BAB II LANDASAN TEORI A. KOMITMEN KARYAWAN PADA ORGANISASI 1. Definisi Komitmen Karyawan pada Organisasi - Pengaruh Budaya Organisasi dan Persepsi Dukungan Organisasi terhadap Komitmen Karyawan pada Organisasi

BAB II LANDASAN TEORI A. KOMITMEN KARYAWAN PADA ORGANISASI

1. Definisi Komitmen Karyawan pada Organisasi

  Menurut Mowday, Porter & Steers (1982) komitmen karyawan pada organisasi merupakan keterikatan afektif karyawan dengan organisasi. Definisi ini menunjukkan bahwa komitmen karyawan pada organisasi dikarakteristikkan dengan adanya keyakinan yang kuat dan penerimaan terhadap tujuan dan nilai organisasi, kemauan untuk memberikan usaha yang lebih terhadap organisasi dan dorongan yang kuat untuk mempertahankan keanggotaan dalam organisasi (Mowday, Porter & Steers, 1982).

  Miller (2003) juga mengemukakan definisi mengenai komitmen karyawan pada organisasi yang merupakan identifikasi karyawan dengan organisasi dan tujuannya untuk menjaga keanggotaan dalam organisasi. Sementara itu, menurut Arnold (2005) komitmen karyawan pada organisasi merupakan kekuatan relatif individu dalam mengidentifikasi dirinya dengan organisasi dan ikut terlibat dalam organisasi.

  Menurut Morrow (1993) komitmen karyawan pada organisasi dikarakteristikkan melalui sikap dan perilaku. Miller (2003) mendefinisikan sikap sebagai pernyataan evaluatif atau penilaian mengenai suatu kejadian. Komitmen karyawan pada organisasi didefinisikan sebagai sikap yang mencerminkan perasaan seperti kedekatan, identifikasi dan loyalitas terhadap organisasi sebagai objek dari komitmen (Morrow, 1993). Meyer, Allen dan Gellantly (1990) mengemukakan bahwa komitmen karyawan pada organisasi sebagai sikap yang dikarakteristikkan oleh komponen kognitif dan afektif yang positif serta mendukung organisasi.

  Karakteristik kedua yang digunakan untuk mendeskripsikan komitmen karyawan pada organisasi adalah perilaku (Morrow, 1993). Individu yang berkomitmen akan menunjukkan perilaku tertentu karena keyakinan bahwa hal tersebut benar secara moral dibandingkan keuntungan pribadi (Best, 1994; Mehta, 2013). Dalam komitmen karyawan pada organisasi, anggota organisasi terikat oleh tindakan dan keyakinannya yang mendukung aktifitas dan keterlibatan mereka dalam organisasi (Miller & Lee, 2001).

  Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa komitmen karyawan pada organisasi merupakan keyakinan dan penerimaan terhadap tujuan dan nilai organisasi, kemauan untuk memberikan usaha yang lebih terhadap organisasi dan dorongan untuk menjaga keanggotaan dalam organisasi.

2. Aspek Komitmen Karyawan pada Organisasi

  Menurut Mowday, Porter & Steers (1982), komitmen karyawan pada organisasi terdiri dari tiga aspek, yaitu : a.

  Identification Identifikasi merupakan pemahaman terhadap tujuan organisasi sebagai dasar dari komitmen karyawan pada organisasi. Identifikasi karyawan dapat dilihat melalui kepercayaan karyawan terhadap organisasi, kesamaan nilai pribadi dan nilai organisasi serta rasa bangga menjadi bagian dari organisasi.

  b.

  Involvement Keterlibatan merupakan kesediaan karyawan untuk terlibat dan berusaha sungguh-sungguh dalam organisasi. Keterlibatan ini disesuaikan dengan peran dan tanggung jawab pekerjaan pada organisasi.

  c.

  Loyality Loyalitas merupakan keinginan yang kuat untuk bertahan di organisasi dan menjadi bagian dari organisasi. Loyalitas terhadap organisasi ini merupakan evaluasi terhadap komitmen yang juga menunjukkan adanya keterikatan emosional antara karyawan dengan organisasi.

  Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa komitmen karyawan pada organisasi terdiri dari tiga dimensi, yaitu identification (identifikasi), involvement (keterlibatan) dan loyality (loyalitas).

3. Tipe Komitmen Karyawan pada Organisasi

  Menurut Meyer & Allen (1997) komitmen karyawan pada organisasi terdiri dari tiga tipe yaitu : a.

  Affective commitment

  Affective commitment ditunjukkan oleh adanya keterikatan emosional

  individu terhadap organisasi. Komitmen tipe ini menciptakan adanya kedekatan emosional individu untuk mengidentifikasi dan ikut terlibat dalam organisasi. Karyawan yang memiliki komitmen terhadap organisasi karena adanya kedekatan emosional, akan bekerja untuk organisasi karena keinginan mereka.

  b.

