Dampak Kegiatan Budidaya Keramba Jaring Apung Terhadap Kualitas Air Danau Toba Di Kecamatan Haranggaol Horison Kabupaten Simalungun Sumatera Utara

  Ekosistem Danau Toba

  Danau Toba dilihat dari asal proses terbentuknya merupakan danau volcano-tektonik yang menurut Van Bemmelen (1970) dikatakan terbentuknya akibat proses tanah terban yang terjadi karena bagian kedalamannya yang berupa magma naik ke permukaan melalui celah tektonik membentuk gunung api. Ruang yang ditinggalkan oleh magma membentuk rongga di dalam kerak bumi dan kemudian beban di permukaannya mengalami terban dan terpotong menjadi beberapa bagian. Bagian yang cukup besar berada pada bagian tengah dengan posisi miring ke arah barat berupa Pulau Samosir, dan bagian lain yang posisinya lebih rendah selanjutnya tergenang air permukaan membentuk danau.

  Ukuran panjang Danau Toba lebih dari 87 kilometer dengan lebar maksimum 31,5 kilometer. Permukaan air danau berada pada elevasi ±905 meter di atas permukaan laut, dikelilingi oleh tebing dan gunung-gunung dengan ketinggian maksimal 2.157 meter (Dalok Uludarat). Penutup lahan yang dominan di daerah penangkap air di sekitar danau Samosir adalah lumpur (89.562 Ha), perladangan (8.069 Ha), hutan dan semak (±56.000 Ha), sawah dan lahan budidaya lain (±30.000 Ha) (Bapedalda Sumut, 2000).

  Danau Toba termasuk perairan lentik (lentic water) atau disebut juga perairan tenang. Danau Toba merupakan suatu perairan yang banyak dimanfaatkan oleh beberapa sektor seperti pertanian, perikanan, pariwisata, perhubungan laut dan juga merupakan sumber air minum bagi masyarakat di kawasan Danau Toba. Adanya berbagai aktivitas manusia di sekitar danau tersebut, sehingga Danau Toba akan mengalami perubahan ekologis di mana kondisinya sudah berbeda dengan kondisi alaminya.

  Budidaya Ikan Sistem Keramba Jaring Apung

  Kegiatan Keramba Jaring Apung (KJA) merupakan salah satu bentuk kegiatan perikanan akuakultur yang dilakukan pada wadah jaring yang terapung.

  Dirjen Perikanan (2001) mendefinisikan keramba jaring apung sebagai tempat pemeliharaan ikan yang terbuat dari bahan jaring yang memungkinkan keluar masuknya air dengan leluasa, sehingga terjadi pertukaran ke perairan sekitarnya. Komponen-komponen keramba jaring apung terdiri dari kerangka atau bingkai, pelampung, jangkar, pemberat jaring, penutup kantung jaring, bangunan fisik dan peralatan pendukung lainnya.

  Kegiatan budidaya ikan sistem KJA di Danau Toba telah dilakukan oleh masyarakat sejak tahun 1986, namun perkembangan KJA dengan pesat terjadi sejak tahun 1998 melalui budi daya jaring apung intensif berkepadatan ikan yang tinggi (Rismawati, 2010). Pada tahun 2006 Jumlah KJA yang beroperasi diperairan Danau Toba terdata sebanyak 5.233 unit. Kemudian survey yang dilakukan Dinas Perikanan Provinsi Sumatera Utara tahun 2008, di dapatkan bahwa KJA yang beroperasi di perairan Danau Toba sebanyak 7.012 unit, yang terdiri dari KJA milik PT. Aquafarm Nusantara sebanyak 1.780 unit dan KJA milik masyarakat sebanyak 5.232 unit (Ginting, 2011).

  Budidaya ikan pada KJA merupakan teknologi budidaya ikan yang dapat mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya perairan danau dan waduk. Namun sistem budidaya yang mengandalkan pakan buatan berupa pellet sebagai makanan utamanya ini , dapat menyebabkan terjadinya penumpukan limbah bahan organik dari sisa metabolisme dan sisa pakan pada dasar perairan (Nursandi, dkk., 2011).

  Menurut Beveridge (1984) diacu dalam Ginting (2011), kegiatan Keramba Jaring Apung (KJA) berdampak terhadap 4 (empat) hal utama yaitu : 1. Membutuhkan banyak tempat (space) atau permukaan perairan danau.

