BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Hubungan Pengetahuan, Sikap, Sarana Dan Prasarana Serta Dukungan Petugas Kesehatan Dengan Pencegahan Penyakit Chikungunya Menggunakan Metode Pemberantasan Sarang Nyamuk (Psn) Oleh Kepala Keluarga Di Wilayah Kerja Pu
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pada era globalisasi yang serba cepat seperti sekarang ini, seseorang hari ini dapat berada di Eropa atau Afrika, dan esok harinya sudah berada di tempat lainnya seperti di Bali atau Jakarta. Dengan pola perpindahan penduduk yang sangat cepat ini, sangat potensial terjadi penyebaran berbagai macam penyakit termasuk virus.
Orang yang tertular penyakit di suatu negara bisa saja membawanya ke Indonesia. Penyakit yang dibawa ada yang dapat hilang dengan sendirinya, namun dapat pula berlanjut siklusnya bila faktor pendukungnya ada (Depkes RI, 2007).
Chikungunya merupakan sebuah penyakit yang disebabkan oleh virus berasal dari benua Afrika. Chikungunya merupakan bahasa Shawill berdasarkan gejala pada penderita, yang berarti (posisi tubuh) meliuk atau melengkung, mengacu pada postur penderita yang membungkuk akibat nyeri sendi hebat (arthralgia). Nyeri sendi ini terjadi pada lutut pergelangan kaki serta persendian tangan dan kaki. Demam Chikungunya disebabkan oleh virus Chikungunya (CHIKV). CHIKV termasuk keluarga Togaviridae, Genus alphavirus, dan ditularkan oleh nyamuk Aedes Aegypti (www.medicastore.com diakses pada hari Kamis, 31 Januari 2008).
Penyebab demam Chikungunya masih belum diketahui pola masuknya ke Indonesia. Sekitar 200-300 tahun lalu CHIKV merupakan virus pada hewan primata di tengah hutan atau savana di Afrika. Satwa primata yang dinilai sebagai pelestari virus adalah bangsa baboon (Papio sp), Cercopithecus sp. Siklus di hutan (Sylvatic
cycle ) di antara satwa primata dilakukan oleh nyamuk Aedes sp (Ae africanus,
Aeluteocephalus, Ae opok, Ae. furciper, Ae taylori, Ae cordelierri). Pembuktian ilmiah yang meliputi isolasi dan identifikasi virus baru berhasil dilakukan ketika terjadi wabah di Tanzania 1952-1953 (Depkes RI, 2007).
Hasil penelitian terhadap epidemiologi penyakit Chikungunya di Bangkok Thailand dan Vellore Madras, India menunjukkan bahwa terjadi gelombang epidemi dalam interval 30 tahun. Satu gelombang epidemi umumnya berlangsung beberapa bulan, kemudian menurun dan bersifat ringan sehingga sering tidak termonitor. Gelombang epidemi berkaitan dengan populasi vektor (nyamuk penular) dan status kekebalan penduduk. Pengujian darah (serologik) penyakit Chikungunya sering tidak mudah karena serum Chikungunya mempunyai reaksi silang dengan virus lain dalam satu keluarga (Depkes RI, 2007).
Dari beberapa literatur tampak ada kecenderungan gelombang epidemi 20 tahunan. Fenomena ini sering dikaitkan dengan perubahan iklim dan cuaca. Antibodi yang timbul dari penyakit ini membuat penderita kebal terhadap serangan virus selanjutnya. Perlu waktu panjang bagi penyakit ini untuk merebak kembali. Masa inkubasi terjadinya penyakit sekitar dua sampai empat hari, sementara manifestasinya timbul antara tiga sampai sepuluh hari. Gejala utama terkena penyakit Chikungunya adalah: Tiba-tiba tubuh terasa demam diikuti dengan linu di persendian, Timbulnya rasa pegal-pegal, ngilu, juga timbul rasa sakit pada tulang-tulang, ada yang beberapa kasus didapatkan juga penderita yang terinfeksi tanpa menimbulkan gejala sama sekali atau silent virus Chikungunya (Depkes RI, 2007).