  Continuance commitment

  Continuance commitment merupakan kesadaran mengenai biaya yang

  dihubungkan ketika meninggalkan organisasi. Hal ini dikalkulasikan secara alami karena persepsi atau pertimbangan karyawan terhadap biaya dan risiko yang dihubungkan dengan meninggalkan organisasi saat ini.

  c.

  Normative commitment

  Normative commitment merupakan perasaan wajib untuk tetap bertahan di

  organisasi. Hal ini menunjukkan bahwa karyawan mempertahankan kedekatan dengan organisasi karena merasa bahwa mereka harus melakukannya. Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa komitmen karyawan pada organisasi terdiri dari tiga tipe yaitu affective commitment,

  continuance commitment dan normative commitment.

4. Tahap Komitmen Karyawan pada Organisasi

  Menurut O’Reilly (1989), komitmen karyawan pada organisasi dikembangkan dalam tiga tahapan, yaitu : a.

  Compliance Stage Dalam tahapan ini, fokus pada kepatuhan karyawan dalam menerima pengaruh orang lain terutama yang bermanfaat bagi mereka, melalui remunirasi atau promosi. Dalam tahapan ini, sikap dan perilaku diadopsi bukan karena keyakinan bersama melainkan untuk mendapatkan reward yang spesifik. Selain itu, karyawan dalam tahapan ini juga melakukan penyesuaian dengan organisasi.

  b.

  Identification Stage Tahapan ini terjadi ketika karyawan mengidentifikasi organisasi dan menerima pengaruh orang lain sebagai usaha mempertahankan kepuasaan diri dengan organisasi. Dalam tahapan ini karyawan bertahan di organisasi karena apa yang mereka terima. Pada tahapan ini karyawan merasa bangga menjadi bagian dari organisasi, mereka memandang peran yang dimilikinya dalam perusahaan sebagai bagian dari identitas diri mereka (Best, 1994; Mehta, 2013).

  c.

  Internalization Stage Tahapan yang terakhir adalah internalization, yaitu ketika karyawan menemukan nilai organisasi untuk menjadi reward interinstik dan sesuai dengan nilai pribadi mereka. Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa komitmen karyawan pada organisasi dikembangkan dalam tiga tahapan yaitu compliance

  stage, identification stage dan internalization stage.

  5. Level Komitmen Karyawan pada Organisasi

  Level dari komitmen karyawan pada organisasi dihubungkan dengan perkembangan individu pada komitmen karyawan pada organisasinya. Menurut Reichers (1985), level dari komitmen karyawan pada organisasi terdiri dari: a.

  Higher Level Level ini dikarakteristikkan dengan penerimaan yang kuat terhadap nilai organisasi dan berusaha untuk tetap bertahan di organisasi.

  b.

  Moderate level Level ini dikarakteristikkan dengan penerimaan yang reasonable terhadap tujuan dan nilai organisasi yang sama baiknya dengan usaha untuk tetap bertahan di organisasi.

  c.

  Lower Level Level ini dikarakteristikkan dengan kurangnya penerimaan terhadap tujuan dan nilai organisasi atau kemauan untuk berusaha agar tetap bertahan di organisasi. Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa komitmen karyawan pada organisasi memiliki tiga level yaitu higher level, moderate level dan lower level.

  6. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Komitmen Karyawan pada Organisasi

  Faktor-faktor yang mempengaruhi komitmen karyawan pada organisasi terdiri dari :

  a.

   Job-related factors

  Komitmen karyawan pada organisasi merupakan hasil penting yang berhubungan dengan pekerjaan pada level individu, hal ini akan berdampak terhadap hasil dari pekerjaan lainnya seperti turnover,

  

absenteeism, job effort, job role dan performance (Randall, 1990). Peran

  kerja yang ambigu dapat menghalangi komitmen karyawan terhadap organisasi dan kekuatan promosi yang meningkatkan atau mengurangi komitmen karyawan pada organisasi (Curry, Wakefield, Price & Mueller, 1996). Faktor pekerjaan lainnya yang memiliki dampak terhadap komitmen adalah level tanggung jawab dan autonomi (Baron & Greenberg, 1990).

  b.

  Employment opportunities Adanya kesempatan kerja dapat mempengaruhi komitmen karyawan pada organisasi (Curry, Wakefield, Price & Mueller, 1996). Individu yang memiliki persepsi kuat bahwa mereka memiliki kesempatan untuk menemukan pekerjaan lain akan memiliki komitmen yang rendah terhadap organisasi karena mereka memikirkan alternatif pekerjaan lain. Sementara itu menurut Meyer & Allen (1997), keanggotaan organisasi yang didasarkan pada continuance commitment, akan membuat karyawan melakukan kalkulasi resiko apabila bertahan atau meninggalkan organisasi. c.