  2. Menghambat aliran air dan arus untuk transportasi oksigen, sedimen, plankton serta larva ikan.

  3. Menurunkan kualitas estetika perairan danau 4. Menurunkan kualitas lingkungan hidup danau. kegiatan budidaya ikan Keramba Jaring Apung (KJA) berpengaruh secara nyata terhadap lingkungan perairan, yaitu mulai dari adanya perubahan hara air, perubahan konsentrasi oksigen terlarut (DO), perubahan konsentrasi metabolik toksik serta berkembangnya organismeorganisme penyebab penyakit, sehingga perairan tersebut menjadi tidak layak lagi untuk dimanfaatkan sebagai sumber air minum, sarana rekreasi dan peruntukan perikanan itu sendiri.

  Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pencemaran Danau

  Kontaminasi bahan pencemar yang berasal dari aktivitas industri, pertanian, peternakan, maupun kegiatan rumah tangga telah menyebabkan terjadinya penurunan kualitas air yang signifikan pada badan air seperti sungai, danau dan waduk. Walaupun saat ini telah diberlakukan berbagai macam kebijakan dan peraturan terkait dengan pengendalian pencemaran air, diantaranya: PP No. 82 tahun 2001 dan Permen LH No. 13 Tahun 2010, namun lemahnya praktek pengawasan dan penegakan hukum menyebabkan penurunan kualitas air di badan air terus berlangsung (Priadie, 2012).

  Terjadinya pencemaran perairan danau dapat ditunjukkan oleh dua hal, yaitu (1) adanya pengkayaan unsur hara yang tinggi, sehingga terbentuk komunitas biota dengan produksi yang berlebihan, (2) air diracuni oleh zat kimia toksik yang menyebabkan lenyapnya organisme hidup, bahkan mencegah semua kehidupan di perairan (Rismawati, 2010).

  Saat ini kelestarian fungsi perairan terganggu oleh masalah-masalah pencemaran, eutrofikasi maupun perubahan fungsi akibat pemanfaatan yang berlebih sehingga menimbulkan tekanan terhadap sumberdayanya. Penurunan sumberdaya air berasal dari berbagai sumber pencemar termasuk bahan-bahan kimia yang berasal dari industri, perkotaan/pemukiman (point sources), pertanian (pestisida), nutrient dan sedimentasi, perubahan fungsi hidrologi dan perubahan fungsi tata guna lahan (Sukimin, 2007).

  Limbah organik yang mencemari perairan danau, berdasarkan asalnya dapat dibedakan menjadi limbah organik yang berasal dari luar danau dan berasal dari kegiatan di badan air danau. Limbah yang berasal dari luar danau berupa limbah industri, domestik, dan pertanian, sedangkan yang berasal dari kegiatan di badan perairan danau adalah sisa pellet dari kegiatan budidaya ikan dalam KJA. Kegiatan dalam bidang pertanian, secara langsung maupun tidak langsung dapat menyebabkan kualitas perairan danau menjadi menurun. Hal ini disebabkan karena residu dari penggunaan pupuk dan pestisida akan mengalir ke badan air danau. Bahan-bahan beracun yang berasal dari limbah buangan industri mengandung senyawa-senyawa yang bersifat toksik seperti logam berat; Hg, Pb, dan Cd. Masuknya bahan pencemar tersebut ke badan perairan dapat menurunkan kualitas air serta mengubah kondisi ekologi perairan (Marganof, 2007).

  Dalam penelitian Suryono dkk., (2010) menyatakan, aktivitas masyarakat di daerah sekitar DAS Danau Limboto yang tidak terkontrol dapat menimbulkan dampak pencemaran yang serius terhadap perairan danau tersebut. Beban pencemar yang dominan di Danau Limboto pada umumnya akibat tingginya konsentrasi bahan organik yang berasal dari limbah domestik maupun pertanian. Keberadaan bahan pencemar menyebabkan penurunan kualitas perairan Danau Limboto, sehingga tidak sesuai lagi dengan jenis peruntukannya (misalnya untuk pertanian, perikanan dan sebagainya) serta hilangnya keanekaragaman hayati khususnya spesies asli atau endemik danau tersebut.

  Parameter Fisika Perairan

  1. Suhu Air

  Suhu suatu badan air dipengaruhi oleh musim, lintang (latitude), ketinggian dari permukaan laut (altitude), waktu dalam satu hari, sirkulasi udara, penutupan awan dan aliran serta kedalaman dari badan air. Perubahan suhu berpengaruh terhadap proses fisika, kimia dan biologi badan air. Kecepatan metabolisme dan respirasi organisme air juga memperlihatkan peningkatan dengan naiknya suhu yang selanjutnya mengakibatkan peningkatan konsumsi oksigen (Effendi, 2003).

