Uji Toksisitas Deterjen Cair Terhadap Kelangsungan Hidup Benih Ikan Nila (Oreochromis Niloticus)

  Pencemaran

  Pencemaran lingkungan adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi dan atau komponen lain kedalam lingkungan oleh kegiatan manusia atau oleh proses alam, sehingga kualitas lingkungan turun sampai ketingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan menjadi kurang atau tidak dapat berfungsi lagi sesuai peruntukannya (Undang-Undang No.4 tahun 1982 pasal 1 ayat 7 tentang Ketentuan- Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup).

  Pencemaran air dapat menyebabkan berkurangya keanekaragaman atau punahnya populasi organisme perairan seperti benthos, perifiton dan plankton.

  Dengan menurunnya atau punahnya organisme tersebut maka sistem ekologis perairan dapat terganggu. Sistem ekologis perairan (ekosistem) mempunyai kemampuan untuk memurnikan kembali lingkungan yang telah tercemar sejauh beban pencemaran masih berada pada batas daya dukung lingkungan yang bersangkutan (Nugroho, 2006).

  Pencemaran air terjadi oleh karena limbah penduduk dibuang secara langsung atau tidak langsung kebadan air tanpa diolah terlebih dahulu dan terbatasnya Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) terpadu di kota besar maupun kota menengah dan kecil. Selain pencemaran yang berasal dari limbah penduduk, air limbah industri juga berperan besar sebagai penyebab pencemaran (Brahmana dan Ratna, 2008).

  Pencemaran air selain menyebabkan dampak lingkungan yang buruk, seperti timbulnya bau, menurunnya keanekaragaman dan mengganggu estetika juga berdampak negatif bagi kesehatan mahkluk hidup, karena di dalam air yang tercemar selain mengandung mikroorganisme patogen, juga banyak mengandung komponen-komponen beracun. Untuk mengetahui apakah suatu perairan tercemar atau tidak, diperlukan serangkaian tahap pengujian untuk menentukan tingkat pencemaran tersebut (Nugroho, 2006).

  Deterjen

  Deterjen adalah salah satu bahan pencuci yang sering digunakan baik dalam indusri maupun rumah tangga. Umumnya perkembangan industri deterjen sangat cepat sejalan dengan bertambahnya jumlah penduduk. Perkembangan industri ini disatu pihak memepunyai dampak positif yaitu, berupa penambahan penghasilan serta penyediaan lapangan pekerjaan bagi masyarakat, tetapi dilain pihak juga membawa dampak negatif yang ditimbulkan oleh air buangan dari air limbah deterjen tersebut (Bisono dan Adhitiaastuti, 2008).

  Saat ini deterjen telah menjadi bahan pembersih yang tidak asing bagi seluruh lapisan masyarakat, baik yang tinggal di kampung, desa maupun kota. Hal ini disebabkan karena deterjen dengan “surfaktan” nya mampu menghasilkan buih diberbagai jenis air dengan jumlah yang lebih banyak dan mempunyai daya pembersih yang jauh lebih baik daripada sabun. Sangat disayangkan bahwa pengetahuan masyarakat tentang deterjen dengan surfaktan ini hanya terbatas pada sisi kelebihannya saja, tanpa mengetahui sisi kekurangannya (Garno, 2000).

  Bahan kimia organik seperti minyak, plastik, pestisida, larutan pembersih, deterjen dan masih banyak lagi bahan organik terlarut yang digunakan oleh manusia dapat menyebabkan kematian pada ikan maupun organisme air lainnya. Lebih dari 700 bahan kimia organik ditemukan dalam jumlah relatif sedikit pada permukaan air tanah (Darmono, 2001).

  Unsur kunci dari deterjen adalah bahan surfaktan atau bahan aktif permukaan, yang bereaksi menjadikan air menjadi lebih basah (wetter) dan sebagai bahan pencuci yang lebih baik. Surfaktan terkonsentrasi pada batas permukaan antara air dan gas (udara), padatan-padatan (debu) dan cairan-cairan yang tidak dapat bercampur minyak. Hal ini terjadi karena struktur “amphiphilic”, yang bersifat polar atau gugus ionik dengan afinitas yang kuat untuk air dan bagian lainnya suatu hidrokarbon yang tidak suka air (Rompas, 2010).

  Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa keberadaan deterjen dalam . suatu badan air dapat merusak insang dan organ pernafasan ikan Kerusakan insang dan organ pernafasan ikan ini menyebabkan toleransi ikan terhadap badan air yang kandungan oksigen terlarutnya rendah menjadi menurun. Padahal keberadaan busa-busa dipermukaan air diduga menyebabkan menurunnya oksigen terlarut dalam air tidak bisa bertambah karena hubungan dengan udara bebas tertutup. Dengan demikian organisme dalam badan air akan mati bukan karena keracunan, namun karena kombinasi kerusakan organ pernafasan dan kekurangan oksigen (Garno, 2000).

  Kualitas Air Suhu

  Dibandingkan dengan udara, air mempunyai kapasitas panas yang lebih

  o o

  tinggi. Untuk memanaskan sebanyak 1 kg air dari 15 C menjadi 16 C misalnya, dibutuhkanenergi sebesar 1 kcal. Untuk hal yang sama, udara hanya membutuhkan energi sebesar seperempatnya. Dalam setiap penelitian pada ekosistem air, pengukuran temperatur air merupakan hal mutlak yang dilakukan (Barus, 2004).

  Kenaikan suhu air akan mengakibatkan menurunnya oksigen terlarut di dalam air, meningkatnya kecepatan reaksi kimia, terganggunya kehidupan ikan dan hewan air lainnya. Naiknya suhu air yang relative tinggi seringkali di tandai dengan munculnya ikan-ikan dan hewan air lainnya ke permukaan air untuk mencari oksigen. Jika suhu tersebut tidak juga kembali pada suhu normal, lama kelamaan dapat menyebabkan kematian ikan dan hewan lainnya (Nugroho, 2006)

  pH

  Organisme air dapat hidup dalam suatu perairan yang mempunyai nilai pH netral dengan kisaran toleransi antara asam lemah sampai basa lemah. Nilai pH yang ideal bagi kehidupan organisme air pada umumnya terdapat antara 7 sampai 8,5. Kondisi perairan yang bersifat sangat asam maupun sangat basa akan membahayakan kelangsungan hidup organisme karena akan menyebabkan terjadinya gannguan metabolisme dan respirasi (Barus, 2004).

  Kelarutan Oksigen Oksigen terlarut merupakan suatu faktor yang sangat penting di dalam

  ekosistem air, terutama sekali dibutuhkan untuk proses respirasi bagi sebagian besar organisme air. Umumnya kelarutan oksigen di dalam air sangat terbatas.

  Dibandingkan dengan kadar oksigen di udara yang mempunyai konsentrasi sebanyak 21 % volume, air hanya mampu menyerap oksigen sebanyak 1 % volume saja (Barus, 2004).

  Tanpa adanya oksegen terlarut, banyak mikroorganisme dalam air tidak dapat hidup karena oksigen terlarut digunakan untuk proses degradasi senyawa organik dalam air. Oksigen dapat dihasilkan dari atmosfir atau dari reaksi fotosintesa algae. Oksigen yang dihasilkan dari reaksi fotosintesa algae tidak efisien, karena oksigen yang terbentuk akan digunakan kembali oleh algae untuk proses metabolisme pada saat tidak ada cahaya. Kelarutan oksigen dalam air tergantung pada temperatur dan tekanan atmosfir (Warlina, 2004).

  Naik turunya kadar oksigen terlarut dalam air itu disebut fluktuasi oksigen (oxygen pulse). Besarnya fluktuasi oksigen dalam suatu badan air sangat menentukan kehidupan hewan air. Hewan air yang kurang tahan pada air yang kadar oksigennya rendah, titik kritis baginya pada saat kadar oksigen di malam hari. Biasanya hewan yang kurang tahan pada keadaan air yang rendah oksigennya badan air yang fluktuasi oksigennya besar tidak cocok baginya. Karena itu fluktuasi kadar oksigen terlarut sangat penting diukur dalam studi ekologi perairan (Suin, 2002).

  Umumnya pengaruh DO terhadap kehidupan ikan adalah sebagai berikut : DO < 3 mg/L : tidak cocok untuk kehidupan ikan DO 3 -6 mg/L : tidak cocok untuk kehidupan ikan DO > 6 mg/L : cukup cocok untuk kehidupan ikan (Nugroho, 2006).