  Personal characteristics Komitmen karyawan pada organisasi dapat juga dipengaruhi oleh karakteristik personal karyawan, seperti usia, lamanya bekerja dan gender (Meyer & Allen, 1997).

  d.

  Work environment Lingkungan kerja juga diidentifikasi sebagai faktor lainnya yang mempengaruhi komitmen karyawan pada organisasi. Salah satu kondisi lingkungan kerja yang mempengaruhinya adalah kepemilikan terhadap perusahaan. Kepemilikan ini membuat karyawan merasa dianggap penting dan merasa sebagai bagian dari proses pengambilan keputusan (Hollenbeck & Klein, 1987). Faktor lain dari lingkungan kerja yang mempengaruhi komitmen karyawan pada organisasi adalah praktik kerja yang dihubungkan dengan rekrutmen dan seleksi, performance appraisal, promosi dan management style (Meyer & Allen, 1997).

  e.

  Positive relationships Organisasi sebagai lingkungan kerja dibangun dari hubungan kerja, salah satunya adalah hubungan supervisor. Menurut Randall (1990), hubungan supervisor dapat mempengaruhi komitmen karyawan pada organisasi, baik secara positif maupun negatif. Hubungan kerja lainnya seperti tim atau kelompok yang ada di lingkungan kerja, dapat mempengaruhi komitmen karyawan pada organisasi. Anggota dari organisasi dapat menunjukkan komitmen ketika mereka mampu menemukan nilai melalui hubungan kerja (Mathieu & Zajac, 1990). f.

  Organizational structure Struktur organisasi memiliki peran penting dalam komitmen karyawan pada organisasi. Struktur dari birokrasi cenderung memiliki efek negatif terhadap komitmen karyawan pada organisasi. Zaffane (1994) mengindikasikan bahwa penghapusan hambatan birokrasi dan penciptaan struktur yang lebih fleksibel akan lebih mungkin untuk memiliki kontribusi terhadap peningkatan komitmen organisasi, baik dari segi loyalitas dan keterikatan mereka. Manajemen dapat meningkatkan level dari komitmen dengan memberikan pengaruh dan pengarahan yang lebih baik terhadap karyawan (Storey, 1995).

  g.

  Management style Menurut Gaertner (1999), gaya manajemen yang lebih fleksibel dan partisipan dapat meningkatkan komitmen karyawan pada organisasi dengan kuat dan positif. Organisasi perlu memastikan bahwa strategi manajemen mereka memiliki tujuan untuk meningkatkan komitmen karyawan pada organisasi karyawan dibandingkan kepatuhan karyawan (William & Anderson, 1991).

  Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi komitmen karyawan pada organisasi adalah job-related

  

factors, employment opportunities, personal characteristics, work environment,

positive relationships, organisational structure dan management style.

B. BUDAYA ORGANISASI

1. Definisi Budaya Organisasi

  Budaya organisasi merupakan suatu pola dasar dari pembagian asumsi- asumsi, nilai-nilai, dan keyakinan-keyakinan yang dipertimbangkan menjadi cara yang sesuai dalam cara berpikir dan bertindak tentang sesuatu, memecahkan masalah dan kemungkinan-kemungkinan yang dihadapi organisasi (Robbins, 2009). Shane & Glinow (2009) mengemukakan budaya organisasi sebagai nilai dan asumsi yang dibagi dalam sebuah organisasi.

  Budaya organisasi juga dapat didefinisikan sebagai perangkat sistem nilai- nilai (values), keyakinan-keyakinan (beliefs), asumsi-asumsi (assumptions) atau norma-norma yang telah lama berlaku, disepakati dan diikuti oleh para anggota suatu organisasi sebagai pedoman perilaku dan pemecahan masalah- masalah organisasinya (Sutrisno, 2011). Menurut Sutrisno (2011) budaya organisasi juga disebut budaya perusahaan, yaitu seperangkat nilai-nilai atau norma-norma yang telah relatif lama berlakunya, dianut bersama oleh para anggota organisasi (karyawan) sebagai norma perilaku dalam menyelesaikan masalah-masalah organisasi (perusahaan).

  Pendapat lain mengenai budaya organisasi dikemukakan oleh Robbins dan Judge (2007) yang menyatakan bahwa budaya organisasi merupakan sebuah sistem makna bersama yang dianut oleh anggota organisasi dan membedakan organisasi tersebut dengan organisasi lainnya. Budaya organisasi juga didefinisikan sebagai sistem yang terdiri dari nilai-nilai bersama dan menekankan pada pentingnya norma-norma yang menghasilkan sikap yang berkaitan dengan nilai- nilai tersebut (O’ Reilly & Chatman, 1996).