  2. Kecerahan Air

  Kecerahan air tergantung pada warna dan kekeruhan. Kecerahan merupakan ukuran transparansi perairan yang ditentukan secara visual dengan menggunakan secchi disk. Nilai kecerahan dinyatakan dalam satuan meter. Nilai ini sangat dipengaruhi oleh keadaan cuaca, waktu pengukuran, kekeruhan, dan padatan tersuspensi, serta ketelitian orang yang melakukan pengukuran.

  4. Kekeruhan Air

  Kekeruhan merupakan faktor pembatas bagi proses fotosintesis dan produktivitas primer perairan karena mempengaruhi penetrasi cahaya matahari.

  Kekeruhan adalah gambaran sifat optik dari suatu air yang ditentukan berdasarkan banyaknya sinar (cahaya) yang dipancarkan dan diserap oleh partikel-partikel yang ada di dalam air (Effendi, 2003).

  5. Padatan Tersuspensi Total (TSS)

  Padatan tersuspensi total (Total Suspension Solid /TSS) adalah bahan-bahan tersuspensi (diameter > 1 μm) yang tertahan pada saringan millipore dengan diameter

  0,45 μm. TSS terdiri atas lumpur dan pasir halus serta jasad- jasad renik yang terutama disebabkan kikisan tanah atau erosi tanah yang terbawa ke badan air (Effendi 2003).

  Penentuan padatan tersuspensi sangat berguna dalam analisis perairan tercemar dan buangan serta dapat digunakan untuk mengevaluasi kekuatan air, buangan domestik, maupun menentukan efisiensi unit pengolahan. Padatan tersuspensi mempengaruhi kekeruhan dan kecerahan air. Oleh karena itu pengendapan dan pembusukan bahan-bahan organik dapat mengurangi nilai guna perairan (Marganof, 2007). Kesesuaian perairan untuk kepentingan perikanan

  berdasarkan nilai TSS disajikan pada Tabel 1.

  Tabel 1. Kesesuaian Perairan untuk Kepentingan Perikanan Berdasarkan Nilai TSS

  Nilai TSS (mg/l) Pengaruh Terhadap Kepentingan Perikanan < 25 Tidak ada pengaruh 25-80 Sedikit berpengaruh 81-400 Kurang baik untuk kepentingan perikanan >400 Tidak baik untuk kepentingan perikanan

  Sumber: Alabaster dan Lloyd 1982 diacu oleh Effendi 2003

Parameter Kimia Perairan 1. pH Air

  Nilai pH dapat mempengaruhi spesiasi senyawa kimia dan toksisitas dari

  2

  unsur-unsur renik yang terdapat di perairan, sebagai contoh H S yang bersifat toksik banyak ditemui di perairan yang tercemar dan perairan dengan nilai pH rendah. Perairan dengan kondisi asam kuat akan menyebabkan unsur logam beratseperti aluminium memiliki mobilitas yang meningkat dan karena logam bersifat toksik maka dapat mengancam kehidupan biota. Demikian juga bila pH air terlalu basa maka keseimbangan amonium dan ammonia akan terganggu, dalam hal ini kenaikan pH di atas netral akan meningkatkan konsentrasi ammonia yang juga bersifat toksik terhadap biota akuatik. Selain itu, pH air juga mempengaruhi parameter BOD

  5 dan kandungan nutrien dalam air seperti fosfat, nitrogen dan nutrien lainnya (Dojildo dan Best, 1992).

  Menurut Effendi (2003), menyatakan bahwa oksigen terlarut (DO) adalah

  konsentrasi gas oksigen yang terlarut dalam air yang berasal dari hasil fotosintesis fitoplankton dan tumbuhan air serta hasil difusi dari udara. Oksigen terlarut dalam perairan merupakan faktor penting sebagai pengatur metabolisme tubuh organisme untuk tumbuh dan berkembang biak. Sumber oksigen terlarut dalam air berasal dari difusi oksigen yang terdapat di atmosfer, arus atau aliran air melalui air hujan serta aktivitas fotosintesis oleh tumbuhan air dan fitoplankton. Status Kualitas Air Berdasarkan kadar oksigen terlarut dapat dilihat di Tabel 3. Tabel 2. Status Kualitas Air Berdasarkan Kadar Oksigen Terlarut

  No Kadar Oksigen Terlarut Status Kualitas Air (mg/l) 1 > 6,5 Tidak tercemar sampai tercemar sangat ringan 2 4,5 Tercemar ringan

  • – 6,4 3 2,0 Tercemar sedang
  • – 4,4 4 < 2,0 Tercemar berat Sumber: Jeffries dan Mills (1996) diacu oleh Effendie (2003) 3.