Virus yang ditularkan oleh nyamuk Aedes Aegypti ini akan berkembang biak di dalam tubuh manusia. Virus menyerang semua usia, baik anak-anak maupun dewasa di daerah endemis. Secara mendadak penderita akan mengalami demam tinggi selama lima hari, sehingga dikenal pula istilah demam lima hari (Depkes RI, 2007).
Demam Chikungunya termasuk ”Self Limiting Disease” atau penyakit yang sembuh dengan sendirinya. Tak ada vaksin maupun obat khusus untuk penyakit ini.
Pengobatan yang diberikan hanyalah terapi simtomatis atau menghilangkan gejala penyakitnya. Seperti, obat penghilang rasa sakit atau demam seperti golongan paracetamol, sebaiknya dihindarkan penggunaan obat sejenis asetosal. Antibiotika tidak diperlukan pada kasus ini. Penggunaan antibiotika dengan pertimbangan mencegah infeksi sekunder tidak bermanfaat. Untuk memperbaiki keadaan umum penderita dianjurkan makan makanan yang bergizi, cukup karbohidrat dan terutama protein serta minum sebanyak mungkin. Perbanyak mengkonsumsi buah-buahan segar atau minum jus buah segar (Depkes RI, 2008).
Sampai saat ini masih belum ditemukan obat dan vaksin yang efektif untuk penyakit Chikungunya. Mengingat penyebar penyakit ini adalah nyamuk Aedes
aegypti maka cara terbaik untuk memutus rantai penularan adalah dengan
memberantas nyamuk tersebut, sebagaimana sering disarankan dalam pemberantasan
(PSN) merupakan cara pengendalian vektor sebagai salah satu upaya yang dilakukan untuk mencegah terjadinya penularan penyakit Chikungunya. Kampanye PSN sudah digalakkan pemerintah dalam hal ini Departemen Kesehatan dengan semboyan 3M, yakni menguras tempat penampungan air secara teratur, menutup tempat-tempat penampungan air dan mengubur barang-barang bekas yang dapat menjadi sarang nyamuk.
Kegiatan tersebut sekarang berkembang menjadi 3M plus yaitu kegiatan 3M diperluas dengan mengganti air vas bunga, tempat minum burung atau tempat lainnya yang sejenis seminggu sekali, memperbaiki saluran dan talang air yang tidak lancar, menutup lubang lubang pada potongan bambu/pohon, menaburkan bubuk larvasida, memelihara ikan pemakan jentik, memasang kawat kassa, mengupayakan pencahayaan dan ventilasi ruangan yang memadai. Kegiatan 3M plus juga diperluas dengan upaya meningkatkan kebiasaan pada masyarakat untuk menggunakan kelambu pada saat tidur siang, memakai obat yang dapat mencegah gigitan nyamuk, dan menghindari kebiasaan menggantung pakaian dalam ruangan rumah.
Dalam setiap persoalan kesehatan, termasuk dalam upaya penanggulangan Chikungunya, faktor perilaku senantiasa berperan penting. Perhatian terhadap faktor perilaku sama pentingnya dengan perhatian terhadap faktor lingkungan, khususnya dalam hal upaya pencegahan penyakit. Selain kegiatan pemberantasan sarang nyamuk, upaya lain dalam pengendalian vektor untuk mencegah kejadian Chikungunya dilakukan dengan menghindari terjadinya kontak dengan nyamuk keluarga diantaranya kebiasaan tidur siang, penggunaan kelambu siang hari, pemakaian anti nyamuk siang hari dan kebiasaan menggantung pakaian bekas pakai yang dapat diubah atau disesuaikan untuk mengurangi kemungkinan terjadinya kasus Chikungunya terhadap salah satu anggota keluarga.
Kejadian luar biasa penyakit Chikungunya pernah terjadi di Yogjakarta (1983), Muara Enim (1999), dan Aceh (2000). Pada tahun 2001 KLB Chikungunya di Jawa Barat terjadi serentak di beberapa RW/desa di Bogor, Bekasi, dan Depok. Pada tahun 2002, Palembang, Semarang, Idramayu, Manado, DKI, Banten dan beberapa daerah lainnya melaporkan adanya KLB Chikungunya. Pada tahun 2003 KLB Chikungunya terjadi juga di beberapa wilayah di pulau Jawa, NTB dan Kalimantan Tengah (Depkes RI, 2007).