  Menurut Schein (1990) budaya organisasi merupakan salah satu cara dalam mempengaruhi pola pikir individu dalam membuat keputusan dan akhirnya mempengaruhi cara mereka dalam menerima, merasa dan bertindak. Budaya organisasi juga memiliki pola-pola asumsi dan nilai-nilai bersamayang telah disesuaikan dengan organisasi melalui pengalaman belajar dan dianggap penting dipelajari oleh anggota organisasi yang baru (Schein, 2004).

  Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa budaya organisasi merupakan seperangkat nilai, keyakinan dan asumsi yang dimiliki suatu perusahaan sebagai pedoman untuk berperilaku dalam organisasi dan untuk mencapai tujuan organisasi.

2. Aspek Budaya Organisasi

  Menurut Schein (2004), budaya organisasi terdiri dari tiga aspek yaitu : a. Artifacts

  Artifacts mencakup semua fenomena yang dapat dilihat, didengar dan

  dirasakan ketika seseorang menemukan kelompok baru dengan budaya yang asing. Selain itu, juga mencakup produk-produk yang dapat dilihat dari suatu kelompok, bahasa, teknologi, kebiasaan-kebiasaan yang rutin dan dapat dilihat. Artifacts juga mudah untuk diamati, namun sangat sulit untuk diuraikan. Dalam memahami artifacts, ketika seseorang hidup dalam kelompok cukup lama, makna artifacts akan menjadi jelas secara bertahap.

  b.

  Espoused Values

  Espoused values merupakan nilai-nilai organisasi yang dijadikan dasar

  dalam mengevaluasi hal yang benar dan salah. Nilai-nilai ini akan membimbing kelompok dalam bagaimana mereka menangani situasi tertentu dan melatih anggota baru tentang bagaimana mereka berperilaku.

  c.

  Basic Underlying Assumption

  Basic underlying assumption merupakan keyakinan yang dianggap sudah

  ada dan menjadi kebiasaan oleh anggota suatu organisasi. Hal ini mengacu pada asumsi implisit yang benar-benar memandu perilaku dan memberitahu anggota kelompok bagaimana memahami, memikirkan dan merasakan tentang suatu hal.

  Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa budaya organisasi terdiri dari tiga komponen yaitu artifacts, espoused values dan basic

  underlying assumption.

3. Karakteristik Budaya Organisasi

  Menurut Robbins (2009), karakteristik budaya organisasi terdiri dari : a.

   Innovation and risk taking

  Inovasi merupakan suatu ide baru yang ditetapkan untuk memperbaiki suatu produk, proses atau jasa. Hal ini akan membantu untuk mengetahui seberapa jauh karyawan didorong dalam menemukan cara-cara baru yang lebih baik dan mengembangkan kemampuannya dalam bekerja. Sementara itu, pengambilan resiko merupakan suatu dorongan terhadap anggota organisasi untuk dapat melaksanakan gagasan baru dalam bekerja dan tanggap terhadap peluang yang ada.

  b.

   Attention to detail

  Seberapa besar karyawan diberikan wewenang untuk menjalankan tugasnya dengan cermat, analisis dan detail.

  c.

   Outcome orientation

  Bagaimana perusahaan memfokuskan pada hasil dan bukan pada teknik dan proses yang digunakan dalam mencapai hasil tersebut. Seperti tingkat efisiensi dan tingkat efektivitas.

  d.

   People orientation

  Sejauh mana keputusan perusahaan memperhitungkan efek pada karyawan-karyawannya.

  e.

   Team orientation

  Sejauh mana kegiatan dalam bekerja diorganisasikan secara bersama dalam kelompok.

  f.

   Aggresiveness

  Hal ini menggambarkan sejauh mana individu dalam organisasi bersifat agresif dan kompetitif dalam pekerjaannya.

  g.

   Stability

  Bagaimana perusahaan menekankan pentingnya untuk mempertahankan budaya organisasi dan bertindak sesuai dengan budaya organisasi.

  Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa karakteristik budaya organisasi adalah innovation and risk taking, attention to detail,

  

outcome orientation, people orientation, team orientation, aggressiveness dan

stability.

  4. Fungsi Budaya Organisasi

  Menurut Robbins (2009), budaya organisasi memiliki beberapa fungsi yaitu : a.

  Budaya organisasi mempunyai suatu peran pembeda. Hal ini berarti bahwa budaya organisasi menciptakan pembedaan yang jelas antara satu organisasi dengan organisasi lain b. Budaya organisasi membawa suatu rasa identitas bagi anggota-anggota organisasi c.

  Budaya organisasi mempermudah timbul pertumbuhan komitmen pada sesuatu yang lebih luas daripada kepentingan diri individual.

  d.