  

5 )

Biochemical Oxygen Deman (BOD

  mikroorganisme aerobik dalam proses penguraian senyawa organik. Penguraian bahan buangan organik melalui proses oksidasi oleh mikroorganisme di dalam air lingkungan adalah proses alamiah yang mudah terjadi apabila air lingkungan mengandung oksigen yang cukup (Wardhana, 1995). Suin (2002) menyatakan, bahwa selama dalam penyimpanan itu harus tidak ada penambahan oksigen melalui proses fotosintesis, dan selama lima hari itu semua organisme yang berada dalam contoh air itu bernafas menggunakan oksigen yang ada dalam contoh air tersebut. Status Kualitas Air Berdasarkan Nilai BOD

  5 dapat dilihat di Tabel 3.

  Nilai BOD

  5 Tabel 3. Status Kualitas Air Berdasarkan Status Kualitas Air No Nilai BOD 5 (ppm)

  1 Tidak tercemar ≤ 2,9 2 3,0 Tercemar ringan

  • – 5,0 3 5,1 Tercemar sedang
  • – 14,9

  4 Tercemar berat ≥ 15 Sumber: Lee dkk., (1978)

  4. Chemical Oxygen Demand (COD) Chemical Oxygen Demand merupakan jumlah oksigen yang dibutuhkan

  dalam proses oksidasi kimia yang dinyatakan dalam mg O /l. Pengukuran nilai COD akan diperoleh nilai yang menyatakan jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk proses oksidasi terhadap total senyawa organic baik yang mudah diuraikan secara biologis maupun terhadap yang sukar atau tidak bisa diuraikan secara biologis (Barus, 2004).

  5. Nitrogen

  Menurut Effendi (2003) menyatakan bahwa nitrogen yang berada di perairan berupa nitrogen anorganik dan organik. Nitrogen anorganik terdiri atas

  • 3

  4

  2

  3

  ammonia (NH ), ammonium (NH ), nitrit (NO ), nitrat (NO ), dan molekul nitrogen (N

  2 ) dalam bentuk gas. Ammonia yang terukur di perairan berupa

  • ammonia total (NH

  3 dan NH 4 ). Nitrogen berupa protein, asam amino dan urea.

  Sumber utama nitrogen antropogenik di perairan berasal dari wilayah pertanian yang menggunakan pupuk secara intensif maupun dari kegiatan domestik Senyawa nitrogen ditemukan pada tumbuhan dan hewan sebagai penyusun protein dan klorofil. Bakteri Azotobacter dan Clostridium serta beberapa jenis alga hijau biru (Blue green algae/Cyanophyta) seperti Anabaena dapat memanfaatkan gas N

  2 secara langsung dari udara sebagai sumber nitrogen.

  Meskipun beberapa organisme akuatik dapat memanfaatkan nitrogen dalam bentuk gas, akan tetapi sumber utama nitrogen di perairan bukanlah dalam bentuk

  3 ,

  gas. Nitrogen harus mengalami fiksasi terlebih dahulu menjadi ammonia (NH )

  • 4

  2

  2 ammonium (NH ), nitrit (NO ) dan molekul nitrogen (N ) dalam bentuk gas.

  Nitrogen organik berupa protein, asam amino, dan urea.

  Ammonia (NH 3 )

  • 3

  4 Ammonia yang terukur di perairan berupa ammonia total (NH dan NH ).

  Ammonia (NH ) dan garam-garamnya bersifat mudah larut dalam air. Ion ammonium adalah bentuk transisinya. Sumber ammonia di perairan adalah hasil pemecahan nitrogen organik (protein dan urea) dan nitrogen anorganik yang terdapat dalam tanah dan air, berasal dari dekomposisi bahan organik (tumbuhan dan biota akuatik yang telah mati) yang dilakukan oleh mikroba dan jamur, yang dikenal dengan amonifikasi. Proses amonifikasi ditunjukkan dalam persamaan reaksi

  N organik + O

  2  NH 3 -N + O

2  NO

2 -N+ O 2  NO 3 -N

  amonifikasi nitrifikasi Feses dari biota akuatik yang merupakan limbah aktivitas metabolisme juga banyak mengeluarkan ammonia. Sumber lain ammonia di perairan adalah reduksi gas nitrogen yang berasal dari proses difusi udara atmosfer, limbah industri dan domestik (Effendi, 2003).

