalimat majemuk rapatan

  Kalimat majemuk rapatan yaitu gabungan beberapa kalimat tunggal yang karena subjek, predikat atau objeknya sama,maka bagian yang sama hanya disebutkan sekali. Contoh: 1.

  Pekerjaannya hanya makan. (kalimat tunggal 1) 2. Pekerjaannya hanya tidur. (kalimat tunggal 2) 3. Pekerjaannya hanya merokok. (kalimat tunggal 3)

  

 Pekerjaannya hanya makan, tidur, dan merokok. (kalimat majemuk

  rapatan)

  2.11.2.3. Kalimat majemuk bertingkat

  Kalimat majemuk bertingkat yaitu penggabungan dua kalimat atau lebih kalimat tunggal yang kedudukannya berbeda. Di dalam kalimat majemuk bertingkat terdapat unsur induk kalimat dan anak kalimat. Anak kalimat timbul akibat perluasan pola yang terdapat pada induk kalimat.

  Berdasarkan kata penghubungnya (konjungsi), kalimat majemuk bertingkat terdiri dari sepuluh macam, yakni:

  Konjungsi Jenis

  Syarat : jika, kalau, manakala, andaikata, asal(kan) Tujuan : agar, supaya, biar perlawanan (konsesif): walaupun, kendati(pun), biarpun Penyebaban : sebab, karena, oleh karena Pengakibatan : maka, sehingga Cara : dengan, tanpa Alat : dengan, tanpa Perbandingan : seperti, bagaikan, alih-alih Penjelasan : bahwa Kenyataan : padahal Contoh: 1.

  Kemarin ayah mencuci motor. (induk kalimat) 2. Ketika matahari berada di ufuk timur. (anak kalimat sebagai pengganti keterangan waktu)

  

 Ketika matahari berada di ufuk timur, ayah mencuci motor. (kalimat

  majemuk bertingkat cara 1)

   Ayah mencuci motor ketika matahari berada di ufuk timur. (kalimat majemuk bertingkat cara 2)

2.11.2.4. Kalimat majemuk campuran

  Kalimat majemuk campuran yaitu gabungan antara kalimat majemuk setara dan kalimat majemuk bertingkat. Sekurang-kurangnya terdiri dari tiga kalimat. Contoh: 1.

  Toni bermain dengan Kevin. (kalimat tunggal 1) 2. Rina membaca buku di kamar kemarin. (kalimat tunggal 2, induk kalimat) 3. Ketika aku datang ke rumahnya. (anak kalimat sebagai pengganti keterangan waktu)

  

 Toni bermain dengan Kevin, dan Rina membaca buku di kamar, ketika

  aku datang ke rumahnya. (kalimat majemuk campuran)