  Budaya organisasi meningkatkan kemantapan sistem sosial

  5. Manfaat Budaya Organisasi

  Menurut Robbins (2009), beberapa manfaat budaya organisasi adalah sebagai berikut : a.

  Membatasi peran yang membedakan antara suatu organisasi dengan organisasi lainnya. Setiap organisasi mempunyai peran yang berbeda sehingga perlu memiliki akar budaya yang kuat dalam sistem dan kegiatan yang ada dalam organisasi b.

  Menimbulkan rasa memiliki sebagai identitas para anggota organisasi.

  Dengan budaya organisasi yang kuat anggota organisasi akan merasa memiliki identitas yang merupakan ciri khas organisasi c.

  Mementingkan tujuan bersama daripada mengutamakan kepentingan individu d.

  Menjaga stabilitas organisasi. Kesatuan komponen-komponen organisasi yang direkatkan oleh pemahaman budaya yang sama akan membuat kondisi organisasi relatif stabil

C. PERSEPSI DUKUNGAN ORGANISASI

1. Definisi Persepsi Dukungan Organisasi

  Menurut Eisenberger (1986), persepsi dukungan organisasi didefinisikan sebagai keyakinan karyawan dalam suatu organisasi mengenai sejauh mana organisasi menghargai kontribusi dan mempedulikan kesejahteraan mereka. Persepsi dukungan organisasi juga didefinisikan sebagai bagaimana organisasi menilai kontribusi karyawan dan memperhatikan mereka (Allen, Armstrong, Reid & Ricmenschneider, 2008).

  Persepsi dukungan organisasi mengacu pada sejauhmana karyawan menganggap organisasi memiliki kepedulian dengan kesejahteraan mereka dan menghargai kontribusi yang mereka berikan pada organisasi (Shore dan Shore, 1995).

  Eisenberger, Armeli, Rexwinkel, Lynch dan Rhoades (2001) mengemukakan bahwa persepsi dukungan organisasi merupakan atribusi yang berdasarkan pada pengalaman mengenai tujuan dari kebijakan organisasi, norma, prosedur dan tindakan organisasi yang mempengaruhi karyawan.

  Proses atribusi karyawan digunakan untuk menyimpulkan apakah organisasi memberikan dukungan atau tidak kepada mereka.

  Menurut Krishnan & Mary (2012), persepsi dukungan organisasi adalah kepercayaan karyawan bahwa organisasi peduli dan menghargai kontribusi mereka terhadap keberhasilan organisasi. Hal ini mengacu pada persepsi karyawan mengenai sejauh mana organisasi menghargai kontribusi mereka dan peduli mengenai kesejahteraan mereka.

  Pendapat lain dikemukakan oleh Rhoades & Eisenberger (2002) yang mengemukakan persepsi dukungan organisasi sebagai sebuah keyakinan global yang dimiliki karyawan tentang penilaian mereka terhadap kebijakan dan prosedur dari organisasi. Keyakinan ini terjadi melalui pengalaman karyawan terhadap kebijakan dan prosedur organisasi, penerimaan sumber daya dan interaksi dengan supervisor serta persepsi mereka mengenai kepedulian organisasi terhadap kesejahteraan karyawan.

  Rhoades & Eisenberger (2002) juga mengemukakan bahwa persepsi dukungan organisasi mengacu pada persepsi karyawan tentang sejauh mana organisasi menilai kontribusi, memberikan dukungan dan kepeduliaan terhadap kesejahteraan mereka. Apabila karyawan menganggap dukungan organisasi yang diterimanya tinggi, maka karyawan akan menyatakan keanggotaan organisasi sebagai identitas diri mereka sehingga dapat mengembangkan hubungan dan persepsi yang positif terhadap organisasi. Menurut Rhoades & Eisenberger (2002), dengan menyatakan keanggotaan organisasi sebagai identitas diri, maka karyawan tersebut dapat merasa menjadi bagian dari organisasi dan bertanggung jawab untuk berkontribusi dan memberikan performansi kerja yang terbaik pada organisasi.

  Rhoades & Eisenberger (2002) mengemukakan bahwa walaupun organisasi menghargai kontribusi dan kepedulian terhadap kesejahteraan karyawan merupakan hal yang penting, organisasi juga harus tetap memperhatikan bahwa karyawan akan menggabungkan dukungan nyata perusahaan dengan persepsi individual yang dimiliki karyawan.

  Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa persepsi dukungan organisasi merupakan keyakinan karyawan dalam suatu organisasi mengenai sejauh mana organisasi menghargai kontribusi dan mempedulikan kesejahteraan mereka.

2. Aspek Persepsi Dukungan Organisasi

  Menurut Rhoades & Eisenberger (2002), persepsi dukungan organisasi memiliki tiga aspek, yaitu : a.