  Nitrit (NO 2 -N)

  Goldman dan Horne (1983), menyatakan bahwa nitrit adalah bentuk antara dari nitrat ke ammonia dan sebaliknya, baik dalam proses oksidasi ammonia menjadi nitrat maupun dalam proses reduksi dari nitrat menjadi gas nitrogen . Pada umumnya nitrit di alam terdapat dalam jumlah yang sangat kecil. Pada kondisi oksigen yang cukup (oxic) nitrit akan berubah menjadi nitrat, sedangkan pada kondisi kurang oksigen (anoxic) nitrit akan berubah menjadi ammonia. Hal ini disebabkan nitrit merupakan nitrogen yang tidak stabil. Status kualitas air berdasarkan kandungan nitrit menurut dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Status Kualitas Air Berdasarkan Kandungan Nitrit

  No Status Kualitas Air Kadar Nitrit (mg/L) 1 1 > 0,003 Tidak tercemar sampai tercemar sangat ringan 2 0,003 Tercemar sedang

  • – 0,014 3 0,014 > Tercemar berat

  Sumber: Schmit (1978) diacu oleh Wardoyo (1989) Nitrat (NO 3 -N)

  Menurut Davis dan Cornwell (1991) diacu oleh Effendi (2003),

  3

  menyatakan bahwa nitrat (NO ) adalah bentuk utama nitrogen di perairan alami dan merupakan nutrien utama bagi pertumbuhan tanaman dan algae. Nitrat nitrogen sangat mudah larut dalam air dan bersifat stabil. Senyawa ini dihasilkan dari proses oksidasi sempurna senyawa nitrogen di perairan. Kadar nitrat di perairan yang tidak tercemar biasanya lebih tinggi daripada kadar ammonium. Kadar nitrat-nitrogen yang lebih dari 0,2 mg/l dapat mengakibatkan teradinya eutrofikasi perairan, yang selanjutnya menstimulir pertumbuhan algae dan tumbuhan air secara pesat (blooming). Kadar nitrat dalam air tanah dapat mencapai 100 mg/l. Air hujan memilki kadar nitrat sekitar 0,2 mg/l. Pada perairan yang menerima limpasan air dari daerah pertanian yang banyak mengandung pupuk, kadar nitrat dapat mencapai 1000mg/l. Kadar nitrat untuk keperluan air minum sebaiknya tidak melebihi 10 mg/l. Tingkat kesuburan perarian berdasarkan kandungan nitrat dapat dilihat pada Tabel 5.

  Tabel 5. Tingkat Kesuburan Perairan Berdasarkan Kandungan Nitrat

  No Kadar Nitrat (mg/l) Tingkat Kesuburan

  1 Perairan Oligotrofik ≤ 0,226 2 0,227-1,129 Perairan Mesotrofik 3 1,130-11,250 Perairan Eutrofik

  Sumber: Volenweider (1969) diacu oleh Wetzel (1975)

  6. 4 ) Fosfat (PO

  Fosfor merupakan satu diantara beberapa bahan kimia yang keberadaanya sangat penting bagi semua mahluk hidup, terutama dalam pembentukan protein dan transfer energi didalam sel seperti ATP dan ADP. Pada ekosistem perairan, fosfor terdapat dalam bentuk senyawa fosfor, yaitu : 1) fosfor anorganik; 2) fosfor organik dalam protoplasma tumbuhan dan hewan dan 3) fosfor organik terlarut dalam air, yang terbentuk dari proses penguraian sisa-sisa organisme (Barus, 2004).

  Dalam Effendi (2003), menyatakan bahwa fosfat merupakan bentuk fosfor yag dapat dimanfaatkan oleh tumbuhan. Karakteristik fosfor sangat berbeda dengan unsur-unsur lain yang merupakan penyususn biosfer karena unsur ini tidak terdapat di atmosfer. Pada kerak bumi, keberadaan fosfor relatif sedikit dan mudah mengendap. Fosfor juga merupakan unsur esensial bagi tumbuhan tingkat tinggi dan algae, sehingga unsur ini merupakan faktor pembatas bagi tumbuhan dan algae akuatik serta sangat mempengaruhi produktivitas perairan. Di perairan, bentuk unsur fosfor terus berubah secara terus-menerus akibat proses dekomposisi dan sintetis antar bentuk organik dan anorganik yang dilakukan oleh mikroba. Semua polifosfat mengalami hidrolisis membentuk ortofosfat. Pada suhu yang mnedekati titik didih, perubahan polifosfat menjadi ortofosfat berlangsung cepat.