  Uji Toksisitas

  Toksisitas adalah sifat relatif toksikan berkaitan dengan potensinya menyebabkan efek negatif bagi mahkluk hidup, atau kemampuan zat menyebabkan efek negatif pada mahkluk hidup. Sifat relatif ini merupakan fungsi dari konsentrasi dan durasi pemaparan toksikan. Sebagai sifat relatif maka data toksisitas dipakai sebagai perbandingan toksikan. Identifikasi toksikan dilakukan melalui uji toksisitas. Pengujiannya dilakukan pada kondisi tertentu dan tetap yang dapat diulang secara konsisten, sehingga memungkinkan pembandingan antar toksikan yang diuji (Samudro dan Sarwoko, 2009).

  Toksisitas adalah sifat relatif toksikan berkaitan dengan potensinya mengakibatkan efek negatif bagi makhluk hidup. Toksisitas dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain komposisi dan jenis toksikan, konsentrasi toksikan, durasi dan frekuensi pemaparan, sifat lingkungan, dan spesies biota penerima.

  Toksikan merupakan zat (berdiri sendiri atau dalam campuran zat, limbah, dan sebagainya) yang dapat menghasilkan efek negatif bagi semua atau sebagian dari tingkat organisasi biologis (populasi, individu, organ, jaringan, sel, biomolekul) dalam bentuk merusak struktur maupun fungsi biologis. Toksikan dapat menimbulkan efek negatif bagi biota dalam bentuk perubahan struktur maupun fungsional, baik secara akut maupun kronis/ sub kronis. (Halang, 2004).

  Uji toksisitas dilakukan untuk menilai efek akut, sub akut dan kronis. Penelitian toksikologi dalam perairan dapat dilakukan untuk mengetahui atau mengidentifikasi apakah efluen dan badan air penerima mengandung senyawa toksik dalam konsentrasi yang menyebabkan toksisitas akut atau toksisitas kronis (Soemirat, 2005).

  Ikan Nila (O.niloticus)

  Klasifikasi lengkap yang kini dianut oleh para ilmuwan adalah yang telah dirumuskan oleh Linnaeus (1758) diacu dari fishbase.org (2012) adalah sebagai berikut:

  Kingdom : Animalia Phyllum : Chordata Kelas : Osteichtyes Ordo : Perciformes Family : Cichlidae Genus : Oreochromis Spesies : Oreochromis niloticus

  Ikan dapat digunakan sebagai bioindikator karena mempunyai kemampuan merespon adanya bahan pencemar. Ikan dapat menunjukkan reaksi terhadap perubahan fisik air maupun terhadap adanya senyawa pencemar yang terlarut dalam batas konsentrasi tertentu. Reaksi yang dimaksud antara lain adanya perubahan aktivitas pernafasan, aktivitas dan gerakan renang, warna tubuh ikan dan sebagainya (Setyiawan, 2009).

  Kematian ikan uji dapat disebabkan yang disebabkan karena zat toksikan (deterjen) yang terjerap kedalam tubuh ikan berinteraksi dengan membran sel dan enzim, sehingga enzim tersebut bersifat immobil. Dengan demikian, kerja enzim terhambat atau terjadi transmisi selektif ion-ion melalui membran sel, penyebab lainnya adalah berkaitan dengan ketersediaan oksigen terlarut, dimana deterjen dengan kepekatan tinggi akan menghambaat masuknya oksigen dari udara kedalam larutan uji (air limbah deterjen) sehingga ikan-ikan tersebut lama kelamaan kehabisan oksigen (Halang, 2004).

  Perubahan lingkungan dapat mengakibatkan perubahan tingkah laku ikan nila berupa, kehilangan orientasi lingkungan, fisiologi (pertumbuhan dan reproduksi, dan biokimia serta terganggunya fungsi jaringan. Ikan nila terlihat hypersensitif dan mengalami gangguan orientasi terhadap lingkungan dengan berenang kedasar dan permukaan air tidak teratur, frekuensi gerakan operkulum semakin meningkat dan kadang gerakannya tidak beraturan. Kondisi ini diduga bahwa ikan berusaha untuk mendapatkan oksigen dengan memperbanyak volume air yang melewati insang (Zahri, 2008).

  Menurut Komisi Pestisida Departemen pertanian (1983) tingkat daya racun suatu bahan pencemar berdasarkan LC

  50 -96 jam terhadap ikan dibedakan menjadi

  beberapa kriteria, yaitu : 1. < 1 mg/L : tingkat daya racun sangat tinggi.

  2. 1-10 mg/L : tingkat daya racun tinggi. 3. 10-100 mg/L : tingkat daya racun sedang. 4. 100 mg/L : tingkat daya racun ringan.