Di Provinsi Nangroe Aceh Darusalam (NAD) kasus Chikungunya terjadi pada tahun 2000, dan menyebar ke daerah Kabupaten Aceh Timur pada tahun 2009 dengan kejadian luar biasa yakni terdapat 4.403 kasus selama 8 bulan (April – November 2009). Dimana kasus Chikungunya menyebar di seluruh kecamatan yang ada di Kabupaten Aceh Timur, dengan kasus terbanyak terdapat di Puskesmas Nurus Salam yakni sebanyak 1.493 kasus, dan paling sedikit terdapat di Puskesmas Sungai Raya sebanyak 32 kasus (Dinkes Kab. Aceh Timur, 2009).
Kondisi di wilayah kerja Puskesmas Nurus Salam, menurut data yang ada petugas yang bertanggungjawab dalam program penaggulangan Chikungunya ini terlihat masih kurang baik dalam menjalankan tugasnya. Hal ini dapat diamati dari memberikan penyuluhan satu kali selama kasus demam Chikungunya terjadi, ataupun tidak adanya media promosi yang baik seperti poster atau leaflet yang disebarkan ke masyarakat. Petugas melakukan foging sebanyak satu kali, dan tidak membegikan bubuk abate kepada masyarakat. Di lain pihak masyarakat juga kurang berpartisipasi dalam penanggulangan wabah ini. Masyarakat hanya tahu pengasapan sebagai jalan satu-satunya untuk mencegah wabah ini. Bahkan jika terjadi wabah sangat jarang masyarakat yang melaporkan ke petugas kesehatan, petugas mendapatkan data jika seseorang telah dirawat beberapa hari di rumah sakit. Selain daripada itu jika petugas mengadakan penyuluhan kesehatan, kehadiran masyarakat masih rendah.
Menurut penelitian Fatmi (2006), dalam penelitiannya tentang faktor sosiodemografi dan lingkungan yang mempengaruhi kejadian luar biasa Chikungunya di Kelurahan Cinere Kecamatan Limo Kota Depok menyebutkan bahwa faktor sosiodemografi mempunyai pengaruh yang signifikan yaitu p = 0,03 dan faktor lingkungan juga mempunyai pengaruh yang signifikan yaitu dengan nilai p = 0,00. Jika kita bandingkan dengan kasus demam berdarah maka berdasarkan penelitian Hutapea (2007) dalam penelitiannya tentang perilaku masyarakat mengenai Demam Berdarah Dengue di Kelurahan Gung Negeri Kecamatan Kabanjahe Kabupaten Karo tahun 2007, menunjukkan bahwa masyarakat melakukan pemberantasan sarang nyamuk jika petugas melakukan penyuluhan terlebih dahulu tentang DBD.
Perilaku pencegahan seperti di atas sangat dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan masyarakat. Perilaku merupakan suatu aktivitas atau kegiatan manusia langsung oleh orang lain. Sedangkan pengetahuan merupakan hasil tahu manusia yang sekedar menjawab pertanyaan “what”. Apabila pengetahuan mempunyai sasaran tertentu dan mempunyai pendekatan untuk mengkaji obyek tersebut akan memperoleh hasil pengakuan secara umum (Notoatmodjo, 2005).