  Hubungan antara ortofosfat dengan kesuburan perairan dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Hubungan Antara Kandungan Ortofosfat dengan Kesuburan Perairan

  No Ortofosfat(mg/L) Kriteria 1 0,003 Perairan Oligotrofik

  • – 0,01 2 0,011 Perairan Mesotrofik – 0,03 3 0,031 Perairan Eutrofik – 0,1 Sumber: Wetzel (1979) diacu oleh Effendi (2003)

  Parameter Biologi

  Lingkungan perairan mudah tercemar oleh mikroorganisme patogen (berbahaya) yang masuk dari berbagai sumber seperti permukiman, pertanian dan peternakan. Bakteri yang umum digunakan sebagai indikator tercemarnya suatu badan air adalah bakteri yang tergolong Escherichia coli , yang merupakan satu diantara beberapa bakteri yang tergolong koliform dan hidup normal di dalam kotoran manusia dan hewan (Effendi, 2003).

  Bakteri coliform umumnya digunakan sebagai indikator bakteri untuk kualitas makanan dan air. Coliform banyak ditemukan di dalam tinja dari hewan- hewan berdarah panas, tetapi dapat juga ditemukan di lingkungan perairan, tanah, dan vegetasi. Secara umum coliform itu sendiri tidak mengakibatkan sakit, tetapi mereka mudah berkembang biak dan keberadaannya digunakan untuk menunjukkan bahwa organisme patogen lain juga ada (Atmojo dkk., 2011).

  Penelitian Marganof (2007) menyatakan bahwa Hasil analisis kandungan bakteri fecal coliform di perairan danau berkisar antara 68

  • –77 MPN/100 ml, dengan nilai rata-rata 72 MPN/100 ml. Hal ini menunjukkan bahwa perairan Danau Maninjau mengandung bahan organik yang cukup tinggi sebagai sumber kehidupan mikroorganisme.

  Status Kualitas Air Perikanan Budidaya Di KJA

  Sistem budidaya perikanan yang dianggap cukup produktif dilakukan di danau adalah sistem Keramba Jaring Apung (KJA). Usaha budidaya di Keramba Jaring Apung (KJA). yang dilaksanakan oleh masyarakat telah mempengaruhi kondisi perairan. Menurut Barus (2007), menyatakan bahwa hasil analisis laboratorium terhadap sampel air danau yang diambil pada waktu terjadinya kematian masal ikan mas di perairan Haranggaol Danau Toba pada bulan November 2004 menunjukkan bahwa nilai kelarutan oksigen (DO) telah turun pada nilai yang sangat rendah yaitu sebesar 2,95 mg/l, hal ini menunjukkan bahwa ketersediaan oksigen sudah sangat terbatas. Selanjutnya nilai BOD Biochemical

  

Oxygen Demand (BOD) sebesar 14 mg/l memberikan indikasi tingginya bahan

  organik di dalam air. Dalam penelitian Rahmawati (2010), menyatakan bahwa total beban pencemaran fosfor di Danau Toba adalah 1.408.992 kg/tahun.

  Penurunan kualitas air danau akibat kegiatan budidaya perikanan terutama di KJA tidak hanya terjadi di Danau Toba. Waduk Cirata memiliki peranan penting dalam pengembangan budidaya ikan mas di dalam Keramba Jaring Apung (KJA) khususnya untuk wilayah Jawa Barat. Potensi waduk ini sebagai media budidaya ikan telah dimanfaatkan dengan cukup baik, bahkan cenderung berlebihan. Pada tahun 1988 jumlah KJA di waduk Cirata hanya 74 unit dengan produksi 32 ton, pada tahun 1996 telah mencapai 15.289 unit dengan produksi sebesar 25.114 ton dan produksi rata-rata 1,74 ton per unit. Pada Desember 2004 tercatat jumlah KJA yang beroperasi di waduk Cirata mencapai 39.690 petak, padahal pada tahun 1996 jumlah petak yang dianjurkan adalah 12.000. Kondisi perairan Waduk Cirata pada saat ini dalam status eutrofik bahkan hipereutrofik, sebagaimana telah diindikasikan oleh Garno dan Adibroto (1999), yang merupakan akibat dari pencemaran bahan organik yang bersumber dari budidaya sistem KJA.

  Pengembangan KJA banyak menyumbangkan sisa pakan dan hasil metabolisme ikan yang cenderung meningkatkan unsur hara di dalam perairan sehingga mempercepat eutrofikasi. Dari unsur hara P saja, KJA di Waduk Cirata diperkirakan memberikan kontribusi 2.474 ton/per tahun. Kondisi perairan waduk yang eutrofik antara lain akan ditandai oleh keadaan blooming alga perairan, anoksia dan perairan menjadi toksik (Komarawidjaja, 2005).