  Fairness Keadilan prosedural menyangkut pada cara yang digunakan untuk menentukan bagaimana mendistribusikan sumber daya diantara karyawan, seperti seleksi, pembayaran dan pengambilan keputusan (Greenberg,

  1990). Shore dan Shore (1995) mengemukakan bahwa banyaknya kasus yang berhubungan dengan keadilan dalam distribusi sumber daya memiliki efek kumulatif kuat pada persepsi dukungan organisasi, yang menunjukkan bahwa organisasi memiliki kepeduliaan terhadap kesejahteraan karyawan. Hal ini menunjukkan bahwa prosedur mengenai kebijakan keadilan lebih kuat berpengaruh terhadap persepsi dukungan organisasi dibandingkan dengan pemerataan keadilan. Cropanzo dan Greenberg (1997) membagi keadilan prosedural menjadi aspek struktural dan aspek sosial. Struktural mencakup pada peraturan formal dan kebijakan resmi mengenai keputusan yang mempengaruhi karyawan. Sementara itu, aspek sosial dari keadilan prosedural sering disebut dengan istilah keadilan interaksional yang meliputi bagaimana memperlakukan karyawan dengan memberikan pernghargaan terhadap mereka.

  b.

  Supervisor Support Dalam hal ini, karyawan mengembangkan pandangan umum tentang sejauh mana supervisor menilai kontribusi mereka dan kepedulian terhadap kesejahteraan mereka (Kottke & Sharafinski 1988; Rhoades & Eisenberger, 2002). Hal ini disebabkan supervisor bertindak sebagai agen dari organisasi yang bertanggung jawab untuk memberikan arahan dan evaluasi terhadap kinerja bawahan dan karyawan juga melihat orientasi supervisor mereka sebagai indikasi adanya dukungan dari organisasi (Eisenberger, 1986). c.

  Organisational Reward and Job Condition Bentuk dari penghargaan organisasi dan kondisi pekerjaan adalah sebagai berikut : a)

  Recognition, pay and promotion Menurut teori dukungan organisasi, adanya kesempatan untuk mendapatkan reward akan meningkatkan kontribusi karyawan dan meningkatkan persepsi dukungan organisasi (Rhoades & Eisenberger, 2002)

  b) Job security

  Jaminan bahwa organisasi ingin mempertahankan keanggotaan dari karyawannya mengindikasikan adanya dukungan organisasi yang positif terhadap karyawan (Allen, Shore & Griffeth, 1999; Rhoades & Eisenberger, 2002)

  c) Autonomy

  Kemandirian menunjukkan adanya kontrol terhadap bagaimana karyawan melakukan pekerjaannya. Ketika organisasi menunjukkan kepercayaan terhadap kemandirian karyawan dalam memutuskan bagaimana mereka akan bekerja, termasuk jadwal kerja, prosedur kerja dan varietas kerja akan meningkatkan persepsi dukungan organisasi (Eisenberger, Rhoades & Cameron, 1999; Rhoades & Eisenberger, 2002). d) Role stressors

  Stres mengacu pada ketidakmampuan individu dalam mengatasi tuntutan dari lingkungan (Lazarus & Folkman, 1984; Rhoades & Eisenberger, 2002). Stres memiliki hubungan negatif dengan persepsi dukungan organisasi karena karyawan mengetahui bahwa faktor yang menyebabkan stress bersumber dari lingkungan yang dikontrol oleh organisasi. Dalam hal ini, stress terkait dengan tiga aspek peran karyawan dalam organisasi yang memiliki hubungan negatif dengan persepsi dukungan organisasi, yaitu tuntutan pekerjaan yang melebihi kemampuan karyawan dalam bekerja untuk waktu tertentu (work

  

overload), kekurangan informasi yang jelas mengenai tanggung jawab

  dari pekerjaan (role ambiguity) dan tanggung jawab atau peran yang saling bertentangan (role conflict).

  e) Training

  Menurut Wayne, Shore & Liden (1997), job training merupakan investasi yang diberikan pada karyawan sehingga diharapkan dapat meningkatkan persepsi dukungan organisasi.

  f) Organization size

  Menurut Dekker dan Barling (1995), individu merasa kurang dihargai dalam organisasi yang kecil, dimana adanya kebijakan sangat formal dan prosedur yang mungkin mengurangi fleksibilitas terhadap kebutuhan individu dari karyawan. Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa persepsi dukungan organisasi terdiri dari tiga aspek, yaitu fairness, supervisor support

  dan organisational reward and job condition

  

D. HUBUNGAN BUDAYA ORGANISASI DENGAN KOMITMEN

KARYAWAN PADA ORGANISASI

  Menurut Robbins (2009), organisasi dengan budaya yang kuat dapat memberikan pengaruh yang bermakana bagi perilaku dan sikap karyawannya.