Seseorang yang memiliki pengetahuan terhadap suatu penyakit dan mereka sadar bahwa penyakit tersebut dapat mempengaruhi kesehatan mereka menjadi lebih buruk, maka mereka pun tahu bagaimana harus bersikap yaitu mereka akan melakukan usaha-usaha pencegahan agar tidak terkena penyakit tersebut. Sikap merupakan respon atau reaksi seseorang yang masih tertutup, bukan merupakan reaksi tingkah laku yang terbuka terhadap stimulus atau obyek. Misalnya seseorang yang mengetahui bahwa penyakit Chikungunya dapat mengakibatkan kelumpuhan yang bersifat sementara maka ia akan berusaha mencegah terkena penyakit tersebut dengan melakukan 3M (menguras, mengubur dan menutup). Sebaliknya seseorang yang tidak tahu akan penyakit Chikungunya maka kesadaran dan sikap pun juga tidak akan ada sehingga tidak ada usaha-usaha pencegahan penyakit tersebut. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Notoatmodjo (2003), bahwa perilaku yang didasari oleh pengetahuan, kesadaran, dan sikap yang positif, maka perilaku tersebut akan bersifat langgeng (long lasting), sebaliknya apabila perilaku itu tidak didasari oleh pengetahuan, kesadaran dan sikap maka tidak akan berlangsung lama. Sehingga pengetahuan, kesadaran dan sikap mempunyai peranan yang sangat penting dalam menentukan perilaku seseorang.
Saat ini mungkin masih terdapat masyarakat yang belum mengetahui apa itu Chikungunya, sehingga mereka tidak tahu bagaimana harus bersikap dalam melakukan pencegahan penyakit tersebut. Sebagian orang mengetahui penyakit ini setelah mereka terkena penyakitnya. Berbeda dengan orang yang sudah tahu, maka mereka tahu sikap apa yang harus dilakukan untuk pencegahan sejak dini.
Pengetahuan tentang kesehatan sangat penting dalam kehidupan sehari-hari untuk mencegah timbulnya suatu penyakit.
Perilaku warga sehari-hari juga dapat mempengaruhi kesehatan. Cara hidup mereka, makanan yang mereka makan, air yang digunakan, dan usaha menjaga kebersihan lingkungan. Lingkungan yang kotor dapat menimbulkan penyakit, misalnya kaleng-kaleng bekas yang berserakan dapat digunakan nyamuk sebagai tempat tinggal sehingga dapat mengakibatkan seseorang tertular Chikungunya dari nyamuk tersebut. Hal ini sangat dipengaruhi oleh pengetahuan mereka, semakin mereka tahu seberapa besar bahaya suatu penyakit maka akan semakin banyak pula usaha pencegahan yang mereka lakukan (Hendrawan, 2009).
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka peneliti tertarik untuk meneliti tentang pengetahuan, sikap, sarana dan prasarana serta dukungan petugas kesehatan terhadap pencegahan penyakit Chikungunya dengan metode pemberantasan sarang nyamuk (PSN) oleh kepala keluarga di wilayah kerja puskesmas Nurus Salam Kabupaten Aceh Timur.
1.2. P ermasalahan
Belum diketahuinya hubungan pengetahuan, sikap, sarana dan prasarana serta dukungan petugas kesehatan terhadap pencegahan penyakit Chikungunya dengan metode pemberantasan sarang nyamuk (PSN) oleh kepala keluarga di wilayah kerja puskesmas Nurus Salam Kabupaten Aceh Timur.
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis hubungan pengetahuan, sikap, sarana dan prasarana serta dukungan petugas kesehatan terhadap pencegahan penyakit Chikungunya dengan metode pemberantasan sarang nyamuk (PSN) oleh kepala keluarga di wilayah kerja puskesmas Nurus Salam Kabupaten Aceh Timur.
1.4. Hipotesis Ada hubungan pengetahuan, sikap, sarana dan prasarana serta dukungan
petugas kesehatan terhadap pencegahan penyakit Chikungunya dengan metode pemberantasan sarang nyamuk (PSN) oleh kepala keluarga di wilayah kerja puskesmas Nurus Salam Kabupaten Aceh Timur.
1.5. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini nantinya adalah : 1. Sebagai masukan bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Timur dalam upaya penanggulangan penyakit Chikungunya.
2. Sebagai masukan bagi institusi kesehatan swasta maupun Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang menangani penyakit Chikungunya.
3. Sebagai pengembangan ilmu tentang pencegahan dan pengendalian penyakit Chikungunya sehingga dalam penanggannya akan lebih mudah dan terarah.
4. Sebagai masukan bagi peneliti lain yang ingin melakukan penelitian ini selanjutnya.