  Di Waduk Saguling, Cirata dan Jatiluhur, KJA umumnya dibuat dengan

  2

  luas permukaan 7 x 7 m dan kedalaman bervariasi antara 3-4 m. KJA dengan luasan tersebut ditargetkan untuk memelihara ikan 3-4 kali dalam setahun dengan produksi pertahunnya sekitar 4 ton ikan Mas (Cyprinus carpio) dan 1,200 ton ikan Nila (Oreochromis nilotica) (Garno, 2002).

  Kasus kematian massal ikan-ikan juga terjadi di Danau Maninjau Sumatera Barat. Hal tersebut terjadi akibat terjadinya fenomena up-welling pada akhir Desember 2008 hingga awal 2009. Berdasarkan penelitian, akumulasi bahan organik di dasar perairan dapat menghasilkan senyawa-senyawa toksik melalui proses dekomposisi anaerob. Senyawa toksik tersebut dapat menyebabkan kematian massal ikan jika terjadi proses pembalikan massa air (up-welling). Kegiatan budidaya ikan di Danau Maninjau masih belum dapat digolongkan pada budidaya intensif jika dilihat dari kepadatannya, yakni 50-250 kg/petak dengan

  3

  ukuran KJA rata-rata 5 m x 5 m x 2,5 m (volume efektif 50 m ). Sedangkan

  3

  produksi untuk satu siklus budidaya berkisar antara 14-70 kg/m /siklus (Erlania, dkk., 2010).

  Kasus penurunan kualitas perairan juga terjadi di Waduk PLTA Koto Panjang. Adanya kegiatan masyarakat di DAS waduk, sepadan waduk berupa pertanian, perkebunan dan industri yang meningkat dari tahun ke tahun dapat menyebabkan semakin tingginya beban nutrien yang masuk ke kawasan waduk. Semakin meningkatnya pemanfaatan waduk uuntuk kegiatan budidaya sistem KJA dengan pemberian pakan yang cukup tinggi yaitu 10 % dari bobot ikan yang dipelihara maka beban limbah organik yang berasal dari sisa pakan yang tidak termakan dan dari feses masuk ke lingkungan waduk semakin tinggi. Beban limbah organik yang berasal dari luar dan dari kegiatan budidaya ikan dalam KJA ini akan mempengaruhi parameter kualitas lingkungan perairan, terutama kadar total P dan ketersediaan oksigen terlarut, yang akan mempengaruhi daya dukung perairan (Siagian, 2010).

  Limbah KJA adalah limbah organik yang tersusun oleh karbon, hidrogen, oksigen, nitrogen, fosforus, sulfur dan mineral lainnya. Limbah dalam perairan dapat berbentuk padatan yang terendap, koloid, tersuspensi dan terlarut . Padatan limbah terendap akan langsung mengendap menuju dasar waduk. sedangkan bentuk lainnya akan tetap berada di badan air, baik di badan air yang aerobik maupun anaerobik. Di lapisan aerobik maupun anaerobik bahan organik limbah KJA tersebut akan menjadi sumber makanan bagi mikroba heterotropik untuk hidup dan berkembang biak (Garno, 2002).

  

Strategi Pengelolaan Keramba Jaring Apung (KJA) Di Kecamatan

Haranggaol Horison Danau Toba

  Budidaya ikan dengan menggunakan keramba merupakan alternative sistem budidaya ikan yang sangat potensial untuk dikembangkan di Indonesia karena wilayah perairan lebih luas daripada daratan. Oleh karena itu, strategi pengelolaan kegiatan budidaya sistem Keramba Jaring Apung (KJA) perlu dilakukan agar kegiatan budidaya menghasilkan keuntungan bagi petani ikan dan tetap ramah lingkungan. Strategi pengelolaan Keramba Jaring Apung (KJA) dilakukan dengan menggunakan analisis SWOT untuk mengambil keputusan pengelolaan Keramba Jaring Apung (KJA) di Kecamatan Haranggaol Horison Danau Toba.

  Analisis SWOT adalah suatu cara menganalisis faktor-faktor internal dan eksternal menjadi langkah-langkah strategi dalam pengoptimalan usaha yang lebih menguntungkan. Dalam analisis faktor-faktor internal dan eksternal akan ditentukan aspek-aspek yang menjadi kekuatan (Strengths), kelemahan (Weakness), kesempatan (Opportunities), dan yang menjadi ancaman (Treathment) sebuah organisasi. Dengan begitu akan dapat ditentukan berbagai kemungkinan alternatif strategi yang dapat dijalankan. Analisis SWOT mempunyai diagram yang terdiri dari 4 kuadran, seperti terdapat pada Gambar 2.: (Rangkuti, 2006).