  Hal ini disebabkan oleh karyawan yang memegang nilai inti organisasi secara luas dalam suatu budaya organisasi yang kuat. Kuatnya suatu budaya memperlihatkan kesepakatan diantara anggota mengenai hal-hal yang harus dipertahankan oleh organisasi tersebut. Kesepakatan ini akan membina kohesifitas, kesetiaan dan komitmen karyawan pada organisasi yang dapat mengurangi kecenderungan karyawan untuk meninggalkan organisasi (Robbins, 2009). Robbins (2009) juga menyatakan bahwa dalam mencapai keberhasilan, organisasi perlu meningkatkan faktor kinerja organisasi dengan membentuk dan mengembangkan suatu budaya organisasi sehingga mendukung terciptanya komitmen karyawan pada organisasi dari karyawannya.

  Penelitian yang dilakukan oleh Darmawan (2009) menunjukkan bahwa budaya organisasi memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perilaku dan kinerja karyawan. Pengarahan dan pelatihan yang dilakukan dalam setiap kelompok sampel penelitian telah berhasil menanamkan nilai-nilai organisasi dalam diri setiap karyawan. Selain itu, terjadi peningkatan komitmen dan loyalitas karyawan terhadap organisasi setelah penanaman nilai organisasi yang dilakukan secara berkala dan terus menerus.

  Penelitian lain dilakukan oleh Silverthorne (2003) yang menemukan bahwa budaya organisasi memiliki peran penting dalam tingkatan kepuasan kerja dan komitmen karyawan pada organisasi. Budaya organisasi yang birokrasi menghasilkan level yang rendah dari komitmen karyawan pada organisasi. Sementara itu, budaya organisasi yang inovatif memiliki level komitmen karyawan pada organisasi yang sedang dan budaya organisasi yang suportif menunjukkan level komitmen karyawan pada organisasi yang tinggi dari para karyawannya.

  Menurut Shoaib, Zainab, Maqsood & Sana (2013), budaya organisasi dan komitmen karyawan pada organisasi merupakan konsep yang paling ekstensif diteliti dalam penelitian manajemen. Organisasi modern menemukan bahwa peningkatan komitmen karyawan pada organisasi dapat dilakukan dengan mengadopsi nilai-nilai dan norma-norma yang tercermin dalam budaya setelah mereka masuk ke lingkungan dimana mereka bekerja. Namun, masalah komitmen masih tetap ada dan terbukti menjadi hal yang penting untuk diperhatikan oleh perusahaan. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh budaya organisasi pada tingkat komitmen karyawan pada organisasi dengan memperhatikan variabel demografis. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa salah satu jenis budaya yaitu clan culture merupakan budaya yang paling diminati oleh para karyawan. Selain itu, hasil penelitian juga menunjukkan bahwa clan culture memiliki hubungan yang paling signifikan dengan ketiga dimensi dari komitmen karyawan pada organisasi dibandingkan denganjenis lain dari budaya. Demikian pula, ditinjau dari variabel demografis gender, ditemukan bahwa wanita lebih cenderung memiliki komitmen afektif dalam organisasi dibandingkan dengan rekan-rekan pria mereka. Tidak ada perbedaan untuk continuance commitment, sedangkan pria cenderung memiliki

  normative commitment dibandingkan dengan wanita.

  Meyer, Allen & Smith (1993) mengemukakan bahwa karyawan dengan

  

affective commitment yang tinggi tetap bertahan menjadi anggota organisasi

  karena mereka menginginkannya. Sementara itu, karyawan dengan normative atau moral commitment juga tetap bertahan menjadi anggota organisasi karena mereka merasa memang seharusnya melakukan demikian. Karyawan yang memiliki continuance commitment tinggi akan tetap menjadi anggota organisasi karena mereka merasa memerlukannya. Perbedaan motif dari bertahannya karyawan dari keanggotaan organisasi disebabkan oleh perbedaan faktor penentu dan mengakibatkan perbedaan konsekuensi.

  Berdasarkan uraian diatas, maka dapat dilihat bahwa komitmen karyawan pada organisasi memiliki hubungan dengan budaya organisasi, dimana komitmen karyawan pada organisasi yang tinggi dapat dibentuk melalui budaya organisasi yang telah dipahami dengan baik oleh karyawan.

E. HUBUNGAN PERSEPSI DUKUNGAN ORGANISASI DENGAN KOMITMEN KARYAWAN PADA ORGANISASI

  Menurut Rhoades & Eisenberger (2002), persepsi dukungan organisasi memiliki pengaruh terhadap komitmen karyawan pada organisasi dan kepuasan kerja. Hal ini didukung oleh teori dukungan organisasi mengenai proses psikologis yang mendasari konsekuensi dari persepsi dukungan organisasi.

  Pertama, berdasarkan norma timbal balik, dimana persepsi dukungan organisasi wajib menghasilkan perasaan dimana karyawan memperhatikan kesejahteraan organisasi dan membantu organisasi dalam mencapaitujuannya. Kedua, kepedulian, persetujuan dan rasa hormat yang dikonotasikan oleh persepsi dukungan organisasi harus memenuhi kebutuhan sosioemosional, menyebabkan karyawan menggabungkan keanggotaan organisasi dan status peran mereka dalam identitas sosial. Ketiga, persepsi dukungan organisasi harus memperkuat keyakinan karyawan bahwa organisasi mengakui dan memberikan penghargaan terhadap peningkatan kinerja. Proses ini harus memiliki hasil yang menguntungkan baik bagi karyawan (misalnya, peningkatan kepuasan kerja dan suasana hati yang positif) dan bagi organisasi (misalnya, meningkatkan komitmen afektif dan kinerja serta rendahnya turnover ).

  Rhoades & Eisenberger (2002) juga menjelaskan bahwa salah satu dampak dari persepsi dukungan organisasi adalah komitmen karyawan pada organisasi.

  Hal ini didukung oleh pendapat Eisenberger, Armeli, Rexwinkel, Lynch & Rhoades (2001) yang menyatakan bahwa berdasarkan norma timbal balik, persepsi dukungan organisasi harus membuat karyawan merasa adanya kewajiban mereka untuk peduli tentang kesejahteraan organisasi. Selain itu, persepsi dukungan organisasi juga diharapkan untuk dapat membuat karyawan dan organisasi saling menjaga kepedulian (Foa & Foa, 1980) sehingga harus meningkatkan affective commitment dari para karyawannya.

  Menurut Eisenberger (1986), teori dukungan organisasi menyatakan bahwa persepsi dukungan organisasi akan memperkuat affective commitment dari karyawan. Hal ini menunjukkan bahwa persepsi dukungan organisasi didefinisikan sebagai identifikasi individu dengan keterlibatannya dalam organisasi dan hubungan emosional karyawan dengan organisasi (Meyer, Irving & Allen, 1998). Rhoades & Eisenberger (2002) juga mengemukakan bahwa persepsi dukungan organisasi dapat menimbulkan rasa bertanggung jawab karyawan untuk membantu organisasi dalam mencapai tujuannya, mempunyai affective commitment terhadap organisasi dan mendorong harapan bahwa kinerja karyawan akan dihargai oleh organisasi.

  Persepsi dukungan organisasi juga menjadi penghubung antara praktek sumber daya manusia dengan affective commitment dari komitmen karyawan pada organisasi, keinginan untuk meninggalkan organisasi dan menjadi penghubung dengan variabel pengalaman kerja, yaitu penghargaan organisasi, keadilan prosedural dan dukungan karyawan (Rhoades & Eisenberger, 2002).

  Persepsi dukungan organisasi juga dapat meningkatkan affective

  commitment melalui pemenuhan kebutuhan sosioemosional seperti afiliasi dan dukungan emosional (Armeli, Eisenberger, Fasolo & Lynch, 1998).

  Pemenuhan kebutuhan tersebut menghasilkan rasa memiliki organisasi yang kuat dengan melibatkan keanggotaan organisasi karyawan dan status peran mereka dalam identitas sosialnya.

  Menurut Shore dan Tetrick (1991) persepsi dukungan organisasi dapat mengurangi perasaan entrapment karyawan seperti continuance commitment, yang terjadi ketika karyawan dipaksa untuk bertahan di organisasi karena tingginya biaya ketika mereka meninggalkan organisasi.

  Selain itu, menurut Eisenberger (1986) karyawan menunjukkan pola pernyataan yang konsisten mengenai penghargaan organisasi terhadap kontribusi mereka dan apakah organisasi akan memperlakukan mereka dengan positif atau tidak dalam situasi yang berbeda.

  Berdasarkan uraian diatas, maka dapat dilihat bahwa komitmen karyawan pada organisasi memiliki hubungan dengan persepsi dukungan organisasi, dimana komitmen karyawan pada organisasi yang tinggi dapat dibentuk melalui persepsi positif terhadap dukungan organisasi.

F. HIPOTESIS PENELITIAN

  Berdasarkan uraian teoritis diatas, maka peneliti mengajukan hipotesis penelitian sebagai berikut : Hipotesis 1 Terdapat pengaruh positif antara budaya organisasi dengan komitmen karyawan pada organisasi.

  Hipotesis 2 Terdapat pengaruh positif antara persepsi dukungan organisasi dengan komitmen karyawan pada organisasi.