  Opportunity (-,+)

  (+,+)

Ubah Strategi progresif

  Kuadran III Kuadran I

  Weakness Strength

  Kuadran IV Kuadran II

  (-,-) (+,-)

  Strategi Bertahan Diversifik asi Strategi Threath

  Gambar 2. Diagram Analisis SWOT Keterangan Kuadran 1 : merupakan situasi yang sangat menguntungkan. Organisasi memiliki peluang dan kekuatan sehingga dapat memanfaatkan peluang yang ada. Strategi yang dapat diterapkan adalah dengan mendukung kebijakan pertumbuhan yang agresif Kuadran II : Meskipun menhadapi berbagai macam ancaman, perusahaan ini masih memiliki kekuatan dari segi internal. Strategi yang harus diterapkan adalah menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang jangka panjang dengan cara diversifikasi. Kuadran III : Perusahaan menghadapi peluang pasar yang sangat besar, tetapi dilain pihak, dia menghadapi kendala/kelemahan internal. Fokus strategi perusahaan ini adalah meminimalkan masalah-masalah internal perusahaan sehingga dapat merebut peluang pasar yang lebih baik.

  Kuadran IV : Ini merupakan yang sangat tidak menguntungkan, perusahaan tersebut menghadapi berbagai macam ancaman dan kelemahan internal.

  Setelah mengumpulkan semua informasi yang berpengaruh tahap selanjutnya adalah memanfaatkan semua informasi tersebut dalam model-model kuantitatif perumusan strategi. Alat yang dipakai menyusun faktor-faktor strategis adalah Matriks SWOT, seperti yang terlihat pada Tabel 7. Tabel 7. Matriks Analisis SWOT

  Strength (S) Weakness (W) Oppurtunity (O) SO

  Ciptakan strategi yang menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang

  WO

  Ciptakan strategi yang meminimalkan kelemahan untuk memanfaatkan peluang

  Threats (T) ST

  Ciptakan strategi yang menggunakan kekuatan untuk mengatasi ancaman

  WT

  Ciptakan strategi yang meminimalkan kelemahan dan menghindari ancaman

  Sumber: Rangkuti (2006)

  Internal

   Eksternal

Dokumen yang terkait

Analisis Kualitas Air Akibat Keramba Jaring Apung Di Danau Toba Dusun Sualan Desa Sibaganding Kabupaten Simalungun Sumatera Utara

4 116 59

Etnografi mengenai Berbagai Aturan Hukum Pengelolaan Keramba Jaring Apung di Haranggaol Kecamatan Haranggaol Horisan Kabupaten Simalungun

2 84 125

Dampak Kegiatan Budidaya Keramba Jaring Apung Terhadap Kualitas Air Danau Toba Di Kecamatan Haranggaol Horison Kabupaten Simalungun Sumatera Utara

15 147 102

Struktur Komunitas Plankton di Sekitar Keramba Jaring Apung Danau Toba, Kecamatan Haranggaol, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara

7 55 107

Struktur Dan Produktivitas Rerumputan Di Kawasan Danau Toba Desa Haranggaol Kecamatan Haranggaol Horison Kabupaten Simalungun Sumatera Utara

0 42 67

Kualitas Air Dan Keluhan Kesehatan Pemakai Air Danau Toba Di Sekitar Keramba Jaring Apung Di Desa Tanjung Bunga Kecamatan Pangururan Kabupaten Samosir Tahun 2010.

4 72 91

Penggunaan Berbagai Dosis Kompos Pada Tanaman Sukun (Artocarpuscommunis)Di Daerah Tangkapan Air Danau Toba Kecamatan Haranggaol Horison Kabupaten Simalungun

0 0 10

Penggunaan Berbagai Dosis Kompos Pada Tanaman Sukun (Artocarpuscommunis)Di Daerah Tangkapan Air Danau Toba Kecamatan Haranggaol Horison Kabupaten Simalungun

0 0 12

Analisis Kualitas Air Akibat Keramba Jaring Apung Di Danau Toba Dusun Sualan Desa Sibaganding Kabupaten Simalungun Sumatera Utara

0 2 15

Etnografi mengenai Berbagai Aturan Hukum Pengelolaan Keramba Jaring Apung di Haranggaol Kecamatan Haranggaol Horisan Kabupaten Simalungun

0 0 10